Sie sind auf Seite 1von 41

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indra pendengaran berperan penting pada partisipasi seseorang dalam aktifitas
kehidupan sehari-hari. Telinga merupakan salah satu dari kelima alat indera manusia
yang memiliki fungsi ganda dan kompleks, yaitu sebagai indera pendengaran dan sebagai
alat keseimbangan tubuh. Gangguan yang terjadi pada organ ini dapat berakibat buruk
bagi si penderita, yaitu ia tidak dapat melakukan kegiatan mendengar secara optimal.
Beberapa diantara gangguan tersebut adalah otitis media baik itu otitis media akut
(OMA) maupun otitis media kronis (OMK) dan juga mastoiditis.
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. (Soepardi, et al.,ed. 2007). Menurut
Brunner & Suddarth (2002), Otitis media akut (OMA) adalah infeksi akut telinga tengah
yang disebabkan oleh masuknya bakteri patogenik kedalam telinga tengah yang
normalnya steril. Paling sering terjadi bila terdapat disfungsi tuba eustachii seperti
obsruksi yang disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan atas, inflamasi jaringan
disekitarnya, atau reaksi alergi. Bakteri yang umum ditemukan sebagai organisme
penyebab adalah Streptoccocus pneumoniae, Hemophylus influenzae, dan Moraxella
catarrhalis dan oleh Williams & Wilkins (2011) menambahkan bakteri penyebab otitis
media

akut

adalah

Staphylococcus

aureus,

Escherecia

coli,

Pneumococcus,

Streptococcus anhaemolyticus, Proteus vulgaris, dan Pseudomonas aerugenos. Selain


itu, terdapat satu gangguan lagi pada telinga yaitu mastoiditis. Mastoiditis adalah
inflamasi mastoid yang diakibatkan oleh suatu infeksi pada telinga tengah, jika tak
diobati dapat terjadi osteomyelitis (Smeltzer & Bare, 2001).
Dalam realita yang ada, Otitis media merupakan salah satu dari berbagai penyakit
yang umum terjadi di berbagai belahan didunia, termasuk di negara-negara dengan
ekonomi rendah dan juga di Indonesia. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh
WHO,diperkirakan sekitar 90% manusia pernah mengalami setidaknya satu episode otitis
media sebelum umur 2 tahun dan puncak insidens kedua adalah tahun pertama sekolah
dasar (Healy, 1996; Paparella et al,1997). Prevelensi Otitis media juga merupakan salah
1

satu penyakit langganan anak. Prevalensi terjadinya otitis media di seluruh dunia untuk
usia 10 tahun sekitar 62 % sedangkan anak-anak berusia 3 tahun sekitar 83 %.
Mastoiditis adalah inflamasi mastoid yang diakibatkan oleh suatu infeksi pada
telinga tengah, jika tak diobati dapat terjadi osteomielitis (Smeltzer & Bare, 2001).
Sementara itu, menurut Nurbaiti Iskandar (1997) mastoiditis adalah penyakit sekunder
dari otitis media yang tidak dirawat atau perawatannya tidak adekuat. Mastoiditis
merupakan penyakit yang berbahaya ini dikarenakan masalah yang timbul sebagai akibat
dari infeksinya, gejala-gejala awal yang timbul adalah gejala peradangan pada telinga
tengah, seperti demam, nyeri pada telinga, hilangnya sensasi pendengaran, bahkan
kadang timbul suara berdenging pada satu sisi telinga hingga dapat menyebabkan tuli.
Prevalensi terjadinya mastoiditis di seluruh dunia untuk usia 10 tahun sekitar 62 %
sedangkan anak-anak berusia 3 tahun sekitar 83 %. Di Amerika Serikat, diperkirakan
75% anak mengalami minimal satu episode mastoiditis sebelum usia 3 tahun dan hampir
setengah dari mereka mengalaminya 3 kali atau lebih. Di Inggris, setidaknya 25 % anak
mengalami minimal 1 episode sebelum usia 10 tahun di negara tersebut otitis media
paling sering terjadi pada usia 3-6 tahun (Abidin 2009). Dari catatan medis di salah satu
rumah sakit di Jakarta Pusat sepanjang Januari 2004 sampai Desember 2005 didapatkan
95 pasien dengan mastoiditis akut. Hanya pasien yang belum mendapatkan pengobatan
baik topikal ataupun sistemik sekurangnya 5 hari terakhir yang dilakukan dalam
penelitian. Angka kejadian mastoiditis rata-rata 27 tahun, termuda 5 tahun dan tertua 70
tahun terbanyak antara 21-30 tahun (36,8%) terhadap kesamaan distribusi gender dalam
penelitian ini (laki-laki 53,7% dan wanita 46,3%), (Anonim 2008).
Gangguan pada telinga bagian tengah bukan termasuk hal yang kecil. Kurangnya
kebersihan dan penanganan yang salah dapat menjadikan gangguan tersebut bertambah
parah dan telinga kehilangan fungsinya. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha preventif
dan penanganan yang tepat terhadap gangguan- gangguan tersebut. Berdasarkan uraian
peningkatan kasus pada otitis Media dan mastoiditis yang masih tinggi diatas, maka
diperlukan perhatian dari komponen masyarakat terutama tenaga kesehatan seperti
perawat untuk mengetahui dan memahami tentang penyakit guna memberikan Asuhan
Keperawatan yang tepat pada pasien dengan gangguan pendengaran Otitis media (Akut
dan Kronik) dan mastoiditis.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu OMA, OMK dan mastoiditis?
2. Bagaimana etiologi dan manifestasi klinis dari gangguan pada telinga tersebut?
3. Bagaimana patofisiologi dari penyakit tersebut?
4. Bagaimana penatalaksanaan dari gangguan pada telinga tersebut?
5. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan OMA, OMK dan mastoiditis?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menjelaskan konsep tentang gangguan pada sistem pendengaran
yakni OMA, OMK dan mastoiditis serta asuhan keperawatan pada ketiga gangguan
tersebut.
2. Tujuan Khusus.
Agar mahasiswa/i dapat :
a. Menjelaskan definisi OMA, OMK, dan Mastoiditis
b. Menyebutkan etiologi terjadinya OMA, OMK, dan Mastoiditis
c. Menyebutkan manifestasi klinik OMA, OMK, dan Mastoiditis
d. Menjelaskan patofisiologi terjadinya OMA, OMK, dan Mastoiditis
e. Menjelaskan penatalaksanaan OMA, OMK, dan Mastoiditis
f. Menyebutkan komplikasi OMA, OMK, dan Mastoiditis
g. Menjelaskan prognosis pasien dengan OMA, OMK, dan Mastoiditis
h. Mamberikan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan OMA, OMK, dan
Mastoiditis
D. Manfaat
Makalah ini bermanfaat bagi mahasiswa/i untuk dapat mengetahui dan memahami
macam- macam gangguan pada telinga khususnya telinga tengah yakni OMA, OMK dan
mastoiditis serta Asuhan Keperawatan dari ketiga gangguan tersebut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. OTITIS MEDIA AKUT


A. Definisi OMA
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. (Soepardi, et al.,ed. 2007). Menurut
(Smeltzer & Bare, 2001). Otitis media akut (OMA) adalah infeksi akut telinga tengah
yang disebabkan oleh masuknya bakteri patogenik kedalam telinga tengah yang
normalnya steril. Paling sering terjadi bila terdapat disfungsi tuba eustachii seperti
obsruksi yang disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan atas, inflamasi jaringan
disekitarnya, atau reaksi alergi. Radang telinga tengah (otitis media/ OM) ini sering
terjadi pada anak-anak dan menjadi masalah paling umum kedua pada praktek pediatrik
(Paparella et al, 1997). Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah
dengan gejala dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik
lokal atau sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia,
demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran
timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah (Buchman,
2003). Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan
membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas yang terhad pada membran
timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore (Kerschner, 2007)

Ganbar : anatomi telinga

Gambar : Skema pembagian Otitis Media.


B. Etiologi OMA
Menurut (Smeltzer & Bare, 2001).Otitis Media Akut disebabkan oleh :
1. Masuknya bakteri patogenik ke dalam telinga tengah yang normalnya steril.
Bakteri yang umum ditemukan sebagai organisme penyebab adalah Streptoccocus
pneumoniae, Hemophylus influenzae, dan Moraxella catarrhalis. Williams & Wilkins
(2011) menambahkan bakteri penyebab otitis media akut adalah Staphylococcus
aureus, Escherecia coli, Pneumococcus, Streptococcus anhaemolyticus, Proteus
vulgaris, dan Pseudomonas aerugenosa.
2. Paling sering terjadi bila terjadi disfungsi tuba eustachii seperti obstruksi yang
diakibatkaan oleh infeksi saluran pernapasan atas, inflamasi jaringan di sekitarnya
(misalnya: sinusitis, hipertrofi adenoid), atau reaksi alergi (misalnya: rinitis alergika).
Williams & Wilkins (2011) menyebutkan penyebab otitis media akut supuratif adalah
karena adanya infeksi melalui :
a. Tuba eustachius
b. Membran timpani
c. Infeksi melalui aliran darah
Williams & Wilkins (2011) menyebutkan faktor-faktor predisposisi terjadinya otitis
media akut supuratif adalah sebagai berikut :
a. Usia
Biasanya terjadi pada usia anak-anak
b. Sosio-ekonomi
5

Kejadian tertinggi pada populasi dengan higiene rendah, penduduk padat dan
malnutrisi
c. Iklim
Sering terjadi pada musim dingin khususnya pada musim salju
d. Ras
Lebih sering terjadi pada orang dengan kulit putih daripada kulit hitam
e. Adanya massa pada nasofaringeal, contohnya polip, karsinoma, limpoma
f. Gangguan pernapasan
Rinitis dan sinusitis kronis memproduksi mukus yang terinfeksi yang mana akan
memasuki tuba eustachius, sehingga menyebabkan infeksi pada tuba eustachius
g. Alergi
Faktor alergi yang menyebabkan otitis media akut belum diketahui secara pasti
Cara masuk bakteri pada kebanyakan pasien kemungkinan melalui tuba eustachii
akibat konsentrasi sekresi dalam nasofaring. Bakteri juga dapat masuk telinga tengah
bila ada perforasi membran timpani. Eksudat purulen biasanya ada pada telinga
tengah dan mengakibatkan kehilangan pendengaran konduktif.
C. Manifestasi Klinis OMA
Gejala otitis media dapat bervariasi menurut beratnya infeksi dan bisa ringan dan
sementara atau sangat berat, diantaranya adalah;
1. Keadaan biasanya unilateral pada orang dewasa, dan mungkin terdapat otalgia.
2. Nyeri akan hilang secara spontan bila terjadi perforasi spontan membrana timpani
3.
4.
5.
6.

atau setelah dilakukan miringotomi (insisi membran timpani).


Dapat berupa keluarnya cairan dari telinga.
Demam.
kehilangan pendengaran, dan tinitus.
Pada pemeriksaan otoskopis, kanalis auditorius eksternus sering tampak normal, dan

tidak terjadi nyeri bila aurikula digerakan.


7. Membrana timpani tampak merah dan sering menggelembung.
(Smeltzer & Bare, 2001).
Manifestasi klinik otitis media, menurut Donna L. Wong, dkk (buku ajar keperawatan
pediatrik, 2008).
Otitis Media akut :
a) Terjadi setelah infeksi pernapasan atas
b) Otalgia (sakit telinga)
c) Demam
d) Rabas purulen (otorea) mungkin ada, mungkin tidak
Pada bayi atau anak yang masih kecil :
6

a) Menangis
b) Rewel, gelisah, sensitif
c) Kecenderungan mengosok, memegang dan menarik telingan yang sakit.
d) Kesulitan untuk memberikan kenyamanan pada anak
e) Kehilangan nafsu makan
Pada anak yang lebih besar :
a) Menangis dan/ atau mengungkapkan perasaan yang tidak nyaman
b) Iritabilitas
c) Kehilangan napsu makan
D. Patofisiologi OMA
Patogenesis terjadinya OMA sangat berkaitan erat dengan kondisi tuba eustacius, baik
secara anatomis maupun fisiologis. Smeltzer & Bare (2001), menjelaskan terjadinya otitis
media akut adalah akibat adanya bakteri masuk melalui tuba eusthacii akibat kontaminasi
sekresi dari nasofaring. Bakteri juga bisa masuk telinga tengah bila ada perforasi
membrana timpani. Eksudat yang purulen yang purulent biasanya ada dalam telinga
tengah dan mengakibatkan kehilangan pendengaran konduktif. Pada umumnya otitis
media terjadi akibat disfungsi tuba eustachius. Tuba tersebut yang menghubungkan
telinga tengah dengan nasofaring, normalnya tertutup dan datar yang mencegah
organisme dari rongga faring memasuki telinga tengah. Lubang tersebut memungkinkan
terjadinya drainase sekretyang dihasilkan oleh mukosa telinga tengah dan memungkinkan
terjadinya keseimbangan antara telinga tengah dan lingkungan luar. Drainase yang
terganggu menyebabkan retensi sekret didalam telinga tengah. Udara tidak dapat keluar
melalui tuba yang tersumbat sehingga diserap kedalam sirkulasi yang menyebabkan
tekanan negatif didalam telinga tengah. Jika tuba tersebut terbuka,perbedaan tekanan ini
meyebabkan bakteri masuk ke ruang telinga tengah, tempat organisme cepat
berproliferasi dan menembus mukosa. (Donna L. Wong, dkk 2008).
Robbins & Cotran (2009) menyampaikan bahwa apabila serangan berulang otitis media
akut tanpa resolusi akan menyebabkan penyakit kronik.

Gambar : membran timpani normal


7

Terdapat 5 stadium pada OMAberdasarkan perubahan membran mukosa telinga tengah,


yaitu :
1. Stadium oklusi tuba eustachius
Terdapat gambaran retraksi membran timpani akibat tekanan negatif di dalam
telinga tengah. Membran timpani terkadang berwarna normal atau keruh pucat.
Efusi tidak dapat dideteksi. Sukar dibedakan dengan otitis media serosa akibat
virus atau alergi.
2. Stadium hiperemis (presupurasi)
Tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh membran
timpani tampak hiperemis serta edema. Sekret yang telah terbentuk mungkin
masih bersifat eksudat serosa sehingga sukar terlihat. Hiperemis disebabkan oleh
oklusi tuba yang berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme
piogenik. Proses inflamasi berlaku di telinga tengah dan membran timpani
menjadi kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan
pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran
mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya
proses hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di
kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu
hari (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

Gambar : Membran Timpani Hiperemis


3. Stadium supurasi
Membran timpani menonjol ke arah telinga luar akibat edema yang hebat pada
mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial serta terbentuknya
eksudat purulen di kavum timpani. Pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu
meningkat, serta nyeri di telinga bertambah berat. Apabila tekanan tidak
berkurang, akan terjadi iskemia, thrombophlebitis dan nekrosis mukosa serta
8

submukosa. Nekrosis ini terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan
kekuningan pada membran timpani. Di tempat ini akan terjadi ruptur.
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah
di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada mukosa
telinga tengah menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur.
Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran
timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar.

Gambar : membran timpani bulging dengan pus purulen


4. Stadium perforasi
Pada stadium ini terjadi ruptur membran timpani sehingga nanah keluar dari
telinga tengah ke liang telinga. Pada pemberian antibiotik yang terlambat atau
virulen kuman yang tinggi, dapat terjadi ruptur membran timpani dan nanah
keluar mengalir dari telinga tengah ke telinga luar. Pasien yang semula gelisah
menjadi tenang, suhu badan turun, dan dapat tidur tenang. Jika mebran timpani
tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap berlangsung melebihi tiga
minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua
keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua
bulan, maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik (Djaafar, 2007;
Dhingra, 2007).

Gambar : membran timpani perforasi


5. Stadium resolusi
Pada stadium ini membran timpani berangsur normal, perforasi membran timpani
kembali menutup dan sekret purulen tidak ada lagi. Bila daya tahan tubuh baik
9

atau virulensi kuman rendah maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa
pengobatan. Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi
otitis media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran
timpani menetap, dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang
timbul. Pada stadium ini penderita mengeluh pendengarannya masih belum
kembali normal. Tanda klinis pada membrane timpani adalah perforasi masih
tampak tapi warna mulai kembali normal dan tidak tampak secret. Penderita
diberikan edukasi untuk menjaga hygiene telinga dan control 2-4 minggu
kemudian untuk melihat apakah membrane timpani dapat menutup menutup
secara spontan. Apabila tetap ada perforasi dapat dirujuk ke THT untuk dilakukan
stimulasi dan epitelisasi atau miringoplasti.
E. Pemeriksaan Diagnostik OMA
1. Otoscope.
Pemeriksaan ini memberikan informasi tentang gendang telinga yang dapat digunakan
untuk mendiagnosis otitis media. Otitis media akut ditandai dengan penonjolan
gendang telinga yang merah pada pemeriksaan otoskopi. Penanda tulang dan refleks
cahaya mungkin kabur. Otitis media dengan efusi dapat tampak sebagai gendang
telinga yang berwarna abu-abu, baik menonjol ataupun cekung kedalam. (Elisabeth
Corwin, 2009)
2. Timpanometri.
Timpanometri adalah pemeriksaan atau pengukuran fungsi telinga tengah, antara lain
yaitu mobilitas gendang telinga, fungsi tuba eustachius, kondisi kavum timpani.
Manfaat

dari

timpanometri

untuk screening/menilai

kondisi

liang

telinga.

Timpanometri memunculkan timpanogram yaitu suatu pemeriksaan yang mencakup


pemasangan sonde kecil pada telinga luar dan pengukuran gerakan membran
timpanisetelah adanya tonus yang terfiksasi, juga dapat digunakan untuk
mengevaluasi mobilitas membran timpani. Pada otitis media akut dan otitis media
dengan efusi, mobilitas gendang telinganya berkurang. (Elisabeth Corwin, 2009).
Pada timpanogram terdapat sebuah grafik yang mengaitkan tekanan telinga tengah
dan complience. Pada timpanogram tidak didapatkan puncak/ flat, biasanya
disebabkan karena adanya cairan di telinga tengah. Selain itu biasanya timpanogram
menunjukkan adanya puncak namun bergeser ke kiri yang menunjukkan adanya
tekanan negatif disebabkan karena disfungsi tuba.
3. Kultur dan Uji Sensitivitas.
Pemeriksaan kultur dan uji sensitifitas dilakukan untuk mengidentifikasi organisme
pada sekret telinga.
10

4. Pengujian Audiometrik.
Pengujian audiometrik menghasilkan data dasar atau mendeteksi setiap kehilangan
pendengaran sekunder akibat infeksi berulang dan adanya cairan.
F. Penatalaksanaan OMA
Hasil penatalaksanaan otitis media bergantung pada efektifitas terapi (dosis antibiotika
oral yang diresepkan dan durasi terapi ), virulensi bakteri, dan status fisik klien. Terapi
yang dapat diberikan untuk klien otitis media akut diantaranya yaitu :
1. Antibiotik.
Antibiotik spektrum luas dan awal, otitis media dapat hilang tanpa gejala sisa yang
serius. Bila terjadi pengeluaran cairan, biasanya perlu diresepkan preparat otik
antibiotika. Kondisi bisa berkembang dengan subakut dengan pengeluaran cairan
purulen menetap dari telinga. Jarang sekali terjadi kehilangan pendengaran permanen.
Antibiotik yang efektif digunakan adalah amoksilin. Amoksilin menghasilkan
perbaikan gejala dalam 48-72 jam. Dalam 24 jam pertama terjadi stabilisasi, sedang
dalam 24 jam kedua mulai terjadi perbaikan. Jika pasien tidak membaik dalam 48-72
jam, kemungkinan ada penyakit lain atau pengobatan yang diberikan tidak memadai.
Dalam kasus seperti ini dipertimbangkan pemberian antibiotik lini kedua, misalnya
amoksisilin dengan klavulanat. Amoksisilin dengan klavulanat diberikan kepada
pasien dengan gejala berat atau OMA yang kemungkinan disebabkan Haemophilus
influenzae dan Moraxella catarrhalis.
2. Analgesik / pereda nyeri.
Selain antibiotik, penanganan OMA selayaknya disertai penghilang nyeri (analgesia).
Analgesia yang umumnya digunakan adalah analgesia sederhana seperti paracetamol
atau ibuprofen. Namun perlu diperhatikan bahwa pada penggunaan ibuprofen, harus
dipastikan bahwa klien tidak mengalami gangguan pencernaan seperti muntah atau
diare karena ibuprofen dapat memperparah iritasi saluran cerna.
3. Sedatif (pada anak kecil)
4. Terapi dekongestan nasofaring
Tindakan lainnya dalam penatalaksanaan otits media akut dalah tindakan pembedahan
yaitu :
Miringotomi.
Insisi pada membran timpani dikenal sebagai miringotomi / timpanotomi.
Membran timpani dianestesi menggunakan anestesi lokal seperti fenol atau
menggunakan iontoforesis. Pada iontoforesis suatu arus elektris mengalir melalui
larutan lidokain epinefrin untuk membuat liang telinga dan membrana timpani
11

kebas. Prosedur ini tidak menimbulkan nyeri dan belangsung tidak sampai 15 menit.
Dibawah mikroskop kemudiandibuat insisi melalui membrana timpani untuk
mengurangi tekanan dan mengalirkan cairan serosa atau purulen dari telinga tengah.
Normalnya prosedur ini tidak diperlukan oleh penderita OMA, namun perlu dilakukan
bila nyeri menetap.
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya
terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus
dilakukan secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran
timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran posteriorinferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan,
kecuali jika terdapat pus di telinga tengah (Djaafar, 2007). Indikasi miringostomi pada
anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis
nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi
merupakan terapi third-line pada pasien yang mengalami kegagalan terhadap dua kali
terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau
timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang memuaskan
terhadap terapi second-line, untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur
(Kerschner, 2007).
G. Komplikasi OMA
Menurut Brunner & Suddarth (2001), komplikasi otitis media akut meliputi komplikasi
sekunder mengenai mastoid dan komplikasi intrakranial serius, seperti meningitis atau
abses otak dapat terjadi meskipun jarang. Sedangkan menurut Williams & Wilkins (2011),
komplikasi otitis media akut antara lain:
1. Ruptur membran timpani yang terjadi secara spontan
2. Perforasi yang terjadi secara terus-menerus
3. Otitis media kronik dan Mastoiditis
4. Meningitis
Meningitis adalah penyakit radang selaput otak (meningen). Penyebab meningitis
antara lain adalah adanya rhinorhea, otorhea pda basis kranial yang
memungkinkan kontaknya cairan cerebrospinal dengan lingkungan luar. Angka
kejadian meningitis di dunia adalah 1-3 orang per 100.000 orang. Terdapat 11
pasien penderita meningitis dari 4160 kasus otitis media supuratif kronik.
5. Kolesteatoma
6. Abses, septikemia
7. Limfadenopati, leukositosis
8. Kehilangan pendengaran permanen dan timpanosklerosis
9. Vertigo.
Tanda-tanda terjadinya komplikasi adalah:
12

1. Sakit kepala
2. Tuli yang terjadi secara mendadak
3. Vertigo (perasaan berputar)
4. Demam dan menggigil
H. Prognosis OMA.
Prognosis pada Otitis Media Akut baik apabila diberikan terapi yang adekuat berupa
antibiotik yang tepat dan dosis yang cukup.
I. Pencegahan OMA
Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah ISPA pada bayi
dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat, menganjurkan pemberian
ASI minimal enam bulan, menghindarkan pajanan terhadap lingkungan merokok, dan
lain-lain (Kerschner, 2007).
II.

OTITIS MEDIA KRONIK


A.
Definisi OMK.
Otitis media kronik merupakan kondisi yang berhubungan dengan patologi jaringan
irreversible dan biasanya disebabkan karena episode berulang dari otitis media akut.
(Brunner&Suddarth, 2001). OMK (Otitis Media Kronis) ialah perforasi yang permanen
dari membran timpani, dengan atau tidak dengan perubahan permanen pada telinga
tengah. Sebagian besar OMK merupakan kelanjutan dari Otitis Media Akut (OMA) dan
sebagian kecil disebabkan oleh perforasi membran timpani akibat trauma telinga. Kuman
penyebab biasanya kuman gram positif aerob, pada infeksi yang sudah berlangsung lama
sering juga terdapat kuman gram negatif dan kuman anaerob (Djaafar, 2002).
Otitis Media Kronik diklasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu :
1. Tipe tubotimpani (tipe benigna/ tipe aman/ tipe mukosa).
Tipe ini ditandai adanya perforasi sentral atau pars tensa dan gejala klinik yang
bervariasi dari luas dan keparahan penyakit. Proses peradangan pada OMK posisi ini
terbatas pada mukosa saja, biasanya tidak mengenai tulang, umumnya jarang
menimbulkan komplikasi yang berbahaya dan tidak terdapat kolesteatom. Beberapa
faktor lain yang mempengaruhi keadaan ini terutama patensi tuba eustachius, infeksi
saluran nafas atas, kegagalan pertahanan mukosa terhadap infeksi pada penderita

13

dengan daya tahan tubuh yang rendah, campuran bakteri aerob dan anaerob, luas dan
derajat perubahan mukosa serta migrasi sekunder dari epitel squamosa. Sekret
mukoid berhubungan dengan hiperplasi sel goblet, metaplasi dari mukosa telinga
tengah. OMK tipe benigna berdasarkan aktivitas sekret yang keluar dikenal 2 jenis,
yaitu:
a. OMK aktif adalah OMK dengan sekret yang keluar dari kavum timpani secara
aktif
b. OMK tenang apabila keadaan kavum timpani terlihat basah atau kering.
2. Tipe Atikoantral (tipe malignan/ tipe bahaya)
Tipe ini ditandai dengan perforasi tipe marginal atau tipe atik, disertai dengan
kolesteatom dan sebagian besar komplikasi yang berbahaya dan fatal timbul pada
OMK tipe ini.
B.
Etiologi OMK.
Kuman penyebab OMK antara lain kuman Staphylococcus aureus (26%), Pseudomonas
aeruginosa (19,3%), Streptococcus epidermidimis (10,3%), gram positif lain (18,1%) dan
kuman gram negatif lain (7,8%). Biasanya pasien mendapat infeksi telinga ini setelah
menderita saluran napas atas misalnya influenza atau sakit tenggorokan. Melalui saluran
yang menghubungkan antara hidung dan telinga (tuba Auditorius), infeksi di saluran napas
atas yang tidak diobati dengan baik dapat menjalar sampai mengenai telinga. (Kalbefarma,
2002).
OMK biasanya disebabkan karena episode berulang otitis media akut. Sering berhubungan
dengan perforasi menetap membran timpani. Infeksi kronik telinga tengah tak hanya
mengakibatkan kerusakan membran timpani tetapi juga dapat menghancurkan osikulus
dan hampir selalu melibatkan mastoid. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring
(adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba Eustachius.
Fungsi tuba Eustachius yang abnormal merupakan faktor predisposisi yang dijumpai pada
anak dengan cleft palate dan Downs syndrom. Adanya tuba patulous, menyebabkan refluk
isi nasofaring yang merupakan faktor insiden OMK yang tinggi di Amerika Serikat.
Kelainan humoral (seperti hipogammaglobulinemia) dan cell-mediated (seperti infeksi
HIV, sindrom kemalasan leukosit) dapat manifest sebagai sekresi telinga kronis.
Penyebab lain OMK diantaranya adalah:
1. Lingkungan
2. Genetik
3. Otitis media sebelumnya.
14

4. Infeksi
5. Infeksi saluran nafas atas
6. Autoimun
7. Alergi
8. Gangguan fungsi tuba eustachius.
C.
Manifestasi Klinis OMK.
Gejala dapat minimal, dengan berbagai derajat kehilangan pendengaran dan terdapat
otorea interminet atau persisten yang berbau busuk. Biasanya tidak ada nyeri kecuali pada
kasus mastoiditis akut, dimana daerah post aurikuler menjadi nyeri tekan dan bahkan
merah dan edema. Kolesteatoma ( cairan pada telinga, mengalami tuli, pusing) sendiri,
biasanya

tidak

menyebabkan

nyeri.

Evaluasi

otoskopik

membrana

timpani

memperlihatkan adanya perforasi, dan kolesteatoma dapat terlihat sebagai masa putih
dibelakang membrana timpani atau keluar ke kanalis eksternus melalui lubang perforasi.
Hasil audiometri pada kasus kolesteatoma sering memperlihatkan kehilangan pendengaran
konduktif atau campuran. (Brunner&Suddarth, 2001).
Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin).
Deskuamasi terbentuk terus lalu menumpuk sehingga kolesteatom bertambah besar.
Kolesteatom merupakan media yang baik untuk pertumbuhan kuman (infeksi), terutama
Proteus dan Pseudomonas aeruginosa. Infeksi akan memicu proses peradangan lokal dan
pelepasan mediator inflamasi yang dapat menstimulasi sel-sel keratinosit matriks
kolesteatom bersifat hiperproliferatif, destruksi, dan mampu berangiogenesis. Massa
kolesteatom ini dapat menekan dan mendesak organ disekitarnya sehingga dapat terjadi
destruksi tulang yang diperhebat oleh pembentukan asam dari proses pembusukan bakteri.
Proses nekrosis tulang ini mempermudah timbulnya komplikasi seperti labirinitis,
meningitis dan abses otak.

15

Gambar (1):sumbatan pada eustachius oleh inflamasi jaringan, Gambar (2):


adanya otore pada membran timpani.
Gejala berdasarkan tipe Otitis Media Kronis adalah:
1. OMK tipe benigna
Gejalanya berupa discharge mukoid yang tidak terlalu berbau busuk, ketika
pertama kali ditemukan bau busuk mungkin ada tetapi dengan pembersihan dan
penggunaan antibiotic lokal biasanya cepat menghilang, discharge mukoid dapat
konstan atau intermitten. Gangguan pendengaran konduktif selalu didapat pada pasien
dengan derajat ketulian tergantung beratnya kerusakan tulang-tulang pendengaran dan
koklea selama infeksi nekrotik akut pada awal penyakit.
Perforasi membrane timpani sentral sering berbentuk seperti ginjal tapi selalu
meninggalkan sisa pada bagian tepinya. Proses peradangan pada daerah timpani
terbatas pada mukosa sehingga membrane mukosa menjadi berbentuk garis dan
tergantung derajat infeksi membrane mukosa dapt tipis dan pucat atau merah dan
tebal, kadang suatu polip didapat tapi mukoperiosteum yang tebal dan mengarah pada
meatus menghalangi pandangan membrane timpani dan telinga tengah sampai polip
tersebut diangkat . Discharge terlihat berasal dari rongga timpani dan orifisium tuba
eustachius yang mukoid dan setelah satu atau dua kali pengobatan local bau busuk
berkurang.
2. OMK tipe maligna dengan kolesteatoma.
Sekret pada infeksi dengan kolesteatom beraroma khas, sekret yang sangat bau dan
berwarna kuning abu-abu, kotor purulen dapat juga terlihat keping-keping kecil,
berwarna putih mengkilat. Gangguan pendengaran tipe konduktif timbul akibat
terbentuknya kolesteatom bersamaan juga karena hilangnya alat penghantar udara pada
otitis media nekrotikans akut. Selain tipe konduktif dapat pula tipe campuran karena
kerusakan pada koklea yaitu karena erosi pada tulang-tulang kanal semisirkularis
akibat osteolitik kolesteatom.
D.
Patofisiologi OMK
Dibagi kedalam 2 jenis yaitu benigna atau tipe mukosa, dan menigna atau tipe tulang.
Berdasarkan sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif juga dikenal tipe aktif dan
tipe tenang. Pada OMK benigna, pandangan terbatas pada mukosa saja, tidak mengenai
tulang. Perforasi terletak di sentral. Jarang menimbulkan komplikasi berbahaya dan tidak
terdapat kolesteatom. OMK tipe maligna disertai dengan kolesteatom. Perforasi terletak
marginal, subtotal, atau di atik. Sering menimbulkan komplikasi yang berbahaya atau fatal
(Mansjoer et al, 2001).
16

E.
Pemeriksaan Diagnostik OMK
1. Pemeriksaan Audiometri.
Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli konduktif.Tapi
dapat pula dijumpai adanya tuli sensori neural, beratnya ketulian tergantung besar dan
letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas
Derajat ketulian nilai ambang pendengaran menurut PERHATI:

normal 10 dB

sampai 25 dB
a.
b.
c.
d.
e.

Tuli ringan 26 dB sampai 40 dB (Mild)


Tuli sedang 41 dB sampai 55dB ( Moderete)
Tuli sedang berat 56 dB sampai 70 dB (Moderete-severe)
Tuli berat 71 dB sampai 89 dB (Severe)
Tuli total lebih dari 90 dB. (Profound)

Untuk melakukan evaluasi ini, observasi yang bisa dilakukan :


a. Perforasi biasa umumnya menyebabkan tuli konduktif tidak lebih dari 15-20
dB
b. Kerusakan rangkaian tulang-tulang pendengaran menyebabkan tuli konduktif
30-50 dB apabila disertai perforasi.
c. Diskontinuitas rangkaian tulang pendengaran dibelakang membran yang
masih utuh menyebabkan tuli konduktif 55-65 dB.
d. Kelemahan diskriminasi tutur yang rendah, tidak peduli bagaimanapun
keadaan hantaran tulang, menunjukan kerusakan kochlea parah.
2. Pemeriksaaan Radiologi
a. Proyeksi Schuller.
Memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid dari arah lateral dan atas. Foto ini
berguna untuk pembedahan karena memperlihatkan posisi sinus lateral dan
tegmen
b. Proyeksi Mayer atau Owen.
Diambil dari arah dan anterior telinga tengah. Akan tampak gambaran tulangtulang pendengaran dan atik sehingga dapat diketahui apakah kerusakan tulang
telahmengenai struktur-struktur.
c. Proyeksi Stenver.
Memperlihatkan gambaran sepanjang piramid petrosus dan yang lebih
jelasmemperlihatkan

kanalis

auditorius

interna,

vestibulum

dan

kanalis

semisirkularis. Proyeksiini menempatkan antrum dalam potongan melintang


sehingga dapat menunjukan adanyapembesaran akibat
d. Proyeksi Chause III.
17

Memberi gambaran atik secara longitudinal sehingga dapat memperlihatkan


kerusakan dini dinding lateral atik. Politomografi dan atau CT scan dapat
menggambarkan kerusakan tulang oleh karena kolesteatom.
3. Pemeriksaan Bakteriologi.
Bakteri yang sering dijumpai pada OMK adalah :
a. Bakteri spesifik.
Misalnya Tuberkulosis. Dimana Otitis tuberkulosa sangat jarang ( kurang dari
1%menurut Shambaugh). Pada orang dewasa biasanya disebabkan oleh infeksi
paru yang lanjut. Infeksi ini masuk ke telinga tengah melalui tuba eustahius. Otitis
media tuberkulosa dapat terjadi pada anak yang relatif sehat sebagai akibat minum
susu yang tidak dipateurisasi
b. Bakteri non spesifik baik aerob dan anaerob.
Bakteri aerob yang sering dijumpai adalah Pseudomonas aeruginosa, stafilokokus
aureus dan Proteus sp. Antibiotik yang sensitif untuk Pseudomonas aeruginosa
adalah ceftazidine dan ciprofloksasin, dan resisten pada penisilin, sefalosporin dan
makrolid. Sedangkan Proteus mirabilis sensitif untuk antibiotik kecuali makrolid.
Stafilokokusaureus resisten terhadap sulfonamid dan trimethoprim dan sensitif
untuk sefalosforin generasi I dan gentamisin.
c. Bakteri penyebab ISPA
F.
Penatalaksanaan OMK.
Prinsip dasar penatalaksanaan medis OMK adalah (Mills,1997) :
1. Pembersihan telinga secara adekuat (aural toilet)
2. Pemberian anti mikroba topikal yang dapat mencapai lokasi dalam jumlah adekuat.
3. Pembedahan.

Ada beberapa jenis pembedahan yang dilakukan pada OMK :


a. Mastoidektomi sederhana.
Operasi dilakukan pada OMK tipe benigna yang dengan pengobatan
konservatif tidak sembuh. Dengan tindakan operasi ini dilakukan pembersihan
ruang mastoid dari jaringan patologik. Tujuannya agar infeksi tenang dan
telinga tidak berair lagi pada operasi ini fungsi pendengaran tidak diperbaiki.
b. Mastoidektomi radikal.

18

Operasi ini dilakukan pada OMK maligna dengan infeksi atau kolesteatom
yang sudah meluas. Tujuan operasi ini adalah untuk membuang semua
jaringan patologis dan mencegah komplikasi ke intrakranial.
c. Mastoidektomi radikal dengan modifikasi (operasi bondy).
Operasi ini dilakukan pada OMK dengan kolesteatom di daerah atik, tetapi
belum merusak kavum timpani. Tujuan operasi untuk membuang semua
jaringan patologik dari rongga mastoid, dan mempertahankan pendengaran
yang masih ada.
d. Miringoplasti.
Operasi ini merupakan jenis timpanoplasti yang paling ringan, dikenal juga
dengan nama timpanoplasti tipe I, rekonstruksi hanya dilakukan pada
membran timpani. Tujuan operasi ialah untuk mencegah berulangnya infeksi
telinga tengah pada OMK tipe benigna dengan perforasi yang menetap.
e. Timpanoplasti.
Operasi ini dikerjakan pada OMK tipe benigna dengan kerusakan yang lebih
berat atau OMK tipe benigna yang tidak bisa ditenangkan dengan pengobatan
medikamentosa. Tujuan operasi ialah untuk menyembuhkan penyakit serta
memperbaiki pendengaran. (Soepardi, Arsyad, 1997, 55-57).
G.
Komplikasi OMK.
Tendensi otitis media mendapat komplikasi tergantung pada kelainan patologik yang
menyebabkan otore. Walaupun demikian organisme yang resisten dan kurang efektifnya
pengobatan, akan menimbulkan komplikasi. biasanya komplikasi didapatkan pada pasien
OMK tipe maligna, tetapi suatu otitis media akut atau suatu eksaserbasi akut oleh kuman
yang virulen pada OMK tipe benigna pun dapat menyebabkan komplikasi.
Komplikasi intra kranial yang serius lebih sering terlihat pada eksaserbasi akut dari OMK
berhubungan dengan kolesteatom.
Komplikasi ditelinga tengah:
1. Perforasi persisten membrane timpani
2. Erosi tulang pendengaran
3. Paralisis nervus fasial
Komplikasi telinga dalam
1. Fistel labirin
2. Labirinitis supuratif

19

3. Tuli saraf ( sensorineural)


Komplikasi ekstradural
1. Abses ekstradural
2. Trombosis sinus lateralis
3. Petrositis
Komplikasi ke susunan saraf pusat
1. Meningitis
2. Abses otak
3. Hindrosefalus otitis
Komplikasi infeksi telinga tengah ke intra kranial melewati tiga macam lintasan yaitu
Dari rongga telinga tengah ke selaput otak, Menembus selaput otak, Masuk
kejaringan otak
H.

Prognosis OMK
1. OMK tipe benigna.
Prognosis dengan pengobatan local, otorea dapat eongering. Tetapi sisa perforasi
sentral yang berkepanjangan memudahkan infeski dari nasofaring atau bakteri dari
meatus eksterna khususnya terbawa oleh air, sehingga penutupan membrane timpani
disarankan.

2. OMK tipe maligna.


Prognosis kolesteatom yang tidak diobati akan berkembang menjadi meningitis, abes
otak, prasis fasialis atau labirintis supuratif yang semuanya fatal. Sehingga OMSK
type maligna harus diobati secara aktif sampai proses erosi tulang berhenti.
III.

MASTOIDITIS.

A. Definisi Mastoiditis.
20

Mastoiditis adalah segala proses peradangan pada sel- sel mastoid yang terletak pada
tulang temporal. Mastoiditis terjadi karena Streptococcus hemoliticus / pneumococcus.
Selain itu kurang dalam menjaga kebersihan pada telinga seperti masuknya air ke dalam
telinga serta bakteri yang masuk dan bersarang yang dapat menyebabkan infeksi traktus
respiratorius. Pada pemeriksaan telinga akan menunjukkan bahwa terdapat pus yang
berbau busuk akibat infeksi traktus respiratorius.
Mastoiditis adalah inflamasi mastoid yang disebabkan oleh suatu infeksi telinga tengah,
jika tidak diobati dapat terjadi osteomeletis. (Brunner and Suddarth, 2001 ).

B. Etiologi Mastoiditis.
Penyebab mastoiditis tersering adalah bakteri yang lazim mencangkup streptokokus beta
hemophilus grup A , streptococcus pneumoniae , staphilococcus aureus dan hemophilus
influenza. ( Sabiston, David C 1994 : 289). Selain itu kurang dalam menjaga kebersihan
pada telinga seperti masuknya air ke dalam telinga serta bakteri yang masuk dan
bersarang yang dapat menyebabkan infeksi traktus respiratorius. Pada pemeriksaan
telinga akan menunjukkan bahwa terdapat pus yang berbau busuk akibat infeksi traktus
respiratorius. Mastoiditis merupakan hasil dari infeksi yang lama pada telinga tengah,
bakteri yang didapat pada mastoiditis biasanya sama dengan bakteri yang didapat pada
infeksi telinga tengah. Bakteri gram negative dan streptococcus aureus adalah beberapa
bakteri yang paling sering didapatkan pada infeksi ini. Seperti telah disebutkan diatas,
bahwa keadaan-keadaan yang menyebabkan penurunan dari system imunologi dari
seseorang juga dapat menjadi faktor predisposisi mastoiditis. Pada beberapa penelitian
terakhir, hampir sebagian dari anak-anak yang menderita mastoiditis, tidak memiliki
penyakit infeksi telinga tengah sebelumnya. Bakteri yang berperan pada penderita anakanak ini adalah S. Pnemonieae. Streptococcus pneumoniae patogen paling sering
terisolasi di mastoiditis akut, prevalensi sekitar 25%.
C. Manifestasi Klinis Mastoiditis.

21

Pada mastoiditis akut biasanya menyebabkan nyeri, dimana daerah post aurikuler menjadi
nyeri tekan dan bahkan merah dan edema. Dan pembentukan kolestaetoma pada
mastoiditis akut bila tidak segera ditangani, kolestaetoma dapat tumbuh terus dan
menyebabkan paralisis nervus fasialis, kehilngan pendengaran sensorineural dan atau
gangguan keseimbangan (akibat erosi telinga dalam), dan abses otak.
Menurut Herawati S. and Sri Rukmini (2002 : 32) manifestasi klinis dari mastoiditis
sebagai berikut
1. Nyeri telinga
2. Otorea (keluarnya cairan pada telinga)
3. Gangguan pendengaran yang makin bertambah
4. Pada pemeriksaan otologik akan tampak otorea melalui perforasi membran
timpani , kadang kadang saging di dinding posterior liang telinga.

Gambar : perforasi membran timpani


5. Bila belum terbentuk abses akan terlihat daerah yang hiperemis yang nyeri tekan.
6. Demam
7. Saraf wajah kelemahan / tanda-tanda neurologis
8. Otalgia
9. Lesu / Malaise
10. Rhinorrhea
11. Pusing
D. Patofisiologi Mastoiditis
Mastoiditis disebabkan menyebarnya infeksi dari telinga bagian tengah. Infeksi dan nanah
mengumpul di sel-sel udara mastoid. Umumnya ini jarang terjadi karena otitis media
didiagnosis dan diobati pada tahap awal. Tetapi dengan berulangnya infeksi telinga
bagian tengah, infeksi dapat menyebar ke mastoid. Mastoiditis dapat terjadi 2-3 minggu
setelah otitis media akut (Reeves, 1999).
Menurut Adam (1997) patofisiologi mastoiditis dimulai dari infeksi telinga tengah yang
kemudian menjalar mengenai tulang mastoid dan sel-sel yang di dalamnya, hal ini
mengakibatkan terjadinya proses nekrosis tulang mastoid serta merusak struktur tulang,
bila tidak segera dilakukan pengobatan terhadap infeksinya maka dapat mengakibatkan
terjadinya abses sub peritoneal pada mastoid. Apabila infeksi merusak tulang di
sekitarnya sampa nanah dapat keluar mungkin terjadi :
22

a. Keluar melalui permukaan luar dan prosesus mastoid, sehingga terjadi abses
b.
c.
d.
e.

subperitoneal pada mastoid


Ke bawah mulai ujung prosesus masuk leher
Ke depan mulai dingding belakang liang telinga
Ke atas melalui pegmen (atap) rongga telinga masuk fosa chranial media
Ke belakang melalui fosa chranial posterior

Kebanyakan mastoiditis akut ditemukan pada pasien yang tidak mendapatkan perawatan
telinga yang memadai dan yang mengalami infeksi telinga yang tidak cepat ditangani.
Mastoiditis kronis ini dapat mengakibatkan terjadinya pembentukan koleteatoma yang
merupakan pertumbuhan kulit ke dalam ( epitel squamosa ) dari lapisan membran timpani
ke telinga tengah. Kulit dari membran timpani lateral membentuk kantong luar berisi kulit
yang rusak dan bahan sebaseus, kantong dapat melekat ke struktur telinga dalam nastoid
bila tidak ditangani , kolesteatoma dapat tumbuh terus dan menyebabkan paralysys nerfus
facialis , kehilangan pendengaran sensori neural dan atau gangguan keseimbangan
( akibat erosi telinga dalam) dan abses otak. Pembedahan pada mastoid yang mengalami
kelainan peradangan ditujukkan untuk mengangkat koleteatoma mencapai struktur yang
sakit dan dapat mencapai kondisi telinga yang aman kering dan sehat.mastoidektomi
biasanya dilakukan melalui insisi post aurikular dan infeksi dihilangkan dengan
menghilangkan udara di mastoid. Begitu pasien bangun , pembiusan harus diperhatikan
setiap tanda paries fanalis yang harus segera dilaporkan ke dokter bila terjadi kelemahan
fasial balutan pada mastoid harus dilonggarkan dan pasien dikembalikan ke meja operasi.
Luka dibuka dan nervus fasialis didekompresi untuk melonggarkan kanalis tulang yang
mengelilingi nervus fasialis.
E. Pemeriksaan Diagnostik Mastoiditis.
1. CT scan.
Mendiagnosis kelainan telinga tengah, mastoid dan telinga dalam. Biasanya
memperlihatkan penebalan mukosa dalam rongga telinga tengah di samping
dalam rongga mastoid.
2. Pemeriksaan radiologis.
Mengetahui adanya apasifikasi sel-sel udara mastoid oleh cairan dan hilangnya
trabekulasi normal dan sel-sel tersebut.
F. Penatalaksanaan Mastoiditis.
1. Penanganan lokal meliputi pembersihan hati-hati telinga menggunakan mikroskop
dan alat penghisap. Pemberian tetes antibiotika atau pemberian bubuk antibiotika
membantu bila ada cairan purulen. Antibiotika sistemik biasanya tidak diresepkan
23

kecuali pada kasus infeksi akut. Pengobatan radang mastoid dengan antibiotic
intravena seperti pennisilin, cefriaxone (rhocepin), dan metronidazole (flogil) selama
14 hari.
2. Jika pasien tidak membaik dengan antibiotic maka dilakukan operasi mastoidektomy.
Tindakan ini untuk menghilangkan sel sel tulang mastoid yang terinfeksi dan untuk
mengalirkan nanah. Beberapa struktur telinga bagian tengah (inkus dan maleus)
mungkin perlu dipotong.
a. Mastoidektomi
Mastoidektomi adalah prosedur pembedahan untuk menghilangkan proses infeksi
pada tulang mastoid
Tujuan operasi mastoidektomi adalah untuk menghilangkan sumber infeksi,
mencegah terjadinya komplikasi, dan mempertahankan fungsi pendengaran.
Pemilihan teknik mastoidektomi :
1) Rongga terbuka (Canal wall down)
Termasuk dalam golongan ini adalah modifikasi mastoidektomi radikal yang
bertujuan untuk membersihkan/membuang seluruh sel-sel mastoid dirongga
mastoid, meruntuhkan seluruh dinding belakang liang telinga, membersihkan
seluruh sel mastoid yang mempunyai drainase ke kavum timpani yaitu
pembersihan sel-sel mastoid, tetapi mukosa kavum timpani dan sisa-sisa
tulang pendengaran dipertahankan setelah proses patologis dibersihkan
sebersih-bersihnya. Tuba eustachius dibersihkan dari jaringan dari jaringan
patologis dan dipertahankan. jaringan.
2) Rongga tertutup (canal wall down)
Mastoidektomi simpel (schwartze ) yang bertujuan untuk membersihkan
jaringan patologi atau kolesteatoma didaerah kavum timpani dan rongga
mastoid dengan mempertahankan keutuhan dinding belakang liang telinga.
Canal wall up memerlukan tindakan timpanotomi posterior sehingga tehnik ini
lebih sulit. Timpanotomi posterior adalah membuka rongga mastoid secara
luas sehingga memudahkan akses ke resesus fasialis.
b. Tympanoplasty yang merupakan pembedahan rekonstruksi telinga bagian tengah
untuk memelihara pendengaran.
c. Miringotomi.

24

Insisi pada membran timpani dikenal sebagai miringotomi / timpanotomi.


Membran timpani dianestesi menggunakan anestesi lokal seperti fenol atau
menggunakan iontoforesis. Pada iontoforesis suatu arus elektris mengalir melalui
larutan lidokain epinefrin untuk membuat liang telinga dan membrana timpani
kebas. Prosedur ini tidak menimbulkan nyeri dan belangsung tidak sampai 15
menit. Dibawah mikroskop kemudiandibuat insisi melalui membrana timpani
untuk mengurangi tekanan dan mengalirkan cairan serosa atau purulen dari telinga
tengah. Normalnya prosedur ini tidak diperlukan oleh penderita OMA, namun
perlu dilakukan bila nyeri menetap.
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya
terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah
harus dilakukan secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga
membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran
posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak
perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah (Djaafar, 2007).
Berbagai prosedur pembedahan dapat dilakukan bila dengan penanganan obat
tidak efektif, yang paling sering adalah timpanoplasti-rekonstruksi bedah membrana
timpani dan osikulus. Tujuan timpanoplasti adalah mengembalikan fungsi telinga
tengah, menutup lubang perforasi telinga tengah, mencegah infeksi berulang, dan
memperbaiki pendengaran.
G. Komplikasi Mastoiditis.
Komplikasi mastoiditis meliputi kerusakan di abducens dan syaraf-syaraf kranial wajah
(syaraf-syaraf kranial VI dan VII), menurunnya kemampuan klien untuk melihat ke arah
sam-ping/lateral (syaraf kranial VI) dan menyebabkan mulut mencong, seolah-olah ke
samping (syaraf kranial VII). Komplikasi-komplikasi lain meliputi vertigo, meningitis,
abses otak, otitis media purulen yang kronis dan luka infeksi (Thane, 1993).
Beberapa komplikasi yang terjadi akibat adanya Mastoiditis antara lain ;
1. Ekstrakranial , komplikasi ke arah inferior
Adanya kolesteatoma akan menimbulkan pressure necrosis dan akan merusak
korteks mastoid sehingga akan terjadi abses subperiostal. Abses yang terbentuk di
daerah planum mastoid, disebut abses retro aurikuler.untuk pengobatan dapat
dilakukan insisi abses atau mastoidektomi.
2. Intratemporal
a) Labirintitis
25

Penjalaran kearah medial ini terjadi karena adanya fistel pada kanalis
semisirkularis lateral atau pada foramen ovale akibat erosi dari kolesteatoma.
Pasien biasanya mengeluh mual dan muntah. Penatalaksanaan dengan
mastoidektomi.
b) Paresis N.VII
Kolesteatoma yang menumpuk akan menimbulkan destruksi tulang kanalais
N.VII sehingga N.VII terbuka dan terkena lesi.
3. Intrakranial
a) Abses ektra dural
Penimbunan nanah antara segmen dan dura. Keluhan yang dirasakan adalah
nyeri kepala dan telinga yang hebat. Terapi yang diperlukan adalah
mastoidektomi dan dibuat drainase untuk mengeluarkan nanah.
b) Meningitis
Suatu keradangan yang merata pada sub arachnoid .peradangan pada selaput
otak.
c) Abses otak
Biasanya mengenai lobus temporal, penderita mengeluh nyeri kepala hebat
dan muntah.
Sementara itu perpanjangan proses menular dari mastoiditis dapat meliputi:
a. Posterior perluasan ke sinus sigmoid (trombosis menyebabkan)
b. Posterior ekstensi untuk tulang oksipital untuk menciptakan osteomyelitis of
c.
d.
e.
f.
g.
h.

calvaria atau abses Citelli


Superior ekstensi ke fosa kranial posterior, ruang subdural, dan meningen
Anterior ekstensi ke akar zygomatic
Lateral ekstensi untuk membentuk abses subperiosteal
Inferior ekstensi untuk membentuk abses Bezold
Medial ekstensi ke puncak petrosa
Intratemporal keterlibatan saraf wajah dan / atau labirin.

(PP Devan et al 2011 )


H. Prognosis Mastoiditas.
Pengobatan yang adekuat akan memberikan penyembuhan yang optimal. Prognosis
pasien baik selama belum terjadi komplikasi ke intrakranial. Pada kasus dengan
komplikasi intrakranial dibutukan penatalaksanaan yang lebih komprehensif.

26

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian asuhan keperawatan meliputi :
1. Keluhan utama
2. Riwayat penyakit saat ini
Pada pengkajian mastoiditis, biasanya diawali adanya otitis media akut setelah 2-3
minggu tanpa penanganan yang baik nanah dan infeksi menyebar ke sel udara
mastoid. Dapat muncul atau keluar cairan yang berbau dari telinga, timbul nyeri di
telinga dan demam hilang timbul.
3. Riwayat penyakit dahulu:
- Riwayat medis yang berkaitan
- Riwayat diet
4. Riwayat penyakit keluarga
5. Status sosial ekonomi
6. Riwayat psiko sosial
Menurut Tucker et al (2007) pengkajian yang dilakukan pada sistem pendengaran
meliputi :
1. Data Subjektif
a. Sakit telinga (otalgia)
b. Sakit kepala
c. Penurunan, kehilangan ketajaman pendengaran pada satu atau kedua telinga
d. Distorsi suara
e. Tinitus
f. Merasakan penuh atau sumbatan di dalam telinga
g. Mendengar gaung suara sendiri
h. Mendengar suara letupan saat menguap atau menelan
i. Vertigo, pusing, ketidakseimbangan
j. Gatal pada telinga
k. Merasa denyut jantung di telinga
l. Drainase telinga (berwarna gelap, merah, hitam, jernih, kuning)
m. Penggunaan minyak, lidi kapas, jepit rambut untuk membersihkan telinga
2. Data Objektif
a. Penampilan umum
27

b. Tanda vital : peningkatan TD, suhu (biasanya suhu meningkat bila ada
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.

peradangan/infeksi pada telinga), nadi, dan pernapasan


Kemampuan mendengar : penggunaan alat bantu dengar
Kemampuan membaca gerakan bibir atau menggunakan bahasa isyarat
Keterlambatan bicara dan perkembangan bahasa (jika pada anak kecil)
Refleks terkejut
Toleransi terhadap suara yang keras
Tipe, warna, dan banyaknya drainase telinga
Riwayat medikasi (streptomisin, salisilat, kuinin, gentamisin)
Alergi
Usia (pertimbangan gerontologis)
Kaji tingkat gangguan pendengaran

B. Diagnosa Keperawatan
Masalah Keperawatan
1. Pre operasi
a. Otitis media akut
1) Nyeri akut berhubungan dengan perforasi mebrana timpani; infamasi pada
telinga
2) Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
3) Perubahan persepsi/ sensori auditoris berhubungan dengan kerusakan
pendengaran.
4) Resiko cidera berhubungan dengan faktor regulatori : disfungsi sensori
b. Otitis media kronik.
1) Perubahan persepsi/ sensori auditoris berhubungan dengan kerusakan
pendengaran.
2) Resiko cidera berhubungan dengan faktor regulatori : disfungsi pendengaran
3) Ansietas berhubungan dengan akan dilakukannya tindakan pembedahan.
4) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kehilangan pendengaran
konduktif
5) Kurang pengetahuan berhubungan dengan infeksi otitis media berulang
6) Manajemen regimen terapeutik tidak efektif
c. Mastoiditis
1) Perubahan persepsi/ sensori auditoris berhubungan dengan kerusakan
pendengaran; tuli sensorineural
2) Nyeri akut berhubungan dengan infamasi pada post aurikuler
3) Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
4) Resiko cidera berhubungan dengan faktor regulatori : disfungsi pendengaran,
keseimbangan terganggu
5) Ansietas berhubungan dengan akan dilakukannya prosedur pembedahan.
6) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kehilangan pendengaran
(tuli sensorineural).
7) Kurang pengetahuan berhubungan dengan infeksi otitis media berulang
28

2. Post Operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan pembedahan mastoid
b. Perubahan persepsi/ sensori auditoris berhubungan dengan kerusakan
pendengaran; tuli konduksi.
c. Gangguan komunikasi verbal
d. Resiko cidera berhubungan dengan post pembedahan
e. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan mastoidektomi
C. Intervensi
Pre Operasi
1. Nyeri akut yang berhubungan dengan perforasi membrana timpani: inflamasi telinga
Tujuan:

pasien mampu mengontrol nyeri setelah dilakukan tindakan perawatan

selama 1 x 24 jam
Kriteria hasil :
a) Mengekspresikan pemahaman tentang faktor penyebab nyeri
b) Menunjukkan kemampuan untuk mengurangi atau mengontrol nyeri dengan
menggunakan keterampilan yang dipelajari
Intervensi
a) Kaji lokasi, tipe, durasi dan frekuensi nyeri
Rasional : mengetahui karekteristik nyeri yang dirasakan pasien
b) Kaji intensitas nyeri dengan menggunakan skala 0 sampai 5 (0 tidak ada nyeri
dan 5 nyeri hebat) atau skala nyeri standar lainnya
Rasional : mengetahui tingkat nyeri yang dirasakan pasien
c) Kaji faktor penyebab nyeri
Rasional : membantu dalam pemberian terapi
d) Diskusikan tindakan pereda nyeri yang efektif dan tidak efektif bagi pasien
Rasional : menentukan tindakan yang paling efektif bagi pasien dalam
meredakan nyeri
e) Kaji efek nyeri pada pasien
Rasional : mengetahui adanya masalah lain akibat nyeri yang dialami
pasien
f) Ajarkan tehnik pereda nyeri sesuai kubutuhan pasien (misal : tehnik relaksasi,
imajinasi, sentuhan)
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien tentang cara meredakan nyeri
g) Berikan analgesik sesuai program
Rasional : mengurangi nyeri dengan terapi farmakologis
h) Dorong dukungan keluarga dan orang terdekat
Rasional : dukungan keluarga membantu pasien dalam mentoleransi nyeri

29

2. Resiko cidera yang berhubungan dengan faktor regulatori : disfungsi sensori, funsi
keseimbangn terganggu.
Tujuan: pasien mampu terhindar dari cidera setelah dilakukan tindakan perawatan
selama 1 x 24 jam
Kriteria hasil :
a) Menunjukkan pemahaman mengenai potensi bahaya kesehatan
b) Mempraktikkan tindakan pencegahan cidera untuk diri sendiri
c) Tetap bebas dari cidera
Intervensi
a) Kaji ketajaman auditori pasien
Rasional : menentukan tingkat disfungsi sensori pasien
b) Pertahankan lingkungan aman untuk pasien
Rasional : meminimalkan terjadinya cidera pada pasien
c) Orientasikan pasien pada lingkungan sekitar
Rasional : meminimalkan terjadinya cidera pada pasien dengan mengenal
lingkungan sekitarnya
d) Sediakan alat yang diperlukan dan pastikan kemampuan pasien untuk
mencapainya dengan mudah
Rasional : meminimalkan terjadinya cidera pada pasien
e) Pertahankan pagar tempat tidur dan posisi tempat tidur yang aman
Rasional : menghindarkan pasien jatuh dari tempat tidur
f) Bantu pasien dengan aktivitas harian
Rasional : untuk memenuhi kebutuhan aktivitas harian pasien
g) Jelaskan semua pengobatan, prosedur dan perawatan, sadari adanya hambatan
bahasa
Rasional

meningkatkan pengetahuan pasien tentang pengobatan dan

perawatan penyakitnya
h) Berikan medikasi sesuai kebijakan
Rasional : membantu kesembuhan penyakit pasien
i) Berikan penyuluhan kesehatan tentang pencegahan bahaya
Rasional

: meningkatkan pengetahuan pasien dalam pencegahan bahaya


pada dirinya

3. Ansietas yang berhubungan dengan akan dilakukan prosedur pembedahan


Tujuan: klien mampu mengatasi anietas setelah dilakukan tindakan perawatan selama
1 x 24 jam
Kriteria hasil :
a) Memahami penyebab ansietas
30

b) Menunjukkan tingkah laku yang positif dalam mengatasi ansietas


c) Melaporkan penurunan tingkat ansietas.
Intervensi
a) Pertahankan lingkungan tenang, tanpa stress
Rasiona

: untuk mengurangi tingkat ansietas

l
b) Kaji tingkat ansietas
Rasiona

: sebagai dasar dalam memberikan konsultasi

l
c) Dorong dan sediakan waktu untuk mengungkapkan perasaan
Rasiona

: mengungkapkan ansiatas yang dirasakan

l
d) Jelaskan tentang rencana asuhan keperawatan, termasuk jika ada rencana
operasi dan libatkan pasien dalam rencana perawatan
Rasiona

: untuk mengurangi tingkat ansietas

l
e) Tunjukkan kepercayaan diri dan sikap caring, tidak menghakimi
Rasiona

: meningkatkan kepercayaan pasien sehingga dapat membantu

l
mengurangi tingkat ansietas
f) Gunakan gambar saat menjelaskan prosedur atau pengobatan
Rasiona

: untuk memperjelas pemahaman pasien

l
g) Dorong pasien untuk berkomunikasi dengan orang terdekat
Rasiona

: guna memberikan dukungan

l
h) Hindari menggunakan sistm interkomunikasi elektronik perawat-pasien bila
pasien menderita pendengaran parsial
Rasiona

: karena dapat menyababkan frustasi

l
i) Evaluasi kemampuan pasien untuk menggunakan indera lain (terutama
penglihatan dan sentuhan)
Rasiona

: untuk membantu aktivitas harian

l
j) Kuatkan penjelasan dokter mengenai gangguan pendengaran
Rasiona

: untuk meningkatkan pengetahuan dan perasaan aman pasien

31

Post OP
1. Gangguan komuniksi

verbal yang berhubungan dengan terjadinya tuli konduksi

akibat pengangkatan tulang mastoid


Tujuan:

klien mampu melakukan komunikasi dengan keterampilan yang telah

dipelajari setelah dilakukan tindakan perawatan selama 2 x 24 jam


Kriteria hasil :
a) Meningkatkan keterampilan yang telah dipelajari untuk komunikasi
b) Menunjukkan tingkah laku koping positif
c) Menerima keterbatasan yang disebabkan oleh gangguan pendengaran
Intervensi
a) Kaji dan bangun cara berkomunikasi
Rasiona

: mengetahui kemampuan pasien berkomunikasi

l
b) Berbicara dengan lambat dan mengucapkan kata dengan jelas
Rasiona

: supaya pasien dapat menerima pembicaraa dengan jelas

l
c) Hanya berbicara dengan satu orang dalam satu waktu
Rasiona

: menghindari kebingungan pasien dalam menangkap pembicaraan

l
d) Berdiri agar pasien dapat melihat mulut anda dengan jelas
Rasiona

: memungkinkan pasien memahami pembicaraan dari gerakan

l
bibir
e) Bicara dengan satu kalimat sederhanan dahulu untuk menentukan tingkat
keterampilan pasien (Perkataan perawat berkumis lebih sulit dimengerti pasien)
Rasiona

: mengukur kemampuan pasien dalam menerima pembicaraan

l
f) Tunjukkan objek pembicaraan dengan tepat
Rasiona

: memperjelas penerimaan pasien tentang objek pembicaraan

l
g) Ulangi kalimat yang diucapkan bila pasien tidak mengerti pada awalnya
Rasiona

: agar pasien bisa lebiih mengerti

l
h) Bahasa isyarat
a) Tentukan apakah pasien mampu berkomunikasi dengan kertas dan pensil
karena sebagian besar karyawan rumah sakit tidak mampu berbahasa isyarat
b) Lakukan kerjasama dengan keluarga atau orang terdekat pasien dalam
komunikasi untuk memberi dukungan
Rasiona

: penggunaan bahasa isyarat bisa membantu pasien dalam


32

l
berkomunikasi dengan orang lain
i) Kertas dan pensil
a) Tulis pesan dengan jelas menggunakan kalimat pendek dan sederhana
b) Buat daftar tilik tentang frase yang paling sering digunakan dan instruksikan
pasien untuk memeriksa frase yang sesuai
c) Sediakan waktu bagi pasien untuk memahami dan menjawab
Rasional : membantu dalam pasien berkomunikasi
2. Resiko infeksi yang berhubungan dengan tindakan pembedahan
Tujuan: pasien mampu mencapai keutuhan integritas kulit setelah dilakukan tindakan
perawatan selama 3 x 24 jam
Kriteria hasil :
a) Tidak terjadi peradangan/ infeksi yang ditandai dengan luka bersih dan kering,
daerah sekitar luka tidak bengkak
b) Tidak terjadi infeksi sistemik
c) Tetap afebris
Intervensi
a) Pantau tanda-tanda vital setiap 4 jam, khususnya suhu tubuh
Rasiona

: mengetahui adanya keabnormalan TTV

l
b) Observasi insisi untuk mengidentifikasi tanda infeksi meliputi : kemerahan,
nyeri tekan, pembengkakan pada luka insisi, pasien mengeluh nyeri, rabas
yang tidak biasa, peningkatan suhu tubuh
Rasiona

: mengetahui adanya tanda-tanda infeksi

l
c) Pertahankan agar sumbat telinga luar tetap bersih dan kering
Rasiona

: meminimalkan resiko infeksi arena balutan yang lembab

l
d) Ganti balutan sumbat luar bila perlu
Rasiona

: mempertahankan kebersihan sumbatan

l
e) Laporkan perdarahan, drainase berlebihan kepada dokter
Rasiona

: mengevaluasi adanya tanda infeksi

l
f) Pertahankan tehnik aseptik
Rasiona

: mempertahankan sterilitas untuk meminimalkan infeksi

l
g) Laksanakan pemberian antibiotik sesuai program terapi
Rasiona

: menghindarkan dari infeksi dan mendukung kesembuhan


33

l
pasien
h) Pantau peningkatan leukosit
Rasiona

: Mengindikasikan adanya infeksi

l
i) Diskusikan tentang tanda dan gejala yang harus dilaporkan kepada dokter :
a) Peningkatan suhu badan
b) Peningkatan nyeri dan/ atau drainase telinga
c) Penurunan ketajaman pendengaran dan adanya Perdarahan
d) Pusing dan Sakit kepala
e) Kaku kuduk
Rasiona

: untuk mendapatkan penanganan yang segera

l
3. Resiko cidera yang berhubungan dengan terjadinya tuli konduksi akibat pengangkatan
tulang mastoid
Tujuan: pasien mampu terhindar dari cidera setelah dilakukan
tindakan perawatan selama 3 x 24 jam
Kriteria hasil :
a) Menunjukkan pemahaman mengenai potensi bahaya kesehatan
b) Mempraktikkan tindakan pencegahan cidera untuk diri sendiri
c) Tetap bebas dari cidera
Intervensi
a) Kaji ketajaman auditori pasien
Rasional : menentukan tingkat disfungsi sensori pasien
b) Pertahankan lingkungan aman untuk pasien
Rasional : meminimalkan terjadinya cidera pada pasien
c) Sediakan alat yang diperlukan dan pastikan kemampuan pasien untuk
mencapainya dengan mudah
Rasional : meminimalkan terjadinya cidera pada pasien
d) Pertahankan pagar tempat tidur dan posisi tempat tidur yang aman
Rasional : menghindarkan pasien jatuh dari tempat tidur
e) Bantu pasien dengan aktivitas harian
Rasional : untuk memenuhi kebutuhan aktivitas harian pasien
f) Jelaskan semua pengobatan, prosedur dan perawatan, sadari adanya hambatan
bahasa
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien tentang pengobatan dan
perawatan penyakitnya
g) Berikan medikasi sesuai kebijakan
Rasional : membantu kesembuhan penyakit pasien
h) Berikan penyuluhan kesehatan tentang pencegahan bahaya
Rasional : meningkatkan pengetahuan pasien dalam pencegahan bahaya
34

pada dirinya
i) Jelaskan pada pasien untuk menghindari menghembuskan udara melalui
hidung
Rasiona

: akan menyebabkan sekret keluar dari tuba eustasius ke

l
telinga bagian tengah
j) Penggunaan alat bantu dengar
1) Kaji kemampuan pasien dalam menggunakan dan merawat alat bantu
dengar
2) Pastikan alat bantu sudah dipasang dan dinyalakan sebelum berbicara
3) Periksa tingkat kekuatan, baterai dan fungsinya
4) Tentukan keras suara yang nyaman bagi pasien
Rasional : meningkatkan keterampilan pasien dalam menggunakan alat
bantu dengar

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Taufik. 2009. Otitis Media Akut. http ://library.usu.ac.id (diambil 28 september 2012)
Brunner & Suddarth.2001. Keperawatan Medikal-Bedah, edisi 8 . Jakarta : EGC.
Corwin, Elisabeth.2009. Buku saku Patofisiologi,edisi revisi 3. Jakarta : EGC

George L, Adams. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : EGC.

jafar, Zainul A. 2003. Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan Telinga, Hidung, Tenggorok
Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Soepaardi, et al.2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala &
Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Sabiston, C David. 1994. Buku ajar Bedah, bagian 2. Jakarta : EGC
Wong,L Donaa, dkk. 2008. Keperawatan pediatrik, volume 2. Jakarta: EGC
Tucker, Susan Martin, et al., 2007. Standar Perawatan Pasien Perencanaan Kolaboratif &
Intervensi Keperawatan. Volume 2 Edisi 7. Jakarta : EGC
35

Etiologi:

Munilson, Jacky dkk._. Penatalaksanaan


Otitis Media
Akut Bagian Telinga Hidung
Streptococus
pneumoni
Faktor resiko: Higiene buruk
Faktor presipitasi: ISPA
Haemophylus
influenza
Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas
Moraxella katharralis
Padang.
Kontaminasi mikroorganisme patogenik/ sekresi nasofaring
http://repository.unand.ac.id/18807/1/Penatalaksanaan%20otitis%20media

%20akut_repositori.pdf, diunduh tanggal 25 oktober2013 pkl 17.10


Mikroorganisme masuk ke dalam tuba eustachius

Makalah otitits media akut. Universitas sumatra utara

http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/2s1keperawatan/206312042/bab2.pdnf, diunduh tanggal


Hiperemi dan edema tuba eustachii
25 oktober 2013 pkl 17.15
https://www.google.com/#q=patofisiologi+otitis+media+akut+pdf
Hiperplasi limfoid pada submukosa

Non perforasi

Kerusakan integritas jaringan


Penurunan fungsi dengar
Perforasi membran timpani

Infeksi telinga tengah

Pengobatan

Supuratif

Non supuratif

Cairan eksudat dan transudat meningkat

Nyeri telinga

MK: Resiko cidera

: Gangguan komunikasi verbal

Nyeri akut

MK: Gangguan body image

Sekret keluar lebih dari 2 bulan

Higene buruk

Terapi yang lambat

Terapi yang inadekuat


Virulensi kuman tinggi Imun rendah

MK: Kurang Pengetahuan


MK: Managemen Regimen Terapeutik tidak efektif
Tuli

36

MK:
Gangguan
Tulikomunikasi
konduksi verbal
Resiko cidera

37

38

39

KEPERAWATAN PERSEPSI SENSORI

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN OTITIS


MEDIA AKUT, KRONIK DAN MASTOIDITIS

40

DISUSUN OLEH:
Kelompok 4

Yunita Herliani

131311123022

CarolinaAurelia M Veto

131311123023

Sri Mulia Astuti

131311123024

Cecilia Indri Kurniasari

131311123025

Saverinus Suhardin

131311123026

Rani Haerani

131311123028

Komsiatiningsih

131311123033

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2013

OMA

Bakteri anaerob

Tidak ditangani dengan baik


Masuk cavum mastoid
OMK
Terjadi peradangan
Reguimen terapeutik yang jelek

Mengeluarkan nanah

Perluasan infeksi ke sel udara

41

Das könnte Ihnen auch gefallen