Sie sind auf Seite 1von 16

DAFTAR ISI

Daftar isi...........................................................................................................................................1
Abstrak.............................................................................................................................................2
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah......................................................................................................3
1.2 Tujuan Penulisan..................................................................................................................3
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Definisi
2.1.1 Defini Rinitis Alergi................................................................................................4
2.1.2 Definisi Asma ..........................................................................................................4
2.2 Hubungan Antara Rinitis Alergi dengan Asma...................................................................5
2.2.1 Epidemiologi............................................................................................................6
2.2.2 Etiologi.....................................................................................................................6
2.2.3 Kaitan Anatomi dan Patologi...................................................................................7
2.3 Tatalaksana
2.3.1 Tatalaksana Penderita Rinitis Alergi.......................................................................9
2.3.2 Tatalaksana Penderita Asma..................................................................................14
BAB III. PENUTUP
3.1

Kesimpulan................................................................................................................

........16
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................17

Abstract
Allergic rhinitis is an inflammatory process of the nasal mucosa, induced by
Immunoglobulin E (IgE) after allergen exposure. Sneezing, watery rhinorrhea, itchy nose and
nasal obstruction are the main symptoms. Allergic rhinitis are usually found accordance with
1

bronchial asthma. Allergic rhinitis is a disorder or the upper respiratory tract and bronchial
asthma is aa disorder of the lower respiratory tract. The same inflammation in nasal and
bronchial mucosa plays a role in the pathogenesis of allergic rhinitis and bronchial asthma.
Spending mediators that cause these allergens cause dysfunction in the upper respiratory tract
that affects the lower respiratory tract.
Keywords: Allergic rhinitis, Bronchial asthma
Abstrak
Rinitis alergi merupakan suatu proses inflamasi dari mukosa hidung yang diperantai oleh
Immunoglobulin E (IgE) setelah terpapar alergen. Gejala utama rinitis alergi adalah bersin,
hidung beringus, hidung gatal,dan sumbatan hidung. Rinitis alergi sering dijumpai bersamaan
dengan asma bronkial. Rinitis alergi adalah kelainan pada saluran napas atas, sedangkan asma
bronkial adalah kelainan pada saluran napas bawah. Inflamasi yang sama di mukosa nasal dan
bronkus berperan pada patogenesis rinitis alergi dan asma bronkial. Dengan adanya gejala
inflamasi pada hidung, pengeluaran mediator-mediator yang menyebabkan alergen ini
menyebabkan gangguan fungsi pada saluran nafas atas yang akan mempengaruhi saluran nafas
bawah.
Kata kunci: Rinitis alergi, Asma bronkial

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam beberapa waktu terakhir ini, berbagai laporan ilmiah menunjukkan hubungan yang
kuat antara penyakit alergi rinitis dan asma. Meskipun memiliki organ target yang berbeda,
penyakit asma dan rinitis alergi merupakan bagian dari penyakit saluran nafas yang hampir
sama. Dengan menggunakan data epidemiologi dan penelitian secara imunopatofisiologi,
hubungan antara kondisi penyakit inflamasi ini menjadi jelas. Penelitian memperlihatkan jumlah
2

penderita asma yang juga menderita rinitis alergi lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah
keseluruhan penderita asma.1
Dalam banyak kasus penderita didapatkan asma

bersama-sama rinitis, infeksi virus

saluran napas bagian atas mendahului eksaserbasi asma, rinitis sebagai faktor risiko untuk asma
dan infeksi sinusitis paranasal berkaitan dengan asma terutama pada pasien anak. Begitu
eratnya hubungan asma dan rinitis sehingga beberapa peneliti menyatakan keduanya merupakan
kesatuan penyakit yang disebut rinobronkitis atau united airway disease.1,2
Dengan melakukan kajian ilmiah melalui analisa data epidemiologi serta memperhatikan
latar belakang faktor genetik, ternyata alergi rinitis dan asma berkaitan secara anatomi, fisiologis,
imunopatologi, serta secara umum berkaitan dengan tatalaksananya.1
Temuan itu dapat memperbaiki strategi penanganan penyakit alergi khususnya alergi
rinitis dan asma. Bahwa sebenarnya penyakit alergi adalah sebuah penyakit sistemik yang
membutuhkan penanganan menyeluruh dan bersamaan. Selama ini penanganan penyakit alergi
khususnya kedua penyakit tersebut seringkali terpisah-pisah. Penyakit rinitis alergi akan
ditangani dan lebih didalami oleh klinisi praktis dalam minat Telinga Hidung Tenggorok, tanpa
melihat kondisi kondisi asma yang menyertai. Demikian sebaliknya klinisi dalam minat paru
anak akan mempelajari lebih mendalam dan menanganani asma seorang anak tanpa
memperhatikan kondisi rinitis alergi yang menyertainya.1,2
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dilakukan penulisan ini adalah untuk melihat adanya hubungan diantara rinitis
alergi dengan asma ditinjau dari sudut epidemiologi, etiologi, anatomi dan patofisiologi serta
tatalaksana bagi kedua penyakit tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
2.1.1 Definisi Rinitis Alergi
Sebelum memberikan pemaparan mengenai rinitis alergi, kita perlu memahami masingmasing definisi dari kedua kata tersebut. Rinitis adalah peradangan mukosa hidung, sedangkan
alergi merupakan reaksi hipersensitifitas yang diinisiasi oleh mekanisme imunologi spesifik
dengan perantara Immunoglobulin E (IgE). Reaksi alergi dapat mempengaruhi hampir semua
3

jaringan, atau organ dalam tubuh. Manifestasi klinis umum dari alergi termasuk asma, dermatitis
atopik, rinitis alergik, dan urtikaria atau angioedema. Manifestasi alergi dapat mengancam hidup
seperti asma berat dan reaksi anafilaksis.3
Jika disimpulkan rinitis alergi berarti gangguan fungsi hidung setelah pajanan alergen
melalui inflamasi yang diperantarai IgE pada mukosa hidung. Interaksi antara alergen dan IgE
akan menyebabkan pelepasan mediator sehingga terjadi reaksi inflamasi yang akan
menyebabkan gejala klinisyang khas yaitu bersin, hidung beringus, hidung gatal, dan sumbatan
hidung. Gejala rinitis alergi diantaranya rasa gatal pada daerah mata, hidung, palatum, telinga
dan tenggorok, hidung berair, mata berair, hidung tersumbat, post nasal drip, tekanan pada sinus
dan rasa lelah. Rinitis alergi akan mungkin mengganggu aktifitas para penderitanya baik berusia
muda hingga tua, termasuk sosial dan terjadi perasaan mental yang tidak sehat.3
Rinitis alergi memiliki beragam dasar klasifikasi, yang terbaru membaginya menjadi 2
kelompok besar berdasarkan intensitas gejala kemunculannya, yaitu intermiten dan persisten.
Akan dikategorikan sebagai intermiten saat gejala muncul kurang dari 4 hari dalam seminggu
atau kurang dari 4 minggu sedangkan yang dinyatakan sebagai persisten adalah ketika gejala
timbul lebih dari 4 hari dalam seminggu dan berlangsung lebih dari 4 minggu.3
2.1.2 Definisi Asma
Berdasarkan pernyataan yang dikeluarkan oleh Global Iniatiative in Asthma (GINA),
asma memiliki pengertian berupa keadaan inflamasi kronik pada saluran pernapasan yang
dipengaruhi oleh berbagai macam sel, khususnya limfosit T, eosinofil dan sel mast. Menurut
American Thoraxic Society (ATS), asma didefinisikan sebagai bronkokontriksi dan hiperaktifitas
bronkus. Histopatologi asma mempunyai beberapa gambaran kunci, yaitu peningkatan sel-sel
eosinofil, limfosit dan sel mast. Dilanjutkan dengan ditemukannya gambaran edema mukosa,
meningkatnya jumlah sel goblet dan mukus yang diproduksi, deskuamasi epitel, hiperplasi otot
polos dan konstriksi otot polos.4
Inflamasi jalan nafas pada asma yang dipicu oleh alergi diawali dari sensitisasi primer
diikuti penentuan fenotip alergi dari respons imun yang akhirnya terlokalisasi di jalan napas.
Terjadinya pajanan yang berulang akan mengaktivasi sel yang sudah tersensitisasi memproduksi
mediator yang menimbulkan spasme bronkus dan inflamasi kronik. Pada tingkat sesaat setelah
pajanan alergen serta rangsang infeksi maka sel mast, limfosit, dan makrofag akan melepas
faktor kemotaktik yang menimbulkan migrasi eosinofil dan sel radang lain. Pada tingkat molekul
4

terjadi pelepasan berbagai mediator serta ekspresi serangkaian reseptor permukaan oleh sel yang
saling bekerja sama tersebut yang akan membentuk jalinan reaksi inflamasi. Pada proses
inflamasi ini sangat besar pengaruh sel T helper (Th) sebagai regulator penghasil sitokin yang
dapat memacu pertumbuhan dan maturasi sel inflamasi alergi. Pada tingkat jaringan akan tampak
kerusakan epitel serta serbukan sel inflamasi sampai submukosa bronkus, dan mungkin terjadi
rekonstruksi mukosa oleh jaringan ikat serta hipertropi otot polos.3
2.2 Hubungan antara Rinitis Alergi dan Asma
Ada beragam hasil penelitian yang menunjukkan hubungan diantara rinitis alergi dan
asma. Oleh karena itu, sebagai seorang dokter yang mendapatkan pasien dengan riwayat rinitis
alergi yang menetap perlu melakukan evaluasi kemungkinan terjadinya asma. Alat bantu untuk
dilakukan evaluasi ini ialah pemeriksaan dengan mempergunakan sinar X foto Rontgen.
Melalui foto Rontgen, yang akan diamati berupa sumbatan saluran napas sebelum dan sesudah
pemberian bronkodilator. Sedangkan bukti epidemiologisnya terlihat dari prevalensi asma yang
meningkat pada rinitis alergi dan bukan alergi, rinitis hampir selalu disertai asma, pada rinitis
persisten terjadi peningkatan reaksi hipereaktifitas bronkus non spesifik dan berbagai penelitian
menunjukkan 78%-94% penderita asma pada remaja dan dewasa juga menderita rinitis alergi dan
38% penderita rhinitis alergi juga menderita asma.5,6
Berberapa penelitian mengemukakan tentang perjalanan alamiah (allergy march) rinitis
alergi dan asma. Sebuah tim peneliti mengamati perjalanan penyakit pada 903 anak balita yang
diikuti selama 23 tahun. Setelah 23 tahun didapatkan hasil bahwa 10,6% menjadi asma dan 43%
menjadi rinitis alergi. Dari penelitian tersebut disimpulkan pula bahwa anak dengan rinitis alergi
mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi dibanding non rinitis untuk menjadi asma. Peneliti lain
meneliti pada 154 anak rinitis alergi berusia 3-17 tahun dan diikuti selama 10 tahun. Hasil
penelitiannya adalah 15% bebas tanpa rinitis, 50% tetap, dan 20% berkembang menjadi asma.
Sedangkan penelitian lainnya didapatkan hasil pada anak rinitis alergi yang mempunyai riwayat
asma pada keluarganya 9,8 kali lebih tinggi dibanding pada anak rinitis tanpa riwayat asma pada
keluarga.7
2.2.1 Epidemiologi
Dari suatu survei epidemiologi yang melibatkan 6563 penduduk dengan diagnosis baru
rinitis alergi atau asma yang baru, didapatkan 2 sampai 4 kali lebih tinggi pada penduduk yang
5

mempunyai salah satu dari kedua penyakit tadi dibanding penduduk yang riwayatnya tidak
mempunyai kedua penyakit tadi. Sedangkan penelitian terhadap 690 mahasiswa yang tidak
menderita asma, diikuti selama 23 tahun. Mereka yang pada tahun 1961 mempunyai gejala
hidung, menderita asma 3 kali lebih sering (10,5%) dibanding tanpa rinitis (3,6%).1,8
Penelitian epidemiologi lainnya menunjukkan bahwa asma dan rinitis sering terdapat
bersama-sama. Gejala-gejala hidung dilaporkan pada 28-78% penderita asma dibandingkan yang
hanya 20% pada masyarakat luas. Demikian pula rinitis alergi dapat dijumpai pada 19-38%
penderita asma, jauh lebih tinggi dibandingkan hanya 3-5% di masyarakat.8
2.2.2 Etiologi
Rinitis alergi sering ditemukan konkomitan dengan asma. Hal tersebut dapat dibuktikan
dari berbagai studi histologi dan patologi, epidemiologi, fisiologi, imunopatologi serta
pendekatan terapi. Saluran napas bawah dan atas secara fungsional berhubungan satu dengan
yang lain. Dari studi epidemiologi ditemukan 15% rinitis alergi disertai asma dan 80% asma
disertai rinitis alergi. Kegagalan fungsi saluran napas atas menimbulkan perubahan homeostasis
saluran napas bawah.1,9
Inflamasi yang sama di mukosa nasal dan bronkus berperan pada patogenesis rinitis
alergi dan asma bronkial. Inflamasi melibatkan efektor-efektor yang sama. Imunoterapi spesifik
dengan serbuk sari terhadap subyek rinitis alergi mencegah progres rinitis alergi ke asma.
Komponen yang sama dilibatkan pada kedua penyakit. Reaksi alergi dimukosa hidung dapat
memperburuk proses inflamasi di saluran napas bawah dan meningkatkan hiperreaktivitas
bronkus. Kemungkinan mekanismenya adalah:

Respons alergi nasal mengubah hiperreaktivitas bronkus melalui refleks nasobronkial


Napas melalui mulut menimbulkan obstruksi nasal dan bronkospasme terhadap udara

dingin dan kering


Aspirasi pulmonal isi hidung.10

2.2.3 Kaitan Anatomi dan Patofisiologi


Rinitis alergi melibatkan inflamasi membran mukosa dari hidung, mata, tuba eustachius,
telinga tengah, sinus, dan faring. Hidung hampir selalu terlibat sedangkan keterlibatan orangorgan lain dapat terjadi pada individu tertentu. Inflamasi membran mukosa disebabkan interaksi
kompleks mediator-mediator inflamasi yang dicetuskan oleh respon yang dimediasi IgE.10

Kecenderungan untuk timbulnya alergi atau reaksi yang dimediasi IgE terhadap alergen
ekstrinsik memiliki komponen genetik.Pada individu yang rentan, pajanan terhadap alergen
tertentu menyebabkan sensitisasi. Hal ini ditandai dengan produksi IgE spesifik terhadap alergen.
IgE spesifik tersebut akan menempel pada permukaan sel mast yang berada pada mukosa nasal.
Ketika terhirup kedalam hidung, alergen berikatan dengan IgE pada sel mast, menyebabkan
pecahnya (degranulasi) sel tersebut dan lepasnya mediator inflamasi.10
Pada penderita rinitis alergi sel mast, Th2 dan sel imun lainnya yang diaktifkan melepas
berbagai mediator, sitokin dan kemokin. Drainase potensial mediator inflamasi ke saluran napas
bagian bawah atau absorbsi mediator atau faktor kemotaktik dari hidung ke saluran napas bawah,
sebagian dapat merupakan hubungan mekanis yang potensial. Proses ini akan memacu sel Th2
memproduksi sitokin yang memacu produksi sel progenitor dari eosinofil, basofil dan sel mast.
Selanjutnya sel-sel tersebut masuk sirkulasi dan secara selektif dikerahkan ke hidung dan juga
keparu atas pengaruh molekul adhesi seperti Vascular Cellular Adhesion Molecule (VCAM-1),
kemoatraktan seperti eotaksin dan RANTES (Regulated upon activation, Normal T-cell
Expressed, and Secreted) di paru.10
Keadaan yang dapat menimbulkan keadaan asma menstimulasi terjadinya bronkospasme
melalui 3 mekanisme yaitu:
1. Degranulasi sel mast dengan melibatkan IgE
2. Degranulasi sel mast tanpa melibatkan IgE
3. Stimulasi langsung otot bronkus tanpa melibatkan sel mast10
Degranulasi sel mast menyebabkan terlepasnya histamin, yaitu suatu slow reacting
substance of anaphylaxis, dan ini yang menyebabkan bronkokonstriksi. Episode bronkospastik
berkaitan dengan fluktuasi konsentrasi c-GMP (Cyclic Guanosine Monophosphate) atau
konsentrasi c-AMP (Cyclic adenosine monophosphate)atau konsentrasi keduanya di dalam otot
bronkus dan sel mast. Peningkatan konsentrasi c-GMP dan penurunan konsentrasi c-AMP
intraselular berkaitan dengan terjadinya bronkospasme, sedangkan keadaan yang sebaliknya,
yaitu penurunan konsentrasi c-GMP dan peningkatan konsentrasi c-AMP menyebabkan
bronkodilatasi. Produksi IgE spesifik memerlukan sensitisasi terlebih dahulu.10
Penurunan aliran udara ekspirasi tidak hanya diakibatkan oleh bronkokonstriksi saja,
tetapi juga oleh adanya edema mukosa dan sekret lendir yang berlebihan.10

Gambar 1. Mekanisme Potential yang Menghubungkan RA dan AB.10

Secara fisiologis, asma dan rinitis dihubungkan tidak hanya oleh refleks nasobronkial,
tetapi juga oleh efek yang kurang baik yang dihasilkan saluran nafas atas. Saat hidung mampat
maka pernapasan dilakukan melalui mulut sehingga kemampuan hidung dalam mengkondisikan
udara dalam fungsi menghangatkan, melembabkan, dan menyaring udara yang masuk menjadi
hilang.6,9
Hipereaktivitas saluran napas erat kaitannya dengan asma bronkial, dan merupakan salah
satu kriteria diagnosis. Manifestasi klinis hipereaktivitas adalah bronkokontriksi setelah terpajan
udara dingin, bau menyengat, debu, asap, atau uap di udara. Di laboratorium hipereaktivitas
dapat diukur melalui uji provokasi bronkus dengan metakolin, histamin atau kegiatan
jasmani.9,10
Umumnya terdapat hubungan antara derajat hipereaktivitas dengan derajat beratnya
asma. Hubungan antara rinitis dengan saluran nafas atas dan bawah, dengan adanya gejala
inflamasi pada hidung, pengeluaran mediator-mediator yang menyebabkan alergen ini
menyebabkan gangguan fungsi pada saluran nafas atas yang akan mempengaruhi saluran nafas
bawah.10
Asma bronkial dan rinitis alergi, termasuk dalam golongan penyakit atopi. Sebagai
penyakit atopi keduanya sering dijumpai pada seorang penderita. Penjelasan mengapa bisa
terjadi bersama-sama, belum sepenuhnya terungkap. Faktanya

kejadian rinitis lebih sering

dijumpai dibanding asma; tetapi bila hal tersebut terjadi pada seorang penderita, pengobatan
lebih sering ditujukan pada keluhan asmanya dan mengabaikan

gejala rinitisnya. Hal ini


8

sebenarnya kurang menguntungkan karena pengobatan rinitis tidak jarang memperbaiki


asmanya.2,5
2.3 Tatalaksana
Studi kinis menunjukkan bahwa untuk beberapa penderita, pengobatan rinitis alergi
dengan kortikosteroid intranasal mengurangi gejala asma dan hiperreaktivitas bronkus.
Pengobatan penyakit saluran napas atas saja tidak cukup untuk mengobati asma. Studi klinis
dengan antihistamin nonsedatif, kombinasi dekongestan dan antihistamin sedatif ringan
memperbaiki fungsi paru dan gejala rinitis pada penderita dengan rinitis alergi dan asma.
Antihistamin bukan kontra indikasi untuk penderita asma.9
2.3.1 Tatalaksana Penderita Rinitis Alergi
Tujuan terapi
Meminimalisasi atau mencegah gejala dengan efek samping seminimal mungkin
dan biaya pengobatan rasional serta pasien dapat mempertahankan pola hidup normal.
A. Terapi Non- Farmakologi
Menghindari alergen
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penyakit perlu dihindarkan. Cara-cara
mengontrol lingkungan seperti membersihkan rumah dari debu, mengurangi penggunaan
AC dengan derajat rendah, tidak makan makanan yang mencetuskan alergi seperti seafood,
kacang, gluten, dan lain-lain.11
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan
untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang
bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi
serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.11
B. Terapi Farmakologi
Medikamentosa Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan simpatomimetik,
kortikosteroid dan antikolinergik topikal.
a. Antihistamin
i.
Antihistamin-H1 oral
Antihistamin-H1 oral bekerja dengan memblok reseptor H1 sehingga
mempunyai aktivitas anti alergi. Obat ini tidak menyebabkan takifilaksis.
Antihistamin-H1 oral dibagi menjadi generasi pertama dan kedua. Generasi

pertama antara lain klorfeniramin dan difenhidramin, sedangkan generasi kedua


yaitu setirizin/levosetirizin dan loratadin/desloratadin.12
Generasi terbaru antihistamin-H1 oral dianggap lebih baik karena
mempunyai rasio efektifitas/keamanan dan farmakokinetik yang baik, dapat
diminum sekali sehari, serta bekerja cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi
gejala hidung dan mata, namun obat generasi terbaru ini kurang efektif dalam
mengatasi kongesti hidung. Efek samping antihistamin-H1 generasi pertama
yaitu sedasi dan efek antikolinergik. Sedangkan antihistamin-H1 generasi kedua
sebagian besar tidak menimbulkan sedasi, serta tidak mempunyai efek
antikolinergik atau kardiotoksisitas.12

Gambar 2. Farmakokinetik AH generasi kedua (Cetirizin dan Loratadin). 12

ii.

Antihistamin-H1 lokal
Antihistamin-H1 lokal (misalnya azelastin dan levokobastin) juga bekerja
dengan memblok reseptor H1. Azelastin mempunyai beberapa aktivitas anti
alergik. Antihistamin-H1 lokal bekerja sangat cepat (kurang dari 30 menit)
dalam mengatasi gejala hidung atau mata. Efek samping obat ini relatif ringan.

Azelastin memberikan rasa pahit pada sebagian pasien.12


b. Preparat simpatomimetik
Golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau
tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal.Namun pemakaian secara topikal
hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa. Beraksi pada reseptor adrenergik pada mukosa hidung untuk
menyebabkan

vasokonstriksi,

menciutkan

mukosa

yang

membengkak,

dan

memperbaiki pernapasan.12
i.
Dekongestan oral

10

Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin,


merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti
hidung. Penggunaan obat ini pada pasien dengan penyakit jantung harus
berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain hipertensi, berdebar-debar,
gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan membran mukosa,
retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan oral
dapat diberikan dengan perhatian terhadap efek sentral. Pada kombinasi
dengan antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat meningkat, namun efek
ii.

samping juga bertambah.11,12


Dekongestan intranasal
Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin,
dan xilometazolin) juga merupakan obat simpatomimetik yang dapat
mengurangi gejala kongesti hidung. Obat ini bekerja lebih cepat dan efektif
daripada dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi kurang dari 10 hari
untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama
seperti sediaan oral tetapi lebih ringan. Pemberian vasokonstriktor topikal tidak
dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak di bawah usia l tahun karena batas
antara dosis terapi dengan dosis toksis yang sempit. Pada dosis toksik akan
terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem saraf pusat.11,12

c. Preparat Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan sangat luas dalam pengobatan berbagai penyakit alergi
oleh karena sifat anti inflamasinya yang kuat. Beragam kerja anti inflamasi
kortikosteroid diperantarai oleh pengaturan ekspresi dari bermacam gen target spesifik.
Telah diketahui bahwa kortikosteroid menghambat sintesis sejumlah sitokin seperti
interleukin IL-1 sampai IL-6, tumor nekrosis faktor- (TNF-), dan granulocytemacrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Kortikosteroid juga menghambat
sintesis khemokin IL-8, regulated on activation normal T cellexpressed and secreted
(RANTES), eotaxin, macrophage inflammatory protein- 1 (MIP-1), dan monocyt
chemoattractant protein-1.12,13
i.
Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid, flunisolid,
flutikason, mometason, dan triamsinolon) dapat mengurangi hiperreaktivitas dan

11

inflamasi nasal.Obat ini merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif


bagi rinitis alergik dan efektif terhadap kongesti hidung. Efeknya akan terlihat
setelah 6-12 jam, dan efek maksimal terlihat setelah beberapa hari.
Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak dipertentangkan karena
efek sistemik pemakaian lama dan efek lokal obat ini.Namun belum ada laporan
tentang efek samping setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka
panjang. Dosis steroid topikal hidung dapat diberikan dengan dosis setengah
dewasa dan dianjurkan sekali sehari pada waktu pagi hari. Obat ini diberikan
ii.

pada kasus rinitis alergi dengan keluhan hidung tersumbat yang menonjol.12,13
Kortikosteroid oral/intravena
Kortikosteroid oral/IV (misalnya deksametason, hidrokortison,
metilprednisolon, prednisolon, prednison, triamsinolon, dan betametason) poten
untuk mengurangi inflamasi dan hiperreaktivitas nasal.Pemberian jangka pendek
mungkin diperlukan.Jika memungkinkan, kortikosteroid intranasal digunakan
untuk menggantikan pemakaian kortikosteroid oral/IV. Kortikosteroid sistemik
dapat juga digunakan sebagai obat pelega pada asma serangan akut bila
penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,
penggunaannya dapat dikombinasikan dengan bronkodilator lain.12,13
Efek samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek samping sistemik
mempunyai batas yang luas.Pemberian kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan
untuk rinitis alergik pada anak. Pada anak kecil perlu dipertimbangkan

iii.

pemakaian kombinasi obat intranasal dan inhalasi.12,13


Sodium Kromolin
Sebagai suatu penstabil sel mast sehingga mencegah degranulasi sel mast
dan pelepasan mediator termasuk histamin dengan cara memblokade

pengangkutan kalsium yang dirangsang antigen melewati membran sel mast.12


d. Preparat antikolinergik
Ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas
inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor.12
i. Anti-leukotrien
Montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, akan memblok reseptor CystLT,
dan merupakan obat yang menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam
kombinasi dengan antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data
mengenai obat-obat ini. Efek sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.12-14
12

Gambar 3. Algoritma penatalaksanaan Rinitis Alergi menurut WHO Iniative ARIA 2001 (dewasa) 12

2.3.2 Tatalaksana Penderita Asma


Pada asma serangan akut dapat diterapi dengan pemberian agonis beta-2 kerja singkat,
termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar
di Indonesia.Agonis beta-2mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat.Pemberian dapat
secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek
samping minimal/hampir tidak ada.Antara mekanisme kerja agonis beta-2 adalahmerelaksasi otot
polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh
darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast.11
Agonis beta-2 merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat
sebagai praterapi pada exercise-induced asthma.Penggunaan agonis beta-2 kerja singkat
direkomendasikan bila diperlukan untuk mengatasi gejala.Kebutuhan yang meningkat atau
13

bahkan setiap hari adalah petanda adanya perburukan asma dan menunjukkan perlunya
dikombinasikan dengan terapi antiinflamasi. Demikian pula, gagal melegakan jalan napas segera
atau respons tidak memuaskan dengan agonis beta-2 kerja singkat saat serangan asma
diindikasikan penggunaan glukokortikosteroid oral.11
Efek sampingnya kortikosteroid adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka
dan hipokalemia.Pemberian secara inhalasi lebih sedikit menimbulkan efek samping daripada
oral.Pendertia asma lebih dianjurkan pemberian secara inhalasi, kecuali pada penderita yang
tidak dapat atau tidak mungkin menggunakan terapi kortikosterois secara inhalasi.11

BAB III
14

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Rinitis alergi dan asma bronkial merupakan penyakit yang mempunyai manifestasi yang
berbeda tetapi dengan proses patologik yang hampir serupa. Rinitis alergi adalah kelainan pada
saluran napas atas, sedangkan asma bronkial adalah kelainan pada saluran napas bawah.
Inflamasi yang sama di mukosa nasal dan bronkus berperan pada patogenesis rinitis alergi dan
asma bronkial yang sama-sama diperantarai oleh IgE. Hal ini menyebabkan gangguan fungsi
saluran nafas atas yang juga akan mengganggu fungsi saluran nafas bawah. Rinitis alergi dan
asma bronkial dapat diterapi dari hal sederhana yaitu menghindari alergen dan secara medika
mentosa yaitu obat-obatan: antihistamin, preparat simpatomimetik, preparat kortikosteroid,
sodium kromolin, preparat antikolinergik dan anti leukotrien. Selain itu, adanya keuntungan pada
pasien rinitis alergi dan asma bronkial yang diterapi dengan pengobatan rinitis alergi
menunjukkan tingkat untuk terjadinya kekambuhan pada kejadian asma semakin menurun.
Prognosis umumnya bonam, namun quo ad sanationam dubia ad bonam bila alergen penyebab
dapat dihindari.

15

DAFTAR PUSTAKA
1. Bachert C, Claeys SEM, Tomassen P, Van Zele T, Zhang N. Rhinosinusitis and asthma: A
link for asthma severity. Curr Allergy Asthma Rep 2010; 10:194-201.
2. Fox RW, Lockey RF. The impact of rhinosinusitis on asthma. Curr Allergy and Asthma Rep
2003; 3:513-518.
3. Harsano G, Munasir, Siregar SP. Faktor yang diduga menjadi risiko pada anak dengan risiko
rhinitis alergi di RSU DR. Cipto Mangunkusuma Jakarta. Jurnal Kedokteran Brawijaya
2007; 23(3):116-20.
4. Irsa L. Penyakit alergi saluran pernapasan yang menyertai asma. Sari Pediatri 2005; 7(1):1925.
5. Paramitha OD, Harsoyo N, Setiawan H. Hubungan asma, rhinitis alergik, dermatitis atopic
dengan Ig E spesifik anak usia 6-7 tahun. Sari Pediatri 2013; 14(6):391-7.
6. Smart BA. Is rhinosinusitis a cause of asthma? Clinical Reviews In Allergy and Immunology
2006; 30:153-64
7. Corren J. Allergic rhinitis and asthma: How important is the link ? J Allerg Clin Immunol
1997; 99: 5781-6.
8. Broder I, Higgin MW, Mathews KP, Keller B. Epidemiology of asthma and allergic rhinitis
in atotal community. Tecumseh, Michigan. J Allerg Clin Immunol 1974; 54: 100-10.
9. De Benedictis FM, Bush A. Rhinosinusitis and asthma; Epiphenomenon or causal
association? Chest 1999; 115:550-556.
10. Bratawidjaja KG, Rengganis I. Rhinitis alergi. Dalam: Alergi dasar. Bab 6. Edisi 1. Jakarta:
Interna Publishing; 2009. Hal. 127-56.
11. Soepardi E., Iskandar N, 2004. Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Edisi kelima.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: UI
12. Mulyarjo, 2006. Penanganan Rinitis Alergi Pendekatan Berorientasi pada Simptom,Dalam:
Kumpulan Naskah Simposium Nasional Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Beberapa
Penyakit Penyerta Rinitis Alergi dan Kursus Demo Rinotomi Lateral, Masilektomi dan
Septorinoplasti, Malang : pp10, 2, 1-18.
13. Kaplan AP dan Cauwenberge PV, 2003. Allergic Rhinitis In: GLORIA Global Resources
Allegy Allergic Rhinitis and Allergic Conjunctivitis, Revised Guidelines, Milwaukeem
USA: P.12
14. Roland P, McCluggage CM., Sciinneider GW., 2005. Evaluation and Management of
Allergic Rhinitis: a Guide for Family Physicians. Texas Acad. Fam. Physicians. 1-15.

16

Das könnte Ihnen auch gefallen