Sie sind auf Seite 1von 107

TIDAK DIPERJUALBELIKAN

Proyek Bahan Pustaka Lokal Konten Berbasis Etnis Nusantara


Perpustakaan Nasional, 2011

PUSTAKA BUDAYA & ARSITEKTUR

BUGIS
MAKASSAR

Myrtha Soeroto

Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia

Balai Pustaka

PT (Persero) Penerbitan dan Percetakan


BALAI PUSTAKA
BP No. 5801
Hak pengarang dilindungi undang-undang
Cetakan Pertama - 2003
728.3
S o e Soeroto, Myrtha
b

Bugis M a k a s s a r / M y r t h a Soeroto. - cet. 1 - Jakarta, Balai


Pustaka, 2 0 0 3
x, 92 him. : ilus. ; 28 c m . - (Seri P u s t a k a B u d a y a &
Arsitektur, Seri BP no. 5 8 0 1 ) .
I. Arsitektur - Bugis Makassar. I. Judul.
II. Seri.
ISBN

979-690-119-6

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002


tentang Hak Cipta
Pasal 2
(1)

Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis
setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut
perundang-undangan yang berlaku.

(1)

Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau paling lama 7
(tujuh) tahun dan/atau paling banyak Rp500.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2)

Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau


menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak Cipta
atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 72

Serial b u k u P U S T A K A B U D A Y A & A R S I T E K T U R ini diterbitkan atas


kepedulian dan usaha YAYASAN W A R N A W A R N I I N D O N E S I A , Jakarta
dan m e m p e r o l e h d u k u n g a n dari:
-

D r s . H . M . Y u s u f Kalla

H a m k a Yandu, Y.R., S.E.


Dr. J o h n Palinggi, M.A.
Yudi Komaruddin

Drs. Ibrahim A m b o n g
Y a y a s a n D h a r m a Bhakti S e j a h t e r a

Prof. Dr. H.P. P a r a w a n s a


A m i r S y a m s u d d i n , S.H., M.A.
Pia A l i s y a h b a n a

Ida Tanri A b e n g
Prof. Dr. H. A n w a r Arifin

Penyelaras Bahasa
Desain Sampul
Desain Isi

Huri Yani
Adjie Soesanto
Agus Gatot S.

KATA PENGANTAR

angunan tradisional merupakan bagian yang tidak terpisahkan


dari kehidupan bangsa Indonesia. Adalah suatu kenyataan, bahwa
sebagian besar warga masyarakat yang tinggal di wilayah
pedesaan masih setia menghuni rumah-rumah tradisional.
Oleh karena itu, kehadiran buku seri Pustaka Budaya dan Arsitektur
akan sangat membantu upaya pelestarian arsitektur tradisional di seluruh
Nusantara.

Balai Pustaka menyambut baik terbitnya buku ini, yang diharapkan


memberi manfaat bagi perkembangan arsitektur di tanah air, sekaligus
menjadi cambuk bagi para perencana/arsitek di negeri ini untuk ikut
berperan dalam melestarikan dan mengembangkan arsitektur tradisional
bagi tata kehidupan masa kini.
Balai Pustaka

ybustaka lS>ud.a\\ci & /\isitektui TSu^is /Kaka.9sai

111

"Wahai jiwa bangsaku - aslinya nan elok, agung, lembut, bertakwa


dan berendah hati! Apakah yang telah terjadi padamu dalam
abad-abad yang datar dan menjemukan ini!"
Surat Kartini - 1 Agustus 1901

Buat yang tercinta permata hati Mama


Anto, Ivo, Ivan, Tasha
Teriring pesan
'Betapapun tinggi ilmumu, budi nan luhur sertakan selalu'

ybustaka ^udafa & /hsitektui /Hakassai

GUBERNUR SULAWESI SELATAN


S A M B U T A N
GUBERNUR SULAWESI SELATAN PADA PENERB1TAN BUKU
PUSTAKA BUDAYA DANARSITEKTUR BUGIS
MAKASSAR DAN TORAJA"
Assalamu Alaikum Wr Wb
Kita menyadari bahwa informasi vang lengah bergulir saat ini, membawa
konsckuensi tcrjadinya pcrubahan sosial yang mcndasar, yang tcntunya akan dapat
berpengaruh terhadap kebudayaan. Kepedulian Yayasan Wama-Warni Indonesia
(WW1) untnk menerbitkan Buku "Pustaka Budaya dan Arsitektur Bugis Makassar
dan Toraja" dapat memberi keteladanan bagi masyarakat lainnya, untuk secara
proaktif mengangkat masalah kebudayaan dan sosial.
Perhatian Yayasan WW1 daiani pelestarian kebudayaan, khususnya
kebudayaan lokal melalui penerbitan buku ini sangat saya banggakan dan syukuri
karena dharrna bakli para Pengurus Yayasan WW! kepada Bangsa dan Negara daiam
tncmclopori dan mclakukan upaya tiyata dibidang kebudayaan,
Tidaklab berlebihan, apabila pada kesempalan ini Pemerinlah Daerah Sulawesi
Sclatan mcnyampaikan penghargaan kepada Pengurus Yayasan WW I, yang telali
bekeija keras dan kepedulian terbadap sosial, budaya dan kemasyarakatan.
Kehadiran buku ' Pustaka Budaya dan Arsitektur Bugis Makassar dan
Toraja" minimal akan memberi wacana dan sebagai bahan infonnasi serta inspirasi
bagi masyarakat tentang kehidupan sosial, khususnya budaya-budaya etnis Bugis,
Makassar, Mandar dan Toraja.
Kepada Tim Penyusun Buku "Pustaka Budaya dan Arsitektur Bugis
Makassar dan Toraja" saya sampaikan penghargaan, semoga buku ini dapat
menggugah masyarakat dari berbagai kalangan untuk iebih jauh menggaii potensi
harkat dan martabat budaya bangsa.
Sekian dan terima kasih.

Sambutan
Yayasan Warna-Warni Indonesia
Yayasan Warna Warni Indonesia mengucap syuku r kehadirat Allah
SWT dan terima kasih kepada para donatur atas selesainya penerbitan
buku Pustaka Budaya dan Arsitektur Bugis Makassar ini. Rasa terima
kasih juga kami sampaikan kepada PT. Balai Pustaka (Persero) atas kerja
kerasnya mewujudkan buku ini hingga selesai dengan baik. Izinkanlah
pula saya sampaikan terima kasih kepada Bapak Akbar Tanjung selaku
Penasehat dan Bapak Gubernur Sulawesi Selatan yang telah memberikan
dukungan melalui sambutan tertulisnya.
Adalah menjadi cita-cita luhur Yayasan Warna Warni Indonesia, agar
kiranya kita sebagai bangsa yang majemuk mampu menjiwai budaya
masing-masing sebagai landasan sikap arif menjadi orang Indonesia yang
berfalsafah Bhinneka Tunggal Ika.
Dengan menyajikan tatanan rumah tradisional berdasarkan nilai-nilai
kebudayaan setempat, kami mengharakan dapat membangkitkan rasa
bangga dan syukur sebagai bangsa Indonesia, di mana kita merasakan
rasa kebangsaan itu kini terusik akibat kehidupan berbangsa yang tidak
konstruktif.
Dengan misi berlandasarkan nilai-nilai budaya bangsa Yayasan
Warna Warni Indonesia merasa terpanggil untuk menerbitkan buku serial
ini, disertai harapan apa yang tersaji dalam buku ini mampu mendorong
kesadaran untuk selalu bangga akan jati diri dan identitas budayanya,
sehingga mampu bersikap bijaksana dalam menyikapi gemerlap pesona
modernisasi.

vi

Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasart

PENGANTAR KALAM

ahwa kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai "puncakpuncak" kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia
terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Oleh karena i tu, kebudayaan daerah perlu dibina dan dikembangkan guna memberi warna dan
nuansa yang memperkaya kebudayaan nasional. Dengan membina dan
mengembangkan kebudayaan daerah, akan lestari pula seni arsitektur
tradisionalnya.

Pada kenyataannya sebagian besar karya arsitektur tradisional tidak


terjaga kelestariannya. Proses pewarisan seni bangunan tradisional telah
mengalami stagnasi yang berkepanjangan akibat menyusutnya kesadaran
budaya serta pengaruh adat para pendukung kebudayaannya. Kelangkaan buku tentang arsitektur tradisional turut mempercepat laju kepunahannya.
Berbekal pengalaman sebagai perencana wilayah dan pariwisata,
kami mencoba mengangkat kembali harkat dan martabat rumah tradisional dari setiap wilayah budaya dengan menulis buku serial Pustaka
Budaya dan Arsitektur. Buku ini sengaja dilengkapi sejumlah besar foto
untuk menampilkan segala yang terbaik dan terindah dari seni arsitektur
tradisional. Selain itu, juga untuk mempermudah menjelaskan sesuatu
bentuk arsitektural. Sangatlah diharapkan isi buku ini dapat memperluas
cakrawala budaya masyarakat - terutama para generasi muda - akan
keluhuran kebudayaan lama serta keindahan arsitektur tradisional di
persada Nusantara. Kebanggaan atas kebhinnekaan budaya kiranya
mampu merekatkan lagi semangat persatuan sesama anak bangsa. Kelak,
di tangan mereka terletak tanggung jawab terbentuknya peradaban Indonesia modem di bawah naungan falsafah 'bhinneka tunggal ika'.
Tiada gading yang tak retak, tiada sesuatu yang sempurna. Penulis mohon
maaf atas segala kekurangan atau kesalahan dalam penulisan. Untuk itu,
sangat diharapkan masukan dari para pembaca. Semoga buku ini dapat

memberi manfaat serta memperkaya khazanah buku arsitektur di


Indonesia. Sembah sujud katur swargi Papi Marni tercinta atas warisan
buku-bukunya yang menjadi sumber inspirasi dan meluaskan wawasan.
Beribu terima kasih kepada Bapak Gubernur Sulawesi Selatan yang telah
berkenan memberikan kata sambutan. Atas segala bantuan dan
kemudahan saat menyusun naskah saya aturkan terima kasih kepada:
- Bapak Ir. Akbar Tanjung;
- Dirjen Pariwisata Bapak Drs. Andi Mappisameng dan staf;
- Dirjen Kebudayaan Ibu Prof. Dr. Edi Sedyawati dan staf;
- Dirjen Perhubungan Udara Bapak Zainuddin Sikado dan staf;
- Kakanwil Parpostel Sulawesi Selatan dan staf;
- Kabid Jarahnitra Sulawesi Selatan dan staf;
- Kepala Dinas Pariwisata Sulawesi Selatan;
- Para penulis dan peneliti terdahulu, yang bukunya menjadi referensi
kami.
Walau naskah ini selesai sejak tahun 1995, tidaklah mudah menerbitkannya. Penolakan berbagai pihak dan pembatalan bantuan nyaris mematahkan semangat. Oleh karena itu, perkenalan dengan Yayasan Warna
Warni Indonesia sangatlah saya syukuri. Tak terbilang rasa terima kasih
saya kepada Ibu Krisnina Akbar Tanjung, selaku ketua Yayasan Warna
Warni Indonesia, atas dukungan dan kerja keras beliau dalam menerbitkan
buku serial ini. Adanya kesamaan visi membuat kami seiring setujuan
dalam upaya mengangkat kembali citra dan martabat bangsa melalui
buku-buku pendidikan berbasis kebudayaan. Sebagai penutup terima kasih
saya haturkan kepada berbagai pihak, terutama masyarakat Sulawesi
Selatan, atas sumbangan dan partisipasinya. Semoga kerja sama ini membuahkan hasil seperti yang kita cita-citakan bersama; dan serta apa yang
tersaji dalam buku ini menjadi sumbangsih berharga bagi keutuhan
kebudayaan nasional.

Myrtha Soeroto
Cinere, Agustus 1995/2003

Viii -Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasart

DAFTAR ISI
Kata Pengantar

iii

Sambutan Gubernur Sulawesi Selatan

Sambutan Yayasan Warna-Warni Indonesia

vi

Pengantar Kalam

vii

Pendahuluan

I.

Kebudayaan Bugis Makassar

3
4
6
7

Zaman Prasejarah
Masa Pemerintahan Tomanurung
KerajaanGowa
Pengaruh-PengaruhAsing

II. Sistem Kemasyarakatan


- Sistem Kekerabatan
- Stratifikasi Sosial
- Adat dan Kepercayaan
- Struktur Pemerintahan Adat

21
21
22
22
24

III. Arsitektur Tradisional


- Pola Permukimanan
- PrinsipRumahAdat
- Bangunan Tradisional
- Konstruksi
- SusunanRuang
- RagamHias

31
31
32
33
35
36
37

IV. Langkah-Langkah Pelestarian

73

73
75
76

Modernisasi Rumah Tradisional


Pembangunan Perumahan dan Permukiman
Pariwisata dan Konservasi

PNRI

A DaftarPeta
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Kebudayaan Prasejarah
Pengaruh Tiongkok
Perkembangan Islam di Abad XIII - XVIII
Perkembangan Kawasan Timur Indonesia 1600-1800
Kawasan Prasejarah Leang-leang
Pro vinsi Sulawesi Selatan

B. DaftarGambar
1. Denah dan Tampak Samping Boia Soba'-Bone
2. Denah dan Tampak Depan Boia - 2 lontang
3. Denah dan Tampak Depan Boia - 3 lontang
4. Tampak Depan Saoraja
5. Potongan Melintang Saoraja
6. Skema Konstruksi Atap Saoraja dan Bola
7. Konstruksi Lantai
8. Detail-Detail Kontruksi Lantai
C. Daftar Pustaka

X pustaka TSuda^a & /isitektui Tu.$is /hakassai

PNRI

90

PENDAHULUAN

rsitektur tradisional merupakan salah satu identitas budaya dari


suatu suku bangsa. Dalam perwujudan seni bangunannya terkandung tata nilai, tata laku, dan tata kehidupan masyarakat
tradisional. Jadi, setiap perubahan tata nilai pada masyarakat akan
mempengaruhi perkembangan arsitekturnya. Begitu pula dengan wajah
arsitektur Bugis Makassar. Kehadiran kebudayaan Barat modern segera
membawa kesegaran baru bagi wajah arsitektur tradisional di bumi
Sulawesi Selatan.
Selama berabad-abad beragam kebudayaan telah mempengaruhi
tatanan kehidupan masyarakat Bugis Makassar. Pengaruh agama dan
kebudayaan Islam sangat besar terhadap pergeseran tata nilai tradisi dan
kepercayaan lama. Adalah kebudayaan Barat yang modern yang banyak
memberikan warna pada perkembangan arsitektur tradisionalnya. Proses
akulturasi nilai-nilai baru dengan tata nilai tradisi secara bertahap telah
meningkatkan ke arah penyempurnaan budaya yang terwujud pada seni
arsitekturnya. Oleh sebab itulah keberadaan rumah Bola dan Saoraja tetap
relevan dengan segenap peri kehidupan masyarakat pendukungnya.
Unsur-unsur arsitektur modern yang terkandung di dalam rumah
tradisional adalah nilai tambah yang menjamin kelangsungan arsitektur
tradisional bagi tata kehidupan modern.
Dengan segala kelebihannya, sudah selayaknya arsitektur Bugis
Makassar menjadi "tuan rumah" di wilayah budayanya. Tidak terlalu
sulit untuk tetap mempertahankan dan membina rumah tradisional agar
fungsi dan peranannya senantiasa selaras dengan pergeseran nilai-nilai
sosial budaya masyarakat pendukungnya. Kesederhanaan bentuk
arsitektur serta dipenuhinya faktor kesehatan dan kenyamanan, ialah
faktor utama kemampuan rumah Bola melewati masa transisi budaya.
Selain i tu, sistem kontruksi yang mudah dan murah memudahkan untuk
dikembangkan sesuai dengan pola kehidupan modern. Kesemuanya itu
sangat memenuhi syarat sebuah rumah sederhana bagi rakyat kecil.

PNRI

Adalah kewajiban kita bersama untuk melanjutkan upaya pelestariannya dengan mengangkat kembali harkat dan martabat rumah tradisional di tengah gelombang modernisasi yang memesona. Dengan mengenal
arsitektur Bugis Makassar dan latar belakang budayanya tata nilai
tradisional dapat dibina kembali bagi pola kehidupan modern masa kini
dan mendatang. Untuk mencapai tujuan mulia itu dibutuhkan kesadaran
budaya masyarakatnya. Peran serta para arsitek dan perencana yang
memiliki idealisme akan sangat mendukung keberhasilan setiap langkah
konservasi arsitektur tradisional.

ybu.sta.ka TSudaifa & yAisitektui /Hakassai

PNRI

KEBUDAYAAN BUGIS MAKASSAR


Zaman Prasejarah

ejak masa prasejarah Indonesia hingga awal abad I - VIIM, saat


masuknya peradaban Hind dan pengaruh Tiongkok, Sulawesi
menjadi titik pertemuan berbagai kebudayaan. Garis-garis sejarah
ke masa silam tampak jelas dari temuan sejumlah situs, artefak, dan benda
purbakala lain. Dari berbagai penelitian arkeologi diketahui bahwa
peninggalan kebudayaan zaman Mesolitikum banyak ditemukan di
Provinsi Sulawesi Selatan. Peninggalan terpenting berupa ceruk-ceruk di
dalam batu karang bekas tempat tinggal manusia gua, yang disebut abrs
sous roche.
Tahun 1893 di daerah Lamoncong dijumpai abrs sous roche yang masih
dihuni suku Tala, yang dianggap keturunan langsung penduduk Sulawesi
Selatan zaman prasejarah. Penelitian di tahun 1933 dan 1937 memastikan
bahwa kebudayaan Tala termasuk zaman Mesolitikum. Ditemukan pula
sisa-sisa kebudayaan mesolitikum berupa alat-alat kecil dari batu-batu
indah, disebut 'flakes', di daerah Cabenge' dan Panganreang Tudeya. Di
gua Leang-leang (Maros) ditemukan lukisan gua berupa seekor babi hutan
sedang berlari dan cap-cap tangan berwarna merah. Lukisan tersebut
menandai awal kesenian prasejarah tingkat tinggi di Indonesia. Menurut
Etnolog van Heekeran gambar babi hutan itu berusia 4000 tahun, bertepatan dengan akhir zaman Mesolitikum dan dimulainya zaman
Neolitikum.
Di Indonesia, zaman Neolitikum dikenal sebagai kebudayaan kapak
persegi, di mana manusia mulai mengenal 'rumah', hidup menetap dan
bermasyarakat. Masyarakat pendukung peradaban ini ialah bangsa
Austronesia yang berasal dari India Belakang. Bangsa inilah nenek
moyang langsung bangsa Indonesia yang datang sebagai rumpun bangsa
Melayu Tua (Proto Melayu) dan Melayu Muda (Deutro Melayu). Gelombang pertama bangsa Melayu Tua yang tiba 2000 tahun SM pembawa

PNRI

kebudayaan Neolitikum, sedangkan bangsa Melayu Muda pembawa


kebudayaan Perunggu (Dongson) dan Megalitikum tiba 500 tahun SM.
Pada zaman ini sudah dikenal peralatan pacul, kapak, dan beliung dalam
bentuk sangat seder hana.
Perantauan nenek moyang kita ke kepulauan Indonesia mengarungi
samudra luas membuktikan kemahiran mereka sebagai pelaut ulung dan
berani. Pengetahuan mereka tentang laut, angin, dan musim tentu sudah
sangat luas. Selain keahlian membuat perahu layar, ilmu falak (perbintangan) sebagai pedoman para pelaut sudah dimiliki. Dibuktikan pula perahu
bercadik yang hingga kini banyak dijumpai di seluruh perairan Nusantara,
adaiah hasil kebudayaan asli leluhur bangsa Indonesia. Sekaligus hasil
karya penting kebudayaan neolitikum Indonesia. Dengan perahu itu
semangat jiwa bahari tertanam pada suku-suku bangsa yang mendiami
pesisir pantai, seperti halnya suku-suku Bugis, Makassar, dan Mandar.
Kebudayaan megalit menghasilkan kapak corong, tenunan kulit kayu,
tembikar, dan pahatan patung batu. Pada zaman iniiah manusia mulai
mengenal arti kepercayaan berbentuk pemujaan arwah nenek moyang
(animisme). Oleh karena itu, hasil-hasil kebudayaannya pun berkaitan
dengan upacara pemujaan. Peradaban prasejarah yang dibawa para
leluhur bangsa menjadi dasar kebudayaan asli Indonesia, yang terus
berkembang mengikuti perubahan zaman.
Pemerintahan Tomanurung
Masa prasejarah berakhir dengan kedatangan Tomanurung melalui tiga
tahap, yang diriwayatkan dalam buku Lontara' Sure La Galigo. Tomanurung dianggap pemersatu kebudayaan suku-suku di Sulawesi Selatan
dalam hai kepercayaan bentuk pemerintahan, dan adat istiadat, karena
berhasil menetapkan dasar-dasar ketatanegaraan serta konsep kebudayaan di masa silam.
Konon, Tomanurung ialah utusan Dewata Seuwae (Tuhan Yang Maha
Kuasa) dari kayangan, yang dipercaya sebagai leluhur raja-raja di Sulawesi
Selatan. Sebelum masa itu, suku-suku Bugis, Makassar, dan Mandar,
membentuk kelompok-kelompok kaum yang saling bermusuhan dan
selalu berperang. Akan tetapi, sejak kedatangan Tomanurung yang
membawa ajaran baru wibawa para Matowa (ketua kaum) sirna dan
mereka mulai hidup damai.
Alkisah Tomanurung Tamboro Langi' utusan Dewata Seuwae pertama
kali turun di puncak gunung Latimojong untuk memerintah di bumi.
4 Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasart

PNRI

Pemerintahan Tambora Langi' bersifat absolut, di mana perintah raja tidak


boleh dibantah-sebagaimana pepatah Bugis: Makkeda temi bali, Mette
temi sumpalang. Artinya: "Berkata tidak boleh dibantah, menjawab tidak
boleh disalahkan". Paham kenegaraan ini didasarkan pada paham teokrasi
(ketuhanan), artinya kekuasaan dan perintah diturunkan oleh Tuhan
(dewata) kepada manusia melalui raja sebagai wakil dewa di dunia. Kepemimpinan Tambora Langi' menggambarkan suatu monarkhi absolut,
dengan menetapkan kedua putranya - Sonda Boro dan Laki Padada sebagai pewaris kerajaan sekaligus wakil dewata dalam menjalankan roda
pemerintahan.
Laki Padada adalah Tomanurung Sawerigading yang memimpin
masyarakat Sulawesi Selatan setelah Tambora Langi'. Menurut mitosnya
Laki Padada dikarunia tiga orang putra, yaitu Pattala' Battang, Pattala'
Merang dan Pattala' Bunga. Sawerigading kemudian mendirikan tiga
kerajaan baru. Kerajaan Bugis berpusat di Luwu, kerajaan Makassar
berpusat di Gowa, serta kerajaan Toraja berpusat di Sangalla. la mengangkat Pattala Bunga sebagai Raja di Luwu bergelar Pajung, Pattala
Merrang sebagai raja di Gowa bergelar Somba, dan Pattala Battang
menjadi raja di Sangalla bergelar Puang. Ketiganya dikenal sebagai Tallu
Botto, artinya 'tiga yang utama'. Demikian asal mula raja-raja di bumi
Sulawesi Selatan yang dipercaya berasal dari keturunan langsung
Tomanurung Tambora Langi'.
Meskipun mendirikan kerajaan-kerajaan barn, Tomanurung Sawerigading tetap mengakui kedaulatan kerajaan-kerajaan yang ada, seperti
Soppeng, Wajo, Rappang, serta Batu Lappa. Sistem pemerintahannya
bersifat teokratis absolut, di mana seluruh kerajaan terdahulu tunduk di
bawah kekuasaan raja Sawerigading selaku utusan dewata. Hanya saja
telah dikenal bentuk negara serikat (bondstaat). Sawerigading juga
menjalankan sistem kolonia lisine, dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan
di sekitarnya dan membentuk "Imperium Sulawesi Selatan". Tahap
kedua yang lebih dikenal sebagai zaman Galigo atau zaman Sawerigading
ini merupakan puncak kejayaan kerajaan Bugis Raya.
Tahap ketiga ditandai dengan turunnya beberapa Tomanurung untuk
mengatasi kekacauan di bumi Sulawesi Selatan. Lontara' La Galigo
menyebutkan para Tomanurung diturunkan di Gowa (Tamalatea), di Bone
(Matajang), di Luwu di Kampung Ussu (dekat Malili), di Soppeng
(Sekkanjili), di Pare-pare (Bacukiki), dan tempat-tempat lainnya.
Dikisahkan Tomanurung turun ke dunia dengan membawa tanda-tanda

PNRI

kebesaran, disebut arajang (Bugis) atau kalompowang (Makassar). Arajang


dan Kalompowang ini dimuliakan dan dipuja rakyat sebagai kepercayaan
terhadap para leluhur raja (Tomanurung). Arajang terdapat di setiap
kerajaan, seperti Luwu, Gowa, Bone, Soppeng, Wajo, Enrekang, dan
kerajaan lainnya.
Konon, Tomanurung yang turun di bukit Tamalatea (Gowa), membawa dua kelewang yang kini menjadi arajang di Gowa. Tomanurung
MattasilompoE dari Bone membawa arajang berupa payung, kipas, puan
(tempat sirih), dan bender. MattasilompoE menjadi raja Bone dan
menyusun undang-undang, membentuk pengadilan serta adat istiadat.
Tomanurung Simpurusiang di Luwu juga membawa arajang berupa rantai
tangan, cincin, destar, dan pengikat keris.
Sistem pemerintahan tahap ketiga tetap bercorak monarkhi teokratis,
tetapi mulai menonjolkan sifat demokrasi. Kekuasaan absolut raja mulai
dikurangi dengan dibentuknya Dewan Pemerintahan yang terdiri atas
raja-raja dari seluruh kerajaan kecil yang ada. Pandangan demokratis ini
tercermin pada pepatah Ana'mang bainemmang iapa nakkulle' nipela, punna
buttaya angkeroki. Artinya, "Anak dan istri kami hanya dapat disingkirkan
jika rakyat menghendaki".
Kerajaan Gowa
Sejarah kejayaan kerajaan Gowa berawal sekitar abad ke-15 M pada saat
pemerintahan Raja Tunapa Risi' Kallona. Kerajaan ini menguasai perdagangan dengan Jawa, Malaka, Siam, dan Maluku. Banyak keputusan
dan perintah Baginda yang membuat Gowa tersohor hingga ke mancanegara. Raja membagi wilayah negara dalam distrik-distrik, dan membuat
undang-undang pelayaran dan pelabuhan. la membangun benteng di
Gowa bernama Bataya ri Gowa. Peninggalan terpenting sang raja ialah
perintahnya kepada Daeng Pamatte untuk membuat aksara, yang hingga
kini dikenal sebagai aksara Bugis. Aksara tersebut dinamai tentara', karena
ditulis di atas daun lontar. Berkat tentara' Bugis inilah ahli-ahli Etnologi
dapat mempelajari sejarah kebudayaan masyarakat Bugis Makassar berabad-abad silam.
Baginda digantikan putra mahkota - Imario Gau Tunipallangga yang memperluas wilayah jajahannya. Selain itu, raja juga memajukan
industri kerajinan rakyat dan seni bangunan sehingga dikenal ahli
bangunan tradisional Panrita Bolla dan Panre Bola. Para pandai besi belajar
membuat senapan dan meriam, yang kemudian ditempatkan di bentengbenteng Gowa, Somba Opu, dan Ujung Pandang.
6 Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasart

PNRI

Kemasyhuran kerajaan Gowa menarik berbagai bangsa untuk berdagang,


seperti bangsa Jawa dan Mela y u yang datang tahun 1512. Bangsa Portugis
datang tahun 1538 dan menyebarkan agama Kristen ke daerah
pedalaman di wilayah Tana Toraja. Awal abad ke-17 barulah agama Islam
masuk ke Sulawesi Selatan dibawa oleh para ulama dari tanah Minangkabau. Adalah Raja Gowa dan Raja Tallo yang pertama-tama memeluk
agama Islam tahun 1605. Disusul raja Sawitto tahun 1607, raja Suppa
tahun 1608, dan raja Soppeng tahun 1609. Mesjid pertama didirikan tahun
1607 di Tallo. Agama Islam diterima di Wajo tahun 1610 dan terakhir
diterima di Bone tahun 1611. Pada tahun 1632 sebagian besar suku-suku
bangsa Bugis Makassar Mandar telah memeluk agama Islam. Demikian
besar pengaruh ajaran Islam terhadap adat dan budaya lama sehingga
menjadi pedoman hidup segenap suku di jazirah Sulawesi Selatan.
Walaupun begitu hanya sedikit bangunan mesjid lama yang punya nilai
seni arsitektural. Terlebih lagi tak satu pun desain mesjid yang bernuansa
arsitektur tradisional. Hal ini bertolak belakang dengan kondisi di Ranah
Minang yang sarat dengan bangunan masjid bernilai arsitektur.
Yang istimewa justru bentuk makam raja-raja Islam yang tidak ada
duanya di Indonesia. Makam batu raja-raja Tallo dan Gowa di Tamallate,
Watanlamuru, dan Bontobiraeng yang berbentuk jirat dengan gaya
arsitektur candi menandai kuatnya pengaruh Hindu. Yang terindah ialah
cungkup jirat pada makam raja Tallo bernama Tumenanga ri
Makkowajang dari medio - abad 16. Makam Sultan Hasanuddin raja
Gowa akhir abad ke-17 juga dihiasi cungkup jirat. Pengaruh arsitektur
modern pada makam raja-raja Gowa yang berbentuk kubah piramid
bahkan hanya ditemukan di desa Katangka. Di dalam kompleks makam
terdapat sejumlah cungkup kubah piramid mengitari bangunan masjid
Al Hilal. Masjid tertua di Sungguminasa tersebut dibangun tahun 1603
oleh Sultan Alauddin I, raja Gowa XIV.

Pengaruh-Pengaruh Asing
Peta penyebaran pera daban Hindu dan peta pengaruh Tiongkok menunjukkan, betapa pentingnya peranan selat Sulawesi sebagai jalur
penyebaran bangsa-bangsa dan perdagangan di masa lampau. Wilayah
kerajaan Gowa, Luwu, dan Bone yang menguasai seluruh kawasan pantai
Sulawesi Selatan sangat memudahkan kontak antarbangsa-bangsa dengan
beragam kebudayaan. Peradaban asing yang datang silih berganti
semenjak zaman prasejarah tidak menyulitkan masyarakatnya mem-

PNRI

bentuk kebudayaan yang mapan (endogenous). Sejarah kebudayaan


Bugis Makassar mencatat peningkatan peradaban secara bertahap sampai
masuknya syiar Islam. Saat itulah kepercayaan kepada dewa-dewa dan
roh leluhur sirna tak berbekas, berganti dengan pengakuan atas Tuhan
Yang Maha Esa.
Kebudayaan barat yang pertama kali dibawa bangsa Portugis ke
Sulawesi Selatan (abad ke-16) memperkenalkan tata cara perdagangan
yang mempengaruhi kehidupan penduduk yang bermukim di pesisir
pantai. Selanjutnya, kedatangan bangsa Belanda dengan teknologi modern
membawa perubahan mendasar pada desain arsitektur tradisional yang
otentik. Rumah adat yang hanya diperuntukkan bagi kaum keluarga saja,
mengharuskan adanya ruangan terpisah untuk tamu asing. Maka dibuat
lego-lego (beranda) di antara tangga dan pintu rumah. Nilai-nilai kebersihan dan kesehatan juga ditanggapi positif dengan dibuatnya dapureng
(dapur) sebagai bagian dari rumah tinggal. Kedua fungsi baru itu ternyata
dapat diterima sebagai awal perkembangan arsitektur tradisional yang
otentik. Proses pembaruan masih berlanjut dengan tambahan bagian
tamping, di mana terletak ruang-ruang baru sesuai dengan kebutuhan
penghuninya, seperti kamar mandi, dan gudang.
Perubahan bentuk rumah tradisional menjadi tiga bagian (publik,
pribadi, dan servis) menjadi modal utama bagi perkembangan arsitektur
di masa depan. Tentu butuh waktu untuk memadupadankan lego-lego,
tamping, dan rumah induk ke dalam bentuk yang serasi dan seimbang.
Disayangkan perubahan status sebagai bangsa terjajah menyebabkan
terhentinya proses perkembangan arsitektur Bugis Makassar.
Masuknya agama Islam serta-merta menghapus nilai-nilai kepercayaan lama. Syiar Islam yang menitik-beratkan pada syari'ah dengan cepat
merasuki tradisi dan kebudayaan asli daerah. Semua upacara ritual dan
pemujaan leluhur mulai ditinggalkan, termasuk upacara membangun
rumah. Sebagai gantinya sejak abad ke-17 mulai didirikan bangunan
mesjid di penjuru negeri. Namun, hai itu tidak mengubah fungsi
bangunan tradisional sebagai tempat berteduh yang nyaman bagi sukusuku di Sulawesi Selatan, sehingga mampu menembus perubahan zaman
selama berabad-abad. Setiap zaman akan melahirkan arsitekturnya
sendiri, tetapi haruslah tetap mengakar pada kepribadian bangsa.
Wawasan kebudayaan menjadi penting bagi para arsitek dan perencana
dalam proses pelestarian arsitektur tradisional.
8 Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasart

PNRI

PNRI
S u m b e r : Atlas Sedjarah, Djambatan, 1956

PNRI
Sumber: Atlas Sejarah,

Djambatan, 1956

PNRI

SAMUDERA

>ta rad a

INDONSIA

LAUT

(INDIA)

Malaju

MALA.

Patn

LAUTAN

md|ungpi

Pontonak)

onorukon

'Bandjor^j^sin
Marip

Berunaj^

'S ANTARA

SEL AT AN

Sambas

P. Naturia

TIONGKOK

. IGITAQU

ixiton

SU LA WESi

'Ambon
P Banda

iahera

Sumber: Atlas Sejarah, Djambatan, 1956

Titnar

Wetar,

Ternate:

MINDANA

12 Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasart

PNRI

Peta 5: Kawasan Prasejarah


Leng-leang, Maros
S e j u m l a h situs z a m a n m e s o l i t i k u m
dan neolitikum ditemukan di gua-gua
batu Leang-Leang. 'Abris sous roche'
di gua Bola Batu (Lamoncong) yang
dihuni suku Toaia hingga tahun 1902.
Gambar telapak-telapak tangan
terdapat di gua Pattae, Burung, Jari,
Sarpia, dan Gua Karassa.
Lukisan babi hutan ditemukan di gua
Pattae (atas).
Sumber: Laporan Tahunan Dinas
Purbakala RI, 1950

pustaka TS>uAa\[a S. yAisitektui TSu^is /f\.nka9sai

PNRI

Makam-makam kuno bercorak Hindu. Makam dari batu berbentuk


jirat dihiasi lekuk-liku arsitektur candi Hindu Jawa, tampak pada
makam Sultan Hasanuddin (atas). Cungkup jirat terindah terdapat
di makam raja Tallo (bawah). Kubur yang asli berada di bawah
cungkup (lihat profil potongan jirat)
Sumber: Direktorat Purbakala

Muka

14

^ustakafudaiia &/hsitektutfufis/hakassat

PNRI

Penampang Lintang

Makam Aru Palaka (raja Bone) yang didirikan Belanda di desa Bontobiraeng berbentuk Mausoleum
dengan arsitektur Barat modern (atas). Mausoleum adaiah penghargaan tertinggi kepada seseorang
yang sangat berjasa bagi negara. Bagi bangsa Belanda Aru Palaka berjasa besar dalam menundukkan
Sultan Hasanuddin, raja Gowa. Berbagai jenis nisan batu bercorak seni Hindu pada sejumlah makam
Islam di Sulawesi Selatan (bawah)
Sumber: Direktorat Purbakala

PustakaBudaya&ArsitekturBugisMak

PNRI

Konstruksi modern pintu gerbang makam raja-raja Gowa di Katangka (atas). Cungkup makam
yang khas berbentuk kubah piramid juga pengaruh arsitektur Barat modern (bawah)

Sumber: Kompas, Januari 2002

16 Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasart

PNRI

M a k a m raja-raja G o w a dsekeliling mesjid Al Hilal di K a t a n g k a . Konstruksi s u s u n a n bata


bangunan mesjid dipengaruhi arsitektur Barat. Pengaruh Minangkabau tampak pada d e n a h
bujur sangkar dan atap tumpang (bawah). Mesjid berdinding batu kali di tengah kota Watampone.
Bangunan bujur sangkar beratap susun tumpang 3 susun banyak dipengaruhi arsitektur mesjid
di Minangkabau (atas)

Sumber: Direktorat Purbakala

Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis M

PNRI

Arsitektur tradisional yang otentik - rumah Bola 3 lontang. Ketiga rumah ni masih utuh tanpa
ruang tambahan, seperti lego-lego atau dapureng. Ada lari-larian (gang) yang menghubungkan tangga ke ruang dalam (atas). Rumah tanpa lari-larian, tangga dari samping langsung
ke ruang dalam (bawah)

18

Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasart

PNRI

Arsitektur tradisional otentik yang mengalami pembaruan karena pengaruh budaya Barat. Saoraja 4
lontang yang diperbarui tanpa mengganggu bentuk aslinya. Ruang-ruang baru (dapur dan lainnya) dibuat
di bagian belakang rumah. Tangga iangsung ke ruang dalam, tanpa lego-lego, tamping dan lari-larian,
terkesan 'menempel' pada bangunan asli, dan merusak tampak keseluruhan (bawah)

PNRI

Rumah tradisional yang dilengkapi lego-lego. Fungsi lego-lego yang luas untuk ruang keluarga dan ruang tamu
(atas), untuk menerima tamu (bawah), atau sekadar ruang transisi memasuki ruang dalam rumah (kanan)

2 0P u s t a k aB u d a y a&A r s i t e k t u rB u g i sM a k a s a r t

PNRI

SISTEM KEMASYARAKATAN
Sistem Kekerabatan

eluarga batih (inti) terdiri atas ayah, ibu, dan anak, yang disebut

sianang (maranak). Sistem kekerabatannya menganut garis bilateral atau parental, yang mengakui keluarga luas. Keluarga luas

meliputi semua orang yang mempunyai hubungan darah jauh dan dekat,
yang disebut seajing atau sumpung lolo (hati bersambung). Keluarga dekat
disebut seajing mereppe dan keluarga jauh disebut seajing mabela. Keluarga
suami atau istri yang tidak ada hubungan darah, disebut assitepa
teppanggang. Hubungan kekerabatan ini disebut Sicoe Coereng. Sistem kekeluargaan ini sangat erat, sehingga selain bapak, ibu, dan anak-anak,
mereka juga bersedia menampung saudara, keponakan, dan kedua orang
tua mereka dalam sa tu rumah yang menjadi tanggung jawab ayah. Dalam
hai pernikahan mereka menganut pedoman memilih jodoh yang disebut
sitongkok atau sikapu (artinya sepadan), terutama status sosialnya. Jodoh
diutamakan dari status sosial yang sama dan masih memiliki hubungan
darah agar terjamin bibit, bebet, dan bobotnya. Pernikahan dengan sepupu
satu kali atau dua kali dianggap paling ideal, sedangkan pada sepupu
tiga kali disebut siparewekenna, artinya diperdekatkan kembali.
Tradisi kehidupan kolektif yang saling menolong juga dianut suku
Bugis Makassar. Mereka mengenal adat siturut-turungi, artinya datang
untuk membantu tanpa diperintah atau dipanggil. Asas gotong royong
ini sangat meringankan pada saat seseorang punya hajat membangun
rumah, mengadakan perhelatan, atau mengerjakan sawah. Dalam kerja
kolektif tersebut seluruh warga desa akan memberikan bantuan tanpa
pamrih baik morii maupun materiil.

PNRI

Stratifikasi Sosial
Sejak kedatangan Tomanurung diberlakukan strafikasi sosial yang
membentuk masyarakat feodal (arsitokrat) pada suku Bugis Makassar.
Gelar kebangsawanan yang dipakai, seperti Andi, Daeng, dan Karaeng,
masih berlaku hingga kini. Raja dipilih dari kasta tertinggi (golongan
bangsa wan), yang berasal dari keturunan langsung Tomanurung. Setiap
daerah memiliki perisai yang berbeda-beda.
Suku Bugis di wilayah Bone dan Luwu terbagi atas tiga tingkatan sosial,
yaitu
1. Anakarung To Bone (bangsawan Bone)
- Anakarung Matowa (bangsawan berkuasa)
- Anakarang (bangsawan tak berkuasa);
2. To Maradeka (orang merdeka)
- To Deceng (kepala kaum/tuang)
- To Sama' (rakyat biasa);
3. Ata (hamba sahaya).
Tingkatan sosial pada suku Makasar di wilayah Gowa, meliputi
1. Anakarung (raja dan keluarganya),
2. Karaeng (bangsawan pertama),
3. Daeng (bangsawan kedua),
4. To Maradeka (orang merdeka), dan
5. Ata (rakyat).
Sistem feodalisme membedakan besaran dan kelengkapan rumah
tradisional meskipun bentuknya sama. Rakyat biasa hanya boleh
membangun rumah 3 lontang dan tidak boleh memakai ragam hias.
Tingkatan kasta juga mempengaruhi kehidupan politik dan kemasyarakatan. Contohnya seorang pemimpin harus selalu dari kalangan bangsawan
keturunan Tomanurung.
Adat dan Kepercayaan
Jauh sebelum masuknya agama-agama baru, suku-suku Bugis Makassar
dan Mandar menganut kepercayaan lama Attau Riolong, yang berakar
pada aliran animisme dan dipengaruhi agama Hindu. Attau Riolong
(artinya agama leluhur) mengajarkan kepercayaan kepada dewa-dewa
dalam kehidupan manusia. Mereka memuja tiga dewa, yaitu Dewa Langi'
yang berada di langit, Dewa Malino berada di bumi, dan Dewa Uwae
22PustakaBudaya&ArsitekturBugisMakasart

PNRI

berada di lautan. Dewa-dewa ini di bawah perintah Dewata Seuwae


sebagai dewa tertinggi.
Persembahan pada Dewa Langi' diadakan di loteng rumah (rakkeang)
dengan upacara massorong sokko patanrupa. Sesajen pada Dewa Malino
diadakan di tikungan jalan atau pada batu besar atau lainnya dengan
upacara sokko patanrupa. Begitu juga upacara untuk Dewa Uwae yang
sesajennya diadakan di sungai.
Tata kehidupan masyarakat Bugis Makassar dan Mandar selalu
diwarnai upacara seremonial dan bersifat komunal, yang terkait dengan
mata pencaharian mereka sebagai nelayan (pakkaja) dan petani (malloan).
Menangkap ikan didahului upacara memohon restu Dewa Uwae. Upacara
di laut disebut maccera tasik, sedang upacara di danau disebut maccera
tappareng. Persiapan peralatan penangkap ikan diawali upacara maccera
parewa. Upacara tudang sipulung bagi Dewa Langi' mengawali saat turun
ke sawah. Untuk mengolah sawah didahului upacara mappalili sebagai
awal menarikbajak keramat (rakkala arajang) pada sawah kerajaan. Pada
pesta panen berlangsung upacara syukuran yang dimeriahkan dengan
mappadendang, yaitu beramai-ramai menumbuk padi di lesung.
Berkaitan dengan lingkungan hidup Attau Riolong mengajarkan
pandangan kosmologis, bahwa alam semesta (makrokosmos) bersusun
tiga tingkat, yaitu: Boting langi' atau alam atas, Ale kawa atau alam tengah,
dan Uri liyu atau alam bawah.
Boting langi', ialah pusat dari ketiga bagian alam semesta-tempat
bersemayam Dewata Seuwae. Antara makrokosmos dan mikrokosmos
harus seimbang agar kelestarian lingkungan hidup tetap terpelihara dan
terhindar dari berbagai malapetaka. Kearifan tradisional yang terkait
dengan 'pembangunan berwawasan lingkungan' menjadi pedoman utama
para arsitek Panrita Boia dalam melahirkan karya-karya arsitekturnya.
Kontruksi rumah panggung Saoraja dan Boia sebagai mikrokosmos, ialah
bentuk tanggung jawab moral sang arsitek tradisional yang tahu menghargai dan menghormati alam lingkungannya (makrokosmos).
Seiring dengan berkembangnya peradaban, kepercayaan Attau
Riolong mulai sirna dan diganti dengan pengakuan adanya satu Tuhan,
yaitu Lapatoto. Dikisahkan Lapototo menurunkan anaknya ke dunia
bernama Riulo'na Mannagae bergelar Mannurunge Ri Awapettung.
Riwayat ini tertulis dalam buku syair I La Galigo berbahasa Bugis kuno.
Perlu diketahui syair I La Galigo diakui sebagai hasil karya seni susastra

PNRI

Bugis yang termasuk "kesusastraan dunia" terbesar. Syairnya berbentuk


simili (prosa liris) yang disenandungkan dengan iringan rebab (pakesokeso). Sinrili adaiah perpaduan seni sastra dan seni suara yang bermutu
tinggi, dan sampai sekarang masih dapat dinikmati keindahan bunyi dan
iramanya.
Suku Bugis juga menganut falsafah Sulapa Eppana Ogie, yang artinya
segi empat orang Bugis. Maksudnya segala sesuatu baru sempurna jika
memiliki empat segi. Itu sebabnya alam raya dianggap segi empat dengan
empat mata angin yang sama nilai ritualnya. Bentuk rumah tinggal harus
segi empat, tetapi boleh menghadap ke empat penjuru. Begitu pula dengan
seorang pemimpin yang dipilih. la baru dianggap sempurna jika memenuhi empat syarat, yaitu bangsawan, cerdik pandai, kaya, dan gagah
berani.

Struktur Pemerintahan Adat


Sistem ketatanegaraan masyarakat Bugis Makassar berpedoman pada
lima ketentuan, yaitu Adat, Rappang (undang-undang), Pengadilan, Wari'
(susunan derajat), dan Syara' (aturan menurut agama Islam). Sepanjang
penelitian ahli-ahli sejarah, adat isitadat menjadi induk (sumber) bagi dasardasar pemerintahan kerajaan di bumi Sulawesi Selatan.
Konon Tomanurung MattasilompoE yang turun di Bone membawa
serta peraturan perundangan dan adat istiadat bagi masyarakat Bugis
Makassar. Kegiatan adat menyangkut musyawarah dan upacara komunal
yang melibatkan seluruh warga desa diselenggarakan dibaiai saropa/
kalampang, sedang bagi keluarga bangsawan di baiai baruga. Syara'
ditambahkan sejak diterimanya ajaran Islam. Putusan-putusan Syara'
menjadi seruan yang harus didengar oleh Dewan Hadat.
Sejak dahulu kala tiga kerajaan terbesar (Luwu, Gowa, Bone) telah
melaksanakan sistem Dewan. Seyogianya sistem tata negara masa silam
yang pernah mengantar kita ke puncak kejayaan dikaji dan dipelajari
kembali. Apalagi Trias Politika dalam sistem pemerintahan sekarang acap
kali menimbulkan keracunan dan tumpang tindih antara tugas-tugas
lgislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Luwu adalah kerajaan tertua dan merupakan pusat pertumbuhan
peradaban suku Bugis. Kerajaan Luwu diperintah oleh seorang raja
bergelar Datu. Raja Luwu hanya sebagai lambang dan tidak memiliki
kekuasaan. Semua urusan pemerintahan dijalankan oleh lima Opu (Hadat
24 Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasart

PNRI

Lima), yang masing-masing memimpin kerajaan kecil di dalam wilayah


kerajaan Luwu. Dewan kerajaan (kabinet) yang terdiri atas lima Opu
dibantu oleh sembilan Opu yang bertindak serupa parlemen (DPR). Para
anggota Dewan lima Opu dan Dewan sembilan Opu dipilih dari kasta
bangsawan.
Gowa adalah pusat perkembangan peradaban suku Makassar.
Menurut lontara' Bugis kerajaan Gowa dipimpin seorang Sombaja yang
mewakili Dewa Kahyangan. Raja Gowa dibantu oleh sembilan orang
Batesalapang (Hadat sembilan), yang berperan sebagai dewan
pemerintahan kerajaan (eksekutif) dengan raja selaku ketua eksekutif.
Segala perintah langsung dari raja dan dewan kerajaan kepada kepalakepala anak negeri. Dewan Hadat Sembilan masing-masing mengepalai
urusan tertentu, semacam departemen. Semua perintah dan larangan atas
ama Sombaja. Jadi, ada perbedaan sistem ketatanegaraan dengan
kerajaan Luwu.
Kerajaan Bone dipimpin oleh Arung Pitu (Hadat Tujuh), yang berhak
membuat dan menjalankan peraturan serta menghukum. Pemimpin
masyarakat Islam disebut Kalief. la adalah Ketua Syara', yang anggotanya
adalah para imam yang berdomisili di tempat kedudukan kepala wanua
(dusun). Tiga kekuasaan legisla tif eksekutif yudikatif (Trias Politica) dijabat
langsung oleh dewan tersebut. Kekuasaan dewan termasuk memilih raja
baru serta menyatakan perang. Raja adalah ketua dewan yang tidak dapat
bertindak tanpa persetujuan dewan kerajaan.

PNRI

Saoraja Makassar kasta Anakarung dengan lima timpa laja. Istana Sultn Hasanuddin raja Gowa dilengkapi
anjong bola, kini menjadi Museum Baila Lompoa (atas). Saoraja Bugis kasta bangsawan Bone tanpa ornamen
anjong bola dengan empat timba sella (bawah). Dua monumen sejarah masa silam yang dilestarikan untuk
menggugah rasa bangga dan kecintaan akan kebesaran leluhur bangsa.

26Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasart

PNRI

PNRI

PNRI

PNRI

PNRI

PNRI

PNRI

PNRI

PNRI

PNRI

PNRI

PNRI

hias Bugis tidak mengenal warna. Semua ornamen dan ukiran dari bahan
kayu yang sama sekali tidak berwarna.
Tidak ada ornamen atau ukiran yang mengandung nilai spiritual
pemujaan. Selain hanya untuk keindahan, beberapa ragam hias dianggap
punya makna dalam kehidupan nyata. Salah satunya ialah bunga
parengreng (bunga melati). Tumbuhan ini menjalar tidak putus-putus,
diumpamakan rezeki yang terus-menerus. Ornamen ini biasanya
ditempatkan pada timpa laja, induk tangga atau papan pintu. Dari dunia
fauna terdapat tiga bentuk yang banyak dipakai, yaitu kepala kerbau,
ayam jantan, dan naga.
Ayam jantan atau manuk, lambang keberanian yang harus diteladani.
Ukiran ini ditempatkan di tepi bubungan atap. Ukiran bermotif naga ditempatkan pada pucuk bubungan atau induk tangga. Naga melambangkan kekuatan yang mahadahsyat. Menurut kepercayaan, jika sang naga
murka akan menelan bulan dan matahari sehingga terjadi gerhana. Oleh
karena itu, memasang ornamen ini harus tepat arahnya. Yang utama ialah,
kepala kerbau sebagai lambang status sosial tertinggi (Anakarung) dan
simbol kekayaan, disebut anjong bola. Oleh karena itu, hanya diperuntukkan bagi Saoraja keluarga raja, dan harus dipasang di puncak timpa laja/
timba sella.

38PustakaBudaya&ArsitekturBugisMakasart

PNRI

Dua bentuk baruga yang sudah dimodifikasi sebagai bangunan permanen yang fungsinya sejenis sesuai dengan
perkembangan zaman. Bangunan pusat informasi wisatawan di desa Batu-batu, dinamai Baruga Sao Mario
(atas). Baruga Somba Opu digunakan sebagai ruang pertemuan, ruang rapai atau resepsi (bawah).

PNRI

"i

4 0P u s t a k aB u d a y a&A r s i t e k t u rB u g i sM a k a s a r t

PNRI

Suasana permukiman tradisional suku Bugis Makassar


Mandar yang berkembang sepanjang jalan raya di seluruh
provinsi. Ini membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat
Sulawesi Selatan masih mempertahankan keberadaan
rumah tradisionalnya, seperti tampak pada deretan
p e r u m a h a n p e n d u d u k di daerah S o p p e n g r i a j a (bawah) di
wilayah Bulukumba (atas)

PNRI

Konstruksi bangunan pada


rumah-rumah adat Makassar
(atas), M a n d a r ( t e n g a h ) , dan
Bugis
(bawah)
merupakan
wujud nyata prinsip pemb a n g u n a n b e r w a w a s a n lingkungan dari para arsitek Panrita
Bola. Kearifan tradisional sejak
berabad lampau dalam memellhara k e l e s t a r i a n l i n g k u n g a n
hidup umat manusia seharusnya
menjadi amanat bagi generasi
kini dan mendatang

4 2P u s t a k aB u d a y a&A r s i t e k t u rB u g i sM a k a s a r t t

PNRI

Kantor G u b e r n u r S u l a w e s i S e l a t a n d i b a n g u n m e n g h a d a p i arsitektur t r a d i s i o n a l Bugis


Makassar. Kolom-kolom luar di lantai dasar terbebas dari dinding sehingga kesan rumah
panggung lebih terlihat. Pada bubungan atap bangunan ditempatkan hiasan kepala naga
sebagai perlambang 'istana' pimpinan daerah. Apa susun pada entrance dan tangga utama
dengan lima timpa laja melambangkan bangunan paling utama di seluruh provinsi

43

PNRI

Dua rumah tradisional yang dirancang dengan pendekatan tatanan modern. Susunan ruang masa kini tampak
pada letak tangga di sisi jalan mobil. Lego-lego berfungsi sebagai beranda dengan lantai lebih rendah daripada
lantai rumah (bawah)
Prinsip segi empat dihilangkan untuk memenuhi kebutuhan ruang penghuni, tetapi prinsip rumah panggung dari
kayu tidak berubah. Atap tangga dan lego-lego menjadi satu. Modifikasi atap pada rumah induk dengan memakai
jurai-jurai dan atap tangga untuk carport (atas)

44 Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasart

PNRI

Rumah Bolla/Balla menampilkan arsitektur tradisional Bugis Makassar yang sudah dimodernisasi.
Lego-lego dan tamping menyatu dengan rumah induk sehingga atap pelana yang utuh. Keaslian tautau renring (dinding) dan atap bambu tampil harmonis dan seimbang walau agak rumit membuatnya
(atas). Penggunaan atap asbes jauh lebih praktis, tetapi mengurangi keindahan rumah adat (bawah)

PNRI

#N
I

Falsafah 'Sulapa eppana ogie' atau 'segi empat orang Bugis' tetap dipertahankan pada bentuk dasar
bangunan segi empat Salassa dan Balla m o d e m ini. Kemudian alam atas (boting langi') diwujudkan
dengan menonjolkan bentuk atap yang tinggi dan hiasan dibubungannya.

4 6P u s t a k aB u d a y a&A r s i t e k t u rB u g i sM a k a s a r t

PNRI

Baruga tradisional yang khusus dibangun sebagai tempat upacara adat pada acara pernikahan
keluarga bangsawan Bone

PNRI

Kini banyak masyarakat Bugis Makassar dari perantauan yang kembali membangun rumah tradisional di tanah
kelahirannya, seiring dengan gencarnya seruan pemerintah untuk melestarikan kebudayaan daerah. Rumah
tradsional yang modern, selaras dengan perkembangan peri kehidupan masyarakat pendukungnya, menjadi
dambaan dan sekaiigus tantangan bagi para perencana di negara ini

48Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasart

PNRI

Beberapa villa pribadi yang mencoba mengadaptasi arsitektur rumah panggung tradisional untuk konsep
bangunan bertingkat. Kedua desain tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Akan tetapi, hai itu tidaklah
mengurangi penghargaan atas upaya sang arsitek dalam melestarikan seni budaya bangsa

PNRI

Modernisas! bentuk atap tangga yang bertingkat tiga pada Saoraja Bugis (Sao Mario).
T a n g g a m e n u j u l e g o - l e g o s e b e l u m memasuki latte (atas). Atap tangga dan legolego pada Saoraja Mandar (Boyang Mario)
merupakan lanjutan atap pelana rumah
induk (bawah)

5 0P u s t a k aB u d a y a&A r s i t e k t u rB u g i sM a k a s a r t

PNRI

Detail ragam hias, ukiran dan ornamen pada bagian atap-lisplank, timpa laja serta lambang kebangsawanan
kepala naga yang ada pada rumah adat Sao Mario (atas). Detail ukiran serupa menghiasi atap Baruga yang
dilengkapi aksara Bugis dan simbol kuda sembrani di puncak atapnya (bawah)

PNRI

52PustakaBudaya&ArsitekturBugisMakasart

PNRI

Berbagai bangunan cottage, bungalow, dan villa di kawasan wisata pantai Bira berhasil mengadaptasi arsitektur
tradisional Bugis Makassar. Bungalow-bungalow bertingkat dengan lego-lego menghadap ke laut lepas (atas)
serta deretan cottage dengan teras beratap datar, tidak mengurangi citra tradisionalnya

Pustaka

PNRI

Budaya

&

Arsitektur

Bugis

Makasart53

Penampang tiang bersegi delapan hanya boleh


dipakai pada Saoraja A n a k a r u n g . T i a n g - t i a n g
ditegakkan di atas umpak betn pengganti umpak
batu (kanan). Detail lego-lego yang sarat dengan
papan ukir khas Bugis Makassar, s e h a r u s n y a
diimbang dengan pagar tepi yang bukan ukiran
maksinal (bawah).

54 Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasart

PNRI

Atap bertingkat adalah ciri khas gaya arsitektur Bugis Luwu. Letak tangga dan lego-lego di depan rumah
induk di bawah atap bertingkat (atas). Lego-lego dan tangga terletak di samping rumah beratap tingkat
(bawah)

PNRI

Saoraja dari Bugis di kawasan wisata Batu-batu menampilkan komposisi bidang yang dinamis. Kesatuan bentuk,
komposisi, provinsi, harmoni, keindahan, dan kenyamanan terpancar dari karya tersebut. Sebuah karya arsitektur
para Panrita Bola yang layak dipelihara kelestariannya

56 Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasart

PNRI

Bentuk atap tangga khas arsitektur Makassar dari Saoraja Istana Hasanuddin di
Sungguminasa (bawah) yang serupa dengan arsitektur Bugis dari rumah adat
Balla Mario di Soppeng (atas). Atap yang sama pada rumah penduduk di kota
Pangkajene (kiri)

PNRI

PNRI

Gambar 1: Denah dan tampak samping rekonstruksi pemugaran Bola Soba'


Sumber: Bola Soba' Sejarah dan Pemugarannya

PNRI

Bola Soba' peninggalan bersejarah bekas rumah putra mahkota kerajaan Bone bergelar Petta P u n g g a w a E y a n g dldirikan tahun 1890.
P e m u g a r a n berlangsung antara tahun 1 9 7 8 - 1 9 8 1 . Tangga tanpa atap dan letaknya di luar lego-lego

Tampak Depan

Gambar 2: Denah dan Tampak depan rumah Bola 2


lontang 12 tiang. Rumah tradisional otentik
d e n g a n s u s u n a n ruang m o d e r n : publik,
pribadi, dan service area.
Sumber:

Bagunan

Rumah

Tradisional Bugis

50 Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasart

PNRI

Makassar

rakkeang

ale bola

Tampak Depan

Denah
Skala 1 : 100
Gambar 3: Denah dan tampak depan rumah Bola 3 lontang 16 tiang. Rumah dilengkapi
lego-lego, lari-larian, dan tamping terpisah
Sumber:

Bagunan

Rumah

Tradisional Bugis Makassar

61

PNRI

Anjong

Timpa laja

Dlndlng
Jendela
Tau Tau
Rencing
Pintu
Lantai
Pantolo
Tiang
Addeneng
Paliangga Aliri

Rakkeang

Pattolo rase

Ale bola

Bare
Pattolo riawa

Arateng
Awa bola

Tiang (Alir)
Paliangga aliri

Deretan tiang tampak depan


G a m b a r 4 : Tampak depan Saoraja dan bagian-bagiannya
Sumber:

Arsitektur

Tradisional

Sulawesi

Selatan

G a m b a r 5 : P o t o n g a n melintang Saoraja - terdiri atas rakkeang, ale bola, dan a w a bola


Sumber:
Arsitektur
Tradisional Sulawesi Selatan

6 2P u s t a k aB u d a y a&A r s i t e k t u rB u g i sM a k a s a r t

PNRI

Gambar 6: Skema konstruksi atap Saoraja dan Bola


Sumber: Analisa Penulis

Pato (Tunebba)

Dapara (lantai)

Arateng

Pattaolo
Tiang

Gambar 7: Konstruksi Lantai Rumah Bugis


Sumber:

Arsitektur

Tradisional

Daerah

Sulawesi Selatan

Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasart

PNRI

63

G a m b a r 8 : Detail-detail konstruksi lantai


Sumber:

Arsitektur

Tradisional Daerah

Sulawesi Selatan

64 Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasart

PNRI

Detail kontruksi atap rumah 4 lontang dengan penutup atap dari lembaran bamb belah.
Bentuk atap tradisional ini mirip dengan atap tongkonan Toraja meski hanya satu lapis.
Tampak pertemuan balok makelar (suddu') dan pakkalekke (atas). Juga pertemuan balok
pattalo riase, balok bare, dan tiang utama (bawah)

PNRI

Konstruksi tumpang-kait pada sudut bangunan


adaiah bukti penguasaan teknik dan kecerdasan para Panrita Bola. Detail hubungan tiang,
balok pattolo, dan balok arateng (atas). Detail
sudut bagian dalam bangunan (atas)

66

Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasart

PNRI

Detail konstruksi atap tradisional y a n g sudah dim o d i f i k a s i . P e n g g u n a a n atap a s b e s g e l o m b a n g


seharusnya dilengkapi plafon agar debu asbes tidak
masuk ke ruangan karena akan m e n g g a n g g u kesehatan (kiri)
Kontruksi dinding d e n g a n bahan t r a d i s i o n a l dari
anyaman belahan bambu, yang masih banyak dipakai
oleh p e n d u d u k p e d e s a a n . D i n d i n g b a m b u y a n g
disebut tau-tau renring ini sejenis dengan gedek di
Jawa (bawah)

PNRI

Kontruksi bagian kaki bangunan (riawa bola) berupa


tiang kayu diameter 20 cm ditegakkan di atas umpak
beton (atas, atau ditanam di dalam umpak (bawah)

58

Pustaka

Budaya

&

Arsitektur

Bugis

Makasartt

PNRI

Dua desain tangga belakang menuju ke bagian


samping. Tangga kayu rumah Bola dengan 13 anak
tangga memakal coccorang (kiri), tangga tradisional
Saoraja dengan 17 anak tangga dilengkapl
coccorang (kanan)

Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasart 69

PNRI

PNRI

Detail penggunaan pasak kayu pada setiap hubungan konstruksi kolom dan balok. Sistem pasak
adaiah ciri khas konstruksi tradisional, yang memungkinkan bangunan dibongkar-pasang dan
dipindahkan dengan mudah

pustaka fudai/a &. /hsitelitui fuis /hakassat

PNRI

71

Perkembangan bentuk dan detail ragam hias semakin


m e m p e r c a n t i k atap b a n g u n a n t r a d i s i o n a l (kiri)
Modifikasi d e s a i n kepala kerbau p e n g g a n t i p a t u n g
kepala kerbau (anjong bola) yang asli

72 Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasart

PNRI

IV

LANGKAH-LANGKAH PELESTARIAN

erkembangan ilmu dan teknologi, kemajuan pendidikan, pertumbuhan ekonomi, serta pengaruh agama adalah bagian dari proses
modernisasi yang harus diterima kehadirannya. Seyogianya

modernisasi justru meny empurnakan nilai-nilai tradisi yang sudah berabadabad membentuk kebudayaan bangsa-dan telah membuktikan keluhuran
tata-nilainya dengan melahirkan kebudayaan yang endogenous-utuh dan
mantap, serasi dan seimbang-di berbagai wilayah budaya di Indonesia.

Modernisasi Rumah Tradisional


Unsur-unsur arsitektur modern pada rumah tradisional Bugis Makassar
adalah faktor utama tetap bertahannya rumah Bola dan Saoraja terhadap
perubahan zaman. Kesederhanaan bentuk serta konstruksinya memudahkan masyarakat pemakainya menyesuaikan tata ruang rumah tradisional
ke dalam pola kehidupan modern. Hal-hal baru yang diterima masyarakat
secara kreatif dan selektif berhasil dicerna dan diintegrasikan pada nilainilai hakiki yang dipertahankan. Karena itulah rumah tradisional dapat
tetap menyatu dengan seluruh aktivitas kehidupan modern masyarakat
pendukungnya.
Adanya ruang-ruang baru (lego-lego, tamping, dan dapureng) membuat susunan rumah tradisional menyerupai pola rumah modern, yang
terbagi atas
1. bagian publik (latte risaliweng dan lego-lego);
2. bagian pribadi (latte retengngah dan latte rilaleng);
3. bagian service (tamping dapur dan riawa bola).
Proses pembaruan terus berlangsung dalam upaya mencari bentuk
arsitektur tradisional yang modern sesuai dengan harapan para pendukungnya. Interior dimodernisasi dengan membuat sekat-sekat pada

PNRI

ruang latte, dan membuat tangga servis tersendiri. Bagian riawa bola adalah
ruang terbuka. Pemanfaatan kaki rumah sebagai ruang usaha perlu
penataan agar desainnya menyatu secara keseluruhan. Bagian atapnya
yang terbagi-bagi mengalami proses padu padan menuju terciptanya
komposisi yang serasi. Setelah dua dekade barulah terwujud wajah Saoraja
dan Bola yang lebih harmonis dan seimbang.
Penggunaan bahan bangunan baru tidaklah mengurangi citra bangunan tradisional. Bahkan, dengan pemilihan bahan yang tepat, rumah
tradisional Bola dan Saoraja dapat tampil lebih anggun dan tetap selaras
dengan lingkungannya. Tiang kayu dapat diganti dengan kolom beton,
atap bamb diganti dengan genteng, dan dinding bamb diganti dengan
pasangan bata atau batako. Struktur kolom dan balok beton umumnya
hanya untuk gedung-gedung yang membutuhkan ruangan yang luas.
Penutup atapnya kebanyakan memakai genting dan sirap. Seng dan asbes
gelombang banyak dipakai di pedesaan, karena lebih ekonomis. Meskipun
banyak rumah tradisional dibangun berdinding bata di daerah perkotaan,
sebagian besar masih tetap menyukai konstruksi kayu yang mudah
dibongkar pasang.
Pergeseran nilai-nilai adat dan tradisi kuno yang bertentangan dengan
Islam telah menghapus kepercayaan lama. Sejalan dengan itu, banyak
upacara berkaitan dengan tradisi dan berhubungan dengan ajaran Attau
Riolong yang mulai ditinggalkan. Namun, sebagian upacara mendirikan
bangunan tradisional masih dipertahankan. Bagaimanapun tradisi itu telah
berlangsung berabad lamanya, di mana rumah memiliki makna yang
sangat dalam bagi masyarakat tradisional di pedesaan. Seperti halnya
rasa keningratan pada masyarakat feodal yang juga tak mudah dihapus.
Berbagai ornamen serta lambang tingkatan sosial, yang masih banyak
dipakai menghiasi rumah-rumah baru, seperti timpa laja dan anjong bola.
Keinginan mempertahankan feodalisme secara fisik tidak jadi masalah
selama aturan adat itu masih dijunjung masyarakatnya, dan berguna
menggugah kesadaran budaya. Walaupun begitu asas demokrasi Pancasila
telah membawa perubahan mendasar pada tatanan kehidupan tradisional.
Pertumbuhan ekonomi dan faktor pendidikan mampu menghapus
sebagian besar perbedaan kasta dalam masyarakat. Kini rakyat biasa boleh
saja membangun rumah semacam Saoraja dilengkapi dengan timpa laja,
coccorang, dan ragam hias lainnya.
Dewasa ini pembangunan rumah tradisional yang disesuaikan
dengan pola kehidupan mewarnai seluruh provinsi. Rumah panggung
74PustakaBudaya&ArsitekturBugisMakasart

PNRI

konstruksi kayu berdinding papan dengan susunan ruang modern menjadi


pilihan utama masyarakat Bugis Makassar. Perwujudan rumah adat masa
kini ternyata diterima sepenuh hati oleh masyarakat pendukungnya.
Demikian panjang perjalanan sejarah arsitektur Bugis Makassar yang
berusaha menjadi 'tuan rumah' di jazirah Sulawesi Selatan. Satu perjuangan mulia untuk menjadikan arsitektur Bugis Makassar sebagai bagian
dari wajah arsitektur Indonesia.
Pembangunan Perumahan dan Permukiman
Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi tujuan program
transmigrasi sejak tahun 50-an. Pilihan pemerintah untuk membangun
perumahan transmigrasi dengan citra arsitektur dan pola permukiman
Jawa sangat bijaksana; mengingat pada waktu itu seluruh transmigran
berasal dari Jawa. Desain rumahnya pun memenuhi kriteria sehat-murahmudah dengan menggunakan sumber daya alam setempat. Meski hanya
rumah sederhana, tetap memperhatikan kaidah-kaidah arsitektur murni,
seperti kesatuan, keindahan, dan kenyamanan. Pola permukiman yang
mengelompok mencerminkan budaya kehidupan kolektif yang tetap
dipertahankan sehingga para transmigran tidak merasa terserabut dari
akar budayanya.
Bandingkan perumahan transmigran pada era Orde Baru yang
kehilangan sentuhan budaya dan naluri arsitektural, sehingga terkesan
'asal jadi'. Bahkan desainnya tidak menghargai manusia yang di 'papan'kannya. Pemakaian seng gelombang untuk atap jelas mengabaikan faktor
kenyamanan dan kesehatan penghuninya karena menimbulkan hawa
panas di dalam rumah. Perlu kiranya dikaji untuk merancang rumah sederhana dengan nuansa arsitektur lokal, yang akan menjadi ciri khas bagi
setiap permukiman transmigrasi. Seperti rumah transmigran di tahun 50an-sebuah rumah panggung berumpak, berdinding anyaman bambu atau
papan, beratap tradisional, yang tampaknya lebih membudaya bagi warga
transmigran dari wilayah budaya mana pun.
Kemajuan ilmu dan teknologi ikut mempengaruhi pola desa tradisional.
Zaman dahulu perkampungan suku Bugis Makassar selalu dibangun
dekat dengan tempat kerjanya - sawah ladang, laut atau danau. Dengan
mulai dibangunnya jaringan jalan, pola permukiman pun berkembang
berjajar sepanjang jalan. Sejak itu permukiman tradisional suku Bugis,
Makassar, dan Mandar banyak dijumpai di jalan-jalan utama mulai dari

PNRI

Makassar, Bulukumba, Sinjai, Watampone, Soppeng, Palopo, Pare-pare,


hingga Pangkajene.
Desa-desa tradisional yang tersebar merata di seluruh provinsi sebenarnya punya potensi menjadi desa wisata. Benang merah sejarah arsitektur
Bugis Makassar tampak jelas dari rumah panggung bercorak tradisional
otentik hingga tradisional modern. Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat Sulawesi Selatan tetap mengakui keberadaan rumah adatnya,
bahkan mampu menatanya sesuai dengan kebutuhan tata kehidupan
masa kini. Potensi istimewa ini hendaknya dicermati oleh aparat desa demi
kemajuan desa dan rakyatnya. Bimbingan para perencana tata-ruang
sangat diharapkan agar kondisi permukiman tersebut dapat ditingkatkan
menjadi potensi wisata desa tradisional. Sudah saatnya masyarakat
disadarkan akan arti kebudayaan daerah bagi tata kehidupan desa yang
lebih mapan. Selain itu proyek penyeragaman perumahan massai (termasuk 'real estate' dan 'BTN') seyogianya dihentikan karena tatanan
budaya tiap suku bangsa jelas berbeda-beda.
Rumah tradisional merupakan alternatif yang menjanjikan di tengah
membubungnya biaya pembangunan rumah konvensional. Struktur
bangunan dan konstruksi atap yang sederhana sangat memungkinkan
dikembangkan untuk membangun rumah sederhana (RS) dan rumah
sangat sederhana (RSS), demi memenuhi kebutuhan perumahan nasional.
Oleh karena itu, pembangunan perumahan rakyat hendaknya tetap berpedoman pada prinsip-prinsip dasar rumah tradisional warisan arsitek
Panrita Bola. Sebuah rumah yang manunggal dengan adat dan budaya
penghuninya. Sekaligus rumah yang mampu mengayomi kehidupan
masyarakat Bugis Makassar masa kini dan mendatang. Yakinlah rumah
tradisional adalah pilihan terbaik dalam mengatasi kemelut penyediaan
rumah murah bagi rakyat kecil.

Konservasi dan Pariwisata


Berabad silam para arsitek tradisional telah mengajarkan berbagai kearifan.
Kita pun harus bercermin pada kearifan tradisional (local wisdom) yang
menghargai nilai-nilai persahabatan dengan alam. Penghormatan terhadap alam lingkungan sebagai makrokosmos melahirkan konsep
'pembangunan berwawasan lingkungan'. Keseimbangan alam dipelihara
melalui keserasian mikrokosmos (rumah) dengan makrokosmos. Rumah
panggung ialah wujud dari kearifan menyikapi tingginya kelembapan

76 Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasart

PNRI

dan curah hujan di wilayah khatulistiwa. Seharusnya konstruksi panggung


menjadi fokus para arsitek dan perencana bangunan di daerah resapan
air, kawasan pantai, dan lereng pegunungan. Jika permukaan tanah tetap
berfungsi menyerap air hujan, bencana banjir dan tanah longsor dapat
dihindari.
Bagian terbesar wilayah permukiman penduduk berada di pesisir
pantai dan lereng gunung. Wilayah permukiman pedesaan yang mampu
berfungsi sebagai desa wisata, niscaya berdampak bagi kelestarian
arsitektur. Beberapa desa tradisional asli dan utuh (living monument) layak
dijadikan kawasan cagar budaya meskipun belum tampak usaha ke arah
itu. Contohnya desa-desa petani di Sinjai, Sidrap, dan Soppeng, atau desadesa nelayan di Jeneponto, Bulukumba, dan Pangkajene. Padahal sebagai
'living monument' tindak konservasi bagi desa-desa tradisional tersebut
lebih besar manfaatnya. Bukan saja bagi konservasi alam, melainkan juga
bagi pelestarian arsitektur tradisional dan pengembangan pariwisata
daerah. Semua itu pada gilirannya akan berdampak pada peningkatan
kesejahteraan penduduk desa.
Harus diakui kehadiran pariwisata mampu mengangkat kembali citra
berbagai unsur kebudayaan lama termasuk arsitektur tradisional. Bahkan
pariwisata seyogianya dapat menjadi tumpuan harapan meningkatnya
kemakmuran masyarakat desa. Oleh karena itu, pemanfaatan 'living
monument' bagi pariwisata sudah saatnya mengacu pada kepentingan
desa dan warganya. Reformasi di sektor pariwisata sangat dibutuhkan
agar produk wisata budaya lebih bernilai ekonomis bagi warga desa.
Otonomi Daerah harus lebih berpihak sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan memajukan ekonomi kerakyatan.
Seiring gencarnya pengembangan pariwisata budaya minat masyarakat
ikut terpacu untuk mengangkat kembali seni arsitektur tradisional. Di
perkotaan gedung-gedung pemerintah dibangun dengan perpaduan
struktur beton dan atap tradisional. Timpa laja, ornamen naga dan ayam
jantan menghiasi bubungan atap gedung perkantoran. Desain hotel-hotel
tampil dengan mengadaptasi arsitektur Bugis Makassar yang disesuaikan dengan fungsi bangunan.
Pemerintah daerah berperan aktif mengembangkan kepariwisataan
melalui seni arsitektur tradisional. Di kawasan benteng Somba Opu yang

PNRI

direncanakan sebagai Taman Budaya dibangun contoh rumah-rumah


tradisional Bone, Luwu, Gowa, Soppeng, Mandar, dan Toraja. Selain itu,
di desa wisata Batu-batu (Soppeng) didirikan pula berbagai Saoraja dari
Bugis, Makassar, dan Mandar dalam bentuk yang sudah dimodernisasi
sesuai dengan tuntutan zaman. Semua buah karya tersebut menandai
berlanjutnya reformasi arsitektur tradisional di Sulawesi Selatan.
Kehadirannya bukan saja menimbulkan rasa bangga, melainkan juga
membangkitkan kesadaran budaya masyarakat pendukungnya.
Bersama tumbuhnya industri pariwisata beberapa wilayah pantai ikut
berkembang sebagai objek wisata. Salah satunya ialah Pantai Bira di ujung
tenggara Sulawesi Selatan. Di kawasan wisata pantai ini dibangun
kompleks peristirahatan dengan konsep rumah panggung yang ditata
menurut pola permukiman nelayan tradisional (pakkaja ruma). Setiap
bangunan villa dirancang dengan fokus ke arah laut lepas. Beberapa
bungalow pribadi, restorn, dan toko cindera mata juga menerapkan
kesederhanaan konstruksi rumah panggung yang telah disesuaikan
dengan fungsi bangunan dan kebutuhannya. Setiap bangunan menggunakan bahan bangunan lokal yang lebih ekonomis dan mudah diperoleh. Keseluruhan tata bangunan berhasil membentuk kesatuan arsitektural serta menciptakan lingkungan yang harmonis, asri, sejuk, nyaman,
dan indah dipandang mata.
Hingga kini pelestarian budaya hanya ditujukan pada bangunan
tradisional yang bernilai sejarah. Saoraja Sultan Hasanuddin juga Bola
Soba' termasuk kategori 'dead monument', karena tidak berfungsi seperti
semula. Hasil pemugaran tidak ada artinya, jika tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat di sekitarnya. Perlu dipikirkan nilai tambah
semacam atraksi wisata yang dapat menghidupkan suasana objek agar
tindakan konservasi tidak mubazir.
Salah satunya dengan menggelar kehidupan masyarakat tradisional
dengan segala aktivitasnya yang bersifat kolektif. Di sini penduduk desa
serta para pengunjung/wisata wan diharuskan mengenakan busana
tradisional. Warga desa mendapat peluang usaha yang menjanjikan,
dengan menyewakan busana adat dan menjual kerajinan rakyat, seperti
kain tenun dan ukiran. Pergelaran pentas rakyat yang menyajikan
beraneka kesenian tradisional dikembangkan untuk menarik wisatawan.
Semua itu diharapkan dapat membangkitkan kecintaan dan rasa memiliki
78

pustaka TSuiiaya & /\nsltektui 75u$is /faakassai

PNRI

identitas budaya pada segenap anak bangsa, terutama generasi muda.


Jadikanlah era reformasi sebagai momentum untuk berbenah diri menuju
Indonesia yang lebih baik. Pelestarian dan perkembangan kebudayaan
mencakup berbagai sisi kehidupan berbangsa. Adalah tanggung jawab
dan kewajiban moral setiap warga negara, termasuk para arsitek,
memberikan kemampuan yang terbaik bagi negara. Melalui seni arsitektur
dan pariwisata mari kita bangun kembali cifra bangsa berbudaya tinggi
di mata dunia. Dengan menggugah rasa bangga akan keluhuran kebudayaan lama, semoga lahir sikap arif bijaksana dalam menyikapi pesona
modernisasi yang pasti akan terus menggoda.

PNRI

Dua contoh modern dua lantai dengan nuansa tradisional di Jeneponto dan Pare-pare. Kontruksi beton dan
dinding bata berhasil d i p a d u k a n dengan atap pelana. Modernisasi ternyata m a m p u m e n g e m b a n g k a n
arsitektur tradisional tanpa merusak keutuhan prinsip rumah adat. Sekaligus bukti rumah yang modern tidak
perlu terlepas dari akar budaya masyarakatnya

80 Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasart

PNRI

Perumahan dan permukiman penduduk masih kuat diwarnai pola arsitektur


tradisional setempat. Ketiga rumah ini menandai perkembangan sejarah
arsitektur Bugis Makassar, yang tetap dipertahankan oleh masyarakat
pendukungnya

Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasart 81

PNRI

Bentuk atap pelana memudahkan mencari pengganti bahan atap yang asli, yaitu bamb/
rumbia (kiri bawah). Umumnya memakai atap sirap, asbes gelombang, dan genting beton
atau keramik glazur

82 Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasarti

PNRI

Modernisasi pada bentuk dan tata letak tamping yang


berbeda-beda, terlihat pada Saoraja dari Makassar
Gowa (atas), rumah adat Bugis Bone (tengah), dan
Saoraja Bugis Luwu (bawah). Fleksibelitas ruang akan
sangat memudahkan perencanaan arsitektur tradisional yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya

PustakaBudaya&ArsitekturBugisMakasart83

PNRI

Desain tangga menyatu dengan lego-lego


yang cukup baik. Bangku-bangku di sisi
tangga selaln untuk duduk-duduk dan
bersantai, juga untuk menerima tamu
(bawah). Bentuk lain tangga dan lego-lego
pada rumah peristlrahatan m e n g h a d a p i
pantai. L e g o - l e g o untuk m e n i k m a t i keIndahan laut Makassar (atas)

84 Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasart

PNRI

Pemanfaatan modern bagian riawa boia (kaki rumah) oleh golongan menengah sebagai ruang
duduk, ruang tamu, atau ruang bersantai (atas). Bagi rakyat biasa umumnya dipakai untuk ruang
usaha, seperti warung sederhana (bawah)

PNRI

Perbedaan pola permukiman transmigrasi tahun 1950-an dan di era Orde Baru. Letak
p e r u m a h a n m e n g e l o m p o k dalam satu area m e r u p a k a n hasil analisis yang
m e m p e r t i m b a n g k a n akar budaya para transmigrasi yang berasal dari Jawa (atas).
Rancangan permukiman dengan pola standarisasi adalah wujud kemalasan serta rasa
kurang peduli para perencana kepada sesama warga bangsa (bawah)

86 Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasart

PNRI

Bangunan cagar budaya yang termasuk kategori 'dead monument'. Rumah adat Balla Lompoa di Banteang
(atas) dan rumah adat Lapinceng di desa Balusu, Soppengriaaja (bawah). Tidak cukup hanya dengan memugar
karena bangunan cagar budaya membutuhkan perawatan yang memadai. Perlu dipikirkan adanya atraksi wisata
di seputar bangunan bersejarah ini agar pelestariannya punya nilai ekonomis dan dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitarnya

PNRI

A t a p l e g o - l e g o d a n r u m a h induk s e b u a h
kantor berbentuk 'L' menyatu sesuai dengan
bentuk denahnya. Lantai dasar dlpakai
meletakkan kayu-kayu dagangan. Upaya
pembaruan disesuaikan dengan fungsl dan
kebutuhan ternyata cukup berhasil. Kesan
t r a d l s i o n a l m a s i h kuat d a n k a l d a h - k a i d a h
arsitektur juga tidak dilupakan si perencana
(atas)
Perkembangan bentuk dan fungsi arsitektur
t r a d i s i o n a l . Modifikasi atap untuk f u n g s i fungsi baru tanpa harus kehllangan
s e n t u h a n nilai tradisi. A t a p b a n g u n a n
pendopo di m a k a m Hasanuddin (kiri atas),
dan atap toko cindera mata di Bira (kanan)
merupakan contoh yang baik.

88Pustaka Budaya & Arsitektur Bugis Makasart

PNRI

Citra tradisional rumah panggung beratap pelana yang diterapkan pada bangunan restorn dan toko cindera
mata di kawasan wisata Pantai Bira. Perpaduan unsur-unsur tradisi ke dalam fungsi modern yang dirancang
dengan matang, ternyata mampu membuahkan karya arsitektur yang patut dibanggakan

PustakaBudaya&ArsitekturBugisMakasart89

PNRI

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1977. Hasil Pemugaran Benda
Cagar Budaya PJP I. Cetakan ke-1. Jakarta: Ditjen Kebudayaan.
Dinas Purbakala. 1977. Laporan Tahunan 1950. Jakarta.
Ditjen Cipta Karya. 1976. Bina Desa. Denpasar: Pusat Informasi Teknik
Pembangunan.
Ditjen Kebudayaan. 1983/1984. Album Arsitektur Tradisional Sulawesi
Selatan. Jakarta: Proyek Media Kebudayaan.
Ditjen Kebudayaan. 1985/1986. Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi
Selatan, cetakan ke-1. Makassar: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Ditjen Pariwisata. 1993. Data Produk Wisata Indonesia. Jakarta: Departemen
Parpostel.
Direktorat Perumahan. 1986. Perumahan dan Lingkungan Tradisional
Makassar. Jakarta.
Direktorat Perumahan. 1994. Pola Penanganan Rumah Tradisional dalam
Rangka Konservasi dan Menunjang Pariwisata. Jakarta.
Djawatan Penerangan RI. 1954. Propinsi Sulawesi. Jakarta.
Gideon, Sigfried. 1956. Space, Time & Architecture. London, England.
Indonesia Heritage. 1996. Ancient History, cetakan ke-1. Jakarta: Grolier
International, Inc.
Indonesia Heritage. 1998. Arcitecture, cetakan ke-1. Jakarta: Grolier International, Inc.
Kern, RA., terjemahan La Side & Sagimun MD. 1989. I La Galigo.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press & KITLV.
Martinus Nijhoff, S-Gravenhage & N.V v/h E.J. Brill, Leiden. 1918.
Encyclopedic van Nederlandsch Oost Indie, vol. I. Nederland.
Mangunwijaya, YB. Dpi. Ing. 1995. Wastu Citra. cetakan ke-2. Jakarta:
Gramedia.
Roemin, JE. Drs., Ichwa, Suparmo, cs. 1960. Atlas Nasional tentang Indonesia & Seluruh Dunia. Bandung: Ganaco.
90PustakaBudaya&ArsitekturBugisMakasart

PNRI

Soekarno, Dr. Ir. 1964. Dbawah Bender Revolusi. cetakan ke-1 Jakarta.
Soekmono R, Drs. 1956. Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid I, II, III. cetakan
ke-1. Jakarta: Trikarya.
Soemandari, Siti. 2001. Kartini Sebuah Biografi, cetakan ke-6. Jakarta:
Djambatan.
Soeroto, Drs. 1965 & 1964. Indonesia di Tengah-tengah Dunia dari Abad ke
Abad, jilid I, II. cetakan ke-11 dan ke-4. Jakarta: Djambatan.
Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan. 1984. Boia
Soba', Sejarah dan Pemugaranya. Jakarta: Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah & Kepurbakalaan.
Sularto Sastrowardoyo, Robi Ir. 1978. Vitalitas Komunitas Kreativitas Perkembangan Tata Ruang. Jakarta: Seminar Masalah Lingkungan
Hidup.
Sularto Sastrowardoyo, Robi Ir. (Kliping Artikel dari Harian Sinar Harapan) :
a. Tanpa Tindakan Pencegahan Aristektur Tradisional Bali Akan
Punah, 1975.
b. Konservasi Arsitektur Bali Penting dalam Masa Transisi Sekarang,
1975.
c. Wisata Budaya Bukan Budaya Wisata, 1976.
d. Ancaman 'Gcmpa' terhadap Nilai-nilai Kehidupan Kita, 1976.
e. Masalah Perumahan Desa Perlu Disimak Secara Tradisional, 1976.
f. Masalah Pembangunan Perumahan, 1979.
Van Eerde, JC. Prof. 1921. De Volken van Nederlandsch Indie, deel II.
Amsterdam: Uitgevers-Matschappij 'Elsevier'.
Van Romondt, VR. Prof. Ir. 1954. Menuju ke Suatu Arsitektur Indonesia,
terjemahan dari: Naar Een Indonesische Architectuur (prom.): Jakarta.
Yamin, Muhammad Mr. 1956. Atlas Sejarah. cetakan ke-1. Jakarta:
Djambatan.
Yamin, Muhammad Mr. 1956. Lukisan Sejarah. cetakan ke-1,. Jakarta:
Djambatan.
Yudohusodo, Siswono, Ir. dkk. 1991. Rumah untuk Seluruh Rakyat. Jakarta:
Departemen Transmigrasi.
Zach, Paul & Muller, Kal. 1997. Indonesia Paradise on The Equator. 4th. ed.
Singapore: Times Editions Pte. Ltd.

PNRI

SUMBER ILUSTRAS!
Penulis mengaturkan terima kasih atas sejumlah foto dan gambar yang
digunakan untuk melengkapi penyajian buku ini. Sedapat mungkin penulis
berusaha mendapatkan sumber asli dari setiap foto dan gambar tersebut.
Namun, seandainya masih terdapat kesalahan dalam
daftar di bawah ini, mohon sudilah memaafkannya.
Perbaikan akan dilakukan pada penerbitan berikutnya
Album Arsitektur Sulawesi Selatan: 2e, 3p, 3y
Dit. Purbakala: la, le, Id, le, If, lj
Kompas: Susanto Ih

92PustakaBudaya&ArsitekturBugisMakasart

PNRI

PNRI

Das könnte Ihnen auch gefallen