Sie sind auf Seite 1von 9

Teori Akuntansi

RMK 13

Oleh :
Komang Wisnu Arie Guna Partha1115351163
Putu Teddy Arthawan

1215351003

Fakultas Ekonomi dan Bisnis


Universitas Udayana

I.

TEORI KEAGENAN

Teori Keagenan
Manajemen laba dalam akuisisi dapat ditelusuri dalam pengembangan agency theory
yang mencoba menjelaskan agaimana pihak-pihak yang terlibat dalam perusahaan (manajer,
pemilik dan kreditor) akan berprilaku karena mereka pada dasarnya mempunyai kepentingan
yang berbeda. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa teori keagenan mendeskripsikan
pemegang saham sebagai principal dan manajemen sebagai agen. Manajemen wajib
mempertanggungjawabkan semua upayanya kepada pemegang saham karena manajemen
merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja.
Fokus dari teori ini adalah pada penentuan kontrak yang paling efisien yang mendasari
hubungan antara principal dan agen. Kontrak yang efisien adalah kontrak yang memenuhi dua
faktor berikut yaitu (1) agen dan principal memiliki informasi yang simetris artinya baik agen
maupun majikan memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama sehingga tidak terdapat
informasi tersembunyi yang dapat digunakan untuk keuntungan pribadi, (2) risiko yang dipikul
agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil yang berarti agen mempunyai kepastian yang
tinggi mengenai imbalan yang diterimanya.
Pada kenyataannya informasi simetris itu tidak pernah terjadi, yang berarti kontrak
efisien tidak pernah dapat terlaksana sehingga hubungan agen dan majikan selalu dilandasi oleh
asimetri informasi. Serta juga pada prakteknya agen selalu mempunyai informasi lebih dibanding
majikannya. Dalam hubungan ini Eisenhardt (1989) menyatakan bahwa teori keagenan dilandasi
oleh asumsi-asumsi, yaitu:
1. Asumsi tentang sifat manusia. Asumsi sifat manusia menekankan bahwa manusia
memiliki sifat mementingkan diri sendiri (self-interest), memiliki keterbatasan rasional
(bounded rationality), dan tidak menyukai risiko (risk oversion).
2. Asumsi keorganisasian. Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antaranggota
organisasi, efisiensi sebagai kriteria efektivitas, dan adanya asimetri informasi antara
principal dan agen.

3. Asumsi informasi. Asumsi informasi adalah bahwa informasi sebagai komoditas yang
bias diperjualbelikan.
Agen sudah pasti memiliki informasi yang lebih disbanding majikan esingga agen ini
lebih dapat melakukan kecurangan untuk mekasimalkan kepentinganya sendiri seperti
memanfaatkan asset perusahaan untuk kepentingan pribadi, perekayasaan kinerja perusahaan,
maupun mangkir kerja.
Permasalahan keagenan yang terjadi antara pemegang saham dengan manajer
menimbulkan biaya keagenan ekuitas (Lins, 2003). Menurut Jensen dan Meckling (1976)
terdapat tiga macam biaya keagenan:
1. Biaya monitoring oleh principal. Biaya monitoring ini untuk membatasi aktivitas agen
yang berbeda dengan kepentingan principal.
2. Biaya bonding oleh agen. Agen juga akan mengeluarkan sumber daya (bonding cost)
untuk memberikan kepastian pada principal bahwa agen tidak akan melakukan tindakan
yang akan merugikan investor. Contoh bonding cost adalah biaya yang dikeluarkan oleh
owner-manager untuk menjamin pada pemegang saham luar (outside equity holder)
bahwa manajer akan membatasi aktivitas yang akan menimbulkan nonkas bagi manajer.
3. Residual loss. Merupakan kemakmuran dalam nilai uang yang turun sebagai akibat
perbedaan kepentingan. Penurunan kemakmuran ini terjadi karena perbedaan antara
keputusan agen dan keputusan-keputusan yang akan memaksimalkan kemakmuran
principal. Contoh residual loss yaitu menurunnya nilai pasar perusahaan yang
ditimbulkan dari penjualan ekuitas oleh outside blockholder yang disebabkan oleh tidak
terlaksananya kegiatan monitoring dan bonding.
Sugiri (2005) menyatakan bahwa prilaku oportunistis manajemen sebagai agen adalah
sebuah keniscayaan. Tak seorangpun meragukan sehingga pemegang saham sebagai majikan
perlu memastikan bahwa kepentingan terbaiknya akan diperjuangkan oleh manjemen. Untuk
mewujudkan rencana tersebut, Bai dkk. (2003) menawarkan beberapa cara yaitu:
1. Pertama, pembentukan dewan komisaris yang powerful. Dewan ini berfungsi sebagai alat
pentingg dalam upaya pemegang saham untuk mempengaruhi manajemen.

2. Kedua, struktur kompensasi manajemen yang baik. Biasanya kompensasi manajemen


dihubungkan dengan nilai perusahaan. Tolak ukur yang digunakan adalah nilai saham dan
ukuran kinerja akuntansi.
3. Ketiga, transparansi keuangan dan pengungkapan informasi yang memadai.
Jensen dan Meckling (1976) juga menunjukkan adanya tiga unsur tambahan yang dapat
membatasi prilaku menyimpang yang dilakukan oleh agen. Unsur-unsur tersebut yaitu:
1. Bekerjanya pasar tenaga manajerial. Pasar tenaga kerja manajerial akan menghapus
kesempatan pengelola yang tidak mempunyai kinerja baik dan berprilaku menyimpangg
dari keinginan pemegang saham perusahaan yang dikelolanya.
2. Bekerjanya pasar modal. Bekerjanya pasar modal efisien bias menjadi cermin kinerja
manajer dari harga saham perusahaannya.
3. Bekerjanya pasar bagi keinginan menguasai dan memiliki/mendominasi kepemilikan
perusahaan. Bekerjanya market for corporate control bisa menghambat tindakan
menguntungkan diri pengelolanya sendiri dalam hal menghentikan pengelola dari
jabatannya jika perusahaan yang dikelolanya mempunyai kinerja rendah yang
memungkinkan pemegang saham baru menggantinya dengan pengelola lain stelah
perusahaan diambil alih.

II.

MANAJEMEN LABA
Informasi laba sangatlah penting perannya sebagai sinyal kinerja suatu perusahaan guna

pembuatan berbagai keputusan penting oleh pengguna informasi. Oleh karena itu, lembaga
penyusun standar seperti Financial Accounting Standard Board (FASB) di Amerika Serikat dan
Dewan Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia berusaha menyusun standar guna dapat
menghasilkan laporan keuangan yang mencerminkan realitas entitas bisnis tertentu. Karena
kompleksnya lingkungan bisnis yang selalu bergerak dinamis, maka akuntansi memberi peluang
bagi manajemen untuk memilih satu dari berbagai alternatif yang tersedia. Namun, karena
adanya kelonggaran yang disediakan dengan adanya fleksibilitas untuk memilih metode
akuntansi guna mengantisipasi dinamika perkembangan lingkungan bisnis itu, manajemen sering
melakukan perekayasaan laba.

Manajemen laba merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan
keuangan. Oleh karena itu, manajemen laba dapat menambah bias dalam laporan keuangan dan
dapat mengganggu pemakai laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa
tersebut untuk pembuatan keputusan. Schipper (1989) mendefinisikan manajemen laba sebagai
upaya yang dilakukan manajemen untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi tertentu.
Selanjutnya, Scott (1997) berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang dapat memotivasi
manajer melakukan manajemen laba, yaitu sebagai berikut :
a. Rencana Bonus (Bonus scheme). Para manajer yang bekerja pada perusahaan yang
menerapkan rencana bonus akan berusaha mengatur laba yang dilaporkannya dengan
tujuan dapat memaksimalkan jumlah bonus yang akan diterimanya (Healy, 1985;
Holthhausen dkk., 1995; Gaver dan Austin, 1995).
b. Kontrak utang jangka panjang (Debt covenant). Menyatakan bahwa semakin dekat suatu
perusahaan kepada waktu pelanggaran perjanjian utang, maka para manajer cenderung
akan memilih metode akuntansi yang dapat memindahkan laba periode mendatang ke
periode berjalan, dengan harapan dapat mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami
pelanggaran kontrak utang (Deakin, 1979; Dhalival, 1980; Bowen dkk., 1981; Defond
dan Jiambalwo, 1994).
c. Motivasi politik (Political motivation). Menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan
dengan skala besar dan industri strategis cenderung untuk menurunkan laba guna
mengurangi tingkat visibilitasnya terutama saat periode kemakmuran tinggi. Upaya ini
dilakukan dengan harapan memperoleh kemudahan serta fasilitas dari pemerintah (Moes,
1987; Nam dan Hartono, 1996; Putra, 2000).
d. Motivasi Perpajakan (Taxation motivation). Menyatakan bahwa perpajakan merupakan
salah stu motivasi mengapa perusahaan mengurangi laba yang dilaporkan. Tujuannya
adalah agar dapat meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar (Boyton dkk, 1992).
e. Pergantian CEO (Chief Executive Officer). Biasanya CEO yang akan pension atau masa
kontraknya menjelang berakhir akan melakukan strategi memaksimalkan jumlah
pelaporan laba guna meningkatkan jumlah bonus yan akan mereka terima. Hal yang sama
akan dilakukan oleh manajer dengan kinerja yang buruk. Tujuannya adalah
menghindarkan diri dari pemecatan sehingga mereka cenderung untuk menaikkan jumlah
laba yang dilaporkan (DeAngelo, 1988; Pourciant, 1993).

f. Penawaran saham perdana (Initial public offering/IPO). Menyatakan bahwa pada awal
perusahaan menjual sahamnya kepada publik. Investasi keuangan yang dipublikasikan
dalam prospektus merupakan sumber informasi yang sangat penting. Informasi ini
penting karena dapat dimanfaatkan sebagai sinyal kepada investor potensial terkait
dengan nilai perusahaan. Guna mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh para investor
maka manajer akan berusaha untuk menaikkan jumlah laba yang dilaporkan (Nell dkk,
1995; Richardson, 1998; Sutanto, 2000; Gunanti, 2001).
Selanjutnya Scott (1997) menyatakan bahwa ada empat bentuk manajemen laba yang
dilakukan oleh para manajer, yaitu sebagai berikut :
1. Taking a bath. Akan dilakukan oleh manajer ketika kinerja buruk yang dicapai
perusahaan tidak dapat dihindari selama periode berjalan. Dalam kondisi seperti ini bila
memungkinkan, seluruh biaya yang akan dikeluarkan pada periode yang akan datang
ditambahkan dengan kerugian periode berjalan dengan harapan pada periode mendatang
diperoleh keuangan sesuai dengan harapan bonus.
2. Income minimization. Dilakukan pada saat perusahaan memperoleh keuntungan yang
tinggi, maka dilakukan minimalisasi keuntungan dengan tujuan agar tidak mendapat
sorotan pemerintah secara politis. Kebijakan ini dapat dilakukan dengan mempercepat
pembebanan biaya atau menunda pengakuan revenue.
3. Income maximization. Dengan cara ini memaksimalkan keuntungan agar dapat diperoleh
bonus yang lebih besar. Hal ini juga dilakukan oleh perusahaan yang mendekati
pelanggaran kontrak utang sehingga manajer akan berusaha untuk memaksimalkan
jumlah laba yang dilaporkan.
4. Income smoothing. Merupakan bentuk manajemen laba yang paling sering dilakukan dan
paling populer dibandingkan dengan bentuk manajemen lainnya. Dengan income
smoothing, manajer menaikkan atau menurunkan laba untuk mengurangi turun naikknya
laba yang dilaporkan sehingga perusahaan tampak stabil dan tidak memiliki risiko tinggi.
Penelitian mengenai manajemen laba sebenarnya telah banyak dilakukan terutama di
Amerika Serikat seperti :
1. Healy (1985) menyatakan bahwa penggunaan angka akuntansi dalam kontrak bonus akan
mendorong manajer untuk menyesuaikan tingkat laba agar dapat memaksimalkan jumlah

bonus yang diperoleh. Oleh karena itu, penelitian Healy ini terkait dengan pola
maksimalisasi laba, minimalisasi laba, taking a bath maupun income smoothing.
2. Jones (1991) meneliti mengenai apakah perusahaan-perusahaan yang memperoleh
keringanan impor melakukan praktik manajemen laba dengan menurunkan jumlah laba
yang dilaporkan guna memperoleh insentif perlindungan impor.
3. Frankel dan Trezervant (1994) membuktikan bahwa penurunan tarif pajak akan
memotivasi manajer untuk merekayasa laba akuntansi.
4. Defond dan Jiambalwo (1994) menguji debt equity hypothesis dengan menganalisis
tingkat akrual dari 94 perusahaan yang melanggar perjanjian utang.
5. Sweency (1994) menguji debt covenant hypothesis dengan kesimpulan yang konsisten
dengan penelitian Defond dan Jiambalwo (1994). Sweency mengevaluasi perubahan
metode akuntansi dari 130 perusahaan yang melanggar perjanjian kredit.
6. Sutanto (2000) dalam penelitiannya menguji apakah laba yang dilaporkan sebelum
mempublik menunjukkan peningkatan relatif dibandingkan dengan laba setelah
mempublik dan apakah perusahaan yang telah melakukan IPO (Intial public offering)
intensitas menggunakan discretionary accruals lebih tinggi untuk laporan keuangan yang
prospektusnya pada laporan keuangan tahunan.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa praktik manajemen laba telah
dilakukan di banyak Negara, termasuk Indonesia. Banyaknya motivasi manajer ketika
melakukan manajemen laba menimbulkan kesulitan dalam membedakan apakah motivasi
manajemeb bersifat opportunistis ataukah efisien. Ketika manajer melakukan manajemen laba,
maka kualitas laba yang dihasilkan dari proses tersebut menurun. Hal ini terjadi karena laba yang
dihasilkan diatur sedemikian rupa sesuai dengan motivasi manajer sehingga tidak mencerminkan
kinerja perusahaan yang sebenarnya. Perilaku opportunistis manajemen dapat dilakukan baik
dengan cara menaikkan jumlah laba yang dilaporkan, atau menurunkan jumlah laba yang
dilaporkan, maupun menyajikan laba yang konstan dari tahun ke tahun sesuai dengan
intertemporal choice yang dihadapi oleh para manajer.

REFERENSI :
http://taskseekers.blogspot.com/2013/12/teori-keagenan.html
https://elqorni.wordpress.com/2009/02/26/mengenal-teori-keagenan/
http://derryjie.blogspot.com/2013/07/makalah-akuntansi-agency-theory.html
http://anggyansyah.blogspot.com/

http://gdeeka01.blogspot.com/
https://bungrandhy.wordpress.com/2013/01/12/teori-keagenan-agency-theory/

Das könnte Ihnen auch gefallen