Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMICU
2
BAB III
MORE INFO
More Info 1
More Info 2
3
BAB IV
PEMBAHASAN
4
2. Subtle generalized convulsive status epilepticus diikuti dengan generalized
convulsive status epilepticus dengan atau tanpa aktivitas motorik.
3. Simple/partial status epilepticus (consciousness preserved)
a. Simple motor status epilepticus
b. Sensory status epilepticus
c. Aphasic status epilepticus
4. Nonconvulsive status epilepticus(consciousness impaired)
a. Petit mal status epilepticus
b. Complex partial status epilepticus.
5
Terdapat dua fase dalam status epileptikus yaitu fase pertama ( 0 – 30 menit)
dan fase kedua (> 30 menit). Pada fase pertama, mekanisme kompensasi masih baik
dan menimbulkan pelepasan adrenalin dan noradrenalin, meningkatnya aliran darah
ke otak, meningkatnya metabolisme, hipertensi, hiperpireksia, hiperventilasi,
takikardi, dan asidosis laktat. Pada fase kedua, mekanisme kompensasi telah gagal
mempertahankan sehingga autoregulasi cerebral gagal dan menimbulkan odem otak,
depresi pernafasan, aritmia jantung, hipotensi, hipoglikemia, hiponatremia, gagal
ginjal, rhabdomiolisis, hipertermia, dan DIC.
Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima
fase. Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah
otak dan cardiac output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan
darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang
diakibatkan asidosis laktat. Perubahan saraf reversibel pada tahap ini.
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi
maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks
serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus
mungkin paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf
maksimal dalam zona Summer. Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan
syaraf begitu kompleks dan melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui
6
reseptor GABA dan meningkatkan pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor
glutamat dengan masuknya ion Natrium dan Kalsium dan kerusakan sel yang
diperantarai kalsium.
7
d. Periksa secara teratur suhu tubuh
e. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis
2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa,
hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan, dan kadar antikonvulsan darah; periksa
AGDA (Analisa Gas Darah Arteri)
3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100
mg IV atau IM untukmengurangi kemungkinan terjadinya wernicke’s
encephalopathy.
5. Lakukan rekaman EEG (bila ada)
6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena
dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika
kejang tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan
kecepatan 150 mg per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika
kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg
per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat
menelan.
Pada : 20 sampai 30 menit, jika kejang tetap berlangsung
1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperatur
2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan
100 mg per menit
Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung
Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus
intravena hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1
mg per kg per jam; kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menentukan
apakah kejang telah berhenti. Pertahankan tekanan darah stabil.
-atau-
Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10
mgper kg per menit, titrasi dengan bantuan EEG.
-atau-
Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis
pemeliharaan berdasarkan gambaran EEG. Lihat tabel 4.1 dan 4.2 obat – obat yang
digunakan dalam status epileptikus.
8
Terapi nonfarmako dari status epileptikus adalah dengan terapi operasi yang
dilakukan apabila tidak ada respon terhadap obat biasanya pada refractory status
epilepticus baik focal resection, lobus resection, maupun multilobar resection. Diet
ketogenik juga bisa dilakukan untuk menurunkan kejang rekuren atau lama, dimana
pengambilan karbohidrat direstriksi tidak pada protein, kalori atau cairan. Stimulasi
vagal dilakukan pada refractory generalized compulsive status epilepticus, dimana
energi listrik dihantar ke otak melalui saraf vagus.
Metabolic
Lactic acidosis
Hypercapnia
Hypoglycemia
Hyperkalemia
Hyponatremia
CSF/serum leukocytosis
Autonomic
Hyperpyrexia
Failure of cerebral autoregulation*
Vomiting
Incontinence
Renal
Acute renal failure from rhabdomyolysis*
Myoglobinuria*
Cardiac/respiratory
Hypoxia
Arrhythmia
High output failure*
Pneumonia
Tabel 4.3 Systemic Complications of Generalized Convulsive Status Epilepticus, AAFP (2003).
9
Sindrom Steven Johnson adalah bentuk eritema multiforme fatal yang timbul
dengan prodromal seperti penyakit flu, dan ditandai dengan lesi-lesi sistemik dan
mukokutan yang berat (Dorland, 2002). SJS dan TEN (Toxic Epidemal Necrolysis)
memiliki proses yang sama. Pada SJS, kerusakan epidermal terjadi pada kurang dari
10 % total area kulit, transisi SJS-TEN didefinisikan dengan kerusakan epidermal
terjadi pada 10 % - 30 % total area kulit, sedangkan TEN didefinisikan dengan
kerusakan epidermal terjadi pada lebih dari 30 % total area kulit.
10
rinitis, mialgia yang terjadi 1- 3 hari sebelum muncul lesi mukokutaneus. Lesi pada
kulit pada tahap awal adalah di wajah, tungkai atas, dan bagian tubuh atas yang
simetris, dimana lesi menyebar dengan cepat dalam beberapa jam sampai beberapa
hari. Lesi awal berupa eritema, makula purpura, iregular dan akan mengalami
koalesen menjadi eritema yang difus. Lesi selanjutnya adalah flaccid blisters akibat
lepasnya epidermis dan kita jumpai adanya tanda Nikolsky.
Selain itu, terdapat trias gejala sindrom steven johnson yaitu kelainan pada
kulit, selaput lendir, dan mata. Kelainan kulit berupa eritema, vesikel, bula bahkan
purpura. Kelainan biasanya bersifat menyeluruh. Sifat dari eritema yakni berbentuk
cincin (tengahnya lebih gelap) biasanya berwarna ungu. Kelainan selaput lendir yang
paling sering adalah di mukosa (lapisan tipis) mulut (100%), kemudian di alat genital
(kemaluan) (50%) sedangkan di lubang hidung atau anus jarang (8% dan 5%).
Kelainan ini dapat berupa vesikel ataupun bula yang cepat sekali memecah sehingga
terjadi erosi (kerusakan kulit yang dangkal) dan ekskoriasi (lecet/kerusakan kulit yang
dalam) dan krusta yang hitam. Kelainan pada mata merupakan 80% di antara semua
kasus. Dimana yang paling sering adalah konjungtivitis (radang pada konjungtiva)
Pemeriksaan laboratorium yang paling baik adalah dengan biopsi kulit. Dari
pemeriksaan CBC bisa dijumpai jumlah leukosit yang normal atau leukositosis yang
nonspesifik. Adanya peningkatan leukosit dapat mengindikasikan adanya infeksi pada
lesi. Kultur darah dan kulit tidak digunakan lagi karena tingginya insidensi terjadinya
sepsis. Pemeriksaan fungsi ginjal dan pemeriksaan fungsi hati. Pemeriksaan elektrolit
mungkin dibutuhkan dalam manajemen cairan. Selain itu, kecepatan pernafasan dan
11
oksigenasi darah juga perlu untuk dimonitor. Pemeriksaan bronkoskopi,
esofagogastroduodenoskopi, dan kolonoskopi dilakukan jika ada indikasi.
12
4.2.8 Komplikasi dan Prognosis Sindrom Steven Johnson (SJS)
Komplikasi SJS yang paling sering adalah sepsis. Pada bagian oftalmologi
adalah ulserasi kornea, fibrosis, entropion, symblepharon, uveitis anterior,
panophthalmitis, dan kebutaan. Pada gastrointestinal adalah esofageal striktur. Pada
genitourinari adalah nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, jaringan parut penis, vagina
stenosis, dan dipareuni. Pada paru adalah tracheobronchial penumpahan dengan
kegagalan pernapasan resultan dan striktur bronkus. Pada kulit adalah jaringan parut
dan deformitas kosmetik, kambuh infeksi melalui penyembuhan lambat ulserasi,
hipopigmentasi dan hiperpigmentasi. Pada kuku adalah distrofi kuku, pigmentasi
kuku, dan anonikia.
4.3 Karbamazepin
Farmakokinetik karbamazepin adalah dimulai dari absorpsi di saluran cerna
,kecepatan absorbsi berbeda-beda. Konsentrasi puncak plasma obat tercapai pada 6-8
jam setelah pemberian obat. Jika diberi setelah makan absorpsi akan lambat sehingga
pasien lebih toleran dengan dosis harian yang lebih besar. Konsentrasi puncak jia
dalam bentuk tablet adalah 6 – 12 jam pada dosis tunggal dan jika menggunakan sirup
13
maka dosis puncak adalah 2 jam. Distribusi karmazepin adalah lambat dan volumenya
kira2 1L/kg dengan pengikatan terhadap protein plasma yang tinggi(70-80%). Obat
ini dimetabolisme di hati dan dioksidasi menjadi metabolit epoksida yang bersifat
antikonvulsan. Ekskresi obat ini di ginjal melalui urin 72 % dan melalui feses 28%.
Waktu paruh dari ekskresi Karbamazepin rata-rata 36 jam dari dosis tunggal per oral,
kemudian menurun menjadi 20 jam setelah terapi lanjutan tergantung dari lamanya
pengobatan.
14
- 11-15tahun: 600-1000mg 3x/hari
* Tablet kurang dianjurkan untuk anak dibawah 5 tahun,dianjurkan kemasan sirup.
Efek samping karbamazepin adalah bingung, sedasi, ataksia, tremor, vertigo, nyeri
kepala, mual, muntah, amnesia retrograde, gangguan koordinasi berfikir, disatria,
psikosis, cemas (anxiety), agresif, mudah tersinggung, mimpi buruk, insomnia, marah,
paranoid, mudah tersinggung, halusinasi, hipotensi, penglihatan kabur, diplopia,
pusing (dizziness), konstipasi, nausea, inkontinensia/retensi urinary, perubahan libido,
ruam pada kulit, perubahan salivasi; drymouth, hipersalivasi, anemia hemolitik,
agranulositosis.
Toksisitas karmbamazepin dapat dibagi 2 yaitu ringan dan berat. Ringan yaitu
somnolen, bingung, dan hilang refleks. Berat yaitu sedasi, , hipotensi, hipotonia,
ataxia, depresi pernafasan, koma. Jika dalam keadaan toksisitas maka berikan
Flumazenil sebagai antidotum 0,2 mg untuk 30 saat pertama, kemudian 0.3 mg untuk
30 saat kedua, kemudian 0.5mg setiap 60 saat sehingga maksimal 3.0 mg.
BAB V
ULASAN
Ada beberapa hal masih belum jelas dalam hal, pasien S diberikan apa
sebagai pengganti karbamazepin untuk mengatasi kejang? Setelah mendapat
15
penjelasan dari pakar diketahui bahwa kita dapat menggantikan denganasam valproat
atau menggunakan fenitoin.
Mengapa lesi pada SJS banyak dijumpai di kulit? Lesi banyak di kulit
karena adanya keratinosit di kulit sehingga banyak CD8+ yang akan merusak
keratinosit di kulit dan menyebabkan apoptosis.
BAB VI
KESIMPULAN
16
S mengalami status epileptikus dan Steven Johnson Syndrome akibat pemberian
karbamazepin.
DAFTAR PUSTAKA
17
Ho, HHF. Diagnosis and Management of Steven Johnson Syndrome and Toxic
Epidemal Necrolysis. Medical Bulletin 13(10).2008.
LAMPIRAN
18
Antiepileptic Drugs Used in Status Epilepticus
Metabolic
Lactic acidosis
Hypercapnia
19
Hypoglycemia
Hyperkalemia
Hyponatremia
CSF/serum leukocytosis
Autonomic
Hyperpyrexia
Failure of cerebral autoregulation*
Vomiting
Incontinence
Renal
Acute renal failure from rhabdomyolysis*
Myoglobinuria*
Cardiac/respiratory
Hypoxia
Arrhythmia
High output failure*
Pneumonia
20
Cancer or hematologic malignancy 1 3 35,8%
21