Sie sind auf Seite 1von 14

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Definisi Stomatitis Alergika
Stomatitis alergika atau stomatitis venenata merupakan suatu reaksi hipersensitivitas
yang disebabkan oleh alergen penyebab yaitu obat-obatan, makanan, bahan kedokteran
gigi(bahan restorasi, prostetik, alat ortodonti, merkuri, akrilik, cobalt).1
Stomatitis alergika adalah suatu reaksi hepersensitivitas yang timbul pada rongga
mulut yang disebabkan oleh kontak terhadapa allergen.2
2.2 Hipersensitivitas
Terminologi alergi pertama kali diperkenalkan oleh Clemens von Pirquet pada tahun
1906 yang menemukan reaksi berupa gejala dan tanda yang tidak biasa pada orang-orang
tertentu ketika terpajan pada suatu alergen. Namun istilah tersebut kini lebih identik
dengan penyakit alergi yang juga dikenal sebagai kelainan atopi. Von Pirquet sendiri
menggunakan istilah alergi tidak terbatas untuk respons biologis saja, tetapi juga pada
proses imunitas (efek yang menguntungkan) dan penyakit alergi (efek yang merugikan).
Istilah atopi berasal dari bahasa Yunani atopos yang berarti tidak pada tempatnya; sering
digunakan untuk menunjukkan kondisi alergi herediter, yaitu rinitis alergi (hay fever),
asma, dan dermatitis atopi. Karakteristik atopi adalah ditemukannya IgE sebagai respons
terhadap alergen lingkungan secara umum dan uji kulit yang positif.3
Reaksi alergi terjadi jika seseorang yang telah memproduksi antibodi IgE akibat
terpapar suatu antigen (alergen), terpapar kembali oleh antigen yang sama. Alergen
memicu terjadinya aktivasi sel mast yang mengikat IgE pada jaringan. IgE merupakan
antibodi yang sering terlihat pada reaksi melawan parasit, terutama untuk melawan cacing
parasit yang umumnya mewabah pada negara yang masih terbelakang. Namun demikian,
pada negara maju, respon IgE terhadap antigen sangat menonjol dan alergi menjadi sebab
timbulnya penyakit. Hampir separuh masyarakat Amerika bagian utara dan juga
masyarakat Eropa mempunyai alergi terhadap satu atau lebih antigen yang berasal dari
lingkungan, misalnya serbuk bunga. Meskipun bahan alergen itu tidak sampai
mengakibatkan kematian namun sangat mengganggu produktivitas karena menyebabkan
penderitanya tidak dapat bekerja maupun sekolah. Oleh karena alergi menjadi masalah
kesehatan yang cukup penting sehingga patofisiologi yang ditimbulkan oleh IgE lebih
diketahui daripada peran IgE pada fisiologi yang normal. Istilah alergi awalnya berasal
dari Clemen Von Pirquet yang artinya adalah perubahan kemampuan tubuh dalam
merespon substansi asing. Definisi ini memang cukup luas karena mencakup seluruh
reaksi imunologi. Alergi saat ini mempunyai definisi yang lebih sempit yaitu penyakit

yang terjadi akibat respon sistem imun terhadap antigen yang tidak berbahaya. Alergi
merupakan salah satu respon sistem imun yang disebut reaksi hipersensitif. Reaksi
hipersensitif merupakan salah satu respon sistem imun yang berbahaya karena dapat
menimbulkan kerusakan jaringan maupun penyakit yang serius. Oleh Coobs dan Gell
reaksi hipersensitif dikelompokkan menjadi empat kelas.4
1.
Tipe I (reaksi hipersensitivitas terjadi bila alergen berinteraksi membentuk antibody
2.

IgE yang spesifik dan berikatan dengan mast sel. 6


Tipe II (reaksi antibodi sitotoksik) melibatkan antibodi IgG dan IgM yang
mengenali alergen di membran sel. Dengan adanya komplemen serum, maka sel
yang dilapisi antibody akan dibersihkan atau dihancurkan oleh sistem

3.

monositmakrofag. 6
Tipe III (kompleks imun) disebabkan oleh kompleks solubel dari alergen dengan

antibodi IgG dan IgM. 6


4.
Tipe IV (reaksi hipersensitivitas lambat): reaksi yang dimediasi oleh limposit T.6
2.3 Etiologi
Etiolgi stomatitis alergika adalah adanya mutasi alel spesifik pada kromosom 5.
Juga dapat karena factor genetic.
2.4 Faktor Predisposisi
Stomatitis

alergika

atau

stomatitis

venenata

merupakan

suatu

reaksi

hipersensitivitas yang disebabkan oleh alergen penyebab yaitu obat-obatan, makanan,


bahan kedokteran gigi(bahan restorasi, prostetik, alat ortodonti, merkuri, akrilik, cobalt).1
2.4.1

Obat-obatan
Seiring dengan munculnya obat-obat baru dalam upaya diagnosis dan tata
laksana penyakit, maka akan terjadi juga peningkatan angka kejadian reaksi
simpang obat. Reaksi simpang obat adalah respons yang tidak diinginkan atau
diharapkan pada pemberian obat dalam dosis terapi, diagnosis, atau profilaksis.
Sebagian besar reaksi simpang obat tidak memiliki komponen alergi. Reaksi alergi
obat adalah reaksi simpang obat melalui mekanisme reaksi imunologi.
Diperkirakan sekitar 6-10% dari reaksi simpang obat merupakan reaksi alergi
obat.5
Reaksi alergi obat dapat muncul mulai dari yang ringan seperti eritema
hingga yang berat seperti reaksi anafilaksis, Sindrom Steven-Johnson (SSJ),
Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) serta Sindrom Hipersensitivitas Obat (SHO).
Sindrom hipersensitivitas obat adalah suatu kondisi mengancam nyawa yang
ditandai oleh ruam kulit, demam, leukositosis dengan eosinofilia atau limfositosis

atipik, pembesaran kelenjar getah bening, serta gangguan pada hati atau ginjal.
Sindrom hipersensitivitas obat memiliki gambaran klinis yang sulit dibedakan
dengan penyakit lain, oleh karena itu SHO ini memiliki banyak nama lain seperti,
Drug Rash Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS), Drug-Induced Delayed
Multiorgan Hypersensitivity Syndrome (DIDMOHS), pseudolimfoma, serta febrile
mucocutaneuous syndrome. Pada makalah ini selanjutnya akan digunakan istilah
SHO.5
Beberapa jenis obat, seperti obat golongan antikonvulsan, alupurinol, dan
obat golongan sulfa yang terkait dengan timbulnya SHO antara lain: Anti kejang,
Karbamazepin, Fenitoin, Fenobarbital, Zonisamid, Lamotrigin, Alupurinol,
Minosiklin, Dapson, Sulfasalazin, Mexiletin. Terdapat berbagai faktor yang
berperan dalam terjadinya SHO, yaitu paparan terhadap obat yang berpotensi
kepada individu yang memiliki kerentanan.5

2.4.2

Alergen Makanan
Kejadian alergi makanan atau reaksi yang merugikan terhadap makanan
meningkat selama 2-3 dekade terakhir. Hal ini disebabkan karena perubahan
lingkungan, perubahan gaya hidup, perubahan pola makan, dan perubahan proses
produksi dan pengawetan makanan. Pencegahan alergi makanan terbagi menjadi 3
tahap, yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier. Pengobatan yang paling
penting pada alergi makanan ialah eliminasi terhadap makanan yang bersifat
alergen. Pengobatannya bervariasi, tergantung kepada jenis dan beratnya gejala.6
Ada beberapa defenisi untuk membedakan beberapa macam reaksi yang
merugikan terhadap makanan :
1. Food intolerance/food sensitivity
Yaitu istilah umum untuk semua respons fisiologis yang abnormal
terhadap makanan/aditif makanan yang ditelan. Reaksi ini merupakan
reaksi non imunologik dan merupakan sebagian besar penyebab reaksi
yang tidak diinginkan terhadap makanan. Reaksi ini mungkin disebabkan

oleh zat yang terkandung dalam makanan seperti kontaminasi toksik


(misalnya, histamine pada keracunan ikan, toksin yang disekresi oleh
salmonella,

shigela,

dan

campylobacter),

zat

farmakologik

yang

terkandung dalam makanan (misalnya, kafein pada kopi, tiramin pada


keju) atau karena kelainan pada pejamu sendiri, seperti gangguan
metabolisme (misalnya, defi-siensi laktase) maupun suatu respons
idiosinkrasi pada pejamu. 6
2. Food allergy/food hyprsensitivity yaitu reaksi terhadap makanan yang
dapat berulang, mempunyai latar belakang reaksi imunologis yang
abnormal. 6
Food aversion (psychologically based food reaction) yaitu reaksi terhadap
makanan, tidak mengenakkan, karena faktor psikologis atau reaksi emosi
terhadap makanan, sehingga kalau yang bersangkutan tidak mengetahui
kalau makan makanan tersebut reaksi tidak timbul.6
Beberapa jenis makanan yang dapat menimbulkan alergi dapat
digolongkan menurut kekerapannya sebagai berikut:
1. Golongan makanan yang paling sering menimbulkan alergi.
Makanan yang termasuk golongan ini antara lain

susu

sapi/kambing, telur, kacang-kacangan, ikan laut, kedelai serta gandum.6


2. Golongan Makanan Yang Relatif Jarang Menimbulkan Alergi.
Makanan yang termasuk golongan ini antara lain daging ayam,
daging babi, daging sapi, kentang, coklat, jagung (nasi), jeruk serta
bahan-bahan aditif maka-nan. Reaksi terhadap buah-buahan seperti
jeruk, tomat, apel relatif sering dilaporkan, tetapi sebagian besar
melalui timbul pada usia 15 bulan, dengan gejala yang berlangsung
agak lama. Gejala alergi terhadap buahbuahan ini umumnya berupa
gatal gatal di mulut. Jeruk sering dapat menyebabkan gatal serta
kemerahan pada kulit bayi. Sifat alergenitas buah dan sayur dapat
berkurang bila disimpan dalam freezer selama 2 minggu atau dimasak
selama 2 menit. Sampai sekarang belum ada data yang menunjukkan
bahwa reaksi terhadap buahbuahan ini murni karena alergi yang
diperani oleh IgE.6
3. Bahan aditif pada makanan
Selain golongan makanan yang telah disebutkan di atas,
beberapa jenis bahan yang ditambahkan pada makanan juga dapat
menimbulkan reaksi alergi sehingga sering salah duga dengan bahan
makanan aslinya sebagai penyebab alergi. Bahan aditif dapat berupa

.4.3

bahan alami seperti bumbu atau dapat juga berupa bahan sintetis
misalnya bahan pengawet, pewarna serta penyedap makanan misalnya
vetsin. Biasanya bahan aditif alami lebih aman dibandingkan dengan
bahan sintetis. 6
Menurut fungsinya, bahan aditif ini dapat dibagi beberapa
kelompok yaitu bahan pewarna, bahan pengawet, bahan penambah
rasa serta bahan emulsi dan stabilisator makanan. Bahan pewarna yang
sering menimbulkan reaksi alergi adalah tartarzine, bahan pengawet
asam benzoat sedangkan bahan penambah rasa yang sering
menimbulkan reaksi alergi adalah monosodium glutamat yang terkenal
dengan gejala Chinese Restaurant syndrome.6

Alergen Bahan Kedokteran Gigi


Di dalam rongga mulut, faktor-faktor seperti temperatur, jumlah dan kualitas
saliva, plak, pH, protein, sifat finis dan kimiawi makanan dan cairan, kesehatan
umum dan mulut dapat mempengaruhi terjadinya korosi. Diduga frekuensi reaksi
hipersensitifitas akan bertarnbah pada pasien-pasien yang menggunakan alat
artodonti, terutama yang menggunakan nickel-titanium alloy. ) Semakin lama
berkontak dengan logam ini semakin besar resiko terjadinya sensitifitas. Namur
demkian, penggunaan alat ortodonti yang mengandung nikel tidak akan
menyebabkan reaksi hipersensitifitas nikel pada individu yang belum
tersensitisasi.7
Kebanyakan dari alloy ini rnerniliki nikel sebagai salah satu omponennya.
Persentase logam nikel di dalam alloy bervariasi antara 8 % seperti di dalarn
kandungan stainless steel dan lebih dari 50 % seperti di dalam nickeltitanium
ailoy.(Janson dkk;1998). Nickel merupakan penyebab aiergi kontak yang paling
sering terjadi pada wanita. Frekuensi hipersensitivitas terhadap nickel dilaporkan
sekitar 20 % pada wanita muda, dan kurang debih 10 kali lebih besar dibanding

dengan pria. Proses sensitisasi nikel dalam skala besar disebabkan oleh
melimpahnya bahan ini di dalam pernak-pernik logam yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Dinamika dalam dunia mode ikut berperan di dalam
meningkatkan potensi sensitisasi nikel ini bahkan di kalangan anakanak. Banyak
sekali asesoris yang menyertai penamplan baik wnita maupun pria memiliki
bahan dasar nikel tentunya akan menyebabkan proses sensitisasi.7

Mekanisme Stomatitis Alergika


2.5.1 Mekanisme pada Alergen Obat-Obatan
Pasien yang mengalami SHO memiliki sel limfosit T yang teraktivasi dalam
sirkulasinya. Sel limfosit T yang spesifik terstimulasi dengan konsep p-i
(pharmacological interaction with immune receptors) menghasilkan interleukin 5 (IL5) dan interferon gamma (IFN-g). Interleukin 5 merupakan faktor kunci dalam
pengaturan pertumbuhan, diferensiasi, dan aktivasi eosinofil. Sementara itu IFN-g
memiliki peran dalam up regulation major histocompatibility complex (MHC) kelas II
pada keratinosit. Aktivasi MHC kelas II tersebut selanjutnya akan mempresentasikan
obat ke sel T CD4+.5
Konsep p-i menjelaskan bahwa obat memiliki kesesuaian terhadap protein atau
enzim tertentu sehingga mempengaruhi kerjanya. Beberapa jenis obat dapat langsung
berikatan dengan reseptor pada sel T. Interaksi antara obat dengan sel T akan
mengaktifkan respon imun. Oleh karena itu terkadang reaksi yang timbul tidak
mengikuti kaidah respon imun yang ada, yaitu reaksi dapat terjadi pada paparan
pertama tanpa memerlukan proses sensitisasi sebelumnya.5
Penjelasan lain adalah pada reaksi eksantema makulopapular, reaksi yang
berperan didominasi oleh aktivasi sel T helper 2 (Th2) (reaksi hipersensitivitas tipe
IV) yang terkait dengan sekresi IL-4, IL-5, serta IL-13. Selain itu juga terdapat

hubungan dengan reaksi alergi tipe I, yaitu sekresi IL-4 dan IL-13 akan meningkatkan
produksi IgE.5

2.5.2 Mekanisme pada Alergen Makanan

Ket: Gambar 2. Limposit T berikatan dengan B sel pada saat allergen sudah
menempel pada B sel. Ikatan ini membentuk plasma sel dan plasma sell akan
menghasilkan IgE yang berfungsi sebagai antibodi. Alergen akan menempel pada
IgE yang kemudian akan menempel pada mast sel, dan menyebabkan granulasi
pada mast sel.6

5.3

Ket. Gambar 3. Macrofag menangkap allergen dan pada saat itu juga
macrofag menghasilkan T sel dan T sel ini berikatan dengan B sel dan B sel akan
menghasilkan IgE yang juga akan mengikat allergen. Pada saat B sel dan T cell
berikatan akan membentuk plasma sel sehingga IgE terlepas dan menempel pada
mast sel. Sebagian allergen selain dimakan oleh makrofag akan menempel pada
IgE yang terikat pada mast sel dan apabila IgE ini tidak tahan(IgE sebagai antibodi
tidak berfungsi maksimal) akan menyebabkan granuasi mast sel inilah yang
menyebabkan alergi.6
Mekanisme pada Alergen Bahan Kedokteran Gigi
Hipersensitifitas terhadap nikel merupakan delayed hypersensitivity
reaction, Kelainan ini terdiri dari dua face yaitu Fase induksi, periode sejak kontak
pertama dan Fase ellisitasi, periode sejak kontak untuk kedua kalinya sampai
timbul gejala -gejala.7

2.6

Manifestasi Klinis

2.6.1 Manifestasi Klinis pada Alergi Obat-Obatan


Sindrom hipersensitivitas obat terjadi sekitar 3 minggu hingga 3 bulan setelah
pemberian obat, yang ditandai oleh demam dan munculnya lesi kulit. Gambaran
klinis yang penting adalah awitan yang lambat setelah obat penyebab diberikan. Hal
tersebut yang membedakan SHO dengan erupsi obat lainnya.5
Erupsi kulit yang timbul biasanya dimulai dengan bercak makula eritematosa,
sedikit gatal, dan kemudian akan meluas dan menyatu (konfluensi). Kelainan kulit
generalisata ditemukan pada sekitar 85% kasus. Demam muncul sesaat mendahului
ruam kulit, dengan kisaran suhu 38-40oC. Demam umumnya akan tetap berlanjut
meskipun obat penyebab telah dihentikan. Lesi kulit awalnya muncul pada daerah
wajah, tubuh bagian atas, serta ekstremitas atas yang kemudian diikuti oleh
ekstremitas bawah. Pada wajah akan dijumpai konjungtivitis, edema periorbita, dan
pustul. Telapak tangan biasanya tidak terkena, meski pada beberapa kasus dapat
dijumpai lesi dalam jumlah sedikit.5
Limfadenopati yang nyeri dapat ditemukan pada sekitar 70% kasus. Umumnya
kelenjar getah bening yang terlibat adalah kelenjar getah bening servikal. Mukosa
umumnya tidak terlibat pada SHO, namun dapat ditemukan sedikit lesi di mukosa
mulut dan bibir. Rongga mulut akan terasa kering akibat xerostomia berat. Hal
tersebut akan menyulitkan asupan makanan pasien. Gejala dan tanda tersebut dapat
mengalami perburukan 3-4 hari setelah obat pencetus dihentikan. Fenomena

paradoksikal tersebut juga menjadi salah satu karakteristik SHO. Pada pemeriksaan
fisik abdomen ditemukan hepatomegali atau splenomegali.5
Organ dalam yang seringkali terlibat pada SHO adalah hati (80%), ginjal (40%),
serta paru (33%). Keterlibatan susunan saraf pusat (ensefalitis, meningitis aseptik)
jarang ditemukan. Sebagian kecil pasien dapat mengalami hipotiroid akibat tiroiditis
autoimun dalam waktu dua bulan setelah gejala muncul. Kolitis yang ditandai oleh
diare berdarah dan nyeri abdomen juga dilaporkan meskipun jarang.5
2.6.2 Manifestasi Klinis Alergi Makanan
Biasanya terjadi setelah beberapa menit (maksimal 1 jam) dapat lokal maupun
sistemik. 8
Gejala umum pada Orofaring

iritasi/pembengkakan orofaring
oedema mukosa oral
gatal dan terbakar pada bibir, lidah, langit-langit dan orofaring

Gejala Ekstra Oral

gatal pada wajah dan leher


dermatitis atropik
gatal-gatal pada telinga dan pilek

Gejala Sistemik(mungkin terjadi)


-nausea, muntah, sakit perut, diare, rasa gatal, dan syok anafilaksis.
2.6.3 Manifestasi Klinis Alergi Bahan Kedokteran Gigi
Ion metal yang terlepas dapat mengakibatkan reaksi hipersensitifitas lokal
pada jaringan lunak mulut, dengan gejala kemerahan tanpa disertai edema, gangguan
indera pengecap, rnati rasa, rasa terbakar dan rasa sakit pada daerah yang terkena,
seringkali disertai dengan angular cheifitis.7
2.7 Penatalaksanaan
Pengobatan stomatitis alergi adalah menghindari alergen dan menggunakan
antihistamin. penyakit alergi dapat diobati dengan kortikosteroid, imunosupresan, dan
antihistamin.9
Antihistamin bekerja secara kompetitif terhadap reseptor antihistamin pada
sel, dengan demikian anthistamin akan mencegah kerja histamin pada organ target.
Antihistamin juga mampu menghambat pelepasan mediator inflamasi, namun tidak
dapat menghilangkan efek histamin yang telah timbul sehingga lebih berguna sebagai

pencegahan terlepasnya kembali histamin dari pada sebagai pengobatan yang


ditimbulkan oleh stimulasi histamin.10
Antihistamin generasi pertama digunakan sebagai obat tunggal atau dalam
bentuk kombinasi dengan obat lain. Contoh : klorfeniramine, difenhidramine,
prometazin, hidroksisin dan lain-lain. Namun, efek yang tidak diinginkan obat ini
adalah menimbulkan rasa mengantuk sehingga mengganggu aktifitas dalam
pekerjaan. Efek sedatif ini diakibatkan oleh karena antihistamin generasi pertama ini
memiliki sifat lipofilik yang dapat menembus sawar darah otak sehingga dapat
menempel pada reseptor H1 di sel-sel otak. Dengan tiadanya histamin yang menempel
pada reseptor H1 sel otak, kewaspadaan menurun dan timbul rasa mengantuk. 10
Antihistamin generasi kedua mempunyai efektifitas antialergi seperti generasi
pertama, memiliki sifat lipofilik yang lebih rendah sulit menembus sawar darah otak.
Yang termasuk dalam antihistamin ini yaitu terfenadin, astemizol, loratadin dan
cetirizin. Reseptor H1 sel otak tetap diisi histamin, sehingga efek samping yang
ditimbulkan agak kurang tanpa efek mengantuk. Obat ini ditoleransi sangat baik,
dapat diberikan dengan dosis yang tinggi untuk meringankan gejala alergi sepanjang
hari, terutama untuk penderita alergi yang tergantung pada musim. Namun efek
samping nya yg dilaporkan terjadinya aritmia ventrikel, gangguan ritme jantung yang
berbahaya, dapat menyebabkan pingsan dan kematian mendadak. 10
Tujuan

mengembangkan

antihistamin

generasi

ketiga

adalah

untuk

menyederhanakan farmakokinetik dan metabolismenya, serta menghindari efek


samping yang berkaitan dengan obat sebelumnya. Yang termasuk antihistamin
generasi ketiga yaitu feksofenadin, norastemizole dan deskarboetoksi loratadin
(DCL). 10
Merupakan derifat hormon kortikosteroid yang dihasilkan oleh kelenjar
adrenal,

memiliki

peran

penting

termasuk

mengontrol

respon

inflamasi.

Kortikostoroid mempunyai kemampuan menekan peradangan/inflamasi, dapat


sebagai imunosupresan, menghambat kemotaksis neutrofil, menekan pengeluaran
sitokin, menekan reaksi alergi-imunologi dan lain-lain.11
2.7.1 Tatalaksana Alergen Obat-Obatan
Tata laksana yang dilakukan bersifat suportif yaitu antipiretik untuk
menurunkan suhu, nutrisi adekuat, cairan intravena yang cukup, serta
perawatan kulit. Penghentian obat tersangka sesegera mungkin merupakan

tindakan pertama yang perlu dilakukan. Hingga saat ini kortikosteroid


merupakan terapi pilihan untuk SHO. Umumnya demam serta ruam kulit akan
mengalami perbaikan dengan pemberian kortikosteroid sistemik. Dosis yang
digunakan adalah prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari. Pemberian kortikosteroid
sistemik harus secara perlahan diturunkan, meskipun didapatkan gambaran
klinis yang membaik dengan cepat. Hal tersebut dikarenakan besarnya
kemungkinan terjadinya flare up kembali pada SHO. Risiko terjadinya sepsis
akibat pemberian kortikosteroid sistemik lebih rendah apabila dibandingkan
dengan kasus SSJ atau NET. Hal tersebut diakibatkan tidak adanya perubahan
barier mukosa atau kulit yang signifikan. Antihistamin dan kortikosteroid
topikal dapat pula diberikan untuk mengurangi keluhan yang ada.5
Apabila tetap terjadi perburukan gejala meskipun kortikosteroid
sistemik telah diberikan, maka terdapat beberapa obat lain yang dapat
diberikan. Pemberian immunoglobulin intravena dan plasma exchange dapat
menjadi alternative.5
2.7.2

Tatalaksana Alergen Makanan


Menghindari makanan yang menjadi sumber alergen.8
Kortikosteroid topikal : triamnicolone 0,1% fluocinolone 0,05%.
Apabila diperantai oleh Ig E sistemik: kortikosteroid systemik.
Antihistamin untuk kadar Ig E yang sedang biasanya ada manifestasi
pada kulit dan tidak ada manifestasi sistemik.

2.7.3

Tatalaksana Alergen Bahan Kedokteran Gigi


Antihistamin, Contohnya Setirizin HCL 10 mg tab
Mengindari allergen
Kortikosteroid topikal >> Triamcinolone acetonide 0,1 % in orabase.
2.8 Pemeriksaan Penunjang
Testempel (patch test) Bahan yang dicurigai ditempelkan pada kulit dengan bantuan
chamber. Testusuk (prick test) Tes ini dilakukan untuk mengetahui bahan makanan ataupun
hirupan (inhalasi) yang dapat menimbul kanurtikaria, sehingga masuk dalam tes untuk reaksi
hipersensitifitas tipe cepat yang dimediasi oleh sistem imunitas humoral. Teknik pelaksaanan
mirip dengan tes gores, hanya saja bahan alergen diteteskan selanjutny dilakukan tusukan
pada ekstrak alergen hingga lapisan epikutan eustan paper darahan. Kontrol positif yang
digunakan adalah histamine.
Darah tepi : bila eosinofil 5% atau 500/ml condong ada alergi. IgE total dan
spesifik: Pemeriksaan IgE spesifik menggunakan Radioallergosorbent test (RAST)
lebih praktis dari pada test tusuk kulit. Ketika seseorang mempunyai riwayat alergi

makanan dan pemeriksaan IgE untuk makanan tersebut positif, maka tindakan
pertama yang perlu dilakukan adalah menghindari makanan tersebut.
Tes ELISA Bergantung pada apa yang ingin di uji, pada tehnik ELISA haru sada
antibody atau antigen yang dikonjugasikan dengan enzim dan substrat yang sesuai.
2.9 Diagnostik Banding
Gingivostomatitis Herpetik Primer.2
persamaan
- burning sensation
- lesi eritema
- sakit saat makan
perbedaan
- disebabkan oleh virus HSV tipe 2.

DAFTAR PUSTAKA
1. Erni Indrawati dan Kus Harijanti 2014. Managementofallergic stomatitisdue todaily
foodconsumption(Penatalaksanaan stomatitis alergika akibat konsumsi makanan seharihari). Dentofasial, Vol.13, No.2, Juni 2014:129-134
2. Langlais,RP, Miller C.S. 2012. Atlas Berwarna: Lesi Mulut Yang Sering Ditemukan ed.4.
Jakarta:EGC
3. Yulia, cut Indah Sari. Infl amasi Alergi pada Asma . CDK-207/ vol. 40 no. 8, th. 2013

4. Muhaimin

Rifai,

HIPERSENSITIF.

PhD.Med.Sc.
JURUSAN

ALERGI

BIOLOGI

DAN

HIPERSENSITIF

FAKULTAS

MATEMATIKA

ALERGI

DAN

DAN

ILMU

PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2011


5. Rahmat Cahyanur, Sukamto Koesnoe, Nanang Sukmana. Sindrom Hipersensitivitas Obat. J
Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011
6. Sugiatmi. Alergi Makanan. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Vol.8, No.2, Juli 2012
7. Priska, Pricillia Sianita K. Herlianti lswari S. FAKTOR ALERGI PADA ALAT ORTODONTI
CEKAT (Fixed Appliance) . Tahun 28 Nornor 310 JL.Ih 2011
8. Martina Ausucua, Igone Dublin, Maria A. Echebarria, Jose M. Aguirre. Journal section: Oral
Medicine and Pathology doi:10.4317/medoral.14.e568 Publication Types: Review Oral
Allergy Syndrome (OAS). General and stomatological aspects
9. Erni Indrawati dan Kus Harijanti 2014. Managementofallergic stomatitisdue todaily
foodconsumption(Penatalaksanaan stomatitis alergika akibat konsumsi makanan seharihari). Dentofasial, Vol.13, No.2, Juni 2014:129-134
10. Putra, imam budi. 2008. PEMAKAIAN ANTIHISTAMIN PADA ANAK. USU-eReposery
11. Barnard, Malcolm. (2002). Fashion as Communication. London: Routledge

Das könnte Ihnen auch gefallen