Sie sind auf Seite 1von 16

TUGAS

MATAKULIAH
FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN

OLEH
TAUFIKKURRAHMAN

PENTARAN ALIH TAHUN (PAT)


PROGRAM DOKTOR TEKNIK SIPIL
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2013

Being Loyal
In many places Loos asserts his work to
be a commentary on tradition. The
house on the Michaelerplatz is a problem
of Viennese architecture: it must be able
to
be
understood
against
this
background, to carry on a dialogue with
the
Hofburg,
and
to
resolve
compositional questions "in terms of our
old Viennese masters." In his important
essay of 1910, "Architecture," to which
we shall return at the end of this
chapter, Loos reconfirms in even more
general terms the fact that he belongs to
the history of language, the only ground
in which thought can grow.

Menjadi Setia
Di berbagai tempat, Loos menegaskan karyanya
yang menjadi sebuah perbincangan dalam tradisi.
Rumah yang ada di Michaelerplatz merupakan
permasalahan dari arsitektur Viennese: hal itu
merupakan latar belakang yang harus dapat
dipahami untuk melakukan dialog dengan Hofburg,
dan untuk menyelesaikan komposisi pertanyaan
"dalam istilah-istilah Viennese kita yang lama."
Dalam tulisan pentingnya pada tahun 1910,
"Arsitektur," yang kita akan bahas pada akhir bab
ini, Loos menegaskan peristiwa dalam istilah yang
lebih umum bahwa ia memiliki sejarah bahasa,
yang merupakan satu-satunya daerah yang dapat
mengembangkan pikirannya.

Here the critique of the fetish of the


"creative life" becomes radical: he
opposes the solipsism of its beauty in
front of the mirror with the meaning of
tradition and belonging. And he opposes
"invented" architecture, the lie that
walks beside us, with "the truth, though
it be centuries old.
It is necessary to dwell upon the
philosophy of these assertions, which
logically
emerges
from
Loos's
commentary. Their accent does not fall
on
the
nostalgia
for
patriarchal
handicraft-culture; their polemical target
is the architect as dominatorthe
dominance of one meaning, of one
direction, of one organization over the
combination of materials and languages
that produce the work.
In the impatience for the new that is
expressed in the architect's "artistic
creation," Loos sees a pretense to
erecting a work as text, or to erecting a
work to serve as a central language,
around which the other languages
degenerate into means or instruments,
and those of the past become an
"eternal image." Loos's conception
seems to come strikingly close to
Wittgenstein's critique of the single
language" capable of "representing" the
world.'

Ini kritikan terhadap pemujaan dari "kehidupan


yang kreatif" yang menjadi radikal: ia menentang
paham solipsis dari keindahannya didepan cermin
karena wujud dari tradisi dan kepemilikan. Dan ia
menentang "diciptakan" arsitektur, kebohongan
yang berjalan di samping kita, terhadap "kebenaran,
meskipun itu sudah terjadi berabad-abad lamanya.
Hal ini perlu dibandingkan dengan pernyataan
filosofi, yang secara logis muncul dari komentar
Loos itu. Logat mereka tidak menjatuhkan kerajinan
patriarkal-budaya, target polemik mereka adalah
arsitek sebagai dominator-dominasi dari satu
makna, satu arah, satu organisasi lewat kombinasi
bahan dan bahasa yang menghasilkan pekerjaan.

Dalam ketidaksabaran terhadap hal yang baru itu


yang diekspresikan dalam arsitek "kreasi artistik,"
Loos melihat kepura-puraan untuk mendirikan
sebuah pekerjaan seperti
naskah, atau untuk
menciptakan sebuah karya dengan menyajikan
bahasa utama, atau bahasa lain yang berubah
menjadi sarana atau instrumen, dan sarana dari
masa lalu itu menjadi sebuah "gambaran yang
kekal." Konsepsi Loos tampaknya hampir sama
dengan kritik Wittgenstein dari satu bahasa yang
mampu "mewakili" dunia.

Here the world is "represented" by


multiple games, constitutive forms of
opening onto the world, forms of life. No
game is comprehensible by itself and in
itself. They all confront each other, argue
amongst each other, and exist in a
dimension of openness and discourse
that does not accept a single solution.
Loos's relationship with the craftsman is
a constant questioning of the single
language, a continual problematicization
of language as a combination of
linguistic games, a repetition of the
assertion that to speak of one language
(or of one game) is mere abstraction.
Language is tradition, use, praxis,
comprehension, and the contradiction
existing among the various openings
onto the world: it is the accumulation of
eventswhich
do
not
demand
contemplation, but rather the fleeting
gaze of the Angel, who remembers and
collects, symbol of the "discourse that
we are."
In
this
light,
Loos's
critique
of
architecture's "degeneration" to the level
of graphic art assumes particular
importance. "All of the new architecture
is invented at the drawing table, and
only later do the resulting drawings find
their graphic realization, like paintings at
a wax museum. It is significant that it
should have been Schonberg who, in the
Festschrift for Loos's sixtieth birthday,"
underscored
this
spatial,
threedimensional character of his work. In
Loos, it is a question not only of
indicating the specificity of a language.
in this case, the language of architecture
but
also
of
demonstrating
the
impossibility of reducing any language or
linguistic
game
to
writing,
the
impossibility of explaining and resolving
the openness of a linguistic game in the
dimensionality of its written notation.
The "dominating" architect dominates
through pencil and book: the instrument
of writing and the result of writing.
The work follows the project. The project
directs the praxis of handicraft labor. The

Ini dunia yang "diwakili" oleh beberapa


permainan/tujuan, bentuk-bentuk dunia konstitutif,
bentuk-bentuk kehidupan. Tidak ada permainan
yang dipahami oleh dirinya sendiri. Mereka semua
saling menghadapi satu sama lain, berdebat antara
satu sama lain, dan ada dalam dimensi keterbukaan
dan wacana yang tidak menerima satu solusi.
Hubungan Loos dengan pengrajin adalah
merupakan sebuah pertanyaan yang konstan dari
bahasa yang tunggal (satu bahasa), permasalahan
bahasa yang terus-menerus sebagai kombinasi dari
permainan linguistik, pengulangan pernyataan
bahwa untuk berbicara satu bahasa (atau dari satu
permainan) adalah hanya bersifat abstraksi. Bahasa
adalah tradisi, penggunaan, praksis, pemahaman,
dan kontradiksi yang ada di antara berbagai dunia:
itu adalah akumulasi peristiwa-yang tidak menuntut
kontemplasi, melainkan pandangan sekilas dari
Angel, yang ingat dan yang mengumpulkan, simbol
dari "wacana kita."

Dalam hal ini, kritik Loos ke tingkat seni grafis


arsitektur "degenerasi" menganggap penting.
"Semua dari arsitektur baru diciptakan dimeja
gambar, dan kemudian menyelesaikan gambar
mengenai realisasi grafis mereka, seperti lukisan
dimuseum lilin. Hal ini penting bahwa itu yang
seharusnya Schonberg kumpulkan untuk ulang
tahun Loos yang keenam puluh, "menggarisbawahi
spasial ini, karakter karyanya yang tiga dimensi itu.
Di Loos, itu merupakan pertanyaan tidak hanya
menunjukkan kekhususan bahasa dalam hal ini,
bahasa arsitektur- tetapi juga menunjukkan
ketidakmungkinan mengurangi setiap bahasa atau
permainan
linguistik
untuk
menulis,
ketidakmungkinan menjelaskan dan menyelesaikan
keterbukaan permainan linguistik yang bukan
dalam dimensi notasi tertulisnya. Dominasi
arsitek, mendominasi melalui tulisan dan buku:
instrumen tulisan dan hasil tulisan.

Menindaklanjuti rancangan itu. Rancangan itu


mengatur praksis (praxis) dari buruh kerajinan.

conception of language expressed by


this dialectic grounds the centrality of
the planning intellectual and his writings
in the linguistic praxis where intentions,
uses, and forms of life are interwoven.
Loosian language is a praxis that makes
the various games of which it is made up
relative to each otherit questions
them, establishes difficult discourses
among them. It is the language of the
old masters, the language of material,
the tradition of the craftsman.

Konsepsi bahasa diungkapkan oleh dialektika ini


berdasarkan sentralitas intelektual perencanaan dan
tulisan-tulisannya dalam praksis linguistik yang
dimaksud, penggunaan, dan bentuk kehidupan yang
terjalin. Bahasa Loosian adalah praksis yang
membuat berbagai maksud yang mana itu bersifat
relatif antara satu sama lain-menetapkan wacana
yang sulit di antara mereka. Ini adalah bahasa orang
terdahulu, materi bahasa, tradisi pengrajin.

In Loos, there is no project that


synthesizes these games, or that can
restrict them to one languagebut
rather a process of trials, errors,
suggestions, and gestures, in which only
the
possible
is
represented,
the
openness to the transformation of the
rules that have been in play until now.
The craftsman, in Loos, is the very image
of belonging. He is proof that the
dimension of the game excludes all
aesthetic-philosophical
solipsism.
Participation in a game is the fruit of
learning and custom. One cannot play
except by belonging, by habituating
oneself to the rules that have shaped the
game. In this "habit" new combinations,
new possibilities emerge.
The deeper one's participation in a
game, the more these openings issue
from practice itself, from habit. The truly
present has deep rootsit needs the
games of the old masters, the languages
of
posthumousness.
This
tradition
therefore does not unfold from book to
book, drawing to drawing, line to line,
but follows the long detours, the waits,
the labyrinths of the games among the
languages, among linguistic practices.
But here emerges the problem, a central
one for Wittgenstein as well, of the
relation between this dimension of
belonging,
and
choice,
decision,
innovative intentionwithout which the

Di Loos, tidak ada proyek yang mensintesis pekerjaanpekerjaan ini, atau yang dapat membatasi mereka untuk
satu bahasa-melainkan proses percobaan, kesalahan,
saran, dan gerak tubuh, di mana hanya mungkin
diwakili, keterbukaan terhadap transformasi aturan yang
telah ditentukan sampai sekarang.

Pengrajin, di Loos, memiliki berbagai gambar. Dia


adalah bukti bahwa dimensi dari pekerjaan yang
meniadakan semua estetika-paham solipsisme filosofis.
Partisipasi dalam pekerjaan adalah sebuah dari
pembelajaran dan kebiasaan. Seseorang tidak bisa
berperan kecuali dengan memiliki, dengan habituasi diri
dengan aturan yang telah membentuk pekerjaan itu.
Dalam hal ini "kebiasaan" kombinasi baru, kemungkinan
baru muncul.
Partisipasi seseorang dalam perkerjaan, bukan
merupakan masalah dari praktek itu sendiri, dari
kebiasaan. Yang benar-benar hadir memiliki akar-itu
membutuhkan pekerjaan para pakar terdahulu, bahasa
posthumousness. Karena itu, tradisi ini tidak terungkap
dari buku ke buku, gambar ke gambar, baris ke baris,
tetapi mengikuti jalan memutar yang panjang,
menunggu, labirin pekerjaan antara bahasa, antara
praktik-praktik linguistik.

Tapi di sini muncul masalah, sebuah pusat Wittgenstein


juga,tentang hubungan antara dimensi kepemilikan ini,
dan pilihan, keputusan, maksud yang inovatif-tanpa
transformasi dari perkejaan akan tak terbayangkan, atau
akan mereduksi secara alami, perubahan biologis.

transformation of the game would be


inconceivable, or would be reduced to a
natural, biological change. "Following
rules, giving messages, giving orders,
playing
chess
are
habits
(uses,
institutions)."
A language is a technique that we
master only through habit, by belonging
to itthat is, by practicing it. But
Wittgenstein seems to posit habit and
choice as in clear contradiction with one
another: "When I follow the rule I do not
choose. I follow the rule blindly" (p. 114).
Following the rule seems to preclude all
possibility of transgression, intent to
decide (to decide is to break the rule). In
Loos, too, we find indications that lead
one to assume on his part a "blind"
conception of belonging to the game, to
tradition. "The blows of the axe resound
cheerfully. He [the carpenter] is building
the roof. What kind of roof? A beautiful or
an ugly roof? He does not know.

"Mengikuti aturan, memberikan pesan, memberi


perintah, bermain catur adalah kebiasaan (menggunakan,
lembaga).

The roof." In building his house, the


peasant "follows his instinct. Is the house
beautiful? Yes, it is beautiful as the
roses, the thistle, the horse, and the
cow are beautiful." Does the peasant
therefore "blindly" follow the rules of the
game played tip until now, Does the
master
saddler,
about
whom
a
memorable passage of Dos Andere tells
us, oppose the inventions of the
Secession because he "does not know"
what kind of saddles he is producing?
Do training and habit create nearly
automatic practices that contradict in
toto the possibility of decision, a
possibility which for this reason belongs
to a totally different genre, that of art as
a kind of absolute linguistic practice? As
we can see, an interpretation of this sort
leads to insurmountable aporiae.
If art must also be defined as a
combination of linguistic games, its
dimension
cannot
transcend
the
problems of belonging and habit that are
connected to the structure of the game.

Atap. "Dalam membangun rumahnya, kaum petani"


mengikuti nalurinya. Apakah rumah yang indah? Ya, itu
adalah indah seperti mawar, tumbuhan berduri, kuda,
dan sapi yang indah. Oleh karena itu, "Apakah petani"
membabi buta" mengikuti aturan permainan/pekerjann
yang ditentukan dari ujung sampai sekarang, Apakah
sadel utama, tentang siapa suatu bagian yang
mengesankan dari Dos Andere yang dikatakan pada kita,
menentang penemuan Secession karena dia "tidak tahu"
apa jenis sadel yang sedang di produksi?

Bahasa adalah teknik yang kita kusaihanya melalui


kebiasaan, dengan milik itu- yaitu, dengan berlatih. Tapi
Wittgenstein tampaknya menempatkan kebiasaan dan
pilihan karena jelas bertentangan dengan satu sama lain:
"Ketika saya mengikuti aturan saya tidak memilih. Saya
mengikuti aturan secara membabi buta." (Hal. 114).
Mengikuti aturan tersebut tampaknya untuk mencegah
semua kemungkinan terjadinya pelanggaran, niat untuk
memutuskan (untuk memutuskan adalah untuk
melanggar aturan). DiLoos, juga, kita menemukan
indikasi yang mengarahkan seseorang untuk berasumsi
pada bagian yang "buta" konsepsi miliki pada pekerjaan
, pada tradisi. "Pukulan dari kapak yang bergemariang.
Dia [tukang kayu] sedang membangun atap. Apa jenis
atap? Atap yang indah atau jelek ?Dia tidak tahu.

Apakah pelatihan dan kebiasaan secara otomatis


menciptakan praktek yang bertentangan dengan
kemungkinan dari keputusan, kemungkinan untuk alasan
memilik sebuah gaya yang sama sekali berbeda, bahwa
seni sebagai jenis praktik linguistikyang absolut? Seperti
yang kita lihat, interpretasi semacam ini menyebabkan
aporiae yang tidak dapat diatasi.
Jika seni juga harus didefinisikan sebagai kombinasi dari
permainan linguistik, dimensinya tidak dapat melampaui
masalah yang dimiliki dan kebiasaan yang dihubungkan
dengan struktur permainan. Konsepsi seni yang berbeda
akan selalu mengarah bahwa Unsittlichkeitdes Lebens

A different conception of art would


necessarily lead to that Unsittlichkeit des
Lebens which has its symbol in Kraus's
image of beauty before the mirror.
The difference between the "family" of
artistic games and that of the practice of
handicrafts not only must be at every
moment reexamined as problematical,
but also, in a general sense, it cannot be
based on a distinction between habitcustom on the one hand, and exception
and innovation on the other.
It seems to me that the entire Loosian
aesthetic, in spite of the obvious critical
strains of the spirit of his commentary,
moves in this direction: that is, it
endlessly attempts to define the
perpetually mutable limits of the space
in which the practices of art, and
handicrafts harmonize and contrast with
each other, becoming relative to one
another without ever claiming to give
way to a single language representative
of everything.

yang mana memiliki simbol


gambarnya Kraus di depan cermin.

What Loos's craftsman is in reality


unaware of is the fact that he is modern.
His purpose, his vision, is not focused on
the present, much less on the future: But
he does have a purpose: that of
commentary. His gaze is fixed on the
tradition that he follows' on the language
that dominates him, but within Which his
thought can grow. To follow tradition,
hence, is to let this thought developin
essence, to choose this path of patient
growth full of winding roads and wrong
turns.
All behavior guided by rules is not simply
conditioned,
but
implies
a
comprehension. The desire to follow a
rule is a purpose in itself. The desire to
preserve this rule is not "instinct," but,

Betapa Pengrajin Loos yang pada realitanya tidak


menyadari bahwa ia sudah modern. Tujuannya, visinya,
tidak terfokus pada saat ini, apalagi pada masa depan:
Tapi dia melakukan itu memiliki tujuan:
dari
penjelasannya. Pandangannya tertuju pada tradisi yang
ia mengikuti pada bahasa yang mendominasi dia,tapi
dalam pikirannya bisa tumbuh. Maka, untuk mengikuti
tradisi, membiarkan pikiran ini berkembang-yang pada
dasarnya, untuk memilih jalan dari pertumbuhan ini
dengan penuh jalan yang berliku-liku dan penuh
kesalahan.

dalam

keindahan

Perbedaan antara "keluarga" permainan artistik dan dari


praktek kerajinan tidak hanya harus di setiap saat diuji
kembali karena meragukan, tetapi juga, dalam
pengertian umum, hal itu tidak dapat didasarkan pada
perbedaan antara kebiasaan-kebiasaan di satu tulisan
tangan/karya, dan pengecualian dan inovasi di sisi lain.

Itu mengingatkan saya pada seluruh estetika Loosian,


walaupun strain yang kritis dari semangat komentarnya,
mengarah ke petunjuk ini: yaitu,tak henti-hentinya
berupaya untuk menentukan batasan ruang yang terus
menerus bisa berubah di mana praktik dari seni,dan
kerajinan yang selaras dan yang kontras satu sama lain,
menjadi relatif terhadap satu sama lain dengan tidak
pernah mengungkapkan rahasia bahasa tunggaldari
segala sesuatu yang presentatif.

Semua perilaku dipandu oleh aturan yang tidak hanya


dikondisikan, tapi termasuk sebuah pemahaman.
Keinginan untuk mengikuti aturan adalah tujuan dalam
dirinya sendiri. Keinginan untuk melestarikan aturan ini
bukan "insting," tapi, seperti Loos menjelaskan dalam

as Loos explains in the "Master Saddler,"


a decision that breaks all "alliance" with
the fetish of the artist's imagination.
The master saddler returns consciously
to his saddles; he knows what kind of
saddles he produces. Yet this still does
not explain the Loosiar, problematic of
art, as such, which we will confront later;
it explains instead through what
conditions one might determine the
interrelations,
the
close
affinities,
existing between the dimension of art
and that of handicraft.
The craftsman's strict participation in the
game should not be seen in any way as
a blind following, but rather as the
renewal of a sought-for and cherished
habit. It is a relation devoid of emphasis,
almost silentlike that of old Veillich
with his chairs.
But these very pages, which are among
Loos's most beautiful, explain how the
terms we have used thus farhabit,
learning, praxisshould be understood
in regard to the "vanished masters."
Such an understanding should also bring
us
to
the
background
of
the
Wittgensteinian thought so readily
exposed, in the pages mentioned, to the
blind Anglo-Saxon analyses that have
appropriated it.
Habit is not repetition, it is not the
automatic recurrence of forms and
actionsit is ethos. In the Anglo-Saxon
notion of habit-custom the sense of
ethos is completely lost, just as in the
"modern" interpretations of Loos, his
"Romanness,"
his
classical
Roman
aspect, is lost."

"MasterSaddler,"
keputusan
yang
melanggar
semua"aliansi" dengan pemujaan dari imajinasi seni.

Habit is the conscious belonging to a


traditionthe more it is conscious and
endured, the more it is recognized as a
game, and its language becomes relative
to this fact. Belonging to the ephemeral
here, today, the sense of the
commentary comes back, in full view.
Loos tells us with what patience and
endless care Veillich worked at his

"Kebiasaan merupakan kesadaran dalam tradisi-semakin


sadar dan semakin mengalami, semakin diakui sebagai
permainan, dan bahasanya menjadi relatif terhadap fakta
ini. Kepemilikan yang bersifat sementara ini, sekarang,
menjadi arti dari penjelasan/uraian datang kembali,
dalam pandangan yang penuh. Loos memberitahu kita
tentang bagaimana kesabaran dan ketelitian Veillich
bekerja diperabotannya.

Master/pemilik sadel/kelana kembali sadar terhadap


pelananya, ia tahu apa jenis pelana yang ia hasilkan.
Namun ini masih tidak menjelaskan terhadap Loosian,
permasalahan seni, seperti yang kita akan menghadapi
nanti, ia menjelaskan melalui kondisi apa yang mungkin
menentukan keterkaitan, afinitas/daya tarik, yang ada di
antara dimensi seni dan kerajinan.

Partisipasi pengrajin dalam permainan/pekerjaan tidak


harus dilihat dengan cara apapun seperti mengikuti
secara buta, melainkan sebagai pembaharuan dan
kebiasaan yang perlu dihargai. Ini merupakan hubungan
tanpa penekanan, hampir diam-seperti Veillichdulu
dengan kursinya.
Tapi halaman-halaman ini, yang mana merupakan
keindahan Loos, dalam menjelaskan bagaimana istilah
yang kami telah digunakan, maka kebiasaan,
pembelajaran, praksis-harus dipahami dalam kaitannya
dengan "master yang sudah lenyap." Pemahaman seperti
itu juga harus membawa kita ke latar belakang
pemikiran Wittgensteinian sehingga mudah diarahakn di
halaman tersebut, dengan analisis Anglo-Saxon yang
kabur yang telah disesuaikannya.

Kebiasaan(habit/pakain naik kuda) adalah bukan


pengulangan, tidak terulangnya itu merupakan bentuk
dan tindakan yang hal itu merupakan etos (jiwa khas
suatu bangsa). Dalam kebiasaan-(custom) di negara
Anglo-Saxon yang merupakan etos itu benar-benar
hilang, seperti dalam interpretasi-intrepretasi modern
Loos, "Romanness," nya, aspek Romawi klasik, hilang.

furniture.
In his work, following the rules is a right
totally subject to the justice, however
ephemeral and uncertain, that lies in the
preserving of tradition, in devoting care
to one's own language as though it
might still serve as texta right subject
to the justice of this ethos, which is not
only far from, but also opposed to, any
kind of morality. But habit is also loyalty.
It is the loyalty that binds Loos to
Veillich, and that, binds both of them to
what lasts: the beauty of the material,
the happy forms of tradition. In this way,
Veillich, who creates perhaps the most
ephemeral of things, furniture, lives in
that which lasts. In this way, Loos, in
writing Das Andere, shows that he knows
how to last. Loyalty cannot be mere
conditioning, blind following.
there can be no loyalty where one
stands on the solid rock of language, of
the solution. One may speak of an ethos
of loyalty only where things die.
And when Veillich dies so do his chairs.
Loos writes the proper, most fitting
obituary for his friend. Although the
ethos of loyalty reveals the essential
reason why the praxis; of the craftsman"
in Loos, is opposed to all blind following,
this ethos is not an eternal and
necessary structure of the linguistic
game that can somehow be broken down
into an abstract logic. This ethos dies
with Veillich.
It belongs to historyto that chain of
events which for the Angel is a single
catastrophe. From this perspective, the
translation of the Loosian loyalty to
tradition into custom-habit is inevitable,
however frightful it might seem to
Wittgenstein. Of course, everything is
lost in this translation. But in reality,
everything comes to be lost anyway:
"thus do things die."

There is no consolation in knowing that

Bagaimanapun juga, dalam karyanya, yang mengikuti


aturan merupakan hak penuh pada keadilan yang bersifat
sementara dan tidak pasti, itu terletak dalam pelestarikan
tradisi, dalam memerihara bahasa sendiri seolah-olah itu
masih bisa berfungsi sebagai teks-hak untuk keadilan
etos ini, yang man tidak hanya jauh dari, tetapi juga
menentang, beberapa moralitas. Tapi kebiasaan juga
merupakan loyalitas. Ini merupakan loyalitas yang
mengikat Loos terhadap Veillich, dan itu mengikat
keduanya terhadap apa berlangsung: keindahan bahan,
bentuk bahagia dari tradisi. Dengan cara ini, Veillich,
menciptakan berbagai hal, furnitur, kehidupan yang
berlangsung dengan singkat. Dengan cara ini, Loos,
dalam menulis Das Andere, menunjukkan bahwa dia
tahu bagaimana untuk bertahan. Loyalitas tidak bisa
hanya menjadi pengkondisian, pengikutan yang tidak
jelas belaka

tidak ada loyalitas yang berdiri pada batuan padat


bahasa, dari solusi. Seseorang mungkin berbicara
tentang etos tentang loyalitas yang mana itu hanya
merupakan sesuatu yang mati.
Dan ketika Veillich meninggal begitu kursinya. Loos
menulis berita kematian untuk temannya. Meskipun etos
loyalitas mengungkapkan alasan penting mengapa
praksis, pengrajin "di Loos, menentang semua pengikut
yang tidak jelas, etos ini bukan istruktur yang kekal dan
penting dari permainan/pekerjaan linguistik yang
bagaimanapun juga bisa dipecah menjadi logika yang
abstrak. Etos (jiwa khas suatu bangsa) ini mati bersama
Veillich.

Ini memiliki sejarah dengan rangkaian peristiwa yang


bagi Angel merupakan sebuah bencana yang tunggal.
Dari perspektif ini, terjemahan loyalitas Loosian
terhadap tradisi menjadi adat-kebiasaan yang tidak bisa
dihindari, namun menakutkan. Ini mungkin tampaknya
Wittgenstein. Tentu saja, semuanya hilang dalam
terjemahan ini. Namun dalam kenyataannya, semuanya
yang datang akan hilang pula: "dengan demikian hal itu
mati.

"Tidak ada hiburan dalam mengetahui bahwa semua

all behavior guided by rules implies an


understanding, that every tradition is
renewed in the purpose that assumes it
since this only shifts the problem to
the history of this understanding, this
purpose. The ethos of loyalty implies a
loyal subject; it is not passed on
hereditarily. It implies a decision, a
choice whose secret only Veillich knew,
and "why should I unveil the secrets of a
shop that no longer exists?"
Rilke seems to speak of this same secret
in the Duino Elegies. The gedeutete Welt
(interpreted world)of which Kraus, too,
in the above-cited essay addressed to
Loos, presents a desperate imageis
perhaps resisted by "a tree on the slope,
that
we
may
see
again
each
day/yesterday's street still remains/and
the jaded loyalty of a habit/that felt good
with us and so stayed and never left."
Treusein, the ethos of loyalty, becomes a
habit, is bent and twisted.
becoming almost devoid of purpose, of
any new opening. Here Gewohnheit
seems to translate as habit customit
seems to have become a blind following.
But in Treusein still resounds the Loosian
loyalty to tradition. Rilke's verse contains
a. history, the final stage of "decay": that
decay that makes Treusein "jaded" to the
point
where
it
becomes
mere
Gewohnheit.
In Treusein, the commentary finds its
quintessence, as long as it still
recognizes its origin: mens, comminisci
a positing of the mind so intense as to
transform itself into Imagination. But
habit inevitably becomes separated from
Treusein, like Veillich from his planer and
Loos from Veillich.
The Duino Elegies admonish us to show
the Angel the simple, das Einfache, that
which from generation to generation is
shaped and reshaped, and for this
reason is loyal to each. We should show
him things, not the inexpressible,
because in this we are but novices. And
yet these things are dead.

perilaku dipandu oleh aturan yang menyiratkan


pemahaman, bahwa setiap tradisi diperbarui dalam
tujuan yang mengasumsikan itu- karena ini hanya
pergeseran masalah dengan sejarah pemahaman ini,
tujuan ini. Etos loyalitas menyiratkan bentuk kesetiaan,
itu tidak diteruskan secara turun temurun. Ini
menyiratkan keputusan, pilihan yang rahasianya hanya
ada pada pengetahuan Veillich, dan "mengapa saya harus
mengungkap rahasia sebuah toko yang tidak lagi ada?"

Rilke tampaknya berbicara tentang rahasia dalam Elegi


Duino. The gedeutete Welt (dunia ditafsirkan)- yang
mana Kraus juga,dalam esai/karya di atas yang dikutip
Loos, menyajikan citra keputusasaan yang mungkin
ditentang oleh "sebuah pohon di lereng, supaya kita lihat
lagi setiap hari/kemarin jalan masih tetap/dan kebiasaan
loyalitas yang letih/yang merasa baik dengan kami dan
jadi tinggal dan tidak pernah pergi. "Treusein, etos
loyalitas, menjadi sebuah kebiasaan, dibengkokkan dan
dipelintir.

Dari setiap pembukaan itu hampir tanpa tujuan yang


baru. Berikut Gewohnheit tampaknya menerjemahkan
sebagai kebiasaan custom- tampaknya telah menjadi
pengikut yang buta. Tapi di Treusein masih bergema
loyalitas Loosian terhadap tradisi. Sajak/kitab suci Rilke
berisi sejarah, ditahap akhir "pembusukan/kerusakan":
kerusakan/kebusukan itu yang yang membuat Treusein
"payah" ke titik di mana ia menjadi hanya Gewohnheit.

Dalam Treusein, penjelasan itu menemukan intisarinya,


asalkan masih mengakui asalnya: mens, comminisci- a
positing pikiran begitu kuat untuk mengubah dirinya
menjadi Imajinasi. Tapi kebiasaan pasti menjadi terpisah
dari Treusein, seperti Veillich dari planet dan Loos dari
Veillich.

The Duino elegi menegur kita untuk menunjukkan


Angel yang sederhana, dasEinfache, apa yang dari
generasi ke generasi dibentuk dan dibentuk kembali, dan
untuk alasan ini setia kepada masing-masing. Kita harus
menunjukkan
kepadanya
hal-hal, tidak dapat
diungkapkan, karena dalam hal ini kita hanyalah pemula.
Dan kemudian semuanya mati.

Menjadi Setia
Di berbagai tempat, Loos menegaskan karyanya yang menjadi sebuah perbincangan dalam
tradisi. Rumah yang ada di Michaelerplatz merupakan permasalahan dari arsitektur Viennese: hal
itu merupakan latar belakang yang harus dapat dipahami untuk melakukan dialog dengan
Hofburg, dan untuk menyelesaikan komposisi pertanyaan "dalam istilah-istilah Viennese kita
yang lama." Dalam tulisan pentingnya pada tahun 1910, "Arsitektur," yang kita akan bahas pada
akhir bab ini, Loos menegaskan peristiwa dalam istilah yang lebih umum bahwa ia memiliki
sejarah bahasa, yang merupakan satu-satunya daerah yang dapat mengembangkan pikirannya.
Ini kritikan terhadap pemujaan dari "kehidupan yang kreatif" yang menjadi radikal: ia
menentang paham solipsis dari keindahannya didepan cermin karena wujud dari tradisi dan
kepemilikan. Dan ia menentang "diciptakan" arsitektur, kebohongan yang berjalan di samping
kita, terhadap "kebenaran, meskipun itu sudah terjadi berabad-abad lamanya.
Hal ini perlu dibandingkan dengan pernyataan filosofi, yang secara logis muncul dari
komentar Loos itu. Logat mereka tidak menjatuhkan kerajinan patriarkal-budaya, target polemik
mereka adalah arsitek sebagai dominator-dominasi dari satu makna, satu arah, satu organisasi
lewat kombinasi bahan dan bahasa yang menghasilkan pekerjaan.
Dalam ketidaksabaran terhadap hal yang baru itu yang diekspresikan dalam arsitek "kreasi
artistik," Loos melihat sebuah kepalsuan/kepura-puraan untuk mendirikan sebuah pekerjaan
seperti naskah, atau untuk menciptakan sebuah karya dengan menyajikan bahasa utama, atau
bahasa lain yang berubah menjadi sarana atau instrumen, dan sarana dari masa lalu itu menjadi

sebuah "gambaran yang kekal." Konsepsi Loos tampaknya hampir sama dengan kritik
Wittgenstein dari satu bahasa yang mampu" mewakili" dunia.
Ini dunia yang "diwakili" oleh beberapa permainan/tujuan, bentuk-bentuk dunia konstitutif,
bentuk-bentuk kehidupan. Tidak ada permainan yang dipahami oleh dirinya sendiri. Mereka
semua saling menghadapi satu sama lain, berdebat antara satu sama lain, dan ada dalam dimensi
keterbukaan dan wacana yang tidak menerima satu solusi.
Hubungan Loos dengan pengrajin adalah merupakan sebuah pertanyaan yang konstan dari
bahasa yang tunggal (satu bahasa), permasalahan bahasa yang terus-menerus sebagai kombinasi
dari permainan linguistik, pengulangan pernyataan bahwa untuk berbicara satu bahasa (atau dari
satu permainan) adalah hanya bersifat abstraksi. Bahasa adalah tradisi, penggunaan, praksis,
pemahaman, dan kontradiksi yang ada di antara berbagai dunia: itu adalah akumulasi peristiwayang tidak menuntut kontemplasi, melainkan pandangan sekilas dari Angel, yang ingat dan yang
mengumpulkan, simbol dari "wacana kita."
Dalam hal ini, kritik Loos ke tingkat seni grafis arsitektur "degenerasi" menganggap
penting. "Semua dari arsitektur baru diciptakan dimeja gambar, dan kemudian menyelesaikan
gambar mengenai realisasi grafis mereka, seperti lukisan dimuseum lilin. Hal ini penting bahwa
itu yang seharusnya Schonberg kumpulkan untuk ulang tahun Loos yang keenam puluh,
"menggarisbawahi spasial ini, karakter karyanya yang tiga dimensi itu. Di Loos, itu merupakan
pertanyaan tidak hanya menunjukkan kekhususan bahasa dalam hal ini, bahasa arsitektur- tetapi
juga menunjukkan ketidakmungkinan mengurangi setiap bahasa atau permainan linguistik untuk
menulis, ketidakmungkinan menjelaskan dan menyelesaikan keterbukaan permainan linguistik
yang bukan dalam dimensi notasi tertulisnya. Dominasi arsitek, mendominasi melalui tulisan
dan buku: instrumen tulisan dan hasil tulisan.
Menindaklanjuti rancangan itu. Rancangan itu mengatur praksis (praxis) dari buruh
kerajinan. Konsepsi bahasa diungkapkan oleh dialektika ini berdasarkan sentralitas intelektual
perencanaan dan tulisan-tulisannya dalam praksis linguistik yang dimaksud, penggunaan, dan
bentuk kehidupan yang terjalin. Bahasa Loosian adalah praksis yang membuat berbagai maksud
yang mana itu bersifat relatif antara satu sama lain-menetapkan wacana yang sulit di antara
mereka. Ini adalah bahasa orang terdahulu, materi bahasa, tradisi pengrajin.
Di Loos, tidak ada proyek yang mensintesis pekerjaan-pekerjaan ini, atau yang dapat
membatasi mereka untuk satu bahasa-melainkan proses percobaan, kesalahan, saran, dan gerak

tubuh, di mana hanya mungkin diwakili, keterbukaan terhadap transformasi aturan yang telah
ditentukan sampai sekarang.
Pengrajin, di Loos, memiliki berbagai gambar. Dia adalah bukti bahwa dimensi dari
pekerjaan yang meniadakan semua estetika-paham solipsisme filosofis. Partisipasi dalam
pekerjaan adalah sebuah dari pembelajaran dan kebiasaan. Seseorang tidak bisa berperan kecuali
dengan memiliki, dengan habituasi diri dengan aturan yang telah membentuk pekerjaan itu.
Dalam hal ini "kebiasaan" kombinasi baru, kemungkinan baru muncul.
Partisipasi seseorang dalam perkerjaan, bukan merupakan masalah dari praktek itu sendiri,
dari kebiasaan. Yang benar-benar hadir memiliki akar-itu membutuhkan pekerjaan para pakar
terdahulu, bahasa posthumousness. Karena itu, tradisi ini tidak terungkap dari buku ke buku,
gambar ke gambar, baris ke baris, tetapi mengikuti jalan memutar yang panjang, menunggu,
labirin pekerjaan antara bahasa, antara praktik-praktik linguistik.
Tapi di sini muncul masalah, sebuah pusat Wittgenstein juga,tentang hubungan antara
dimensi kepemilikan ini, dan pilihan, keputusan, maksud yang inovatif-tanpa transformasi dari
perkejaan akan tak terbayangkan, atau akan mereduksi secara alami, perubahan biologis.
"Mengikuti aturan, memberikan pesan, memberi perintah, bermain catur adalah kebiasaan
(menggunakan, lembaga).
Bahasa adalah teknik yang kita kusaihanya melalui kebiasaan, dengan milik itu- yaitu,
dengan berlatih. Tapi Wittgenstein tampaknya menempatkan kebiasaan dan pilihan karena jelas
bertentangan dengan satu sama lain: "Ketika saya mengikuti aturan saya tidak memilih. Saya
mengikuti aturan secara membabi buta." (Hal. 114).
Mengikuti aturan tersebut tampaknya untuk mencegah semua kemungkinan terjadinya
pelanggaran, niat untuk memutuskan (untuk memutuskan adalah untuk melanggar aturan).
DiLoos, juga, kita menemukan indikasi yang mengarahkan seseorang untuk berasumsi pada
bagian yang "buta" konsepsi miliki pada pekerjaan , pada tradisi. "Pukulan dari kapak yang
bergemariang. Dia [tukang kayu] sedang membangun atap. Apa jenis atap? Atap yang indah atau
jelek ?Dia tidak tahu.
Atap. "Dalam membangun rumahnya, kaum petani" mengikuti nalurinya. Apakah rumah
yang indah? Ya, itu adalah indah seperti mawar, tumbuhan berduri, kuda, dan sapi yang indah.
Oleh karena itu, "Apakah petani" membabi buta" mengikuti aturan permainan/pekerjann yang
ditentukan dari ujung sampai sekarang, Apakah sadel utama, tentang siapa suatu bagian yang

mengesankan dari Dos Andere yang dikatakan pada kita, menentang penemuan Secession karena
dia "tidak tahu" apa jenis sadel yang sedang di produksi?
Apakah pelatihan dan kebiasaan secara otomatis menciptakan praktek yang bertentangan
dengan kemungkinan dari keputusan, kemungkinan untuk alasan memilik sebuah gaya yang
sama sekali berbeda, bahwa seni sebagai jenis praktik linguistikyang absolut? Seperti yang kita
lihat, interpretasi semacam ini menyebabkan aporiae yang tidak dapat diatasi.
Jika seni juga harus didefinisikan sebagai kombinasi dari permainan linguistik, dimensinya
tidak dapat melampaui masalah yang dimiliki dan kebiasaan yang dihubungkan dengan struktur
permainan. Konsepsi seni yang berbeda akan selalu mengarah bahwa Unsittlichkeitdes Lebens
yang mana memiliki simbol dalam keindahan gambarnya Kraus di depan cermin.
Perbedaan antara "keluarga" permainan artistik dan dari praktek kerajinan tidak hanya
harus di setiap saat diuji kembali karena meragukan, tetapi juga, dalam pengertian umum, hal itu
tidak dapat didasarkan pada perbedaan antara kebiasaan-kebiasaan di satu tulisan tangan/karya,
dan pengecualian dan inovasi di sisi lain.
Itu mengingatkan saya pada seluruh estetika Loosian, walaupun strain yang kritis dari
semangat komentarnya, mengarah ke petunjuk ini: yaitu,tak henti-hentinya berupaya untuk
menentukan batasan ruang yang terus menerus bisa berubah di mana praktik dari seni,dan
kerajinan yang selaras dan yang kontras satu sama lain, menjadi relatif terhadap satu sama lain
dengan tidak pernah mengungkapkan rahasia bahasa tunggaldari segala sesuatu yang presentatif.
Betapa Pengrajin Loos yang pada realitanya tidak menyadari bahwa ia sudah modern.
Tujuannya, visinya, tidak terfokus pada saat ini, apalagi pada masa depan: Tapi dia melakukan
itu memiliki tujuan: dari penjelasannya. Pandangannya tertuju pada tradisi yang ia mengikuti
pada bahasa yang mendominasi dia,tapi dalam pikirannya bisa tumbuh. Maka, untuk mengikuti
tradisi, membiarkan pikiran ini berkembang-yang pada dasarnya, untuk memilih jalan dari
pertumbuhan ini dengan penuh jalan yang berliku-liku dan penuh kesalahan.
Semua perilaku dipandu oleh aturan yang tidak hanya dikondisikan, tapi termasuk sebuah
pemahaman. Keinginan untuk mengikuti aturan adalah tujuan dalam dirinya sendiri. Keinginan
untuk melestarikan aturan ini bukan "insting," tapi, seperti Loos menjelaskan dalam
"MasterSaddler," keputusan yang melanggar semua"aliansi" dengan pemujaan dari imajinasi
seni.

Master/pemilik sadel/kelana kembali sadar terhadap pelananya, ia tahu apa jenis pelana
yang ia hasilkan. Namun ini masih tidak menjelaskan terhadap Loosian, permasalahan seni,
seperti yang kita akan menghadapi nanti, ia menjelaskan melalui kondisi apa yang mungkin
menentukan keterkaitan, afinitas/daya tarik, yang ada di antara dimensi seni dan kerajinan.
Partisipasi pengrajin dalam permainan/pekerjaan tidak harus dilihat dengan cara apapun
seperti mengikuti secara buta, melainkan sebagai pembaharuan dan kebiasaan yang perlu
dihargai. Ini merupakan hubungan tanpa penekanan, hampir diam-seperti Veillichdulu dengan
kursinya.
Tapi halaman-halaman ini, yang mana merupakan keindahan Loos, dalam menjelaskan
bagaimana istilah yang kami telah digunakan, maka kebiasaan, pembelajaran, praksis-harus
dipahami dalam kaitannya dengan "master yang sudah lenyap." Pemahaman seperti itu juga
harus membawa kita ke latar belakang pemikiran Wittgensteinian sehingga mudah diarahakn di
halaman tersebut, dengan analisis Anglo-Saxon yang kabur yang telah disesuaikannya.
Kebiasaan(habit/pakain naik kuda) adalah bukan pengulangan, tidak terulangnya itu
merupakan bentuk dan tindakan yang hal itu merupakan etos (jiwa khas suatu bangsa). Dalam
kebiasaan-(custom) di negara Anglo-Saxon yang merupakan etos itu benar-benar hilang, seperti
dalam interpretasi-intrepretasi modern Loos, "Romanness," nya, aspek Romawi klasik, hilang.
"Kebiasaan merupakan kesadaran dalam tradisi-semakin sadar dan semakin mengalami,
semakin diakui sebagai permainan, dan bahasanya menjadi relatif terhadap fakta ini.
Kepemilikan yang bersifat sementara ini, sekarang, menjadi arti dari penjelasan/uraian datang
kembali, dalam pandangan yang penuh. Loos memberitahu kita tentang bagaimana kesabaran
dan ketelitian Veillich bekerja diperabotannya.
Bagaimanapun juga, dalam karyanya, yang mengikuti aturan merupakan hak penuh pada
keadilan yang bersifat sementara dan tidak pasti, itu terletak dalam pelestarikan tradisi, dalam
memerihara bahasa sendiri seolah-olah itu masih bisa berfungsi sebagai teks-hak untuk keadilan
etos ini, yang man tidak hanya jauh dari, tetapi juga menentang, beberapa moralitas. Tapi
kebiasaan juga merupakan loyalitas. Ini merupakan loyalitas yang mengikat Loos terhadap
Veillich, dan itu mengikat keduanya terhadap apa berlangsung: keindahan bahan, bentuk bahagia
dari tradisi. Dengan cara ini, Veillich, menciptakan berbagai hal, furnitur, kehidupan yang
berlangsung dengan singkat. Dengan cara ini, Loos, dalam menulis Das Andere, menunjukkan

bahwa dia tahu bagaimana untuk bertahan. Loyalitas tidak bisa hanya menjadi pengkondisian,
pengikutan yang tidak jelas belaka
tidak ada loyalitas yang berdiri pada batuan padat bahasa, dari solusi. Seseorang mungkin
berbicara tentang etos tentang loyalitas yang mana itu hanya merupakan sesuatu yang mati.
Dan ketika Veillich meninggal begitu kursinya. Loos menulis berita kematian untuk
temannya. Meskipun etos loyalitas mengungkapkan alasan penting mengapa praksis, pengrajin
"di Loos, menentang semua pengikut yang tidak jelas, etos ini bukan istruktur yang kekal dan
penting dari permainan/pekerjaan linguistik yang bagaimanapun juga bisa dipecah menjadi
logika yang abstrak. Etos (jiwa khas suatu bangsa) ini mati bersama Veillich.
Ini memiliki sejarah dengan rangkaian peristiwa yang bagi Angel merupakan sebuah
bencana yang tunggal. Dari perspektif ini, terjemahan loyalitas Loosian terhadap tradisi menjadi
adat-kebiasaan yang tidak bisa dihindari, namun menakutkan. Ini mungkin tampaknya
Wittgenstein. Tentu saja, semuanya hilang dalam terjemahan ini. Namun dalam kenyataannya,
semuanya yang datang akan hilang pula: "dengan demikian hal itu mati.
"Tidak ada hiburan dalam mengetahui bahwa semua perilaku dipandu oleh aturan yang
menyiratkan pemahaman, bahwa setiap tradisi diperbarui dalam tujuan yang mengasumsikan itukarena ini hanya pergeseran masalah dengan sejarah pemahaman ini, tujuan ini. Etos loyalitas
menyiratkan bentuk kesetiaan, itu tidak diteruskan secara turun temurun. Ini menyiratkan
keputusan, pilihan yang rahasianya hanya ada pada pengetahuan Veillich, dan "mengapa saya
harus mengungkap rahasia sebuah toko yang tidak lagi ada?"
Rilke tampaknya berbicara tentang rahasia dalam Elegi Duino. The gedeutete Welt (dunia
ditafsirkan)- yang mana Kraus juga,dalam esai/karya di atas yang dikutip Loos, menyajikan citra
keputusasaan yang mungkin ditentang oleh "sebuah pohon di lereng, supaya kita lihat lagi setiap
hari/kemarin jalan masih tetap/dan kebiasaan loyalitas yang letih/yang merasa baik dengan kami
dan jadi tinggal dan tidak pernah pergi. "Treusein, etos loyalitas, menjadi sebuah kebiasaan,
dibengkokkan dan dipelintir.
Dari setiap pembukaan itu hampir tanpa tujuan yang baru. Berikut Gewohnheit tampaknya
menerjemahkan sebagai kebiasaan custom- tampaknya telah menjadi pengikut yang buta. Tapi di
Treusein masih bergema loyalitas Loosian terhadap tradisi. Sajak/kitab suci Rilke berisi sejarah,
ditahap akhir "pembusukan/kerusakan": kerusakan/kebusukan itu yang yang membuat Treusein
"payah" ke titik di mana ia menjadi hanya Gewohnheit.

Dalam Treusein, penjelasan itu menemukan intisarinya, asalkan masih mengakui asalnya:
mens, comminisci- a positing pikiran begitu kuat untuk mengubah dirinya menjadi Imajinasi.
Tapi kebiasaan pasti menjadi terpisah dari Treusein, seperti Veillich dari planet dan Loos dari
Veillich.
The Duino elegi menegur kita untuk menunjukkan Angel yang sederhana, dasEinfache, apa
yang dari generasi ke generasi dibentuk dan dibentuk kembali, dan untuk alasan ini setia kepada
masing-masing. Kita harus menunjukkan kepadanya hal-hal, tidak dapat diungkapkan, karena
dalam hal ini kita hanyalah pemula. Dan kemudian semuanya mati.

Das könnte Ihnen auch gefallen