Sie sind auf Seite 1von 64

LAPORAN KASUS PENDEK (LONG CASE)

SEORANG ANAK DENGAN EPILEPSI DAN STATUS GIZI BAIK


Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Di RSUD dr. H. Soewondo Kendal

Disusun oleh :
Ahmad Tegar Alhasan
01.211.6311

Pembimbing :
dr. Firza Olivia Susan M.Si Med, Sp.A

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2016

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS PENDEK (LONG CASE)


SEORANG ANAK DENGAN EPILEPSI DAN STATUS GIZI BAIK

Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Di RSUD dr. H. Soewondo Kendal

Telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal : Mei 2016

Disusun oleh :
Ahmad Tegar Alhasan
01.211.6311

Kendal,

Mei 2016

Dosen Pembimbing

dr. Firza Olivia Susan M.Si Med, Sp.A

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya, dan tidak lupa sholawat dan salam yang senantiasa tercurah kepada
Nabi Muhammad SAW dan keluarganya serta sahabat-sahabatnya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan Laporan Kasus Pendek dengan judul Seorang Anak Dengan
Epilepsi dan Status Gizi Baik
Laporan Kasus Panjang ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
kepaniteraan

klinik

Ilmu

Kesehatan

Anak

Rumah

Sakit

Umum

Daerah

dr. H. Soewondo Kendal. Sebagai penghargaan, dalam kesempatan ini penulis


mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada dr. Firza Olivia Susan
M.Si Med, Sp.A selaku pembimbing dalam penyusunan Laporan Kasus Pendek ini.
Kami sebagai penulis menyadari sepenuhnya berbagai kekurangan yang masih
jauh dari kesempurnaan. Akhir kata, semoga Laporan Kasus Panjang

ini dapat

bermanfaat.

Waalaikumsalam wr.wb

Kendal, Mei 2016

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan di dunia. Data
World Health Organization (WHO) menunjukkan epilepsi menyerang 70 juta dari
penduduk dunia (Brodie et al., 2012). Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh
dunia tanpa batasan ras dan sosial ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi
terutama di negara berkembang yang mencapai 114 per 100.000 penduduk per tahun.
Angka tersebut tergolong tinggi dibandingkan dengan negara yang maju dimana
angka kejadian epilepsi berkisar antara 24-53 per 100.000 penduduk per tahun
(Benerjee dan Sander, 2008). Angka prevalensi penderita epilepsi aktif berkisar antara
4-10 per 1000 penderita epilepsi (Beghi dan Sander, 2008). Bila jumlah penduduk
Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah penderita epilepsi baru
250.000 per tahun. Dari berbagai studi diperkirakan prevalensi epilepsi berkisar antara
0,5-4%. Rata-rata prevalensi epilepsi 8,2 per 1000 penduduk. Prevalensi epilepsi pada
bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada dewasa muda dan pertengahan,
kemudian meningkat lagi pada kelompok usia lanjut (Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia (PERDOSSI, 2011).
Epilepsi merupakan suatu gangguan neurologik klinis yang sering dijumpai.
Definisi epilepsi menurut kelompok studi epilepsi PERDOSSI 2011 adalah suatu
keadaan yang ditandai oleh bangkitan berulang akibat lepas muatan listrik abnormal
dan berlebihan di neuron-neuron otak secara paroksismal, dan disebabkan oleh
berbagai etiologi, bukan disebabkan oleh penyakit otak akut. Perlu diketahui bahwa
epilepsi bukanlah merupakan suatu penyakit, melainkan suatu kumpulan gejala.
Gejala yang paling umum adalah adanya kejang, karena itu epilepsi juga sering
dikenal sebagai penyakit kejang.
Data epilepsi yang dihimpun dari 108 negara mencakup 85,4% dari populasi dunia
terdapat 43.704.000 orang menderita epilepsi. Rata-rata jumlah orang penderita
epilepsi per 1000 penduduk 8,93 dari 108 negara responden. Jumlah orang penderita
epilepsi per 1000 penduduk berbeda-beda di setiap regional. Sementara itu data di
regional Amerika dan Afrika di dapatkan 12,59 dan 11,29. Data di regional Asia

Tenggara di dapatkan sebesar 9,97. Sedangkan data sebesar 8,23 didapatkan

di

regional Eropa. Jumlah rata-rata orang epilepsi per 1000 penduduk berkisar dari 7,99
di negara-negara berpendapatan tinggi dan 9,50 di negara-negara berpendapatan
rendah (WHO, 2010).
Epilepsi dijumpai pada semua ras di dunia dengan insidensi dan prevalensi yang
hampir sama, walaupun beberapa penelitian menemukan angka yang lebih tinggi di
negara berkembang. Insidensi epilepsi di berbagai negara bervariasi antara 0,2-0,7%,
prevalensinya bervariasi antara 4-7%, sedangkan di Indonesia diperkirakan ada
900.000-1.800.000 penderita (Harsono, 2009).
Insidensi epilepsi di negara-negara maju ditemukan 24-53 setiap 100.000
populasi, sementara insidensi epilepsi di negara-negara berkembang 49.3-190 setiap
100.000 populasi. Tingginya insidensi epilepsi di negaranegara berkembang
dikarenakan infeksi susunan saraf pusat, trauma kepala dan morbiditas perinatal
(WHO, 2010). Tingkat insidensi epilepsi menunjukkan laki-laki lebih sering terjangkit
daripada wanita penelitian, yang berkisar antara 41,9 setiap 100.000 populasi laki-laki
dan 20,7 setiap 100.000 populasi wanita (Theodore et al., 2006). Tingkat insidensi
pada laki-laki lebih tinggi merupakan kontribusi faktor resiko dari trauma kepala
(Calisir et al., 2006).
Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan merupakan keseluruhan
kondisi status kesehatan seorang pasien, termasuk kesehatan fisik pasien, sosial,
psikologis, dan ekonomi pasien. Penilaian kualitas hidup dipengaruhi oleh keadaan
fisik, mental, sosial, dan emosional. Seorang penderita dengan epilepsi dapat dinilai
kualitas hidupnya berdasarkan salah satu faktor yaitu lama menderita epilepsi
(Duration of epilepsy). Dalam melakukan penilaian kualitas hidup pada penderita
epilepsi dapat menggunakan suatu instrumen yaitu, Quality of Life in Epilepsy
(Qolie) (Edefonti et al., 2011).

B. TUJUAN
Tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah :

1.

Menambah ilmu dan pengetahuan mengenai penyakit yang


dilaporkan.

2.

Membandingkan informasi yang terdapat pada literatur


dengan kenyataan yang terdapat pada kasus.

3.

Melatih mahasiswa dalam melaporkan dengan baik suatu


kasus yang didapat.

BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama

: An. RI

Umur

: 7 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki


Agama

: Islam

Alamat

: Kendal

IDENTITAS ORANG TUA


Nama Ayah

: Tn. S

Umur

: 37 tahun

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Karyawan swasta

Nama Ibu

: Ny. NF

Umur

: 31 tahun

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

B. DATA DASAR
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan orang tua pasien pada tanggal
18 Mei 2016 pukul 11.00 WIB di bangsal Dahlia
a) Keluhan utama

: Kejang seluruh tubuh

b) Riwayat Penyakit Sekarang : Seorang anak laki-laki berusia 7 tahun diantar


oleh ayahnya datang ke RSUD Kendal dengan keluhan kejang . Kejang
terjadi

tiba-tiba

saat

pasien

sedang

tidur,

Menurut

orang

tua

pasien, kejang terjadi diseluruh tubuh disertai kaku dan kelojotan, sehingga
membuat orang tua terbangun. Saat kejang, pasien dalam keadaan tidak
sadar. Saat kejang, mata memandang keatas, lidah tidak tergigit tapi
keluar lendir berbusa dari mulut pasien. Kejang berlangsung kurang dari 5
menit. Setelah kejang pasien terbangun, namun pasien tidak menyadari apa
yang dialaminya. Menurut orang tua pasien, kejang pertama dialami saat usia
1 tahun, dan berulang lebih dari 5 kali dalam rentang waktu yang berjauhan.
Bentuk kejang yang dialami pasien sama seperti kejang yang pertama,
berlangsung < 5 menit , terjadi saat pasien tidur dan tanpa didahului demam.
Kejang tidak didahului demam. Pasien mengaku juga sering sakit kepala. Sakit
kepala berputar disangkal oleh pasien. Mual muntah disangkal. BAK dan BAB
normal. Pasien pernah menjalani pemeriksaan EEG pada tahun 2010, dan
pernah menjalani terapi akupuntur di dokter saraf.
c) Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien sudah pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Kejang pertama
usia 1 tahun.
d) Riwayat Penyakit Keluarga :
Keluarga tidak ada yang mempunyai penyakit seperti ini .
e) Riwayat Sosial Ekonomi
orang tua bekerja sebagai karyawan swasta, menanggung 2 orang anak. Biaya
perawatan ditanggung BPJS.
Kesan : Sosial ekonomi cukup.
f) Riwayat Persalinan dan Kehamilan :
Anak laki-laki lahir dari ibu 24 tahun G1P0A0 hamil 38 minggu, lahir
secara spontan. Persalinan ditolong oleh bidan, anak lahir langsung menangis,
berat badan lahir 2800 gram. Panjang badan lahir 48 cm, lingkar kepala saat
lahir ibu lupa, lingkar dada saat lahir ibu juga lupa.
Kesan : neonatus aterm, sesuai masa kehamilan, lahir secara spontan
g) Riwayat Pemeliharaan Prenatal :

Ibu biasa memeriksakan kandungannya secara teratur ke bidan 1x setiap


bulan sampai usia kehamilan 6 bulan. Setelah > 8 bulan ibu memeriksakan
kehamilan 1x dalam 2 minggu. Selama hamil ibu mengaku USG kehamilan
sebanyak 4x dan mendapat imunisasi TT 2x di bidan. Tidak pernah menderita
penyakit selama kehamilan. Riwayat trauma saat hamil disangkal. Riwayat
minum obat tanpa resep dokter ataupun minum jamu disangkal. Obatobat
yang diminum selama kehamilan adalah vitamin dan tablet tambah darah.
Kesan : riwayat pemeliharaan prenatal baik
h) Riwayat Pemeliharaan Postnatal :
Pemeliharaan postnatal dilakukan di Posyandu dan mendapat imunisasi
dasar lengkap. ASI diberikan selama 1 tahun pertama . Tidak dikeluhkan
penyakit tertentu setelah kelahiran.
Kesan : riwayat pemeliharaan postnatal baik
i) Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan Anak
Pertumbuhan :
Berat badan lahir 2800 gram, panjang badan saat lahir 48 cm. Dan
pertumbuhan pada KMS selalu pada garis hijau. Berat badan sekarang 31 kg,
panjang badan sekarang 125 cm.
Kesan : pertumbuhan normal
Perkembangan :
o Tengkurap

: usia 4 bulan

o Duduk dengan dibantu

: usia 6 bulan

o Merangkak

: usia 7 bulan

o Berjalan

: usia 11 bulan

o Berlari

: usia 14 bulan

o Menendang bola

: Usia 18 bulan

o Melompat

: 2,5 tahun

Kesan : Pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai dengan umur.

Riwayat Makanan
Usia
ASI / PASI

Buah / Biskuit

Bubur susu

Nasi tim

( bulan )
0-2

ASI

-/-

2-4

ASI

-/-

4-6

ASI

-/-

6-8
8-10
10-12

ASI + Susu
formula
ASI + Susu
formula
ASI + Susu
formula

Bubur

Biskuit

susu
Bubur

Biskuit

susu
Bubur

Biskuit

susu

Nasi Tim
Nasi Tim

Kesan : asupan makanan cukup.

Pola Makan
Jenis makanan
Nasi

Frekuensi
3 kali sehari dimana 1 kali makan 1 piring / setengah centong
nasi

Sayuran

Sayur sayuran jarang dikarenakan anak tidak suka

Daging

2 x seminggu dimana 1 kali makan 1 potong/1x makan

Ikan

1 x seminggu dimana 1 kali makan 1 potong / 1 x makan

Telur

3 x sehari dimana 1 kali makan 1 butir/1x makan

Tahu

2-3x seminggu dimana 1 kali makan 1potong/1xmakan

Tempe

3 x sehari dimana 1 kali makan 1potong/1xmakan

Susu

2 xsehari dimana 1 kali minum 200 ml susu, 3 sendok susu


bubuk

Kesan : Kualitas dan kuantitas makan pasien cukup.

Status Gizi menurut Z-Score


Berat badan : 31 kg
Tinggi badan : 125 cm
Usia : 7 tahun.
IMT/U
: BB/TB (kg)
: 31/(1,25)
: 31 / 1,5625
: 19,84
Kesan : Status gizi normal, perawakan normal

j) Riwayat Imunisasi :
BCG

: 1x umur 1 bulan, scar (+) di lengan atas kanan

DPT

: 3 x ( 2,4,6) bulan

Polio

: 4 x (0,2,4,6) bulan

Hepatitis B

: 3x umur (0,1,4) bulan

Kesan

: Imunisasi dasar lengkap tepat bulan

Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita


Penyakit
Diare
Otitis
Radang paru
Tuberkulosis
Kejang
Ginjal
Jantung
Darah
Difteri
Asma
Penyakit kuning
Batuk berulang

2. PemeriksaanFisik

Usia
-

Penyakit
Morbili
Parotitis
Demam berdarah
Demam tifoid
Cacingan
Alergi
Pertusis
Varicella
Biduran
Kecelakaan
Operasi
Lain-lain

Usia
-

Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 18 Mei 2016 pukul 11.00 WIB (di bangsal)
Status Present
Jenis Kelamin

: Laki-laki

Usia

: 7 tahun

Berat Badan

: 31 kg

Panjang Badan

: 125 cm

Keadaan umum : baik


Kesadaran

: composmentis

Tanda vital

Nadi

: 108 x / menit isi dan tegangan cukup

Suhu

: 36,3C (aksila)

Frekuensi Nafas

: 24 x/ menit

Status Generalis
Kepala
Mata
THT
Leher
Toraks

Normosefal, tak tampak ada lesi, rambut hitam tak mudah


dicabut.
Sklera tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis, lensa tidak
keruh.
Bentuk normal, tak tampak ada sekret dari hidung maupun
telinga, tonsil T1/T1, faring tidak hiperemis.
Tidak ditemukan pembesaran KGB, letak trakea ditengah
Tampak simetris, tidak tampak ada retraksi
Inspeksi: pulsasi iktus kordis tidak tampak di sela iga 4
linea mid clavicula sinistra.
Palpasi: iktus kordis teraba di sela iga 4 linea mid clavicula

Jantung

sinistra.
Perkusi: batas jantung kanan pada sela iga 3 parasternal
kanan. Batas jantung kiri di sela iga 4 linea mid clavicula
sinistra. Batas jantung atas di sela iga 3 linea parasternal

Paru

sinistra.
Auskultasi: S1S2 regular, murmur (-), gallop (-), aritmia (-)
Inspeksi: simetris, tidak tampak retraksi interkosta.
Palpasi: taktil fremitus simetris.
Perkusi: sonor pada kedua lapang paru.
Auskultasi: suara nafas vesikular, ronki -/-, wheezing -/-,
stridor -/ Inspeksi: datar, tak tampak lesi.
Palpasi: supel, tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tak

Abdomen

teraba
Perkusi: timpani pada seluruh lapang abdomen
Auskultasi: bisung usus 12/menit

alat kelamin

: laki-laki,dalam batas normal

anorektal

: dalam batas normal

ekstremitas

Superior
Akral dingin
-/Akral sianosis
-/Edema
-/ Kulit : turgor kembali cepat

Inferior
-/-/-/-

Pemeriksaan Saraf Kranial


I

Tidak dilakukan
Visus: tidak diperiksa

II

Lapang pandang: Normal


Warna: tidak diperiksa
Pupil: refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak

III, IV, VI

langsung +/+, nistagmus tidak ada


Gerak bola mata: baik ke segala arah
Motorik: baik

Sensorik: V-1, V-2, V-3: +/+


Refleks kornea: tidak dilakukan
Angkat alis, kerut dahi: baik, simetris
Tutup mata : baik, simetris

VII

Kembung pipi: baik, simetris


Menyeringai: baik

VIII

Rasa 2/3 anterior lidah: tidak dilakukan


Suara bisikan: tidak dilakukan
Gesekan jari:tidak dilakukan
Rinne, Webber, Schwabach: tidak dilakukan
Nistagmus: tidak ada
Berdiri dengan mata terbuka: tidakdilakukan

Berdiri dengan mata tertutup: tidak dilakukan


Arkus faring: simetris
IX, X

XI

Uvula: terletak di tengah. Simetris


Disfonia: tidak ada
Disfagia: tidak ada
Menoleh kanan-kiri: dapat melawan tahanan
Angkat bahu: dapat melawan tahanan
Lidah di dalam mulut: tidak ada deviasi, fasikulasi, atrofi,

XII

maupun tremor
Menjulurkan lidah: baik, tidak ada deviasi ke satu sisi

o Pemeriksaan motorik
Ekstremitas atas
Tidak ditemukan atrofi, fasikulasi
Normotonus dekstra/ Normotonus sinistra
Kekuatan:
Tangan kanan: 5
Tangan kiri : 5

Ekstremitas bawah
Tidak ditemukan atrofi, fasikulasi
Normotonus dekstra/ Normotonus sinistra
Kekuatan:
Kaki kanan: 5
Kaki kiri : 5
o Pemeriksaan sensorik : tidak dilakukan
o Refleks fisiologis
Bisep
: +/+
Trisep
: +/+
Brachioradialis
: +/+
Patella
: +/+
Achilles
: +/+
o Refleks patologis
Babinski
: -/ Chaddok
: -/ Oppenheim
: -/ Gordon
: -/-

Schaffer
: -/ Hoffman trommer
: -/o Koordinasi
Tes tunjuk hidung
: Tidak dilakukan
Tes tumit lutut : Tidak dilakukan
o Fungsi otonom
Miksi
: normal
Defekasi
: normal
Sekresi keringat
: normal
3. PemeriksaanPenunjang
17 Mei 2016
pemeriksaan
Hasil
Hemoglobin
10,7 gr/dl
Leukosit
18,9 10/ul
Trombosit
609 10/ul
Hematokrit
34,1 %
Natrium
141,8 mmol/l
Kalium
4,6 mmol/l
Calsium
0,97 mmol/l
Kesan : Anemia, leukositosis, trombositosis, hipocalcemia

Nilai normal
11,5 - 16,5 gr/dl
4,0-10,0 10/ul
150-500 10/ul
35,0-49,0 %
135-155 mmol/l
3,5-5,5 mmol/l
1,13-1,31 mmol/l

20 Mei 2016
pemeriksaan
Hemoglobin
Leukosit
Trombosit
Hematokrit
Natrium
Kalium
Calsium
Kesan = dalam batas normal

Hasil
11,7 gr/dl
6,9 10/ul
475 10/ul
35,1 %
141,8 mmol/l
4,6 mmol/l
1,14 mmol/l

C. DIAGNOSIS BANDING
1. Epilepsy
2. Kejang Demam
3. Sindrom Lenox Gestaut
D. DIAGNOSIS SEMENTARA
1. Epilepsi dengan Status gizi baik

Nilai normal
11,5 - 16,5 gr/dl
4,0-10,0 10/ul
150-500 10/ul
35,0-49,0 %
135-155 mmol/l
3,5-5,5 mmol/l
1,13-1,31 mmol/l

E. USULAN PENATALAKSANAAN
Non- medikamentosa
Penjelasan mengenai penyakit yang diderita pasien kepada orang tua serta
bagaimana pengobatannya
Keluarga diminta untuk lebih memperhatikan pasien, untuk mengetahui tandatanda awal kejang (aura), pencetus, dan mengetahui bentuk dan durasi kejang
Edukasi mengenai tindakan yang benar dan aman jika pasien
kejang
Sigap untuk membawa pasien ke rumah sakit jika kejang tidak berhenti dengan

pemberian diazepam rektal, kejang yang berulang dalam sehari atau kejang
yang tidak berhenti selama 15 menit.
Medikamentosa
-

O2 2L/menit
Ranitidin 2 x ampul IV
Cefotaxime 3 x 750 mg IV
Fenobarbital sodium (sibital) 2 x 50 mg
Diazepam (stesolid) supp I

F. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Neuroimaging : CT-Scan, MRI : untuk mengetahui letak dari lesi struktural
paska trauma jika ada. MRI juga dapat melihat jika terdapat AVM (ArterioVenous Malformation), displasia kortikal ataupun tumor kecil. (21%-37%
-

pasien penderita epilepsi menunjukkan adanya lesistruktural)


EEG: untuk mengetahui letak epileptikfokus pada pasien. (Pada EEG
pertama, sekitar 29%-38% pasien dengan epilepsi menunjukkan gelombang
abnormal.9 Maka dapat disarankan untuk EEG berulang atau pada saat pasien
sedang kekurangan tidur/lelah).

G. PERJALANAN PENYAKIT
Tanggal

Keadaan klinis

Program terapi /

Para

tindakan
17 Mei
2016

Keluhan : panas (-),BAB


& BAK normal, nafsu

O2 2l/menit
Inf.RL 14 TPM
INJ. Ranitidin 2 x

ampul
Sibital 2 x 50 mg
Cefotaxim 3 x 750

mg
Stesolid supp I

Inf.RL 14 TPM
INJ. Ranitidin 2 x

ampul
Sibital 2 x 25 mg
Cefotaxim 3 x 750

makan menurun, batuk


(-), pilek (-), kejang (-),
sesak (-), mual (-),
muntah (-)
PF : t : 36,4 N : 108
x/menit, RR : 23 x/menit

KU

Kesadaran :

: Baik

composmentis

Kepala

mesocephale

Mata

: CA

(-/-) SI (-/-)

Mulut

: dbn

leher

: dbn

- Thorax: simetris (+)


- Abdomen : BU (+),
- Ekstremitas

: akral

dingin (-)
Assesment : obs.
18 Mei
2016

Konvulsi suspek epilepsi


Keluhan : demam
(-),BAB & BAK normal,
nafsu makan menurun,
batuk (-), pilek (-),

kejang (-), sesak (-),


mual (-), muntah (-)

mg
Stesolid supp I

Inf.RL 14 TPM
INJ. Ranitidin 2 x

ampul
Sibital 1 x 25 mg
Cefotaxim 3 x 750

mg
Stesolid supp I

PF : t : 37, N : 105
x/menit, RR : 26 x/menit

KU

Kesadaran :

: Baik

composmentis

Kepala

mesocephale

Mata

: CA

(-/-) SI (-/-)

Mulut

: dbn

leher

: dbn

- Thorax: simetris (+)


- Abdomen : BU (+),
- Ekstremitas

: akral

dingin (+)
Assesment : OBS.
19 Mei
2016

Konvulsi suspek epilepsi


Keluhan : demam
(-),BAB & BAK normal,
ma/mi (+/+), batuk (-),
pilek (-), kejang (-),
sesak (-), mual (-),
muntah (-)
PF : t : 36,6 N : 120
x/menit, RR : 25 x/menit

KU

: Baik

Kesadaran :
composmentis

Kepala

mesocephale

Mata

: CA

(-/-) SI (-/-)

Mulut

: dbn

leher

: dbn

- Thorax: simetris (+)


- Abdomen : BU (+),
- Ekstremitas

: akral

dingin (+)

20 Mei
2016

Assesment : obs.
Konvulsi suspek epilepsi
Keluhan : demam
(-),BAB & BAK normal,
ma/mi (+/+), batuk (-),
pilek (-), kejang (-),
sesak (-), mual (-),
muntah (-)
PF : t : 36,8 N : 122
x/menit, RR : 28 x/menit

KU

Kesadaran :

: Baik

composmentis

Kepala

mesocephale

Mata

: CA

Inf.RL 14 TPM
INJ. Ranitidin 2 x

ampul
Sibital 1 x 25 mg
Cefotaxim 3 x 750

mg
Stesolid supp I

(-/-) SI (-/-)

Mulut

: dbn

leher

: dbn

- Thorax: simetris (+)


- Abdomen : BU (+),
- Ekstremitas

: akral

dingin (+)

Assesment : obs.
Konvulsi suspek epilepsi

21 Mei

Keluhan : demam

(-),BAB & BAK normal,

2016

ma/mi (+/+), batuk (-),


pilek (-), kejang (-),
sesak (-), mual (-),
muntah (-)
PF : t : 36,5 N : 110
x/menit, RR : 24 x/menit

KU

Kesadaran :

: Baik

composmentis

Kepala

mesocephale

Mata

: CA

(-/-) SI (-/-)

Mulut

: dbn

leher

: dbn

Cefixime 2 x 1 cth
Valproic Acid (Ikalep)
2 x 1 cth

- Thorax: simetris (+)


- Abdomen : BU (+),
- Ekstremitas

: akral

dingin (+)
Assesment : obs. Konvulsi
suspek epilepsi

PemeriksaanPenunjang
17 Mei 2016
pemeriksaan
Hasil
Hemoglobin
10,7 gr/dl
Leukosit
18,9 10/ul
Trombosit
609 10/ul
Hematokrit
34,1 %
Natrium
141,8 mmol/l
Kalium
4,6 mmol/l
Calsium
0,97 mmol/l
Kesan : Anemia, leukositosis, trombositosis, hipocalcemia

Nilai normal
11,5 - 16,5 gr/dl
4,0-10,0 10/ul
150-500 10/ul
35,0-49,0 %
135-155 mmol/l
3,5-5,5 mmol/l
1,13-1,31 mmol/l

20 Mei 2016
pemeriksaan
Hemoglobin
Leukosit
Trombosit
Hematokrit
Natrium
Kalium
Calsium
Kesan = dalam batas normal

Hasil
11,7 gr/dl
6,9 10/ul
475 10/ul
35,1 %
141,8 mmol/l
4,6 mmol/l
1,14 mmol/l

Nilai normal
11,5 - 16,5 gr/dl
4,0-10,0 10/ul
150-500 10/ul
35,0-49,0 %
135-155 mmol/l
3,5-5,5 mmol/l
1,13-1,31 mmol/l

H. EDUKASI
Edukasi mengenai tindakan yang benar dan aman jika pasien kejang
Perubahan pola hidup agar pasien factor pencetus kejang seperti kelelahan dapat
dihindari

Sigap untuk membawa pasien ke rumah sakit jika kejang tidak berhenti dengan
pemberian diazepam rektal, kejang yang berulang dalam sehari atau kejang yang
tidak berhenti selama 15 menit.
I. PROGNOSA
Quo ad vitam

: ad bonam

Quo ad sanam

: dubia

Quo ad fungsionam : dubia

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI

Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang


muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas
muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal.
Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan berbagai macam
etiologi. Epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara
paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak
yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).
Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan
sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan cenderung
untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi
dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subyektif),
gangguan motorik atau kejang (obyektif), gangguan otonom
perubahan tingkah laku (psikologis).

(vegetatif) dan

Semuanya itu tergantung dari letak fokus

epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenal


bermacam jenis epilepsi.

B. EPIDEMIOLOGI
Pada dasarnya setiap orang dapat mengalami epilesi. Setiap orang memiliki otak
dengan ambang bangkitan masing masing, apakah lebih tahan atau kurang tahan
terhadap munculnya bangkitan. Selain itu penyebab epilepsi ckup beragam : cedera
otak, keracunan, stroke, infeksi, infeksi parasit, tumor otak. Epilepsi dapat terjadi
pada laki laki maupun perempuan, umur berapa saja, dan ras apa saja. Jumlah
penderita epilepsi meliputi 1-2% dari populasi. Secara umum diperoleh gambaran
bahwa insiden epilepsi menunjukan pola bimodal : puncak insiden terdapat pada
golongan anak dan usia lanjut.

C. ETIOLOGI
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak.
Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai

epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi
simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan
peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai
simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome dan
Lennox Gastaut syndrome.
Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4%
anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan
anaknya epilepsi menjadi 20%-30%. Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi
serangan epilepsi seperti hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid)
meningkatkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron,
ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya
serangan epilepsi. Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya
mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam
masa haid, kehamilan dan menopause.

Perubahan kadar hormon ini

dapat

mempengaruhi frekuensi serangan epilepsi.


Epilepsi mungkin disebabkan oleh:

aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak


gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma

otak pada saat lahir atau cedera lain


pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu lahir, trauma
intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi congenital pada otak,

atau infeksi
pada anak-anak dan remaja, mayoritas adalah epilepsy idiopatik, sedangkan pada

anak umur 5-6 tahun disebabkan karena febris


pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi idiopatik, karena cedera kepala
maupun tumor

Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :

kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti


ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, menglami
infeksi, minum alkohol, atau mengalami cidera.

kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang
mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.

cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak

tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada
anak-anak.

penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak

radang atau infeksi pada otak dan selaput otak

penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan


neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.

kecerendungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan


karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal yang
diturunkan pada anak.

Factor pencetus
Faktor-faktor pencetusnya dapat berupa :
a

kurang tidur

stress emosional

infeksi

obat-obat tertentu

alkohol

perubahan hormonal

terlalu lelah

fotosensitif

Faktor prenatal
a. Umur saat ibu hamil

Umur ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang
akan dilahirkan. Umur ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat
mengakibatkan berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasi
kehamilan di antaranya adalah hipertensi dan eklamsia, sedangkan gangguan pada
persalinan di antaranya adalah trauma persalinan. Komplikasi kehamilan dan
persalinan dapat menyebabkan prematuritas, lahir dengan berat badan kurang,
penyulit persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin
dengan asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat
mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron
eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai.
Asfiksia akan menimbulkan lesi pada daerah hipokampus dan selanjutnya
menimbulkan fokus epileptogenik. Penelitian kasus kontrol oleh Sidenvall R, dkk
di Swedia tahun 1985 - 1987 tentang faktor risiko prenatal dan perinatal terhadap
kejadian epilepsi pada anak yang tidak diprovokasi oleh kejang demam,
didapatkan hasil bahwa usia kehamilan tua dan muda merupakan faktor risiko
terhadap kejadian epilepsi. (OR : 6,7; 95% Cl : 2 - 22 ).36
b. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi.
Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti placenta previa dan
eklamsia dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklamsia dapat terjadi pada
kehamilan primipara atau usia pada saat hamil diatas 30 tahun. Penelitian terhadap
penderita epilepsi pada anak, mendapatkan angka penyebab karena eklamsia
sebesar (9%). Asfiksia disebabkan adanya hipoksia pada bayi yang dapat
berakibat timbulnya epilepsi. Hipertensi pada ibu dapat menyebabkan aliran darah
ke placenta berkurang, sehingga berakibat keterlambatan pertumbuhan intrauterin
dan BBLR.37 Keadaan ini dapat menimbulkan asfiksia pada bayi yang dapat
berlanjut pada epilepsi di kemudian hari. Penelitian oleh Sidenvall R dkk,
mendapatkan hasil bahwa hipertensi selama kehamilan merupakan faktor risiko
epilepsi pada anak. ( OR : 4,8; 95% : Cl : 1,3 -17 ).

c. Kehamilan primipara atau multipara

Urutan persalinan dapat menyebabkan terjadinya epilepsi. Insiden epilepsy


ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini kemungkinan besar disebabkan
pada primipara lebih sering terjadi penyulit persalinan. Penyulit persalinan ( partus
lama, persalinan dengan alat, kelainan letak ) dapat terjadi juga pada kehamilan
multipara (kehamilan dan melahirkan bayi hidup lebih dari 4 kali). Penyulit persalinan
dapat menimbulkan cedera karena kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi dan
kompresi otak sehingga terjadi perdarahan atau udem otak. Keadaan ini dapat
menimbulkan kerusakan otak, dengan epilepsi sebagai manifestasi klinisnya.38
d. Pemakaian bahan toksik
Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/ kehamilan ibu, seperti ibu
menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum
alkohol atau mengalami cedera atau mendapat penyinaran dapat menyebabkan
epilepsi. Merokok dapat mempengaruhi kehamilan dan perkembangan janin, bukti
ilmiah menunjukkan bahwa merokok selama kehamilan meningkatkan risiko
kerusakan janin. Dampak lain dari merokok pada saat hamil adalah terjadinya
placenta previa. Placenta previa dapat menyebabkan perdarahan berat pada kehamilan
atau persalinan dan bayi sungsang sehingga diperlukan seksio sesaria. Keadaan ini
dapat menyebabkan trauma lahir yang berakibat terjadinya epilepsi.
Faktor natal
a. Asfiksia
Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau perdarahan
intrakranial. Penyebab yang paling banyak akibat gangguan prenatal dan proses
persalinan adalah asfiksia, yang akan menimbulkan lesi pada daerah hipokampus, dan
selanjutnya menimbulkan fokus epileptogenik. Pada asfiksia perinatal akan terjadi
hipoksia dan iskemia di jaringan otak. Keadaan ini dapat menimbulkan bangkitan
epilepsi, baik pada stadium akut dengan frekuensi tergantung pada derajat beratnya
asfiksia, usia janin dan lamanya asfiksia berlangsung. Bangkitan epilepsi biasanya
mulai timbul 6-12 jam setelah lahir dan didapat pada 50% kasus, setelah 12 - 24 jam
bangkitan epilepsi menjadi lebih sering dan hebat. Pada kasus ini prognosisnya
kurang baik. Pada 75% - 90% kasus akan didapatkan gejala sisa gangguan neurologis,
di antaranya epilepsi. Hipoksia dan iskemia akan menyebabkan peninggian cairan dan

Na intraseluler sehingga terjadi udem otak. Daerah yang sensitif terhadap hipoksia
adalah inti-inti pada batang otak, talamus, dan kollikulus inferior, sedangkan terhadap
iskemia adalah "watershead area" yaitu daerah parasagital hemisfer yang mendapat
vaskularisasi paling sedikit. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi
dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila
ada rangsangan yang memadai. Penelitian oleh Sidenvall R dkk di Swedia,
menemukan bahwa asfiksia dengan Apgar score 6 merupakan faktor risiko epilepsi
pada anak (OR: 3, 8 : 95% Cl : 1,2 -12).
b. Berat badan lahir
Bayi dengan berat badan lahir rendah ( BBLR ) adalah bayi yang lahir dengan
berat kurang dari 2500 gram. BBLR dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia otak
dan perdarahan intraventrikuler. Iskemia otak dapat menyebabkan terbentuknya focus
epilepsi. Bayi dengan BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu
hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada
periode perinatal. Adanya kerusakan otak, dapat menyebabkan epilepsi pada
perkembangan selanjutnya. Trauma kepala selama melahirkan pada bayi dengan
BBLR < 2500 gram dapat terjadi perdarahan intrakranial yang mempunyai risiko
tinggi untuk terjadi komplikasi neurologi.
c. Kelahiran Prematur atau Postmatur
Bayi prematur adalah bayi yang lahir hidup yang dilahirkan sebelum 37 Minggu
dari hari pertama menstruasi terakhir. Pada bayi prematur, perkembangan alat-alat
tubuh kurang sempurna sehingga sebelum berfungsi dengan baik. Perdarahan
intraventikuler terjadi pada 50% bayi prematur. Hal ini disebabkan karena sering
menderita apnea, asfiksia berat dan sindrom gangguan pernapasan sehingga bayi
menjadi hipoksia. Keadaan ini menyebabkan aliran darah ke otak bertambah. Bila
keadaan ini sering timbul dan tiap serangan lebih dari 20 detik maka, kemungkinan
timbulnya kerusakan otak yang permanen lebih besar. Daerah yang rentan terhadap
kerusakan antara lain di hipokampus. Oleh karena itu setiap serangan kejang selalu
menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, serangan kejang cenderung berulang dan
selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Bayi yang dilahirkan lewat
waktu yaitu lebih dari 42 minggu merupakan bayi postmatur. Pada keadaan ini akan
terjadi proses penuaan plesenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen akan

menurun. Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi yang lahir postmatur ialah suhu
yang tak stabil, hipoglikemia dan kelainan neurologik. Gawat janin terutama terjadi
pada persalinan, bila terjadi kelainan obstetrik seperti : berat bayi lebih dari 4000
gram, kelainan posisi, partus > 13 jam, perlu dilakukan tindakan seksio sesaria.
Kelainan tersebut dapat menyebabkan trauma perinatal (cedera mekanik ) dan
hipoksia janin yang dapat mengakibatkan kerusakan pada otak janin. Manifestasi
klinis dari keadaan ini dapat berupa epilepsi.
d. Partus lama
Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih dari 1 jam.
Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan Kala II : 1,5 jam. Sedangkan
pada multigravida, kala I: 7 jam dan kala II : 1-5 jam. Persalinan yang sukar dan lama
meningkatkan risiko terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi klinis
dari cedera mekanik dan hipoksi dapat berupa epilepsi.
e. Persalinan dengan alat ( forsep, vakum, seksio sesaria ).
Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat dan kelainan letak
dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik pada kepala bayi. Trauma lahir
dapat

menyebabkan

perdarahan

subdural,

subaraknoid

dan

perdarahan

intraventrikuler. Persalinan yang sulit terutama bila terdapat kelainan letak dan
disproporsi sefalopelvik, dapat menyebabkan perdarahan subdural. Perdarahan
subaraknoid dapat terjadi pada bayi prematur dan bayi cukup bulan karena trauma.
Manifestasi neurologis dari perdarahan tersebut dapat berupa iritabel dan kejang.
Cedera karena kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak,
sehingga terjadi perdarahan atau udem otak; keadaan ini dapat menimbulkan
kerusakan otak, dengan epilepsi sebagai manifestasi klinisnya. Penelitian kohort
selama 7 tahun oleh Maheshwari, mendapatkan hasil bahwa bayi yang lahir dengan
bantuan alat forsep mempunyai risiko untuk mengidap epilepsy dibandingkan bayi
yang lahir secara normal dengan perbandingan 22 :10.43 Kelainan yang terjadi pada
saat kelahiran seperti hipoksia, kerusakan akibat tindakan (forsep) atau trauma lain
pada otak bayi juga merupakan penyebab epilepsi pada anak. Sedangkan penelitian
oleh Sidenvall R dkk, medapatkan hasil bahwa persalinan dengan operasi sesar
merupakan faktor risiko epilepsi pada anak (OR : 18; 95% Cl : 3,7 - 88 ).

f. Perdarahan intrakranial
Perdarahan intrakranial dapat merupakan akibat trauma atau asfiksia dan jarang
diakibatkan oleh gangguan perdarahan primer atau anomali kongenital Perdarahan
intrakranial pada neonatus dapat bermanifestasi sebagai perdarahan subdural,
subarakhnoid, intraventrikuler / periventrikuler atau intraserebral. Perdarahan
subdural biasanya berhubungan dengan persalinan yang sulit terutama terdapat
kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik. Perdarahan dapat terjadi karena laserasi
dari vena-vena, biasanya disertai kontusio serebral yang akan memberikan gejala
kejang-kejang. Perdarahan subarakhnoid terutama terjadi pada bayi prematur yang
biasanya bersama-sama dengan perdarahan intraventrikuler. Keadaan ini akan
menimbulkan gangguan struktur serebral dengan epilepsi sebagai salah satu
manifestasi klinisnya.
Faktor postnatal
a. Kejang Demam
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstra kranium. Anakanak yang mengalami kejang demam tersebut tidak mengalami infeksi susunan pusat
atau gangguan elektrolit akut. Umumnya anak yang mengalami kejang demam
berusia antara 6 bulan sampai 5 tahun, paling sering usia 18 bulan. Berapa batas umur
kejang demam tidak ada kesepakatan, ada kesepakatan yang mengambil batas antara 3
bulan sampai 5 tahun, ada yang yang menggunakan batas bawah adalah 1 bulan.
Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam
kejang demam. Awitan di atas 6 tahun sangat jarang. Anak yang pernah mengalami
kejang tanpa demam, kemudian mengalami kejang demam kembali tidak termasuk
dalam kejang demam. Kejang demam dapat dibagi menjadi kejang demam sederhana
(Simple Febrile Seizure) dan kejang demam komplek (Complex Febrile Seizure).
Bentuk paling sering adalah kejang demam sederhana. Kejang berbentuk tonik atau
tonik klonik. Kejang berlangsung singkat kira kira satu menit, lalu anak menangis.
Selama hidupnya, ia hanya mengalami kejang 1 2 kali. Kejang demam komplek
terjadi pada kira kira 30% anak, dan mempunyai beberapa cirri yaitu:
1. Bangkitan kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit.
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang Parsial
3. Bangkitan kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam

Harus dibedakan antara kejang demam sederhana dan kejang demam komplek,
karena bentuk bangkitan menentukan risiko kemungkinan kerusakan otak, berulang
kejang, kemungkinan menjadi epilepsi di kemudian hari, serta penatalaksanaan yang
harus dilakukan. Menurut beberapa kepustakaan sebagaimana dikutip oleh Suwitra
dan Nuradyo, kejang demam menjadi epilepsi kemungkinan melalui mekanisme sbb:
Kejang yang lamanya lebih dari 30 menit akan mengakibatkan kerusakan DNA dan
protein sel sehingga menimbulkan jaringan parut. Jaringan parut ini dapat
menghambat proses inhibisi. Hal ini akan mengganggu keseimbangan inhibisieksitasi,
sehingga

mempermudah

timbulnya

kejang.

Kejang

yang

berulang

akan

mengakibatkan kindling efect sehingga rangsang dibawah nilai ambang sudah dapat
menyebabkan kejang. Kejang demam yang berkepanjangan akan mengakibatkan
jaringan otak mengalami sklerosis, sehingga terbentuk fokus epilepsi. kejang demam
yang lama akan mengakibatkan terbentuknya zat toksik berupa amoniak dan radikal
bebas sehingga mengakibatkan kerusakan neuron. Kejang demam yang lama akan
mengakibatkan berkurangnya glukosa, oksigen, dan aliran darah otak sehingga terjadi
edema sel, akhirnya neuron menjadi rusak. Shorvon berpendapat bahwa kejang
demam yang berkepanjangan menyebabkan iskemik otak, dan yang paling terkena
dampaknya adalah lobus temporalis. Hal ini menyebabkan predisposisi timbulnya
epilepsi lobus temporalis (ELT). Pada pasienpasien ELT yang interactable, setelah
dilakukan lobektomi didapatkan mesiotemporal sklerosis (MtS), dan sebanyak
80%nya memiliki riwayat kejang demam. MtS juga ditemukan sebanyak 62% pada
pemeriksaan post mortem pada ELT. ELT bentuk klasik terjadi melalui kejang demam,
sedangkan bentuk bilateral melalui infeksi SSP, trauma kepala, hipoksia dan idiopatik.

b. Trauma kepala/ cedera kepala


Trauma memberikan dampak pada jaringan otak yang dapat bersifat akut dan
kronis. Pada trauma yang ringan dapat menimbulkan dampak yang muncul
dikemudian hari dengan gejala sisa neurologik parese nervus cranialis, serta cerebral
palsy dan retardasi mental. Dampak yang tidak nyata memberikan gejala sisa berupa
jaringan sikatrik, yang tidak memberikan gejala klinis awal namun dalam kurun
waktu 3 - 5 tahun akan menjadi fokus epilepsi. Menurut Willmore sebagaimana
dikutip oleh Ali. RA mengemukakan, bila seseorang mengalami cedera di kepala

seperti tekanan fraktur pada tengkorak, benturan yang mengenai bagian-bagian


penting otak seperti adanya amnesia pasca traumatik yang cukup lama (> 2 jam) maka
ia memiliki risiko tinggi terkena bangkitan epilepsi. Biasanya serangan berlangsung
satu minggu setelah terjadinya cedera. Epilepsi biasanya mengalami perkembangan
selama 1 tahun setelah terjadinya cedera (50% -60% pasien), dan dalam 2 tahun pada
85% pasien. Bangkitan epilepsi pasca cedera kepala pada anak-anak dibagi dalam 3
golongan yaitu:
1) Bangkitan segera, sebagai jawaban langsung atas serangan mekanis dari
jaringan otak yang mempunyai ambang rangsang yang rendah terhadap
kejang. Biasanya berhubungan dengan faktor genetik.
2) Bangkitan dini, timbul dalam 24 - 48 jam, pada cedera kepala hebat sebagai
akibat dari udem otak, perdarahan intrakranial, kontusio, laserasi dan nekrosis.
Bangkitan epilepsi biasanya bersifat kejang umum.
3) Bangkitan lambat, biasanya timbul dalam 2 tahun pertama setelah cedera
kepala, bangkitan berasal dari parut serebro-meningeal akibat trauma yang
telah dibuktikan baik secara anatomis, maupun elektro-fisiologis. Kejadian
epilepsi pasca cedera kepala yang tidak disertai gangguan kesadaran sebesar
2%, dengan gangguan kesadaran lebih dari 1 jam sebanyak 5 - 10% dan bila
disertai kontusio otak 30% . Trauma kepala merupakan penyebab terjadinya
epilepsi yang paling banyak (15%). Pada trauma terbuka 40% terjadi epilepsi,
sedang pada trauma tertutup yang berat hanya 5%. Terjadinya epilepsi pada
trauma kepala dengan perdarahan kemungkinan lebih besar. Studi kohort
selama 7 tahun yang dilakukan oleh Appleton RE dan Demelweek,
mendapatkan 9% anak dengan cedera kepala berkembang menjadi epilepsi
setelah 8 bulan dan lebih dari 5 tahun setelah cedera kepala. Walaupun cedera
kepala lebih ringan, pada anak-anak kemungkinan terjadinya bangkitan
epilepsi lebih tinggi daripada orang dewasa.
c. Infeksi susunan saraf pusat.
Risiko akibat serangan epilepsi bervariasi sesuai dengan tipe infeksi yang
terjadi pada sistem saraf pusat. Risiko untuk perkembangan epilepsi akan menjadi
lebih tinggi bila serangan berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi sistem
saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya.
Ensefalitis virus berat seringkali mengakibatkan terjadinya epilepsi. Di negaranegara

barat penyebab yang paling umum adalah virus Herpes simplex (tipe l) yang
menyerang lobus temporalis. Epilepsi yang timbul berbentuk serangan parsial
kompleks dengan sering diikuti serangan umum sekunder dan biasanya sulit diobati.
Infeksi virus ini dapat juga menyebabkan gangguan daya ingat yang berat dan
kombinasi epilepsy dengan kerusakan otak dapat berakibat fatal. Pada meningitis
dapat terjadi sekuele yang secara langsung menimbulkan cacat berupa cerebal palsy,
retardasi mental, hidrosefalus dan defisit N. kranialis serta epilepsi. Dapat pula cacat
yang terjadi sangat ringan berupa sikatriks pada sekelompok neuron atau jaringan
sekitar neuron sehingga terjadilah fokus epilepsi, yang dalam kurun waktu 2 - 3 tahun
kemudian menimbulkan epilepsi.38
d. Epilepsi akibat toksik
Beberapa jenis obat psikotropik dan zat toksik seperti Co, Cu, Pb dan lainnya
dapat memacu terjadinya kejang . Beberapa jenis obat dapat menjadi penyebab
epilepsi, yang diakibatkan racun yang dikandungnya atau adanya konsumsi yang
berlebihan. Termasuk di dalamnya alkohol, obat anti epileptik, opium, obat anestetik
dan anti depresan. Penggunaan barbiturat dan benzodiazepine dapat menyebabkan
serangan mendadak pada orang yang tidak menderita epilepsi. Serangan terjadi
setelah 12 24 jam setelah mengkonsumsi alkohol. Sedangkan racun yang ada pada
obat dapat mengendap dan menyebabkan serangan epilepsi.
e. Gangguan Metabolik
Serangan epilepsi dapat terjadi dengan adanya gangguan pada konsentrasi
serum glokuse, kalsium, magnesium, potassium dan sodium. Beberapa kasus
hiperglikemia yang disertai status hiperosmolar non ketotik merupakan faktor risiko
penting penyebab epilepsi di Asia, sering kali menyebabkan epilepsi parsial.

Faktor heriditer ( keturunan )


Faktor herediter memiliki pengaruh yang penting terhadap beberapa kasus
epilepsi, Bila seseorang mengidap epilepsi pada masa kecilnya, maka saudara
kandungnya juga memiliki risiko tinggi menderita epilepsi. Demikian pula pada anakanak yang akan dilahirkan. Risiko epilepsi pada saudara kandung penderita epilepsi
primer kurang lebih 4%. Bila orang tua dan salah satu anaknya sama-sama mengidap

epilepsi primer, maka anak yang lain berpotensi terkena epilepsi sebesar 10%. Pada
penderita epilepsi parsial yang telah diketahui penyebab penyakitnya, juga
mempunyai probabilitas untuk terkena pengaruh faktor heriditer. Serangan epilepsi
lebih banyak terjadi pada anggota keluarga penderita epilepsi akibat trauma kepala
disbanding anggota keluarga yang tidak ada penderita epilepsinya. Salah satu bentuk
epilepsi parsial yang dipengaruhi oleh faktor genetik adalah Benign Rolandic
Epilepsy. Studi kasus kontrol di India yang dilakukan oleh Sawhney (1999),
mendapatkan bahwa riwayat keluarga epilepsi merupakan faktor risiko terjadinya
epilepsi (OR :2,1;9,5% CI: 1,1-4,3 ).51 Anak yang mempunyai ayah dan ibu
penyandang epilepsy mempunyai risiko 5 kali lebih besar dari anak yang ayah dan
ibunya bukan penyandang epilepsi. Jika hanya ibu yang menyandang epilepsi maka
risiko pada anak laki-lakinya 2,9% dan risiko pada anak perempuannya 2,3%. Apabila
ayahnya yang menyandang epilepsi, maka risiko epilepsi bagi anak-anaknya adalah :
anak laki-laki 1,1% dan anak perempuan 0,6%.51
Kelainan genetik ion channelopathies
Diperkirakan sekitar 20% dari penderita epilepsi mempunyai etiologi genetik,
meliputi sejumlah yang dikatagorikan sebagai idiopatik. Perkembangan terbaru
menunjukkan telah diketahuinya kelainan yang bertanggung jawab atas epilepsi yang
diwariskan termasuk masalah-masalah Iigand-gated (saluran natrium dan kalium)
yang pewarisannya secara autosom dominan. Sebagai contoh adalah autosomaldominant noctumal frontal lobe epilepsy telah diketahui sebabnya yaitu mutasi sub
unit alfa 4 yang terdapat di reseptor nikotinat, benign neonatal familial convulsions
disebabkan oleh mutasi saluran kalium dan epilepsi umum (grand mal) dengan febrile
convulsions plus yang disebabkan oleh kelainan pada saluran natrium. Bukti bahwa
mekanisme genetik dapat secara langsung mempengaruhi sinkroniasi neuron, dan
dengan demikian menyebabkan epilepsi berhasil diidentifikasi gen-gen pengkode
protein seperti ion chanel yang dengan jelas memainkan suatu peranan langsung yang
bermakna didalam pengontrolan eksitabilitas neuron. Secara teoritis, defek yang
diturunkan pada tiap gen-gen pengkode protein yang menyangkut eksitabilitas neuron
dapat mencetuskan bangkitan epilepsi. Kelompok penting dari calon gen-gen untuk
epilepsi yang herediter adalah gen-gen ion chanel. Gen-gen ini dapat dibagi ke dalam
ion chanel ligand-gated, meliputi reseptor-reseptor untuk neurotransmitter dan ion
chanel voltage-sensitive. Chanelopathi adalah defek dari ion chanel yang bersifat

genetik, dimana terjadi kelainan pembentukan protein ion chanel pada waktu
penggabungan beberapa asam amino, sehingga menyebabkan membran sel menjadi
hipereksitabel. Untuk seseorang dengan kondisi saraf hipereksitabel (spasmofili),
suatu stresor yang sifatnya umum saja, mudah sekali pada tingkatan tertentu berubah
menjadi distress.

D. KLASIFIKASI
Klasifikasi menurut Etiologi
1

Epilepsi Primer (Idiopatik)


Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan
kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan
keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.

Epilepsi Sekunder (Simptomatik)


Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada
jaringan otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawah sejak lahir atau adanya
jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa
perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum kelahiran),
gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria (PKU),
defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol, uremia), ensefalitis,
anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.

Klasifikasi Umum
Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada
tahun 1981 dan tahun 1989. International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun
1981 menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan
epilepsi):

1. Serangan parsial
a. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)

Dengan gejala motorik

Dengan gejala sensorik

Dengan gejala otonom

Dengan gejala psikis

b. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)


-

Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran

Gangguan kesadaran saat awal serangan

c. Serangan umum sederhana

Parsial sederhana menjadi tonik-klonik

Parsial kompleks menjadi tonik-klonik

Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik

Serangan umum
a

Absens (Lena)

Mioklonik

Klonik

Tonik

Atonik (Astatik)

Tonik-klonik

Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang


lengkap).
Klasifikasi ILAE tahun 1981 di atas ini lebih mudah digunakan untuk para klinisi

karena hanya ada dua kategori utama, yaitu


-

Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang terlokalisir di
otak.

Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih luas pada
kedua belahan otak.
Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989
1. Berkaitan dengan letak fokus
a. Idiopatik
- Epilepsi Rolandik benigna (childhood epilepsy with centro tem
-

Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital

b. Simptomatik
-

Lobus temporalis

Lobus frontalis

Lobus parietalis

Lobus oksipitalis

2. Umum
a

Idiopatik
- Kejang neonatus familial benigna

- Kejang neonatus benigna


- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
- Epilepsi Absans pada anak
- Epilepsi Absans pada remaja
- Epilepsi mioklonik pada remaja
- Epilepsi dengan serangan tonik-klonik pada saat terjaga
- Epilepsi tonik-klonik dengan serangan acak
b

Simptomatik

- Sindroma West (spasmus infantil)


- Sindroma Lennox Gastaut
3. Berkaitan dengan lokasi dan epilepsi umum (campuran 1 dan 2)
- Serangan neonatal
4. Epilepsi yang berkaitan dengan situasi
- Kejang demam
- Berkaitan dengan alkohol
- Berkaitan dengan obat-obatan
- Eklampsia
- Serangan yang berkaitan dengan pencetus spesifik (refleks epilepsi)
Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung

terjadinya

serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh dokter,
sehingga diagnosis epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis. Namun
alloanamnesis yang baik dan akurat juga sulit didapatkan, karena gejala yang
diceritakan oleh orang sekitar penderita yang menyaksikan sering kali tidak khas,
sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali bahwa ia baru saja mendapat
serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan
diagnosis penderita epilepsi adalah rekaman elektroensefalografi (EEG).

E. PATOFISIOLOGI
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling
berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan bahan
perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam keadaan normal, lalu-lintas
impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur
lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu
maka neuron-neuron akan bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam
mekanisme pengaturan ini adalah:
-

Glutamat, yang merupakan brains excitatory neurotransmitter


GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai

brains inhibitory

neurotransmitter.
Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan asetil
kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamine, serotonin
(5-HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan epilepsy belum jelas dan
masih perlu penelitian lebih lanjut. Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh
transmisi impuls di area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa
yang disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok
kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di
otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam
proses sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari
jenis-jenis serangan epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:
-

Keadaan dimana fungsi neuron penghambat

(inhibitorik) kerjanya kurang optimal

sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, disebabkan konsentrasi


GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata memang mengandung konsentrasi
GABA yang rendah di otaknya (lobus oksipitalis).

Hambatan oleh GABA ini dalam

bentuk inhibisi potensial post sinaptik.


-

Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan impuls
epileptik yang berlebihan.

Disini fungsi

neuron penghambat normal tapi sistem

pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat.


meningkatnya konsentrasi glutamat di otak.

Keadaan

Pada penderita

peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di otak.

ini ditimbulkan oleh


epilepsi didapatkan

Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk mengadakan
pelepasan abnormal impuls epileptik.Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk
timbulnya kejang sebenarnya ada tiga kejadian yang saling terkait :

Perlu adanya pacemaker cells yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk

menimbulkan bangkitan.
Hilangnya postsynaptic inhibitory controle sel neuron.
Perlunya sinkronisasi dari epileptic discharge yang timbul.
Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal, bermuatan

listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis (fokus pembangkit
serangan kejang).

Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan mempengaruhi

neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan
kejang.
Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak, stroke,
kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat terganggu fungsi
neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan menimbulkan kejang bila
ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus
sensorik dan lain-lain.
Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus
epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya, subkortek,
thalamus, batang otak dan seterusnya.

Kemudian untuk bersama-sama dan serentak dalam

waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya eksitasi selesadimulailah


proses inhibisi di korteks serebri, thalamus dan ganglia basalis yang secara intermiten
menghambat discharge epileptiknya.
Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi spike
and wave yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya
serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron. (karena kehabisan glukosa dan
tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi bisa terhenti tanpa terjadinya
neuronal exhaustion.

Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis

metabolik depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan
yang berkepanjangan disebut status epileptikus.
F. MANIFESTASI KLINIK

Epilepsi umum :
1

Major :
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi).
a
b

Primer
Sekunder

Bangkitkan epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan
tonik-tonik. Manifestasi klinik kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama,
perbedaan terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal
sebelum serangan kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului
aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak fokus epileptogen pada
permukaan otak. Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium
bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan
sebagainya.
Bangkitan epilepsi sendiri dimulai dengan hilang kesadaran sehingga aktivitas
penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. otot-otot
berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi.
Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang
dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang klonik
yang seolah-olah mengguncang-guncang dan membanting-banting tubuh si sakit ke
tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 -- 3 menit.
Selain kejang-kejang terlihat aktivitas vegetatip seperti berkeringat, midriasis
pupil, refleks cahaya negatip, mulut berbuih dan sianosis. Kejang berhenti secara
berangsur-angsur dan penderita dalam keadaan stupor sampai koma. Kira-kira 4 - 5
menit kemudian penderita bangun, termenung dan kalau tak diganggu akan tidur
beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap jam sampai setahun sekali.
2

Minor
a Petit mal.

Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum yang
idiopatik. Meliputi kira-kira 3-4% dari kasus epilepsi. Umumnya timbul pada anak
sebelum pubertas (4-5 tahun). Bangkitan berupa kehilangan kesadaran yang
berlangsung tak lebih dari 10 detik. Sikap berdiri atau duduk sering kali masih dapat
dipertahankan Kadang-kadang terlihat gerakan alis, kelopak dan bola mata. Setelah

sadar biasanya penderita dapat melanjutkan aktivitas semula. Bangkitan dapat


berlangsung beberapa ratus kali dalam sehari. Bangkitan petit mal yang tak
ditanggulangi 50% akan menjadi grand mal. Petit mal yang tidak akan timbul lagi
pada usia dewasa dapat diramalkan berdasarkan 4 ciri :
1
2
3
4

Timbul pada usia 4-5 tahun dengan taraf kecerdasan yang normal.
Harus murni dan hilang kesadaran hanya beberapa detik.
Harus mudah ditanggulangi hanya dengan satu macam obat.
Pola EEG khas berupa gelombang runcing dan lambat dengan frekuensi 3 per
detik.
b

Bangkitan mioklonus

Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan kepala, fleksi lengan yang
teijadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian cepatnya sehingga sukar diketahui
apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap
rangsang sensorik.
c

Bangkitan akinetik

Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya tonus otot
dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan dan
kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini (petit mal, mioklonus dan
akine- tik) dapat terjadi pada seorang penderita dan disebut trias Lennox-Gastaut.
d

spasme infantile

Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaamspasm atau sindroma West. Timbul pada
bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab yang pasti belum
diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang luas seperti proses
degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan
dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik ke
atas, kadang-kadang disertai teriakan atau tangisan, miosis atau midriasis pupil,
sianosis dan berkeringat.

Epilepsi parsial ( 20% dari seluruh kasus epilepsi).


a

Bangkitan motorik.

Fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan kejang pada salah satu atau
sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang kesadaran. Penderita seringkali
dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya dimulai pada ujung jari tangan,
kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya seluruh lengan. Manifestasi klinik ini
disebut Jacksonian marche
b

Bangkitan sensorik

Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen pada koteks sensorik.
Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di gyrus post centralis memberi gejala
kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh, perasaan posisi abnormal atau perasaan
kehilangan salah satu anggota badan. Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar
ke neron sekitarnya dan dapat mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang.
c

Epilepsi lobus temporalis.

Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang khas
sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus epileptogennya
terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan pengecap, pendengar,
penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga indra tersebut dengan kawasan penglihatan.
Manifestasi yang kompleks ini bersifat psikomotorik, dan oleh karena itu epilepsi jenis ini
dulu disebut epilepsi psikomotor. Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan
motorik lazimnya berupa automatisme.
Manifestasi klinik ialah sebagai berikut:
1
2

Kesadaran hilang sejenak.


Dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk kealam pikiran antara sadar

dan mimpi(twilight state).


Dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari halusinasi dan
automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa jam. Halusinasi
dan automatisme yang mungkin timbul :
a Halusinasi dengan automatisme pengecap.
b Halusinasi dengan automatisme membaca.
4 Halusinasi dengan automatisme penglihatan, pendengaran atau perasaan aneh

G. DIAGNOSIS
Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui
anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan radiologis. Namun

demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi
(klinis) sudah dapat ditegakkan.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa
hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal
segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala
dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan
kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala
dengan

kehilangan

kesadaran,

meningitis,

ensefalitis,

gangguan

metabolik,

malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.


Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekwensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti
trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik
fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan
dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak
pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali,
perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan
pertumbuhan otak unilateral.

3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis
epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan
abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat disbanding seharusnya
misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat
yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang
khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit
mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi
mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku
majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).
b. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami
serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman
video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi
kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal
ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti,
serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi
parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.

c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur
otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih
sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hipokampus kanan dan kiri
a. TATALAKSANA
Obat-obat anti epilepsi
Obat antiepilepsi (OAE) merupakan terapi utama pada manajemen epilepsi.
Keputusan untuk memulai terapi didasarkan pada pertimbangan kemungkinan terjadinya
serangan epilepsi selanjutnya dan risiko terjadinya efek buruk akibat terapi obat antiepilepsi.
Politerapi seharusnya dihindari sebisa mungkin. Namun demikian, kurang lebih 30-50%
pasien tidak berrespon terhadap monoterapi.Tujuan pengobatan epilepsi dengan obat
antiepilepsi adalah menghindari terjadinya kekambuhan dengan efek buruk yang minimal
(yang dapat ditoleransi).
Tentang OAE yang akan dipilih, didasarkan atas aspek farmakologiknya, sudah ada
standar tertentu sebagai pedoman umum untuk diterapkan di klinik. Dalam praktek tidak
jarang dijumpai penyimpangan yang telah diperoleh perlu dikombinasikan dengan sebaikbaiknya. Akhirnya semuanya tadi akan membentuk kearifak kita dalam menghadapi setiap
kasus epilepsy.
Di Indonesia telah telah tersedia berbagai jenis OAE dengan berbagai merk dagang
dengan harga yang cukup lebar. Fenitoin dalam bentuk bahan baky mempunyai harga yang
paling murah, kemudian disusul harga fenobarbital. Obat-obat jadi dengan merk dagang
tertentu pada umumnya cukup mahal. Bagaimanapun factor harga perlu dipertimbangkan.
Program jangka panjang, dosis obat terbagi, dan kurangnya pengertian tentang program terapi
epilepsi merupakan factor penghambat turunya minum obat. Kepatuhan minum obat
merupakan hal penting untuk serangan.
Harga obat murah dikaitkan dengan obat generik. Obat generik terdapat masalah yang
perlu diperhatikan. Khususnya fenitoin, maka harus dipertimbangkan :
a

Resiko terjadinya perubahan konsentrasi obat dalam serum

Bila terjadi perubahan konsentrasi obat dalam serum dapat menimbulkan efek

c
d
e

samping dan hilangnya kemanjuran obat.


Perbandingan obat generic dengan obat jadi yang memakai merk dagang tertentu
Biaya pemeriksaan laboratorium untuk memantau konsentrasi obat
Resiko untuk memperoleh obat yang berbeda sediaannya, antara resep yang pertama,

f
g

kedua, dan seterusnya


Efek obat generic yang mempengaruhi kepatuhan penderita
Motivasi penderita untuk menerima obat generic

Konsekuensi dari pemilihan OAE adalah


a
b

Paham sepenuhnya tentang aspek farmakologik OAE yang dipilih


Mampu member penjelasan kepada penderita ataupun keluarganya tentang OAE tadi
secara sederhana, program yang akan dijalani, dan berbagai kemungkinan yang dapat
timbul sehubungan dengan obat yang akan diminum. Disamping itu efek OAE
terhadap kondisi tertentu perlu dimengerti, contoh pada anak-anak, wanita yang
sedang atau merencanakan hamil.

Prinsip-prinsip terapi obat antiepilepsi :


1

Menentukan diagnosis yang tepat

Diagnosis yang tepat sangat penting pada epilepsi. Orang yang terdiagnosis epilepsi
mempunyai beberapa konsekuensi. Penderita epilepsi akan meminum obat dalam jangka
waktu yang lama yang berakibat pada kemungkinan adanya efek yang merugikan akibat obat
antiepilepsi. Penderita juga dinilai oleh masyarakat sebagai penderita epilepsi yang menurut
penilaian masyarakat penyakit tersebut adalah penyakit kutukan. Sangat disayangkan apabila
penderita sinkop yang berulang, diterapi dengan obat antiepilepsi. Oleh karena itu dibutuhkan
pengetahuan yang baik bagi seorang dokter untuk mendiagnosis epilepsi. Jangan pernah
coba-coba dalam terapi epilepsi.
2

Menentukan kapan dimulainya terapi dengan obat antiepilepsi

Salah satu kesulitan yang dihadapi seorang dokter dalam merawat pasien dengan
serangan epilepsi adalah memutuskan kapan memulai pengobatan. Keputusan ini seharusnya
dibuat setelah mendiskusikan dan mengevaluasi keadaan pasien, menimbang manfaat dan
kerugian pengobatan.
Setelah kejang pertama

Langkah pertama untuk memulai pengobatan adalah menilai risiko terjadinya


bangkitan selanjutnya. Jika bangkitan merupakan bangkitan non epileptik, pengobatan harus
ditujukan pada faktor penyebab yang mendasari. Jika bangkitan hipoglikemik pada anak
maka diterapi dengan glukosa, bangkitan karena putusnya alcohol dapat dikontrol paling baik
dengan perubahan perilaku adiktif dan jika bangkitan karena masalah psikogenik dapat
diatasi dengan konseling yang tepat. Terapi bangkitan epilepsi ditentukan oleh penilaian dua
hal, risiko pengobatan dan manfaat pengobatan. Sebagai contoh, anak penderita epilepsi
benigna dengan spikes di sentrotemporal mungkin tidak membutuhkan terapi dengan obat
karena penelitian-penelitian menunjukkan bahwa setelah mengalami hanya sedikit serangan
nokturnal, mereka jarang mengalami kondisi ini. Jika terdapat lesi struktural, biasanya
bangkitan akan berulang (termasuk tumor otak, displasia kortikal dan malformasi
arteriovenosa).
Jika diagnosis sudah ditegakkan, setelah bangkitan pertama jangan ragu-ragu untuk
memberikan terapi untuk memulai terapi farmakologi dan mempertimbangkan dilakukannya
tindakan bedah.
Namun demikian, pada banyak kasus, penggalian faktor penyebab spesifik seringkali
gagal. Keputusan untuk mulai memberikan pengobatan setelah kejang pertama, menurut
Leppik (2001) dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan risiko terjadinya kejang
selanjutnya, yaitu treat, possibly treat dan probably treat.
Tabel 1

A. Treat :
1. Jika didapatkan lesi struktural :
a. Tumor otak seperti meningioma, glioma, neoplastik
b. Malformasi arteriovenosa
c. Infeksi seperti abses dan ensefalitis herpetika
2. Tanpa lesi struktural, namun dengan :

a. Riwayat epilepsi pada saudara (bukan pada orang tua)


b. EEG dengan pola epilepsi yang jelas (epileptiform)
c. Riwayat kejang akut (kejang akibat penyakit tertentu atau kejang demam
pada masa kanak-kanak)
d. Riwayat trauma otak atau stroke, infeksi SSP, trauma kepala berat
e. Todds postical paresis
f. Status epileptikus
B. Possibly :
Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktor risiko di atas.
Untuk keadaan seperti ini diperlukan pertimbangan yang matang mengenai
keuntungan dan risiko dari pengobatan obat antiepilepsi. Risiko pengobatan obat
antiepilepsi umumnya rendah, sedangkan akibat dari bangkitan kedua tergantung gaya
hidup pasien.pengobatan mungkin diindikasikan untuk pasien yang akan mengendarai
kendaraan atau pasien yang mempunyai risiko besar atau trauma jika mengalami
bangkitan kedua.
C. Probably not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa digunakan) :
a. Putusnya alkohol
b. Penyalahgunaan obat
c. Kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik
d. Kejang karena trauma(kejang tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala)
e. Sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna

dengan spikes sentrotemporal.


f. Kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu
ujian
Setelah kejang lebih dua kali atau lebih
Pada umumnya pasien yang mengalami serangan dua kali atau lebih membutuhkan
pengobatan. Kecuali pada serangan-serangan tertentu seperti kejang akibat putusnya alcohol,
penyalahgunaan obat, kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi,
hipoglikemik, kejang karena trauma (kejang tunggal dengan segera setelah pukulan di
kepala), sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna
dengan spikes sentrotemporal, kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar
dalam waktu-waktu ujian dan kejang akibat penyebab non epileptik lainnya. Kejang akibat
hal-hal di atas sebaiknya ditangani sesuai kausanya. Pada pasien yang mengalami kejang
pertama namun tidak ada faktor risiko satupun yang ditemukan, maka kemungkinan
terjadinya kejang yang kedua 10% pada tahun pertama dan 24% pada akhir tahun kedua
setelah kejang yang pertama. Keputusan untuk memulai terapi diambil dengan pertimbangan
risk and benefit setelah sebelumnya dokter berdiskusi dengan pasien. Sebagai contoh terapi
diindikasikan untuk pasien yang bekerja sebagai sopir karena jika terjadi kekambuhan
sewaktu-waktu maka akan membahayakan pasien bahkan mengancam nyawa pasien.
Pengobatan yang dilakukan pada penderita yang mempunyai sedikit bahkan tidak mempunyai
risiko terjadinya kejang kedua biasanya hanya terapi jangka pendek. Risiko terjadinya
kekambuhan yang paling besar terjadi pada dua tahun pertama. Seandainya pasien diputuskan
untuk diobati, maka penghentian pengobatan dilakukan setelah tahun kedua dari kejang yang
pertama.
3

Memilih obat yang paling sesuai

Pemilihan obat antiepilepsi didasarkan pada dua hal, tipe serangan dan karakteristik pasien
a

Tipe serangan

Tabel 2 modifikasi brodie et al (2005) dan panayiotopoulos (2005)

Tipe serangan

First-line

Second-line/

Third line/

add on

add on

Asam valproat

Tiagabin

Fenitoin

Levetiracetam

Vigabatrin

Fenobarbital

Zonisamid

Felbamat

Okskarbazepin

Pregabalin

Pirimidon

Asam valproat

Lamotrigin

Topiramat

Karbamazepine

Okskarbazepin

Levetiracetam

Parsial simple & Karbamazepine


kompleks dengan
atau

tanpa

general sekunder

Lamotrigin
Topiramat
Gabapentin
Tonik klonik

Mioklonik

Fenitoin

Zonisamid

Fenobarbital

Pirimidon

Asam valproat

Topiramat

Lamotrigin

Levetiracetam

Clobazam

Zonisamid

Clonazepam
Fenobarbital

Absence (tipikal Asam valproat


dan atipikal)

Etosuksimid

Levetiracetam

Lamotrigin
Atonik

Asam valproat

Zonisamid
Lamotrigin

Felbamat

Topiramat
Tonik

Asam valproat

Clonazepam

Fenitoin

Clobazam

Fenobarbital
Epilepsy absence Asam valproat

Clonazepam

juvenil
Etosuksimid
Epilepsy

Asam valproat

Clonazepam

Fenobarbital

Etosuksimid

mioklonik
juvenil
b

karakteristik pasien

Dalam

pengobatan

dengan

obat

antiepilepsi

karakteristik

pasien

harus

dipertimbangkan secara individu. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah : efek buruk
obat, dosis yang tepat, harga, pola hidup dan usia pasien. Suatu obat antiepilepsi mungkin
efektif pada pasien tertentu namun jika ada kontra indikasi atau terjadi reaksi yang tidak bisa
ditoleransi maka sebaiknya penggantian obat dilakukan. Sebagai contoh asam valproat pada
wanita, khususnya wanita yang masih dalam usia subur.
4

Optimalisasi terapi dengan dosis individu


Ketika obat sudah dipilih terapi seharusnya dimulai dari dosis yang paling rendah

yang direkomendasikan dan pelan-pelan dinaikkan dosisnya sampai kejang terkontrol dengan
efek samping obat yang minimal (dapat ditoleransi).

Perlu dilakukan evaluasi respon klinik pasien terhadap dosis obat yang diberikan dengan
melihat respon setelah obat mencapai kadar yang optimal dan kemudian memutuskan apakah
selanjutnya dibutuhkan penyesuaian atau tidak. Setelah evaluasi dilakukan, baru kemudian
dipertimbangkan adanya penambahan dosis.
Dosis awal :
Terapi obat antiepilepsi harus diberikan secara bertahap dalam satu bulan terapi untuk
meminimalkan efek samping gastrointestinal dan neurologik yang biasanya terjadi pada
permulaan terapi dengan obat antiepilepsi. Frekuensi efek samping ini cenderung menurun
pada beberapa bulan setelah terapi karena dapat ditoleransi. Beberapa cara pemberian dosis
awal :
Pemberian obat mulai dari dosis subterapetik
Sejumlah obat antiepilepsi memberikan efek samping yang dihubungkan dengan dosis
awal, di antaranya karbamazepin, etosuksimide, felbamate, lamotrigin, pirimidone, tiagabin,
topiramat dan asam valproat. Munculnya ruam pada penggunaan lamotrigin dihubungkan
dengan dosis. Untuk meminimalkan efek samping pada pemberian awal ini, obat-obat
tersebut biasanya diberikan mulai dengan dosis subterapetik dan dinaikkan secara bertahap
sampai beberapa minggu tercapainya range dosis yang dianjurkan. Jika efek buruk tidak
dapat ditoleransi selama proses titrasi ini, dosis harus kembali pada kadar sebelumnya yang
dapat ditoleransi pasien. Setelah simptom menghilang, proses titrasi dimulai kembali dengan
menaikkan dosis yang lebih kecil.
Pemberian obat mulai dari dosis terapetik
Efek buruk terkait dosis awal pemberian pada obat-obat antiepilepsi seperti
gabapentin, fenitoin, dan fenobarbital merupakan masalah yang ringan sehingga terapi
dengan obat tersebut dapat diberikan mulai dengan dosis terapetik yang direkomendasikan.
Evaluasi ulang
Sebelum berpikir ke arah kegagalan obat antiepilepsi dan penggantian obat
antiepilepsi dengan obat lain, factor-faktor berikut harus dievaluasi kembali :

Diagnosis epilepsi
Klasifikasi tipe serangan atau sindrom epilepsi
Adanya lesi aktif
Dosis yang adekuat dan atau lamanya terapi (missal : apakah dosis terpaksa
diberikan dengan kadar maksimal yang dapat ditoleransi?apakah pengaturan dosis

yang diberikan cukup waktu untuk mencapai kondisi optimal?)


e. Ketaatan terhadap pengobatan (ketidaktaatan merupakan penyebab yang paling
umum terjadinya kegagalan pengobata dan kambuhnya bangkitan).

Table 3 dosis obat antiepilepsi untuk dewasa diambil dari Brodie et al (2005)

Obat

Fenitoin

Dosis awal

Dosis

(mg/hari)

200

yang

Dosis

Frekuensi Efek samping

paling umum

maintenance

pemberian

(mg/hari)

(mg/hari)

(kali/hari)

300

100-700

1-2

Hirsutisme,

hipertrofi

distres

lambung,

kabur,

vertigo,

gusi,

penglihatan
hiperglikemia,

anemia makrositik
Karbamazepin 200

600

400-2000

2-4

Depresi sumsum tulang, distress


lambung,

sedasi,

penglihatan

kabur, konstipasi, ruam kulit


Okskarbazepin 150-600

900-1800

900-2700

2-3

Gangguan GI, sedasi, diplopia,


hiponatremia, ruam kulit

Lamotrigin

12,5-25

200-400

100-800

1-2

Hepatotoksik,
steven-johnson,

ruam,

sindrom

nyeri

kepala,

pusing, penglihatan kabur


Zonisamid

100

400

400-600

1-2

Somnolen,

ataksia,

kelelahan,

anoreksia, pusing, batu ginjal,


leukopenia

Ethosuximid

500

1000

500-2000

1-2

Mual, muntah, BB , konstipasi,


diare, gangguan tidur

Felbamat

1200

2400

1800-4800

gg. GI, BB , anoreksia, nyeri


kepala, insomnia, hepatotoksik

Topiramat

25-50

200-400

100-100

Faringitis,

insomnia,

BB

konstipasi, mulut kering, sedasi,


anoreksia
Clobazam

10

20

10-40

1-2

Clonazepam

2-8

1-2

Mengantuk, kebingungan, nyeri


kepala, vertigo, sinkop

Fenobarbital

60

120

60-240

1-2

Pirimidon

125

500

250-1500

1-2

Tiagabin

4-10

40

20-60

2-4

Sedasi, distress lambung

Mulut kering, pusing, sedasi,


langkah terhuyung, nyeri kepala,
eksaserbasi kejang generalisata

Vigabatrin

500-

3000

2000-4000

1-2

2400

1200-4800

1000
Gabapentin

300-400

Leukopenia,mulut
penglihatan

kabur,

kering,
mialgia,

penambahan berat, kelelahan


Pregabalin

150

300

150-600

2-3

Valproat

500

Levetiracetam 1000

1000

500-3000

2000-3000 1000-4000

2-3

Mual, hepatotoksik

Penggantian Obat

Penggantian obat antiepilepsi pertama dilakukan jika :


a

Jika serangan terjadi kembali meskipun obat antiepilepsi pertama sudah diberikan
dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, maka obat antiepilepsi kedua harus

segera dipilih.
Jika terjadi reaksi obat pertama baik efek samping, reaksi alergi ataupun efek
merugikan lainnya yang tidak dapat ditoleransi pasien.
Terapi dengan obat yang kedua harus dimulai dengan gambaran sebagai berikut:

pertama, dosis dari obat kedua harus dititrasi sampai pada range dosis yang
direkomendasikan. Obat yang pertama harus diturunkan secara bertahap selama 1-3 minggu.
Setelah obat yang pertama diturunkan, dosis obat kedua (monoterapi) harus dinaikkan sampai
serangan terkontrol atau dengan efek samping yang minimal. Proses ini harus dilanjutkan
sampai monoterapi dengan dua atau tiga obat primer gagal. Setelah proses tersebut dilakukan
baru politerapi dipertimbangkan.
c

Monoterapi
Monoterapi rupanya sudah menjadi pilihan dalam memulai pengobatan epilepsi.

Berbagai keuntungan diperoleh dengan cara itu, yakni: (1) mudah dilakukan evaluasi hasil
pengobatan, (2) mudah dievaluasi kadar obat dalam darah, (3) efek samping minimal, (dapat
ditoleransi pada 50-80% pasien) (Pellock, 1995), dan (4) terhindar dari interaksi obat-obat.
Dewasa ini terapi obat pada penderita epilepsi, apapun jenisnya, selalu dimulai dengan obat
tunggal. Pilihan obat ditentukan dengan melihat tipe epilepsi/bangkitan dan obat yang paling
tepat sebagai pilihan pertama. Sekitar 75% kasus yang mendapat obat tunggal akan
mengalami remisi dengan hanya mendapat efek samping minimal. Akan tetapi sisanya akan
tetap mengalami bangkitan dan memerlukan kombinasi obat (Gram, 1995).

Berbagai faktor yang mendorong kemajuan penanganan epilepsi di antaranya ialah:


(1) klasifikasi epilepsi menurut International League Againts Epilepsy, (2) pemantauan kadar
obat antiepilepsi, (3) konsep monoterapi, (4) ditemukannya OAE baru dengan mekanisme
aksi yang jelas, (5) pandangan baru tentang etiologi epilepsi, (6) lebih jelasnya mekanisme
terjadinya bangkitan, dan (7) dikembangkannya berbagai perangkat untuk menentukan letak
lesi. Secara farmakologis, satu OAE dengan satu mekanisme aksi merupakan unsur yang
penting dalam manajemen epilepsi di kemudain hari.tc "Sekitar 75% kasus yang mendapat
obat tunggal akan mengalami remisi dengan hanya mendapat efek samping minimal. Akan
tetapi sisanya akan tetap mengalami bangkitan dan memerlukan kombinasi obat (Gram,
1995). Berbagai faktor yang mendorong kemajuan penanganan epilepsi di antaranya ialah\:
(1) klasifikasi epilepsi menurut International League Againts Epilepsy, (2) pemantauan kadar
obat antiepilepsi, (3) konsep monoterapi, (4) ditemukannya OAE baru dengan mekanisme
aksi yang jelas, (5) pandangan baru tentang etiologi epilepsi, (6) lebih jelasnya mekanisme
terjadinya bangkitan, dan (7) dikembangkannya berbagai perangkat untuk menentukan letak
lesi. Secara farmakologis, satu OAE dengan satu mekanisme aksi merupakan unsur yang
penting dalam manajemen epilepsi di kemudain hari."
Kenaikan inhibisi GABA-ergik merupakan salah satu sasaran penanganan epilepsi.
Satu OAE dengan satu mekanisme akso tunggal serta dengan satu target mungkin merupakan
pilihan utama, daripada satu OAE dengan berbagai target. Pada suatu kasus epilepsi dengan
sebab multifokal, dapat diberikan satu OAE untuk tiap target (Gram, 1995).tc "Kenaikan
inhibisi GABA-ergik merupakan salah satu sasaran penanganan epilepsi. Satu OAE dengan
satu mekanisme akso tunggal serta dengan satu target mungkin merupakan pilihan utama,
daripada satu OAE dengan berbagai target. Pada suatu kasus epilepsi dengan sebab
multifokal, dapat diberikan satu OAE untuk tiap target (Gram, 1995)."
d

Politerapi
Politerapi nampaknya tidak selalu merugikan. Goldsmith & de Biitencourt (1995)

mengatakan bahwa generasi baru OAE yang dapat ditoleransi dengan baik dan sedikit
interaksi, dapat digunakan untuk politerapi. Studi tersebut menggunakan vigabatrin sebagai
terapi tambahan pada 19 kasus epilepsi parsial refrakter. Pasien-pasien tersebut sebelumnya
sudah mendapat terapi rata-rata 1,5 macam obat. Dengan tambahan vigabatrin, 73% pasien
mengalami reduksi frekuensi bangkitannya lebih dari 50%; 52% kasus mengalami reduksi

frekuensi bangkitannya lebih dari 70%. Satu pasien frekuensi bangkitannya bertambah,
sedangkan 2 pasien mengalami bangkitan mioklonik.
Penggunaan politerapi memerlukan pengetahuan yang baik dalam farmakologi klinik,
terutama interaksi obat. Berbagai OAE lama, mempunyai mode of action yang sama, karena
itu interaksinya sering tidak menguntungkan karena efek sampingnya aditif (Goldsmith & de
Biitencourt,1995).
Kombinasi OAE yang lebih spesifik mungkin lebih menguntungkan, misalnya:
valproat dan etosuksimid dalam manajemen bangkitan absence refrakter. Dibandingkan
dengan obat-obat lama, obat-obat baru mempunyai mekanisme yang berbeda dan lebih
selektif. Mungkin akan lebih menguntungkan apabila dipakai kombinasi spesifik. Selektif
terapi kombinasi yang rasional, memerlukan pertimbangan efek klinis OAE, efek samping,
interaksi obat, kadar terapetik dan kadar toksik serta mekanisme aksi tiap obat. Kombinasi
optimal dicapai dengan menggunakan obat-obat yang:
1
2
3
4

mempunyai mekanisme aksi berbeda;


efek samping relatif ringan;
indeks terapi lebar, dan
interaksi obat terbatas atau negatif.
Tujuan tercapai epilepsi antara lain ialah: bangkitan terkendali dengan efek samping

obat relatif rigan atau tidak ada sama sekali (Ferrendelli, 1995).
Fong (1995) mengatakan bahwa kombinasi obat hanya dipakai apabila semua upaya
monoterapi telah dicoba. Apabila kombinasi dua macam obat lini pertama tidak menolong,
obat yang mempunyai efek lebih besar dan efek samping lebih kecil tetap diteruskan,
sementara obat yang lain diganti diganti dengan obat dari kelompok lini kedua. Apabila obat
lini kedua tersebut efektif, dipertimbangkan untuk menarik obat pertama. Sebaliknya, obat
lini kedua tersebut harus dihentikan apabila ternyata tidak juga efektif. Apabila upaya
tersebut di atas gagal, kasus tersebut mungkin tergolong dalam epilepsi refrakter, kasus
epilepsi yang sulit disembuhkan. Berbagai obat antiepilepsi (OAE) dapat terus dicoba pada
kasus itu, atau dipertimbangkan untuk tindakan bedah.
6

Pemantauan terapi

Manajemen umum epilepsi :

a
b
c

Mengevaluasi kembali diagnosis sehingga mendapat diagnosis yang tepat


Menentukan dan mengobati penyebab
Mengobati serangan :
- Menilai perlunya terapi obat :
- Terapi obat tidak diindikasikan untuk kejang akibat penyakit akut yang
-

reversible
Terapi obat tidak perlu untuk epilepsi-epilepsi benigna yang diketahui dengan

pasti ( kejang demam, rolandic epilepsy)


Dari kejang pertama (yang tidak diketahui penyebabnya), nilai apakah banyak

manfaatnya apabila mulai diterapi pada pasien-pasien dengan risiko tinggi.


Pemberian obat antiepilepsi yang sesuai
Temukan dan hindari factor-faktor presipitat (alcohol, kurang tidur, stress

emosional, demam, kurang makan, menstruasi, dan lain-lain)


Evaluasi dan pertimbangkan untuk tindakan pembedahan dan implantasi

stimulator nervus vagus pada pasien yang sulit diobati dengan obat antiepilepsi.
d Mencegah komplikasi akibat serangan epilepsi :
- Hentikan kejang
- Hindari efek buruk obat yang tidak dapat ditoleransi pasien
- Perhatikan adanya komplikasi psikososial dan obati jika ada.
7 Ketaatan pasien
Penelitian Hakim (2006) menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat menrupakan
faktor prediktor untuk tercapainya remisi pada epilepsi, dimana pada penderita epilepsi yang
patuh minum obat terbukti mengalami remisi 6 bulan, 12 bulan dan 24 bulan terus menerus
dibanding dengan mereka yang tidak patuh minum obat. Kriteria kepatuhan minum obat yang
dipakai adalah menurut Ley (1997) cit Hakim (2006) adalah penderita dikatakan patuh
minum obat apabila memenuhi 4 hal berikut : dosis yang diminum sesuai dengan yang
dianjurkan, durasi waktu minum obat doidiantara dosis sesuai yang dianjurkan, jumlah obat
yang diambil pada suatu waktu sesuai yang ditentukan, dan tidak mengganti dengan obat lain
yang tidak dianjurkan.
Berbagai faktor dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat pada penderita epilepsi
dipengaruhi oleh dukungan keluarga, dukungan dokter, pengaruh faktor motivasi, adanya
efek samping obat, pengobatan monoterapi , pengaruh biaya pengobatan serta adanya
pengaruh stigma akibat epilepsi (Kyngas, 2001, Buck et al, 1997; cit Lukman,2006).
Sedangkan penelitian yang dilakukan Hakim (2006) menunjukkan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat pada penderita epilepsi adalah dukungan

keluarga, dukungan dokter, motivasi yang baik, kontrol teratur dan tidak ada stigma akibat
epilepsi. Dengan demikian, pada pengobatan epilepsi kita harus memperhatikan faktor-faktor
apa saja yang akan berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan, disamping tentunya
faktor obat yang efikasius, dosis yang tepat dan cara pemberian obat yang tepat juga harus
diperhatikan.

Pemakaian OAE pada anak


Berdasarkan penilaian neuropsikologik terhadap anak-anak dengan epilepsi
memperlihatkan masalah akademik muncul dari defisiensi kognitif spesifik dan bukan
disfungsi kognitif secara umum. Gangguan kognitif berhubungan dengan jenis serangan,
sindrom epilepsy, factor etiologi, munculnya serangan pada usia dini, sering mengalami
serangan, focus epilepsi, dan OAE. Anak yang menerima politerapi pada umumnya
mengalami gangguan kognitif yang berat dari anak yang menerima monoterapi.
Defisiensi kognitif pada anak dengan epilepsi cukup bervariasi, missal gangguan
memori, penurunan kapasitas untuk memperlihatkan sesuatu, penurunan efisiensi dalam
proses informasi, gangguan persepsi pendengaran dan berbahasa.
Pemberian OAE pada anak harus dipertimbangkan scara benar, dengan menghadapi
efek berbeda terhadap fungsi kognitif dan perilaku. Pada anak pengaruh fenobarbital terhadap
fungsi kognitif tidak begitu nyata tetapi dapat membuat anak menjadi hiperaktif. Sementara
itu fenitoin dalam kadar serum yang tinggi dapat menimbulkan enselopati yang progresif,
retardasi mental, dan penurunan kemampuan membaca. Karbamazepin dan valproat
mengakibatkan gangguan kognitif yang ringan. Pada kadar yang tinggi, valproat dapat
mengganggu fungsi motorik, sementara karbamzepin justru memperbaiki kecepatan kinerja
pada gerakan selektif tertentu. Lagi pula karbamzepin dapat memperbaiki koordinasi matatangan dan keterampilan tangan. Orang tuan penderita harus benar-benar mengetahui
persoalan anaknya. Maka orang tua harus diberikan pengertian yang cukup dari berbagai
masalah yang bersangkutan dengan epilepsy, agar diperoleh kerjasama yang baik. Dan dokter
harus bersikap terbuka dan siap member informasi bila diperlukan orang tua penderita.
Epilepsi yang sukar diobati

Dalam literature dikenal istilah intractable epilepsy atau refractory epilepsy, yang berarti
bahwa serangan yang ada sulit untuk tak dapat dikendalikan dengan OAE bahwa dengan
dosis yang mendekati dosis toksik. Kasus demikian ini merupakan 20-30% dari seluruh
penderita epilepsy. Apabila menghadapi keadaan maka ada beberapa hal yang perlu
dipertanyakan, antara lain :
a
b
c
d
e
f

Apakah diagnosisnya sudah benar


Apakah penderita patuh minum obat secara teratur
Apakan OAE yang diberikan sudah sesuai dengan jenis serangan yang ada
Apakah ada gangguan absorbs pada saluran pencernaan
Apakah ada interaksi dengan obat yang lain
Apakah ada kelainan struktur otak, misalnya massa, tumor, infark, kalsifikasi difus,

hidrosefalus dan
Apakah ada factor presipitasi misalnya kurang tidur, kelelahan, cahaya berkedip-kedip
dan emosi
Beberapa jenis obat (OAE dan bukan OAE) telah dicoba untuk mengatasi epilepsy

yang sukar dikendalikan serangannya. Flunarizin dan nefepin, dua jenis kalsium
antagonist yang berbeda, pernah dicoba sebagai adjuvant untuk mengatasi serangan
epilepsy yang refrakter. Kedua obat tadi menunjukkan hasil yang lumayan baik, namun
demikian ada pula penderita yang tetap mengalami serangan.

Terapi operatif
Apabila dengan berbagai jenis OAE dan adjuvant tidak memberikan hasil sama sekali,
maka terapi operatif harus diperimbangkan dalam satu dasawarsa terakhir, tindakan operatif
untuk mempercepat untuk mengatasi epilepsy refrakter makin banyak dikerjakan. Operasi
yang paling aman adalah reseksi lobus temporalis bagian anterior. Lebih kurang 70-80%
penderita yang mengalami operasi terbebas dari serangan, walaupun diantaranya harus
minum obat OAE. Pendekatan teknik operasi lainnya adalah reseksi korteksi otak,
hemisferektomi, dan reseksi multilobular pada bayi dan pembedahan korpus kalosum.

Penghentian pengobatan
Keputusan untuk menghentikan pengobatan sama pentingnya dengan memulai
pengobatan. Dipihak lain, penderita atau orang tua nya pada umumnya menanyakan : berapa

lama atau sampai kapan harus minum obat? untuk memutuskan apakah pengobatan dapat
dihentikan atau belum, atau tidak dapat dihentikan atau menjawab pertanyaan yang diajukan
penderita/ orang tuanya tadi memang tak mudah. Untuk itu perlu memahami diagnosis
(termasuk serangannya) dan prognosis epilepsy.
Jenis serangan dapat pula dipakai untuk memperkirakan tingkat kekambuhan apabila
OAE dihentikan. Tingkat kekambuhan yang paling rendah adalah jenis serangan absence
yang khas. Kemudian berturut-turut makin tinggi tingkat kekambuhannya adalah klonik atau
mioklonik, kejang tonik-klonik primer, parsial sederhanadan parsial kompleks, serangan yang
lebih dari satu jenis, dan epilepsy Jackson.
Konsep penghentian obat minimal 2 tahun terbebas dari serangan pada umumnya
dapat diterima oleh kalangan praktisi. Penghentian obat dilaksanakan secara bertahap,
disesuaikan dengan keadaan klinis penderita. Dengan demikian jelas bahwa penghentian
OAE memerlukan pertimbangan yang cermat, dan kepada penderita atau orang tuanya harus
diberikan pengertian secukupnya.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ahmed Z, Spencer S.S (2004) : An Approach to the Evaluation of a Patient for

Seizures and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 103(1) : 49-55.


Anonymous (2003) : Diagnosis of Epilepsy, Epilepsia, 44 (Suppl.6) :23-24

Behrman RE., Kliegman RM., Jenson HB., Nelson Textbook of Pediatrics. 17 th edition.
Saunders. Philadelphia. 2004.

Duncan

Diagnosis

of

Epilepsy

in

Adults,

available

from

http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/epilepsy supplement/E Duncan.pdf.


5

Epilepsi. Available at : http://www.fkui.org/.

Epilepsi. Available at : http://www.medicastore.com/

Epilepsi. Buku Ajar Neuropsikiatri Fakultas Kedokteran Unhas. 2004

Guyton AC., Hall JE., Sistem saraf. In : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Textbook of
Medical Physiology) Edisi 9.Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta. 1996

Hadi S (1993) : Diagnosis dan Diagnosis Banding Epilepsi, Badan Penerbit UNDIP

Semarang : 55-63.
10 Harsono (2001) : Epilepsi, edisi 1, GajahMada University Press, Yogyakarta.
11 Kirkpatrick M : Diagnosis of Epilepsy in Children, available

from

http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/epilepsy supplement/F Kirkpatrick.pdf.


12 Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors) (2003) : Pedoman Tatalaksana
Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi.
13 Mardjono M (2003) : Pandangan Umum Tentang Epilepsi dan Penatalaksanaannya
dalam Dasar-Dasar Pelayangan Epilepsi & Neurologi, Agoes A (editor); 129-148.
14 Oguni H (2004) : Diagnosis and Treatment of Epilepsy, Epilepsia, 48 (Suppl.8):13-16
15 Pinzon R., Dampak Epilepsi Pada Aspek Kehidupan Penyandangnya. SMF Saraf RSUD
Dr. M. Haulussy, Ambon, Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran No. 157, 2007.
16 Sirven J.I, Ozuna J (2005) : Diagnosing epilepsy in older adults, Geriatricts, 60,10:
30-35.
17 Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Epilepsi.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1985

18 Sisodiya S.M, Duncan J (2000) : Epilepsy : Epidemiology, Clinical Assessment,


Investigation and Natural History, Medicine International,00(4);36-41.
19 Stefan H (2003) : Differential Diagnosis of Epileptic Seizures and Non Epileptic
Attacks, Teaching Course : Epilepsy 7th Conggres of the European Federation of
Neurological Societies, Helsinki.

Das könnte Ihnen auch gefallen