Sie sind auf Seite 1von 16

LAPORAN PENDAHULUAN

POLIP NASI / POLIP HIDUNG

A. DEFINISI
Polip hidung adalah massa lunak, berwarna putih atau keabu-abuan yang terdapat
dalam rongga gidung. Paling sering berasal dari sinus etmoid, multiple, dan bilateral.
Biasanya pada orang dewasa. Pada anak mungkin merupakan gejala kistik fibrosis
Polip konka adalah polip hidung yang berasal dari sinus maksila yang keluar melalui
rongga hibung dan membesar di konka dan nasofaring. ( Mansoer ,1999)
Ada suatu tumbuhan di rongga hidung yang disebut polip hidung. Polip ialah suatu
sumbatan, tetapi sifatnya lain dari tumor. (Iskandar, 1993)
Polip hidung ialah masa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga
hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa.(Endang,
2003)
Polip nasi ialah massa lunak yang bertangkai di dalam rongga hidung yang terjadi
akibat inflamasi mukosa. Permukaannya licin, berwarna putih keabu-abuan dan agak
bening karena mengandung banyak cairan. Bentuknya dapat bulat atau lonjong, tunggal
atau multipel, unilateral atau bilateral. (Anonim, 2010)
B. ETIOLOGI
Terjadi akibat reaksi hipertensitif atau reaksi alergi pada mukosa hidung. Polip dapat
timbul pada penderita laki-laki maupun perempuan, dari usia anak-anak sampai usia
lanjut. Bila ada polip pada anak di bawah usia 2 tahun, harus disingkirkan kemungkinan
meningokel atau meningoensefalokel.
Dulu diduga predisposisi timbulnya polip nasi ialah adanya rinitis alergi atau
penyakit atopi, tetapi makin banyak penelitian yang tidak mendukung teori ini dan para
ahli sampai saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan
pasti.
Polip disebabkan oleh reaksi alergi atau reaksi radang. Bentuknya bertangkai, tidak
mengandung pembuluh darah. Di hidung polip dapat tumbuh banyak, apalagi bila
asalnya dari sinus etmoid. Bila asalnya dari sinus maksila, maka polip itu tumbuh hanya
satu, dan berada di lubang hidung yang menghadap ke nasofaring (konka). Keadaan ini
disebut polip konka. Polip konka biasanya lebih besar dari polip hidung. Polip itu harus
dikeluarkan, oleh karena bila tidak, sebagai komplikasinya dapat terjadi sinusitis. Polip
itu dapat tumbuh banyak, sehingga kadang-kadang tampak hidung penderita membesar,
dan apabila penyebarannya tidak diobati setelah polip dikeluarkan, ia dapat tumbuh
kembali. Oleh karena itu janganlah bosan berobat, oleh karena seringkali seseorang
dioperasi untuk menegluarkan polipnya berulang-ulang.
Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :
1. Alergi terutama rinitis alergi.
2. Sinusitis kronik.
3. Iritasi.
4. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi konka.
C. PATOFISIOLOGI
Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf
otonom serta predisposisi genetic. Menurut teori Bemstein, terjadi perubahan mukosa
hidung akibat peradangan atau aliran udara yang bertubulensi, terutama di daerah sempit
di kompleks ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan

pembentukan kelanjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh


permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip.
Teori lain mengatakan karena ketidak seimbangan saraf vasomotor terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vascular yang mengakibatkan
dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan edema dan lama-lama
menjadi polip.
Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan
kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai.
Histopatologi polip nasi Secara makroskopik polip merupakan massa dengan
permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna pucat keabu-abuan, lobular,
dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif (bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit).
Warna polip yang pucat tersebut disebabkan oleh sedikitnya aliran darah ke polip. Bila
terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerahmerahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan
karena banyak mengandung jaringan ikat.
Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari tempat yang sempit di bagian atas
hidung, di bagian lateral konka media dan sekitar muara sinus maksila dan sinus etmoid.
Di tempat-tempat ini mukosa hidung saling berdekatan. Bila ada fasilitas pemeriksaan
dengan endoskop, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Dari penelitian
Stammberger didapati 80% polip nasi berasal dari celah antara prosesus unsinatus, konka
media dan infundibulum.
Ada polip yang tumbuh ke arah belakang dan membesar di nasofaring, disebut polip
koana. Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan disebut juga polip
antro-koana. Menurut Stammberger polip antrokoana biasanya berasal dari kista yang
terdapat pada dinding sinus maksila. Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal
dari sinus etmoid posterior atau resesus sfenoetmoid.
Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung normal
yaitu epitel bertingkat semu bersilia denagn submukosa yang sembab. Sel-selnya terdiri
dari limfosit, sel plasma, eosinofil, netrofil dan makrofag. Mukosa mengandung sel-sel
goblet. Pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama dapat
mengalami metaplasia epitel karena sering transisional, kubik atau gepeng berlapis
keratinisasi.
D. MANIFESTASI KLINIS
Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip nasi adalah hidung tersumbat. Sumbatan
ini tidak hilang timbul dan makin lama makin memberat. Pada sumbatan yang hebat
dapat menyebabkan timbulnya gejala hiposmia bahkan anosmia. Bila polip ini
menyumbat sinus paranasal, akan timbul sinusitis dengan keluhan nyeri kepala dan
rhinore. Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala utama adalah bersin dan iritasi di
hidung.
Sumbatan hidung yang menetap dan semakin berat dan rinorea. Dapat terjadi
sumbatan hiposmia atau anosmia. Bila menyumbat ostium, dapat terjadi sinusitis dengan
ingus purulen. Karena disebabkan alergi, gejala utama adalah bersin dan iritasi di hidung.
Pada pemeriksaan klinis tampak massa putih keabu-abuan atau kuning kemerahmerahan dalam kavum nasi. Polip bertangkai sehingga mudah digerakkan, konsistensinya
lunak, tidak nyeri bila ditekan, mudah berdarah, dan tidak mengecil pada pemakaian
vasokontriktor.

Pada rhinoskopi anterior polip nasi sering harus dibedakan dari konka hidung yang
menyerupai polip (konka polipoid). Perbedaannya:
Polip

Konka polipoid

Bertangkai

Tidak bertangkai

Mudah digerakkan

Sukar digerakkan

Tidak nyeri tekan

Nyeri bila ditekan dengan


pinset

Tidak mudah berdarah

Mudah berdarah

Pada pemakaian

Dapat mengecil dengan

vasokonstriktor tidak

vasokonstriktor

mengecil

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters,AP, Caldwell dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus, tetapi
kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi computer (TK, CT scan)
sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal
apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks
ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan
terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan
bedah terutama bedah endoskopi.
1. Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu diagnosis kasus polip
yang baru. Polip stadium 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi
anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi.Pada kasus polip koanal
juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus
maksila
2. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus,
tetapi sebenarnya kurang bermafaat pada kasus polip nasi karena dapat memberikan
kesan positif palsu atau negatif palsu, dan tidak dapat memberikan informasi
mengenai keadaan dinding lateral hidung dan variasi anatomis di daerah kompleks
ostio-meatal. Pemeriksaan tomografi komputer (TK, CT scan) sangat bermanfaat
untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses
radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK
terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi
medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan
bedah terutama bedah endoskopi. Biasanya untuk tujuan penapisan dipakai potongan
koronal, sedangkan pada polip yang rekuren diperlukan juga potongan aksial
F. PENATALAKSANAAN

Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi adalah menghilangkan keluhankeluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip.
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi
medika mentosa. Dapat diberikan topical atau sistemik. Polip tipe eosinofilik
memberikan respons yang lebih baik terhadap pengobatan kortikosteroid intranasal
dibandingkan polip tipe neurotrofilik.
Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang
sangat massif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat dilakukan ekstraksi polip
(polipektomi) menggunakan senar polip atau cumin dengan analgesic local,
etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid, operasi
Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitas endoskop
maka dapat dilakukan tindakan BSEF (bedah Sinus Endoskopi Fungsional).
Bila polip masih kecil, dapat diobati secara konservatif dengan kortikosteroid
sistemik atau oral, misalnya prednisone 50mg/hari atau deksamentosa selama 10 hari
kemudian diturunkan perlahan. Secar local dapat disuntikkan ke dalam polip, misalnya
triamsinolon asetonid atau predsinolon 0,5 ml tiap 5-7 hari sekali sampai hilang. Dapat
dipakai secara topical sebagai semprot hidung, misalnya beklometason dipropionat. Bila
sudah besar, dilakukan ekstraksi polip dengan senar. Bila berualang dapat dirujuk untuk
operasi etmoidektomi intranasal atau ekstranasal
Pengobatan juga perlu ditunjukkan pada penyebabnya, dengan menghindari allergen
penyebab.
Ada tiga macam penanganan polip nasi yaitu :
1. Cara konservatif
2. Cara operatif
3. Kombinasi keduanya.
Cara konservatif atau menggunakan obat- obatan yaitu menggunakan glukokortikoid
yang merupakan satu- satunya kortikosteroid yang efektif, terbagi atas kortikosteroid
topical dan kortikosteroid sistemik. Kortikosteroid topical (long term topical treatment)
diberikan dalam bentuk tetes atau semprot hidung tiak lebih dari 2 minggu.
Kortikosteroid sistemik (short term systemic treatment) dapat diberikan secara oral
maupun suntikan depot. Untuk preparat oral dapat diberikan prednisolon atau prednisone
dengan dosis 60 mg untuk empat hari pertama, selanjutnya ditappering off 5 mg/hr
sampai hari ke-15 dengan dosis total 570 mg. Suntikan depot yang dapat diberikan adalah
methylprednisolon 80 mg atau betamethasone 14 mg setiap 3 bulan.
Cara operatif dapat berupa polipektomi intranasal, polipektomi intranasal dengan
ethmoidektomi, transantral ethomiodektomi dan sublabial approach (Caldweel-luc
operation), frontho-ethmoido- sphenoidektomi eksternal dan endoskopik polipektomi dan
bedah sinus
G. KOMPLIKASI
Satu buah polip jarang menyebabkan komplikasi, tapi dalam ukuran besar atau dalam
jumlah banyak (polyposis) dapat mengarah pada akut atau infeksi sinusitis kronis,
mengorok dan bahkan sleep apnea - kondisi serius nafas dimana akan stop dan start
bernafas beberapa kali selama tidur. Dalam kondisi parah, akan mengubah bentuk wajah
dan penyebab penglihatan ganda/berbayang.
H. PROGNOSIS
Prognosis dan perjalanan alamiah dari polip nasi sulit dipastikan. Terapi medis untuk
polip nasi biasanya diberikan pada pasien yang tidak memerlukan tindakan operasi atau

yang membutuhkan waktu lama untuk mengurangi gejala. Dengan terapi medikamentosa,
jarang polip hilang sempurna. Tetapi hanya mengalami pengecilan yang cukup sehingga
dapat mengurangi keluhan. Polip yang rekuren biasanya terjadi setelah pengobatan
dengan terapi medikamentosa maupun pembedahan.

ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS


POLIP NASI / POLIP HIDUNG

A. PENGKAJIAN
1. Pre Operasi
a. Data Subjektif
- Pasien mengatakan hidungnya tersumbat
- Pasien mengeluh nyeri saat bernafas
- Pasien mengatakan cemas dan takut
- Pasien mengatakan nafsu makan berkurang
- Pasien mengatakan penciumannya terganggu
- Pasien mengatakan badannya terasa lemas
b. Data Objektif
- Pasien terlihat meringis, tidak nyaman dengan hidungnya
- Pasien terlihat lemas
- Ekspresi wajah pasien tegang, cemas, dan gelisah
2. Intra Operasi
a. Data Subjektif
b. Data Objektif
- Terjadi penurunan tekanan darah, nadi, serta suhu
- Akral teraba dingin dan terlihat pucat (sianosis)
- Mukosa bibir terlihat kering
3. Post Operasi
a. Data Subjektif
- Pasien mengatakan nyeri pada daerah bkas pembedahan
- Pasien mengatakan tidak bisa menggerakan kaki, terasi kebas, terbatas
dalam melakukan gerakan
b. Data Objektif

Pasien terlihat meringis


Terdapat peningkatan tanda tanda vital
Terdapat luka post operasi di daerah lubang hidung yang kiri
Terjadi peningkatan WBC
Luka tertutup gaas steril dan plester

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Pre Operasi
1) Gangguan persepsi sensori: pembau/penghidu berhubungan dengan
adanya masa dalam hidung
2) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya masa dalam
hidung
3) Perubahan nutrisi dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan menurunnya
nafsu makan
4) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan terhambatnta drainase secret
5) Ansietas berhubungan dengan kegelisahan adanya sumbatan pada hidung
6) Nyeri Kronis berhubungan dengan penekanan polip pada jaringan sekitar
b. Intra Operasi
1) Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan tidak adekuatnya system
sirkulasi
2) Resiko hipotermia berhubungan dengan pajanan suhu dingin, inaktifitas
(efek anastesi)
3) Resiko Cidera berhubungan dengan samnolen sekunder terhadap
anesthesia
c. Post Operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan sekunder akibat
pembedahan
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme
sekuder akibat pembedahan
3) Resiko Aspirasi berhubungan dengan belum pulihnya kesadaran pasca
pembedahan
C. PERENCANAAN
1. Prioritas Masalah
a. Pre Operasi
1) Gangguan persepsi sensori: pembau/penghidu
2) Bersihan jalan nafas tidak efektif
3) Perubahan nutrisi dari kebutuhan tubuh
4) Ansietas
5) Nyeri Kronis
6) Resiko tinggi infeksi
b. Intra Operasi
1) Resiko Syok Hipovolemik
2) Resiko Hipotermia
3) Resiko Cidera
c. Post Operasi
1) Nyeri Akut
2) Resiko tinggi infeksi
3) Resiko Aspirasi
2. Rencana Tindakan
a. Pre Operasi
1) Diagnosa

: Gangguan persepsi sensori: pembau/penghidu

Tujuan

: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1 x 30


menit diharapkan Mengembalikan fungsi penciuman ke

normal
Kriteria Hasil :
1. Individu akan mendemonstrasikan penurunan gejala beban sensori
berlebih yang ditandai dengan penurunan persepsi penciuman
Intervensi

1. Anjurkan klien untuk mengubah posisi secara sering,meskipun


hanya mengangkat satu sisi tubuh dengan sedikit berulang
R/ : Agar pasien lebih terasa nyaman saat bernafas
2. Rujuk ke perubahan proses pola berpikir yang berhubungan
dengan ketidakmampuan mengevaluasi realitas
R/ : Mengetahui intervensi tambahan
3. Tingkatkan stimulus sensori yang bervariasi
R/ : Dapat membantu mencegah perubahan akibat kemunduran
sensori yang lain
4. Jelaskan tentang stimulus sensori yang akan dialami individu,
kondisi distress, tekanan dan konfusi akan berkurang
R/ : Agar pasien mengetahui tentang keadaannya
2) Diagnosa

: Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d adanya massa

dalam hidung
Tujuan
: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1 x 20
menit diharapkan Bersihan jalan nafas menjadi efektif
1.
2.
3.
4.

Kriteria Hasil :
RR normal ( 16 20 x/ menit)
Suara nafas vesikuler
Pola nafas teratur tanpa menggunakan otot bantu pernafasan
Saturasi Oksigen 100%

Intervensi

1. Observasi RR tiap 4 jam, bunyi napas, kedalaman inspirasi, dan


gerakan dada
R/ : Mengetahui keefektifan pola nafas
2. Auskultasi bagian dada anterior dan posterior
R/

: Mengetahui adanya penurunan atau tidak adanya ventilasi


dan adanya bunyi tambahan

3. Pantau status oksigen pasien


R/ : Mencegah terjadinya sianosis dan keparahan
4. Berikan posisi fowler atau semifowler tinggi
R/ : Mencegah obstruksi/aspirasi, dan meningkatkan ekspansi
paru
5. Lakukan nebulizing
R/ : Membantu pengenceran sekret

6. Berikan O2 (oksigenasi)
R/ : Mengkompensasi ketidakadekuatan O2 akibat inspirasi yang
kurang maksimal
7. Berikan obat sesuai dengan indikasi mukolitik, ekspetoran,
bronkodilator.
R/ : Mukolitik untuk menurunkan batuk, ekspektoran untuk
membantu memobilisasi sekret, bronkodilator menurunkan
spasme bronkus dan analgetik diberikan untuk meningkatkan
kenyamanan
8. Ajarkan batuk efektif pada pasien
R/ :

Membantu

pasien

untuk

mengeluarkan

secret

yang

menumpuk
9. Ajarkan terapi napas dalam pada pasien
R/ : Membantu melapangkan ekspansi paru
3) Diagnosa
: Perubahan nutrisi dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan menurunnya nafsu makan
Tujuan
: setelah diberikan asuhan diharapkan menunjukkan
peningkatan nafsu makan
Kriteria Hasil :
1. Klien tidak merasa lemas.
2. Nafsu makan klien meningkat
3. Klien mengalami peningkatan BB minimal 1kg/2minggu
4. Kadar albumin > 3.2, Hb > 11
Intervensi

1. Pastikan pola diet biasa pasien, yang disukai atau tidak disukai.
R/ : Untuk mendukung peningkatan nafsu makan pasien
2. Pantau masukan dan pengeluaran dan berat badan secara pariodik.
R/ : Mengetahui keseimbangan intake dan pengeluaran asuapan
makanan
3. Kaji turgor kulit pasien
R/ : Sebagai data penunjang adanya perubahan nutrisi yang
kurang dari kebutuhan
4. Pantau nilai laboratorium, seperti Hb, albumin, dan kadar glukosa
darah
R/ : Untuk dapat mengetahui tingkat kekurangan kandungan Hb,
albumin, dan glukosa dalam darah
5. Pertahankan berat badan dengan memotivasi pasien untuk makan
R/ : Mempertahankan berat badan yang ada agar tidak semakin
berkurang
6. Menyediakan makanan yang dapat meningkatkan selera makan
pasien
R/ : Meningkatkan nafsu makan pasien
7. Berikan makanan kesukaan pasien
R/ : Merangsang nafsu makan pasien
8. Ciptakan lingkungan yang menyenangkan untuk makan (misalkan,
pindahkan barang- barang yang tidak enak dipandang)
R/ : Meningkatkan rasa nyaman pasien untuk makan
9. Dorong makan sedikit demi sedikit dan sering dengan makanan
tinggi kalori dan tinggi karbohidrat

R/ : Meningkatkan asupan makanan pada pasien


10. Auskultasi bising usus, palpasi/observasi abdomen
R/ : Mengetahui adanya bising atau peristaltik usus yang
mengindikasikan berfungsinya saluran cerna
11. Kolaborasi dengan tim analis medis untuk mengukur kandungan
albumin, Hb, dan kadar glukosa darah.
R/ : Mengetahui kandungan biokimiawi darah pasien
12. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk memberikan diet seimbang
TKTP pada pasien
R/ : Memberikan asupan nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan
pasien
13. Diskusikan dengan dokter mengeni kebutuhan stimulasi nafsu
makan atau makanan pelengkap
R/ : Memberi rangsangan pada pasien untuk menimbulkan
kembali nafsu makannya
14. Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan
bagaimana memenuhinya
R/ : Agar pasien mengetahui kebutuhan nutrisinya dan cara
memenuhinya yang sesuai dengan kebituhan
15. Ajarkan pada pasien dan keluarga tentang makanan yang bergizi
dan tidak mahal
R/ : Agar pasien mendapatkan gizi yang seimbang dengan harga
yang relatif terjangkau
16. Dukung keluarga untuk membawakan makanan favorit pasien di
rumah
R/ : Merangsang nafsu makan pasien
4) Diagnosa
: Resiko tinggi infeksi

berhubungan

dengan

terhambatnya drainase secret


Tujuan
: Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan
fungsi indera penciuman pasien meningkat
Kriteria Hasil :
1. Kien tidak merasa lemas
2. Mukosa mulut klien tidak kering
Intervensi

1. Pantau adanya gejala infeksi


R/ : Menjaga timbulnya infeksi
2. Kaji faktor yang dapat meningkatkan serangan infeksi
R/ : Menjaga perilakudan keadaan yang mendukung terjadinya
infeksi
3. Awasi suhu sesuai indikasi
R/ : Reaksi demam indicator adanya infeksi lanjut
4. Pantau suhu lingkungan
R/ : Suhu ruangn atau jumlah selimut harus diubah untuk
mempertahankan suhu mendekati normal
5. Memberikan HE untuk mejaga lingkungan, ventilasi, dan juga
pencahayaan dirumah tetap bersih
R/ : Mencegah masuknya organisme
5) Diagnosa
: Ansietas berhubungan dengan kegelisahan adanya
sumbatan pada hidung

Tujuan

: Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan

ansietas pasien berkurang


Kriteria Hasil :
1. Pasien tidak menunjukkan kegelisahan
2. Pasien dapat mengkomunikasikan kebutuhan dan perasaan negatif
3. Tidak terjadi insomnia
Intervensi
:
1. Kaji tingkat kecemasan pasien
R/ : Mengetahui tingkat kecemasan pasien
2. Tanyakan kepada pasien tentang kecemasannya
R/ : Mengetahui penyebab kecemasan pasien
3. Ajak pasien untuk berdiskusi masalah penyakitnya dan
memberikan kesempatan kepada pasien untuk menentukan pilihan
R/ : Meningkatkan motivasi diri pasien
4. Berikan posisi yang nyaman pada pasien
R/ : Tingkat kenyamanan pasien dapat mempengaruhi kecemasan
pada pasien
5. Berikan hiburan kepada pasien
R/ : Hiburan akan mengalihkan fokus pasien dari kecemasannya
6. Berikan obat- obatan penenang jika pasien mengalami insomnia
R/ : Memberikan bantuan farmakologik untuk menenangkan
pasien
7. Sediakan informasi faktual menyangkut diagnosis, perawatan, dan
prognosis
R/ : Memberi pengetahuan yang faktual pada pasien
8. Ajarkan pasien tentang penggunaan teknik relaksasi
R/ : Relaksasi membantu menurunkan kecemasan pada pasien
9. Jelaskan semua prosedur, termasuk sensasi yang biasanya
dirasakan selama prosedur
R/ : Kejelasan mengenai prosedur dapan mengurangi kecemasan
pasien
6) Diagnosa
: Nyeri Kronis berhubungan dengan penekanan polip
pada jaringan sekitar
Tujuan
: setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan
nyeri berkurang / hilang
Kriteria Hasil :
1. Klien mengungkapakan kualitas nyeri yang dirasakan berkurang
atau hilang
2. Klien tidak menyeringai kesakitan
3. Tidak ada kegelisahan dan ketegangan otot
4. Tidak terjadi perubahan pola tidur pada pasien
Intervensi

1. Kaji tingkat nyeri klien


R/ : Mengetahui tingkat nyeri klien dalam menentukan tindakan
selanjutnya
2. Observasi tanda-tanda vital dan keluhan klien
R/ : Mengetahui keadaan umum dan perkembangan kondisi klien.
TTV dapat menunjukkan kualitas nyeri dan respon nyeri oleh
tubuh pasien tersebut
3. Kaji pola tidur , pola makan, serta pola aktivitas pasien

R/ : Untuk mengetahui pengaruh nyeri yang timbul pada pola


kesehatan pasien
4. Ajarkan tekhnik relaksasi dan distraksi (misal: baca buku atau
mendengarkan music)
R/ : Klien mengetahui teknik distraksi dan relaksasi sehingga
dapat mempraktekannya bila mengalami nyeri
5. Kolaborasi dengan tim medis untuk terapi konservatif: pemberian
obat acetaminofen; aspirin, dekongestan hidung; pemberian
analgesic
R/ : Menghilangkan/ mengurangi keluhan nyeri klien. Dengan
sebab dan akibat nyeri diharapkan klien berpartisipasi dalam
perawatan untuk mengurangi nyeri
6. Jelaskan sebab dan akibat nyeri pada klien serta keluarganya
R/ : Memberikan pengetahuan pada klien dan keluarga
7. Jelaskan pada keluarga dan pasien bahwa dalam penatalaksanaan
ini membutuhkan kepatuhan penderita utk menghindari penyebab /
pencetus alergi
R/ : Untuk memaksimalkan tindakan (mengurangi ketidak
patuhan)
b. Intra Operasi
1) Diagnosa
: Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan tidak
kuatnya system sirkulasi
Tujuan
: Setelah diberikan askep diharapkan syok hipovolemik
tidak terjadi
Kriteria Hasil :
1. Tanda- tanda vital dalam rentang normal (TD : 110/70- 120/80
mmHg, N: 60-100 x/ mnt, RR: 16-24 x/ mnt
2. Tidak ada sianosi
3. CRT < 3 detik
4. Pendarahan < 500cc
Intervensi
1. Monitor TTV, kesadaran, perfusi dan balance cairan
R/: Dengan pemantaun sedini mungkin dapat diambil tindakan
secar tepat dan cepat
2. Kaji warna kulit, membrane mukosa, dan dasar kuku
R/: Pucat mungkin dapt diambil sebagai data yang menunjukan
vasokontriksi, sianosis mungkin menunjukan kegagalan sirkulasi
3. Bila sudah diperbolehkan minum anjurkan minum yang banyak
R/: Peningkatan cairan dapat meningkatkan metabolism sehingga
kebutuhan caitan terpenuhi
4. Kolaborasi dalam pemberian cairan infuse atau transfuse
R/: Menggantikan cairan yang hilang atau tidak terpenuhi
5. Kolaborasi dalm pemberian obat untuk meningkatkan cardiac
output misalnya efedri
R/: Efedrin merupakn agois reseptor alfa dan beta dan beta 1 dan
beta 2dan dapat merangsang pelepasan norefrinefrin dari neuron
simpatis, efek perifer efedrin melalui kerja langsung dan melalui
pelepasan endogen yang mentsimulaisi detak jantung dan cardiac
output sehingga sehingga dapat menaikan tekanan darah.

2) Diagnosa

: Resiko hipotermi berhubungan dengan pajanan suhu

dingin inaktifiktas (efek anastesi)


Tujuan
: Setelah diber ikan askep diharapkan hipotermia tidak
terjadi
Kriteria hasil :
1. Suhu tubuh dalam rentang normal 36,5-37,50C
2. Pasien tidak mengeluh kedinginan
3. Akral tidak dingin dan tidak terjadi sianosis
Intervensi :
1. Obsservasi tanda- tanda vital terutama suhu
R/: Memantau tanda- tanda vital pasien secara dini sehingga dapat
mengetahui keadaan pasien secara dini
2. Observasi pasien jika menggigil
R/: Kompensasi produksi panas distimulasi melalui konstriksi otot
volunteer dan getaran (menggigil) pada otot. Bila vasokonstriksi
tidak efektif dalam mencegah pengeluaran tambahan panas, tubuh
mulai menggigil
3. Observasi kulit, hidung dan bibir
R/: Unntuk mengetahui adanya sianosis
4. Sediakan selimut ektra tebal
R/: Menurunkan kehilangan panas melalui radiasi
5. Pertahankan kepala tetap tertutup
R/: Untuk mencegah pengeluaran panas
3) Diagnosa
: Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan
samnolen sekunder terhadap anesthesia
Tujuan
: Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan
pasien tidak mengalami cidera
Kriteria Hasil :
1. Mencegah terjadinya jatuh
2. Mengembangkan strategi pengendalian resiko cedera.
Intervensi
:
1. Indentifikasi faktor yang mempengaruhi kebutuhan keamanan,
misal : defisit motorik/sensorik, perubahan status fisik, tingkat
kesadaran klien
R/ : mengetahui perubahan status kesadaran yang mempengaruhi
kebutuhan kesadaran
2. Identifikasi faktor lingkungan yang memungkinkan resiko jatuh
(posisi pasien senyaman mungkin)
R/ : menghindari terjadinya cidera (jatuh) karena lingkungan yang
kurang nyaman
3. Pantau tingkat kesadaran pasien dan lakukan RPS yaitu dengan
Alderet score
R/ : mengetahui tingkat kesadaran pasien setelah pembedahan
c. Post Operasi
1) Diagnosa
: Nyeri akut berhubungan dengan dengan trauma
jaringan

dan

spasme

otot

sekunder

terhadap

pembedahan

(polipektomy)
Tujuan
: Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan
pasien dapat mengontrol nyeri
Kriteria hasil :

1. Pasien melaporkan nyeri yang dirasakannya berkurang atau


terkontrol
2. Pasien terlihat rileks
3. TTV dalam batas normal (TD : 110/70- 120/80 mmHg, N: 60-100
x/ mnt, RR: 16-24 x/ mnt
Intervensi :
1. Kaji skala nyeri yang dirasakan pasien dengan metode PQRS
R/: Skala nyeri diperlukan agar kita dapat mengetahui tingkat nyeri
yang dirasakn, lokasi, kapan nyeri timbul, intensitas nyeri sehingga
bisa memberikan intervensi yang tepat
2. Observasi tanda- tanda vital
R/: Peningkatan rasa nyeri dapat mempengaruhi respon fisiologis
seperti peningkatan tekanan darah, nadi serta respirasi
3. Beri posisi yang dirasakan nyaman oleh pasien
R/: Meningkatkan rasa nyaman serta mengurangi nyeri
4. Ajarkan teknik distraksi relaksasi
R/: Relaksasi dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan
merelaksasikan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Distraksi
memfokuskan perhatian paisen pada suatu hal yang menyenangkan
sehingga dapat menjauhkan rasa nyeri
5. Anjurkan pasien untuk menggunakn kompres air hangat
R/: Kompres hangat dapt memvasodilatasi pembuluh darah pada
lokasi nyeri sehingga nyeri dapt berkurang
6. Kolaborasi dalam pemberian analgetik
R/: Analgetik dapat mengurangi rasa nyeri dengan menekan
susunan saraf pusat pada thalamus dan korteks serebri
2) Diagnosa

: Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka bekas

operasi dan tindakan invasive


Tujuan

: Setelah diberikan askep diharapkan tidak terjadi


infeksi

Kriteria hasil :
1. Tidak ada tanda- tanda infeksi (dolor, lumor, tumor, kalor dan
fungsiolasia)
2. TTV dalam rentang normal. (TD : 110/70- 120/80 mmHg, N: 60100 x/ mnt, RR: 16-24 x/ mnt
Intervensi :
1. Pantau tanda- tanda vital. Perhatiakn demam, menggigil,
berkeringat, perubahan mental
R/: Indikator adanya infeksi
2. Lakukan pencucian tangan dengan cermat dan perawatan luka
yang aseptic
R/: Membantu mencegah ataupun menghambat penyebaran infeksi
3. Lihat insisi dan balutan. Perhatiakn adanya eritema
R/: Memberikan deteksi dini terhadap terjadinya proses infeksi
4. Kolaborasi dalam pemberian antibiotic

R/: Mencegah terjadinya infeksi karna antibiotic dpat langsung


menghancurkan dinding peptidoglikan yang merupakan komponen
utama dinding sel bakteri, sehingga bakteri tidak terlindungi lagi
dan akhirnya bakteri akan mati
5. Kolaborasi dalam pemeriksaan WBC
R/:

Peningkatan

WBC

diatas

rentang

normal,

mungkin

mengindikasikan adanya infeksi


4) Diagnosa

: Resiko Aspirasi berhubungan dengan belum pulihnya

kesadaran pasca pembedahan


Tujuan
: setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan
aspirasi tidak terjadi
Kriteria Hasil :
1. Resiko aspirasi tidak terjadi
Intervensi
:
1. Observasi secara ketat respon mual-muntah pasca anestesi
R/ : Mual muntah dapat mengakibatkan aspirasi..
2. Atur posisi kepala miring ke samping (kanan), menyiapkan
bangkok dan membantu klien saat muntah
R/ : Agar cairan yang keluar tidak masuk kembali ke saluran
pernafasan ( hidung )
D. IMPLEMENTASI
Pelaksanaan/implementasi

merupakan

tahap

keempat

dalam

proses

keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan


keperawatan) yang telah direncanakan. Dalam tahap ini perawat harus
mengetahui berbagai hal, diantaranya bahaya fisik dan perlindungan kepada
pasien, teknik komunikasi, kemampuan dalam prosedur tindakan, pemahaman
tentang hak-hak pasien tingkat perkembangan pasien. Dalam tahap pelaksanaan
terdapat dua tindakan yaitu tindakan mandiri dan tindakan kolaborasi (Aziz
Alimul, 2009, page 111)
E. EVALUASI
1. Pre Operasi
a. Gangguan persep fungsi penciuman kembali normal
b. Bersihan jalan nafas efektif
c. Adanya peningkatan nafsu makan
d. Ansietas pasien berkurang
e. Nyeri hilang atau terkontrol
f. Tidak terjadi Infeksi
2. Intra Operasi
a. Tidak terjadi Syok Hipovolemik
b. Tidak terjadi Hipotermia
c. Tidak terjadi Cidera
3. Post Operasi
a. Nyeri hilang atau terkontrol
b. Tidak terjadi Infeksi
c. Tidak terjadi Aspirasi

DAFTAR PUSTAKA

Arief Mansoer dkk. 1999. Kapita selekta kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
fakultas kedokteran universitas Indonesia
Doenges, E. Mari Lynn. 2001. Rencana Perawatan Maternal/Bayi. Jakarta: EGC
Greenberg J, 1998. Current Management of Nasal Polyposis. Diakses dari
www.bcm.com
Juall, lynda.1998.Rencana asuhan dan dokumentasi keperawatan-diagnosa
keperawatan dan masalah kolaborasi. Jakarta : EGC
Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan) Jilid 3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan
Keperawatan
McClay JE, 2007. Nasal Polyps. Diakses dari www.emedicine.com
Szema AM, Monte DC, 2005. Nasal Polyposis: What Every Chest Physician
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Prosesproses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
Prof H.Nurbaiti Iskandar. 1993. dokter DSTHT. Jakarta : Fakultas kedokteran
universitas Indonesia . balai penerbit FKUI.
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC
Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.:
Balai Penerbit FKUI

LAPORAN PENDAHULUAN
POLIP NASI

OLEH :
MADE DIAN SHANTI KUSUMA
10C10423

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) BALI


PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN NERS
TAHUN 2013

Das könnte Ihnen auch gefallen