Sie sind auf Seite 1von 32

2016

NASKAH AKADEMIK
Prospek MSR (Molten Salt
Reactor) Untuk Penggunaan
Sumber Daya Thorium Di
Indonesia
DR. ANDANG WIDI HARTO
UNIVERISTAS GAJAH MADA JURUSAN TEHNIK FISIKA
JANUARI
2016Naskah Akademis Pemanfaatan Thorium sebagai Sumber Energi Baru
Bagian dari
Kementrian Kordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya | Deputi Infrastruktur dan Energi
(TA 2015)

NASKAH AKADEMIK
PROSPEK MSR UNTUK PENGUNAAN SUMBER DAYA THORIUM DI
INDONESIA

Dr. Andang Widi Harto


Univeristas Gajah Mada Jurusan Tehnik Fisika

A. PENDAHULUAN
Penggunaan energi nuklir di Indonesia merupakan hal yang sangat mendesak untuk
pemenuhan kebutuhan listrik di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan peningkatan kebutuhan
listrik di Indonesia dari tahun ke tahun, semakin menipisnya sumber daya energi
konvensional (batubara, minyak dan gas), dampak lingkungan akibat penggunaan sumber
daya energi konvensional (emisi CO2, emisi senyawa-senyawa SOx dan NOx), serta
ketidaksiapan penggunaan sumber daya energi terbarukan untuk mensuplai kebutuhan energi
dalam jumlah besar, kontinyu dan murah. Sumber daya energi nuklir berpotensi mampu
menggantikan sumber daya energi konvensional untuk mensuplai energi secara masih,
kontinyu dan murah.
Sumber daya energi nuklir meliputi sumber daya energi nuklir fisi dan sumber daya
energi nuklir fusi. Karena alasan kematangan teknologi, maka sumber daya energi fusi nuklir
yang meliputi deuterium (D) dan litium-6 (Li-6) belum dapat dimanfaatkan. Sumber daya
energi fisi nuklir merupakan sumber daya energi nuklir yang sekarang dapat dimanfaatkan.
Sumber daya energi nuklir terdiri dari uranium dan thorium. Uranium alam terdiri dari dua
isotope, yaitu U-235 dengan fraksi mol sebesar 0,71 % dan U-238 dengan fraksi mol sebesar
99,29 %. Sedangkan thorium alam terdiri dari hanya satu isotope yaitu Th-232.
Dari ketiga isotop tersebut, hanya U-235 yang dapat digunakan secara langsung untuk
menghasilkan reaksi fisi (pembelahan nuklir) dengan induksi neutron. Reaksi tersebut dapat
dituliskan sebagai berikut [1] :
92

U 235 0 n1 X 1 X 2 0n1 E

(1)

Dalam hal ini, X 1 dan X 2 adalah nuklida hasil pembelahan sedangkan E adalah
energi yang nilainya adalah 200 MeV per reaksi. Karena reaksi fisi menghasilkan neutron
dengan jumlah yang lebih banyak daripada jumlah neutron yang dipergunakan untuk
menginduksi reaksi tersebut, maka dimungkinkan untuk dibuat reaktor dengan reaksi fisi
berantai.
Sementara itu, U-238 dan Th-232 merupakan isotop fertil. Dalam hal ini, kedua isotop
tersebut tidak bisa membelah ketika ditembak dengan neutron. Akan tetapi kedua isotop ini
akan menghasilkan isotop lain yang dapat berfisi jika dikenai neutron. Dalam hal ini U-238
akan menghasilkan Pu-239 dan Th-232 menghasilkan U-233. Reaksi semacam ini disebut
sebagai reaksi pembiakan (breeder), yang dapat ditulis sebagai berikut :

Lamarsh, J.R., 1966, Introduction to Nuclear Reactor Theory

92

92
93

U 238 0 n1 92 U 239

239

Np

93 Np

239

239

94 Pu

1 e

239

(2)
0

1 e

(3)
(4)

dan :

Th232 0 n1 90Th233

(5)

90

Th 91 Pa
233

90

91

233

1 e

Pa 23392 U 233 1 e 0

(6)
(7)

Uranium-233 dan Plutonium-239 merupakan nuklida fisil yang dapat berfisi ketika ditembak
neutron.
233
0 n1 X 1 X 2 0n1 E
(8)
92U
94

Pu239 0 n1 X 1 X 2 0n1 E

(9)

Proses pembiakan Pu-239 dari U-238 lebih efektif dilakukan dengan menggunakan
spectrum neutron cepat sedangkan proses pembiakan U-233 dari Th-232 lebih efektif
dilakukan dengan menggunakan spectrum neutron termal.
Karena U-235 merupakan isotope alam yang mampu berfisi, maka wajar jika
teknologi reactor nuklir awal menggunakan U-235. Lebih dari 99 % dari reactor nuklir yang
telah beroperasi dan sedang dibangun sekarang menggunakan U-235 sebagai bahan bakar
fisilnya.
Akan tetapi hal ini di kemudian hari menimbulkan masalah. Uranium 235 hanya
merupakan fraksi kecil dari uranium alam (0,71 %). Dengan demikian, reactor yang
menggunakan U-235 pada dasarnya hanya menggunakan 0,7 % dari sumber daya uranium.
Sebagian besar reactor nuklir sekarang tidak menggunakan uranium alam, melainkan
uranium diperkaya. Fraksi mol U-235 perlu ditingkatkan hingga menjadi 3 % sampai 5 %.
Reaktor berdaya 1000 MWe membutuhkan sekitar 21 ton uranium diperkaya 5 %
selama satu tahun. Untuk memperoleh 21 ton uranium diperkaya 5 %, dibutuhkan sekitar 180
ton hingga 200 ton uranium alam (tergantung tail product dari proses pengayaan). Karena
reactor nuklir sekarang hanya mampu menggunakan 0,7 % sumber daya uranium, maka
ketersediaan dari sumber daya uranium terbukti akan mengalami kelangkaan kurang lebih 50
tahun mendatang. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.1. dam Gambar 4.2.

Gambar 4.1. Estimasi sumber daya uranium terbukti [2]


Permasalahan lainnya adalah produksi limbah radioaktif. Uranium-235 yang berfisi
menimbulkan nuklida hasil fisi yang memiliki tingkat radioaktifitas tinggi dengan umur
puluhan tahun. Akan tetapi uranium-238 yang menyerap neutron tetapi tidak secara sempurna
berhasil menjadi Pu-239 akan menjadi nuklida-nuklida yang disebut sebagai aktinida minor
(minor actinide, disingkat sebagai MA) yang memiliki aktivitas tinggi dan berumur sangat
panjang hingga puluhan ribu tahun. Teknologi reactor nuklir sekarang menghasilkan limbah
MA yang berumur panjang dan hingga sekarang belum ada pemecahannya.

Gambar 4.2. Estimasi kelangkaan sumber daya uranium terbukti [3]


2

Energy Watch Group, 2006, EWG Paper No 1-06, Uranium Resources and Nuclear Energy 03Dec2006 pdf

Energy Watch Group, 2006, EWG Paper No 1-06, Uranium Resources and Nuclear Energy 03Dec2006 pdf

B. PERLU PENGEMBANGAN TEKNOLOGI REAKTOR NUKLIR ALTERNATIF.


Dengan adanya masalah kelangkaan (shortage) uranium serta limbah radioaktif
berumur sangat panjang yang timbul akibat teknologi reactor nuklir sekarang yang
menggunakan U-235 sebagai bahan fisil, maka diperlukan pengembangan teknologi reactor
nuklir alternative yang mampu menggunakan bahan bakar non fisil (U-238 dan Th-232).
Reaktor semacam ini disebut sebagai reactor pembiak (breeder). Hal ini karena reactor harus
mampu melakukan proses pembiakan bahan fisil, yaitu mengubah U-238 menjadi Pu-238
atau mengubah Th-232 menjadi U-233.
Siklus bahan bakar nuklir yang menggunakan U-235 sebagaimana digunakan pada
teknologi reactor nuklir sekarang disebut sebagai siklus bahan bakar uranium terbuka.
Disebut terbuka karena siklus ini masih menyisakan sejumlah besar U-238 dan MA yang
seharusnya dapat dijadikan sebagai nuklida fisil dan dapat difisikan.
Siklus alternative yang perlu dikembangkan adalah siklus bahan bakar uranium
tertutup dan siklus bahan bakar thorium tertutup. Siklus uranium tertutup adalah siklus bahan
bakar yang mampu memanfaatkan U-238 melalui proses pembiakan U-238 menjadi Pu-239.
Siklus bahan bakar thorium tertutup adalah siklus bahan bakar nuklir yang mampu
memanfaatkan Th-232 melalui proses pembiakan Th-232 menjadi U-233.
Dengan demikian, terdapat tiga siklus bahan bakar nuklir fisi, yaitu :
- Siklus bahan bakar nuklir uranium terbuka
- Siklus bahan bakar nuklir uranium tertutup
- Siklus bahan bakar nuklir thorium tertutup.
Siklus bahan bakar nuklir uranium terbuka diaplikasikan pada teknologi reactor nuklir
sekarang. Siklus bahan bakar nuklir uranium tertutup diaplikasikan dengan menggunakan
reactor nuklir pembiak dengan spectrum neutron cepat (Fast Breeder Reactor / FBR). Siklus
bahan bakar nuklir thorium tertutup diaplikasikan dengan menggunakan reactor pembiak
yang menggunakan spectrum neutron termal (Thermal Breeder Reactor / TBR).
Pada reactor FBR dan TBR, semua material fertile minor actinide (MA) yang
terbentuk pada akhirnya dapat dikonversi menjadi nuklida fisil sehingga terjadi reaksi fisi.
Dengan demikian, baik FBR dan TBR secara potensial mampu menggunakan seluruh sumber
daya nuklir alamiah (uranium untuk FBR dan thorium untuk TBR) secara keseluruhan. Jika
reactor sekarang memerlukan sekitar 180 ton hingga 200 ton uranium alam per GWe-tahun,
maka baik reactor FBR dan TBR hanya memerlukan 1 ton sumber daya nuklir alamiah
(uranium untuk FBR dan thorium untuk TBR) per GWe-tahun.
Jika rentang ketersediaan sumber daya uranium terbukti diestimasikan hanya bertahan
hingga 50 tahun ke depan dengan menggunakan reactor sekarang, maka rentang ketersediaan
sumber daya uranium dan torium terbukti bisa mencapai ribuan tahun ke depan dengan
menggunakan reactor FBR dan TBR.
Dari segi limbah yang dihasilkan, reactor nuklir sekarang menghasilkan sekitar 20 ton
limbah yang mengandung nuklida radioaktif dengan umur sangat panjang (hingga puluhan
ribu tahun). Sementara itu, reactor FBR dan TBR menghasilkan limbah berjumlah 1 ton per
GWe-tahun dan tidak mengandung nuklida radioaktif yang berumur sangat panjang. Dengan
demikian, dari aspek limbah radioaktif, reactor FBR dan TBR jauh lebih selamat dalam hal
jumlah massa limbah maupun umur dari limbah tersebut.
Sementara itu, dalam hal aktivitas radioaktif, ternyata aktivitas radioaktif hasil reaksi
fisi U-233 (siklus thorium tertutup) lebih rendah daripada aktivitas radioaktif hasil reaksi fisi
Pu-239 (siklus uranium tertutup). Dengan demikian, siklus uranium tertutup jauh lebih
unggul daripada siklus uranium terbuka, sedangkan siklus thorium tertutup lebih unggul
dibandingkan dengan siklus uranium tertutup. Gambar 4.3. menunjukkan perbandingan dosis

limbah radioaktif dari LWR (siklus uranium terbuka), FBR (siklus uranium tertutup) dan
MSR (siklus thorium tertutup) setelah reactor dimatikan.

Gambar 4.3. Dosis bahan bakar bekas pakai setelah reactor dimatikan [4].
Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa reactor berbahan bakar thorium lebih
unggul dibandingkan dengan reactor berbahan bakar uranium (baik siklus tertutup dan siklus
terbuka). Di samping itu, ketersediaan thorium alam di bumi diestimasikan lebih melimpah
dibandingkan dengan ketersediaan sumber daya uranium.
C. PENGGUNAAN THORIUM DALAM REAKTOR NUKLIR
Thorium merupakan bahan fertile, artinya thorium tidak bisa langsung mengalami
reaksi pembelahan secara langsung saat terkena neutron. Untuk itu, thorium harus dikonversi
terlebih dahulu menjadi U-233. Thorium telah digunakan pada berbagai jenis reactor nuklir,
sekalipun pada umumnya masih dalam taraf uji coba. Karena merupakan material fertile,
maka dalam penggunaannya, thorium harus didampingi dengan bahan bakar fisil.
Penggunaan bahan bakar thorium yang telah dilakukan pada umumnya masih
merupakan deminstrasi. Di Amerika Serikat, thorium pernah digunakan di LWR yaitu Elk
River Reactor (BWR) [5], Indian Point Reactor (PWR) dan Reaktor Shippingport (PWR) [6].
Setelah dimodifikasi untuk mampu menggunakan thorium, reactor Shippingport
selanjutnya dikenal sebagai LWBR (Light Water Breeder Reactor) [7]. Reaktor Shippingport
pada awalnya adalah PWR yang menggunakan air ringan (H2O) sebagai moderator sekaligus
pendingin. Reaktor Shippingport selanjutnya dimodifikasi terasnya sehingga mampu
menggunakan bahan bakar uranium dan thorium. Reaktor Shippingport dioperasikan selama
beberapa tahun dengan menggunakan bahan tersebut dan selanjutnya di-shutdown. Analisis

David LeBlanc, 2012, A New Look at Molten Salt Reactors, Presentation to Canadian Nuclear Safety Commission

Lamarsh, J.R., 1966, Introduction to Nuclear Reactor Theory


L. A. Neimark, Examination of an Irradiated Prototype Fuel Element for the Elk River Reactor, Argonne National
Laboratory, ANL-6160, 1961.
7 US.NRC, Safety and Regulatory Issues of the Thorium Fuel Cycle, NUREG/CR-7176 ORNL/TM/2013/543
6

komposisi bahan bakar menunjukkan bahwa terbentuk U-233 dalam jumlah yang cukup yang
mengindikasikan bahwa reactor telam mencapai kemampuan pembiakan [8].
Thorium selanjutnya digunakan pada THTR (Thorium High Temperature Reactor) di
Jerman [9]. THTR adalah reactor jenis HTR dengan bahan bakar berbentuk bola grafit yang di
dalamnya terdapat ribuan coated particle (yaitu bola kecil dari bahan bakar yang dilapisi
dengan lapisan grafit dan SiC. THTR menggunakan bahan bakar fertile thorium dan uranium
berpengkayaan tinggi yaitu 92 % U-235.
Di Amerika Serikat, pernah dioperasikan reactor HTR Peach Bottom [10] dan HTR
Fort Saint Vrain yang menggunakan thorium [11]. Reaktor ini mirip dengan THTR Jerman
dalam hal penggunaan bahan bakar coated particle. HTR Fort Saint Vrain juga menggunakan
bahan bakar fertile thorium dan uranium berpengkayaan tinggi (92 % U-235). Perbedaan
HTR Fort Saint Vraint dengan THTR Jerman adalah bentuk geometri bahan bakar. Jika
THTR Jerman menggunakan bahan bakar dengan bentuk bola, maka HTR Fort saint Vrain
menggunakan bahan bakar berbentuk prisma segienam.
Bundel bahan bakar yang mengandung thorium pernah diujicobakan dalah reactor
PHWR di Canada [12] dan India [13]. Bundel bahan bakar tersebut sukses dalam ujicoba tanpa
mengalami kerusakan yang berarti.
Berbagai desain dan konsep penggunaan thorium telah dikembangkan. Radkowsky
Fuel Cycle Concept adalah konsep uantk menggunakan thorium sebagai bahan bakar fertile
pada LWR. Di India, dikembangkan desain reactor AHWR (Advanced Heavy Water Reactor)
yang menggunakan bahan bakar campuran dari uranium, plutonium dan thorium [14].
Reaktor-reaktor yang menggunakan thorium yang disebutkan di atas, selain dari
LWBR Shippingport, belum mencapai kemampuan pembiakan U-233. Artinya jumlah U-233
yang terbentuk masih kurang dibandingkan dibandingkan dengan penyusutan bahan bakar
fisil awal yang dipakai untuk men-start reactor tersebut.
MSR (Molten Salt Reactor) merupakan desain reactor yang dioptimalkan untuk
penggunaan thorium. Oak Rigde National Laboraory (ORNL) secara demonstrasi pernah
mengoperasikan MSRE (Molten Salt Reactor Experiment). MSRE dibangun untuk
mendemonstrasikan aplikasi bahan bakar molten salt. MSRE telah secara sukses
mendemonstrasitan penggunaan bahan bakar fisil U-233[15]. MSRE belum dilengkapi dengan
blanket thorium sehingga belum memiliki kemampuan pembiakan. Akan tetapi
pengoperasian MSRE menunjukkan kesuksesan penggunaan bahan bakar molten salt.
D. PERKEMBANGAN TEKNOLOGI REAKTOR NUKLIR DI DUNIA
Teknologi reaktor nuklir telah berkembang menuju kesempurnaan dari generasi ke
generasi. Dari sejak awal perkembangan teknologi reaktor nuklir hingga rencana
pengembangan masa depan, teknologi reactor nuklir telah dan akan berkembang melewati
generasi-generasi sebagai berikut :
- Reaktor nuklir generasi 1.
8

W. K. Sarber, ed., Results of the Initial Nuclear Tests on the LWBR (LWBR Development Program), Bettis Atomic Power
Laboratory, WAPD-TM-1336, June 1976.
9 R. Bumer, I. Kalinowski, E. Rhler, J. Schning, and W. Wachholz, Construction and operating experience with the
300-MW THTR nuclear power plant, Nuclear Engineering and Design, Volume 121, Issue 2, 2 July 1990.
10 K. I. Kingrey, Fuel Summary for Peach Bottom Unit 1 High-Temperature Gas-Cooled Reactor Cores 1 and 2, Idaho
National Laboratory, INEEL/EXT-03-00103, April 2003.
11 D. A. Copinger and D. L. Moses, Fort Saint Vrain Gas Cooled Reactor Operation Experience, Oak Ridge National
Laboratory, NUREG/CR-6839, ORNL/TM-2003/223, January 2004
12
E. Critoph et al., Prospects for Self-Sufficient Equilibrium Thorium Cycles in CANDU Reactors, Atomic Energy of
Canada Limited, AECL-5501, 1976
13 S. S. Bajaj, and A. R. Gore, The Indian PHWR, Nuclear Engineering and Design,vol. 236, no. 7, 2006.
14 Anil Kakodkar, Towards sustainable, secure and safe energy future: Leveraging opportunities with Thorium
15 US.NRC, Safety and Regulatory Issues of the Thorium Fuel Cycle, NUREG/CR-7176 ORNL/TM/2013/543

Reaktor nuklir generasi 2


Reaktor nuklir generasi 3
Reaktor nuklir generasi 3+
Reaktor nuklir NTD
Reaktor nuklir generasi 4 atau sering disebut reactor nuklir lanjut

a. Reaktor nuklir generasi 1


Reaktor nuklir generasi 1 adalah reactor nuklir yang dikembangkan pada tahun 1950
hingga tahun 1960.
b. Reaktor nuklir generasi 2,
Dari berbagai jenis reactor nuklir yang dikembangkan pada awal perkembangan
teknologi reaktor nuklir (yaitu reactor nuklir generasi 1), beberapa jenis desain ternyata
terbukti reliable dan kompetitif secara teknologi dan ekonomi. Jenis-jenis ini selanjutnya
berkembang ke arah peningkatan aspek ekonomi dan standarisasi desain. Jenis-jenis reactor
yang mampu berkembang secara reliable dan kompetitif ini selanjutnya disebut sebagai
reactor nuklir generasi kedua.
Reaktor nuklir yang dibangun sejak sekitar tahun 1960 hingga tahun 1980 pada
dasarnya merupakan reactor nuklir generasi kedua. Reaktor generasi kedua telah dilengkapi
dengan system keselamatan yang handal dan memadai.
Jenis-jenis reactor nuklir generasi kedua adalah PWR (Pressurized Water Reactor
atau Reaktor Air Tekan) [16], BWR (Boiling Water Reactor atau Reaktor Air Mendidih)[17],
PHWR (Pressurized Heavy Water Reactor atau Reaktor Air Berat Bertekanan)[18], AGR
(Advanced Gas Cooled Reactor) [19], HTR (High Temperature Reactor) [20], LMFBR (Liquid
Metal Fast Breeder Reactor atau Reaktor Pembiak Cepat dengan Pendingin Logam Cair) [21]
dan RBMK atau LWGR (Light Water Graphite Moderated Reactor).
c. Reaktor nuklir generasi 3,
Reaktor nuklir generasi ketiga masih pada jenis yang sama dengan reactor nuklir
generasi kedua, yaitu pada umumnya dari jenis PWR, BWR serta PHWR. Reaktor Nuklir
generasi ketiga merupakan modifikasi dari reactor nuklir generasi kedua dengan tujuan untuk
meningkatkan aspek keselamatan, kehandalan dan ekonomi. Reaktor nuklir yang dibangun
sejak tahun 1980 hingga tahun 2000 adalah termasuk reactor nuklir generasi ketiga.
Reaktor nuklir generasi ketiga yang merupakan pengembangan dari PWR diantaranya
adalah KNSP (Korean Standart Nuclear Power Plant) atau disebut juga sebagai OPR
(Optimized Power Reactor) yang dikembangkan oleh Korea Selatan [22], VVER yang
dikembangkan oleh Rusia. Reaktor nuklir generasi ketiga yang merupakan pengembangan
dari BWR diantaranya adalah ABWR (Advanced Boiling Water Reactor) yang dikembangkan
oleh Jepang. Reaktor nuklir generasi ketiga yang merupakan pengembangan dari PHWR
adalah CANDU-6 yang dikembangkan oleh Kanada [23]..
16

Tong, L.S. and Weisman, J., 1970, Thermal Analysis of Pressurizer Water Reactor, American Nuclear Society
Lahey, R.T. and Moody, F.J., 1975, The Thermal Hydraulics of Boiling Water Reactor, American Nuclear Society
18 AECL, 1981, CANDU Nuclear Power System, Atomic Energy of Canada Limited, Mississauga, Ontario, Canada
19 Knief, R. A., 1981, Nuclear Energy Technology Theory and Practice of Comercial Nuclear Power, Hemisphere
Publishing Corporation, New York
20 Djokolelono, M., 1986, Sistem Pembangkit Uap Nuklir, Pengantar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir, Badan
Tenaga Atom Nasional, Jakarta
21 Djokolelono, M., 1986, Sistem Pembangkit Uap Nuklir, Pengantar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir, Badan
Tenaga Atom Nasional, Jakarta
22 KOPEC, Korean Standart Nuclear Power Plant, KSNP (OPR) Design, Korean power Engineering INC
23 AECL, 1996, CANDU 6 Technical Outline, Atomic Energy of Canada Limited, Mississauga, Ontario, Canada
17

d. Reaktor nuklir generasi 3+,


Reaktor nuklir generasi 3+ merupakan pengembangan lebih lanjut dari reactor nuklir
generasi 3. Reaktor nuklir generasi 3+ berkembang ke arah peningkatan keselamatan lebih
lanjut dengan mengaplikasikan lebih banyak sistem keselamatan pasif dan penyederhanaan
desain. Sebagian reactor generasi 3+ masih berupa desain lengkap yang belum dibangun dan
sebagian sudah dibangun sejak tahun 2000.
Reaktor nuklir generasi 3+ yang merupakan pengembangan dari PWR diantaranya
adalah APR (Advanced Power Reactor) yang dikembangkan oleh Korea Selatan, EPR
(European Power Reactor) yang dikembangkan oleh Perancis dan Jerman, APWR (Advanved
Pressurized Water Reactor) yang dikembangkan oleh Jepang, AP-600 dan AP-1000 yang
dikembangkan oleh Amerika Serikat.
Reaktor nuklir generasi 3+ yang merupakan pengembangan dari BWR diantaranya
adalah SBWR (Simplified Boiling Water Reactor) yang dikembangkan oleh Jepang, Amerika
Serikat, Perancis dan Jerman. Sedangkan reaktor nuklir generasi ketiga yang merupakan
pengembangan dari PHWR adalah CANDU-9 yang dikembangkan oleh Kanada [24].
e. Reaktor nuklir generasi NTD
Perkembangan berikutnya adalah teknologi reaktor nuklir yang disebut sebagai NTD
(Near Term Deployment). Reaktor nuklir generasi NTD semuanya belum dibangun secara
komersial. Sebagian besar masih berupa konsep dan sedikit yang sudah dibangun dalam
bentuk prototip.
Jika perkembangan teknologi reactor nuklir dari generasi 1 hingga generasi 3+
mengarah kepada peningkatan daya per unit reactor dalam rangka menekan biaya
pembangkitan per satuan energi listrik output, maka reaktor nuklir NTD berkembang ke arah
simplifikasi lebih lanjut, modularitas, fleksibilitas operasi dan variasi penggunaan daya
keluaran. Perkembangan ke arah modularitas berarti merupakan perkembangan kea rah daya
yang lebih kecil per unit reactor.
Reaktor nuklir generasi NTD yang merupakan pengembangan dari PWR diantaranya
adalah SMART yang dikembangkan oleh Korea Selatan, CAREM yang dikembangkan oleh
Argentina, IRISH yang dikembangkan oleh Amerika Serikat, KLT yang dikembangkan oleh
Rusia serta PIUS yang dikembangkan oleh Swedia. Sedangkan reaktor nuklir generasi NTD
yang merupakan pengembangan dari PHWR adalah CANDU-ACR yang dikembangkan oleh
Kanada [25].
Disamping itu, terdapat reactor nuklir generasi NTD yang merupakan pengembangan
dari HTR, diantaranya adalah PBMR yang dikembangkan oleh Afrika Selatan dan China,
GT-MHR[26] yang dikembangkan oleh Amerika Serikat dan Rusia, HTTR yang
dikembangkan oleh Jepang.
Terdapat pula reactor nuklir generasi NTD yang merupakan pengembangan dari
LMFBR, yaitu PRISM yang dikembangkan oleh Amerika Serikat.
f. Reaktor nuklir generasi 4 (Reaktor Maju atau Advanced Nuclear Reactor)
Perkembangan reaktor maju ditujukan untuk mengembangkan reaktor nuklir dengan
mengadopsi semua pencapaian dalam aspek keselamatan, ekonomi, reliabitias, simplifikasi
yang telah dicapai baik secara aplikatif maupun konseptual hingga pada pengembangan
reaktor nuklir generasi 3, generasi 3+ maupun NTD. Reaktor generasi 4 dikembangkan untuk
Snell, V. G., and Webb, J. R., 1998, CANDU-9 The CANDU Product to Meet Customer and Regulator Requirements
Now and in The Future, Pacific Basin Nuclear Conference Proceeding, p.p. 1445-1453
25 ACR Advanced CANDU Reactor Concept, www.aecltechnologies.com
26 IAEA TECDOC 119, Current Status and Future Development of Modular High Temperature Reactor
24

menjawab problema yang belum terpecahkan hingga reaktor generasi sebelumnya, yaitu pada
masalah :
- ketersediaan bahan bakar nuklir
- penanganan limbah nuklir jangka panjang
Disamping itu, reactor nuklir generasi 4 dikembangkan dengan tujuan
- aplikasi sebagai pembangkit energi kalor untuk proses-proses termal
- peningkatan keamanan penggunaan material nuklir
Berbagai desain reaktor nuklir telah diusulkan untuk menjadi salah satu dari jenisjenis reaktor maju tersebut. Tidak semua desain ini mampu memenuhi semua kriteria reaktor
maju yang disebutkan diatas secara keseluruhan, tetapi semua jenis ini mampu memenuhi
sebagian besar kriteria desain tersebut.
Generaton IV International Forum (GIF) telah menseleksi 6 jenis desain reaktor nuklir
yang dikategorikan sebagai desain reaktor maju, yaitu :
- SCWR (Supercritical Light Water Reactor)
- VHTR (Very High Temperature Reactor)
- GFR (Gas Cooled Fast Reactor)
- LFR (Liquid Metal Fast Reactor)
- SCR (Sodium Cooled Reactor)
- MSR (Molten Salt Reactor)
Dalam perkembangan berikutnya, masing-masing konsep reaktor maju tersebut
memiliki beberapa variasi
E. MOLTEN SALT REACTOR
Molten Salt Reactor (MSR) merupakan salah satu dari 6 jenis desain reactor yang
oleg GIF dimasukkan dalam kategori reaktur maju (Advanced Reactor) atau reactor generasi
4. Molten Salt Reactor adalah reactor yang menggunakan bahan bakar berbentuk garam cair.
Jenis garam yang digunakan pada umumnya adalah garam fluoride. MSR dioptimalkan untuk
menggunakan thorium sebagai bahan bakar fertile. Thorium setelah menyerap neutron akan
terkonversi menjadi U-233. Karena U-233 tidak terdapat di alam, maka MSR generasi
pertama memerlukan material fisil selain U-233.
Material fisil ini bisa berupa uranium berpengayaan rendah, atau plutonium yang
diambil dari bahan bakar bekas LWR. Pada MSR, semua material fisil dan fertile tersebut
berupa garam. Senyawa garam yang paling cocok adalah garam fluoride (UF4, ThF4, PuF3).
Beberapa desain MSR dirancang untuk mentransmutasikan aktinida minor (MA). Nuklidanuklida MA juga berbentuk garam (terutama garam fluoride).
Senyawa garam fluoride dari U, Th, Pu atau MA dilarutkan dalam garam fluoride
pembawa (carrier). Garam pembawa terdiri dari senyawa atau campuran senyawa garam
fluoride seperti LiF, BeF2, NaF, ZrF4. Litium alam terdiri dari Li-6 dengan fraksi mol 7 %
dan Li-7 dengan fraksi mol 93 %. Li-6 memiliki tampang lintang serapan neutron sangat
tinggi. Untyuk digunakan dalam MSR, Li-6 harus diambil sehingga LiF untuk MSR hanya
terdiri dari Li-7.
Pada suhu rendah, garam fluoride berbentuk padat. Dengan demikian, MSR harus
dioperasikan pada suhu cukup tinggi, yaitu di atas suhu lebur dari garam cair. Garam fluoride
tidak bereaksi dengan udara dan tidak mudah larut dan bereaksi dengan air. Sifat garam
floride yang menjadi padat pada suhu rendah serta tidak mudah bereaksi dengan udara serta
tidak mudah larut dan bereaksi dengan air ini merupakan aspek penting dalam aspek
keselamatan.

Bahan bakar MSR terdiri dari campuran garan fluoride PuF3-UF4-ThF4-7LiF-BeF4


dengan komposisi mol diatur sesuai dengan karakteristik neutronik yang diharapkan.
Masing-masing unsur aktinium (Th, U, Pu) dapat diatur komposisi isotopnya. Desain MSR
menggunakan moderator grafit. Bahan bakar dalam bentuk garam lebur (molten salt)
sekaligus juga berfungsi sebagai media transfer kalor (pendingin).
Penggunaan bahan bakar dalam bentuk garam lebur pada desain MSR dilakukan
untuk memperoleh beberapa keunggulan, yaitu[27] :
1). memungkinkan reaktor dioperasikan pada suhu tinggi, karena garam lebur baru akan
mendidih pada suhu 1430 C pada terkanan atmosferik sedangkan moderator grafit
mampu bertahan hingga suhu 3000 C
2). reaktor dapat dioperasikan pada tekanan rendah sehingga mengeliminasikan
kemungkinan kecelakaan yang bersifat ekspansif yang melepaskan material radioaktif
dari teras
3). memungkinkan peningkatan efisiensi termodinamik dan penggunaan reaktor sebagai
sumber kalor proses endotermik
4). bahan bakar leburan garam menjadi padat pada suhu rendah, sehingga bahan bakar
leburan garam dapat berfungsi sebagai pengungkung material radiaktif pada saat
transportasi atau saat tidak digunakan di reaktor
5). memungkinkan dilakukan reprosesing bahan bakar saat reaktor beroperasi (on line),
sehingga memungkinkan dilakukan ekstraksi produk fisi untuk memperbaiki reaktifitas
reaktor sekaligus penambahan material fisil secara on line hanya sesuai kebutuhan.
6). memungkinkan pengaturan komposisi bahan bakar fisil dan fertil secara optimum untuk
pembiakan.
Ditinjau dari aspek transfer kalor, maka terdapat berbagai jenis fluida yang dapat digunakan
sebagai pentransfer kalor dari reaktor nuklir. Diantara fluida-fluida tersebut adalah air ringan
(H2O) yang digunakan pada LWR (BWR dan PWR) dan LWGR, air berat (D 2O) yang
digunakan pada PHWR (CANDU), gas yaitu CO2 yang digunakan pada reaktot MAGNOX
dan AGR dan helium (He) yang digunakan pada HTR dan GCFR (Gas Cooled Fast Reactor),
logam cair yaitu sodium (Na) yang digunakan pada LMFBR dan Pb-Bi yang digunakann
pada reaktor maju jenis LMR ( Liquid Metal Reactor) serta molten salt yang digunakan pada
MSR dan AHTR.
Molten salt memiliki semua keunggulan sebagai fluida transfer kalor yaitu dapat
beroperasi pada suhu tinggi dengan tekanan rendah serta koefisien transfer kalor tinggi.
Logam cair (liquid metal) dapat dioperasikan pada tekanan rendah dan memiliki koefisien
transfer kalor tinggi tetapi suhu operasi yang dapat dicapai tidak terlalu tinggi. Air dan air
berat memiliki koefisien transfer kalor tinggi tetapi harus dioperasikan pada tekanan tinggi
dan tidak mampu mencapai suhu terlalu tinggi. Pendingin gas dapat dioperasikan pada suhu
tinggi tetapi harus dioperasikan pada tekanan tinggi serta memiliki nilai koefisien transfer
kalor rendah.
Kemampuan beroperasi pada suhu tinggi sangat menguntungkan ditinjau dari aspek
termodinamika karena akan meningkatkan efisiensi konversi energi sehingga mengurangi
konsumsi bahan bakar. Penggunaan pendingin cair memiliki keunggulan dibandingkan
dengan pengunaan pendingin gas karena koefisien transfer kalor yang lebih tinggi serta
hambatan aliran yang lebih rendah. Sementara itu, pengoperasian pada tekanan rendah lebih
menguntungkan karena dapat menghindari kecelakaan yang disebabkan oleh overpressure.
Gambar 4.4 menunjukkan peta karakteristik suhu dan daya dari berbagai jenis reaktor.
27

Forsbeg, C. W., Peterson, P. F., Zhao, H.H., 2004, An advanced Molten salt Reactor Using High Temperature Reactor
Technology, ICAPP.2004.MSR.Paper, 2004 International Congress on Advanced in Nuclear Power Plants (ICAPP 04)
Embedded International Topical Meeting, 2004 American Nuclear Sociaty Annual Meeting, Pittsburgh, Pennsylvania.

10

Gambar 4.4. Peta karakteristik suhu dan daya pada berbagai jenis reaktor [28]
Reaktor berpendingin air (LWR) beroperasi pada suhu yang relatif rendah dengan
tekanan tinggi. Reaktor berpendingin logam cair dapat beroperasi pada suhu menengah
dengan tekanan rendah. Sementara itu reaktor dengan pendingin gas dan molten salt dapat
beroperasi pada suhu tinggi. Akan tetapi reaktor berpendingin gas memerlukan tekanan
operasi tinggi sedangkan reaktor molten salt tidak perlu tekanan operasi tinggi. Selain itu
reaktor berpendingin gas terbatas tingkat dayanya karena gas memiliki nilai koefisien transfer
kalor rendah dan hambatan aliran tinggi.
Pengembangan MSR dimulai sejak tahun 1950-an[29]. Pengembangan MSR dimulai
dari ARE (Aircraft Reactor Experiment), yang digunakan sebagai propulsi pesawat pembom
untuk keperluan angkatan udara Amerika Serikat. Program propulsi nuklir untuk pesawat
pembom akhirnya dihentikan, tetapi reactor ARE sempat dibuat dan dilakukan uji kritikalitas.
Dengan demikian, reactor ARE sukses untuk dioperasikan.
Kesuksesan ARE diikuti dengan pengembangan MSR untuk keperluan pembangkitan
daya. Untuk itu, dibuat MSRE (Molten Salt Reactor Experiment) [30]. MSRE dioperasikan
oleh ORNL (Oak Ridge National Laboratory) dengan daya 7,4 MWth. Bahan bakar MSRE
adalah LiF-BeF2-ZrF4-UF4 dengan perbandingan mol (65:30:5:0,1). Pada awalnya, MSRE
menggunakan U-235. Akan tetapi U-235 ini diganti dengan U-233 dan MSRE sukses
dioperasikan dengan U-233. Dengan demikian, MSRE merupakan reactor pertama yang
sukses dioperasikan dengan menggunakan bahan bakar fisil U-233. Kesuskesan MSRE
dijadikan dasar untuk untuk mendesain MSBR (Molten Salt Breeder Reactor) yang mampu
mencapai kemampuan pembiakan U-233.

28

a6-msr_fy07.external.pdf

M. W. Rosenthal, P. R. Kasten, and R. B. Briggs, Molten-Salt Reactors History, Status, and Potential, Nuclear
Applications and Technology, vol. 8.2, pp. 107117, 1970.
30 US.NRC, Safety and Regulatory Issues of the Thorium Fuel Cycle, NUREG/CR-7176 ORNL/TM/2013/543
29

11

Berbagai proposan desain MSR dimunculkan oleh berbagai Negara. Diantara berbagai
desain tersebut Antara lain adalah TMSR (Thorium Molten Salt Reactor) dari Perancis [31].
TMSR menggunakan spectrum neutron cepat, sehingga tidak menggunakan moderator grafit.
ORNL juga melakukan studi untuk mengembangkan MSR yang menggunakan spectrum
neutron cepat [32] yaitu MSFR (Molten Salt Fast Reactor)
MSBR,TMSR dan MSFR dirancang untuk memiliki kemampuan pembiakan, yaitu
mampu memproduksi material fisil (U-233) dengan laju yang sedikit lebih tinggi daripada
laju konsumsi material fisil (yaitu material fisil awal dan U-233 itu sendiri).
Disamping desain yang memiliki kemampuan pembiakan, terdapat juga proposal
desain yang MSR yang tidak memiliki kemampuan pembiakan. Diantara desain MSR
semacam ini adalah adalah MOSART (Molten Salt Actinide Recycle and Transmuter).
MOSART dirancang untuk mentransmutasikan aktinida minor (MA) berumur panjang yang
terdapat pada bahan bakar bekas reactor sekarang (LWR). MA memberi kontribusi pada
nuklida berumur panjang (hingga puluhan ribu tahun). Pada MOSART, MA akan
ditransmutasikan menjadi nuklida yang pada akhirnya dapat berfisi dan menghasilkan energi.
Desain MSR lainnya yang tidak memiliki kemampuan pembiakan adalah DMSR
(Denaturated Molten Salt Reactor) dan Thorcon MSR. Desain semacam ini bertujuan untuk
melakukan penyederhanaan. Desain MSR yang memiliki kemampuan pembiakan (breeder)
pada umumnya harus dilengkapi system dengan proses bahan bakar on line yang berfungsi
untuk mempertahankan ekonomi neutron dengan secara kontinyu mengambil hasil reaksi fisi
yang menyerap neutron. Dengan berkurangnya serapan neutron, maka kemampuan
pembiakan tetap terjaga.
Dengan menghilangkan system proses bahan bakar on line, desain menjadi lebih
sederhana. Akan tetapi nuklida produk fisi akan terakumulasi dalam bahan bakar dan
mengganggu aspek neutronik. DMSR lebih sederhana karena tidak perlu dilengkapi dengan
proses bakar on line. DMSR dirancang untuk mampu menggunakan bahan bakar secara lebih
efisien dibandingkan dengan reactor sekarang (DMSR mengkonsumsi 60 ton natural
resources per GWey sementara reactor sekarang menggunakan 180 200 ton natural
resources per GWey). Sekalipun demikian, angka 60 ton per GWey ini masih jauh lebih besar
dibandingkan dengan kebutuhan bahan bakar untuk MSR breeder (1 ton per GWey).
Proposal desain MSR lainnya diantaranya adalah FUJI-MSR (Jepang), integral MSR.
Di samping itu ORNL juga mengembangkan desain AHTR, yaitu desain reactor bersuhu
tinggi dengan bahan bakar padat berbentuk coated particle (seperti HTR) tetapi menggunakan
pendingin molten salt (LiF-BeF2).
F. ASPEK KESELAMATAN MSR
MSR memiliki sifat keselamatan yang sangat bagus. Karakteristik keselamatan MSR
yang berkaitan dengan keselamatan adalah :
a. Reaktivitas lebih reactor sangat rendah
b. Koefisien umpan balik daya negative
c. Frekuensi kerusakan parah teras (core damage frequency) sangat rendah
d. Mampu menerapkan system keselamatan yang secara total bersifat pasif, yang terdiri
dari : - system shutdown pasif
- system pendingin pasca shutdown pasif
- system pendingin pasif untuk system penanganan limbah radioaktif

L. Mathieu et al., Possible Configurations for the TMSR and Advantages of the Fast Non Moderated Version, Nuclear
Science and Engineering, vol. 161, pp. 7879, 2009.
32 D. E. Holcomb et al., Fast Spectrum Molten Salt Reactor Options, Oak Ridge National Laboratory, ORNL/TM-2011/105,
July 2011.
31

12

Penggunaan bahan bakar cair memungkinkan MSR mengaplikasikan konsep on line


refueling dan sekaligus on line fuel reprocessing. Dengan aplikasi kedua konsep ini,
reaktivitas lebih bahan bakar aktual pada saat reaktor beroperasi dapat dibuat sangat kecil
tanpa menggunakan burnable poison.
Dalam kondisi teras setimbang, MSR memiliki koefisien pengurangan bahan bakar
yang bernilai negatif. Dalam kondisi teras setimbang, PCMSR memiliki koefisien reaktivitas
suhu yang bernilai negatif.
Hal ini menunjukkan bahwa PCMSR memiliki sifat keselamatan melekat (inherent
save), yaitu koefisien umpan balik daya yang bernilai negatif. Ditambah dengan reaktivitas
lebih bahan bakar aktual yang sangat kecil, maka kecelakaan exkursi daya tidak mungkin
terjadi.
Kecelakaan yang mungkin terjadi pada PCMSR adalah :
- LOFFA (Loss of Fuel Flow Accident)
- LOCFA (Loss of Secondary Coolant Flow Accident)
- LHSA (Loss of Heat Sink Accident)
- LOSCA (Loss of Secondary Coolant Accident)
LOFFA adalah kecelakaan yang terjadi akibat kegagalan pompa bahan bakar sehingga
sirkulasi bahan bakar terhenti. LOCFA adalah kecelakaan yang terjadi akibat kegagalan
pompa pendingin sekunder (intermediate) sehingga menghentikan sirkulasi aliran pendingin
sekumder. LHSA adalah kecelakaan yang terjadi akibat ketidakmampuan sistem penerima
kalor untuk menerima kalor dari reactor, misalnya kecelakaan akibat kegagalan turbin dan
sistem pelesap kalor. LOSCA adalah kecelakaan yang terjadi akibat tumpahnya pendingin
sekunder (intermediate) sehingga kalor dari bahan bakar tidak dapat ditransfer ke pendingin
intermediate.
Kecelakaan-kecelakaan ini akan menyebabkan suhu bahan bakar naik. Kenaikan suhu
bahan bakar akan menurunkan reaktivitas reactor. Karena MSR memiliki reaktivitas lebih
yang sangat rendah, maka reactor menjadi sub kritis sehingga dayanya turun. Kenaikan suhu
yang lebih tinggi akan melelehkan katup keselamatan bahan bakar sehingga bahan bakar
mengalir ke tangki pengurasan bahan bakar (fuel drain tank). Bahan bakar dan moderator
terpisah sehingga kekritisan tidak tercapai).
Tangki bahan pengurasan bahan bakar dilengkapi dengan system pendinginan pasif.
Kalor peluruhan radioaktif dapat didisipasikan ke lingkungan tanpa memerlukan system
pompa yang memerlukan suplai listrik. Dengan demikian, kecelakaan yang mengakibatkan
kerusakan parah pada reactor dan mengakibatkan pelolosan material radioaktif ke lingkungan
sebagaimana yang terjadi pada reactor Fukushima Daiichi Jepang tidak dapat terjadi pada
MSR.
G. SISTEM PROSES BAHAN BAKAR ON LINE
Salah satu keunggulan MSR dengan bahan bakar cair yang tidak dimiliki oleh jenis
reaktor yang berbahan bakar padat adalah kemampuan untuk melakukan proses bahan bakar
secara on line. Sistem proses bahan bakar on line memberikan keunggulan sebagai berikut :
- Aspek keselamatan lebih tinggi (low excess reactivity)
- Performance neutronik lebih baik (lower neutron poisoning, higher conversion ratio)
- Kandungan material radioaktif dalam bahan bakar dapat dikurangi
- Isotop-isotop yang punya nilai ekonomis dapat diekstrak sebagai by product (hasil
samping) yang memiliki nilai manfaat
Dengan bahan bakar cair, nuklida fisil dapat ditambahkan pada MSR sesuai
keperluan. Pada jenis reaktor berbahan bakar padat (misalnya LWR), material fisil harus
dimuatkan dalam reaktor untuk jangka waktu lama hingga saat penggantian bahan bakar.
Karena bahan bakar fisil akan berkurang selama reaktor beroperasi, maka pada LWR,

13

diperlukan muatan lebih material fisil pada saat teras awal untuk mengantisipasi penyusutan
material fisil hingga saat penggantian bahan bakar. Pada MSR hal ini tidak diperlukan. Pada
MSR non breeder material fisil ditambahkan sedikit demi sedikit. Pada MSR breeder,
material fisil, akan terbentuk dengan sendirinya sehingga tidak perlu ditambahkan.
Pemuatan material berlebih ini akan memberikan reaktivitas lebih teras (excess
reactivity) yang tinggi. Hal ini memungkinkan terjadinya kecelakaan ekskursi daya (power
excursion accident) seperti misalnya terjadi pada reaktor Chernobyl. Pada MSR dengan
reaktivitas lebih yang sangat rendah, kecelakaan semacam itu dapat dihindari.
Dengan menggunakan bahan bakar cair, ekstraksi nuklida hasil reaksi fisi dapat
dilakukan secara on line (saat reaktor beroperasi). Dengan cara ini, nuklida hasil reaksi yang
bersifat menyerap neutron (misalnya Xe-135, Sm-149) dapat dikeluarkan dari reaktor. Pada
LWR, setelah reaktor dimatikan akan terjadi build up Xe-135. Serapan neutron membuat
reaktor tidak dapat dihidupkan kembali hingga beberapa jam setelah shutdown sebagai akibat
dari build up Xe-135. Kondisi reaktor yang tidak dapat dihidupkan kembali setelah shutdown
ini disebut sebagai waktu mati reaktor (reactor dead time). Pada MSR, Xe-135 dapat
dikeluarkan dari reaktor saat reaktor beroperasi sehingga efek waktu mati reaktor dapat
dikurangi. Dengan sistem ekstraksi yang bagus, sebagian besar Xe-135 dapat dikeluarkan
dari reaktor sehingga reaktor dapat dihidupkan segera setelah reaktor shutdown.
Dengan dikuranginya nuklida hasil fisi, maka serapan neutron non bahan bakar dapat
dikurangi sehingga reaktor dapat mencapai kondisi neutronik lebih baik. Hal ini sangat
diperlukan untuk mencapai kemampuan pembiakan.
Sebagian nuklida hasil reaksi fisi bersifat radioaktif dengan aktivitas tinggi. Kalor
yang dihasilkan akibat peluruhan radioaktif tetap ada setelah reaktor dimatikan. Reaktor
memerlukan pendinginan setelah shutdown untuk mentransfer kalor ini dari teras reaktor.
Kegagalan pendinginan pasca shutdown akan menyebabkan teras reaktor mengalami
overheating. Pada reaktor berbahan bakar padat, hal ini dapat menyebabkan kerusakan teras
yang mengakibatkan pelepasan material radioaktif dari teras reaktor sebagaimana yang terjadi
pada reaktor Fukushima Daiichi Jepang.
Pada MSR, proses bahan bakar on line mengurangi jumlah serta aktivitas nuklidanuklida hasil reaksi fisi sehingga kalor peluruhan pasca shutdown dapat dikurangi. Hal ini
memberikan jaminan keselamatan yang lebih baik. Aspek keselamatan akan menjadi semakin
baik karena bahan bakar MSR pasca shutdown ditempatkan pada tangki pengurasan bahan
bakar yang dilengkapi dengan sistem pendinginan pasif.
Hasil perhitungan dengan software PCMSRBU menunjukkan bahwa tanpa
pengoperasian proses bahan bakar on line, tingkat radioaktifitas reaktor PCMSR berdaya 920
MWth adalah 2,47 GCi sedangkan jika sistem proses bahan bakar on line dioperasikan, maka
tingkat radioaktifitas reaktor PCMSR dengan daya yang sama turun menjadi 1,92 GCi.
Sementara itu, nilai k-inf dalam kondisi setimbang adalah 1,0506 jika sistem proses bahan
bakar on line tidak dioperasikan dan 1,1691 jika sistem proses bahan bakar on line
dioperasikan.
H. PEMANFAATAN HASIL SAMPING (BY PRODUCT) DARI MSR.
Dengan menggunakan sistem proses bahan bakar on line, sebagian dari hasil reaksi
fisi dapat diekstraksi dan dikeluarkan dari reactor. Beberapa nuklida hasil fisi merupakan
nuklida yang punya nilai guna sangat tinggi karena merupakan isotop-isotop radioaktif yang
dapat digunakan untuk keperluan kedokteran, industri, dan aplikasi lainnya. Isotop-isotop
yang bermanfaat tersebut, yang dapat dihasilkan oleh MSR diantaranya adalah Sr-89, Sr-90,
Mo-99, Ru-104, I-131, I-132, I-133, Xe-135, Xe-133, Cs-134, Cs-137 dan La-140.

14

Hasil perhitungan dengan software PCMSRBU menunjukkan bahwa pengoperasian


PCMSR yang dilengkapi dengan sistem proses bahan bakar on line mampu secara kontinyu
menghasilkan isotop-isotop radioaktif bermanfaat sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Isotop-isotop radioaktif yang dapat dihasilkan secara kontinyu oleh PCMSR yang
dilengkapi dengan sistem proses bahan bakar on line.
Isotop bermanfaat
Produksi spesifik
Isotop bermanfaat
Produksi spesifik
(kCi/MWth/hari)
(kCi/MWth/hari)
Sr-89
0,3
I-133
1,12
Sr-90
0,00191
Xe-133
0,0118
Mo-99
1,7
Cs-134
0,0000393
I-131
0,42
Cs-137
0,00232
I-132
0,782
La-140
1,05
Di samping itu, pada MSR yang didesain untuk mampu melakukan pembiakan,
(breeding) dapat dihasilkan aktinida berlebih (excess actinide) yang terdiri dari isotop-isotop
uranium, neptunium dan plutonium. Hasil perhitungan dengan software PCMSRBU
menunjukkan bahwa pengoperasian PCMSR (denaturated sekaligus breeder) berdaya 920
MWth yang dilengkapi dengan sistem proses bahan bakar on line mampu secara kontinyu
menghasilkan uranium berlebih sebanyak 129,6 kg/tahun dengan komposisi fraksi massa
18,38 % U-233; 2,95 % U-234; 0,74 % U-235; 0,11 % U-236 dan 77,82 % U-238. Uranium
dengan komposisi ini masi terkategori sebagai uranum berpengayaan rendah (LEU) dan dapat
digunakan pada reactor lainnya. Hasil lainnya adalah Pu-238 sebanyak 0,277 kg/tahun.
Sementara itu, bahan bakar bekas pakai dari suatu MSR yang mempunyai
kemampuan pembiakan memiliki perbandingan mol nuklida fisil dan fertile yang mampu
mencapai kondisi kritis dan sekaligus juga mampu mencapai kemampuan pembiakan.
Dengan demikian, bahan bakar bekas pakai dari suatu MSR siap digunakan untuk MSR
sejenis pada generasi selanjutnya. Oleh karena itu bahan bakar siap pakai dari suatu MSR
tidak bias dikatakan sebagai limbah (waste).
I. PENANGANAN LIMBAH MSR
Limbah MSR terdiri dari :
1. Limbah yang berasal dari nuklida-nuklida yang diekstraksi oleh sistem proses bahan
bakar yang dianggap tidak bernilai ekonomis
2. Bahan bakar bekas pakai dari MSR pada saat dekomisioning
Bahan bakar bekas pakai dari MSR pada saat dekomisioning siap digunakan pada
MSR yang dibangun pada generasi berikutnya. Dengan kata lain, bahan bakar MSR generasi
sebelumnya dapat diwariskan kepada MSR generasi berikutnya. Hal ini karena bahan bakar
bekas pakai dari suatu MSR (breeder) mengandung cukup nuklida fisil (U-233) yang mampu
mencapai kondisi kritis jika dipakai pada MSR geberasi berikutnya. Dengan demikian, bahan
bakar bekas pakai dari suatu MSR pada dasarnya bukan merupakan limbah, tetapi merupakan
kandidat bahan bakar untuk reaktor MSR berikutnya. Hal ini merupakan alasan mengapa
penggunaan thorium pada MSR mampu mencapai long term sustainability.
Limbah yang berasal dari nuklida-nuklida yang diekstraksi oleh sistem proses bahan
bakar yang dianggap tidak bernilai ekonomis ditangani secara langsung pada sistem
penanganan limbah on line MSR. Jumlah limbah ini sekitar 0,8 1 ton per GWey dan
didominasi oleh produk fisi yang berumur relatif pendek (puluhan tahun). Jumlah ini sangat
kecil dibandingkan dengan limbah bahan bakar bekas LWR sejumlah 20 30 ton per GWey
dan mengandung aktinida dengan umur hingga puluhan ribu tahun.

15

Limbah MSR dari ekstraksi on line ini langsung dimasukkan dalam wadah ketika
masih berbentuk cair. Limbah yang terkungkung dalam wadah didinginkan dalam kolam
penyimpan limbah sehingga kalor peluruhan semakin berkurang, suhu menurun dan menjadi
padat. Sistem penanganan limbah MSR dapat didesain untuk mampu menampung semua
limbah dari ekstraksi bahan bakar hingga menjadi padat selama umur operasi reactor. Setelah
menjadi padat, maka zat radioaktif yang tersisa terkungkung dalam padatan tersebut beserta
wadahnya. Level radioaktivitas limbah mencapai nilai clearance (hazard index = 1 atau
setara dengan tingkat radioaktivitas bijih uranium alam) setelah puluhan tahun penyimpanan.
J. ASPEK EKONOMI MSR
J.1. Keekonomian MSR dibandingkan dengan teknologi reaktor sekarang yang menggunakan
siklus bahan uranium open cycle
MSR sangat berpotensi jauh lebih ekonomis dibandingkan dengan teknologi reaktor
nuklir yang sekarang ditinjau dari beberapa aspek, yaitu :
- konsumsi bahan bakar dan produksi limbah radioaktif
- penyederhanaan dalam keseluruhan proses bahan bakar dan pengolahan limbah
- desain yang lebih sederhana dan kompak
- aplikasi sistem keselamatan yang secara total bersifat pasif
a. Ditinjau dari aspek konsumsi bahan bakar dan limbah radioaktif
Sebagian besar teknologi reaktor nuklir yang sekarang adalah LWR (Light Water
Reactor yang terdiri dari BWR = Boiling Water Reactor dan PWR = Pressurized Water
Reactor). Kedua desain ini menjadi desain yang populer pada reaktor generasi 2, reaktor
generasi 3 dan reaktor generasi 3+. Di samping itu, terdapat juga jenis PHWR, LWGR,
MAGNOX dan AGR yang sekarang masih beroperasi. Semua jenis reaktor nuklir yang
beroperasi sekarang menggunakan uranium dengan siklus bahan bakar terbuka. Artinya,
jenis-jenis reaktor ini menggunakan U-235 sebagai material fisil. U-238 dimasukkan dalam
reaktor tetapi tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.
Jika diasumsikan reaktor nuklir memiliki efisiensi konversi energi 33 % (tipikal LWR
sekarang), maka untuk mencapai produksi energi 1000 MWe dalam satu tahun operasi penuh
(= 1GWey) diperlukan kurang lebih 1 ton (1000 kg) material fisil baik U-235, U-233 maupun
Pu-239. Hal ini didasarkan dari perhitungan neraca energi overall dengan asumsi bahwa tiap
reaksi fisi menghasilkan energi sebesar 200 MeV. Jika efisiensi konversi energi dapat
ditingkatkan, maka kebutuhan bahan bakar fisil akan menjadi lebih rendah. Misal jika
efisiensi konversi energi sebesar 44 %, maka kebutuhan bahan bakar fisil menjadi 750 kg per
GWey.
Reaktor MAGNOX dan PHWR-CANDU menggunakan uranium alam. Uranium alam
terdiri dari 0,7 % U-235. Dengan demikian, hanya 0,7 % dari material bahan bakar yang
dapat digunakan secara efektif. Efisiensi reaktor MAGNOX adalah 25 % sedangkan efisiensi
PHWR-CANDU adalah 30 %. Dengan demikian, konsumsi bahan bakar siap pakai pada
reaktor MAGNOX adalah 186 ton uranium alam per GWey sedangkan konsumsi bahan bakar
siap pakai untuk PHWR-CANDU adalah 155 ton uranium alam per GWey[33].
Reaktor LWR generasi kedua menggunakan bahan bakar dengan pengayaan rata-rata
3 % U-235 sedangkan reaktor LWR generasi 3 dan 3+ menggunakan bahan bakar dengan
pengayaan 5 % U-235. Dengan demikian, LWR generasi 2 serta generasi 3 dan 3+ masingsecara efektif hanya mampu menggunakan 2 % dan 3 % dari bahan bakar dari bahan bakar
siap pakai yang diumpankan. Efisiensi konversi energi LWR tidak banyak berukan dari
generasi 2 hingga generasi 3+. Dengan demikian, konsumsi bahan bakar siap pakai untuk
33

David LeBlanc, 2012, Molten Salt Reactors and the Oil Sands: Odd Couple or Key to North American Energy
Independence?, Presentation to Canadian Nuclear Safety Commission

16

LWR generasi 2 adalah 33,4 ton per GWey dan untuk LWR generasi 3 dan 3+ adalah 20 ton
per GWey.
Reaktor AGR menggunakan bahan bakar dengan tingkat pengayaan 2,5 % U-235 dan
memiliki efisiemsi konversi energi sebesar 40 %. Maka konsumsi bahan bakar siap pakai
untuk AGR adalah 33 ton per GWey.
AGR dan LWR menggunakan bahan bakar uranium diperkaya. Untuk itu diperlukan
proses pengayaan uranium. Dengan asumsi bahwa hasil samping dari proses pengayaan
(yaitu DU = Depleted Uranium) masif mengadung U-235 dengan fraksi 0,2 % hingga 0,3 %,
maka berdasarkan neraca massa U-235 dan neraca massa uranium total pada proses
pengayaan, diperoleh hasil perhitungan kebutuhan sumber daya uranium alam per GWey.
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, kebutuhan uranium alam untuk LWR baik generasi 2
maupun generasi 3 dan 3+ berkisar antara 170 ton hingga 220 ton per GWey[34]. Sedangkan
kebutuhan uranium alam untuk AGR berkisar antara 140 ton hingga 185 ton per GWey.
Angka selisih dari kebutuhan uranium alam dengan kebutuhan bahan bakar siap pakai
merupakan jumlah DU per GWey.
Saat reaktor dioperasikan, U-235 berfisi menghasilkan energi dan isotop-isotop hasil
reaksi fisi. Sebagian dari hasil reaksi fisi ini bersifat radioaktif dengan umur puluhan tahun.
Artinya, diperlukan waktu puluhan tahun sehingga tingkat radioaktivitasnya menjadi sama
dengan tingkat radioaktivitas bijih uranium alam.
Sementara itu, U-238 tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Sebagian besar (98 %)
tetap sebagai U-238 sedangkan 2 % sisanya berubah menjadi isotop-isotop plutonium (Pu238, Pu-239, Pu-240, Pu-241, Pu-242) dan aktinida minor (Minor Actinide = MA) yang
terdiri dari isotop-isotop Np, Cm dan Am. Nuklida-nuklida yang merupakan isotop dari Pu
dan MA memberikan kontribusi kepada pembentukan limbah radioaktif yang berumur sangat
panjang hingga puluhan ribu tahun. Artinya, diperlukan waktu puluhan ribu tahun sehingga
tingkat radioaktivitasnya menjadi sama dengan tingkat radioaktivitas bijih uranium alam.
Pada reaktor yang memiliki kemampuan pembiakan, hampir semua nuklida fisil dan
fertil serta MA pada akhirnya berfisi atau dapat dikonversi menjadi nuklida yang dapat
berfisi. Dengan demikian, kebutuhan bahan bakarnya adalah sekitar 1 ton per GWey dan
limbah yang dihasilkan juga sekitar 1 ton per GWey yang didominasi oleh hasil reaksi fisi
dengan umur puluhan tahun (bukan puluhan ribu tahun).
Berkaitan dengan kemampuan penggunaan bahan bakar, terdapat dua jenis MSR yaitu
MSR pembiak dan MSR non pembiak. MSR pada dasarnya merupakan reaktor pembiak
(breeder). MSR non pembiak dirancang dengan tujuan utaka penyederhanaan desain. MSR
non pembiak (misalnya DMSR) memiliki rasio konversi yang lebih tinggi dibandingkan
LWR sehingga konsumsi bahan bakarnya jauh lebih rendah dibandingkan LWR tetapi jauh
lebih tinggi dibandingkan MSR pembiak. DMSR mengkonsumsi 35 ton per GWey uranium
alam[35]. Tabel 4.2. menunjukkan konsumsi bahan bakar, produksi limbah radioaktif, proses
front end dan kebutuhan reposesing berbagai jenis reaktor.
Tabel 4.2. Konsumsi bahan bakar, produksi limbah radioaktif, proses front end dan
kebutuhan reposesing berbagai jenis reaktor
Jenis reaktor
Kebutuhan
Kebutuhan
Produksi
Proses
Kebutuhan
bahan bakar
sumber
limbah
penyiap- reproses34

David LeBlanc, 2012, Molten Salt Reactors and the Oil Sands: Odd Couple or Key to North American Energy
Independence?, Presentation to Canadian Nuclear Safety Commission
35

David LeBlanc, 2012, Molten Salt Reactors and the Oil Sands: Odd Couple or Key to North American Energy
Independence?, Presentation to Canadian Nuclear Safety Commission

17

LWR generasi 2
LWR generasi 3 dan 3+
AGR
PHWR-CANDU
MAGNOX
FBR
MSR non breeder
MSR breeder

siap pakai
(ton/GWey)

daya alam
bahan bakar
(ton/GWey)

33,4
20,0
33,0
155,0
186,0
1,0
3,0
0,8 - 1,0

170 - 220
170 - 220
140 - 185
155
186
1,0
35,5
0,8 - 1,0

radioaktif
an bahan
dari bahan
bakar
bakar
(front
(ton/GWey)
end)
33,4
perlu
20,0 beberapa
tahap
33,0
proses
155,0
dan
186,0
1,0 fabrikasi
3,0
tanpa
0,8 - 1,0 fabrikasi

ing untuk
menuju
siklus
tertutup
ya
ya
ya
ya
ya
ya
tidak
tidak

Dengan kebutuhan bahan bakar yang lebih sedikit serta proses penyiapan bahan lebih
sederhana, maka biaya bahan bakar MSR lebih rendah dibandingkan dengan biaya bahan
bakar reaktor LWR sekarang.
MSR beroperasi pada suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan LWR sekarang.
Pengoperasian pada suhu tinggi, penggunaan bahan moderator dan struktur yang memiliki
serapan neutron rendah (grafit) ditambah dengan sifat molten salt yang memiliki kemampuan
transfer kalor tinggi menyebabkan MSR dapat dirancang dengan ukuran relatif lebih kecil
dibandingkareaktor lainnya untuk tingkat daya yang sama. Gambar 4.5 menunjukkan dimensi
beberapa jenis desain reaktor baru berdaya rendah (Small Modular). Pada Gambar 4.5
tersebut, dibandingkan beberapa desain reaktor Small Modular yaitu IMSR (InntMolten salt
Reactor), SmAHTR (Small Modular Advanced High Temperature Reactor), Nu-Scale dan
B$W mPower.
ISMR merupakan reaktor MSR integral, yaitu menempatkan reaktor dan alat penukar
kalor (heat exchanger) berada dalam satu bejana. SmAHTR adalah reaktor dengan bahan
bakar padat seperti HTR tetapi menggunakan pendingin molten salt. Sementara itu Nu-Scale
dan B$W mPower keduanya adalah turunan dari LWR dengan desain integral serta dengan
tingkat daya yang diperkecil. Pada Gambar 4.5. dapat ditunjukkan bahwa MSR memiliki
dimensi paling kecil dibandingkan dengan reaktor lainnya yang memiliki tingkat saya setara.
Ukuran yang lebih lebih kecil menyebabkan desain yang lebih murah.

18

Gambar 4.5 menunjukkan dimensi beberapa jenis desain reaktor baru berdaya rendah (Small
Modular) [36]
Tabel 4.2. menunjukkan biaya pembangkitan listrik di berbagai negara dengan
menggunakan berbagai moda pembangkitan dengan estimasi tinggi (10 % discount rate).
Pada Tabel ini, biaya pembangkitan listrik menggunakan tenaga nuklir dihitung berdasarkan
biaya pembangkitan total dari LWR karena LWR merupakan jenis reaktor nuklir yang paling
banyak digunakan sekarang. Berdasarkan Tabel 4.2. dapat dilihat bahwa biaya pembangkitan
listrik dengan menggunakan tenaga nuklir dengan teknologi LWR dapat bersaing dengan
biaya pembangkitan listrik dengan menggunakan bahan bakar batubara dan gas. Sementara
itu, biaya pembangkitan listrik dengan menggunakan sumber daya energi terbarukan (hidro,
angin dan solar (PV)) secara umum jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya
pembangkitan listrik total menggunakan sumber daya energi konvensional (batubara, minyak
dan gas). Dengan demikian, pembangkitan listrik menggunakan sumber daya energi
terbarukan tidak mampu bersaing dengan pembangkitan listrik menggunakan sumber daya
energi konvensional dan nuklir (LWR).
Biaya pembangkitan listrik dengan menggunakan MSR belum dapat ditunjukkan pada
Tabel 4.2. karena pembangkitan listrik dengan menggunakan MSR belum berkembang
sekarang. Akan tetapi dengan kebutuhan bahan bakar MSR yang lebih rendah dibandingkan
dengan kebutuhan bahan bakar LWR, proses penyiapan bahan bakar MSR yang lebih
sederhana dibandingkan dengan proses penyiapan bahan bakar LWR, penanganan limbah
MSR yang lebih sederhana dibandingkan dengan penanganan limbah LWR, desain MSR
yang lebih sederhana dibandingkan dengan desain LWR serta kemungkinan untuk
36

David LeBlanc, 2013, The Curious Tale of Molten Salt Reactor, Presentation to Canadian Nuclear Safety Commission,
Ottawa Branch

19

memperoleh produk samping yang bernilai ekonomis pada MSR,maka biaya pembangkitan
listrik total dengan MSR diestimasikan jauh lebih rendah dibandingkan dengan biaya
pembangkitan listrik total dengan LWR.
Tabel 4.2. Biaya pembangkitan listrik di berbagai negara dengan menggunakan berbagai
moda pembangkitan dengan estimasi tinggi (10 % discount rate).
Negara

Belgia
Perancis
Jerman
Italia
Hongaria
Jepang
Korea Selatan
Austria
Belanda
Swedia
Slovakia
Swiss
Mexico
Amerika Serikat
Brazil
China
Russia
Afrika Selatan
Rerata Dunia (hasil
studi IEA/NEA
estimasi tengah)

Biaya pembangkitan listrik total estimasi tinggi (US$/MWh) [37]


Solar
Nuklir
Batubara Minyak Gas
Hidro
Angin
(PV)
(LWR)

100,43

99,54

109,41

388,14
439,77
615,98

122,61
91,44

107,03
74,25

119,53
94,70

91,06

86,48

146,78
194,74
186,76
229,97

109,14
92,38
82,64
121,62
76,46
48,38

281,51
92,58
704,73

196,53

105,06

234,32

97,92
136,50

136,69
141,64
92,27
93,92
79,02
34,43
118,34
53,99
28 - 75

56,07
213,14

105,19
91,85
104,19
94,84
39,91
65,13

169,79

34,30
51,50

332,78

146,44

186,54

72,01
89,60

77,39
105,29
54,61
68,15

91

33 - 74

52,70
41 - 69

K. PROSPEK PENGEMBANGAN MSR DI INDONESIA


MSR memiliki prospek yang bagus untuk dikembangkan di Indonesia, terutama
pengembangan menuju kepada MSR yang memiliki kemampuan pembiakan (breeding)
menggunakan bahan bakar fertil thorium. Hal ini karena Indonesia memiliki cadangan
sumber daya thorium yang cukup untuk memenuhi kebutuhan energi di Indonesia secara
berkelanjutan dalam jangka waktu yang lama.
Di samping sebagai pembangkit listrik, MSR dengan bahan bakar berbentuk cair serta
sistem proses bahar on line mampu menghasilkan produk samping yang berguna, yaitu
berbagai jenis nuklida rraf hasil dari reaksi fisi.
Dengan kemampuan beroperasi pada suhu tinggi, energi kalor yang dihasilkan dapat
digunakan untuk berbagai proses termal seperti desalinasi, refrigerasi termal, pengeringan
bahan, pemanasan ruangan, berbagai proses kimia endotermik suhu menengah dan suhu
tinggi.
K.1. MSR Sebagai sumber energi untuk proses produksi hidrogen dengan bahan baku air
Salah satu prospek yang sangat menarik adalah aplikasi untuk produksi hidrogen
secara murah dengan bahan baku air. Hidrogen pada masa depan digunakan sebagai bahan
37

Projected Cost of Generating Electricity, IEA, NEA, 2010

20

bakar bagi transportasi laut dan mobil. Hidrogen juga dapat dimanfaatkan sebagai reduktor.
Karbon (kokas) sekarang ini merupakan reduktor yang digunakan oleh sebagian besar
industri logam. Penggunaan karbon sebagai reduktor akan menghasilkan emisi CO 2.
Hidrogen dapat digunakan sebagai bahan reduktor tanpa mengemisikan CO 2. Hidrogen juga
merupakan bahan baku bagi berbagai jenis industri kimia.
Peran yang besar dari hidrogen ini akan menimbulkan tuntutan peningkatan produksi
hidrogen. Hidrogen di bumi terdapat dalam jumlah besar tetapi terikat dalam senyawa lain
seperti air, hidrokarbon dan material organik biologis. Untuk memperoleh hidrogen dalam
bentuk H2 diperlukan proses kimia yang bersifat endotermis sehingga memerlukan energi.
Produksi hidrogen dengan bahan baku sumber daya hidrokarbon (minyak dan gas
alam) tidak direkomendasikan karena prosesnya akan mengemisikan CO 2. Sementara itu,
produksi hidrogen dengan bahan baku material organik biologis juga tidak direkomendasikan
karena material organik biologis lebih baik digunakan untuk keperluan lain terutama sebagai
bahan makanan.
Dengan demikian, produksi hidrogen dengan bahan baku air merupakan solusi yang
paling sesuai. Produksi hidrogengan bahan baku air ini, berapapun besarnya kapasitas
produksi hidrogen yang dihasilkan, tidak akan mengurangi jumlah air di bumi. Hal ini karena
pada saat hidrogen digunakan sebagai bahan bakar, akan kembali diemisikan uap air. Emisi
uap air ini jauh lebih bersih dan ramah lingkungan dibandingkan dengan dengan emisi CO2.
Produksi hidrogen dengan bahan baku air bersifat endotermik. Gambar 4.6.
menunjukkan nilai entalpi yang diperlukan untuk proses produksi hidrogen dengan bahan
baku air sebagai fungi suhu. Berdasarkan gambar 4.6. dapat dibuat ilurasi bahwa untuk
memproduksi 2 kg/s (1 kmol/s) hidrogen, yaitu setara dengan 7,2 ton hidrogen per jam, pada
suhu 500 C, diperlukan daya sebesar 250 MW dalam kondisi ideal. Daya ini semakin besar
pada suhu makin tinggi. Tetapi hal ini bukan merupakan masalah sebab daya yang dihasilkan
pada saat penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar juga semakin besar pada suhu semakin
tinggi.

Gambar 4.6. Entalpi yang diperlukan untuk memproduksi satu mol hidrogen dari air[38]
Karena produsi hydrogen dengan bahan baku membutuhkan energi, maka untuk dapat
memproduksi hidrogen dalam jumlah yang cukup banyak, diperlukan energi yang bersifat
38

Nuclear Options for Hydrogen and Hydrogen Based Liquid Fuel Production, MIT Report : MIT-NES-TR-001, September
2003

21

masif, kontinyu, murah serta tidak mengemisikan CO 2. Sumber daya energi fosil mampu
mensuplai energi secara masif, kontinyu dan murah. Akan tetapi penggunaan sumber daya
energi fosil menghasilkan emisi CO2 sehingga tidak cocok untuk produksi hydrogen yang
bertujuan untuk menyediakan bahan bakar tanpa emisi CO2.
Penggunaan sumber daya energi terbarukan seperti geothermal dan hydropower
mampu mensuplai energi secara masif, kontinyu dan tidak mengemisikan CO 2. Sumber daya
energu geothermal dan hydropower cocok untuk mensuplai energi bagi proses produksi
hydrogen. Akan tetapi ketersediaan sumber daya tersebut hanya pada tempat tertentu dan
relative terbatas. Produksi hydrogen seringkali diperlukan pada lokasi yang jauh dari sumber
daya energi geothermal dan hydropower.
Penggunaan sumber daya energi terbarukan seperti surya, angin, mikrohidro,
gelombban, arus laut dsb tidak mengemisikan CO2. Akan tetapi sumber daya energi ini tidak
mampu untuk mensuplai energi secara masif dan kontinyu karena karakteristiknya yang
hanya mampu mensuplai energi dalam jumlah kecil, tidak kontinyu (intermiten) serta tidak
murah. Oleg karena itu, sumber daya semacam ini tidak cocok untuk menyediakan energi
bagi produksi hidrogen secara masif dan kontinyu.
Sumber daya energi nuklir mampu mensuplai energi secara masih, kontinyu, murah
dan tidemisikan CO2. Dengan demikian, penggunaan sumber daya energi nuklir paling cocok
untuk menyediakan energi bagi produksi hidrogen dengan bahan baku air dkapasitas produksi
yang besar.
Terdapat dua komponen energi yang harus disuplai untuk produksi hidrogen, yaitu
koen energi termal (Ts) dan komponen energi non termal (g). Karena reaktor nuklir
menghasilkan energi utama dalam bentuk energi termal, maka produksi hidrogen dengan
reaktor nuklir akan menjadi semakin efisien jika komponen energi termal (Ts) nilainya
semakin besar.
Gambar 4.6 menunjukkan bahwa pada suhu semakin tinggi, komponen energi termal
semakin besar. Hal menunjukkan bahwa produksi hidrogen akan semakin efisien pada suhu
semakin tinggi. Dengan demikian, reaktor nuklir yang beroperasi pada suhu tinggi akan
mampu untuk mensuplai energi semakin efisien jika dibandingkan dengan rrelir yang
beroperasi pada suhu yang lebih rendah. MSR mampu beroperasi pada suhu yang lebih tinggi
dibandingan LWR. Oleh karena itu MSR lebih sesuai (lebih efisien) dibandingkan dengan
LWR untuk digunakan sebagai pensuplai energi bagi proses produksi hidrogen dengan bahan
baku air.
Terdapat dua proses yang dianggap paling sesuai untuk diaplikasikan sebagai proses
produksi hidrogen bersuhu tinggi dengan bahan baku air laut, yaitu proses elektrolisa uap air
pada suhu tinggi (High Temperature Electrolysis of Steam = HTES) dan proses sulfur yod
(Hydrogen Iod Sulphur Proccess = H-I-S). Kedua proses tersebut mampu memproduksi
hidrogen dengan efisiensi termodinamik hingga mencapai 60 % dengan suhu operasi sekitar
900 C. Gambar 4.7. menunjukkaan skematik HTES sedangkan Gambar 4.8 menunjukkan
diagram skematik proses H-I-S.
Reaktor nuklir dapat dikopel dengan sistem desalinasi air laut untuk meningkatkan
efisiensi pemanfaatan energi. Kalor buangan dari sistem turbin digunakan sebagai sumberr
kalor untuk proses desalinasi. Sebuah reaktor nuklir MSR dengan daya 450 MWth dengan
efisiensi 50 % mampu menghasilkan 225 MWe daya listrik. Daya listrik ini ditambah dengan
sebagian daya termal reaktor sebagian dapat digunakan untuk proses produksi hidrogen
sesuai keperluan. Jika kapasitas produksi hidrogen sebesar 1 kg/s (86,4 ton/hari), diperlukan
energi setara listrik sebesar 125 MWe.

22

Distribution Circulation
Header
Pump

Feed Pump

Cooler
Blower

H2O
1

4
3

5
O2

Distribution
Header

Hydrogen
Separator

H2
17

16
6

7a
Oxygen
Cooler

Hydrogen
Steam
Cooler

Distribution
Header
9

15

14
10 Jet Pump
13

11

Distribution
Header

13a
Process
Heater

Electrolyzer

12

Gambar 4.8. Diagram skematik sistem produksi hidrogen dengan elektrolisa uap air (HTES)
suhu tinggi dilengkapi dengan sistem pengembali kalor regeneratif [39]
SUMBER KALOR
0,5 O2

H2

Reaksi Disosiasi H2SO4 (850 C)


H2SO4 H2O + SO2 + 0,5 O2
Reaksi Disosiasi HI (400 C)
2 HI H2 + I2

H2SO4

2 HI
H2O + SO2

Reaksi Bunsen (120 C)


2 H2O + SO2 + I2 2 HI + H2SO4

I2

H2O
KALOR
BUANGAN

Gambar 4.8. Diagram proses produksi hidrogen dengan proses H-I-S [40]

39

Harto, A.W., Kogenerasi Nuklir


Harto, A.W., Kusnanto, Negara, T.,A., Melfiana, E., 2007, Analisis Sistem Produksi Hidrogen dari Air Menggunakan
Reaktor Nuklir Generasi Keempat
40

23

Sisa daya listrik sebesar 100 MWe disuplai ke konsumen pengguna listrik. Kalor
buangan sistem turbin sebesar 225 MWth dapat digunakan untuk desalinasi air laut dan
mampu menghasilkan hingga 10000 ton air bersih per hari. Untuk kapasitas produksi
hidrogen sebesar 1 kg/s (86,4 ton/hari), diperlukan umpan air sebesar 9 kg/s (778 ton/hari).
Sisa air bersih sebanyak 9222 ton per hari merupakan produk air bersih yang dapat digunakan
konsumen. Produk samping lainnya yang dapat digunakan adalah oksigen (O 2) sebesar 8 kg/s
(691 ton/hari). Gambar 4.9. menunjukkan berbagai jenis produk bernilai yang dapat
dihasilkan dari sebuah reaktor MSR breeder berdaya termal 450 MWth.
Thorium
(200 kg/tahun)

MSR
breeder
(450 MWth)

Energi listrik (205 MWe)


105
MWe

Energi
kalor
Valuable Isotopes :
Mo-99 (765 kCi/hari)
Sr-89 (135 kCi/hari)
I-131 (189 kCi/hari)

Umpan air laut


(20000 ton/hari)

HT 20
MWth
LT 225
MWth
Desalinasi
air laut

Produk energi listrik


(100 MWe)

Elektrolisis
suhu tinggi
(HTES)

Oksigen

Produk O2
(691 ton/hari)

778
ton/hari
Air destilat
(10000 ton/hari)

Produk brine
(10000 ton/hari)

Hidrogen

Produk air bersih


(9222 ton/hari)

Produk H2
(86,4 ton/hari)

HT = High Temperature
LT = Low Temperature

Gambar 4.9. Berbagai jenis produk bernilai yang dapat dihasilkan dari sebuah reaktor MSR
breeder berdaya termal 450 MWth [41].
K.2. MSR sebagai sumber energi untuk membangun sistem industri yang menyerap CO 2
atmosferik dan menghasilkan produk yang memiliki nilai ekonomis.
Emisi CO2 menjadi masalah ekosistem serius karena menumbulkan efek global
warming. Pertumbuhan industri tetap merupakan hal penting untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan umat manusia. Pertumbuhan industri
memerlukan peningkatan suplai energi. Dengan sistem energi yang sekarang, maka
pertumbuhan industri akan selalu berkorelasi dengan peningkatan emisi CO2 ke atmosfir.
Upaya mitigasi yang dapat dilakukan sekarang adalah mengurangi emisi CO2 dengan
meningkatkan porsi penggunaan sumber daya energi non fosil. Teknologi nuklir memiliki
peran besar dalam hal ini, apalagi jika teknologi nuklir dapat dikembangkan menjadi
teknologi yang lebih selamat, aman, murah, tidak menimbulkan masalah limbah radioaktif
jangka panjang serta mampu mencapai sustainabilitas dalam ketersediaan sumber daya
nuklir. Teknologi MSR breeder secara potensial mampu menjawab masalah ini.
Peran teknologi nuklir yang sustainable tersebut dapat dikembangkan lebih lanjut
untuk mengembangkan sistem industri yang secara netto tidak hanya mengurangi emisi CO2,
tetapi akan membuat nilai emisi CO2 menjadi negatif. Dengan demikian, sistem industri yang
dimaksudkan secara netto justru akan mengabsorpsi (menyerap) CO2 dari atmosfir. Dengan
demikian, sistem industri dan energi ke depan akan mengurangi konsentrasi CO 2 di atmosfir.
41

Harto, A.W., Kogenerasi Nuklir, dengan beberapa modifikasi

24

Konsep yang telah dikembangkan untuk menyerap CO2 sering dikenal sebagai konsep
sequestrasi CO2. Konsep sequestrasi CO2 pada awalnya diaplikasikan untuk menangkap CO2
secara langsung dari pengemisi CO2, misalnya saluran gas buang dari mesin-mesin
pembakaran damlam (internal combustion engine), mesin turbin gas dan pengemisi CO2
lainnya. Beberapa jenis senyawa kimia digunakan untuk menangkap CO 2, misalnya adalah
MEA (metil etil amina). Dengan demikian, konsep ini hanya dapat menangkap CO 2 yang
terkonsentrasi tinggi. Konsep ini dapat diaplikasikan pada pengemisi CO2 yang tidak
bergerak seperti pembangkit listrik, mesin-mesin industri dan proses-proses industri lainnya
yang mengemisikan CO2 karena sistem penangkap CO2 harus dipasang langsung pada
saluran gas buang mesin atau proses yang bersangkutan. Untuk pengemisi CO2 yang
bergerak, misalnya kendaraan seperti mobil, pesawat terbang dan kapal laut, maka konsep ini
sulit diaplikasikan.
Untuk dapat menangkap CO2 secara umum, maka dikembangkan konsep
penangkapan CO2 atmosferik. Konsep ini bertujuan untuk menangkap CO2 yang terdapat di
atmosfir. Perbedaan utama konsep ini dibandingkan dengan konsep sebelumnya adalah
konsentrasi CO2 yang ditangkap. Sistem penangkapan CO2 atmosferik harus mampu
menangkap CO2 yang berkonsentrasi rendah (300 ppm 400 ppm) yang terdapat di atmosfir
sedangkan sistem pengangkapan CO2 yang disebutkan sebelumnya hanya mampu menangkap
CO2 berkonsentrasi tinggi (hingga 15%) yang terdapat dalam gas buang proses pembakaran
bahan bakar fosil. Sistem penangkapan CO2 atmosferik diharapkan mampu menangkap CO 2
di mana saja tanpa harus dipasang di dekat pengemisi CO2.
Terdapat berbagai konsep penangkapan CO2 atmosferik. Konsep yang paling
menjanjikan adalah konsep dari Stolaroff [42] . Sistem pengangkapan CO2 atmosferik konsep
Stolaroff bekerja dengan cara mengontakkan aliran udara dengan larutan NaOH. Reaksi
Penyerapan CO2 oleh larutan oleh larutan NaOH adalah sebagai berikut:
CO2(g) CO2(aq)
2 NaOH(aq) + CO2(aq) Na2CO3(aq) + H2O(l)
Setelah dialirkan dalam bentuk droplet pada kolom kontak, larutan penyerap yang
lebih kaya CO2 (dalam bentuk Na2CO3) ditampung dalam kolam penampung larutan
penyerap yang terdapat dalam dasar sistem penangkap CO 2. Cairan ini selanjutnya dialirkan
ke reaktor regenerasi NaOH. Dalam reaktor regenerasi ini, Na 2CO2 dikembalikan menjadi
NaOH dengan cara direaksikan dengan Ca(OH)2. Reaksi regenerasi adalah sebagai berikut:
Na2CO3(aq) + Ca(OH)2(s) CaCO3(s) + 2 NaOH(aq)
Selanjutnya endapan yang menjadi lebih kaya dengan CaCO3 dipisahkan dari larutan
dengan penyaringan. Larutan yang menjadi lebih kaya dengan NaOH selanjutnya dialirkan ke
sistem penyemprot (spray) yang terdapat pada kolom kontak untuk dipergunakan kembali
dalam proses penyerapan CO2 berikutnya.
Endapan CaCO3 selanjutnya dipisahkan dari larutan dengan cara penyaringan.
Endapan CaCO3 yang telah dipisahkan dari larutan selanjutnya dikirimkan ke lokasi
sequestrasi. Diagram sistem penangkapan CO2 atmosferik konsep Stolaroff dapat dilihat pada
Gambar 4.10.
Pada konsep Stolaroff (penangkapan CO2 atmosferik) maupun konsep yang dijelaskan
sebelumnya (yaitu penangkapan CO2 langsung pada emiternya), CO2 yang ditangkap
42

Joshuah K Stolaroff, et.al. , Carbon Dioxide Capture from Atmospheric Air Using Sodium Hidroxide Spray, Environt.
Sci. Technol, 2008, 42, 2728 2735

25

selanjutnya disequestrasikan. Pada konsep Stolaroff, CO 2 dijadikan CaCO3. Pada konsep


penangkapan CO2 langsung, CO2 yang ditangkap oleh MEA juga diubah menjadi CaCO 3.
Pada kedua konsep ini, CaCO3 selanjutnya disimpan di suatu tempat penyimpanan di bawah
tanah dengan maksud supaya CO2 tidak lagi terlepas lagi ke atmosfir. Penyimpanan senyawa
CO2 dalam bentuk padat ini dikenal dengan konsep sequestrasi CO 2.

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Udara keluar
(300 ppm CO2)

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

KETERANGAN :
Blower aliran udara
11 :
Kolam larutan penyerap CO2
12 :
Pengarah aliran udara
13 :
Kolom kontak udara dan larutan NaOH 14 :
Sistem spray NaOH
15 :
Demister
16 :
Chimney
17 :
Pompa sirkulasi Na2CO3
18 :
Reaktor regenerasi NaOH
Pengarturan konsentrasi NaOH

Sistem filter
Pompa sirkulasi larutan
Reaktor pelepasan CO2
Reaktor Regenerasi Ca(OH)2
Pompa sirkulasi Ca(OH)2 slurry
Kompresor CO2
Motor penggerak kompresor CO2
Tangki penampung CO2 untuk
proses selanjutnya

H2O(l)

Ca(OH)(s)
(slurry)

NaOH(aq)

4
2 NaOH(aq) + CO2(g)
Na2CO3(aq) + H2O(l)
(slight exothermic)

CaO(s) + H2O(l)
Ca(OH)2(s)
(exothermic)

10
15

5
Udara
masuk
(400
ppm
CO2)

18

Udara
masuk
(400
ppm
CO2)

14
CaO(s)

Na2CO3(aq) + Ca(OH) 2(s)

CO2(g)

2 NaOH(aq) + CaCO3(s)

(slight endothermic)

3
2

17

12
1

16

CaCO3(s)
CaO(s) + CO2(g)
(endothermic)

11
8

CaCO3(s)

13

Na2CO3(aq)

Gambar 4.10. Diagram skematik sistem penangkap CO2 atmosferik [43]


Konsep sequestrasi CO2 di satu sisi cukup menarik karena mampu menyerap CO 2
atmosferik. Akan tetapi konsep ini di kemudian hari akan menimbulkan masalah serius.
Masalah pertama adalah konsep sequestrasi tidak menghasilkan hasil yang bernilai ekonomis.
Dengan demikian, penerapan konsep sequestrasi akan menjadi beban ekonomi dan beban
peradaban manusia. Masalah kedua bagi penerapan konsep aplikasi adalah kebutuhan
material sequestrasi (misalnya CaO) untuk mengikat CO2. Sedangkan masalah ketiga adalah
kebutuhan lokasi yang tepat untuk sequestrasi.
Supaya sistem penangakapan CO2 tidak menjadi beban ekonomi bagi peradaban
manusia, maka dikembangkan sistem industri yang secara netto bersifat menyerap CO 2. Pada
konsep industri yang bersifat menyerap CO2 netto, CO2 hasil tangkapan akan diproses untuk
menjadi senyawa hidrokarbon atau material karbon yang memiliki nilai ekonomi.
Pengurangan konsentrasi CO2 dari 400 ppm (level sekarang) menjadi 300 ppm akan mampu
menyediakan 120 milyar ton karbon. Konsep industri ini akan diberlakukan kurang lebih satu

43

Diagram skematik disusun berdasarkan konsep dari Joshuah K Stolaroff, et.al. , Carbon Dioxide Capture from
Atmospheric Air Using Sodium Hidroxide Spray, Environt. Sci. Technol, 2008, 42, 2728 2735

26

abad ke depan dan dihentikan ketika konsentrasi CO2 di atmosfir telah berkurang hingga
mencapai level tertentu untuk selanjutnya dievaluasi dampaknya.
Kunci dari sistem industri semacam ini adalah mereaksikan CO 2 yang telah ditangkap
dari atmosfir menjadi senyawa yang memiliki nilai ekonomis. Di antara reaksi yang memiliki
prospek adalah mereaksikan CO2 dengan hidrogen sehingga dihasilkan metanol.
Endapan CaCO3 yang dihasilkan dari proses penangkapan CO2 atmosferik
dimasukkan suatu reactor yang telah diisi dengan gas hidrogen yang disuplai oleh suatu
sistem produksi hidrogen. Reactor selanjutnya dipanaskan dan diatur tekanan dan suhunya
hingga mencapai suhu dan tekanan tertentu. Akibat pemanasan, gas CO 2 terlepas dari
endapan CaCO2 dengan reaksi sebagai berikut:
CaCO3(s) CaO(s) + CO3(g)
Padatan CaO selanjutnya direaksikan dengan air sebagai berikut:
CaO(s) + H2O Ca(OH)2(s)
Selanjutnya Ca(OH)2 siap digunakan kembali untuk regenerasi Na 2CO3 menjadi NaOH.
Gas CO2 yang terlepas dalam reactor akan bereaksi dengan gas hydrogen dan
membentuk methanol dengan reaksi sebagai berikut :
CO2(g) + 3 H2(g) CH3OH(g) + H2O(g)
Metanol yang dihasilkan dapat secara langsung diperdagangkan karena metanol merupakan
senyawa yang memiliki nilai ekonomi.
Jika diinginkan untuk mendapatkan nilai tambah lebih lanjut, maka metanol dapat
diproses dalam suatu reaktor dehidrasi. Pada reaktor ini, metanol didehidrasi menjadi dimetil
eter (DME) dengan reaksi :
2 CH3OH(g) CH3OCH3(g) + H2O(g)
Dimetil eter juga merupakan suatu produk yang memiliki nilai ekonomi sehingga dapat
diperdagangkan. Proses dehidrasi dapat dilanjutkan sehingga dimetil eter (DME) terdehidrasi
menjadi menjadi etilena dengan reaksi sebagai berikut :
CH3OCH3(g) H2C=CH2(g) + H2O(g)
Selanjutnya, etilena dipolimerisasikan menjadi senyawa hidrokarbon sintetik. Jumlah
rerata atom C pada rantai senyawa hidrokarbon sintetik tergantung dari katalisator yang
dipilih dan tingkat berlangsungnya reaksi.
Senyawa hidrokarbon sintetik dapat digunakan sebagai bahan bakar hidrokarbon
sintetik atau untuk material bahan baku industri berbasis polimer atau grafit komposit.
Penggunaan senyawa hidrokarbon sintetik sebagai bahan bakar akan menghasilkan
sistem industri dan sistem energi yang secara netto mengemisikan CO 2 ke atmosfir sebesar
nol (zero atmospheric CO2 emission). Jika senyawa hidrokarbon sintetik tersebut digunakan
sebagai bahan bakau material, baik material polimer atau material berbasis grafit komposit,
maka akan dapat dikembangkan sistem industri yang secara netto bersifat menyerap CO 2 atau
mengemisikan CO2 ke atmosfir berjumlah negatif (negative atmospheric CO2 emission).
Gambar 4.11. menunjukkan sistem penangkapan CO2 atmosferik yang dilanjutkan
dengan proses-proses untuk menghasilkan produk-produk bernilai ekonomi.

27

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Udara keluar
(300 ppm CO2)
+ uap air

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

KETERANGAN :
Blower aliran udara
13 :
Kolam larutan penyerap CO2
14 :
Pengarah aliran udara
15 :
Kolom kontak udara dan larutan NaOH 16 :
Sistem spray NaOH
17 :
Demister
18 :
Chimney
19 :
Pompa sirkulasi Na2CO3
20 :
Reaktor regenerasi NaOH
21 :
Pengatur konsentrasi larutan
22 :
Sistem filter
23 :
Pompa sirkulasi larutan
24 :

Reaktor pelepasan CO2


Reaktor Regenerasi Ca(OH)2
Pompa sirkulasi Ca(OH)2 slurry
Kompresor CO2
Motor penggerak kompresor CO2
Reaktor sintesa metanol
Kompresor hidrogen
Motor penggerak kompresor
Sistem pensuplai hidrogen
Reaktor dehidrasi metanol
Reaktor dehidrasi dimetil eter
Sistem penambah air
24

H2O(l)
6

NaOH(aq)

10

15

5
Udara
masuk
(400
ppm
CO2)

4
2 NaOH(aq) + CO2(g)
Na2CO3(aq) + H2O(l)
(slight exothermic)

CaO(s) + H2O(l)
Ca(OH)2(s)
(exothermic)

Ca(OH)(s)
(slurry)

Udara
masuk
(400
ppm
CO2)

14

9
CaO(s)

Na2CO3(aq) + Ca(OH) 2(s)

2 NaOH(aq) + CaCO3(s)

CaCO3(s)
CaO(s) + CO2(g)
(endothermic)

11
CaCO3(s)

CO2(g)

(slight endothermic)
12

17

16

13

Na2CO3(aq)
CO2(g)

CH3OCH3 C2H4
+ H2O(g)
23
C2H4(g)
(etilena)
Polimerisasi etilena

CH3OCH3(g)
(dimetil eter /
DME)

2 CH3OH(g)
CH3OCH3 + H2O(g)
22

CH3OH(g)
(metanol)

CO2(g) + 3 H2(g)
CH3OH(g) + H2O(g)
(slight exothermic)
20

19

18
H2(g)

Produk
hidrokarbon
sintetik

21

Gambar 4.11. Diagram skematik sistem penangkap CO2 atmosferik [44] yang dilanjutkan
dengan proses produksi hidrokarbon sintetik
Keseluruhun proses yang digambarkan pada Gambar 4.11. bersifat endotermik
sehingga memerlukan suplai energi. Suplai energi dari bahan bakar konvensional akan
menyebabkan sistem ini tidak ada artinya karena penggunaan sumber daya energi
konvensional akan mengemisikan CO2. Sementara itu, suplai energi dari sumber daya energi
terbarukan mumbuat sistem ini kurang bernilai karena sifat dari sumber daya energi
terbarukan yang hanya mampu mensuplai energi dalam skala kecil dan intermitten.
Penggunaan sumber daya energi nuklir adalah paling sesuai dengan syarat sumber
daya energi nuklir tersebut digunakan pada reactor nuklir yang mampu mencapai
sustainabilitas jangka panjang (reactor pembiak / breeder), tidak menghasilkan limbah nuklir
44

Diagram skematik disusun berdasarkan konsep dari Joshuah K Stolaroff, et.al. , Carbon Dioxide Capture
from Atmospheric Air Using Sodium Hidroxide Spray, Environt. Sci. Technol, 2008, 42, 2728 2735 dan
dimodifikasi dengan penambahan proses sintesa methanol dan hidrokarbon

28

jangka panjang, selamat, aman dan murah. MSR breeder yang menggunakan sumber daya
thorium sangat sesuai sebagai pensuplai energi untuk sistem ini.
Kebutuhan energi terbesar untuk penerapan sistem industri yang secara netto
menyerap CO2 adalah untuk penyediaan hydrogen. Kebutuhan energi untuk proses lainnya
relative lebih kecil dibandingkan kebutuhan energi untuk penyediaan hydrogen. Reaktor
MSR yang mampu beroperasi pada suhu tinggi berpotensi untuk dijadikan sebagai sumber
energi yang murah pada proses produksi hydrogen sebagaimana dijelaskan pada sub bab K.1.
Gambar 4.12. menunjukkan diagram proses dan produk pada aplikasi nuklir pada
Produksi hidrokarbon sintetik jenis kedua yang dilengkapi dengan sistem produksi hidrogen
dan desalinasi secara mandiri.
SUMBER DAYA
ENERGI NUKLIR
(uranium, torium)

Aneka
penggunaan
energi kalor

Umpan air
laut

REAKTOR
DAYA NUKLIR
(MSR)

Energi
kalor

Elektrolisis
suhu tinggi

Desalinasi
air laut

Sistem
penangkap
CO2

Oksigen

CO2

Sintesa
metanol

Hidrogen

Produk
hidrogen

Metanol

Produk
metanol

Dehidrasi
metanol

Udara bersih

DME

Produk bahan bakar


hidrokarbon sistetis

Produk polimer
polietilen

Produk
Oksigen

Produk air
destilat

Air destilat

Produk
brine

Udara
lingkungan

Produk
energi listrik

Energi listrik

Berbagai moda
Polimerisasi
etilen

Etilen

Produk
DME

Dehidrasi
DME

Proses produksi
grafit komposit

Produk grafit
komposit

Gambar 4.12. Diagram proses dan produk pada aplikasi nuklir pada Produksi hidrokarbon
sintetik jenis kedua yang dilengkapi dengan sistem produksi hidrogen dan desalinasi secara
mandiri [45]
45

Harto, A.W., Kogenerasi Nuklir

29

L. ASPEK HUKUM PENGEMBANGAN MSR DI INDONESIA


Sekalipun konsep MSR telah berhasil dikembangkan sejak tahun 1958, hingga
sekarang belum ada reaktor nuklir komersial berbasis MSR. Untuk Indonesia, dalam
pembangunan reaktor nuklir komersial mengharuskan bahwa reaktor nuklir yang dibangun
secara teknologi harus terbukti (proven). Dengan demikian status MSR yang dikembangkan
pertama kali di Indonesia adalah prototip pra komersial. Penerapan teknologi reaktor nuklir
prototip pra komersial di Indonesia telah diatur dalam PP No. 02 tahun 2014 tentang perijinan
instalasi nuklir.
M. KESIMPULAN
a. Perkembangan penerapan teknologi nuklir global dan nasional menuju ke generasi 4
b. Pemilihan teknologi MSR mampu menjawab kekurangan teknologi uranium open cycle
c. MSR memiliki tingkat keselamatan dan keekonomian tinggi di kategori reactor nuklir
generasi 4
d. Keekonomian MSR dapat bersaing dengan batubara
e. Penerapan prototype pra komersial di Indonesia telah diatur dalam PP No.02 tahun 2014
tentang perijinan instalasi nuklir
f. MSR memiliki potensi by product yang memiliki nilai tambah yang besar
REFERENSI
1. Lamarsh, J.R., 1966, Introduction to Nuclear Reactor Theory
2. Energy Watch Group, 2006, EWG Paper No 1-06, Uranium Resources and Nuclear
Energy 03Dec2006 pdf
3. David LeBlanc, 2012, A New Look at Molten Salt Reactors, Presentation to Canadian
Nuclear Safety Commission
4. L. A. Neimark, Examination of an Irradiated Prototype Fuel Element for the Elk River
Reactor, Argonne National Laboratory, ANL-6160, 1961
5. US.NRC, Safety and Regulatory Issues of the Thorium Fuel Cycle, NUREG/CR-7176
ORNL/TM/2013/543
6. W. K. Sarber, ed., Results of the Initial Nuclear Tests on the LWBR (LWBR Development
Program), Bettis Atomic Power Laboratory, WAPD-TM-1336, June 1976
7. R. Bumer, I. Kalinowski, E. Rhler, J. Schning, and W. Wachholz, Construction and
operating experience with the 300-MW THTR nuclear power plant, Nuclear
Engineering and Design, Volume 121, Issue 2, 2 July 1990
8. K. I. Kingrey, Fuel Summary for Peach Bottom Unit 1 High-Temperature Gas-Cooled
Reactor Cores 1 and 2, Idaho National Laboratory, INEEL/EXT-03-00103, April 2003
9. D. A. Copinger and D. L. Moses, Fort Saint Vrain Gas Cooled Reactor Operation
Experience, Oak Ridge National Laboratory, NUREG/CR-6839, ORNL/TM-2003/223,
January 2004
10. E. Critoph et al., Prospects for Self-Sufficient Equilibrium Thorium Cycles in CANDU
Reactors, Atomic Energy of Canada Limited, AECL-5501, 1976
11. S. S. Bajaj, and A. R. Gore, The Indian PHWR, Nuclear Engineering and Design,vol.
236, no. 7, 2006.
12. Anil Kakodkar, Towards sustainable, secure and safe energy future: Leveraging
opportunities with Thorium
13. Tong, L.S. and Weisman, J., 1970, Thermal Analysis of Pressurizer Water Reactor,
American Nuclear Society
14. Lahey, R.T. and Moody, F.J., 1975, The Thermal Hydraulics of Boiling Water Reactor,
American Nuclear Society

30

15. AECL, 1981, CANDU Nuclear Power System, Atomic Energy of Canada Limited,
Mississauga, Ontario, Canada
16. Knief, R. A., 1981, Nuclear Energy Technology Theory and Practice of Comercial
Nuclear Power, Hemisphere Publishing Corporation, New York
17. Djokolelono, M., 1986, Sistem Pembangkit Uap Nuklir, Pengantar Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi Nuklir, Badan Tenaga Atom Nasional, Jakarta
18. KOPEC, Korean Standart Nuclear Power Plant, KSNP (OPR) Design, Korean power
Engineering INC
19. AECL, 1996, CANDU 6 Technical Outline, Atomic Energy of Canada Limited,
Mississauga, Ontario, Canada
20. Snell, V. G., and Webb, J. R., 1998, CANDU-9 The CANDU Product to Meet
Customer and Regulator Requirements Now and in The Future, Pacific Basin Nuclear
Conference Proceeding, p.p. 1445-1453
21. ACR Advanced CANDU Reactor Concept, www.aecltechnologies.com
22. IAEA TECDOC 119, Current Status and Future Development of Modular High
Temperature Reactor
23. Forsbeg, C. W., Peterson, P. F., Zhao, H.H., 2004, An advanced Molten salt Reactor
Using High Temperature Reactor Technology, ICAPP.2004.MSR.Paper, 2004
International Congress on Advanced in Nuclear Power Plants (ICAPP 04) Embedded
International Topical Meeting, 2004 American Nuclear Sociaty Annual Meeting,
Pittsburgh, Pennsylvania
24. a6-msr_fy07.external.pdf
25. M. W. Rosenthal, P. R. Kasten, and R. B. Briggs, Molten-Salt Reactors History,
Status, and Potential, Nuclear Applications and Technology, vol. 8.2, pp. 107117,
1970
26. L. Mathieu et al., Possible Configurations for the TMSR and Advantages of the Fast
Non Moderated Version, Nuclear Science and Engineering, vol. 161, pp. 7879, 2009
27. D. E. Holcomb et al., Fast Spectrum Molten Salt Reactor Options, Oak Ridge National
Laboratory, ORNL/TM-2011/105, July 2011
28. David LeBlanc, 2012, Molten Salt Reactors and the Oil Sands: Odd Couple or Key to
North American Energy Independence?, Presentation to Canadian Nuclear Safety
Commission
29. David LeBlanc, 2013, The Curious Tale of Molten Salt Reactor, Presentation to
Canadian Nuclear Safety Commission, Ottawa Branch
30. Projected Cost of Generating Electricity, IEA, NEA, 2010
31. Nuclear Options for Hydrogen and Hydrogen Based Liquid Fuel Production, MIT Report
: MIT-NES-TR-001, September 2003
32. Harto, A.W., Kogenerasi Nuklir
33. Harto, A.W., Kusnanto, Negara, T.,A., Melfiana, E., 2007, Analisis Sistem Produksi
Hidrogen dari Air Menggunakan Reaktor Nuklir Generasi Keempat
34. Joshuah K Stolaroff, et.al. , Carbon Dioxide Capture from Atmospheric Air Using
Sodium Hidroxide Spray, Environt. Sci. Technol, 2008, 42, 2728 2735

31

Das könnte Ihnen auch gefallen