Sie sind auf Seite 1von 16

ARSITEKTUR JAWA

ARSITEKTUR JAWA;
AYU, AYOM DAN AYEM

PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia terdiri atas ratusan suku dan sub-suku. Masing-masing suku memiliki kebudayaan
baik yang mempunyai kawasan pendukung yang luas maupun sempit. Semua itu dapat dilihat
sebagai suatu warisan budaya yang kaya dan beraneka ragam yang kini menjadi milik keluarga
besar bangsa Indonesia.
Tiap suku/etnik memiliki kebudayaan tersendiri, termasuk didalamnya adalah arsitektur tradisional
yang khas. Bahkan tiap suku ada yang memiliki lebih dari satu pola arsitektur tradisional. Sebagai
contoh etnik batak memiliki beberapa pola arsitektur tradisional, seperti arsitektur Batak-Karo,
arsitektur Batak-Toba, arsitektur Batak-Simalungun dan sebagainya. Etnik Jawa juga memiliki
arsitektur tradisional yang beraneka ragam, antara lain: arsitektur Jawa di Jawa Tengah, arsitektur
Jawa di Jawa Timur, arsitektur Jawa-Tengger, arsitektur Jawa-Banyuwangi, dan sebagainya. Dari
warisan dan kekayaan arsitektur yang beraneka ragam itu masih sangat sedikit yang diteliti dan
ditulis oleh bangsa sendiri maupun orang asing yang sering lebih berminat dan berkesempatan
menekuninya.
Dengan demikian rakyat Indonesia sering lupa atau bahkan kurang paham tentang warisan budaya
nusantara yang berupa arsitektur tradisional itu, sebab perlu dimaklumi bahwa masih sedikit pula
usaha untuk memperkenalkannya. Akibatnya tak heranlah kalu di bumi nusantara ini muncul
arsitektur impor seperti rumah mewah bergaya Spanyol, rumah berbentuk kastil/benteng, rumah
bergaya kolonial, mediterania dan sebagainya. Mungkin yang dikejar adalah citra modern atau
memiliki bentuk lain dari yang lain, namun apa daya karena barang impor maka yang mungkin di
tempat asalnya merupakan produk yang cocok dengan alamnya, manusianya dan budayanya, maka
disini mungkin bahkan merupakan hasil yang kebalikannya. Yang didapat bukanlah modernisasi
tetapi westernisasi.
Di Pulau Jawa yang subur dan kian padat penduduknya ini mendapat warisan arsitektur Jawa yang
sangat kaya, adi luhung dan ternina bobokkan. Arsitektur Jawa tidak lagi memiliki buku anutan atau
pedoman yang dapat dibanggakan seperti masyarakat Bali yang masih mamiliki Asta Bumi dan
Asta Kosala-Kosali. Kepustakaan yang ada amat terbatas jenisnya dan kalaupun ada tidaklah mudah
untuk mendapastkannya. Karena itu tidaklah mustahil kalau saat ini Arsitektur Jawa kurang banyak
dikenal, dan bahkan mungkin lebih dianggap barang kuno yang tidak berguna ketimbang dianggap
sebagai warisan budaya yang perlu digali potensinya untuk kemudian diangkat sebagai salah satu
arsitektur Indonesia yang berjati diri. Namun terlepas dari itu semua, ternyata Arsitektur Jawa
memiliki citra yang mempesona yaitu: AYU, AYOM DAN AYEM.

PENGERTIAN ARSITEKTUR JAWA


Definisi tentang arsitektur cukup banyak jumlahnya. Namun dalam uraian ini dipilih satu pengertian
yang diharapkan untuk mempermudah pemahaman. Arsitektur dapat diartikan sebagai suatu ilmu
yang mempelajari tentang upaya manusia dalam menciptakan wadah/ruang untuk dan dalam rangka
kehidupannya. Jadi menurut pengertian ini, arsitektur dapat dimaksudkan sebagai proses maupun
sebagai produk/hasil penciptaan. Bahkan dalam arsitektur tradisional antara proses dan produk
bukanlah suatu yang berhenti/terputus, tetapi dapat berkelanjutan dari produk kemudian berlanjut ke
suatu proses, demikian seterusnya.
Arsitektur Jawa adalah arsitektur yang lahir, tumbuh dan berkembang, didukung dan digunakan
oleh masyarakat Jawa. Arsitektur Jawa itu lahir dan hidup karena ada masyarakat Jawa, meskipun
dikenal oleh beberapa orang, nama-nama arsitek Jawa seperti Adipati Ario Santan, Wiswakharman,
dan lainnya. Bahkan banyak bangunan-bangunan Jawa yang adi luhung tidak ada yang mengetahui
siapa arsiteknya. Dengan demikian Arsitektur Jawa lebih dikenal sebagai arsitektur tanpa arsitek.
ARSITEKTUR JAWA ITU AYU
Ayu dapat diartikan/dimaksudkan:
1)
Estetis atau memiliki dan memakai kaidah atau norma seni yang baik;
2)
Simbolis atau menggunakan bentuk-bentuk sebagai perlambang. Perlambang untuk nilai,
waktu, tokoh dan sebagainya.
3)
Kaya, maksudnya sesuatu yang ayu atau indah pada umumnya memerlukan dan dikelilingi
oleh kekayaan baik dalam mutu maupun jumlahnya.
4)
Menampilkan identitas atau jati dirinya. Jadi arsitektur Jawa memiliki identitas atau
menampilkan citra yang memang sesuai dengan tingkatan yang selayaknya atau representatif.
Lalu, bagaimana penampilan citra yang ayu itu pada arsitektur Jawa?
Arsitektur Jawa itu estetis

Estetis merupakan sesuatu yang menyangkut pada masalah keindahan. Jadi arsitektur Jawa itu juga
mengenal dan memakai kaidah estetika seperti keseimbangan (balancing), pengulangan (rhythm),
penekanan (emphasize), proporsi, skala, dan sebagainya.
Dapat dikatakan bahwa pada umumnya bangunan atau rumah Jawa selalu berbentuk simetris atau
setangkup, dan kalaupun tidak simetris tapi tetap memakai kaidah keseimbangan. Kita dapat
melihat bentuk dasar bangunan Jawa yaitu Tajug, Joglo, Limasan, dan Kampung, yang selalu
memperlihatkan citra setangkup atau seimbang.
Bentuk Tajug dan Joglo seolah-olah memiliki titik sentrum atau titik pusat dan memiliki arah
memusat ke atas atau vertikal. Dengan demikian kedua bentuk bangunan ini biasanya digunakan
untuk mewadahi aktifitas-aktifitas yang bersifat suci dan sakral atau yang memerlukan kewibawaan
atau bersifat monumental.
Sedangkan untuk bangunan yang berbentuk Limasan dan Kampung tidak memiliki titik sentrum
dan bahkan lebih menonjol memiliki arah menyamping atau horizontal. Kedua bentuk bangunan ini

umumnya justru digunakan untuk mewadahi kegiatan-kegiatan yang bersifat lebih profan.
Kalau kita berdiri menghadap ke arah selatan di tengah pintu gerbang Pangurakan sebelah utara
Alun-alun Keraton Jogjakarta dan Surakarta, maka kita akan menyaksikan penataan ruang luar atau
landscape yang setangkup dan seimbang. Pohon beringin kurung kembar, bangsal pagelaran yang
simetris dan seimbang. Di Siti Inggil, Regol Brajanala, daerah Kemandungan, Regol Sri Menganti,
dan bahkan kompleks keraton itu sendiri umumnya menggunakan bentuk-bentuk yang simetris.
Arsitektur Jawa itu memakai kaidah pengulangan atau menggunakan irama (rhythm). Untuk
mencapai atau mempermudah kesatuan (unity) diperlukan perulangan atau kesamaan. Masyarakat
Jawa ternyata mahfum tentang hal itu. Pada pola ruang luar, bisa dilihat contohnya seperti Alunalun Keraton Jogjakarta dan Surakarta yang ditanami pohon-pohon beringin dengan jarak yang
selalu berulang dan masing-masing pohon dipangkas dengan bentuk yang sama. Pohon-pohon itu
ditanam mengelilingi alun-alun utara sehingga menimbulkan suasana yang lebih formal atau resmi
dan berwibawa. Pada alun-alun utara juga dapat ditemukan bentuk-bentuk bangunan yang berulang,
yaitu bentuk bangunan Joglo. Pada sekeliling alun-alun terdapat banyak bangunan Joglo yang
mempunyai bentuk dan dimensi yang relatif sama. Bangunan yang dikenal sebagai Pekapalan ini
dimaksudkan untuk tempat beristirahat para bupati dan untuk menambatkan dan memelihara kudakuda tunggangan para bupati itu.
Demikian juga kalau kita sedang berjalan-jalan di daerah Kotagede dimana kita bisa menjumpai
perumahan rakyat dengan bentuk dasar yang sama yaitu: Pendopo/Joglo, Pringgitan, Dalem dan
Pawon, dan yang dibangun dalam persil yang ukuran dan bentuknya relatif sama. Atau kita bisa
menengok ke daerah perkampungan di luar keraton dengan mudah akan menemukan bentuk
bangunan Kampung yang banyak digunakan oleh masyarakat umumnya.
Elemen bangunan Jawa juga mengenal dan menggunakan irama. Penutup atap yang menggunakan
genteng yang memiliki bentuk, dimensi dan bahan yang selalu sama. Pintu dan jendela pun
umumnya memiliki bentuk dan ukuran yang sama. Bahkan untuk dindingnya juga dibuat dari
gedheg (anyaman bambu) yang mempunyai motif ragam hias yang berulang. Saka Guru, Saka
Pengarak, Saka Penanggap masing-masing memiliki bentuk dan ukuran yang sama dan berulang.
Arsitektur Jawa itu berirama.
Apakah arsitektur Jawa juga mengenal dan memakai kaidah penekanan (emphasize)? Tentu saja.
Kita kembali melihat Alun-alun utara Jogjakarta. Di sana ditanam pohon beringin yang mengelilingi
alun-alun tersebut. Pohon-pohon itu memiliki irama dalam bentuk, jenis, dan jarak penanamannya.
Tapi di tengah alun-alun terdapat dua pohon beringin besar yang diberi nama Dewandaru dan
Jayandaru. Meskipun berirama karena kembar, tetapi kedua pohon tersebut mendapat perlakuan
yang istimewa dan sangat berbeda dengan pohon beringin yang ditanam di sekeliling alun-alun
utara itu. Kedua pohon beringin kembar itu ditanam di tengah-tengah alun-alun dan dibuatkan pagar
tembok keliling yang berbentuk dan berukuran sama. Dengan demikian, keduanya merupakan
gong atau tekanan (emphasize). Di Alun-alun Selatan juga bisa kita temukan dua pohon beringin
kembar diantara pepohonan beringin lainnya.
Lingkungan dalam atau tata ruang rumah Jawa juga mengenal adanya penekanan. Rumah Jawa
yang lengkap pada umumnya terdiri atas: Pendopo, Pringgitan, Dalem atau Griya Ageng, Senthong,
Gadri, dan Pawon. Nilai kesucian/kesakralan dan privasi berangkat dari arah depan menuju kea rah
belakang tetapi tidak berakhir di pawon. Justru mereka ditata sedemikian rupa sehingga nilai sakral
yang tertinggi terdapat pada Senthong Tengah karena sumbu simetri yang datang dari arah depan
dan belakang umumnya berhenti di ruang senthong tengah itu. Demikian pula untuk ketinggian
lantainya merupakan level yang tertinggi diantara permukaan lantai ruang lainnya.
Keraton Jogjakarta dan Surakarta yang mempunyai penataan ruang luar yang semakin ke belakang
(ke arah selatan) semakin sakral dan privasi yang tinggi. Ia tidak berakhir atau berpuncak di Siti
Inggil Dwi Abad atau Alun-alun Kidul, tetapi justru di daerah Kedaton yang letaknya nyaris berada
di tengah wilayah keraton itu.
Apakah Arsitektur Jawa mengenal dan menggunakan proporsi?

Memang ia tidak mempunyai golden section Leonardo da Vinci di kalangan teknisi dan seniman
dimana-mana. Namun masyarakat Jawa memiliki norma sendiri dalam menentukan proporsi.
Mereka menggunakan perhitungan Sri, Kitri, Gana, Liyu dan Pokah. Bangunan griya/dalem ageng
menggunakan perhitungan Sri, artinya panjang blandar (balok) dan pengeretnya bila dibagi dengan
bilangan lima harus bersisa bilangan satu, atau bisa dijabarkan kedalam rumus berikut ini:
n
= x + N
5

n = panjang blandar/pengeret

x = bilangan genap
N = angka neptu
Jadi Dalam/Griya Ageng sebaiknya memiliki panjang blandar 21 kaki, 26 kaki atau 31 kaki dan
pengeretnya 16 kaki atau 21 kaki. Rumah untuk pendopo harus menggunakan hitungan Kitri,
Gandhok menggunakan Gono. Regol dan Bangsal harus menggunakan Liyu, sedangkan Lumbung,
Gedhongan, dan sebagainya harus menggunakan Pokah.
Oleh karrena itu, meskipun pendopo dan griya ageng masing-masing menggunakan bentuk joglo,
namun proporsinya harus lain, yang satu menggunakan Kitri, sementara yang lainnya harus
memakai Sri. Dengan demikian maka tampilan kedua bangunan tersebut akan menunjukkan
proporsi yang berbeda.
Arsitektur Jawa juga mengenal dan menggunakan skala.
Seperti Alun-alun Utara, alun-alun kabupaten dan lainnya memiliki ukuran yang begitu luas namun
diselesaikan dengan benteng keliling dan barisan pohon beringin dan joglo pekapalan. Jadi mereka
mempunyai skala kewibawaan yang tinggi. Tanah di Siti Inggil sengaja dibuat lebih tinggi bila
dibandingkan dengan tanah di pagelaran atau di Kemandungan Lor atau Keben. Ini dibuat agar
dapat menimbulkan kesan resmi dan berwibawa. Namun di Siti Inggil hamper semua bangunannya
(kecuali Bangsal Witana) memiliki ketinggian lantai yang sangat dekat dengan permukaan tanah
sekitarnya. Hal ini dapat diartikan bahwa dengan ketinggian lantai yang rendah itu maka setiap
orang dianggap memiliki penghargaan yang tak jauh berbeda atau diterima oleh raja dengan penuh
keakraban. Bandingkan saja dengan Kuil Parthenon atau White House di Washington maka skala
Keraton Jawa dapat dikatakan begitu akrab atau manusiawi.
ARSITEKTUR JAWA ITU SIMBOLIS
Banyak bentuk-bentuk yang terdapat pada Arsiterktur Jawa yang dimaksudkan atau yang digunakan
sebagai perlambang. Ada yang disimbolkan karena bentuknya yang mirip dengan bentuk yang ada
di alam semesta ini. Misalnya kata Griya yang berasal dari kata Giri Raya (gunung yang besar)
karena rumah Jawa memang pada umumnya memiliki atap yang menjulang tinggi mirip dengan
bentuk gunung.
Elemen atap yang terdapat di daerah dataran tinggi dinamakan Gajah karena memang berskala
besar dan tinggi seperti gajah. Tatanan usuk atau kasau untuk rumah tajug, joglo atau limas an yang
dibuat memusat dan tidak sejajar satu dengan lainnya disebut Satriyo Pinayungan, artinya kesatria
yang dipayungi. Jadi bangunan ini menampilkan kesan/citra wibawa seperti seorang kesatria sejati.
Candra Sengkala Memet merupakan angka tahun yang dinyakatan dalam bentuk-bentuk tertentu.
Candra sengkala memet merupakan perlambang tahun Jawa berdasarkan perhitungan peredaran
bulan. Surya Sengkala Memet merupakan perrlambang tahun Masehi yang berdasarkan perhitungan
peredaran matahari. Kedua sengkala memet ini diwujudkan dengan bentuk fisik yang memiliki atau
dihargai dengan angka atau bilangan tertentu.
Keraton Yogyakarta misalnya, tahun berdirinya ditandai dengan surya sangkala memet di pintu
gerbang Kemagangan dan di pintu gerbang Gadung Mlati yang terdapat bentuk dua ekor naga
raksasa yang ekornya saling berlilitan satu sama lainnya. Hal itu dapat diterjemahkan dengan Dwi
Naga Rasa Tunggal, yang bisa diuraikan menjadi dwi=2, naga=8, rasa=6 dan tunggal=1. dibaca dari
belakang menjadi angka tahun 1682 pada kalendar tahun Jawa.

Kedua naga raksasa itu diberi warna kehijauan sebagai lambang dari pengharapan. Di sisi luar pintu
gerbang tadi, di atas tebing tembok kanan dan kiri terdapat hiasan dua naga yang sia-siap
mempertahankan diri. Ini diartikan Dwi Naga Rasa Wani yang diartikan juga sebagai perlambang
tahun 1682 pada kalendar Jawa. Jadi tahunnya bisa sama ttapi bentuk ragam hiaasnya bisa berbeda
tergantung dari perancangan, tujuan, dan media yang akan diletakkan sengkalan itu. Pada sengkalan
yang kedua tadi, bentuk naga diberi warna kemerahan sebagai simbol keberanian (wani).
Di halaman Kemegangan ini dahulu digunakan untuk menguji calon prajurit keraton untuk
berperang. Jadi suasana yang terjadi adalah marah dan berani, sehingga dipilihlah warna merah
pada naga tadi. Contoh lainnya ada pada pintu gerbang Bangsal Pagelaran. Di atas pintu gerbang
yang menghadap ke alun-alun terdapat ragam hias berupa relief candra sengkala memet yang
berbunyi panca gana salira tunggal, yang bila diartikan dan dibalik susunannya menjadi tahun 1865
pada kalender Jawa. Sedangkan di atas pintu berbang yang menghadap kearah selatan (menghadap
keraton) terdapat relief surya sengkala memet yang berbunyi catur trisula kembang lata yang dapat
diartikan sebagai tahun 1934 pada kalender Masehi. Kedua tahun di atas dimaksudkan sebagai
petunjuk waktu yang sama saat dimuliakannya Tratag Rambat yang beratapkan anyaman bamboo
atau yang sering disebut gedheg oleh masyarakat Jawa yang menjadi bangunan mewah berupa
bangsal pagelaran oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
Akhir-akhir ini di Indonesia popular dengan lukisasn kaligrafi yaitu tulisan huruf Arab yang
dikomposisikan sedemikian rupa sehingga berbentuk masjid, Semar, orang bersembahyang, alam
abstraksi dengan komposisi huruf yang indah dengan tata warna yang beraneka ragam. Ternyata
masyarakat Jawa tempo dulu sudah melakukan hal yang serupa bahkan dalam bentuk perlambang
sehingga huruf Arabnya menyatu ke dalam bentuk imajinasi yang baru. Di Keraton dan Masjid
Ageng Jogjakarta pada bagian serambinya terdapat hal-hal yang menarik, seperti tulisan Allah,
Muhammad, salallahu, dan sebagainya ditulis dalam huruf Arab yang disusun dan digubah oleh Sri
Sultan Hamengku Buwono I menjadi ragam hiasan yang unik yang diletakkan pada Soko atau
tiang/kolom bangunan sakral/suci yang perlu memancarkan citra kewibawaan contohnya pada
bangunan Masjid Ageng, Bangsal Witono, Bangsal Kencono dan sejenisnya.
Pada soko/kolom itu diselesaikan dengan pola kepala-badan-kaki. Kaki dari soko tersebut adalah
berupa umpak dari batu alam dan bagian badan berupa sokonya itu sendiri serta kepala merupakan
Mayangkoro. Pada umpaknya diberi tatahan ragam hias mirip bentuk bunga atau tumbuh-tumbuhan
yang konon merupakan stilisasi dari huruf Arab: mim-haq dan mim-dzal, yakni dimaksudkan dari
kata Muhammad. Bagian badan yang berupa soko dibagi lagi menjadi pola kepala-badan-kaki. Pada
bagian kepala dan kakinya terdapat ragam hias berbentuk Tumpal Tlacapan yang melambangkan
sinar.
Di bawah Tumpal bagian bawah atau bagian kaki ini terdapat Mirong atau Putri Miring dan di
atasnya lagi (jadi di bawah tumpal bagian atas atau kepala terdapat hiasan/ornamen yang disebut
Probo. Mirong atau putrid miring ini konon melambangkan seorang putri yang tersipu-sipu jika
dilihat dari depan atau samping hanyalah kelihatan separuhnya, yaitu bagian kirinya atau bagian
kanannya saja. Barulah kalau dilihat dari sudut diagonal Putri Mirong ini nampak dalam bentuk
yang seutuhnya. Konon Putri Mirong ini perlambang atau personifikasi dari kehadiran Nyi Roro
Kidul secara samar-samar. Diperoleh keterangan bahwa bentuk ini sebenarnya komposisi huruf
Arab yang berbunyi Muhammad Rasulallah Salallahu yang diartikan sebagai Muhammad utusan
Allah yang terpuji. Mirong sekaligus dikatakan orang sebagai lambing kewanitaan atau Yoni yang
letaknya di bagian bawah. Sedangkan bentuk Probo yang berada di atas Mirong tadi konon
dimaksudkan sebagai stilisasi dari bentuk kelamin pria. Sedangkan Probo itu sendiri diartikan
sebagai mahkota raja Jawa. Secara kaligrafi konon bentuk Probo ini merupakan stilisasi dari kata
Allah. Nah, disinilah salah satu diantara adi luhungnya ragam hias Jawa.
Perlambang yang lain dikaitkan dengan legenda Nyi Roro Kidul yang merupakan seorang dewi
cantik jelita yang menguasai Samudera Hindia dan konon merupakan istri dari Sultan Agung di
Mataram (Kota Gede) dan anak cucunya yang kemudian secara berturut-turut memegang tampuk
pimpinan sebagai raja tanah Jawa. Karena itu dia merupakan dewi yang cantik yang menjadi istri
raja serta menguasai seluruh kekuatan gaib di Samudea Hindia, maka sepantasnyalah ia disegani,

dihormati dan ditakuti oleh masyarakat Jawa.


Oleh sebab itu kalau membuat rumah dan menghendaki kesejahteraan dan bukan kemarahan Nyi
Roro Kidul maka rumah tersebut harus menghadap ke arah selatan. Kalau tidak, berarti yang
empunya rumah itu tak tahu adat atau tak menghormatinya sehingga kalau tidak ingin kena marah
harus membuat upacara atau ritual tertentu sebagai sesaji untuk penangkal/tolak bala. Nah kalau di
dunia arsitektur modern dikenal sebagai pendekatan semiotik pada arsiterktur, maka masyarakat
Jawa sudah mengenalnya dan menggunakannya sejak berabad-abad yang lalu. Bentuknya tidak
secara alamiah tetapi sudah diolah lebih lanjut menjadi bentuk stilisasi yang bisa memberikan
bentuk imajinasi tertentu yang memiliki arti/makna, tujuan dan nilai yang tinggi.

ARSITEKTUR JAWA ITU KAYA

Nampaknya memang sederhana. Bentuk bangunan atau rumah Jawa itu hanya ada 5 (lima) jenis
yang mudah dihafal dan dikenali, yaitu:
1)
Joglo;
2)
Limasan;
3)
Kampung;

4) Tajug atau Masjidan;


5)
Panggang Pe
Namun dari kelima jenis itu masing-masing memiliki varian yang jumlahnya mencapai belasan atau
likuran. Sedemikian sehingga namanya saja cukup sulit untuk diingat, apalagi ciri-cirinya yang juga
sulit untuk dikenal.
Bentuk bangunan Joglo terdiri beberapa varian antara lain:
1)
Joglo Jompongan;
2)
Joglo Kepuhan;
3)
Joglo Pengrawit atau Lambang Gantung;
4)
Joglo Ceblokan;
5)
Joglo Wantah atau Lambang Sari;
6)
Joglo Trajumas atau Sinom Apitan;
7)
Joglo Semar Tinandu;
8)
Joglo Tawon Boni.
Dari beberapa varian tersebut di atas masih dapat dibagi lagi menjadi beberapa sub-varian. Sebagai
contoh Joglo Kepuhan ada empat sub-varian antara lain:
1)
Kepuhan Lawakan;
2)
Kepuhan Limolasan;
3)
Kepuhan Apitan; dan
4)
Kepuhan Jubungan.
Sedangkan Joglo Pengrawit atau Lambang Gantung terdiri atas dua sub-varian yaitu:
1)
Pengrawit Ageng; dan
2)
Pengrawit Mangkurat.
Bentuk bangunan Limasan juga memiliki banyak varian. Beberapa diantaranya yaitu:
1)
Limasan Srontongan;
2)
Limasan Semar Tinandu;
3)
Limasan Pacul Gowang;
4)
Limasan Gajag Mungkur;
5)
Limasan Gajah Ngombe;
6)
Limasan Trajumas;
7)
Limasan Klabang Nyander;
8)
Limasan Sinom;
9)
Limasan Bapangan;
10) Limasan Apitan;
11) Limasan Ceblokan;
12) Limasan Lawakan;
13) Limasan Gajah Nyerang;
14) Limasan Cere Gencet;
15) Limasan Gotong Mayit;
16) Limasan Semar Pinodong;
17) Limasan Lambang Sari;
18) Limasan Trajumas Lambang Gantung;
19) Limasan Lambang Teplok;
20) Limasan Empyak Setangkep;
21) Limasan Trajumas Lambang Teplok;
22) Limasan Sinom Lambang Gantung Rangka Kutuk Ngambang;
23) Limasan Sinom Lambang Gantung Rangka Kutuk Manglung; dan lainnya.
Dari varian tersebut diatas masih bisa dibagi lagi menjadi beberapa sub varian. Sebagai contoh
disini diambil rincian dari Limasan Semar Tinandu yang terdiri atas tujuh sub varian, yaitu:
1)
Limasan Semar Tinandu Tumpeng;
2)
Limasan Semar Tinandu Prapatan Tunggal;
3)
Limasan Semar Tinandu Gembengan;

4)
Limasan Semar Tinandu Kedas;
5)
Limasan Semar Tinandu Pedasan;
6)
Limasan Semar Tinandu Hargo; dan
7)
Limasan Semar Tinandu Puspo.
Bentuk bangunan Kampung ada sembilan varian, yaitu:
1)
Kampung Sinom;
2)
Kampung Srontongan;
3)
Kampung Dara Gepak;
4)
Kampung Jompongan;
5)
Kampung Gajah Ngombe;
6)
Kampung Pacul Gowang;
7)
Kampung Semar Tinandu;
8)
Kampung Trajumas;
9)
Kampung Gedang Selirang.
Belum diketahui secara pasti apakah dari kesembilan varian ini masing-masing juga dibagi menjadi
beberapa sub-varian lagi.
Bentuk bangunan Tajug memiliki beberapa varian, antara lain:
1) Tajug Ceblokan;
2) Tajug Semar Tinandu;
3) Tajug Mangkurat;
4) Tajug Lambang Gantung;
5) Tajug Lambang Sari;
6) Tajug Lambang Teplok;
7) Tajug Sinom Semar Tinandu;
8) Tajug Tawon Boni; dan sebagainya.
Beberapa varian bangunan Masjidan antara lain:
1)
Masjidan Lambang Ceblokan;
2)
Masjidan Lawakan;
3)
Masjidan Payung Agung; dan sebagainya.
Bentuk Tajug dan Masjidan selalu memiliki denah bujur sangkar dan atapnya mengarah memusat
keatas.
Bentuk bangunan atau rumah Panggang Pe adalah bentuk rumah yang paling sederhana yang terdiri
atas beberapa varian antara lain:
1)
Panggang Pe Trajumas;
2)
Panggang Pe Pokok;
3)
Panggang Pe Gedang Selirang;
4)
Panggang Pe Gedang Setangkep; dan
5)
Panggang Pe bentuk kios atau warung.
Dari beberapa uraian di atas maka kita dapat mengetahui betapa kayanya bentuk bangunan Jawa itu,
kaya dalam bentuk dan ragamnya.
Kekayaan bangunan Jawa juga terletak pada ragam hiasnya. Ragan hias Jawa umumnya dinyatakan
pada ukir-ukiran pada kayu yang berfungsi rangka atau struktur bangunan atau sebagai penghias
atau pengisi serta dalam bentuk perabot rumah tangga.
Pada etnis Jawa yang terbentang dari Jawa Tengah sampai Jawa Timur itu terdapat beberapa tipe
atau jenis ragam hias, antara lain:
1)
Ragam hias Majapahit;
2)
Ragam hias Mataram;
3)
Ragam hias Surakarta;
4)
Ragam hias Jogjakarta
5)
Ragam hias Jepara;
6)
Ragam hias Cirebon (transisi);
7)
Ragam hias Madura (transisi); dan sebagainya.

Masing-masing tipe/jenis ini memiliki ciri-ciri yang berbeda satu dengan yang lainnya, namun
masih terlihat adanya persamaan dalam polanya.
ARSITEKTUR JAWA ITU MEMILIKI JATI DIRI
Jati diri disini dimaksudkan untuk dapat menunjukkan kenyataannya sendiri, menunjukkan siapa dia
atau menunjukkan identitas dirinya.
Bentuk tertentu dari bangunan Jawa dapat menunjukkan siapa pendiri dan/atau pemiliknya terutama
dalam hal status sosialnya.
Rumah atau bangunan Joglo Lambang Gantung, rumah Limasan Sinom Trajumas dan Tajug
Lambang Gantung misalnya menunjukkan bahwa pendiri dan pemiliknya adalah seorang raja yang
berdaulat.
Rumah Limasan dan Kampung pada umumnya dimiliki oleh rakyat biasa. Hal ini dapat juga
dimaklumi bahwa bentuk bangunan ini tidak kompleks lagi sehingga biaya pembangunannya tidak
lagi semahal bangunan Joglo atau Tajug. Kalau rakyat biasa itu kebetulan cukup kaya maka
umumnya mereka hanya sampai sanggup membangun rumah atau bangunan Joglo Wantah atau
Joglo Lambang Sari.
Rumah Panggang Pe merupakan bentuk bangunan/rumah Jawa yang paling sederhana yang sering
digunakan keperluan sementara seperti gubug di tengah awah, gardu ronda, warung atau kios dan
sejenisnya. Kalau suatu keluarga hanya sanggup membangun rumah tinggal berbentuk Panggang
Pe, maka ini berarti hanya dalam kondisi darurat saja atau memang keluarga ini kondisinya miskin
atau jelata.
Di pihak lain, bangunan atau rumah itu dapat menunjukkan sifat atau karakter dari bangunan itu.
Bangunan yang beratap memusat keatas dan bersusun (memiliki atap tumpang) itu memiliki sifat
suci/sakral sehingga sering digunakan sebagai empat ibadah, cungkup atau bangunan suci lainnya.
Bangunan Tajug, Masjidan dan Meru di Bali menunjukkan hal itu dengan jelas.
Bangunan Joglo yang mempunyai bentuk atap yang besar dan mewah bagai mahkota pada
umumnya menunjukkan suasana kewibawaan, keagungan dan juga keteduhan atau pengayoman/
perlindungan.
Banguna lain yang memiliki bentuk yang lebih menonjol arah sebaliknya digunakan sebagai
bangunan untuk keperluan yang bersifat profan (fuingsi kemasyarakatan) atau untuk, fasilitas
publik.
Rumah Limasan, Kampung dan Panggang Pe pada umumnya dipakai sebagai rumah tinggal para
kawula, untuk los/kios pasar dan sebagainya.
Dalam hal tata ruang luar (landscape) dan vegetasi, rumah masyarakat Jawa memiliki citra yang
khusus. Halaman rumah Jawa itu umumnya terdiri atas satu halaman yang luas dimana tanahnya
ditaburi/diurug pasir, kemudian di atasnya ditanamu tanaman pelindung yang rindang seperti pohon
sawo kecik, sawo manila, nagasari dan sebagainya.
Halaman rumah Jawa juga dihindarkan tumbuh rerumputan, kalau sampai ada tumbuh rumput liar,
maka segera dicabut. Jadi memang sengaja tidak ditanami rumput seperti arsitektur taman yang dari
Eropa atau Amerika.
Penataan taman pada rumah Jawa itu memberikan suasana kesegaran, keteduhan dan kenyamanan.
Jadi ia menunjukkan jati dirinya karena sesuai dengan prinsip rumah yang teduh dan nyaman juga
tanggap terhadap alam tropis yang lembab di Pulau Jawa ini.
ARSITEKTUR JAWA YANG AYOM
Ayom dapat diartikan sebagai teduh dan terlindung. Jadi dalam hal ini arsitektur Jawa dimaksudkan
sebagai:
1)
Teduh dan rindang: bagaikan pohon beringin yang kokoh berdiri di alam tropis yang lembab
ini. Kehadirannya dapat memberikan keteduhan dan kesegaran udara yang sehat namun tidak
membuat masukm angin

2)
Terlindung/terhindar dari kekuatan metafisika: yang merugikan Arsitektur Jawa diciptakan
untuk keserasian antara alam jagad raya (macro cosmos) dengan alam manusia (micro cosmos).
Kekuatan-kekuatan yang jahat diusahakan untuk ditolak/disingkirkan atau dikendalikan sesuai
dengan kodrat dan kemampuan manusia. Dengan demikian arsitektur Jawa itu tanggap terhadap
kekuatan alam metafisika.
ARSITEKTUR JAWA ITU TEDUH NAN RINDANG
Bagaikan pohon beringin ia dapat melindungi manusia dari panasnya sinar matahari dan melindungi
dari derasnya hujan. Bahkan ia tetap tegak berdiri kokoh meskipun berkali-kali diguncang gempa
bumi.
Rumah/bangunan Jawa selalu mumpunyai citra arsitektur atap, dimana atap bangunan selalu lebih
menonjol dari bagian dinding dan bagian pondasinya. Tetap kokoh berdiri walaupun terkena
guncangan gempa bumi yang dahsyat dan bermahkotakan atap yang menjulang tinggi.
Bangunan berbentuk Joglo, Tajug/Masjidan, Limasan Sinom Trajumas jelas memberikan citra yang
menonjolkan bentuk atap. Bahkan dari bentuknya yang besar itu kemudian dirinci menjadi beberapa
bagian dari yang tinggi di pusatnya lalu dengan atap yang bersusun di sekeliling bawahnya dengan
sistem konstruksi Lambang Gantung, Lambang Teplok, ataupun dengan Lambang Sari.
Konstruksi Lambang Gantung dan Lambang Teplok memberikan penyelesaian penerangan dan
penghawaan alami yang sangat baik sehingga memberikan memberikan kesegaran udara dan
kenyamanan tinggal yang optimal karena pada umumnya kelembaban udara di dalam bangunan
mendekati yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Dengan demikian para penghuninya akan merasa
nyaman berada di dalam rumah itu meskipun di luar rumah terasa panas dan lembab. Tidak hanya
manusia saja, beberapa kawanan burungpun merasa senang berdiam di situ.
Pada umumnya semakin kaya si pemilik rumah maka semakin banyak usaha untuk memperluas
bangunan itu. Oleh sebab itu banyak pendapa yang memiliki beberapa emper diantaranya Emper
Pengarak, Emper Penanggap, Emper Peningrat dan sebagainya. Pada akhir bagian emper biasanya
dibuatkan teritisan yang lebar untuk melindungi saka/kolom dan dinding. Teritisan (overstack) yang
lebar biasanya bertumpu pada batang sangga uwang atau Kathung yang berbentuk melengkung
estetis.
ARSITEKTUR JAWA ITU TERLINDUNG DARI KEKUATAN METAFISIKA
Kekuatan supranatural yang berrsifat jahat dalam proses pembangunan rumah selalu diperhitungkan
dan diatur tata kramanya serta dibuatkan upacara atau ritual khusus baik dengan benda-benda tolak
bala, sesaji maupun dengan mantra-mantra atau doa-doa. Semua itu dilakukan dengan tujuan agar
rumah yang akan atau sedang dibangun itu nantinya akan menjadi rumah yang memberikan
kesejahteraan lahir dan batin, aman tentram, terhindar dari kekuatan-kekuatan gaib yang merugikan.
Sejak dari pemilihan kayu di hutan atau kebun dan memotongnya, memilih lahan untuk persil
rumah itu, memilih hari dan tanggal yang baik untuk membedah bumi dan mendirikan saka guru
dan kerangka bangunan, dan sampai dengan pemilihan waktu yang baik untuk mulai menghuninya,
semuanya diawali dengan survei, identifikasi masalah, evaluasi dan pemilihan alterrnatif dilakukan
dengan cermat dan beningnya hati yang selalu dikaitkan agar diperoleh kesejahteraan dan
ketentraman bagi para penghuninya.
Dalam kitab primbon Jawa Betal Jemur Adam Makna yang disusun oleh Ki Soemodidojo
Mahadewa diuraikan dengan panjang lebar tentang:
a)
Pemilihan desa atau kampung yang akan ditempati;
b)
Pemilihan pekarangan dan persil rumah;
c) Tolak bala untuk rumah dan pekarangannya;
d) Mengusir kekuatan gaib (metafisika) yang merugikan;
e)
Menentukan arah menghadapnya rumah;
f)
Awal mendirikan rumah, membuat/membangun rumah dan memindahkan rumah;

g)
Membuat sumur dan jamban; dan sebagainya.
Dalam kitab tersebut diuraikan mengenai tata nilai yang ada, tata laku ang benar dan bermanfaat,
nama-nama dan waktu-waktu yang baik, uba-rampe atau perangkat untuk upacara atau ritual dan
sebagainya.
Kekuatan gaib yang dianggap akan mendukung datangnya kesejahteraan juga mendapat perhatian
dan penghormatan yang setimpal. Dewa Sedana dan Dewi Sri yang melambangkan kemakmuran
dan kesejahteraan bagi masyarakat petani itu mendapat tempat yang sangat terhormat dan
disakralkan. Senthong Tengah lengkap dengan Krobogan dan Loro Blonyo merupakan tempat
persemayaman kedua dewa itu. Padi Temantenan hasil upacara Wiwitan di sawah yang akan segera
dituai, diboyong ke rumah dan ditempatkan di Senthong Tengah ini.
Tata nilai, tata laku dan sikap terhadap kekuatan gaib pada arsitektur Jawa tentu saja juga
mengalami perubahan dan kelonggaran. Ada beberapa tata nilai dan tata laku yang kini sulit atau tak
mungkin dilakukan.
Sebagai contoh sekarang ini sangat sulit untuk dapat melakukan pemilihan kayu jati di hutan atau di
kebun milik sendiri. Bahkan untuk membangun kembali Keraton Surakarta yang terbakar itupun
mungkin mengalami kesulitan dalam pemilihan kayu jatinya. Cara menebang kayu itu harus dengan
cara yang baik menurut kitab Serat Kawruh Kalang sudah amat sulit untuk dikerjakan, kecuali
pihak keraton mendapatkan otoritas dari pemerintah untuk dapat memenuhi kebutuhannya di hutan
atau dengan cara lain yang masih memungkinkan.
Dengan falsafah hidup Pancasila, maka keagamaan dan kepercayaan yang menjurus ke polities
(serba Tuhan) mulai ditinggalkan. Bahka kini sudah banyak proyek raksasa dibangun dengan
upacara peletakan batu pertama tanpa sesaji menanam kepala kerbau karena hal itu dianggap sikap
dan tata laku kea rah syirik.
Dengan demikian maka peran kepercayaan yang mendekati atau berusaha mengendalikan kekuatan
gaib itu makin longgardan kemudian dirubah dengan syariat agama yang mengesakan Tuhan.
Sikap ngayomi juga ditunjukkan Arsitektur Jawa pada pola tatanan ruang luar (landscape) pada
bangunan rumah tinggal dan penampilan bangunannya. Tata taman halaman rumah tinggal Jawa
mempunyai konsep meneduhi (ngayomi). Disana tidak ditanami rumput dan tanaman perdu pada
sekeliling halaman. Tetapi justru ditanami pohon pelindung yang rindang dan di bawahnya diurug
atau dilapisi dengan pasir bukan dengan rerumputan. Pada pagi hari halaman itu disiram air
sehingga pada siang hari saat matahari memancarkan sinarnya maka terjadilah proses penguapan
alami dari pasir yang basah itu. Karena proses penguapan butuh energi maka diseraplah suhu yang
ada di pasir dan dari udara di sekitarnya. Dengan demikian suhu di halaman tersebut menjadi turun.
Kadar air di dara itu juga turut berubah juga sehingga suhu dan kelembaban di halaman itu menjadi
suasana yang teduh dan segar. Jadi kaau sekarang ini kita mengenal mesin air conditioner maka di
halaman rumah masyarakat Jawa sudah mengenal lebih dulu pengkondisian udara secara alami
yang lebih sehat dan segar.
Penampilan bangunan Jawa pada rumah tinggal juga menampakkan sikap mengayomo kepada para
tamunya dan orang lain yang sekedar lewat di depan pekarangan rumah. Mengayomi kepada tamu
dicerminkan dengan penampilan serambi yang sangat luas yang dinamaka Pendapa, yang biasanya
berupa bangunan Joglo atau Limasan yang relatif terbuka (tanpa adanya sekat dinding). bukan
hanya itu saja, di bagian depan Pendapa terdapat Pringgitan Depan dan bangunan Kuncung sebagai
tempat berhentinya kereta kuda atau andhong yang teduh. Penghargaan terhadap status tamunya
juga dicerminkan dengan penampilan ruang untuk menerima tamunya. Tamu yang memiliki status
orang biasa diterima di Pringgitan depan. Tamu yang berstatus terhormat atau kaum priyayi dan
bersifat resmi diterima di Pendopo. Sedangkan tamu kerabat dan sanak keluarga bisa diterima di
Pringgitan Belakang. Jadi nampak kelihatan betapa masyarakat Jawa itu menghargai tamunya.
Mengayomi kepada orang yang sedang lewat di depan pekarangan rumah ditunjukkan dengan
penampilan bangunan regol di pintu gerbang utama pekarangan yang menghadap ke jalan umum.
Bangunan yang bersifat terbuka dan mengundang ini boleh digunakan oleh siapapun. Di situ pada
umumnya disediakan tempat duduk yang juga berfungsi untuk tidur-tiduran yang berupa dipan
dilengkapi dengan kendi yang berisi air minum yang memang disediakan oleh pemilik rumah untuk

siaa saja yang hendak beristirahat. Jadi bagi orang lain yang sedng alam perjalanan mengalami
kelelahan, kepanasan, atau kehujanan, maka regol merupakan bangunan yang sangat bermanfaat
bagi mereka.
Pada bangunan regol ini juga diletakkan Kenthongan sebagai alat komunikasi dan tanda serta
peralatan lain berupa pasir dan ganthol untuk perangkat pemadam kebakaran.
Pintu regol biasanya terletak di bagian dalam bangunan itu sehingga bangunan itu lebih bersifat
terbuka keluar terkesan welcome, ramah dan ngayomi bagi musafir yang memerlukan perlindungan.
Dari contoh-contoh diatas dapat kita simpulkan bahwa Arsitektur Jawa pada prinsipnya bersifat
ngayomi, baik di depan pekarangan/halamannya maupun pada penampilan bangunannya. Demikian
juga bisa mengayomi penghuninya terhadap pengaruh kekuatan gaib yang jahat dan menghormati
kekuatan gaib yang akan membawa keberuntungan/kesejahteraan.
ARSITEKTUR JAWA YANG AYEM
Ayem dapat diartikan tentram. Tentram bisa terjadi apabila beberapa faktor bisa terpenuhi,
diantaranya:
a)
Kesejahteraan; arsitektur Jawa diciptakan dalam rangka memenuhi kesejahteraan pemakainya
atau penghuninya baik secara lahir maupun batin, khususnya dalam hal bermasyarakat dan
menempatinya.
b)
Keamanan; bangunan Jawa kokoh berdiri cukup megah dengan bermahkotakan atap itu selalu
didukung oleh sistem struktur rangka kayu yang fleksibel dan kuat. Struktur ang dipakai itu ternyata
cukup kuat menghadapi guncangan gempa bumi.
c)
Keselarasasn; arsitektur Jawa selalu berusaha menyelaraskan diri dengan alam fisik di
sekitarnya dan menyelaraskan diri dengan masyarakatnya. Jadi selalu diupayakan dengan
meniadakan timbulnya pertentangan.
Nah, bagaimana penampilan citra ayem itu pada arsitektur Jawa. Berikut ini pembahasannya.
ARSITEKTUR JAWA ITU MENUJU KESEJAHTERAAN
Artinya bahwa Arsitektur Jawa sebagai wadah yang mendukung terciptanya kesejahteraan bagi para
penghuni atau pemakainya, baik secara lahir maupun batin. Dalam kitab Betar Jemur disebutkan:
Bismilllahi rahmanirrohim,
Nyawa sejati, sukma sejati, ya ingsun sejatining sukma, ambyah kummel (nuli idu kaping telu,
sarwi megeng napas, banjur ndonga maneh).
Badanku badan rohani, pinernahake ing segara, asat kang banyu, ing gunung gugur, ing kayu
angker rubuh, ing wong jail dadi sabar selamet les tanpa daya.
Itulah doa orang Jawa untuk penawar lemah sangar dan kayu aeng (tanah angker dan kayu bertuah).
Hal itu dimaksudkan agar tanah dan bahan bangunan dan kayu yang akan digunakan untuk
pembangunan itu nantinya tidak akan memberikan gangguan metafisika kepada penghuninya dan
justru diharapkan akan memberikan dukungan kearah kesejahteraan kepadanya.
Untuk mendirikan rumah perlu memperhitungkan hari baiknya. Kalau tidak diperhitungkan dengan
cermat mungkin akan menimbulkan hal-hal yang menjauhkan dari kesejahteraan dan mendekati
pada kesengsaraan. Menurut Betal Jemur Adam Makna disebutkan:
Petung ngedegake utawa ndandani omah:
Miturut wiwite dina lan pasarane, neptune digunggung banjur kapetung: sri, kirtri, werdi, candhi,
rogoh, sempoyong.
Yen tiba sri = sugih dayoh, kitri = karejeken, werdi = sugih anak, candhi = kejen keringan, rogoh =
asring kemalingan, sempoyong = asring kepaten.
Jadi kesimpulannya, kalau hitungannya jatuh pada sari, kitri, werdi atau candhi maka merupakam
hari yang baik dan akan membawa kemakmuran. Sebaliknya kalau hitungannya jatuh pada rogoh
dan sempoyong, maka itu merupakan hari yang buruk sehingga nantinya akan membawa
kesengsaraan.

Disamping primbon Betal Jemur Adam Makna maka Serat Centhini yang nama aslinya Serat
Tambang Raras itu juga banyak memuat tentang berbagai ukuran yang digunakan dalam proses
pembangunan rumah.
Pada Serat Centhini terjemahan Ki Tarjan Hadijaja dan Ki Kamajaya diuraikan bagaimana mencari
ukuran yang baik agar mendatangkan kemakmuran bagi pemiliknya dalam hal:
1)
Ukuran untuk mendirikan rumah dan bangunan lainnya;
2)
Ukuran tiang atau kolom;
3)
Jumlah kasau atau usuk;
4)
Ukuran tinggi pagar;
5)
Luas tanah untuk pekarangan/halaman;
6)
Jarak antara rumah dengan pendapa;
7)
Jarak antara rumah dengan kandang; dan
8)
Ukuran mendirikan kandang.
Demikian cukup banyak lambing, tata nilai dan tata laku, serta ukuran yang telah ditetapkan oleh
masyarakat Jawa dalam rangka membangun rumah, sehingga kalau dapat dipilih dan ditentukan
alternatif yang baik maka diharapkan bangunan dan pekarangannya itu akan dapat mendatangkan
kemakmuran bagi para penghuninya baik lahiriah maupun batiniah. Serat Centhini yang lebih
dikenal sebagai ensiklopedia Jawa. Hanya para sesepuh desa yang sering disebut sebagai dukun
atau orang tua yang biasa memiliki dan memahami hal-hal yang terkandung dan termaksud dalam
kitab Jawa kuno itu.
Bagi setiap keluarga yang akan membangun rumah maka biasanya mereka akan memdatangi dukun
tersebut untuk memohobn pertolongannya agar bersedia membantunya sedemikian rupa sehingga
rumah itu akan dapat memberikan keberuntungan dan kemakmuran dan kondisi tertentu seperti
penghuninya dapat menjadi lebih berwibawa (bagi seorang pamong), memperoleh rejeki dalam
berusaha (bagi seorang pedagang) dan sebagainya.
ARSITEKTUR JAWA ITU MEMBERIKAN SUASANA AMAN
Maksud aman disini adalah terhindar dari kekuatan jahat atau buruk yang tidak dikehendaki baik
yang datang dari alam nyata seperti hujan, panas, gempa bumi, dan binatang, maupun dari alam
gaib atau metafisik dan dari kejahatan manusia lainnya.
Pada saat daerah Jogjakarta dan sekitarnya diguncang gempa bumi yanfg dahsyat (konon saat
meletusnya Gunung Kelud), kompleks Keraton Jogjakarta yang dirancang dan dibangun oleh orang
Jawa ternyata masih tetap berdiri kokoh dengan kerusakan yang tidak begitu parah. Sedangkan
kompleks Taman Sari yang berada di sebelah barat keraton itu, yang dirancang oleh orang Portugis
dengan sistem dinding pemikul (bearing wall) ternyata sebagian besar mengalami keruntuhan yang
cukup fatal. Inilah salah satu bukti yang nyata, bahkan sampai sekarang ini masih dapat dilihat
peninggalannya. Terbukti bahwa bangunan Jawa bisa menyesuaikan diri dengan kondisi alamnya
yang sering diguncang gempa bumi. Dengan demikian bangunan Jawa itu dapat memberikan rasa
aman. Disamping itu kekuatan efek negatif dari hujan dan panas matahari diselesaikan dengan
membuat arsitektur atap lengkap dengan emper, teritis, kuncung, dan regol. Karena masyarakat
Jawa pada umumnya merupakan masyarakat agraris yang hamper sepanjang hari bekerja di tempat
terbuka, maka kemudian rumah Jawa justru dibuat agar penghuninya betul-betul terhindar dari
pengarih buruk cuaca seperti panas dan hujan. Bahkan sering kita jumpai Griya Ageng memiliki
tembok massif dengan jendela dan penerangan yang sangat minim sehingga suasana di dalam
rumah terasa gelap dan pengap.
Dalam kitab Betal Jemur terdapat satu penjelasan tentang tata laku di dalam membangun rumah
agar rumah itu nantinya tidak dimasuki atau ditakuti nyamuk. Berikut ini penjelasannya:
MURIH OMAH ORA KELEBON LEMUT
Wiwit ngedegake saka guru nganti sarampunge, kang pada nyambut gawe ora kena ura-ura, omong
kang tanpa padah, geguyon, kenane mung omong rerembugan bab penggawean sarta ora kena udud,
nginang, njajan, mangan ana sajroning omah kang lagi digarap. Dene yen arep mangan, ngombe,

ngudud, lan sapanunggalane, kudu sumingkir saka panggonan omah kang lagi digarap. Insya Allah
lemut ora wani mlebu.
Kalau hal itu dikerjakan dan memang terbukti, maka betapa banyak uang yang bisa dihemat sebab
obat anti nyamuk yang disemprotkan, dibakar dan lainnya tidak diperlukan lagi, dan bisa merusak
lingkungan hidup dan ekosistem yang ada (bisa menyebabkan keracunan dan pencemaran).
ARSITEKTUR JAWA ITU MENGANUT PAHAM KESELARASAN DAN KESERASIAN
Arsitektur Jawa itu menganut azas keselarasan dan keserasian maksudnya selaras dengan alam
lingkungannya dan masyarakat sekitarnya.
Tata ruang luar pada bangunan Jawa seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya selalu
menyelaraskan dengan alam sekitarnya. Lingkungan masyarakat Jawa yang bermata pencaharian
bidang agraris itu selalu melihat rumput itu sebagai musuh bagi tanaman budi dayanya, sehingga
manfaat rumput hanya digunakan untuk bahan pangan bagi hewan-hewan ternak atau bahan
penutup atap. Dengan demikian halaman rumah Jawa diuopayaka untuk terhindar dari tumbuhnya
rumput ilalang. Tanah pekarangan iasanya dilapisi dengan pasir urug agar tidak mudah becek dan
cepat menghisap air sehingga menjadi cukup keras dan kering. Di halaman itu sering ditanami
pohon-pohon yang rindang seperti pohon sawo kecik. Jadi selain memberikan keteduhan,
pepohonan itu juga memberikan manfaat lain dan nilai tambah seperti buahnya yang bisa dimakan
dan/atau dijual, tampilan pekarangan menjadi elok, beraroma harum, dan lainnya.
Alam lingkungan Jawa yang tropis diselesaikan dengan pemberian atap sebagai mahkota dan
banyaknya ruang-ruang terbuka seperti Pendapa, Pringgitan, Kuncung dan Regol sehingga
menimbulkan kesan serasi dan menyatu dengan lingkungannya.
Penampilan bangunan juga menganut unsur keselarasan dan keserasian. Masyarakat pada umumnya
tidak akan berani membuat dan mendiami bangunan yang berbentuk Joglo Pengrawit, Limasan
Trajumas, dan Tajug karena takut kuwalat meskipun si pemilik merasa cukup kaya (tapi tak
mungkin menyamai kekayaan rajanya) maka ia akan cukup puas dengan membangun rumah ang
berbentuk Kampung, Limasan biasa dan palig tinggi Joglo Lambang Sari.
Jadi ada keselarasan antara tampilan bangunan dengan srtatus pemiliknya. Bangunan untuk raja
tidak akan didirikan oleh, dan untuk rakyat kebanyakan, begitu juga sebaliknya.
Meskipun azas gotong royong dalam masyarakat Jawa merupakan satu nilai dan tatanan yang harus
dipenuhi, namun dalam penampilan bangunan rumah tinggal (permukiman) ternyata tidak
diwujudkan dengan rumpun bangun yang komunal dan tipikal seperti di daerah Madura, Toraja,
Batak, Nias dan sebagainya.
Rumpun bangun pemukiman masyarakat Jawa itu justru bersifat mandiri atau soliter, artinya setiap
keluarga pada prinsipnya memiliki satu rumpun bangun berupa: rumah, halaman, dan
kebun/pekarangan. Jadi satu kepala keluarga selalu memiliki seperangkat rumpun bangun tersebut.
Kalau kepala keluarga tersebut memiliki anak yang sudah dewasa dan menikah maka keluarga baru
tersebut akan dibuatkan rumpun bangun rumah yang serupa di tempat lain. Jadi di rumpun bangun
Jawa amat jarang ditemukan adanya halaman bersama seperti Tanean Lanjang di Madura, terkecuali
apabila kemampuan keluarga tersebut sangan terbatas sehingga tidak mampu lagi menjalankan
prinsip itu lagi.
Hal itu mungkin merupakan pencerminan dari sifat patrilokal yang sangat kuat yang berlaku di
masyarakat Jawa. Dengan adanya unit perumahan yang mandiri ini maka selain setiap keluarga
selalu diajari hidup mandiri dan dimaksudkan agar konflik antar keluarga besar dapat dihindarkan.
Dengan demikian diharapkan akan menghasilkan keluarga-keluarga yang ayem di dalam suatu
komunitas yang ayem tenteram juga.
Suasana yang aden ayem inilah mungkin juga yang membantu atau mendorong terjadinya
masyarakat yang cenderung statis. Alam tropias yang subur ini juga ikut meninabobokkan
masyarakatnya karena selalu dimanjakan oleh alamnya, meskipun kondisi itu tak bakal berlangsung
lama/abadi. Tidak seperti masyarakat yang berada di daerah yang memiliki empat musim, sehingga
apabila manusia tidak memiliki bekal hidup yang dikumpulkan pada musim-musim sebelumnya,

maka mereka akan mati kedinginan dan kelaparan.


Demikianlah nampak pada kita bahwa Arsitektur Jawa seperti yang diuraikan di atas memberikan
suasana yang adem ayem tentrem kerta tur raharja.
PERMASALAHAN ARSITEKTUR JAWA
Suatu fakta yang dapat kita mati pada saat ini adalah bahwa arsitektur Jawa kini sedang tertidur
lelap, sehingga sudah banyak yang mulai tidak mengenalinya apalagi menyayanginya untuk
dilestarikan.
Ada beberapa masalah yang perlu kita sadari dan sewajarnya untuk kita carikan penyelesaian
masalahnya. Kalau tidak mulai sekarang, maka dikhawatirkan Arsitektur Jawa akan tutup usia
atau punah, sedangkan di pihaklain warisan budaya ini merupakan potensi budaya daerah yang
mempunyai nilai adi luhung.
Masalah-masalah itu antara lain sebagai berikut:
1) Arsitektur Jawa sudah mulai kurang dikenal oleh generasi masa kini, ada beberapa sebab yang
dapat kita amati antara lain:
a)
Literatur tentang Arsitektur Jawa sudah hamper langka. Orang yang banyak tahu tentang ilmu
itu sudah semakin langka dan umumnya sudah berusia lanjut juga segan dan takut untuk
menulisnya.
b)
Tidak didukung oleh sistem dan lembaga pendidikan yang memadai. Para siswa di sekolahsekolah umum dan kejuruan di Jawa hampir bisa dikatakan bahwa mereka tidak tahu apa itu Joglo
Pengrawit, Lambang Teplok, Sri-Kitri, pekarangan Indraprasta dan sebagainya. Di Pulau Jawa juga
tidak terdapat lembagai khusus yang mempelajari dan mengembangkan Arsitektur Jawa.
2)
Struktur bangunan Jawa itu tahan gempa namun kini ditinggalkan. Betapa tidak, sebab para
siswa sekolah kejuruan, paa mahasiswa teknik sipil dan arsitektur di Jawa ini sangat kuang
mendapatkan pelajaran tentang sistem struktur dan konstruksi yang dipakai pada bangunan Jawa.
Mereka pada umumnya tidak tahu apa itu blandar, pengeret, saka bentung, usuk pinayung dan
sebagainya. Ini bisa dimaklumi sebab pada saat mereka diduk di bangku penddidikannya maka
mereka justru segera mendapatkan pengajaran tentang struktur dan konstruksi yang berlaku di dunia
barat (yang belum tentu cocok dengan kondisi tapak yang ada di Jawa). Inilah bagian kurikulum
yang perlu disesuaikan dan disempurnakan.
3)
Meskipun Arsitektur Jawa itu adi luhung, tetapi masih memiliki kelemahan atau kekurangan.
Karena Arsitektur Jawa tidur dan adanya penjajahan, maka ia tidak sempat berkembang
menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman. Zaman yang semakin maju biasanya diikuti juga
dengan semakin banyaknya pengkhususan fungsi dan wadahnya. Arsitektur Jawa tidak atau belum
memiliki arsitektur kantor, arsitektur pabrik, arsitektur hotel dan sejenisnya. Karena kegiatan itu
kini juga merambah di tanah Jawa maka dengan mudahnya arsitektur barat menjadi tamu di negeri
sendiri bahkan kemudian cenderung merupakan tamu yang amat berpengaruh di negeri kita. Saat ini
baru mulai muncul bangunan pada proyek-proyek raksasa yang mendapatkan sentuhan Arsitektur
Jawa seperti:
a)
Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng;
b)
Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Jawa Timur, Surabaya;
c)
Pendopo di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta; dan sebagainya
4)
Arsitektur Jawa mulai digemari kembai. Dengan semakin meningkatnya kesadaran akan
pentingnya jati diri bangsa dan kesadaran akan pengertian bahwa kebudayaan daerah yang bermutu
akan menjadi kekayaan budaya nasional Indonesia. Maka tampak jelas bahwa saat ini sudah ada
kecenderungan untuk kita makin menghargai warisan budaya leluhur kita dan semakin tampak
usaha-usaha untuk mengembangkannya. Hal ini tampak jelas pada
a)
Penggalakan pemakaian busana tradisional (misalnya batik dan kebaya);
b)
Penggalakan produksi kerajinan daerah;
c)
Makin digemarinya produk-produk jamu dan kosmetik tradisional;
d)
Dikembangkannya (baik produksi maupun pemasaran) perabot-perabot dan ukir-ukiran

tradisional;
e)
Dikembangkannya seni-seni budaya daerah (tari, lagu, dan lainnya)
f)
Serta usaha-usaha lainnya untuk melestarikan kebudayaan asli Indonesia.
Itulah suatu pertanda zaman bahwa bangsa kita makin menyadari pentingnya identitas bangsa dan
makin menyadari bahwa kita mempunyai warisan kekayaan budaya tradisional yang tak ternilai
harganya.
Selain proyek-proyek yang tersebut diatas, kini juga mulai nampak penggunaan bangunan
tradisional Jawa pada beberapa kawasan pemukiam baru (real estate), tentu saja dengan
menyesuaiksm dengan tingkat kemajuan masa kini. Namun demikian tanpa adanya bimbingan dan
suasana yang mendukung kehadirannya itu maka dikhawatirkan nanti justru akan semakin terdesak
dengan arsitektur barat yang pada umumnya justru tidak ada keserasian dan keselarasan dengan
situasi dan kondisi alam dan masyarakat kita.
KESIMPULAN
Arsitektur Jawa yang ayu, ayom dan ayem, serta adi luhung ini sekarang tengah tertidur pulas.
Bangsa Indonesia dewasa ini tengah menyadari betapa pentingnya identitas bangsa/daerahnya. Oleh
sebab itu makin disadarinya upaya untuk melestarikannya dengan cara mermpelajarinya, meneliti
dan mengembangkan serta mendokumentasikan potensi-potensi yang ada dalam budaya nasional
yang memiliki jati diri.
Arsitektur Jawa inipun tidak semakin dipojokkan oleh arsitektur asing yang dianggap lebih modern)
karena berdalih gaya internasionalis, yang pada prinsipnya juga diikuti oleh kegiatan perekonomian
multinasional. (atau berdalih agar nampak lebih keren seperti bangsa asing). Kita bisa memaklumi
sebab kita pernah dijajah oleh bangsa asing sebagai inferior dan pada umumnya akan berkiblat ke
bangsa yang dianggap lebih superior itu.
Namun demikian kita harus menyadari bahwa semakin pentingnya untuk menumbuhkan kesenian
dan kebudayaan daerah sehingga kita dapat berdiri sebagai bangsa yang berdaulat yang memiliki
harga diri dan identitas tersendiri di tengah-tengah pergaulam antar bangsa saat ini yang kian
terbuka.
Selain itu semakin terlihat pentingnya membangun kembali arsitektur Jawa dan arsitektur daerah
lainnya di Nusantara ini tentu saja dengan penyesuaian dan pengembangan yang dianggap perlu.
Sudah sepantasnya kalau kita mendorong dan mengupayakan terbentuknya lembaga pendidikan
yang khusus menangani, mempelajari, meneliti dan mengembangkan budaya dan arsitektur Jawa,
semacam Javanology.

Das könnte Ihnen auch gefallen