Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
7/10/2008 6:22:48
26 Juni 2008
Dalam kitab Asbâbun Nuzûl, karya Al-Imâm Abul Hasan ‘Ali ibnu Ahmad Al- Maraknya aksi FPI yang
Wâhidi An-Naisâbûri rhm, Halaman 149, disebutkan bahwasanya sebab turunnya diwarnai kekerasan telah
ayat tersebut bermula dari seorang tokoh pribumi Madinah, asal suku Khozroj, menimbulkan kekerasan di
yang biasa dipanggil ” Abu ‘Âmir Ar-Râhib ”. tengah masyarakat dan
membentuk imej yang tidak
baik terhadap gerakan
Sejak zaman Jâhiliyyah, Abu ‘Âmir menjadi pengikut taat agama Nashrani, dan ia Islam, apalagi banyak
dicinta kaumnya serta punya kedudukan terhormat di Madinah. Namun setelah laskar FPI dalam aksinya
kedatangan Rasulullah SAW ke Madinah, Abu ‘Âmir merasa kehilangan pamor suka membawa dan
memamerkan berbagai
dan kedudukan, akhirnya dengan penuh iri dan dengki ia berkata dengan lantang jenis senjata tajam,
di hadapan Nabi SAW : bukankah ini merugikan
perjuangan dan sekaligus
bertentangan dengan sifat
" ••• •••••• ••••••• ••••••••••••••• •••••• ••••••••••• •••••••• "
rahmatan lil 'alamin bagi
Artinya : ” Tidaklah aku dapatkan suatu kaum memerangimu melainkan aku pasti ajaran Islam?
memerangimu bersama mereka ”.
Bila sikap keras dan tegas
Tercatat dalam sejarah , mulai dari perang Uhud hingga Hunain, Abu ‘Âmir harus dilakukan oleh FPI,
banyak mengambil peran di pihak musuh untuk memerangi Nabi SAW. Karenanya maka kemunkaran yang
tidak berlebihan saat Rasulullah SAW menjulukinya dengan ” Abu ‘Âmir Al-Fâsîq bagaimanakan yang harus
” sebagaimana disinggung dalam kitab Tanwîrul Miqbâs min Tafsîr Ibni ‘Abbâs, ditindak dengan tegas dan
keras? Dan apa pula syarat
halaman 166, karya Abu Thâhir ibnu Ya’qûb Al-Fairûzabâdi. pelaku amar ma'ruf nahi
mungkar dalam perjuangan
Al-Imâm Ath-Thabari dalam tafsirnya menyangkut kedua ayat di atas FPI?
menyebutkan bahwa Abu ‘Âmir Al-Fâsiq adalah aktor utama di balik Perang BACA SELENGKAPNYA
Ahzâb. Ia memprovokasi berbagai puak dan suku Arab untuk secara bersama-
sama memerangi Nabi SAW dan para shahabatnya. KLIK DISINI UNTUK
MELIHAT TANYA
Setelah perang Hunain, Abu ‘Âmir melarikan diri ke Romawi dan meminta JAWAB LAINNYA
bantuan Kaisar Hiraclius untuk memerangi Rasulullah SAW. Dari sana mulailah
Abu ‘Âmir menyurati sejumlah pengikut setianya di Madinah yang selama ini pura-
pura masuk Islam ( kaum munafiqîn ). Ia mengatur strategi agar pengikutnya
mendirikan sebuah masjid tidak jauh dari Masjid Qubâ’ ( masjid pertama yang
dibangun Nabi SAW di pinggir kota Madinah ).
" ••••• ••••• •••••• , ••••••• ••••• ••••••••• •••• ••••• •••• "
Artinya : ” Kami dalam persiapan berpergian, akan tetapi jika kami kembali, Insya
Allah ”.
Saat Rasulullah SAW kembali dari Tabûk, menjelang kota Madinah, datanglah
Jibrîl as membawa wahyu Allah SWT sebagaimana tertera di atas tadi. Melalui
wahyu inilah akhirnya Rasulullah SAW mengetahui bahwasanya masjid tersebut
dimaksudkan untuk kemudharatan, kekufuran, memecah belah persaudaraan, dan
sebagai tempat memata-matai gerak-gerik umat, serta sekaligus untuk tempat
penantian kembalinya Abu ‘Âmir membawa bala bantuan musuh Islam.
" •••••••••••• ••••• •••• •••••••••• •••••••••• ••••••• , ••••••••••••• ••••••••••••• "
Artinya : ” Berangkatlah kalian ke masjid itu, yang zholim penghuninya, lalu
hancurkan dan bakar masjid tersebut ”.
Para Shahabat pun berangkat dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan
Rasulullah SAW dengan baik tanpa sedikit pun keraguan.
Al-Imâm Abul Fidâ’ Ismâ’îl ibnu Katsîr rhm, menceritakan kisah tersebut dengan
panjang lebar dalam tafsirnya yang terkenal, pada Juz II, Halaman 388 – 392.
Sementara Asy-Syeikh Muhammad ‘Ali Ash-Shâbûni rhm meringkaskannya
dengan sangat sederhana dalam kitab Shofwatut Tafâsîr, Juz I, Halaman 557.
Menarik untuk dikaji, sebuah tempat yang bernama ” Masjid ”, bahkan Al-Qur’an
juga menyebutnya sebagai ” Masjid ”, dihancurkan dan dibakar atas perintah
Rasulullah SAW, karena telah dijadikan sebagai tempat kemunkaran.
Dari peristiwa tersebut di atas kita bisa mengambil dua pelajaran penting yang
terkait dengan masalah penghancuran Tempat Ma’siat :
2. Bila tempat yang bernama ”Masjid” saja boleh dihancurkan dan dibakar saat
" ••••••••• •••••••• •••••••• •••••• •••••••• •••• ••••• •••••••• •••••••••• , ••••• ••••• ••••••••••••
••••••••••• ••••• , ••••• ••••• ••••••• ••••••••• •••••••• , ••••• ••••••••• ••••• ••••••• ••••••••••
•••••••••• •••••••••••• "
Artinya : ” Demi Yang jiwaku ada di tangan-Nya, Sungguh aku ingin
memerintahkan pengumpulan kayu bakar kemudian dikumpulkan kayu tersebut.
Setelah itu aku perintahkan untuk dilaksanakan panggilan shalat. Kemudian aku
perintahkan seseorang untuk mengimami orang-orang yang shalat ( berjama’ah di
masjid ). Sedangkan aku akan mendatangi orang-orang ( yang tidak shalat
berjama’ah ), maka aku akan membakar rumah mereka ”.
Sekali pun hujjah ini hanya merupakan sunnah hammiyyah, yang baru berupa
keinginan dan belum terwujud dalam bentuk tindakan, namun setidaknya menjadi
petunjuk akan ketegasan sikap Nabi SAW.
Dan simak pula apa yang diriwayatkan Al-Imâm At-Tirmidzi dalam Jâmi’ nya,
kitab Al-Buyû’, Hadits ke - 1214, yang bersumber dari Abu Tholhah ra, saat mana
beliau memberitahukan Rasulullah SAW bahwa dirinya sebelum masuk Islam
melakukan jual beli khomer untuk menghidupi anak-anak yatim di rumahnya, dan
saat beliau masuk Islam masih banyak menyimpan khomer, maka beliau meminta
izin Nabi SAW untuk membuat cuka dari khomer yang masih ada, lalu Rasulullah
SAW menolak permintaannya dan bersabda kepadanya :
Kisah ini diceritakan pula oleh Al-Imâm Abu Bakar ibnu Muhammad Al-Husaini
dalam kitabnya, Kifâyatul Akhyâr, Juz I halaman 73.
Jangan lupa, simak pula tentang peristiwa penghancuran berhala paska Fathu
Makkah. DR. Muhammad Al-Habsy dalam kitab Sîroh Rosûlillah SAW, halaman
264, menyebutkan bahwa Rasulullah SAW menghancurkan 360 berhala di sekitar
Ka’bah dengan tangannya sendiri, dan beliau hancurkan pula berhala ” Hubal ”
yang ada di dalam Ka’bah.
Sungguh pun demikian rupa yang dilakukan para Nabi, namun Allah SWT tidak
pernah mengecamnya, apalagi menyebut mereka ”Radikal” atau menyatakan
tindakan mereka ”Anarkis”. Bahkan membenarkan dan memujinya.
Semua ini menjadi hujjah bagi aksi penghancuran sarana ma’siat dan
kemunkaran, manakala aksi tersebut menjadi pilihan akhir yang tak bisa tidak
harus dilaksanakan.
SAW, sifatnya khusus dan spesial, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah
untuk yang lainnya ?
Kaidah menyatakan :
DR. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya, Ushûl Al-Fiqhi Al-Islâmi, Juz I Hal. 273,
dengan menukil dari kitab Al-Mustashfa, Irsyâdul Fuhûl dan Hâsyiah Al-Bannâni,
menerangkan tentang maksud kaidah tersebut di atas sebagai berikut :
" ••••• •••••••• ••••••••••••••••• : “ •••••••• ••••••••• ••••• •••••• •••••• ••• ••••••• ••••••• ••••
•••••••• ••••••••• •••• ••••••••••• ••••••• ••••• •••••••••• , ••••••• ••••••••• ••••••••• , •••••
••••••••••• ••••••••••• ". ••••••• •••• ••••••••• •••••••••••• : " •••••••••• •••••••••• ••••••••• •••
•••••••••• •••••••••" . ••••••••••••• ••••• ••••••• •••••••••• ••••• ••••••••• ••• •••••• •••••••••• , •••
••• •••••••••• •••••••••••"
Artinya : ” Mayoritas Ahli Ushul Fiqih mengatakan : ” Dalil umum yang datang
dengan sebab khusus berupa soal penanya atau terjadinya peristiwa atau selainnya
maka tetap berlaku keumumannya, melihat zhâhir lafazh, dan tidak terpaku
dengan sebab ”. Inilah maksud ucapan mereka : ” Pengambilan dalil / hukum
dengan keumuman lafazh bukan dengan kekhususan sebab ”. Dan dalil pada
penetapan umum, bahwasanya hujjah berada dalam lafazh Pembuat Syari’at
bukan dalam soal dan sebab ”.
Nah, melihat dari substansi semua kejadian tersebut di atas terfokus kepada sikap
tegas terhadap kemunkaran, dan ini bersifat umum, karena tidak ada keterangan
dalil yang menyatakan bahwa itu hanya khusus untuk objek tersebut dan terbatas
pada waktu itu saja. Keumuman dalil mencakup kejadian apa pun dan di mana
pun serta kapan pun, yang memiliki substansi sama. Sifat umum ini akan tetap
berlaku selama tidak ada dalil lain yang mengkhususkannya.
3. Bagaimana kedudukan hukum amar ma’ruf nahi munkar ? Dan apa pula
hukum menghancurkan atau membakar Tempat Ma’siat ?
Amar ma’ruf nahi munkar hukumnya adalah fardhu kifayah, artinya bila sebagian
umat sudah menegakkannya dengan jumlah dan kekuatan yang cukup memadai
untuk mengatasi kemunkaran yang ada, maka gugurlah kewajiban dari yang
lainnya.
Namun jika jumlah dan kekuatan para penegak amar ma’ruf nahi munkar tidak
memadai, maka kewajiban belum gugur dari yang lainnya. Bahkan jika itu
menyebabkan kemunkaran tak dapat dilenyapkan, maka berdosalah mereka yang
tidak ikut menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Bahkan sebagian Ulama menyatakan bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah
fardhu ‘ain, artinya wajib atas tiap-tiap individu muslim sesuai dengan
kemampuannya. Hal ini dibahas dengan panjang lebar oleh Asy-Syeikh Asy-Syahid
‘Abdul Qâdir ‘Audah rhm dalam kitabnya At-Tasyri Al-Jinâ-i Al-Islâmi, Juz I Bab
3 Pasal 2, halaman 489 – 513.
" •••••••• •••••••••••••• ••••••••••• •••• •••••••••• •••••• ••••••••• , •••••• ••••• •••• •••• •••••
•••••••••••••• •••••• ••••• •••••••• ••••••••••• •• •••••••••• , ••••• •••••••• ••••••• •••••••••••• ••••
•••••• ••••••••••••••• •••••• •••••• •••••• ••••••• ••• •••••••• "
Artinya : ” Amar ma’ruf nahi munkar itu adalah poros kutub agama, barangsiapa
yang menegakkannya dari muslim mana saja, maka wajib atas yang lainnya untuk
menolong dan membela mereka. Tidak boleh ( haram ) bagi siapa pun untuk duduk
berdiam diri dan pura-pura lupa dari mereka yang menegakkan amar ma’ruf nahi
munkar, sekali pun ia tahu / yakin bahwa gerakan mereka itu tidak akan berhasil
”.
Ada pun penghancuran atau pembakaran Tempat Ma’siat menyangkut salah satu
tekhnis dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar, yang kedudukan hukumnya kembali
kepada hukum fiqih yang lima, yaitu : wâjib, mandûb, mubâh, makrûh dan harâm.
" •• •••••••• ••••••• •• •••••••••• ••••• •••••••• •••••••••••••• •••• ••• ••••••• "
Artinya : ” Dan hukum adalah Wajib dan Mandub, Mubah dan Makruh beserta
Haram ”
Penentuan hukum itu sendiri sangat bergantung kepada tingkat manfaat dan
mudharat yang ditimbulkan, dengan tidak terlepas dari pengaruh situasi dan
kondisi yang ada.
2. Mandub jika manfaat penghancuran / pembakaran jauh lebih besar dari pada
mudharatnya, dan kemudharatan tersebut mudah dihindarkan.
3. Mubah jika manfaat penghancuran / pembakaran jauh lebih besar dari pada
mudharatnya, dan kemudharatan tersebut sulit dihindarkan.
4. Sungguh pun demikian, tetap saja aksi bakar membakar memberi ”kesan”
yang tidak baik terhadap Islam ? Seharusnya dipikirkan cara lain tanpa
harus ada aksi bakar membakar. Lagipula, sehebat apa pun perlawanan kita
kepada kema’siatan, toh kema’siatan itu akan tetap ada hingga Hari
Qiyamat, jadi kenapa harus repot-repot memerangi kema’siatan ?
Ya. Terlepas dari hukum fiqih yang lima, maka dengan pertimbangan fiqhud
da’wah, aksi penghancuran dan pembakaran Tempat Ma’siat harus dihindarkan
sebisa mungkin. Dan kita harus berusaha mencari alternatif lain, sekali pun
membutuhkan lebih banyak pengorbanan waktu, tenaga dan fikiran. Karena
memang pertimbangan ” kesan ” termasuk dari pertimbangan yang pernah
dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam perjuangan da’wahnya.
DR. Muhammad Al-Habsy, dalam kitabnya, Sîroh Rosûlillâh SAW, halaman 180 –
182, menceritakan bahwa di tahun ke – 5 Hijriyyah, seusai Perang Banî
Mushtholaq, rombongan Rasulullah SAW dan para Shahabatnya istirahat di
sumber air Muroysi’. Dedengkot munâfiqîn yang kala itu ikut bersama rombongan,
yaitu ‘Abdullah ibnu Ubay ibnu Salûl, melakukan provokasi jâhiliyyah untuk
mengadu domba antara Muhajirîn dan Anshâr. Kemudian ‘Umar ibnu Al-
Khaththâb ra menghadap Rasulullah SAW untuk meminta izin membunuh sang
Munâfiq, beliau SAW pun menjawab :
" •••••••• ••• •••••• , •••• ••••••••• •••••••• ••••• •••••••••• •••••••• ••••••••••• • ••• ! "
Artinya : ” Bagaimana hai ‘Umar, jika orang-orang mengatakan bahwa
Muhammad membunuh para shahabatnya sendiri ? Tidak ! ”
As-Syeikh Fuâd ‘Abdul Bâqi menukilkan haditsnya secara lengkap dalam kitab
yang menghimpun hadits-hadits muttafaqun ‘alaih, Al-Lu’lu’ wal Marjân, Juz III
hal.194 hadits ke – 1.669, yang lengkapnya sebagai berikut :
" •••• ••••••• •••• •••••• ••••• •••••• ••••• •••••• ••••• : " •••••• ••• ••••••• , •••••••• •••••• ••••
••••••••••••••• ••••••• •••• ••••••••••• , ••••••• •••••••••••••• : " ••• ••••••••••• ! " , •••••••
•••••••••••••• : " ••• ••••••••••••••••• ! " , •••••••• ••••• •••••••• •••• •••••• •••• ••••• •••••••
••••••••• ••••••• : " ••• ••••• ••••••• ••••••••••• • " , ••••••• : " ••• •••••••• •••• ! •••••• ••••••
•••• ••••••••••••••• ••••••• •••• ••••••••••• " , ••••••• : " ••••••••• •••••••••• ••••••••• ! ".
•••••••• •••••••• •••••• •••• ••• •••••• ••••••• : " ••••••••••• • •••••• ••••••• , •••••• ••••••••• •••••
•••••••••••• ••••••••••••• ••••••• ••••••• •••••••• " , ••••••• •••••••••• •••••• •••• •••••••• •••••••
•••••••••• , ••••••• •••••• ••••••• : " ••• ••••••• •••• ! ••••••• •••••••• •••••• ••••• ••••••••••• " ,
••••••• •••••••••• •••••• ••••• •••••••• ••••••• ••••••••• : " •••••• ! ••• ••••••••••• •••••••• •••
•••••••••••• •••••••• ••••••••••• "
Artinya : ”Dari Jâbir ibnu ‘Abdullah ra berkata : ” Saat kami dalam suatu
perjalanan perang, ada terjadi seorang Muhâjir mendorong dengan keras seorang
Anshâr, maka berteriaklah si Anshâr : ” Hai kaum Anshâr ( bangkitlah ) ! Si
Muhâjir pun berseru : ” Hai kaum Muhâjirîn (bangkitlah) ! Rasulullah SAW
mendengar semua teriakan itu, beliau pun bertanya : ” Ada apa dengan seruan
jâhilyyah ini ? Para Shahabat menjawab : ” Wahai Rasulullah, seorang Muhâjir
telah mendorong seorang Anshâr ”. Beliau pun bersabda : ” Tinggalkan semua itu,
sesungguhnya itu perbuatan busuk ”. Kejadian tersebut terdengar oleh ‘Abdullah
ibnu Ubay, ia pun berkata : ” Mereka (Muhâjirin) melakukan itu ? Maka demi
Allah, apabila kita sampai di Madinah, niscaya golongan mulia (Anshâr) akan
mengusir golongan hina (Muhâjirin) dari Madinah ”. ‘Umar ra berdiri menghadap
Rasulullah SAW sambil berkata : ” Wahai Rasulullah, biarkan aku menebas
batang leher orang munâfiq ini ”. Nabi SAW bersabda : ”Biarkan dia ! jangan
sampai nanti orang mengatakan bahwa Muhammad membunuh shahabatnya
sendiri ”.
Sekali pun ‘Abdullah ibnu Ubay seorang munâfiq, bahkan provokator pemecah
belah umat yang layak dibunuh, namun di mata orang-orang kafir kala itu ia
bagian dari kaum muslimin yang menjadi shahabat Nabi SAW, sehingga
membunuhnya hanya akan melahirkan ” kesan ” bahwa Rasulullah SAW
membunuh shahabatnya sendiri.
Ada pun mengenai keberadaan kema’siatan hingga Hari Akhir tidak menjadi
alasan untuk meninggalkan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Justru
seharusnya menjadi motivator yang lebih mendorong peningkatan aksi melawan
kemunkaran, karena mengingat kekuatan Iblis dan keturunannya yang besar serta
keuletan menggoda yang tak mengenal putus asa.
Selama Iblis dan keturunannya ada maka selama itu pula mereka akan senantiasa
berupaya menyesatkan umat manusia di dunia dengan berbagai kema’siatan.
Dalam Al-Qur’an surat Al-A’râf, Al-Hijr, Al-Isrâ’ dan Shâd diceritakan
bahwasanya Iblis semenjak dila’nat oleh Allah SWT karena kesombongannya
menolak perintah-Nya untuk sujud kepada Adam as, Iblis meminta kepada Allah
SWT agar ia dan keturunannya tidak dimatikan hingga Hari Qiamat supaya punya
kesempatan menggoda Adam dan anak cucunya. Dan Iblis pun bersumpah
sebagaimana Allah SWT ceritakan dalam Q.S.38. Shâd ayat 82 – 83 :
" ••••• ••••••••••••• •••••••••••••••• •••••••••••• .•••••• ••••••••• •••••••• ••••••••••••••• "
Artinya : ”( Iblis ) berkata : ” Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan
mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlish di antara mereka ”.
Namun, walau permintaan Iblis untuk hidup hingga Qiamat diperkenankan, dan ia
bersumpah untuk selalu berupaya menyesatkan manusia, yang oleh karenanya
kema’siatan dan kemunkaran akan selalu ada di atas muka bumi ini. Pada
kenyataannya, Allah SWT tetap mengutus para Nabi dan Rasul untuk berda’wah
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, dan mewajibkan hamba-hamba-Nya
Jadi jelas, inti nahi munkar adalah mencegah dan melarang kemunkaran di atas
muka bumi, bukan menafi keberadaannya. Meniadakan ma’siat di dunia secara
keseluruhan adalah sesuatu yang mustahil bagi manusia.
Dewan Pimpinan Pusat Front Pembela Islam, Jalan Petamburan 3/17, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Telp:021-534-1250.
Salurkan dana anda untuk mendukung FPI dalam perjuangan penegakan Amar Ma'ruf Nahi Munkar melalui Bank Muamalat No. Rekening 301.00360.15 Atas Nama
DPP-FPI.
Copyright@2008, All Rights Reserved. Comment and Suggestion, send to admin@fpi.org.
Developed By OYiE Creative.