Sie sind auf Seite 1von 19

BAB I

PENDAHULUAN

Permasalahan penyakit kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang
sangat kompleks dan merupakan permasalahan kemanusiaan seutuhnya. Masalah yang dihadapi
pada penderita bukan hanya dari medis saja tetapi juga adanya masalah psikososial sebagai
akibat penyakitnya. Dalam keadaan ini warga masyarakat berupaya menghindari penderita.
Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap
kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita
kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk
melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat. Lepra adalah penyakit infeksi
kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Nama lainnya adalah lepra, Morbus
Hansen. Saraf primer sebagai afinitas pertama diikuti oleh kulit, mukosa traktus respiratorius dan
organ lain kecuali SSP. Cara penularannya tidak diketahui pasti, sebagian besar ahli berpendapat
bahwa penularan dapat terjadi melalui inhalasi dan kontak pada kulit yang erat dan lama serta
bukan merupakan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar
keringat, dan ASI, namun jarang di urin. Sputum dapat banyak mengandung kuman dari traktus
respiratorius atas. Pada sebagian besar orang yang terinfeksi, penyakit bersifat asimptomatik.
Sebagian kecil terlambat didiagnosis dan terlambat diobati, memperlihatkan gejala klinis dan
mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat. Gejala tersebut antara lain berbentuk
lagoftalmus, gangguan sensibilitas kornea, hilangnya sensibilitas pada tangan dan kaki, kulit
yang kering dengan atau disertai ulkus. Kadang ditemukan tangan dan kaki lunglai serta mutilasi
jari. Keadaan tersebut yang membuat timbulnya stigma terhadap penyakit kusta, Diagnosis
penyakit kusta biasanya tidak sukar ditegakkan. Pada sebagian besar kasus dapat didiagnosis
berdasarkan cara konvensional dengan pemeriksaan klinis, disertai pemeriksaan bakteriologis,
dan histopatologis. Pengobatan kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy
(MDT), yang direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah:
mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus obat (drop-out
rate) dan ketidaktaatan penderita.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan gejala-gejala kulit
secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang
menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini
disebut Morbus Hansen. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebab ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama,
lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali
susunan saraf pusat (Kosasih, 2002).

2.2 Epidemiologi

Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar keseluruh

dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena perang, penjajahan, perdagangan antar

benua dan pulau-pulau. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang

diduga dibawa oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya

dan berdagang.

Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang

diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung.

Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:

a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah

mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.

b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, dan adanya

kontak yang lama dan berulang-ulang.

2
Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit

kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan Microbacterium leprae dan

daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini

adalah :

- Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa

- Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti

- Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti

- Kesadaran sosial :Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan tingkat sosial

ekonomi rendah

- Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat (Zulfikli, 2003).

Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun didapatkan ±13 %, tetapi anak di

bawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-

35 tahun. Kusta terdapat dimana-mana, tertama di Asia, Afrika, Amerika latin, daerah tropis dan

subtropics, serta masyarakat yang social ekonominya rendah.

Gambar 2.1 Penyebaran Lepra di Dunia ( WHO, 2002)

3
2.3 Etiologi

Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G. A. Hansen pada
tahun 1874 di Norwegia. M. leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam
dan alkohol, serta positif – Gram. Sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam media
artifisial. Masa replikasi kuman memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan
kuman lain, yaitu 2-21 hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi lama, yaitu rata-rata 2–5 tahun
(Kosasih, 2002).

2.4 Patogenesis

M. leprae berpredileksi di daerah-daerah tubuh yang relatif lebih dingin. Ketidakseimbangan


antara derajat infeksi dan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang
menyebabkan timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri
atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala
klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya.
Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti,
beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet
pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh, M leprae terhadap
kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae pada, suhu tubuh
yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulens dan nontoksis.
M. leprae merupakan parasit obligat intraselular yang terutama terdapat pada sel makrofag di
sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwann di jaringan saraf. Bila kuman
M. leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal
dari sel monosit darah, sel mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya. Pada kusta tipe TT
kemarnpuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan
kuman. Sayangnya, setelah semua kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel
epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans.
Bila infeksi ini tidak segera diatasi, maka akan terjadi reaksi berlebihan dan massa epiteloid akan
menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.

4
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae. Sel Schwann memiliki
fungsi untuk demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi
gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi.
Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.
Sedangkan pada kusta tipe LL, terjadi kelumpuhan sistem-imunitas, dengan demikian
makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan
bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan (Kosasih, 2002).

Gambar 2.2 Patogenesis Berbagai Reaksi Lepra

2.5 Gejala Klinik

Perbandingan gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar dan Multibasilar disajikan dalam


tabel berikut:

PB (Pausibasilar) MB (Multibasilar)
Lesi kulit (macula yang 1-5 lesi >5 lesi
datar, papul yang Hipopigmentasi/eritema Distribusi lebih simetris
meninggi, infiltrate, plak Distribusi tidak simetris
eritem, nocus)
Kerusakan saraf Hilangnya sensasi yang jelas Hilangnya sensasi kurang
(menyebabkan hilangnya Hanya satu cabang saraf jelas
sensasi/kelemahan otot Banyak cabang saraf
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena
BTA Negatif Positif
Indeterminate (I), Tuberkuloid (T), Lepromatosa (LL),
Tipe Borderline tuberkuloid (BT) Borderline lepromatous
(BL), Mid borderline (BB)

5
Gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar

Karakteristik Tuberkuloid Borderline Indeterminate


Tuberkuloid
Lesi
Tipe Macula atau macula Macula dibatasi Macula
dibatasi infiltrate infiltrat
Jumlah Satu atau beberapa Satu dengan lesi Satu atau beberapa
satelit
Distribusi Terlokasi dan asimetris Bervariasi
asimetris
Permukaan Kering,skuama Kering,skuama Dapat halus agak
berkilat
Sensibilitas hilang hilang Agak terganggu
BTA
Pada lesi kulit negatif Negatif, atau 1+ Biasanya negatif
Tes Lepromin* Positif kuat (3+) Positif (2+) Meragukan
*Tes Lipromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui setelah
3minggu.

Gejala klinik Morbus-Hansen Multibasilar

Karakteristik Lepromatosa Borderline Mid-borderline


Lepromatosa
Lesi
Tipe Macula, infiltrate difus, Macula, plak, papul Plak, lesi bentuk kubah,
papul, nodus lesi punched out
Jumlah Banyak distribusi luas, Banyak tapi kulit Beberapa, kulit sehat (+)
praktis tidak ada kulit sehat masih ada
sehat
Distribusi Simetris Cenderung simetris Asimetris
Permukaan Halus dan berkilap Halus dan berkilap Sedikit berkilap, beberapa
lesi kering
Sensibilitas Tidak terganggu Sedikit berkurang Berkurang
BTA
Pada lesi Banyak Banyak Agak banyak
kulit
Pada Banyak Biasanya tidak ada Tidak ada
hembusan
hidung
Tes Negatif Negatif Biasanya negatif
Lepromin*
*Tes Lipromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui setelah
3minggu.

6
Perbedaan lepra tipe tuberculoid dan lepromatous ditunjukkan lewat skema berikut ini :

(www.ncbi.nlm.nih.gov, 2001)

7
Gambar 2.3 Foto Manifestasi Tuberculoid Lepra di Punggung

Gambar 2.4 Foto Manifestasi Tuberculoid Lepra di Wajah

2.6 Dasar diagnosis

Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosis klinik, dimulai dengan inspeksi, palpasi, lalu
digunakan pemeriksaan yang menggunakan alat sederhana, yaitu jarum, kapas, tabung reaksi
masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil, dan sebagainya. Kelainan kulit pada
penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat, saja atau
keduanya. Kusta mendapat julukan The great imitator dalam penyakit kulit sehingga perlu
didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit kulit yang lain. Diagnosa bandingnya antara lain
adalah: dermatofitosis, tinea versikolor, ptiriasis rosea, ptiriasis alba, dermatitis seboroika,

8
psoriasis, neurofibromatous, granuloma anulare, xantomatosis, skleroderma, leukemia kutis,
tuberkulosis kutis verukosa dan birth mark (Kosasih, 2002).
Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak mebantu
penentuan diagnosis, meskipun tidak terlalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan dengan
menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba, dan dapat juga dengan rasa
suhu, yaitu panas dan dingin dengan tabung reaksi. Perhatikan pula ada tidaknya dehidrasi di
daerah lesi yang dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara
menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Dapat pula diperhatikan adanya
alopesia di daerah lesi (Siregar, 2003).
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan nyeri atau
tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N.
aurikuralis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis
posterior. Untuk tipe lepramatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang
untuk tipe tuberkuloid kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.
Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam deformitas primer
dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat lansung oleh granuloma yang terbentuk sebgai
reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit,
mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi
sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama
karena kerusakan saraf. Gejala-gejala kerusakan saraf:
1. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis, clawing
kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan oto interoseus serta kedua otot lumbrikalis
medial
2. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah,
tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari
kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
3. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk, tangan gantung
(wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
4. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki
gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.

9
5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik kaki dan
kolaps arkus pedis
6. N. fasialis: lagoftalmus ( cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi wajah dan
kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal, mandibular dan servikal)
7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.

Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan
mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain dengan
pewarnaan Ziehl-Neelsen. Jumlah tempat yang diambil untuk pemeriksaan ruitn sebaiknya
minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif
(yang paling eritematosa dan infiltratif).
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skapel steril. Setelah lesi tersebut didesinfeksi
kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik, sehingga kerokan
jaringan mengandung sedikit mungkin darah. Irisan yang dibuat harus sampai di dermis,
melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang diharapkan banyak
mengandung sel Virchow (sel lepra) yang di dalamnya mengandung basil M.leprae. Kerokan
jaringan itu dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian diwarnai dengan pewarnaan
Ziehl-Neelsen (Kosasih, 2002).
Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik dilakukan pada pagi hari
yang ditampung pada sehelai plastik. Cara lain mengambil bahan kerokan mukosa hidung
dengan alat semacam skalpel kecil tumpul atau bahan olesan dengan kapas. Sediaan dari mukosa
hidung jarang dilakukan karena: kemungkinan adanya M. Atipik dan M. leprae tidak pernah
positif jika pada kulit negatif.
M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA) akan tampak merah pada sediaan. Dibedakan
bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran (granular). Bentuk solid
adalah basil hidup, sedangkan fragmented dan granular merupakan bentuk mati. Kepadatan BTA
tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri
(IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang

10
pandang (LP), 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP, 2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP, 3+ bila 1-10
BTA rata-rata dalam 1 LP, 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP, 5+ bila 101-1000 BTA
rata-rata dalam 1 LP, 6+ bila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP. Pemeriksaan dengan
menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada pembesaran lensa obyektif 100x.
IB seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat sediaan.
2. Pemeriksaan histopatologik
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikellingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan
menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan sistem imunitas
selular rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada di
dalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau
sel busa.
Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran histopatologik
tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya
sedikit dan nonsolid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal
clear zone), yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jarinagnnya tidak patologik
(Kosasih, 2002).
3. Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae,
yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD.
Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yamg
juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis. Macam-macam pemeriksaan serologik kusta ialah:
• Uji MLPA (M. leprae Particle Aglutination)
• Uji ELISA
• ML dipstick (M. leprae dipstick)

2.7 Reaksi Kusta


Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalan penyakit yang sebenarnya
kronik. Klasifikasi yang sering dipakai adalah:
• E.N.L (eritema nodusum leprosum)
• Reaksi reversal atau upgrading

11
E.N.L terutama timbul pada tipe lepramatosa polar dan dapat pula pada BL, berarti makin tinggi
tingkat multibasilarnya makin besar kemungkinan timbulnya E.N.L. Secara imunopatologis
E.N.L termasuk respons imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara
antigen M. Leprae + antibodi (IgM, Ig G) + komplemen  kompleks imun. Kadar
immunoglobulin penderita kusta lepramatosa lebih tinggi daripada tuberkuloid. Hal ini terjadi
oleh karena pada tipe lepramatosa jumlah basil jauh lebih banyak daripada tipe tuberkuloid.
E.N.L lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua. Hal ini dapat terjadi karena pada
pengobatan, banyak basil lepra yang mati dan hancur, yang berarti banyak antigen yang
dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks
imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai
organ.
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat
predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti
iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, dan nefritis akut dengan adanya proteinuria.
Reaksi reversal hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti) sehingga disebut
juga reaksi borderline. Yang memegang peranan utama dalam hal ini adalah SIS, yaitu terjadi
peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui pasti diperkirakan
ada hubungannya dengan reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Umunya terjadi pada pengobatan 6
bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak sehingga
memerlukan pengobatan yang memadai (Kosasih, 2002).
Tipe lepra yang termasuk borderline ini dapat bergerak bebas ke arah TT atau LL dengan
mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu disertai perubahan SIS pula.
Begitu pula reaksi revesal, terjadi peningkatan SIS, hanya bedanya terjadi secara cepat dan
mendadak. Isitilah downgrading untuk menunjukkan pergeseran ke arah lepromatosa.
Gejala klinik reaksi reversal ialah umunya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang realtif singkat. Artinya lesi
hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula menjadi
infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas.
Kalau diperhatikan kembali reaksi E.N.L dan reversal secara klinis, E.N.L dengan lesi
eritema nodusum sedangkan reversal tanpa nodus sehingga disebut reaksi lepra nodular,
sedangkan reaksi reversal adalah reaksi non nodular.

12
2.8 Penatalaksanaan
Pengobatan kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT), yang
direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah: mengatasi
resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus obat (drop-out rate) dan
ketidaktaatan penderita (Kosasih, 2002).
WHO mengklasifikasikan kusta menjadi 2 berdasarkan atas adanya kuman tahan pada
pemeriksaan bakterioskopis untuk pemilihan rejimen MDT :
1. Kusta Pausibasilar (PB)
Kusta dengan basil tahan asam (BTA) negatif pada sediaan hapus, yaitu : tipe I
(Interminate), TT (Tuberculoid) dan BT (Borderline tuberculoid).
2. Kusta Multibasilar (MB)
Kusta dengan BTA positf pada sediaan hapus, yaitu : BB (Borderline), BL (Borderline
lepromatous) dan LL (Lepromatosa).

Obat obat dalam rejimen MDT-WHO


1. Dapson
Sifat dan Farmakologi : Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim
dihidrofolat sintetase. Dapson bekerja sebagai anti metabolit PABA. Indeks morfologi
kuman penderita LL yang diobati dengan Dapson biasanya menjadi nol setelah 5 sampai
6 bulan.
Dosis : Dosis tunggal yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat badan
untuk anak-anak.
Efek samping : Erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia,
nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Efek samping tersebut
jarang dijumpai pada dosis lazim.
2. Rifampisin
Sifat dan Farmakologi : Rifampisin merupakan bakterisidal kuat pada dosis lazim dan
merupakan obat paling ampuh untuk kusta saat ini. Rifampisin bekerja menghambat
enzim polimerase RNA yang berikatan secara irreversibel. Namun obat ini harganya
mahal dan telah dilaporkan adanya resistensi.

13
Dosis : Dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgBB) mampu membunuh kuman kira-
kira 99.9% dalam waktu beberapa hari.
Efek samping : hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan erupsi kulit.
3. Klofazimin
Sifat dan Farmakologi : Obat ini bersifat bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanya
diduga melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Obat ini juga mempunyai efek
anti inflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta.
Dosis : 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kgBB/hari.
Selain itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk mengurangi reaksi tipe
I dan 2.
Efek samping : Hanya terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan gastrointestinal (nyeri
abdomen, diare, anoreksia dan vomitus).
4. Etionamid dan Protionamid
Kedua obat ini merupakan obat anti tuberkulosis dan hanya sedikit dipakai pada
pengobatan kusta. Obat ini bekerja bakteriostatik, cepat menimbulkan resistensi, lebih
toksik, harganya mahal serta hepatotoksik, oleh karenanya sekarang tidak dianjurkan lagi
pada rejimen pengobatan kusta.

Obat Kusta Baru


Pada pelaksanaan program MDT-WHO masalah-masalah yang timbul yaitu : adanya
resistensi kuman terhadap rifampisin dan lamanya pengobatan terutama pada kusta MB. Pada
penderita kusta PB timbul masalah yaitu masih menetapnya lesi kulit setelah 6 bulan pengobatan
dan Late Reversal Reaction (LVR) yang timbul justru setelah selesai MDT.
Maka diperlukan obat-obat baru yang memenuhi syarat antara lain : Bersifat bakterisidal kuat
terhadap M. leprae, tidak anatagonis terhadap obat yang sudah ada, aman dan akseptabilitas
penderita baik, dapat diberikan per oral dan sebaiknya diberikan tidak lebih dari sehari sekali.
Obat-obat yang sudah terbukti efektif tersebut adalah : ofloksasin, minosiklin dan klaritomisin.
A. Ofloksasin
Ofloksasin merupakan obat turunan fluorokuinolon yang paling efektif terhadap M.
leprae, dibandingkan dengan siprofloksaisn dan pefloksasin. Kerjanya melalui hambatan
pada enzim girase DNA mikobakterium.

14
B. Minosiklin
Minosiklin merupakan turunan tetrasiklin yang bersifat lipofilik sehingga mampu
menembus dinding M. leprae. Minosiklin bekerja dengan menghambat sintesis protein
melakui mekanisme yang berbeda dengan obat anti kusta yang lain.
C. Klaritromisin
Klaritromisin merupakan golongan makrolid yang mempunyai aktivitas bakterisidal
dengan menghambat suntesis protein melalui mekanisme yang lain dari minosiklin.

Skema Rejimen MDT-WHO


WHO membuat klasifikasi program rejimen MDT-WHO karena fasilitas bakterioskopik
tidak selalu tersedia sehingga klasifikasi untuk rejimen ini juga didasarkan lesi kulit dan jumlah
saraf yang terkena. Klasifikasi kusta untuk kepentingan rejimen MDT oleh WHO (1997) terbagi
dalam 3 grup :
1. Rejimen PB dengan lesi kulit 2-5 buah.
Rejimen terdiri dari : Rifampisin 600 mg sebulan sekali, dibawah pengawasan, ditambah
dapson 100 mg/hari (1-2 mg/kgBB) swakelola selama 6 bulan.
2. Rejimen MB dengan lesi kulit lebih dari 5 buah
Rejimen terdiri atas kombinasi rifampisin 600 mg sebulan sekali di bawah pengawasan,
dapson 100 mg/hari swakelola, ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi dan
50 mg/hari swakelola. Lama pengobatan 1 tahun.
3. Rejimen PB dengan lesi tunggal
Rejimen terdiri atas rifampisin 600 mg ditambah ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100
mg dosis tunggal.
Dosis tersebut merupakan dosis dewasa, untuk anak-anak disesuaikan dengan berat-badan ( lihat
tabel) (Pramesemara, 2009).

Tabel Obat dan Dosis Rejimen MDT-PB


Dapson Rifampisin
Dewasa 100 mg/hari 600 mg/bulan diawasi
Anak-anak 10-14
tahun* 50 mg/hari 450 mg/bulan diawasi
*Sesuaikan dosis bagi anak-anak yang lebih kecil dari 10 tahun. Misalnya dapson 25 mg/hari dan
rifampisin 300 mg/bulan diawasi.

15
Tabel Obat dan Dosis Rejimen MDT-MB
Dapson Rifampisin Klofamizin
Dewasa 100 600 mg/bulan 50 mg/hari dan 300 mg/bulan diawasi
mg/hari diawasi
Anak-anak 10-14 50 450 mg/bulan 50 mg selang sehari dan 150 mg/bulan
tahun* mg/hari diawasi diawasi
*Sesuaikan dosis bagi anak-anak yang lebih kecil dari 10 tahun. Misalnya dapson 25 mg/hari dan
rifampisin 300 mg/bulan diawasi, klofazimin 50 mg 2x seminggu, dan klofazimin 100 mg/bulan
diawasi.
Tabel Obat dan Dosis Rejimen MDT-PB lesi tunggal
Dapson Ofloksasin Minosiklin
Dewasa 600 mg 400 mg 100 mg
Anak-anak 5-14
tahun* 300 mg 200 mg 50 mg
(dosis tunggal dan dimakan bersama-sama)
* Tidak direkomendasikan pada wanita hamil dan anak-anak lebih kecil dari 5 tahun.

Pengobatan pada situasi khusus


A. Penderita yang tidak dapat makan rifampisin
Situasi ini mungkin disebabkan karena alergi, hepatits kronis atau resisten terhadap obat ini.

Tabel Rejimen untuk penderita yang tidak dapat makan rifampisin

Lama pengobatan Jenis obat Dosis


6 bulan Klofazimin 50 mg/hari
Ofloksasin 400 mg/hari
Minosiklin 100 mg/hari
Diikuti dengan Klofazimin dengan 50 mg/hari
18 bulan Ofloksasin Atau 400 mg/hari
Minosiklin 100 mg/hari
B. Penderita yang menolak klofazimin
Situasi ini disebabkan pasien yang khawatir akan pewarnaan kulit. Pengobatan diganti dengan
ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan.

Pengobatan kusta selama kehamilan dan menyusui


Kusta sering eksaserbasi pada saat hamil oleh sebab itu obat MDT harus tetap diberikan.
WHO menyatakan obat MDT standar aman dipakai selama kehamilan dan menyusui, bagi ibu
dan bayinya, sehingga tidak perlu mengubah dosis. Obat dapat keluar melalui ASI dalam junlah
kecil tetapi tidak ada laporan efek samping obat pada bayi kecuali pewarnaan kulit akibat
klofazimin. Obat dosis tunggal bagi bercak tunggal ditunggu pemakaiannya sampai bayinya
lahir.

16
Penanganan Reaksi Kusta
Prinsip penanganan reaksi kusta :
1. Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak berkelanjutan menjadi paralisis atau
kontraktur
2. Secepatnya dilakukan tindakan agar tidak terjadi kebutaan
3. Membunuh kuman penyebab agar penyakitnya tidak meluas
4. Mengatasi rasa nyeri
Pengobatan E.N.L:
Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain prednison. Dosisnya
bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari, kadang-kadang
lebih. Seseuai dengan perbaikan reaksi, dosinya diturunkan secara bertahap sampai berhenti
sama sekali.
Obat lain yang dianggap sebagai pilihan utama adalah thalidomide, tetapi harus berhati-hati
karena mempunyai efek teratogenik jadi tidak boleh diberikan kepada ibu hamil atau masa subur.
Di Indonesia obat ini tidak didapat dan sudah tidak diproduksi lagi.
Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-reaksi E.N.L tetapi
dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat ringannya reaksi, makin berat makin
tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300 mg sehari. Keuntungan klofazimin dapat dipakai
sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek samping yang
tidak diinginkan adalah kulit menjadi berwarna merah kecoklatan terutama pada pemberian dosis
tinggi.
Pengobatan reaksi reversal:
Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tanpa neuritis
akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama
adalah kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengan berat ringannya neuritis. Biasanya
diberikan prednison 40-60 mg sehari lalu diturunkan secara perlahan. Anggota gerak yang
terkena neuritis harus diistirahatkan. Analgetik dan sedativa kalau diperlukan dapat diberikan.
Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang dipakai, atau tidak pernah
dipakai (Kosasih, 2002).

17
BAB III

KESIMPULAN

Lepra adalah penyakit kronis yang sebabkan oleh bakteri yang menyerang kulit, syaraf tepi.
Dan pada penderita dengan tipe lepromatosa menyerang saluran pernapasan bagian atas.
Manifestasi klinis dari penyakit ini sangat bervariasi dengan spektrum yang berada diantara dua
bentuk klinis dari lepra yaitu bentuk lepromatosa dan tuberkuloid. Pada lepra bentuk lepromatosa
kelainan kulit berbentuk nodula, papula, makula dan infiltrat yang difus tersebar simetris
bilateral dan biasanya ekstensif dan dalam jumlah banyak. Terkenanya daerah hidung dapat
membentuk krusta, tersumbatnya jalan napas dan dapat terjadi epistaksis. Terserangnya mata
dapat menimbulkan iritis dan keratitis. Pada lepra tipe tuberkuloid, lesi kulit biasanya tunggal
dan jarang, batas lesi tegas, mati rasa atau hipoetesi asimitris bilateral. Terserangnya syaraf
biasanya cenderung lebih berat. Lepra bentuk borderline mempunyai gambaran dari kedua tipe
lepra dan lebih labil. Mereka cenderung menjadi tipe lepromatosa jika penderita tidak diobati
dengan benar dan menjadi tipe tuberkuloid pada penderita yang diobati dengan benar. Bentuk
awal dari lepra ditandai dengan munculnya macula hipopigmentasi dengan batas lesi yang tegas
yang dapat berkembang menjadi bentuk tuberkuloid, borderline atau bentuk lepromatosa. Gejala
klinis dari lepra dapat juga berupa “reaksi kusta” yaitu dengan episode akut dan berat. Reaksi
kusta ini dibagi menjadi erythema nodosum leprosum pada penderita tipe lepromatosa dan
reversal reaction pada lepra borderline.
Diagnosa klinis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan kulit secara lengkap dengan
menemukan tanda-tanda terserangnya syaraf tepi berupa gejala hipestasia, anesthesia, paralysis
pada otot dan ulkus tropikum. Dilakukan tes terhadap sensasi kulit dengan rabaan halus, ditusuk
dengan jarum pentul, diskriminasi suhu. Timbulnya gejala terserangnya saraf dan ditemukannya
bakteri tahan asam merupakan gejala patognomonis lepra.
Pengobatan lepra disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT), yang
direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah: mengatasi
resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus obat (drop-out rate) dan
ketidaktaatan penderita. Prognosis penyakit ini dengan adanya obat-obqat kombinasi, menjadi
lebih baik, dan pengobatannya menjdi lebih sederhana. Namun jika sudah terdapat kontraktur
dan ulkus kronik, prognosis menjadi kurang baik.

18
DAFTAR PUSTAKA

A. Kosasih. Kusta. 2002. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-3. Bagian Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal 139-142

Pramesemara. 2009. Pelaksanaan Kusta di Indonesia. http://pramareola14.wordpress.com /

2009/12/09/penatalaksanaan-kusta-di-indonesia. Diunduh tanggal: 25 Mei 2010.

Siregar, R.S. 2004. Kusta (lepra). Dalam: Saripati Penyakit Kulit. Edisi ke-2. EGC. Jakarta. hal
141-142.

Zulfikli. 2003. Penyakit Kusta dan Masalah yang ditimbulkannya. http://jowofile.jw.lt/ebook/

files8/Penyakit%20Kusta%20Dan%20Masalah%20Yang%20Ditimbulkannya_txt.txt.

Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara. Diunduh tanggal: 25 Mei 2010.

19

Das könnte Ihnen auch gefallen