Sie sind auf Seite 1von 25

Hanan Nugroho Perencanaan Pembangunan No.

IX/04 September 2004

PENGEMBANGAN INDUSTRI HILIR GAS BUMI


INDONESIA: TANTANGAN DAN GAGASAN
Hanan Nugroho1

Abstract
Indonesia is one among the most advanced countries in
developing liquefied natural gas (LNG) for exports, but the
country is quite late in building its natural gas industry for
domestic use. Law No. 22 Year 2001 on Oil and Gas would
change many aspects of Indonesia’s oil and gas industry. The
Law stresses the importance of developing natural gas industry
for domestic use. This paper describes value chain of natural
gas industry, Indonesia’s downstream natural gas industry,
models for downstream natural gas industry development, and
other countries’ experiences in developing their downstream
natural gas industry. Based on the theoritical models and
lesson learned, this paper proposes some ideas for developing
Indonesia’s downstream natural gas industry. It emphasizes
the importance of publishing master plan for national natural gas transmission and
distribution networks, to speed up the function of a new created Regulation Body on Oil
and Gas Dowsnstream (BPH MIGAS) and to implement new policies on natural gas
industry development

Key words: natural gas, downstream industry, energy sector restructuring, Law No. 22
Year 2001, Indonesia.

1
Hanan Nugroho, Perencana/Ekonom Energi di BAPPENAS, Jakarta. Mempelajari 3Es (Energy,
Economy, Environment) di Michigan Tech, Institut Francais du Petrole dan Kyoto Daigaku.
E-mail:nugrohohn@bappenas.go.id.

1
Hanan Nugroho Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004

1 Pendahuluan
Walaupun Indonesia termasuk negara yang termaju di dunia dalam pengembangan
gas bumi, khususnya gas bumi cair (liquefied natural gas: LNG) untuk diekspor, namun
pengembangan industri gas bumi di dalam negerinya sendiri masih sangat terlambat. Gas
bumi Indonesia hingga saat ini lebih banyak dimanfaatkan untuk ekspor, meskipun
kebutuhan untuk memanfaatkannya di dalam negeri terus meningkat,
Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi berpotensi
mengubah banyak hal mengenai pengelolaan industri minyak dan gas bumi Indonesia.
UU 22/2001 dimaksudkan untuk menciptakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang
mandiri, transparan, berdaya saing, berwawasan pelestarian lingkungan, serta mendorong
perkembangan potensi dan peranan nasional. Beberapa ciri yang dapat dikemukakan dari
UU 22/2001 tersebut adalah pembagian yang lebih tegas antara fungsi-fungsi pemerintah,
pengatur dan pelaku usaha, pemecahan rantai usaha ke dalam beberapa kegiatan utama
(unbundling) serta penekanan pada liberalisasi sektor hilir.
UU 22/2001 dengan tegas menekankan prioritas pemanfaatan gas bumi Indonesia
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sesuai amanat UU 22/2001, Badan Pelaksana
Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS) dan Badan Pengatur Kegiatan Hilir
Minyak dan Gas Bumi (BPH MIGAS) telah dibentuk, masing-masing berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 42/2002 dan Peraturan Pemerintah No. 67/2002. Perusahaan
pertambangan minyak dan gas bumi negara (PERTAMINA) yang dalam UU sebelumnya,
yaitu UU No. 8/1971 bertindak sebagai “pemain, pengatur, dan pemegang Kuasa
Pertambangan” dengan UU 22/2001 dan Keputusan Presiden No. 57/2002 telah diubah
menjadi sebuah perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT Persero). BPH MIGAS
khususnya, mendapat tugas untuk meningkatkan pemanfaatan gas bumi di dalam negeri
dan melakukan sejumlah pengaturan di bidang gas bumi. Walau beberapa hal telah
dilakukan, namun demikian, bagaimana strategi atau langkah-langkah untuk mewujudkan
tujuan peningkatan pemanfaatan gas bumi di dalam negeri belum dijabarkan secara jelas
atau rinci.

Makalah ini memberikan gambaran mengenai industri gas bumi secara umum,
industri hilir gas bumi, model pengembangan industri hilir gas bumi, serta pengalaman
beberapa negara lain dalam mengembangkan industri hilir gas bumi. Berdasarkan
pemahaman terhadap teori, analisis dan pengalaman negara lain mengembangkan industri
gas bumi mereka, makalah ini mencoba menarik pelajaran khususnya mengenai
pengembangan industri hilir gas bumi untuk dapat diterapkan dalam situasi dan kondisi
Indonesia. Di tengah reformasi sektor energi yang sedang dilakukan di Indonesia di
samping belum optimalnya pengembangan industri hilir gas bumi di tanah air, makalah
ini berharap dapat memberikan sumbangannya bagi proses transformasi industri hilir gas
bumi Indonesia dan mendukung peningkatan pemanfaatan gas bumi di dalam negeri.

2 Rantai nilai industri dan pemanfaatan gas bumi Indonesia

2.1 Rantai nilai industri gas bumi


Sebagai halnya pada minyak bumi, kegiatan industri gas bumi dapat dibedakan ke
dalam dua kelompok utama: kegiatan hulu (upstream) dan hilir (downstream). Di antara

2
Hanan Nugroho Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004

kedua kelompok kegiatan itu, kadang ditambahkan kegiatan antara (midstream). Gambar
1 memperlihatkan diagram rantai nilai industri gas bumi.

Gambar 1. Rantai nilai industri gas bumi

Mendapatkan Pemasaran, Pengilangan, Pemasaran Pemasaran


Izin Ekslplorasi Eksploitasi Transport Pemrosesan Partai Partai
Menambang Ke kilang besar kecil

HULU ANTARA HILIR

Kegiatan hulu (oleh sebuah perusahaan eksplorasi/eksploitasi gas) dimulai dengan


upaya mendapatkan izin/konsesi atau kontrak kerja sama untuk melakukan eksplorasi atau
pencarian gas di suatu wilayah tertentu. Di Indonesia, izin atau kontrak kerja sama untuk
mendapatkan Wilayah Kerja Pertambangan tersebut sekarang dapat diperoleh melalui
lelang (tender) yang dilakukan oleh Menteri Energi dan Sumberdaya & Mineral
(Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi) berdasarkan skema perjanjian bagi hasil
(production sharing contract). Bila kegiatan eksplorasi memberikan hasil yang positip,
maka ini kemudian dilanjutkan dengan kegiatan produksi/eksploitasi gas bumi, minyak
bumi serta produk ikutannya. Hasil produksi dari lapangan (-lapangan) gas tersebut
dikumpulkan, kemudian disalurkan ke kilang gas untuk diproses atau dikirim ke tujuan
penjualan. Di kilang/pabrik gas, gas dari lapangan produksi tersebut dimurnikan atau
diproses menjadi LNG (liquefied natural gas) dan LPG (liqufied petroleum gas).
Selanjutnya, gas yang telah diproses ini, melewati jaringan transportasi yang telah
dibangun, dijual kepada konsumen besar (wholesale) dan seterusnya kepada konsumen
kecil (retail).

2.2 Pemanfaatan gas bumi Indonesia


Di Indonesia, produksi gas dilakukan wilayah-wilayah utama Kalimantan Timur
dan Aceh. Gas yang diproduksi kemudian juga dikilang wilayah tersebut menjadi LNG
dan LPG, untuk kemudian diekspor. Gas juga diproduksi di lapangan-lapangan yang
lebih kecil di Jawa Barat dan Jawa Timur, dan melalui jalur pipa dikirimkan untuk
memenuhi kebutuhan bahan bakar/bahan baku pembangkitan litsrik, industri dan gas kota
di Jawa.
Pada awal pengembangannya pada periode 1980-an, gas bumi Indonesia lebih
banyak digunakan untuk eskpor dalam bentuk LNG, dengan tujuan Jepang, Korea Selatan
dan Taiwan. Ekspor gas bumi belakangan dilakukan melalui pipa ke Singapura dan
Malaysia. Peningkatan penggunaan gas bumi di dalam negeri terjadi karena peningkatan
permintaan gas bumi oleh pembangkit tenaga listrik, industri dan PT PGN. Tabel 1
memperlihatkan status terakhir pemanfaatan gas bumi Indonesia.

3
Hanan Nugroho Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004

Tabel 1. Pemanfaatan gas bumi Indonesia, 2003

Volume
Pemanfaatan (MMSCFD)
Persentase

Dalam Negeri
• Pabrik pupuk dan petrokimia 696,5 8,3
• Kilang 63,0 0,7
• LPG/LEX 77,5 0,9
• PGN 435,4 5,2
• Pabrik semen 7,9 0,1
• Pembangkit listrik 500,2 5,9
• PT Krakatau Steel 71,5 0,8
• Industri lainnya 273,2 3,2
• Pemakaian sendiri 968,8 11,5
• Terbakar (Flare) 473,7 5,6
Subtotal 3.567,3 42,4

Ekspor
• LNG 4.516,0 53,6
• LPG 15,5 0,2
• Gas (pipa) 321,5 3,8
Subtotal 4.853,2 57,6

TOTAL 8.420,5 100,0


Sumber: Ditjen Minyak & Gas Bumi

3 Struktur, infrastruktur dan pelaku industri hilir gas bumi


Indonesia

3.1 Struktur industri hilir gas bumi


Seperti halnya minyak bumi, setelah kegiatan produksi di sisi hulu, industri hilir
gas bumi diawali dengan kegiatan pengilangan gas, yang memproduksi LNG dan LPG.
Di samping itu, terdapat pula kegiatan pemurnian gas di sisi hulu, yang hasilnya
kemudian -tanpa melalui kilang- disalurkan langsung melalui jalur pipa (pipeline)
transmisi/distribusi gas bumi untuk diteruskan ke konsumen.
Produk kilang gas berupa LNG ditransportasikan dengan tanker LNG ke tujuan
pengiriman yang biasanya terletak pada jarak yang sangat jauh dari lokasi kilang gas.
Sebagai contoh, produk LNG dari kilang-kilang di Bontang (Kalimantan Timur) dan Arun
(Aceh) dikirimkan ke wilayah ekspor mereka di Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. LPG,
yang dihasilkan dari kilang gas yang juga menghasilkan LNG dapat dikirimkan melalui
kapal/kendaraan darat untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri atau diekspor. LPG
dapat pula dihasilkan dari kilang khusus LPG atau merupakan bagian dari kilang yang
mengolah minyak mentah menjadi produk-produk minyak (terutama bahan bakar

4
Hanan Nugroho Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004

minyak/BBM). Contoh kilang LPG di Indonesia adalah Mundu di Jawa Barat, sedangkan
LPG juga dihasilkan dari kilang minyak seperti kilang Cilacap, Balongan dan Balikpapan.
Secara umum, transportasi gas bumi membutuhkan biaya dan persyaratan teknis
yang lebih tinggi dibandingkan transportasi minyak mentah, produk-produk minyak (oil
products) maupun batubara (Nugroho, 2004). Hal ini karena karakteristik alamiah gas
bumi itu sendiri, yang amat sulit ditransportasikan apabila masih berada dalam fase gas.
Untuk mempermudah transportasinya, gas perlu dikompresikan atau didinginkan terlebih
dahulu sehingga densitas energinya menjadi lebih besar dan lebih mudah dikirimkan.
Transportasi gas bumi pada sistem jaringan transmisi dan distribusi gas bumi yang telah
dibangun dapat dilakukan melalui jalur pipa gas, kapal LNG, kapal LPG, truk tangki,
serta melalui depo penyimpanan dan stasiun penjualan.
Gambar 2 mengilustrasikan struktur industri gas bumi sisi hilir, yang terdiri dari
tiga komponen utama: (i) produksi gas bumi di sisi hilir (downstream production) yang
dilakukan di kilang gas dan menghasilkan LNG/LPG, (ii) transportasi gas bumi melalui
jaringan transmisi dan distribusi yang telah dikembangkan, serta (iii) konsumen gas bumi
sebagai pengguna antara atau akhir.

3.2 Infrastruktur dan pelaku industri hilir gas bumi Indonesia


Di Indonesia, pengusahan gas bumi di sisi hilir masih didominasi oleh perusahaan
minyak dan gas milik negara (Pertamina) yang melakukan usahanya secara terintegrasi
vertikal dari ujung sisi hulu hingga hilir, terutama untuk minyak bumi. Dominasi
Pertamina, khususnya dalam pengusahaan gas bumi agak berkurang dengan
perkembangan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) yang belakangan ini telah menjadi
perusahaan transmisi dan distribusi gas bumi terkemuka. Dibandingkan banyak negara
maju pemakai gas bumi, kapasitas infrastruktur maupun pelaku usaha hilir gas bumi yang
terdapat di Indonesia sampai saat ini masih terbatas, kecuali untuk LNG.

Gambar 2. Struktur industri hilir gas bumi

Gas (Pipa) LNG/LPG


Industri
Hilir Gas
HULU HULU
Produksi Produksi Bumi

Transmisi HILIR
Produksi

Distribusi Transmisi
/Distribusi

Konsumen Konsumen

5
Hanan Nugroho Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004

Kilang LNG, yang terdapat di daerah Bontang (Kalimantan Timur) dan Arun
(Aceh) yang masing-masingnya kini memiliki 8 dan 6 trains adalah milik konsorsium
dengan Pertamina sebagai pemegang saham terbesar. Total kapasitas kilang LNG yang
telah dibangun di Bontang dan Arun tersebut adalah sebesar 30,1 juta per tahun,
merupakan kapasitas kilang LNG yang terbesar di dunia. Kapasitas produksi LPG dari
kilang gas di Bontang dan Arun adalah 105 juta ton per tahun, yang hasilnya digunakan
untuk ekspor (terutama ke Jepang) dan memenuhi kebutuhan dalam negeri. Selain itu
Pertamina memiliki kilang LPG (Pangkalan Brandan dan Mundu) dengan kapasitas total
102,3 juta ton per tahun. LPG juga dihasilkan dari kilang-kilang minyak bumi (Balongan,
Cilacap, Balikpapan, dstnya) yang dimiliki oleh Pertamina. Transportasi gas bumi dengan
tanker LNG maupun kapal LPG dilakukan di bawah kordinasi Pertamina, menggunakan
kapal-kapal Pertamina atau milik swasta yang bekerjasama dengan Pertamina. Armada
tanker LNG yang berasal dari Indonesia ke negara-negara tujuan eskpor LNG membentuk
volume lalulintas tanker LNG yang terbesar di dunia.
Jaringan transmisi gas melalui
pipa (pipeline) yang telah dibangun di
Indonesia masih sangat terbatas,
dikembangkan berdasarkan kebutuhan
proyek per proyek dan belum
membentuk sistem yang terintegrasi.
Pengusahaan sektor transmisi atau
penyaluran gas bumi ke konsumen besar
melalui pipa gas dilakukan oleh
Pertamina, kontraktor bagi hasil British
Petroleum (BP) dan PT PGN. Pertamina
mengoperasikan jalur pipa gas, di
antaranya jalur Cilamaya-Cilegon yang
Mencari gas bumi di laut dibangun pada tahun 1970-an, melayani
pabrik pupuk Kujang (Cikampek), pabrik
baja Karakatau Steel (Cilegon) dan gas
kota Bogor. BP mengusahakan jalur transmisi Pagerungan-Gresik di Jawa Timur untuk
pembangkit tenaga listrik dan petrokimia, sedangkan PGN membangun dan
mengoperasikan jalur Grissik-Duri, Grissik-Singapura dan sedang mengupayakan
pembangunan jalur Sumatera Selatan-Jawa Barat. Jalur distribusi gas bumi Indonesia
didominasi oleh PT PGN yang melakukan usaha penyaluran gas bumi ke beberapa kota
besar di Indonesia seperti Jakarta-Bogor, Bandung, Surabaya, Medan, namun dengan
jumlah pelanggan yang relatif masih sangat sedikit.
Jaringan pipa transmisi yang telah dioperasikan oleh PT PGN adalah sepanjang
800 kilometer dan diameter pipa 28 inci tekanan operasi 70 bar dengan kapasitas
penyaluran 310 - 400MMSCFD (juta standar kaki kubik per hari). Jaringan distribusi gas
PT PGN memiliki panjang 2.547 km dan kapasitas penyaluran sebesar 830 MMSCFD.
Jaringan pipa distribusi gas tersebut terdiri dari pipa polietilena (PE) sepanjang 1.107 km
yang digunakan untuk menyalurkan gas ke konsumen rumah tangga/komersil dan sisanya
berupa pipa baja untuk menyalurkan gas ke pelanggan industri. Pertamina sendiri
memiliki jaringan pipa gas sekitar 480 km. Di samping itu pipa gas juga dimiliki oleh BP
dan PT Igas. Sebagian besar infrastruktur seperti depo dan transportasi LPG masih
didominasi oleh Pertamina sebagai pelaku utama. Untuk pemasaran, peran swasta selain
Pertamina dan PGN baru terdapat pada agen LPG, pabrik tabung LPG, SPBG (CNG),

6
Hanan Nugroho Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004

SPBE (LPG), dan SPPBE. Tabel 2 merangkumkan struktur industri hilir gas bumi
Indonesia, pelaku dan pangsanya.
Tabel 2. Industri hilir gas bumi Indonesia, pelaku dan pangsa
Pangsa
Struktur Industri Pelaku Produk/kapasitas/unit Keterangan
%
Produksi Hilir
Kilang Gas
Rencana:
LNG Pertamina 30,1 juta ton/tahun 100 - LNG Tangguh oleh
LPG Pertamina 105 juta ton/tahun 100 BP dan LNG
Matindok oleh
Pertamina
- LPG di Cilacap
Transmisi dan -Rencana
Distribusi pembangunan
Pipa Pertamina 480 km jaringan pipa gas:
PGN 800 km (transmisi) + 2547 km (distribusi) Trans Jawa, Sumatra
- Jawa Barat, Kaltim
BP Pipa Pagerungan-Jatim - Jawa.
PT Igas ?
Penyimpanan
LPG Pertamina 6 depot LPG 100
Perdagangan Pertamina 8 unit pemasaran (UPMS) Agen, stasiun
PGN 8 cabang, 1 cabang pembantu, 1 pengisian, pabrik
perusahaan transmisi tabung, sebagian
Pelaku lain: besar milik swasta,
Agen LPG 423 unit koperasi, dan
Pabrik Tabung 5 yayasan
LPG 28
SPBG 18
SPBE 44

Sumber: kompilasi dari data Ditjen Migas, PGN & Pertamina.

4 Model pengembangan industri hilir gas bumi


Secara teoritis, dan dengan memperhatikan pengalaman negara-negara maju
mengembangkan industri gas bumi mereka, pengembangan struktur hilir industri gas
bumi dapat dimodelkan ke dalam tiga kelompok (Gracia, 2002). Ketiga macam model
pengembangan tersebut adalah sebagai berikut:

4. 1 Model “Industri gas dalam transisi”

Dalam model ini, produsen gas (P) menjual gas ke perusahaan terintegrasi yang
menguasai transmisi, distribusi dan services (TD&S). Perusahaan gas tersebut kemudian
menjual produk-produknya (dalam bentuk bundled: gas itu sendiri, jasa transmisi,
distribusi dan supply services) ke konsumen, baik konsumen besar maupun konsumen
kecil (S-U and L-U). Dalam model ini, tidak ada pilihan (options) bagi produsen dan
konsumen untuk mengatur alternatif jasa, dan praktis tidak terjadi kompetisi di antara
pemberi jasa. Gambar 3 memperlihatkan konsep “industri gas dalam transisi.”

7
Hanan Nugroho Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004

Gambar 3. Model industri gas dalam transisi

Dari gagasan “industri gas dalam transisi” tersebut, nampak bahwa sampai saat ini
Indonesia masih menerapkan model ini. Model bundling ini, walaupun sederhana masih
menyisakan “keunggulan” yaitu dapat dimanfaatkan untuk menerapkan subsidi silang
antara segmen rantai gas dan kategori konsumen. Di Indonesia, hal ini dipraktekkan oleh
Pertamina untuk kasus penetapan harga gas bagi industri pupuk dan industri baja nasional
serta PGN dalam menetapkan harga gas untuk pelanggan rumah tangga.

4. 2 Model akses terbuka/terbatas buat konsumen besar (Open access/limited to


large consumers)
Dalam model ini, Produsen (P) menjual gas ke perusahaan transmisi (T),
kemudian T menjual kembali gas tersebut ke perusahaan Distribusi dan Supply Services
(D&S). Selanjutnya perusahaan D&S menjual gas tersebut ke konsumen kecil (S-U)
maupun konsumen besar (L-U). Di sisi lain, konsumen besar juga dapat membeli gas
secara bebas dan langsung baik dalam bentuk bundled maupun unbundled dari masing-
masing service provider (P, T dan D&S). Gambar 4 memperlihatkan secara skematik
model akses terbuka yang namun masih terbatas untuk konsumen besar.

Gambar 4. Model akses terbuka

8
Hanan Nugroho Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004

4. 3 Model akses terbuka/liberalisasi penuh untuk semua konsumen (Open


access/full liberalization to all consumers)
Dalam model ini, Produsen gas (P) menjual gas ke perusahaan transmisi (T),
kemudian T menjual kembali gas tersebut ke perusahaan Distribusi (D). Perusahaan
pemasok S(D) adalah afiliasi dari perusahaan distribusi D. Perusahaan S adalah supplier
lain yang dapat melakukan services penjualan gas, baik dalam bentuk bundled maupun
unbundled. Konsumen besar maupun kecil bebas memilih provider of services yang
mereka sukai. Gambar 5 memperlihatkan skema model liberalisasi penuh, yang telah
diterapkan di beberapa negara industri.

Gambar 5. Model liberalisasi penuh

5 Pengembangan industri hilir gas bumi di beberapa negara


Di bawah ini diuraikan contoh pengembangan industri hilir gas bumi yang
dilakukan di beberapa negara, khususnya negara maju dan yang aktif dalam melakukan
restrukturisasi sektor energinya. Uraian ditekankan pada aspek perubahan struktur industri
dan regulasi yang mengatur perubahan itu.

5.1 Amerika Serikat


Amerika Serikat (AS) yang memiliki lebih dari 800 produsen gas bumi, 580 kilang
gas, 160 perusahaan tranmisi yang mengoperasikan lebih dari 450.000 km pipa transmisi
gas, 114 perusahaan penyimpanan (storage) yang mengoperasikan lebih dari 400 tanki
penimbunan bawah tanah, 260 perusahaan penjual gas dan lebih dari 1.200 perusahaan
distribusi gas yang mengoperasikan lebih dari 1.3 juta km pipa distribusi, tak pelak lagi
adalah sebuah negara yang pengembangan industri gas buminya telah sangat maju.

9
Hanan Nugroho Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004

Struktur industri gas bumi AS mengalami perubahan yang sangat besar dalam
kurun 2 dasa warsa terakhir ini. Sebelum deregulasi dan penerapan kebijakan pipeline
unbundling, struktur industri gas bumi AS sangat sederhana, kurang lentur dan hanya
memiliki sedikit alternatif untuk menyalurkan gas. Struktur itu terdiri dari produsen, jalur
pipa antarnegara bagian (interstate pipeline), perusahaan distribusi setempat (local
distribution company: LDC) dan konsumen (end users). Gambar 6 mengilustrasikan
struktur industri gas bumi AS sebelum deregulasi.

Gambar 6. Struktur industri gas AS sebelum deregulasi

Produsen Pipa Perusahaan


gas bumi antar distribusi
negara Konsumen
setempat
bagian

Sumber: http://www.naturalgas.org

Deregulasi harga gas di kepala sumur (wellhead prices) dan penjaminan usaha
monopoli kepada perusahaan tranportasi pipa (transmisi dan distribusi) yang kemudian
diterapkan ternyata tidak merangsang terjadinya kompetisi di pasar gas. Insentif untuk
meningkatkan pelayanan dan inovasi juga sangat sedikit. Deregulasi tersebut malah
membawa industri gas bumi AS pada kekurangan pasokan (supply shortage) pada tahun
70-an serta kelebihan pasokan pada tahun 80-an.
Sekarang industri gas bumi AS
telah berubah secara drastis menjadi lebih
terbuka bagi kompetisi dan pilihan.
Harga wellhead tidak diatur lagi,
tergantung dari interaksi antara
penyediaan dan permintaan. Interstate
pipelines bukan lagi pemilik komoditi gas
bumi, tapi hanyalah pemilik pipa
tranportasi gas, yang memberikan jasa
pengangkutan dan tarif pengangkutannya
diatur oleh FERC (Federal Energy
Regulatory Committee). Konsumen
sekarang dapat membeli gas dari
perusahaan distribusi setempat (LDC),
pemasar (marketer) atau langsung dari
produsen gas. Sementara itu, perusahaan
distribusi setempat tetap membuka
bundled products pada konsumen,
sedangkan di beberapa negara bagian
terdapat retail unbundling yang Pipa transmisi gas (Batam-Singapura)
mengizinkan penggunaan jaringan

10
Hanan Nugroho Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004

distribusi mereka untuk transportasi gas.


Salah satu perbedaan utama dari sruktur industri gas bumi di AS yang berlaku
sekarang dengan yang diterapkan sebelumnya adalah muncul dan berkembangnya peran
“pemasar” (marketer) gas. Marketer ini memfasilitasi pergerakan gas bumi dari produsen
ke konsumen dan dapat bertindak sebagai perantara antar pihak-pihak yang saling
membutuhkan, misalnya untuk melakukan kontrak transportasi dan pemakaian depot.
Marketer dapat pula memiliki gas yang akan di transportasikan. Gambar 7
memperlihatkan secara sederhana struktur industri gas yang diterapkan di AS sekarang
setelah deregulasi wellhead prices dan pipeline unbundling.

Gambar 7. Struktur industri gas AS setelah deregulasi

Produsen –
memiliki gas di
sumur, dan
menjualnya ke …

Perusahaan
Pemasar distribusi Konsumen
setempat

Transporter – memindahkan gas bumi


melalui jaringan pipa …

Sumber: http://www.naturalgas.org

5. 2 Inggris
Inggris memiliki sekitar 5.900 km jaringan pipa transmisi nasional tegangan
tinggi, sekitar 12.500 km pipa transmisi regional tegangan menengah, sekitar 232.000 km
pipa distribusi lokal dan 7 fasilitas penyimpanan yang terkait dengan sistem transmisi gas
bumi nasional.
Dalam 10 tahun terakhir, industri gas bumi di Inggris mengalami perubahan
struktur dan regulasi yang cukup besar. Deregulasi telah membuka peluang kompetisi
dalam penyediaan gas untuk konsumen besar/menengah dan mengembangkan
perusahaan pemasok serta perdagangan gas independen. Seperti di AS, setelah
deregulasi, Inggris mengalami peningkatan konsumsi gas dan penurunan harga gas.
Gambar 8 memperlihatkan struktur industri gas bumi Inggris sekarang.
Industri gas di Inggris telah ditransformasikan dari industri yang terintegrasi
vertikal (vertically integrated industry) menjadi tak terintegrasi. Sebelum 1986 British
Gas (BG) beroperasi sebagai perusahaan publik yang memonopoli kegiatan transportasi
dan penyediaan gas bumi. Hanya sektor produksi, yang didominasi oleh perusahaan
multinasional, yang dibuka untuk kompetisi. Sejak tahun 1986 pemerintah Inggris

11
Hanan Nugroho Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004

melakukan privatisasi BG dan deregulasi sebagian suplai gas. Kontrak-kontrak supplai


gas diubah dari jangka panjang ke jangka menengah dan pendek, bahkan ke perdagangan
di pasar spot. Untuk mempromosikan kebijakan open access dalam jaringan pipa British
Gas, pada tahun 1989, OFGEM (Office of Gas & Electricity Market) menerapkan
kebijakan 90 : 10, dalam arti BG dibatasi hanya boleh mengangkut 90 persen dari seluruh
produksi gas, sedangkan sisanya diperebutkan oleh kompetitor BG.

Gambar 8. Struktur industri gas Inggris

Produsen
1 1

Terminal masuk
(pasar spot )
2 2

Pengirim
(shippers) 3 3 British

Gas
British Gas Trans Co
4 4
5 Sistem transmisi nasional Energy
34 wilayah distribusi
setempat

Pemasok
5
5

Konsumen Kontrak
(konsumsi tahunan lebih Konsumen Tarif
besar 2.500 therms) (konsumsi tahunan lebih kecil
dari 2.500 therms)

aliran fisik gas aliran uang aliran informasi

1 Kontrak penjualan gas alam antara produsen dengan pengangkut atau British Gas Energy
2 Transaksi gas di pasar spot.
3 Tukar menukar informasi antara British Gas Trans Co, dengan pengangkut dan BGE.
4 Kontrak transportasi dan kapasitas pipa antara British Gas Trans Co dan pengangkut.
5 Kontrak pemasokan gas bumi

Sumber: Andrej Jurij, 1999, Market development in the U.K. natural gas industry

Pada awalnya, British Gas beroperasi baik sebagai pemasok dan transportasi gas
bumi dan sebagai merchant pipeline. Pada 1993 OFGEM meminta British Gas untuk
membangun “Chinese walls” (pemisahan pembukuan) antara kegiatan transportasi dan
pemasokan. Ini selanjutnya menghasilkan pemecahan (unbundling) British Gas yang
terdiri dari British Gas Energy (BGE) and British Gas TransCo (BGT).

5. 3 Argentina
Sebagai bagian dari program restrukturisasi ekonomi yang bertujuan untuk
memperbaiki efisiensi ekonomi dengan meningkatkan investasi dan peranan swasta, pada
tahun 1992 di Argentina diperkenalkan kebijakan gas bumi baru dengan memprivatisasi

12
Hanan Nugroho Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004

perusahaan gas negara Gas del Estado (GdE) dan perusahaan hulu minyak dan gas bumi
negara Yacimientos Petroliferos Fiscales (YPF). GdE yang sebelumnya bersifat
monopoli, dimiliki seluruhnya oleh
pemerintah dipecah menjadi 2
perusahaan transmisi gas tekanan
tinggi yaitu Transportadora de Gas
del Sur (TGS) dan Transportadora
de Gas del Norte (TGN) serta 8
perusahaan distribusi gas tekanan
menengah dan rendah. Pemecahan
GdE dirancang untuk meningkatkan
kompetisi antara 2 perusahaan
transmisi tersebut dengan
memberikan akses untuk berbagai
sumber/produsen gas ke pusat-pusat
pengguna gas bumi.
Bersamaan dengan pemecahan GdE,
secara serempak dibentuk suatu
Badan Pengatur Independen Ente
Nacional Regulador del Gas
(Enargas) untuk mendukung
suksesnya deregulasi. Fungsi utama
Enargas adalah regulasi tarif
transmisi dan distribusi gas, dengan
mempertimbangkan sifat
pengusahaan bisnis tersebut sebagai
monopoli alamiah. Open-access regime untuk seluruh jaringan transmisi dan distribusi
kemudian diberlakukan di seluruh Argentina. Perusahaan transmisi tidak diizinkan untuk
memperdagangkan gas dan harus membuka akses jasa transmisi kepada konsumen,
distributor, dan trader, dan harus menjalankan usahanya tanpa sifat diskriminasi. Di
samping itu produsen gas, perusahaan penyimpanan, trader dan konsumen yang memiliki
kontrak secara langsung dengan produsen tidak boleh mengontrol kepemilikan saham
dalam perusahaan transmisi/distribusi. Demikian pula sebaliknya: distributor tidak
diizinkan memiliki kontrol dalam perusahaan transmisi dan produksi. Kebijakan ini
diberlakukan untuk mencegah adanya diskriminasi dan penguasaan pasar gas yang
berlebihan oleh suatu perusahaan tertentu. Proses reformasi industri gas bumi Argentina
yang banyak diilhami dari pengalaman Amerika Serikat, Kanada dan Inggris dalam
Pembangkit listrik tenaga gas
menata industri gas bumi mereka meruapakan salah satu contoh resktrukturisasi industri
energi yang sukses. Beberapa kunci keberhasilan restrukturisasi tersebut adalah
penciptaan lingkungan bisnis dan investasi yang menarik, pembagian yang tegas antara
fungsi pemasokan, transportasi dan perdagangan gas bumi, transparasi dalam penentuan
tarif dan kondisi pengangkutan, jaminan pengembalian hasil (rate of return) bagi investor
yang melakukan usaha, khususnya di bidang pengangkutan gas, serta tugas dan
tanggungjawab yang jelas dari Badan Pengatur disertai kemampuan organisasi dan
personalia yang kuat (IEA, 1999). Struktur industri gas Argentina sekarang dapat
diilustrasikan pada Gambar 9.

13
Hanan Nugroho Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004

Gambar 9. Struktur industri gas Argentina

PRODUSEN GAS
YPF Lainnya

PENGANGKUT KONSUMEN BESAR


EKSPOR Industri Listrik
TGN TGS

DISTRIBUSI
Metrogas BAN Litoral Centro
Pampeana Sur Cuyana Gasnor

KONSUMEN KECIL / MENENGAH


R. tangga CNG Komersil Industri Listrik

aliran fisik gas aliran komersial

Sumber, IEA 1999, Regulatory reform in Argentina's natural gas sector

5.4 Eropa Barat dan Jepang


Struktur industri gas bumi dari yang bersifat monopoli, dikuasai oleh negara
hingga yang diprivatisasi dan telah diliberalisasi penuh terdapat di kalangan negara-
negara di Eropa Barat, yang pengalaman mengembangkan industri gas buminya telah
lebih lama dibandingkan Indonesia. Inggris, sebagai telah dikemukakan sebelumnya,
merupakan contoh dari sebuah struktur industri gas bumi yang telah diprivatisasi dan
diliberalisasi dengan semangat tinggi, namun masih menyisakan dominasi British Gas
yang sebelumnya adalah perusahaan publik. Belanda memiliki cadangan gas bumi yang
sangat besar; Gasunie adalah perusahaan gas yang besar dan efisien, dimiliki oleh
pemerintah dan swasta dengan komposisi 50:50. Di sisi lain, Gas de France, yang
bersifat monopoli, dikuasai oleh negara dan di bawah pengaturan Commission de
Regulation de l’Energie, merupakan contoh tentang bagaimana sebuah industri yang
dikuasai oleh negara juga dapat beroperasi dengan sangat efisien (Electricite de France
juga merupakan BUMN yang efisien di bidang kelistrikan). Pengembangan jaringan
transmisi dan distribusi gas bumi di Jepang masih ketinggalan dibandingkan dengan yang
telah dikembangkan oleh negara-negara Eropa Barat.
Tabel 3 memperlihatkan status industri gas bumi yang saat ini terdapat di Eropa
Barat dan Jepang.

14
Hanan Nugroho Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004

Tabel 3. Status industri gas bumi di Eropa dan Jepang

Negara Status industri gas buminya

1. Belgia Perusahaan gas nasional, Distrigaz, sebagian telah


diswastakan. Belgia adalah pusat penyebaran (hub) jaringan
gas Eropa.
2. Perancis Gas de France adalah perusahaan negara yang memonopoli
usaha di bidang gas. Walaupun dikelola oleh negara, namun
sangat efisien.
3. Jerman Industri gas buminya sangat kompetitif, dikelola oleh sektor
swasta.
4. Itali Industri gas buminya dikelola oleh negara. SNAM adalah
perusahaan transportasi pipa nasional, sedangkan AGIP
adalah produsen minyak dan gas bumi milik negara.
5. Belanda Gasunie dimiliki oleh negara 50 persen dan swasta 50 persen,
memiliki monopoli transportasi pipa namun kompetitornya
mulai tumbuh.
6. Spanyol Gas Natural pada awalnya adalah perusahaan negara namun
kini telah diswastakan. Pemerintah mengarahkan pada
liberalisasi industri.
7. Inggris Industri gas buminya telah diswastakan dan diliberalisasi.
8. Jepang Jaringan transmisi dan distribusinya belum terbangun dengan
baik. Mengandalkan impor LNG dan pengembangan industri
di sekitar terminal LNG.
Sumber: Andrej Juris, 1999, Market development in the UK natural gas industry;
dan http://www.naturalgas.org

6 Undang-undang No. 22 Tahun 2001 dan sektor hilir gas bumi


Undang-Undang No. 22 tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi berisikan
semangat untuk memajukan sektor hilir minyak dan gas bumi Indonesia, antara lain
dengan membuka peluang bagi lebih banyak pelaku untuk berusaha di sektor hilir minyak
dan gas bumi, serta mengembangkan BPH MIGAS. Untuk mempromosikan persaingan
usaha yang wajar, sehat dan tranparan, setiap Badan Usaha dapat melakukan kegiatan
usaha di bidang hilir minyak dan gas bumi (pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan
niaga) setelah mendapatkan izin usaha dari Pemerintah. Dalam kaitannya dengan
pengembangan industri gas bumi, UU 22/2001 dengan tegas menyatakan bahwa
“Pemerintah memberikan prioritas terhadap pemanfaatan Gas Bumi untuk kebutuhan
dalam negeri ...” (Pasal 8:1).
Beberapa hal pokok lainnya yang dikemukakan oleh UU 22/2001 dan berkaitan
dengan sektor hilir gas bumi adalah sebagai berikut:
• Kegiatan Usaha Hilir dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha setelah mendapatkan
Izin Usaha dari pemerintah ... (Pasal 23:1)
• Izin Usaha yang diperlukan untuk kegiatan usaha Minyak Bumi dan/atau kegiatan
usaha Gas Bumi dibedakan atas: (a) Izin Usaha Pengolahan, (b) Izin Usaha
Pengangkutan, (c) Izin Usaha Penyimpanan, (d) Izin Usaha Niaga ... (Pasal 23:2).
• Setiap Badan Usaha dapat diberi lebih dari 1 (satu) Izin Usaha sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. ...
(Pasal 23:3)

15
Hanan Nugroho Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004

• Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan Kegiata Usaha Hulu
dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir. ... (Pasal 10:1).
• Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan
Kegiatan Usaha Hulu. ... (Pasal 10:2).
• Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25%
(dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas
Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. ... (Pasal 22:1).
• Terhadap kegiatan pengolahan lapangan, pengangkutan, penyimpanan, dan
penjualan hasil produksi sendiri sebagai kelanjutan dari Eksplorasi dan Eksploitasi
yang dilakukan Badan Usaha atau Bnetuk Usaha Tetap tidak diperlukan Izin
Usaha tersendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23. ... (Pasal 26).
• Menteri menetapkan rencana jaringan transmisi dan distribusi gas bumi nasional.
... (Pasal 27:1).
• Terhadap Badan Usaha pemegang Izin Usaha Pengangkutan Gas Bumi melalui
jaringan pipa hanya dapat diberikan ruas Pengangkutan tertentu. ... (Pasal 27:2).
• Terhadap Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Gas Bumi melalui jaringan
pipa hanya dapat diberikan wilayah Niaga tertentu. ... (Pasal 27:3).
• Pelaksanaan pemanfaatan fasilitas bersama diatur oleh Badan Pengatur dengan
tetap mempertimbangkan aspek teknis dan ekonomis. ... (Pasal 29:2).

Untuk menunjang pelaksanaan UU No. 22 tahun 2001, telah dibuat beberapa


Peraturan Pemerintah (PP), misalnya tentang BP MIGAS dan BPH MIGAS. Peraturan
Pemerintah mengenai Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi merupakan PP yang
sangat penting, termasuk bagi penataan industri hilir gas bumi. Pada saat tulisan ini
disusun, PP Hilir tersebut belum diterbitkan, namun demikian telah terdapat Rancangan
PP-nya yang belum disahkan.
Beberapa isi pokok RPP Hilir yang terkait dengan kegiatan hilir gas bumi dapat
dikemukakan sebagai berikut:
• Kegiatan Usaha Niaga Umum (wholesale) adalah kegiatan usaha penjualan,
pembelian, ekspor dan impor Bahan Bakar Minyak dan Bahan Bakar Gas dalam
skala besar yang menguasai atau mempunyai fasilitas dan sarana penyimpanan dan
berhak menyalurkannya kepada semua pengguna akhir dengan menggunakan
merek dagang tertentu.
• Kegiatan Usaha Niaga Terbatas (trading) adalah kegiatan usaha penjualan,
pembelian, ekspor dan impor Bahan Bakar Minyak dan Bahan Bakar Gas dalam
skala besar yang tidak menguasai atau mempunyai fasilitas dan sarana
penyimpanan dan hanya dapat menyalurkannya kepada pengguna yang
mempunyai/menguasai fasilitas dan sarana pelabuhan dan/atau terminal penerima
(receiving terminal).
• Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan dengan Izin Usaha dan diselenggarakan
melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan.
• Badan Pengatur menyelenggarakan pengaturan dan pengawasan atas pelaksanaan
penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Pengangkutan Gas
Bumi melalui pipa yang diselenggarakan oleh Badan Usaha yang telah mendapat
Izin Usaha dari Menteri.
• Wilayah Usaha Niaga Bahan Bakar Minyak adalah wilayah tertentu berdasarkan
batasan geografis yang diberikan Badan Pengatur kepada Badan Usaha pemegang
Izin Usaha Niaga Umum Bahan Bakar Minyak untuk melaksanakan penyediaan
dan pendistribusian BBM jenis bensin, solar dan minyak tanah.

16
Hanan Nugroho Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004

• Badan Usaha wajib memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk secara
bersama memanfaatkan fasilitas dan sarana pengangkutan melalui pipa yang
dimilikinya atas dasar kesepakatan bersama dan pertimbangan nilai keekonomian
yang wajar.
• Dalam melaksanakan kegiatan usaha Pengolahan, Badan Usaha perlu
memperhatikan kepentingan nasional yang berkaitan dengan pemenuhan
kebutuhan Bahan Bakar Minyak dan Bahan Bakar Gas di dalam negeri.
• Pemanfaatan bersama fasilitas dan sarana Pengangkutan diatur dan ditetapkan
lebih lanjut oleh Badan Pengatur dengan tetap mempertimbangkan aspek teknis
dan ekonomis
• Pengaturan dan penetapan serta pengawasan tarif (toll fee) dilakukan oleh Badan
Pengatur dengan mempertimbangkan perhitungan keekonomian dari Badan Usaha,
kepentingan pemakai dan konsumen.
• Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional ditetapkan
oleh Menteri dengan mempertimbangkan masukan dari Badan Pengatur dan
Badan Usaha serta memperhatikan kepentingan pemerintah dalam
mengembangkan pasar domestik. Dalam melaksanakan kegiatan usaha
Pengangkutan Gas Bumi melalui pipa, Badan Usaha wajib menyesuaikan dengan
Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional.
• Badan Pengatur memberikan hak khusus Pengangkutan Gas Bumi melalui pipa
pada ruas tertentu dari transmisi Gas Bumi dan pada wilayah tertentu dari jaringan
distribusi Gas Bumi kepada Badan Usaha berdasarkan Rencana Induk Jaringan
Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional.
• Pengawasan dilakukan oleh Menteri yang antara lain berkaitan dengan: jenis,
standar dan mutu Bahan Bakar Minyak, Gas Bumi, Bahan Bakar Gas dan Bahan
Bakar Lain serta Hasil Olahan Lain; keselamatan operasi dan kesehatan kerja serta
pengelolaan lingkungan; penggunaan tenaga kerja asing dan pengembangan
tenaga kerja Indonesia; pemanfaatan barang, jasa, teknologi dan kemampuan
rekayasa dan rancang bangun dalam negeri; pengembangan lingkungan dan
masyarakat setempat; penguasaan, pengembangan dan penerapan teknologi
Minyak dan Gas Bumi; pelaksanaan Izin Usaha; kaidah keteknikan yang baik;
penggunaan peralatan sebagai alat ukur pada Kegiatan Usaha Hilir.

7 Apa yang bisa kita pelajari?

Berdasarkan pembahasan di atas, khususnya mengenai struktur, infrastruktur dan


pelaku industri hilir gas bumi Indonesia, model pengembangan industri hilir, pengalaman
beberapa negara lain dalam pengembangan industri hilir gas bumi, serta amanat UU
22/2001 tentang minyak dan gas bumi, dapat ditarik beberapa pelajaran pokok. Pelajaran
atau kesimpulan yang relevan dengan situasi yang sedang menghadapi industri hilir gas
bumi Indonesia tersebut diuraikan di bawah ini.
Pembahasan mengenai infrastruktuktur industri hilir Indonesia menunjukkan
bahwa infrastruktur industri hilir gas bumi Indonesia, khususnya jaringan transmisi dan
distribusinya, masih sangat terbatas. Keterbatasan infrastruktur ini dapat dipahami karena
alasan biaya investasi yang sangat mahal untuk mengembangkannya (terutama untuk
menghubungkan pusat-pusat produksi gas yang berjarak sangat jauh dengan pusat-pusat
konsumsi di pulau Jawa), di samping itu karena kebijakan pengembangan industri gas
bumi yang dilakukan selama ini memang masih bertumpu pada pengembangan sisi hulu

17
Hanan Nugroho Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004

dengan produksi gas ditujukan untuk ekspor. Pelajaran penting yang dapat ditarik dari
pengalaman industri maju mengembangkan infrastrukturnya adalah bahwa segera setelah
pembangunan jaringan infrastruktur gas dilakukan, permintaan terhadap gas bumi tumbuh
dengan cepat. Pengalaman empirik ini perlu dijadikan pelajaran, khususnya karena UU
22/2001 mengamanatkan pemanfaatan gas yang lebih banyak untuk kebutuhan dalam
negeri, dan ini tidak dapat dilepaskan dari pengembangan infrastruktur yang memadai. Di
samping itu, pengusahaan sisi hilir gas bumi Indonesia dalam banyak segi masih dicirikan
oleh karakteristik pengusahaan monopoli, didominasi oleh Badan Usaha Milik Negara,
dengan sebuah BUMN beroperasi secara terintegrasi vertikal.
Dari beberapa model struktur industri gas bumi yang dikemukakan, terlihat bahwa
perkembangan industri hilir gas bumi di Indonesia sampai saat ini masih dapat
digolongkan ke dalam model “industri gas dalam transisi”, yang berarti masih dalam
tahap awal atau mengandung potensi besar untuk dikembangkan lebih lanjut. Untuk
sementara juga dapat disimpulkan bahwa tidak ada model tunggal yang sesuai untuk
semua negara. Struktur industri hilir gas bumi suatu negara sangat tergantung pada
kondisi negara tersebut baik dari aspek pemerintah, regulasi, ketersediaan sumber energi,
pasar, konsumen serta perkembangan sektor swastanya. Perkembangan struktur industri
gas yang sehat adalah yang menuju ke arah kompetisi dan menghindarkan praktek
monopoli atau dominasi yang berlebihan dari suatu pelaku usaha. Untuk itu, peran
produsen hulu, produsen hilir, transportasi dan niaga perlu dipisahkan secara lebih tegas.
Infrastruktur yang berkarakteristik monopoli alamiah seperti jaringan transmisi gas dan
fasilitas penyimpanan harus memberlakukan sifat open access, artinya dapat
dipergunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Peranan Badan Pengatur yang kuat
sangat diperlukan untuk membimbing perilaku berusaha yang sehat dan agar proses
transformasi industri menjadi lebih efisien.
Dari pengalaman negara
lain mengembangkan industri hilir
gas bumi dapat pula ditarik
pelajaran bahwa penyiapan rencana
induk (master plan) jaringan
transmisi dan distribusi gas bumi
akan sangat penting untuk
membimbing proses transformasi
industri gas bumi menuju struktur
yang lebih efisien. Pembangunan
infrastruktur baru, khususnya untuk
ruas-ruas transmisi dan pembagian
wilayah distribusi gas bumi bisa
efektif dilakukan hanya bila
terdapat rencana induk
pengembangan jaringan transmisi
dan distribusi yang formal dan
terbuka terhadap semua calon
investor atau pemain baru yang
ingin berusaha di bidang
pembangunan jaringan transmisi,
pengangkutan, penyimpanan atau Mengirimkan gas bumi dengan pipa dan
jasa pemasaran gas. Badan tanker LNG
Pengatur dapat menerapkan
regulasi yang jelas, adil dan

18
Hanan Nugroho Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004

transparan hanya bila rencana induk pengembangan jaringan transmisi dan distribusi
tersebut disediakan.
UU No 22 tahun 2001 menunjukkan bahwa sudah ada kejelasan pengaturan peran
pelaku usaha hilir industri gas bumi seperti Badan Pengatur, Badan Usaha Niaga Umum
(wholesale) dan Badan Usaha Niaga Khusus (trading), lingkup usaha di bidang
pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga, serta pemanfaatan fasilitas
pengangkutan dan penyimpanan yang bersifat open access. Namun demikian, UU
22/2001 tersebut belum memperlihatkan tahapan transformasi struktur industri hilir gas
bumi dengan bentuk ideal apa yang ingin dicapai pada suatu periode. PP Hilir perlu
menunjukkan indikasi yang lebih kuat mengenai transformasi struktur industri gas bumi
yang ingin dilakukan tersebut. Sebuah cetak biru (blue print) bagi migrasi struktur
industri gas bumi nasional menjadi bentuk idealnya perlu dibuat.

8 Masalah yang dihadapi serta kondisi yang diperlukan untuk


mengatasinya

8. 1 Permasalahan yang menghadang industri hilir gas bumi


Berdasarkan pemahaman terhadap literatur dan UU No. 22/2001, mempelajari
pengalaman negara lain dalam mengembangkan industri gas bumi mereka serta
melakukan dengar pendapat dengan kalangan pemerintah, Badan Pengatur dan pelaku
industri hilir gas bumi, dapat diidentifikasi sejumlah masalah yang sedang dihadapi oleh
industri hilir gas bumi di Indonesia saat ini.

Beberapa masalah industri hilir gas bumi tersebut dapat diringkaskan sebagai
berikut:
• Belum siapnya perangkat kebijakan untuk mendukung pelaksanaan UU No. 22/ 2001,
khususnya PP Hilir yang belum diterbitkan. Hal ini menyebabkan belum dapat
diimplementasikannya sejumlah kebijakan yang berkenaan dengan sektor hilir gas
bumi. Selanjutnya, hal ini juga menimbulkan suasana ketidakpastian di kalangan
calon pelaku usaha.
• Pengembangan kelembagaan BPH MIGAS, yang sangat dibutuhkan untuk
mengantisipasi pelaksanaan UU No. 22/2001, ternyata berjalan kurang cepat. Setelah
sekitar 3 tahun UU No. 22/2001 diterbitkan, BPH MIGAS belum dapat secara penuh
menjalankan peran regulatory-nya. Keadaan ini juga mengakibatkan calon penanam
modal terus melanjutkan sikap “tunggu dan lihat” (wait and see).
• Rencana induk (master plan) jaringan transmisi dan distribusi gas bumi nasional
belum tersedia. Hal ini mengakibatkan rencana pengembangan infrastruktur,
transportasi, penyimpanan dan niaga gas bumi tidak memiliki acuan yang jelas.
Rencana induk jaringan transmisi dan distribusi gas bumi yang formal, legitimate,
yang dikeluarkan oleh Menteri Energi & Sumberdaya Mineral (sebagai ditetapkan
oleh UU No. 22/2001 Pasal 27:1) sangat dibutuhkan segera, dan akan berfungsi antara
lain untuk menghindarkan terjadinya tumpang tindih sarana transportasi dan niaga gas
bumi yang secara ekonomi merugikan. Rencana induk yang tegas/jelas juga akan
menghindarkan berkembangnya penerapan wacana yang saling bertentangan,
misalnya soal pembangunan LNG receiving terminal oleh BP vs pipa transmisi oleh
PGN, dan rencana pengembangan infrastruktur gas oleh PT Igas vs PGN.
• Infrastruktur gas bumi yang telah dibangun masih sangat terbatas. Jaringan transmisi
sepanjang 1.280 km dan jaringan distribusi sepanjang 2.547 km adalah sangat kecil

19
Hanan Nugroho Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004

dibandingkan fasilitas serupa yang dimiliki oleh negara-negara maju (Inggris,


Belanda, bahkan Jepang) dan sangat sedikit dibandingkan ukuran wilayah Indonesia.
Infrastruktur yang telah dikembangkan untuk pemakaian gas bumi di dalam negeri
masih jauh ketinggalan dibandingkan infrastruktur untuk mendistribusikan BBM.
Infrastruktur yang telah dikembangkan untuk pemanfaatan gas bumi juga masih
sangat ketinggalan dibandingkan infrastruktur yang dikembangkan untuk sektor yang
lain (misalnya listrik dan telekomunikasi).
• Kapasitas investasi bagi pembangunan infrastruktur hilir gas bumi yang masih sangat
rendah atau belum termobilisasi. Hal ini, digabungkan dengan faktor-faktor yang telah
disebutkan sebelumnya, berpotensi menghambat pelaksanaan pembangunan proyek-
proyek infrastruktur yang sangat dibutuhkan dan akan tumbuh begitu rencana induk
jaringan transmisi dan distribusi gas bumi nasional diterbitkan. Skema-skema
pembiayaan proyek pembangunan infrastruktur gas bumi, yang memiliki karakteristik
biaya investasi sangat besar, membutuhkan waktu pembangunan yang relatif panjang
dan selama ini jarang dilakukan, belum banyak dikembangkan.
• Harga bahan bakar minyak (BBM) di pasar dalam negeri masih rendah, bahkan
sebagian besar penggunaannya oleh masyarakat masih disubsidi oleh pemerintah.
Harga BBM yang rendah, yang berada di bawah harga ekonominya, mengakibatkan
konsumsi dan investasi untuk sumber energi lain yang dapat bertindak sebagai
substitusi BBM menjadi tidak berkembang. Gas bumi khususnya, yang cadangan
(reserves)-nya di Indonesia adalah lebih banyak dibandingkan minyak bumi
sedangkan harganya lebih murah daripada minyak bumi, namun karena pembangunan
infrastrukturnya sangat mahal, menjadi terhambat perkembangannya karena faktor
murahnya harga BBM tersebut. Murahnya harga BBM juga menyebabkan
masyarakat menjadi tergantung pada BBM, menggunakannya secara boros, dan tidak
mengembangkan prakarsa untuk menggunakan sumber-sumber energi lain yang
sesungguhnya tersedia cukup banyak di tanah air.
• Transportasi gas masih dikuasai oleh dua BUMN, yaitu PGN dan Pertamina di
samping kontraktor bagi hasil British Petroleum. Pertamina dan BP selain sebagai
produsen gas juga bertindak sebagai transporter dan trader, sedangkan PGN sendiri
bertindak sebagai tranporter dan trader. Dalam hal ini, perlu diatur peran yang jelas
dari PGN dan Pertamina. Lebih jauh, pengembangan struktur industri hilir gas bumi
dari pemain yang sangat terbatas dan memainkan peran dominan ke struktur yang
lebih kompetitif dengan membuka peluang yang lebih besar kepada pemain baru akan
sangat membantu.
• Dalam menyongsong liberalisasi sektor hilir, termasuk gas bumi, (calon) pelaku ritel
mempertanyakan kebijakan yang berpihak pada kepentingan nasional dan
mempertanyakan seberapa besar kesempatan yang diberikan kepada investor asing
untuk melakukan usaha di sektor hilir gas bumi. Transparansi dan aspek keadilan
dalam penentuan pemegang hak khusus pengangkutan pada ruas pipa tertentu serta
bagaimana tarif angkutan (toll fee) itu nantinya akan ditentukan oleh BPH MIGAS
juga menjadi pertanyaan di kalangan pelaku usaha hilir gas bumi.

8. 2 Kondisi yang dibutuhkan bagi perkembangan industri hilir gas bumi yang
sehat
Dari analisis terhadap struktur industri gas bumi yang kita miliki, pelaku, pangsa,
serta pelajaran yang dapat ditarik (lesson learnt) dari perkembangan industri gas bumi di
luar negeri, maka aspek kebijakan yang dibutuhkan untuk mendukung kemajuan industri
hilir gas bumi Indonesia sekarang ini adalah:

20
Hanan Nugroho Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004

• Tersedianya rencana induk pengembangan jaringan transmisi dan distribusi gas bumi
nasional.
• Kebijakan transisi untuk menarik investasi di sektor infrastruktur gas bumi.
Terbatasnya infrastruktur hilir gas bumi menyebabkan akses masyarakat untuk
mendapatkan energi tersebut masih rendah. Oleh karena itu, sebelum mengharapkan
terciptanya pertumbuhan permintaan gas bumi yang pesat atau pasar gas yang
kompetitif, diperlukan semacam kebijakan transisi untuk menarik investasi di sektor
infrastruktur gas bumi, khususnya untuk pembangunan jaringan transmisi, distribusi
dan penyimpanan gas bumi. Karena biaya investasi untuk pembangunan jaringan
transmisi, distribusi dan penyimpanan gas bumi tersebut sangat besar, maka perlu
ditawarkan semacam kompromi dengan memberikan insentif khusus atau kontrak/hak
jangka panjang untuk memasarkan produk agar investasi pada pembangunan
infrastruktur tersebut tetap menarik secara ekonomis.

• Kebijakan harga energi perlu diperbaiki dengan semangat agar harga energi yang
berlaku di pasar domestik bisa segera mencapai nilai keekonomian atau mereflesikan
opportunity cost dari pengusahaan jenis energi tersebut. Bagi gas bumi, penentuan
harga berdasarkan interaksi langsung antara konsumen dengan produsen perlu
dikembangkan, sementara penerapan kebijakan subsidi silang antara pengguna gas
bumi yang secara historik pernah dilakukan kini tak dapat dipertahankan lagi.
• Setelah tersedia infrastruktur monopolistik seperti terminal, penyimpanan dan pipa
transmisi mulai terbentuk, maka deregulasi selanjutnya perlu difokuskan untuk
menuju terciptanya pasar gas bumi yang kompetitif.

Selain ketiga faktor utama di atas, beberapa kondisi penting lainnya untuk
mendukung terciptanya industri (hilir) gas bumi dapat diringkaskan sebagai berikut:
• Adanya kebijakan umum yang jelas mengenai gas bumi.
• Disiapkannya gagasan struktur industri gas bumi yang berorientasi pada kompetisi,
termasuk rencana migrasi dari struktur industri yang sekarang masih bersifat
monopolistik dan berada dalam fase “industri gas dalam transisi” menuju industri gas
yang lebih terbuka terhadap kompetisi.
• Berperannya Badan Pengatur yang independen dengan kebijakan yang bersifat non
diskriminatif, transparan dan menjamin level of playing field yang sama dari pelaku
usaha di bidang gas bumi.
• Adanya transparansi penentuan harga dan tarif yang mencerminkan biaya produksi,
tranportasi dan ukuran pasar.
• Adanya pemisahan peran perusahaan pengolahan, transportasi dan trading serta
penyediaan akses yang memadai untuk pihak ketiga agar bisa masuk ke dalam pasar
gas.
• Adanya multiplicity of suppliers yang handal dalam jumlah dan ukuran.
• Fasilitas transportasi dan penyimpanan harus mencukupi untuk memenuhi permintaan
dan bersifat open acces tanpa perlakuan tarif yang berbeda (price discrimination)
terhadap pelaku usaha.
• Menghilangkan hambatan untuk masuk (barrier to entry) pasar gas bumi bagi pemain
baru, khususnya dengan menyiapkan prosedur birokrasi yang lebih sederhana dan
menghilangkan kebijakan/peraturan yang menghambat.
• Untuk menciptakan kondisi minimum terciptanya kompetisi diperlukan waktu bagi
pasar gas bumi untuk bereaksi terhadap kondisi baru yang kompetitif. Selama periode
transisi tersebut hal-hal berikut menjadi penting: (i) beberapa pelaku harus selalu siap

21
Hanan Nugroho Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004

beroperasi dengan memperhatikan ukuran pasar yang dihadapi, (ii) hubungan dengan
perusahaan swasta harus ditangani secara serius oleh pemerintah, dan (iii) Badan
Pengatur harus memantau pasar dan bereaksi secara cepat terhadap kualitas produk
dan perilaku yang tidak kompetitif.
• Diterapkannya kebijakan kompetisi pada dasarnya adalah untuk menjamin agar
konsumen mendapatkan harga energi yang wajar dan memiliki pilihan terhadap
alternatif penyediaan energi. Namun demikian, penerapan kebijakan yang
berorientasi kompetisi perlu mempertimbangkan adanya “saling tukar” (trade off)
antara: (i) pilihan pemasokan dengan keamanan pasokan (security of supply vs suplier
choice), (ii) pembangunan infrastruktur yang sangat mahal vs terciptanya pasar
wilayah terpencil, dan (iii) menyusul, harga di pasar spot (yang belum tercipta di
Indonesia) dibandingkan harga berdasarkan kontrak jangka pendek dan jangka
panjang.

9 Kesimpulan dan rekomendasi

Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi berisikan
semangat untuk memperbaiki aspek-aspek pengaturan, pengelolaan dan fungsi tata praja
(governance) dalam industri minyak dan gas bumi Indonesia. Untuk industri gas bumi
khususnya, hal tersebut ditunjukkan dengan dikumandangkannya liberalisasi sektor hilir
gas bumi dan pembentukan Badan Pengatur yang mengembangkan dan mengawasi
regulasi industri hilir minyak dan gas bumi.
Meskipun Indonesia telah sangat maju dalam mengembangkan industri gas
buminya dalam bentuk LNG untuk diekspor, namun struktur industri gas bumi Indonesia,
khususnya yang diterapkan di dalam negeri, masih sangat sederhana sehingga dapat
dikelompokkan ke dalam model “industri gas dalam transisi.” Pengusahaan gas bumi di
sektor hilir didominasi oleh perusahaan negara, PT Pertamina dan PT PGN. Infrastruktur
gas bumi yang telah dibangun (transmisi, distribusi, penyimpanan) masih sangat terbatas
dibandingkan potensi permintaan gas bumi di dalam negeri yang sangat besar.
Tantangan yang dihadapi industri gas bumi Indonesia, khususnya di sektor hilir saat ini
adalah penyiapan rencana induk pembangunan jaringan tranmisi dan distribusi gas
nasional, mempercepat penerbitan PP Hilir dan mempercepat pelaksanaan fungsi BPH
MIGAS. Tantangan lainnya adalah memobilisasi investasi bagi pembangunan
infrastruktur gas bumi.

Beberapa rekomentasi yang dapat dikemukakan bagi pengembangan industri hilir


gas bumi Indonesia berdasarkan uraian dan analisis yang telah dilakukan di atas adalah
sebagai berikut:
• Mempercepat pengembangan kelembagaan BPH MIGAS dan penerbitan Peraturan
Pemerintah mengenai kegiatan hilir minyak dan gas bumi.
• Segera menerbitkan rencana induk (master plan) jaringan pengembangan transmisi
dan distribusi gas bumi.
• Untuk mengatasi keterbatasan infrastruktur hilir gas bumi yang terkait dengan
pengolahan, transmisi, distribusi dan penyimpanan, maka perlu menyiapkan
kebijakan/peraturan seperti insentif, perpajakan dan harga energi yang dapat menarik
investasi di sektor tersebut (yang selama ini masih didominasi oleh Pertamina dan
PGN).

22
Hanan Nugroho Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004

• Pelaksanaan pengaturan ruas jaringan pipa gas, baik pemenang pembangunannya,


perusahaan transporter-nya maupun besaran toll fee yang dilakukan oleh BPH
MIGAS harus bersifat transparan, adil dan tidak menghambat iklim kompetisi.
• Setelah sarana pengolahan, transportasi dan penyimpanan gas bumi memadai,
deregulasi sektor hilir gas bumi selanjutnya difokuskan hingga pasar retail gas dengan
menciptakan kejelasan dan penyederhanaan prosedur bagi pemain baru yang akan
masuk ke dalam pasar retail gas bumi.
• Menerapkan kebijakan harga gas bumi yang mencerminkan ongkos transportasi untuk
daerah dan ukuran pasar yang berbeda, namun dengan tetap memperhatikan
kemudahan akses terhadap gas bumi bagi kalangan masyarakat yang kurang mampu.
• Membuat tahapan yang jelas untuk mencapai terciptanya kondisi minimum iklim
kompetisi, serta cetak biru (blue print) bagi rencana migrasi struktur industri gas bumi
yang ada saat ini menuju struktur yang dikehendaki untuk periode mendatang.
• Memberikan pemahaman yang lebih luas kepada masyarakat mengenai keunggulan
gas bumi dibandingkan sumber energi lainnya khususnya energi fosil serta pentingnya
subsitusi gas terhadap BBM yang dimaksudkan untuk mendorong masyarakat
memanfaatkan lebih banyak gas bumi. Demikian pula, perlu melakukan sosialisasi
kepada masyarakat mengenai peran Badan Pengatur dalam pengelolaan gas bumi
nasional.

Penghargaan
Terima kasih kepada Dr. Widodo
Purwanto (Pengkajian Energi Universitas
Indonesia) yang telah memberikan
masukan yang sangat berharga pada
tahap awal penyusunan makalah ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada Bpk. Gumilang Hardjakoesoema
(Direktur Energi, Telekomunikasi dan
Informatika BAPPENAS) untuk
Menyambung pipa gas ke komentar dan masukan yang berharga
rumah-rumah (distribusi) bagi penyempurnaan makalah ini.

23
Hanan Nugroho Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004

Daftar Pustaka

Bank, Ferdinand. 2000. Energy Economics, a modern introduction. Netherland: Kluwer


Academic Publishers.
Barnes, Phillips. 1995. Indonesia: the political economy of energy. Oxford: Oxford
Institute for Energy Studies.
Bappenas & Pengkajian Energi Universitas Indonesia. 2003. Kajian Kebijakan Energi
Mix di Indonesia. Jakarta: Bappenas.
Bappenas. 2004. The economic landscape of Indonesian infrastructure. Jakarta.
BP MIGAS. 2004. International and domestic gas sales projections. Jakarta.
Collins, Tom. 2003. National oil companies: restructuring, commercialization and
privatization. Private Consultant.
Dikun, Suyono (ed.). 2003. Infrastruktur Indonesia: Sebelum, Selama dan Pasca Krisis.
Jakarta: Bappenas.
Ditjen Minyak & Gas Bumi. 2002. Data dan informasi minyak dan gas bumi. Jakarta.
Directorate General of Oil and Gas. 2004. Policy on natural gas for domestic utilization.
Jakarta: Ditjen Minyak & Gas Bumi.
Eleodoro M.A.. 1995. Deregulation and reform of petroleum market: from monopolies to
new regulated Market. Washingyon, D.C.: World Bank.
Forum Wartawan Energi & Sumberdaya Mineral, 2003, GAS: Energi masa depan.
Jakarta.
Gracia, R.E.. 2002. Restructuring the gas industry. Pakistan: Petroleum Sector Review
Workshop.
Groenendaal, Willem. 1998. The economic appraisal of natural gas projects.
Oxford: Oxford Institute for Energy Studies.
Haryono, T. 2004. Regulatory concerns in project development. Jakarta: BPH MIGAS.
Hetland, Jens. 2002. Advantages of natural gas over other fossil fuels. Norway.
SIMTEF Energy Research.
International Energy Agency. 1999. Regulatory reform in Argentina’s natural gas
sector. Paris: IEA.
Julius, DeAnne & Afsaneh Mashayekhi. 1994. The economics of natural gas: pricing,
Planning and policy. Oxford: Oxford Institute for Energy Studies.
Komite Pengawas Persaingan Usaha. 2003. Kajian industri minyak dan gas bumi.
Jakarta: KPPU.
Masseron, Jean. 1990. L’economie des hydrocarbures. Paris: Institut Francais du
Petrole.
Nugroho, Hanan. 2004. Increasing the share of natural gas in national industry and
energy consumption: infrastructure developmet plan? Jakarta: Perencanaan
Pembangunan No. IX/3/2004, halaman 20-33.
Nugroho, Hanan et all. Gas energy pricing in Indonesia for promoting the sustainable
economic growth. Proceeding, The 19-th World Energy Congress & Exhibition,
Sydney, 5-9 September 2004.
Nugroho, Hanan et all. Forthcoming. Indonesia: deregulation of power industry after the
implementation of the new electricity law.
Nugroho, Hanan. 2004. Penyediaan BBM Nasional, Masalah Besar Menghadang.
Jakarta: Kompas, 6 Juli 2004.
Pertamina. 2000-2002. Laporan tahunan. Jakarta: Pertamina.
Peirce, William. 1996. Economics of the energy industries. Connecticut: Praeger
Publishers.
PGN-Pendawa Consultama. 2003. The study of the East Kalimantan gas pipeline

24
Hanan Nugroho Perencanaan Pembangunan No. IX/04 September 2004

Projects. Jakarta: PGN.


PLN. 2004. Kebutuhan gas untuk sektor tenaga listrik. Jakarta: PT PLN.
Priddle, Robert. 2000, Developing natural gas markets. San Diego: APEC Energy
Ministers Conference.
Rahardjo, Irawan. 2000. The development of natural gas pipeline in Indonesia. Bali:
Proceeding, The 6th AEESEAP Conference.
Tsuji, Masatsugu et all. 2000. Private initiatives in infrastructure: priorities, incentives
and performance. Tokyo: IDE-JETRO.
US Embassy in Jakarta. Indonesia Petroleum Report 2002. Jakarta.
Yusgiantoro, Purnomo. 2000. Ekonomi energi: teori dan praktek. Jakarta: LP3ES.

Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.


Peraturan Pemerintah No. 42 / 2002 tentang BP MIGAS
Peraturan Pemerintah No. 67 / 2002 tentang BPH MIGAS

http://www.adb.org
http://www.djlpe.go.id
http://www.iea.org
http://www.naturalgas.org
http://www.pgn.co.id
http://www.usembassyjakarta.org/

25

Das könnte Ihnen auch gefallen