Sie sind auf Seite 1von 2

KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS UNTUK GENERASI MUDA KITA

Oleh Patrisius Istiarto Djiwandono

Kemampuan berpikir kritis sudah saatnya ditanamkan kepada generasi muda Indonesia.
Lepas dari fakta bahwa di negara asalnya, Amerika Serikat, pemikiran ini sudah dan sedang
gencar-gencarnya digenjot di bangku sekolah dan kuliah, ketrampilan berpikir kritis memang
salah satu bekal dalam menghadapi dunia yang makin kompleks dimana banjir informasi
melanda penghuninya lewat berbagai jejaring sosial di dunia maya. Tanpa kemampuan bernalar
kritis, generasi muda Indonesia akan cenderung menelan informasi dari segenap penjuru jagad
secara bulat-bulat tanpa olah pikir yang secara cermat dan bijak akan menyeleksi informasi yang
benar dan terpercaya. Bukan hanya itu, namun ketika mengenyam pendidikan pun, kemampuan
berpikir kritis sangat mereka perlukan untuk memantapkan tujuan, menentukan berbagai cara
mencapai tujuan tersebut, mempertimbangkan segala konsekuensi yang mungkin timbul akibat
cara tersebut, menguji sekian banyak asumsi, menarik kesimpulan, sampai pada mengevaluasi
hasil yang dicapai. Tak jarang pada proses ini terjadi revisi asumsi dan modifikasi penarikan
kesimpulan. Tak jarang pula pada tahap tertentu mereka harus bersikap rendah hati secara
intelektual, mau dengan terbuka menerima kesalahan pola pikirnya dan menerima kebenaran
cara pikir orang lain. Karena sifatnya yang mendasari cara pikir ini, kemampuan berpikir kritis
bukan hanya diperlukan kerika mempelajari materi kuliah dan menyelesaikan tugas, namun juga
ketika seorang akademikus melakukan penelitian, mengkaji masalah sosial dan melakukan
pengabdian masyarakat, sampai pada memimpin organisasi.

Konsep berpikir kritis sendiri didefinisikan oleh Ennis (1987) sebagai cara pikir yang
bermula dari penentuan masalah atau pertanyaan secara jelas, yang disusul oleh pencarian
informasi dan bukti yang terpercaya dengan mempertimbangkan semua situasi yang ada,
kemudian menentukan solusi yang paling tepat, plus dengan kesadaran penuh akan segala
konsekuensinya. Semua itu masih harus diimbangi dengan kesediaan berpikiran terbuka,
mempertimbangkan beberapa alternatif, dan menarik kesimpulan (inferring) dari semua
implikasi alternatif tersebut. Ini akan menjadi sempurna jika dibarengi dengan sikap rendah hati,
peka terhadap perasaan dan pengetahuan pihak lain. Bukankah sikap-sikap seperti ini yang patut
ditanamkan dan dikuatkan dalam diri generasi muda terdidik di jaman informasi ini?

Pada tataran praktis pembelajaran di kelas, berpikir kritis bisa diwujudkan melalui
serangkaian pertanyaan seperti ini: apa masalahnya? Apa tujuan yang mau dicapai? Sumber daya
dan kemampuan awal apa yang dimiliki? Asumsi apa yang dipakai? Jika sudah ada bukti,
seberapa kredibel bukti tersebut? Apa konsekuensi dari cara-cara yang mau diambil untuk
mencapai tujuan? Pada akhirnya, apakah solusi yang diambil sudah efektif, dengan dampak
merugikan ditekan seminim mungkin?
Sebagian kalangan mungkin menganggap bahwa uraian di atas memang sudah cara pikir
sewajarnya dan bukan sesuatu yang baru. Namun, di tengah budaya pembelajaran yang relatif
masih terpusat pada guru dan jawaban tunggal tanpa ruang untuk mengkritisi dan mencari
alternatif, ketrampilan berpikir kritis menjadi salah satu agenda pendidikan yang patut
dipertimbangkan dalam upaya membentuk generasi muda yang mampu berpikir, bukan sekedar
menggunakan otaknya untuk menghafal dan mereproduksi ujaran guru dan uraian buku teks.

Daftar Acuan:

Ennis, R. (1987). A taxonomy of critical thinking dispositions and abilities. Dalam Barton, J.B.,
dan Sternberg, R. J. (Eds). Teaching thinking Skills: Theory and practice. Hal 9-26. New York:
W.H. Freeman.

Patrisius Istiarto Djiwandono

Dosen di Prodi Sastra Inggris, Universitas Ma Chung, Malang

Universitas Ma Chung, Jl. Villa Puncak Tidar N – 01, Malang 65151

Telpon: 081803805637

Das könnte Ihnen auch gefallen