Sie sind auf Seite 1von 6

III.1.

Regionalisme

Regionalisme secara umum dapat didefinisikan sebagai proses terjadinya

hubungan antar negara atau masyarakat di suatu kawasan (region) baik yang bersifat

mandiri maupun didorong oleh kebijakan di tingkat negara dikarenakan faktor kedekatan

posisi dan adanya unsur ketergantungan dalam bidang tertentu. Menurut Andrew Hurrell

regionalisme dapat dilihat dari empat fenomena : 1

1. Interaksi yang terjadi secara mandiri dari masyarakat

2. Pembentukkan identitas dan kesadaran regional

3. Kerjasama antar negara/pemerintahan

4. Kerjasama antar negara dan pemerintahan yang cenderung memperkuat proses

integrasi

5. Kohesi regional yang membentuk aktor regional

Dalam hal ini Uni Eropa dalam dilihat sebagai perwujudan fenomena nomor 2 sampai

dengan 4. Pembentukkan identitas dan kesadaran regional dapat dilihat dari kriteria

keanggotaan pada Pertemuan Kopenhagen 1993 yang sekaligus menegaskan kesadaran

adanya identitas bersama dari keanggotaan Uni Eropa yaitu masyarakat Demokrasi yang

menghormati hak asasi manusia dan menerapkan aturan hukum. Sedangkan fenomena

ketiga sampai kelima dapat dilihat dari proses pembentukkan ECSC pada 1951 yang

kemudian terus dikembangkan sampai mencapai kesepakatan Single European Act pada

1986 yang merupakan cikal bakal berdirinya Uni Eropa melalui Treaty of European

Union pada 1992.

1
Andrew Hurrell, “Regionalism in Theoritecal Perspective,” dalam Louise Fawcett and Andrew Hurrell
(eds.), Regionalism in World Politics : Regional Organization and International Order (New York :
Oxford University Press., In., 1995)
III.2. Federalisme

Federalisme berasal dari kata Feodus yang berarti kesepakatan yang juga

mengandung arti Fides atau berarti faith and trust Dapat juga diartikan sebagai bentuk

dari mutual respect, recoqnition, toleration, equality of partnership, reciprocity,

compromise, conciliation. Dalam konteks pembentukkan Uni Eropa, dapat dilihat adanya

unsur untuk membentuk dan melaksanakan komitmen secara (secara sukarela) di antara

negara dan masyarakat anggota Uni Eropa terhadap kebijakan tertentu yang dapat

membawa mereka kepada pencapaian tujuan bersama berkaitan dengan kesejahteraan

(welfare), keamanan (Security) dan kemakmuran (Properous). Dimana upaya tersebut


2
dirancang untuk menekan perbedaan dalam kepentingan, kultur dan identitas nasional

Sehingga ada muncul pertanyaan utama apakah di masa mendatang Uni Eropa

akan semakin memantapkan posisinya sebagai Negara Federasi Eropa (finalite politique)

yang memiliki Konstitusi dan Sturktur Kepemimpinan tersendiri sehingga semakin

mengeliminir kedaulatan negara anggota dan menonjolkan peran Uni Eropa sebagai aktor

regional. Namun tampaknya konsep Federalisme dalam Uni Eropa tidak dapat diterapkan

secara menyeluruh karena tetap pembentukkan Uni Eropa tetap mengandung arti Unity in

Diversity berdasarkan Traktat Uni Eropa bagian F pasal 1 yang menyebutkan :

Committed that Union to respect the National identities of its member states.

Namun semangat untuk membentuk Federasi Eropa juga tergambar dalam dalam

Traktat yang sama pasal 3 b juga disebutkan bahwa Uni Eropa dapat mengambil tindakan

dalam kekuasaan yang terbatas dimana tujuan dari tindakan tersebut adalah adanya suatu

pertimbangan bahwa tindakan tersebut lebih baik dilakukan secara Komunitas karena bila

dilakukan oleh masing-masing negara anggota menjadi kurang efisien.


2
Micahel Burgess, “Federalism and Federation,” dalam Michelle Cini, op.cit., hal. 67-70
III.3. Intergovernmentalisme

Konsep ini juga penting dalam menganalisis peran Uni Eropa karena kepentingan

negara tetap penting dalam proses perumusan kebijakan Uni Eropa. Dalam hal ini Uni

Eropa hanya dilihat sebagai Organisasi Regional yang memfasilitas hubungan kerjasama

dan proses tawar menawar antar pemerintah. Dimana masa depan dari Organisasi

Regional tersebut lebih ditentukan oleh pilihan-pilihan negara anggota berdasarkan

kepentingannya. Sifat kerjasama yang dibangun juga berlandaskan prinsip zero sum

strategy dimana kebijakan secara regional tidak dapat menyentuh kedaulatan negara dan

proses integrasi dikendalikan oleh kepentingan dan aksi negara. Mereka mau melakukan

integrasi lebih dikarenakan keinginan untuk menurunkan biaya transaksi. 3

III.4. Fungsionalisme

Pengertian dari Fungsionalisme adalah aktor nasional (Pemerintah dan kelompok

kepentingan) didorong untuk menyerahkan loyalitas, ekspektasi dan kegiatan secara

politis kepada institusi . Tindakan tersebut dilakukan karena adanya pandangan bahwa

kepentingan mereka lebih baik dilayani melalui pembentukkan supranasional dari solusi

nasional. Kemudian berlakunya doktrin spill-over yang merujuk pada suatu kondisi

dimana keputusan bersama dalam satu bidang akan berpengaruh pada tindakan

selanjutnya yang menyentuh bidang lainnya. 4

3
Michelle Cini, “Intergovernmentalism,” dalam Michelle Cini, Ibid., hal.94
4
L.N. Lindberg and A. Scheingold (ed.s), Regional Integration-Theories and Research (Harvard :
Harvard University Press).
Penerapan dari konsep fungsionalisme dapat dilihat melalui teori integrasi

ekonomi sebagai berikut : 5

Integrasi ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses dimana sekelompok

negara sepakat untuk mengabaikan batas-batas negara mereaka dalam rangka pencapaian

tujuan-tujuan ekonomi khususnya menciptakan sistem pasar yang lebih luar dalam bentuk

hubungan yang lebih mengikat.

Terdapat tiga tingkatan dalam proses integrasi ekonomi. Pertama adalah langkah

untuk menciptakan wilayah perdagangan bebas sebagai upaya awal untuk menciptakan

suatu sistem yang terintegrasi. Semangat dasar dari pembentukkan pasar bebas adalah

mengurangi kendala-kendala dalam perdagangan internasional terutama masalah tarif.

Setiap negara yang sepakat untuk mengikuti pasar bebas, tetap diberi hak untuk

menentukan tarif dalam perdagangan tetapi mengikuti rambu-rambu yang telah

ditentukan dalam aturan main pasar bebas tersebut. Langkah kedua adalah menciptakan

kesepakatan bersama (costum union) dalam masalah tarif. Dibentuk aturan main yang

harus ditaati oleh negara-negara yang terlibat dalam sistem kesepakatan tarif bersama

dengan menentukan tarif bersama yang harus diberlakukan. Langkah kedua ini semakin

mendekatkan negara-negara pada bentuk integrasi di bidang ekonomi sekaligus politik.

Karena terdapat kesepakatan tidak saja dalam pengaturan masalah ekonomi yang dalam

hal ini berupa tarif perdagangan antar negara tetapi juga adanya kebijakan bersama yang

menyentuh kepentingan politik negara-negara yang bersepakat. Tahap akhir dari proses

integrasi ekonomi adalah terbentuknya Kesepakatan Ekonomi secara bersama yang lebih

luas dari sekedar penentuan tarif. Langkah ini meliputi kesepakatan untuk menciptakan

5
David Balaam N. Balaam dan Michael Veseth, Introduction to International Political Economy (New
Jersey : Presntice-Hall, Inc., 1996), hal. 23
aturan main bersama dalam masalah ekonomi secara lebih luas secara upaya untuk

mengintegrasikan proses ekonomi secara bersama. Keputusan untuk mempersatukan

kepentingan ekonomi bersama dilandasi semangat untuk memberlakukan empat

kebebasan bergerak dalam suatu wilayah untuk masalah produk, jasa, uang dan modal.

Konsekuensi dari tercapainya kesepakatan penyatuan ekonomi adalah berkurangnya

kedaulatan suatu negara yang bersepakat untuk menentukan kebijakan ekonomi secara

mandiri. Namun negara tersebut dapat mencapai keuntungan ekonomi yang lebih besar

dari aktivitas ekonomi yang terintegrasi tersebut.

Keuntungan secara signifikan dari integrasi secara ekonomi adalah efisiensi

dalam proses ekonomi. Diharapkan bahwa kompetisi ekonomi dapat dibangun secara

lebih sehat tanpa dihalangi adanya kendala dalam masalah proteksi dan pemberlakukan

tarif yang menyebabkan harga menjadi mahal. Setiap negara juga didorong untuk

melakukan proses spesilisasi produk dan jasa sehingga dapat merebut peluang pasar

secara lebih besar. Dengan demikian keuntungan ekonomi yang lebih besar dapat lebih

dicapai sehingga mendorong terjadinya peningkatan dalam pertumbuhan ekonomi dan

peningkatan taraf hidup.

Integrasi ekonomi kemudian membawa dampak pada keharusan untuk juga

melakukan proses pengintegrasian secara politik dan sosial. Hal ini berkenaan adanya

keputusan-keputusan ekonomi yang harus melibatkan keputusan politik juga. Khususnya

yang berkaitan dengan kebijakan imigrasi, standar keamanan sebagai konsekuensi lintas

batas yang semakin terbuka, regulasi peraturan yang berhubungan dengan perbankan dan

keuangan serta perubahan-perubahan dalam kebijakan ekonomi domestik. Hal lain yang

harus diperhatikan adalah kepentingan kelompok-kelompok kepentingan dalam negara


seperti serikat buruh, kelompok perbankan, kelompok pengusaha, para investor yang

pengaturannya berkaitan dengan kebijakan pemerintah secara politis.

Dampak terbesar dari proses integrasi yang harus siap dihadapi baik oleh

pemerintah maupun rakyat suatu negara adalah semakin terbatasnya kedaulatan negara.

Fenomena lain menurunnya pengaruh kekuatan ekonomi dan politik domestik negara

terhadap negara lain. Negara tidak dapat lagi memainkan pengaruhnya tidak saja di

bidang ekonomi tetapi juga politik dalam rangka memenuhi kepentingan nasionalnya.

Negara harus patuh pada kesepakatan bersama yang bersifat supra nasional sejalan

dengan keanggotaannya dalam institusi yang berlandaskan integrasi ekonomi. Namun

negara harus dapat menyiasati kondisi tersebut dengan semakin melihat peluang-peluang

dalam format integrasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya serta memberikan

manfaat bagi rakyatnya dalam meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan mereka.

III.5. Institusionalisme/Neo-Institusionalisme

Institusonalisme adalah pembentukkan pemerintahan supranasional yang

membatasi kewenangan nasional dengan tujuan membentuk kesepakatan di tingkat

regional. Sehingga institusi menjadi aktor politik yang mandiri dalam menentukan

kebijakan dan hak-hak serta aturan main. Konsep institusionalisme kemudian

berkembang menjadi neo-institusionalisme yang juga memfasilitasi hubungan antara

masyarakat dengan institusi tanpa harus melalui negara.6

6
Ben Rosamond, “New Theories of European Intgration,” dalam Michelle Cini, op.cit., hal. 114

Das könnte Ihnen auch gefallen