Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
I. PENDAHULUAN
Pada kehamilan normal, cairan amnion memberikan ruang bagi janin untuk tumbuh, bergerak, dan
berkembang. Tanpa cairan amnion, uterus akan berkontraksi dan menekan janin. Jika terjadi
pengurangan volume cairan amnion pada awal kehamilan, janin akan mengalami berbagai kelainan
seperti gangguan perkembangan anggota gerak, cacat dinding perut, dan sindroma Potter , suatu
sindrom dengan gambaran wajah berupa kedua mata terpisah jauh, terdapat lipatan epikantus, pangkal
hidung yang lebar, telinga yang rendah dan dagu yang tertarik ke belakang.
Pada pertengahan usia kehamilan, cairan amnion menjadi sangat penting bagi perkembangan
paru janin. Tidak cukupnya cairan amnion pada pertengahan usia kehamilan akan menyebabkan
terjadinya hipoplasia paru yang dapat menyebabkan kematian.
Selain itu cairan ini juga mempunyai peran protektif pada janin, cairan ini mengandung agen-
agen anti bakteria dan bekerja menghambat pertumbuhan bakteri yang memiliki potensi
patogen. .Selama proses persalinan dan kelahiran cairan amnion terus bertindak sebagai medium
protektif pada janin untuk memantau dilatasi servik. Selain itu cairan amnion juga berperan sebagai
sarana komunikasi antara janin dan ibu. Kematangan dan kesiapan janin untuk lahir dapat diketahui dari
hormon urin janin yang diekskresikan ke dalam cairan amnion.
Cairan amnion juga dapat digunakan sebagai alat diagnostik untuk melihat adanya kelainan-
kelainan pada proses pertumbuhan dan perkembangan janin dengan melakukan kultur sel. Jadi cairan
amnion memegang peranan yang cukup penting dalam proses kehamilan dan persalinan.
Gambar 1. Kantung amnion pada hari ke-10 ditampakkan pada gambar sebelah kiri dan di sebelah
kanan merupakan kantung amnion pada hari ke-12 yang selanjutnya akan tumbuh menekan
mudigah dikutip dari Cunningham1
Cairan amnion pada keadaan normal berwarna putih agak keruh karena adanya campuran partikel
solid yang terkandung di dalamnya yang berasal dari lanugo, sel epitel, dan material sebasea. Volume
cairan amnion pada keadaan aterm adalah sekitar 800 ml, atau antara 400 ml -1500 ml dalam keadaan
normal. Pada kehamilan 10 minggu rata-rata volume adalah 30 ml, dan kehamilan 20 minggu 300 ml, 30
minggu 600 ml. Pada kehamilan 30 minggu, cairan amnion lebih mendominasi dibandingkan dengan
janin sendiri.
Cairan amnion diproduksi oleh janin maupun ibu, dan keduanya memiliki peran tersendiri pada
setiap usia kehamilan. Pada kehamilan awal, cairan amnion sebagian besar diproduksi oleh sekresi epitel
selaput amnion.
Dengan bertambahnya usia kehamilan, produksi cairan amnion didominasi oleh kulit janin dengan
cara difusi membran. Pada kehamilan 20 minggu, saat kulit janin mulai kehilangan permeabilitas, ginjal
janin mengambil alih peran tersebut dalam memproduksi cairan amnion.
Pada kehamilan aterm, sekitar 500 ml per hari cairan amnion di sekresikan dari urin janin dan 200
ml berasal dari cairan trakea. Pada penelitian dengan menggunakan radioisotop, terjadi pertukaran
sekitar 500 ml per jam antara plasma ibu dan cairan amnion.
Pada kondisi dimana terdapat gangguan pada ginjal janin, seperti agenesis ginjal, akan
menyebabkan oligohidramnion dan jika terdapat gangguan menelan pada janin, seperti atresia
esophagus, atau anensefali, akan menyebabkan polihidramnion 3.
A. Fungsi Cairan Amnion
Cairan amnion merupakan komponen penting bagi pertumbuhan dan perkembangan janin selama
kehamilan. Pada awal embryogenesis, amnion merupakan perpanjangan dari matriks ekstraseluler dan
di sana terjadi difusi dua arah antara janin dan cairan amnion. Pada usia kehamilan 8 minggu, terbentuk
uretra dan ginjal janin mulai memproduksi urin. Selanjutnya janin mulai bisa menelan. Eksresi dari urin,
sistem pernafasan, sistem digestivus, tali pusat dan permukaan plasenta menjadi sumber dari cairan
amnion. Telah diketahui bahwa cairan amnion berfungsi sebagai kantong pelindung di sekitar janin yang
memberikan ruang bagi janin untuk bergerak, tumbuh meratakan tekanan uterus pada partus, dan
mencegah trauma mekanik dan trauma termal.
Cairan amnion juga berperan dalam sistem imun bawaan karena memiliki peptid antimikrobial
terhadap beberapa jenis bakteri dan fungi patogen tertentu. Cairan amnion adalah 98% air dan
elektrolit, protein , peptide, hormon, karbohidrat, dan lipid. Pada beberapa penelitian, komponen-
komponen cairan amnion ditemukan memiliki fungsi sebagai biomarker potensial bagi abnormalitas-
abnormalitas dalam kehamilan. Beberapa tahun belakangan, sejumlah protein dan peptide pada cairan
amnion diketahui sebagai faktor pertumbuhan atau sitokin, dimana kadarnya akan berubah-ubah sesuai
dengan usia kehamilan. Cairan amnion juga diduga memiliki potensi dalam pengembangan
medikasi stem cell 1,2,3,4
B. Volume Cairan Amnion
Volume cairan amnion pada setiap minggu usia kehamilan bervariasi, secara umum volume bertambah
10 ml per minggu pada minggu ke-8 usia kehamilan dan meningkat menjadi 60 ml per minggu pada usia
kehamilan 21 minggu, yang kemudian akan menurun secara bertahap sampai volume yang tetap setelah
usia kehamilan 33 minggu. Normal volume cairan amnion bertambah dari 50 ml pada saat usia
kehamilan 12 minggu sampai 400 ml pada pertengahan gestasi dan 1000 – 1500 ml pada saat aterm.
Pada kehamilan postterm jumlah cairan amnion hanya 100 sampai 200 ml atau kurang.
Brace dan Wolf menganalisa semua pengukuran yang dipublikasikan pada 12 penelitian dengan
705 pengukuran cairan amnion secara individual. Variasi terbesar terdapat pada usia kehamilan 32-33
minggu. Pada saat ini, batas normalnya adalah 400 – 2100 ml1,2,3,4.
Gambar 2. Grafik yang menunjukkan perubahan volume cairan amnion sesuai dengan penambahan
usia gestasi
dikutip dari Gilbert 5
A. OLIGOHIDRAMNION
Pada kasus-kasus yang jarang, volume air ketuban dapat turun di bawah batas normal dan kadang-
kadang menyusut hingga hanya beberapa ml cairan kental. Penyebab keadaan ini belum sepenuhnya
dipahami. Secara umum, oligohidramnion yang timbul pada awal kehamilan jarang dijumpai dan sering
memiliki prognosis buruk. Marks dan Divon (1992) menemukan oligohidramnion pada 12% dari 511
kehamilan usia 41 minggu atau lebih pada 121 wanita yang diteliti secara longitudinal terjadi penurunan
rata-rata ICA sebesar 25% perminggu setelah 41 minggu. Akibat berkurangnya cairan, risiko kompresi
tali pusat, dan pada gilirannya gawat janin, meningkat pada semua persalinan, terutama pada persalinan
post term.5,13
Kebocoran kronik suatu defek di selaput ketuban dapat mengurangi volume cairan dalam jumlah
bermakna, tetapi seringkali kemudian segera terjadi persalinan. Pajanan ke inhibitor enzim pengubah-
angiotensin (ACE I) dilaporkan berkaitan dengan oligohidramnion Sebanyak 15 sampai 25 % kasus
berkaitan dengan anomali janin. Pryde dan kawan-kawan (2000) mampu memvisualisasikan struktur-
struktur janin pada hanya separuh dari wanita yang dirujuk untuk evaluasi ultrasonografi terha dap
oligohidramnion mid trimester. Mereka melakukan amnioinfusi dan kemudian mampu melihat 77 % dari
struktur-struktur yang dicitrakan secara rutin. Identifikasi anomali terkait meningkat dari 12 menjadi 31
%. 1,5-7
Tabel 2. Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan oligohidramnion
Faktor Janin Faktor Ibu
- Agenesis ginjal - Penyakit hipertensi
- Uropati obstruksi - Insufisiensi utero-plasenta
- Pecah selaput ketuban - Sindrom antifosfolipid
- Kehamilan lewat waktu - Dehidrasi-hipovolemi
5
dikutip dari Gilbert
Hasil luaran janin pada oligohidramnion di kehamilan usia dini adalah buruk. Shenker dan kawan-
kawan (1991) melaporkan 80 kehamilan semacam itu dan hanya separuh dari janin-janin ini yang
selamat. Mercer dan Brown (1986) melaporkan 34 kehamilan mid trimester yang mengalami penyulit
oligohidramnion dan didiagnosis secara ultrasonografis berdasarkan tidak adanya kantung cairan
amnion yang besamya lebih dari 1 cm di semua bidang vertikal. Sembilan (26 persen) dari janin-janin ini
mengalami anomali, dan 10 dari 25 yang secara fenotipe normal mengalami abortus spontan atau lahir
mati karena hipertensi ibu yang parah, hambatan pertumbuhan janin, atau solusio plasenta. Dari 14 bayi
lahir hidup, delapan lahir preterm dan tujuh meninggal. Enam bayi yang lahir aterm tumbuh normal.
Garmel dan kawan-kawan (1997) mengamati bahwa oligohidramnion sebelum minggu ke-37 pada
janin yang tumbuh sesuai masa kehamilannya memperlihatkan peningkatan angka kelahiran preterm
sebesar tiga kali lipat, tetapi tidak untuk hambatan pertumbuhan atau kematian ja nin. Newbould dan
kawan-kawan(1994) melaporkan temuan otopsi pada 89 bayi dengan sekuensi oligohidramnion. Hanya
3% yang memiliki saluran ginjal normal; 34 % menderita agenesis ginjal bilateral; 34 % displasia kistik
bilateral; 9 % agenesis unilateral dengan displasia; dan 10 % kelainan saluran kemih minor.
Bayi yang tadinya normal dapat mengalami akibat dari oligohidramnion awitan dini yang parah.
Perlekatan antara amnion dan bagian-bagian janin dapat menyebabkan kecacatan serius termasuk
amputasi. Selain,itu, akibat tekanan dari semua sisi, penampakan janin menjadi aneh, dan kelainan otot-
rangka, misalnya kaki gada (clubfoot) sering terjadi.
Insidensi hipoplasia paru saat lahir tidak banyak berubah dan berkisar dari 1,1 sampai 1,4 per
1000 bayi. Apabila cairan amnion sedikit, sering terjadi hipoplasia paru. Winn dan kawan-kawan (2000)
melakukan suatu studi kohort prospektif pada 163 kasus oligohidramnion yang terjadi pada selaput
ketuban pecah dini pada gestasi 15 sampai 28 minggu. Hampir 13 % janin mengalami hipoplasia paru.
Penyulit ini lebih sering terjadi seiring dengan berkurangnya usia gestasi. Kilbride dan kawan-kawan
(1996) mempelajari 115 wanita dengan ketuban pecah dini sebelum minggu ke-29. Terjadi tujuh
kelahiran mati dan 40 kematian neonatus sehingga mortalitas perinatal menjadi 409 per 1000. 1
Risiko hipoplasia paru letal adalah 20 %. Hasil yang merugikan lebih besar kemungkinannya
apabila pecah ketuban terjadi lebih dini serta durasinya melebihi 14 hari. Menurut Fox dan Badalian
(1994) serta Lauria dan kawan-kwan (1995), terdapat tiga kemungkinan yang menjadi penyebab
hipoplasia paru. Pertama, tertekannya toraks mungkin menghambat pergerakan dinding dada dan
ekspansi paru. Kedua, kurangnya gerakan napas janin mengurangi aliran masuk ke paru. Ketiga dan
model yang paling luas diterima adalah kegagalan mempertahankan cairan amnion atau meningkatnya
aliran keluar pada paru yang tumbuh-kembangnya terhambat.
Cukup banyaknya cairan amnion yang dihirup olehjanin normal, seperti dibuktikan oleh
Duenhoelter dan Pritchard (1976), mengisyaratkan bahwa cairan yang terhirup tersebut berperan da lam
ekspansi, dan pada gilirannya, pertumbuhan paru. Namun, Fisk dan kawan-kawan (1992) menyimpulkan
bahwa gangguan pernapasan janin tidak menyebabkan hipoplasia paru pada oligohidramnion. 1
Dalam suatu eksperimen unik, McNamara dan kawan-kawan (1995) melaporkan temuan-temuan
dari dua set kembar monoamnionik dengan anomali ginjal yang berlawanan. Mereka menyajikan bukti
bahwa volume cairan amnion yang normal memungkinkan perkembangan paru normal walaupun
terdapat obstruksi ginjal janin
Secara normal, volume cairan amnion secara normal berkurang setelah usia gestasi 35 minggu.
Dengan menggunakan indeks cairan amnion kurang dari 5 cm, Casey dan kawan–kawan (2000)
mendapatkan insidensi oligohidramnion pada 2,3 % dari 6400 kehamilan lebih yang menjalani sonografi
setelah minggu ke-34 di Parkland Hospital. Mereka memastikan pengamatan-pengamatan sebelumnya
bahwa hal ini berkaitan dengan peningkatan risiko hasil perinatal yang merugikan. 1
Pada kehamilan yang terpilih karena "risiko tinggi", Magann dan kawan-kawan (1999) tidak
mendapatkan bahwa oligohidramnion (indeks cairan amnion kurang dari 5 cm) meningkatkan ri siko
penyulit intrapartum seperti mekonium kental, deselerasi variabel frekuensi denyut jantung, seksio
sesarea atas indikasi gawat janin, atau asidemia neonatus.
Chauhan dkk. (1999) melakukan metaanalisis terhadap 18 penelitian yang meliputi lebih dari
10.500 kehamilan yang indeks cairan amnion intrapartumnya kurang dari 5 cm. Dibandingkan dengan
kontrol yang indeksnya lebih dari 5 cm, wanita dengan oligohidramnion memperlihatkan peningkatan
risiko bermakna untuk seksio sesarea atas indikasi gawat janin. Kompresi tali pusat selama persalinan
sering terjadi pada oligohidramnion. Sarno dan kawan-kawan (1989, 1990) melaporkan bahwa indeks 5
cm atau kurang menyebabkan peningkatan angka seksio sesarea sebesar lima kali lipat.
Divon dan kawan-kawan (1995) meneliti 638 kehamilan postterm in partu dan mengamati bahwa
hanya wanita yang indeks cairan amnionnya 5 cm atau kurang yang mengalami deselerasi frekuensi
denyut jantung janin dan mekonium.
Amnioinfusi
Infus kristaloid untuk menggantikan cairan amnion yang berkurang secara patologis paling sering
digunakan selama persalinan untuk mencegah kompresi tali pusat. Hasil amnioinfusi intrapartum untuk
mencegah morbiditas janin akibat air ketuban tercemar mekonium sering berkaitan dengan
oligohidramnion masih belum jelas.
Pierce dan kawan-kawan melakukan meta-analisis terhadap 13 penelitian dengan 1924 wanita
yang dibagi secara acak untuk mendapat amnioinfus atau tanpa terapi. Mereka mendapatkan penuruan
bermakna hasil yang merugikan: mekonium di bawah tali pusat (odds ratio, OR 0,18), sindrom aspirasi
mekonium (OR 0,30), asidemia neonatus (OR 0,42), dan angka seksio sesarea (0,74). Wenstrom dan
kawan-kawan (1995) mensurvei departemen-departemen obstetri di fakultas kedokteran dan
melaporkan bahwa amnioinfusi digunakan secara luas dengan penyulit yang relatif sedikit. 1,12,14
V. RINGKASAN
Cairan amnion diproduksi oleh janin maupun ibu, dan keduanya memiliki peran tersendiri pada setiap
usia kehamilan. Cairan amnion merupakan komponen penting bagi pertumbuhan dan perkembangan
janin selama kehamilan. Telah diketahui bahwa cairan amnion berfungsi sebagai kantong pelindung di
sekitar janin yang memberikan ruang bagi janin untuk bergerak, tumbuh meratakan tekanan uterus
pada partus, dan mencegah trauma mekanik dan trauma termal.
Volume cairan amnion pada setiap minggu usia kehamilan bervariasi, secara umum volume
bertambah 10 ml per minggu pada minggu ke 8 usia kehamilan dan meningkat menjadi 60 ml per
minggu pada usia kehamilan 21 minggu, yang kemudian akan menurun secara bertahap sampai volume
yang tetap setelah usia kehamilan 33 minggu. Normal volume cairan amnion bertambah dari 50 ml pada
saat usia kehamilan 12 minggu sampai 400 ml pada pertengahan gestasi dan 1000 – 1500 ml pada saat
aterm. Terdapat 3 cara yang sering dipakai untuk mengetahui jumlah cairan amnion, dengan
tehnik single pocket , dengan memakai Indeks CairanAmnion (ICA), dan secara subjektif pemeriksa.
Sumber utama cairan amnion adalah urin janin. Ginjal janin mulai memproduksi urin sebelum
akhir trimester pertama, dan terus berproduksi sampai kehamilan aterm. Cairan paru janin memiliki
peran yang penting dalam pembentukan cairan amnion. Pada penelitian dengan menggunakan domba,
didapatkan bahwa paru-paru janin memproduksi cairan sampai sekitar 400 ml/hari, dimana 50% dari
produksi tersebut ditelan kembali dan 50% lagi dikeluarkan melalui mulut. Untuk mencapai
keseimbangan dalam regulasi cairan amnion, janin menelan cairan amnion, dan juga
mengabsorbsinya. Sembilan puluh delapan persencairan amnion adalah air dan sisanya adalah elektrolit,
protein, peptide, karbohidrat, lipid, dan hormon. Faktor pertumbuhan epidermis (epidermal growth
factor, EGF) dan faktor pertumbuhan mirip EGF, misalnya transforming growth factor-α, terdapat di
cairan amnion.
Hidramnion dijumpai pada sekitar 1 persen dari semua kehamilan. Sebagian besar penelitian
klinis mendefinisikan hidramnion sebagai cairan amnion yang lebih besar dari 25 cm. Hidramnion terjadi
oleh karena berbagai sebab. Dari faktor janin sendiri misalnya karena anomali kongenital, obstruksi
gastrointestinal, hidrops non imun, aneuploidi.Sedangkan Oligohidramnion , Marks dan Divon (1992)
menemukan pada 12% dari 511 kehamilan usia 41 minggu atau lebih pada 121 wanita yang diteliti
secara longitudinal. Berbagai penyebabnya atara lain, dari faktor janin, adalah agenesis ginjal, kehamian
lewat waktu, dan uropati obstruksi,Dari faktor ibu misalnya diabetes mellitus tak terkontrol, dan
idiopatik.Sedangkan Oligohdramnion, Dari faktor janin sendiri misalnya agenesis ginjal, uropati
obstruksi, ketuban pecah sebelum waktunya (KPSW), hamil post term. Dari faktor ibu misalnya
dehidrasi-hipovolemi, penyakit hipertensi, insufisiensi utero-plasenta, sindrom antiposfolipid, dan
idiopatik.
Cairan amnion sering digunakan untuk keperluan diagnosis, misalnya untuk mengetahui
kematangan paru janin, mendeteksi gawat nafas pada janin dan mendiagnosis ketuban pecah sebelum
waktunya.
VI. RUJUKAN
1. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstorm KD. Williams obstetric. 22 nd ed. New York. McGraw-Hill Companies, Inc;
2005.
2. Fox H. The placenta , membranes and umbilical cord. In: Chamberlain G, Steer P, editors. Turnbull’s obstetrics. 3 rd ed. London: Churchill
Livingstone; 2002.
3. Laughlin D, Knuppel RA. Maternal-placental-fetal unit;fetal & early neonatal physiology. In: DeCherney AH, Nathan L. Current obstetric &
gynecologic diagnosis & treatment. 9th ed. New York: The McGraw-Hill Companies;2003.
4. Chamberlain G, editor. Obstetrics by ten teacher. 16th ed. New York: Oxford University Press;1995.
5. Gilbert WM. Amniotic fluid dynamics. NeoReviews 2006;7;e292-e299.
6. Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF, Nygaard I, editors. Danforth’s obstetrics and gynecology. 10 th ed. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins;
2008.
7. Owen P. Fetal assessment in the third trimester: fetal growth and biophysical methods. In: Chamberlain G, Steer P, editors. Turnbull’s
obstetrics. 3rd ed. London: Churchill Livingstone; 2002;147-9;41-43.
8. Tong XL, Wang L, Gao TB, Qin YG, Xu YP. Potential function of amniotic fluid in fetal development-Novel insight by comparing the
composition of human amniotic fluid with umbilical cord and maternal serum at mid and late gestation. J Chin Med Assoc. 2009 Jul; 72(7)
368-73.
9. Neilson JP. Fetal medicine in clinical practice. In: Ketih D, Edmons, editors. Dewhurst’s textbook of obstetrics and gynaecology for
postgraduates. 6th ed. London: Blackwell Publishing; 1999.
10. Barbati A, Renzo GCD. Main clinical analyses on amniotic fluid. Acta Bio Medica Ateneo Parmenese. 2004; 75 Suppl 1: 14-17.
11. Pernoll ML. Benson and Pernoll’s handbook of obstetrics and gynecology. 10th ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2001.
12. Rodeck CH, Cockell AP. Alloimmunisation in pregnancy: rhesus and other red cell antigens. In: Chamberlain G, Steer P, editors. Turnbull’s
obstetrics. 3rd ed. London: Churchill Livingstone; 2002;256-7.
13. Cudleigh T, Thilaganathan B. Obstetric ultrasound: how , why, and when. 3rd ed. London. Elsevier Science Limited; 2004.
14. Al-Salami KS, Sada KA. Maternal hydration for increasing amniotic fluid volume in hydramnions. Bas J Surg. 2007 Sept; 59-62.
15. Hacker NF, Moore JG, Gambone JC. Essentials of obstetric and gynecology. Edinburgh. Churchill Livingstone; 2004.