Sie sind auf Seite 1von 20

ARCHIPELAGIC WATERS

Haqrah Dewi Safytra B


10/307227/PHK/06462
 
Defenisi Terkait Archipelagic Regime
Pasal 46 huruf (a) dan (b) Konvensi Hukum Laut 1982
berbunyai sebagai berikut :
“archipelagic State” means a State constituted wholly
by one or more archipelagos and may include other
islands;
“archipelago” means a group of islands, including parts
of islands, interconnecting waters and other natural
features which are so closely interrelated that such
islands, waters and other natural features form an
intrinsic geographical, economic and political entity,
or which historically have been regarded as such.
Negara kepulauan adalah suatu Negara yang
seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan
(archipelagos) dapat mencakup pulau-pulau lain,
sedangkan definisi kepulauan adalah suatu
gugusan pulau termasuk bagian pulau, perairan
dan wujud alami lainnya yang saling berhubungan
satu sama lainnya dengan eratnya, sehingga pulau-
pulau, perairan dan wujud alamiah tersebut
membentuk kesatuan geografi, ekonomi, dan
politik yang hakiki atau secara historis dianggap
sebagai demikian.
Sejarah Archipelagic Regime
Sejarah Archipelagic Regime di Indonesia.
Pada masa pemerintahan PM Djuanda dikeluarkanlah
Deklarasi Djuanda yang menyatakan mengenai konsepsi
wawasan nusantara. Deklarasi Djuanda, yang dilansir pada
13 Desember 1957 menjawab persoalan itu lewat konsepsi
archipelago state (negara kepulauan). pada masa
pemerintahan PM Djuanda dikeluarkanlah Deklarasi
Djuanda yang menyatakan mengenai konsepsi wawasan
nusantara. Deklarasi Djuanda, yang dilansir pada 13
Desember 1957 menjawab persoalan itu lewat konsepsi
archipelago state (negara kepulauan).
Sebelum UNCLOS diberlakukan, wilayah laut antar-pulau di
Indonesia, masih berstatus perairan tidak bertuan, sehingga sulit
diawasi, dan rawan terhadap infiltrasi asing. Pada 13 Desember
1957, Perdana Menteri Djuanda mendeklarasikan laut antar-
pulau, adalah wilayah Indonesia. Ini ditantang seluruh dunia,
terutama Amerika Serikat, Jepang, dan Australia.
Deklarasi Djuanda 1957 mendapat tentangan dari negara-negara yang saat itu
merasa kepentingannya terganggu seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris,
Belanda dan New Zealand dengan menyatakan tidak mengakui klaim Indonesia atas
konsepsi nusantara. Negara yang mendukung pernyataan Indonesia mengenai
konsepsi nusantara hanya Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina.
Namun, dengan kegigihan perjuangan melalui diplomasi oleh
para penerusnya seperti Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dan
Prof. Dr.Hasyim Djalal, maka deklarasi yang berisikan konsepsi
negara nusantara tersebut diterima dan ditetapkan dalam
Konvensi Hukum Laut PBB, United Nation Convention on Law of
the Sea (UNCLOS) 1982
Sejarah Archipelagic Regime dalam Hukum
Internasional.
Persoalan mengenai kepulauan diperdebatkan antara
tahun 1930 dan 1958. Tahun 1930, dipersiapkan draft
pasal-pasal untuk mengatur tentang kepulauan ini untuk
dibahas pada konferensi tahun 1958.
Pada konferensi tahun 1958 ini disetujui sebuah tipe
kepulauan, yang disebut kepulauan 'pantai' ('coastal'
archipelagos). Pasal 4 konvensi laut teritorial ini,
memungkinkan ditarik garis pangkal lurus (straight
baselines) dari titik terluar sebuah pantai kepulauan dan
menghubungkannya ke daratan utama (mainland)
pantai.
Tetapi, ketentuan pasal 4 konvensi tidak disetujui oleh
beberapa negara peserta, seperti Indonesia, Filipina,
Denmark and Yugoslavia. Negara-negara tersebut
berpendapat bahwa aturan mengenai straight
baselines untuk coastal archipelagos, bisa
diaplikasikan dengan perbandingan pada kepulauan
'tengah samudra' ('mid-ocean'archipelagos) seperti
Tonga dan Filipina. Straight baselines bisa
diaplikasikan untuk coastal archipelagos seperti
Norwegia tetapi tidak bisa diaplikasikan untuk mid-
ocean archipelagos seperti Indonesia
Sebelum konferensi ini dibahas pada tahun 1958, kedua negara
ini (Indonesia dan Filipina), pada tahun 1955 dan 1957,
mengumumkan bahwa mereka akan menutupi keseluruhan
kepulauan mereka dengan garis lurus dan memperlakukan
perairan yang ditutupi tersebut sebagai perairan pedalaman
(internal waters). Inilah ide awal mengenai garis pagkal lurus
kepulauan (archipelagic straight baselines).
Klaim negara-negara kepulauan mengenai konsep negara
kepulauan yang mereka gunakan dalam menentukan baseline
negara mereka, mendapat tentangan dari negara-negara maritim.
Ini dikarenakan negara-negara maritim tersebut mempunyai
kepentingan pelayaran di atas perairan di dalam internal waters
yang berada di dalam archipelagic straight baseline tersebut.
Mereka takut kehilangan hak-hak berlayar apabila archipelagic
rezime ini diberlakukan.
Selanjutnya, sejak tahun 1958 banyak negara-negara
kepulauan di Pasifik dan Hindia menjadi merdeka. Hal
ini mengakibatkan tekanan yang semakin kuat untuk
membuat rezim spesial mengenai archipelago dalam
UNCLOS 1982. dan pada pembahasan UNCLOS 1982
ini, sekelompok negara kepulauan seperti Fiji,
Indonesia, Filipina, dan Mauritius menuntut diaturnya
rezim negara kepulauan dalam UNCLOS. Pada
akhirnya, rezim mengenai negara kepulauan
mendapatkan pengaturannya dalam UNCLOS yaitu
dalam Part IV.
Peraturan Nasional Terkait Archipelagic
Regime
Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957
Deklarasi djuanda menyebutkan :
“Segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan
pulau-pulau yang termasuk negara Indonesia dengan tidak
memandang luas laut atau lebarnya adalah bagian-bagian yang
wajar dari pada wilayah daratan Indonesia dan dengan
demikian bagian daripada perairan pedalaman atau nasional
yang berada di bawah kedaulatan mutlak negara indonesia.
Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-
kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan
dengan kedaulatan dan keselamatan negara indonesia.”
Perpu No. 4 tahun 1960 tentang perairan Indonesia.
Perpu No.4 tahun 1960 memberikan kekuatan hukum
kepada Deklarasi Djuanda, yang merupakan pernyataan
sepihak pemerintah tentang Wilayah Perairan Indonesia
menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan
nasional. Undang-undang ini telah dicabut dan
disesuaikan dengan ketentuan hukum yang baru melalui
UU no. 6 tahun 1966 tentang Perairan Indonesia.
UU No. 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS
1982.
UU No. 17 tahun 1985 yang berisikan ratifikasi atas
UNCLOS 1982 merupakan implementasi hukum
internasional ke dalam hukum nasional suatu negara.
Dengan diundangkannya UU No. 17 tahun 1985 maka
Indonesia telah terikat oleh kewajiban untuk
melaksanakan dan menaati ketentuan-ketentuan yang
tercantum di dalamnya.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia.

Dalam pasal 2 UU : Negara Republik Indonesia adalah


negara kepulauan yang berarti segala perairan di sekitar, di
antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang
termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak
memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian
integral dari wilayah daratan negara Republik Indonesia
sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yang
berada di bawah kedaulatan negara republik Indonesia.
Sedangkan wilayah perairan Indonesia meiputi Laut
territorial, Perairan kepulauan dan perairan pedalaman, di
mana laut territorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 mil
laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.
 
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang
Daftar Koordinat Geografis titik-titik Garis pangkal
kepulauan Indonesia.

Peraturan garis pangkal kepulauan Indonesia yang


telah disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan
UNCLOS 1982 dapat dilihat pada Peraturan
Pemerintah No.38 tahun 2002 ini. Pemerintah
menurut pasal 2 PP No. 38 tahun 2002, dapat menarik
garis pangkal kepulauan untuk menetapkan lebar laut
territorial. Penarikan garis pangkal kepulauan
menggunakan garis pangkal lurus kepulauan, garis
pangkal lurus dan garis pangkal biasa.
Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2005 Tentang
Pengelolaan Pulau-pulau kecil Terluar NKRI.

Dengan dikeluarkannya peraturan presiden ini berarti


telah ada kesadaran pemerintah Indonesia terhadap
pentingnya pulau-pulau terluar di wilayah NKRI.
Pengelolaan pulau-pulau terluar dapat menjadi alat yang
efektif bagi Indonesia untuk menjaga keutuhan
kedaulatan wilayah.
Hak Dan Kewajiban Negara
Hak dan Kewajiban Negara Kepulauan
1. Berdaulat penuh di wilayah archipelagic waters
sehingga Negara dapat melakukan jurisdiksi
penuhnya di wilayah tersebut.
2. Dapat mengelola dan mengambil manfaat yang di
dapat dari archipelagic waters demi kepentingan
Negara kepulauan tersebut.
Hak dan Kewajiban Negara Kapal
1. Memberikan hak innocent passage kepada kapal
asing termasuk kapal perang di wilayah laut
territorial Negara kepulauan.
2. Mendesain Archipelagic Sea Lanes dan memberikan
hak transit Passage pada kapal-kapal asing
termasuk kapal perang asing dan pesawat udara
asing.
3. Menjaga keamanan dan kelestarian wilayah
Archipelagic waters-nya sehingga tetap dapat
dimanfaatkan secara maksimal.
Keterkaitan Indonesia
Indonesia sebagai pionor konsep negara kepulauan.
Indonesia aktif dalam memperjuangkan konsep negara
kepulauan di kancah internasional bersama dengan
negara-negara lainnya.
Indonesia adalah negara yang terdiri dari beribu pulau
yang dipisahkan oleh lautan. Jika laut dipandang sebagai
pemisah maka keutuhan negara akan rapuh. Oleh sebab
itu prinsip negara kepulauan memandang laut sebagai
pemersatu adalah sebuah konsep yang sangat relevan
dengan geografis indonesia.

Das könnte Ihnen auch gefallen