Sie sind auf Seite 1von 3

Kiat Pemain CSD Menaklukkan Pasar

Oleh : Taufik Hidayat

Pertumbuhan pasar minuman berkarbonasi terganjal oleh minuman teh siap saji dan AMDK.
Bagaimana Coca-Cola dan Pepsi habis-habisan mempertahankan diri? Apa saja upaya mereka?

Indonesia boleh dikatakan negara yang kurang bersahabat bagi produk minuman berkarbonasi
(carbonated softdrink/CSD). Coca-Cola yang hadir di Indonesia sejak tahun 1927 harus terus
memutar otak supaya bisnisnya di sini berjalan dengan baik.

Berbagai manuver dilakukan PT Coca-Cola Indonesia (CCI) terhadap produk andalannya – Coca-
Cola, Sprite dan Fanta – untuk membendung pergerakan pesaing tak langsungnya di kategori air
minum dalam kemasan (AMDK) dan minuman teh siap saji (ready to drink tea/RTD Tea), yang
tak lain adalah pemain lokal.

Coca-Cola sebagai flagship ternyata cukup dibuat repot. Dalam dua tahun terakhir, kabarnya
penjualan Coca-Cola cenderung stagnan. Puncaknya, pada ajang Indonesian Best Brand Award
2005 yang baru lalu, Coca-Cola harus merelakan mahkota yang telah direngkuhnya selama tiga
tahun berturut-turut kepada saudaranya, Fanta. Artinya, saat ini konsumen (setidaknya
responden yang disurvei) lebih memilih Fanta ketimbang Coca-Cola. “Sejauh ini Fanta adalah
merek terbaik yang kontribusi penjualannya terhitung lebih baik secara nasional dibanding
saudaranya yang lain (Coca-Cola dan Sprite – Red.),” ujar Dwi Hatmadji, Manajer Senior Merek
Flavors CCI yang akrab dipanggil Adji. Dia mengatakan, Coca-Cola boleh unggul di kota besar
seperti Jakarta, tapi Fanta bisa diterima luas di mana-mana.

Pepsi pun setali tiga uang. Bahkan nasib yang menimpa Pepsi jauh lebih buruk. Saat ini, Pepsi
tertinggal cukup jauh dari produk-produk CCI. Padahal di negara potensial seperti Cina, India,
kawasan Eropa Timur dan Meksiko, persaingan Pepsi versus Cola-Cola amat berimbang. Bahkan,
tak kurang di 40 negara Pepsi lebih unggul dari Coca-Cola. Di negara ASEAN lainnya seperti
Malaysia, Filipina dan Thailand, Pepsi merupakan pemain yang ditakuti.

Kekurangberuntungan kedua perusahaan minuman raksasa di Indonesia ini boleh jadi


disebabkan karakter konsumen Indonesia yang belum atau tidak terbiasa minum soda.
Masyarakat Indonesia lebih terbiasa minum air putih atau teh. Tak heranlah, di pasar RTD Tea
dan AMDK menguasai hampir 80% pasar.

Kondisi ini jelas tidak menguntungkan bagi Coca-Cola dan Pepsi. Namun, sebagai perusahaan
multinasional yang sarat pengalaman, kedua raksasa ini tidak lantas kehilangan akal. Pepsi,
lewat perusahaan afiliasinya, PT Pepsi Cola Indobeverage (PCI) meluncurkan Teh Kita untuk
bersaing dengan Teh Botol Sosro, demikian juga Coca-Cola. Akhir Desember 2000, CCI bahkan
rela merogoh kocek hingga US$ 19,9 juta untuk mengakuisisi merek berikut aset PT Ades
Alfilindo Putra Setia, pemilik merek Ades, Desca, Desta, dan Vica.

Menurut Andre Vincent Wenas, Direktur Pengelola Strategic Management Services, sebenarnya
dari tahun 1997 hingga 2001, pertumbuhan rata-rata pasar CSD lebih besar ketimbang RTD Tea,
yaitu 7,5% berbanding 1%. Angka ini memang masih di bawah kategori AMDK yang
pertumbuhan rata-ratanya mencapai 19%. Namun, sejak tahun 2001, petanya sangat berubah.
RTD Tea mengalami percepatan pertumbuhan paling tinggi. Hal ini menurutnya karena memang
minuman teh itu sendiri dipersepsi memberi khasiat pada kesehatan. Hasil penelitian
menyebutkan tingginya kandungan antioksidan epigalo catechinegalat dalam daun teh bisa
mencegah kanker dan berbagai penyakit lainnya. “Teh menjadi lebih eksotik dibanding CSD,”
ujarnya.

Selain itu, dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat akan kesehatan, mereka mulai
membatasi asupan gula yang terlalu tinggi. “CSD mengandung kadar gula lumayan tinggi,”
lanjut Andre. Kondisi ini semakin mempersulit para pemain CSD.

Sebenarnya tidak sedikit upaya yang dilakukan pemain CSD untuk meningkatkan pasarnya.
Berbagai inovasi pun sudah dilakukan. Lihat, apa yang dilakukan Pepsi. Tahun lalu, Pepsi
meluncurkan produk yang keluar dari pakem kategori kola, Pepsi Blue. Dengan produk ini, Pepsi
seolah-olah ingin menegaskan bahwa kola tidak harus melulu berwarna gelap (hitam). Menurut
Andre, Pepsi Blue dikeluarkan sebagai implementasi strategi inovasi Pepsi. Produk ini juga
dimaksudkan untuk mengganggu pemimpin pasar CSD, supaya merek Pepsi bisa ditancapkan di
kalangan para inovator dan follower. “Pepsi harus terus menciptakan berita dengan produk-
produk inovatifnya, kalau tidak ia akan terus digerus oleh sang market leader,” ujar Andre.
Terakhir, Pepsi meluncurkan 7Up Ice yang merupakan rejuvenasi dari 7Up Klasik.

Demikian pula CCI. Untuk memberikan lebih banyak pilihan kepada konsumen, CCI meluncurkan
Sprite Ice yang konsep produknya mirip dengan 7Up Ice. Fanta pun tak mau ketinggalan. Tahun
2003, diluncurkan Fanta rasa oranggo (orange mango), 2004 Fanta rasa melon, dan terakhir
pada Maret 2005, Fanta mengganti botolnya dengan desain yang lebih menarik. “Konsep Fanta
adalah fun. Karenanya, inovasi selalu ditujukan ke arah itu,” ujar Adji.

1
Adji mengatakan, inovasi yang dilakukan terhadap Fanta selalu didasari oleh kebiasaan
konsumen dalam mengonsumsi produknya. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, misalnya, Fanta
dicampur susu menjadi soda gembira. Ada pula yang mencampurnya dengan es krim, dan ini
yang mengilhami lahirnya Fanta Creamy, Fanta dengan tambahan rasa es krim yang bakal
diluncurkan Agustus mendatang. Ada satu lagi inovasi, tapi Adji masih merahasiakan. “Kami
lagi-lagi bakal menggabungkan dua rasa unexpected. Tunggu saja,” ujarnya merahasiakan.

Menurut Andre, dengan strategi tersebut, peluang sukses baik Coca-Cola maupun Pepsi amat
tergantung pada tiga hal, yaitu strategi inovatif, komitmen manajemen, dan kondisi pasar. Dari
ketiga hal itu, dua yang pertama berada dalam kendali internal, sedangkan kondisi pasar adalah
situasi eksternal (di luar kendali perusahaan). “Kalau konsisten melakukan dua hal yang
pertama, maka ada 60%-70% peluang,” ucapnya.

Selain inovasi produk, baik CCI maupun PCI juga melakukan berbagai inovasi dalam program
pemasarannya. Yang paling jelas adalah Coca-Cola, yang berkali-kali mengganti tema
komunikasi produknya. Untuk itu, tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan. Tahun ini (Januari-
Mei) menurut Nielsen Media Research, tak kurang dari Rp 27,70 miliar sudah dihabiskan CCI
untuk mengomunikasikan mereknya. Dengan pengeluaran itu, bisa dipastikan belanja iklan
Coca-Cola tahun ini akan lebih besar dibanding tahun lalu yang hanya Rp 47,88 miliar.

Belanja iklan Sprite dan Fanta juga tidak bisa dibilang sedikit. Periode Januari-Mei 2005, Fanta
sudah menghabiskan lebih dari Rp 15,28 miliar, sedangkan Sprite sedikit lebih banyak, yaitu Rp
16,22 miliar. Berbeda dari PCI. Untuk urusan yang satu ini, PCI terkesan sangat hati-hati.
Hingga akhir kuartal 1/2005, PCI hanya mengeluarkan Rp 158 juta untuk biaya komunikasi, itu
pun hanya terbatas pada satu varian, 7Up Ice.

Adji mengatakan, Coca-Cola lebih intens diiklankan dibanding dua produk lainnya. Sebab, Coca-
Cola merupakan merek flagship, yang misinya memperbesar pangsa pasar. “Fanta dan Sprite
lebih sebagai cash cow bagi perusahaan.”

Selain itu, CCI juga sedikit memodifikasi urusan distribusinya. Disebutkan Adji, sejak tahun lalu
distribusi diubah menjadi lebih efesien. Sebelumnya, penjualan bersama armada truk
mengerjakan sendiri semuanya. Mulai cari pesanan, mengirim sampai menagih. Sekarang truk
angkutan tinggal mendrop karena armada sepeda motor telah lebih dulu mencari pesanan.
“Aviability jauh lebih bagus,” paparnya.

Yadi Budi Setiawan, Direktur Pengelola Force One, menyebutkan bahwa di kategori minuman
siap saji, distribusi berperan sangat penting. Pasalnya, impulse buying jenis produk ini amat
tinggi. “Dalam hal ini Pespi lemah. Coca-Cola juga tidak bisa dibilang kuat, karena Sosro jauh
lebih kuat,” ungkapnya. Yadi mengatakan, pendekatan distribusi Pepsi kurang masif karena tak
menyebarkan produknya hingga ritel kecil dan tradisional di pelosok, melainkan lebih
menekankan pemanfaatan gerai-gerai besar, terutama restoran besar seperti Hard Rock Cafe,
KFC, dan beberapa resto lainnya. “Dalam hal ini porsi pendapatan PCI cukup besar,” ungkap
Yadi. Namun akibatnya, di gerai-gerai nonresto, produk Pepsi cukup sulit ditemukan. Tingkat
ketersediaannya rendah.

Harus diakui, baik CCI maupun PCI sangat kerepotan menghadapi pesaing tidak langsungnya,
RTD Tea dan AMDK. Bahkan beberapa waktu lalu, dua perusahaan minuman berkarbonasi
raksasa yang saling bersaing itu, pernah melakukan aliansi (joint forces) untuk menghantam
pesaing komplimenter (indirect competitor)-nya seperti Teh Botol Sosro dan Aqua. Misalnya
dengan melakukan kampanye yang menyangkut harga eceran produk di tingkat paling bawah.
Ini dilakukan karena adanya gap yang cukup besar antara produk CSD dan RTD Tea, khususnya
Teh Botol Sosro. Padahal, harga per krat CSD dengan Teh Botol Sosro sebenarnya tidak jauh
berbeda. Namun harga di tingkat eceran bisa berbeda hingga 40%.

Cara yang ditempuh adalah lewat iklan, poster dan spanduk, serta mencantumkan harga eceran
di tutup botol masing-masing. Dengan begitu, diharapkan disparitas harga antara Coca-Cola dan
Pepsi dengan Teh Botol Sosro tidak jauh. Tujuannya, agar pasar yang sempat tergerogoti oleh
Teh Botol Bosro bisa kembali.

Selain itu, CCI dan PCI juga pernah menjalin kerja sama dengan menggelar join promo di gerai
untuk mereduksi biaya sponsor atau biaya partisipasi di gerai. Keduanya sama-sama melobi dan
sepakat menetapkan nilai maksimal fee sponsor. Kerja sama ini dilakukan ketika menyasar
segmen mereka. Kebetulan di segmen ini jumlah minuman CSD tidak terlalu tinggi. Namun, fee
sponsornya sangat besar atau disamakan dengan rokok dan bir yang permintaannya jauh lebih
besar. Pepsi dan Coca-Cola menilai, fee setinggi itu buat mereka tidak fair. Keduanya lalu
sepakat menetapkan maksimal fee sponsor jika masuk ke horeka dan berkomitmen tidak
jorjoran sendiri-sendiri.

Andre menjelaskan, bisnis minuman di Indonesia secara umum masih sangat potensial. Tingkat
konsumsi minuman dalam kemasan (bottled water, CSD, RTD Tea dan lainnya) kira-kira 5-6

2
miliar liter. Angka ini kurang-lebih sama dengan Filipina yang jumlah penduduknya jauh lebih
sedikit. “Jadi potensinya masih sangat besar. Untuk industri minuman dengan returnable bottle
pertumbuhannya harus didukung kekuatan distribusi yang solid, investasi jumlah botol, serta
promosi dan inovasi produk untuk menciptakan news di target pasarnya,” ungkap mantan
eksekutif PCI ini. Andre menegaskan, dibanding AMDK dan RTD Tea, CSD merupakan yang
paling menguntungkan, kemudian diikuti RTD Tea. “Jadi wajarlah, CCI mau habis-habisan.”

URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/praktik/details.php?cid=1&id=3109
Kamis, 04 Agustus 2005

Das könnte Ihnen auch gefallen