Sie sind auf Seite 1von 8

AL-HIWAR USHULIHIL MANHAJIYATI WA ADABIHI SULUKIYYAH A.

PENDAHULUAN Dalam Islam Hiwar dan perdebatan sudah dikenal sejak zaman Rasulullah saw. dalam mengajarkan agama untuk umatnya. Rasulullah saw sering berdialog dan bertanya jawab serta bila perlu berdebat dengan para sahabat dan juga dengan lainnya dalam memberikan pemahaman tentang Agama Islam kepada mereka. Hiwar yang digali dari sumber Islam, yaitu Al-Quran dan Hadits, sudah barang tentu diterima dan dapat dipakai dalam pendidikan Islam sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Rasulullah saw. banyak mempergunakan dialog dengan sahabatsahabatnya dan dengan musuh-musuh Islam dari golongan Musyrikin dan Ahli Kitab. Rasulullah saw. menggunakan tanya jawab dalam banyak perkara untuk sampai kepasa suatu prmikiran yang ghaib (abstrak) yang sahabat-sahabat tidak sanggup menjawabnya, mereka bertanya kepada Rasulullah dan beliau menjawab dan memberitahunya.1 Seseorang yang ingin menyampaikan ataupun bertanya tentang suatu perkara yang perlu pemecahannya kepada orang lain, maka berdialog adalah salah satu cara yang paling tepat untuk digunakan. Namun dalam berdialog bila tidak mendapatkan jawaban yang mengenai sasaran atau menyimpang dari yang diharapkan, maka dari itu hendaklah mencari orang yang mempunyai pemahaman tentang masalah yang akan dipersoalkan. Dari jawaban-jawaban yang didapati
1

Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal 569.

masih belum mampu memecahkan suatu persoalan hingga

berlanjut dalam

perdebatan untuk mendapatkan jawaban yang tepat dan diharapkan. B. Pembahasan 1. Pengertian Hiwar Hiwar (dialog) dapat diartikan sebagai percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih yang dilakukan melalui tanya jawab mengenai suatu topik yang mengarah pada satu tujuan pembicaraan. Dalam artian dialog merupakan jembatan yang menghubungkan pemikiran seseorang dengan orang lain.2 Hiwar (dialog) adalah sebuah metode yang berdasarkan pada perbincangan melalui tanya jawab untuk sampai kepada fakta yang tidak dapat diragukan, dikeritik dan dibantah lagi. Orang yang berdialog biasa melalui tiga tingkatan yaitu: Pertama, pendialog yakin yang tidak mempunyai dasar. Artinya pendialog tidak mempunyai sumber atau dasar pegangan yang bisa menjadi penguat dialog dan perdebatannya. Tugas pendialog seperti ini hanya menampakkan kebodohan dan kecongkakan yang tidak berdasar dan menerima pendapat orang lain tanpa berdasarkan logika. Kedua, pendialog masih ragu terhadap apa yang disampaikannya oleh orang yang diajak berdialog, karena ia mendapati orang yang diajak dialog itu tanpa ragu-ragu dalam menyampaikan, penderian dan katakatanya yang tidak tetap dan nampak sikap jengkelnya. Oleh karena itu pendialog harus memilih seseorang yang tepat untuk diajak dialog, artinya orang yang diajak dialog itu mengetahui apa yang akan disampaikannya jangan sampai dia merasa
2

Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, di Sekolah dan di Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hal. 205.

malu, bodoh dan sombong karena ia memasuki perkara yang sebenarnya bukan bidangnya. Ketiga, tingkat inilah yang sebenarnya yang dicari untuk kesempurnaan dan berhasil dalam berdialog, mendapatkan fakta dan tujuan dari perbincangan. Tingkat ini dimana pendialog dan yang diajak dialok menguasai dasar sumber atau mempunyai ilmu tentang perkara yang sedang

diperbincangkan. 2. Kriteria Hiwar a) Agar dialog yang berlangsung antara dua pihak berujung dengan hasil sesuai yang diharapkan, maka kedua belah pihak yang terlibat langsung dalam dialog ini harus memiliki kebebasan berfikir yang ditopang dengan rasa percaya diri dan berpikir mandiri. Pikiran masing-masing tidak terkurung oleh perasaan takut atau yang lainnya, yang akan mengakibatkan kehilangan kepercayaan diri, dan kehilangan kemampuan untuk berfikir. Rasulullah apabila berdialog beliau selalu berusaha agar kebebasan dan kemandirian berfikir ini dimiliki oleh lawan bicaranya. b) Orang yang terlibat dalam hiwar hendaknya menyiapkan diri sebaik mungkin untuk menerima kesimpulan atau kebenaran, khususnya dari materi dan masalah yang dihasilkan dari dialog itu. Kalau saja sejak awal telah menyiapkan pikirannya untuk menolak, maka dialog itu akan berubah menjadi Jadal (debat) atau dialog dan perdebatan yang tercela yang tidak menghasilkan apa-apa kecuali penghamburan kalam saja. Sebab sekalipun dalil-dalil deras menghujaninya, ia tetap akan menolak. Segi ini telah mendapat penekanan dalam Al-Quran.

c) Di antara masalah yang cukup urgen dalam mengantarkan hiwar pada tujuannya yang diharapkan, adalah terciptanya suasana yang tenang untuk berfikir yang membawa manusia mampu berfikir secara orisinil, menjauhkan suasana emosional. Sebab tidak jarang pikiran seseorang larut ke dalam sikap suatu kelompok yang membawa semangat emosional untuk menguatkan pendapat tertentu dan menolak pikiran tertentu. Sehingga ia mengikutinya karena kondisi keumuman, bukan hasil pikirannya yang jernih. d) Masing-masing yang terlibat dalam hiwar hendaknya tahu benar materi atau ide yang sedang atau akan dibicarakan sehingga tidak keluar dari topik yang dibicarakan. Sebab jika keduanya atau salah satu tidak mengetahuinya, tentu hiwar ini akan ngawur, tidak terarah, dan permasalahan tidak akan nyambung antar keduanya. e) Ada dua teknik yang diisyaratkan Al-Quran, yaitu hiwar yang sehat dan hiwar yang tidak sehat. Hiwar yang tidak sehat biasanya dalam menghadapi lawan bicara menggunakan kata-kata yang tidak sehat pula. Hiwar ini tidak sekedar mematahkan argumentasi lawan, kalau perlu menghina dan menyakitinya. Adapun hiwar yang sehat adalah hiwar yang berdasarkan pada kelembutan dan kasih sayang dan berangkat dari kaidah-kaidah Islam yang memandang bahwa materi itu hanya sarana untuk mencapai tujuan, yaitu iman kepada hak dan melaksanakan tuntutannya. Dengan demikian, hiwar ini menggunakan kata-kata dan uslub yang lembut dan bagus, yang mampu menyentuh hati, mendekatkan

pemikiran terhadap pemahaman dan hokum-hukum yang benar, dan menjauhkan dari pengertian yang salah dan menyimpang.3 Keriteria-keriteria tersebut nampaknya leih tepat digunakan untuk hiwar yang melibatkan kedua belah pihak berdialog secara aktif, yang terlebih dahulu telah mempersiapkan dan perumusan hiwar yang matang, jelas dan terbatas, sehingga tidak menimbulkan keraguan sehingga tidak keluar dari topik pembicaraan serta hiwar hendaknya sesuai dengan tingkat kemampuan orang yang diajak berdialog. Sejumlah pernyataan di atas sangat relevan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ahmad bin Abdurrahman As-Shuyani dalam kitabnya Al- Hiwar Ushulihi wa Adabihi Sulukiyah. Di mana As-Shuyani menjelaskan bahwa landasan dasar dalam berdialog atau berdebat hendaknya memuhi lima kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pendialog dan orang yang diajak berdialog yaitu: 1. Memiliki ilmu pengetahuan 2. Pemahaman yang bagus 3. Menguasai dasar-dasar syari untuk menolak pertentangan 4. Rumusan masalah 5. Dapat membedakan antara qathi dan dhanni. Untuk berlangsungnya dialog dengan hasil yang sesuai dengan harapan, maka kedua pihak yang terlibat langsung dalam percakapan wajiblah memiliki
3

Ichwan Hasanuddin, Menguak Metode Hiwar dalam Pendidikan Islam, Jakarta.

dan menguasai pengetahhuan tentang materi dialog atau debat, sehingga mereka mampu menjelaskan dengan baik benar. Tanpa memiliki ilmu tentang apa yang diperdebatkan maka tidak akan tercapai apa yang akan diharapkan, bahkan akan menimbulkan perselisihan yang tidak berujung dan bermakna. Allah swt. mencela orang-orang yang berdebat tanpa memiliki ilmu yang relevan dengan perihal yang diperdebatkan, sebagaimana firman-Nya: Dan diantara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan (Al-Hajj: 8). Seseorang tanpa cukup memiliki ilmu tentang apa yang harus diucapkan atau diperbincangkan maka hendaklah jangan diteruskan, dikhawatirkan hiwar atau dialog itu akan berubah menjadi perdebatan yang tercela karena masing-masing akan mempertahankan argumentasi sendiri tanpa mendapatkan titik temu antara keduanya, disebabkan salah satu diantaranya tidak memiliki ilmu atau bsa saja kedua-duanya tidak memahami tentang apa yang sedang diperbincangkan, yang akhirnya terjadi jawaban yang direkayasa yang dimunculkan dari akal pikiran saja tanpa bersumber dari dalil-dalil naqli. Allah swt. juga melarang yang demikian , sebagaimana firman-Nya Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya (Al-Isra: 36) Menurut As-Shuyani, ilmu yang dimaksud itu adalah ilmu yang saling melengkapi, yaitu: 1. Ilmu yang disyariatkan oleh Allah yang bersih dari Al-Quran dan Hadits, ini adalah kurikulum atau metode yang dijalankan oleh orang-orang salaf baik itu perkataan, keyakinan ataupun pekerjaan mereka.

2. Ilmu apa yang sedang terjadi (ilmu hal) yang dimaksud adalah penerapan syariat yang telah disyariaatkan oleh Allah swt. baik dari segi politik, ekonomi, sosial, ilmu dakwah (penyiaran) dan lain-lain. Jadi seseorang itu yang ingin mengajak orang lain untuk berdialog harus mengetahui lawan dialognya, apakah ia cocok dipilih sebagai lawan dialog, mengertikah ia tentang permasalahan yang akan didialogkan, mampukah ia memecahkan masalah yang akan didialogkan dan seterusnya. Dengan kata lain pendialog dan yang diajak dialog hendaklah sama-sama menguasai ilmu (bidang keahliannya) dan permasalahan tentang apa yang akan didialogkan serta dilengkapi dengan ilmu-ilmu yang lain untuk menambah argumentasinya. Dalam hal ini penulis hanya menjelaskan poin (dasar) pertama saja yaitu ilmu (pengetahuan), karena dari isi kitab Al-Hiwar hanya penulis terjemahkan sebahagian yang menjelaskan tentang penguatan para dialog wajib menguasai ilmu pengetahuan, sedangkan empat kriteria dasar yang lain tidak diuraikan secara mendalam dalam pembahasan makalah ini. C. KESIMPULAN Hiwar (dialog) adalah perbincangan antara dua orang atau lebih dalam suatu masalah yang perlu pemecahannya dengan mendatangkan dalil-dalil aqli dan naqli yang kuat dari kedua belah pihak untuk mendapatkan suatu jawaban yang tepat dan yang diharapkan. Orang yang terlibat dalam hiwar harus memiliki lima dasar yaitu: 1. Ilmu Pengetahuan 2. Pemahaman yang benar

3. Dasar-dasar syarI untuk menolak pertentangan 4. Rumusan masalah 5. Perbedaan antara qathI dan dhanni DAFTAR PUSTAKA Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979). Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, di Sekolah dan di Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani, 1995). Ichwan Hasanuddin, Menguak Metode Hiwar dalam Pendidikan Islam, Jakarta.

Das könnte Ihnen auch gefallen