Sie sind auf Seite 1von 13

3.

Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak


Yang dimaksud dengan bagi hasil pajak dan bukan pajak adalah bagian pajak dan bukan pajak pusat yang dibagihasilkan kepada daerah, baik tingkat I maupun tingkat II. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 83 Tahun 1994 ditetapkan bahwa mulai tahun 1995/96 10% bagian penerimaan pusat dibagikan secara merata kepada seluruh dati II. Sebelumnya, berdasarkan PP Nomor 47 Tahun 1985 pembagian penerimaan PBB ditetapkan yaitu masing-masing sebesar 10 % untuk pemerintah pusat, 16,2 % untuk dati I, 64,8 % untuk dati II, dan 9% sisanya untuk upah pungut. Dialihkannya 10 % bagian pusat tersebut sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah untuk lebih meningkatkan kemampuan pemerintah daerah khususnya dati II dan pemerataan antardaerah. Dengan demikian besarnya penerimaan daerah dari PBB secara nasional meningkat menjadi 91 %. Selain bagi hasil pajak dari PBB, daerah menerima pula bagi hasil bukan pajak yaitu Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) yang diberikan berdasarkan PP No. 22 Tahun 1967, dan Iuran Hasil Hutan (IHH) berdasarkan PP No. 22 Tahun 1967 jo. PP No. 21 Tahun 1980. Penerimaan IHH berdasarkan PP No. 22 ini merupakan bagian penerimaan dati I yang bersumber dari penerimaan IHH secara nasional, berbeda dengan bagian IHH yang bersumber dari kegiatan "perhutanan" yang terkena PBB. Pada tahun anggaran 1997/98, komponen bagi hasil pajak dan bukan pajak menempati urutan ke tiga sebagai sumber pendapatan daerah, dengan persentase jauh di bawah sumbangan dan bantuan, dan PAD yaitu 8,9 % dari total penerimaan APBD Tingkat I. Persentase ini naik sedikit dari tahun sebelumnya (8,0 %). Seperti tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 1997/98 propinsi yang mendapatkan bagi hasil pajak dan bukan pajak terbesar adalah DKI Jakarta (39,8 %). Besarnya persentase tersebut dibandingkan dengan propinsi lainnya disebabkan karena potensinya yang cukup besar, khusus PBB sektor perkotaan yang merupakan gabungan porsi penerimaan PBB dati I dan dati II. Propinsi lainnya berada jauh di bawah DKI Jakarta seperti Kalimantan Timur (7,5 %) dari penerimaan APBD, Riau (6,5 %), Irian Jaya (6,4%), dan Jawa Barat (5,2 %). Cukup besarnya persentase di Kalimantan Timur dan Irian Jaya disebabkan karena besarnya bagi hasil dari IHH mengingat luasnya areal hutan di kedua propinsi tersebut. Sedangkan besarnya persentase di Propinsi Riau dan Jawa Barat ditentukan oleh besarnya bagi hasil PBB. Secara kawasan, propinsi-propinsi di KBI mendapatkan bagi hasil pajak lebih besar dari KTI (85,9 %), sedangkan bagi hasil bukan pajak sebagian besar terdapat pada propinsi-propinsi di KTI yaitu 66,1%.

Untuk bagi hasil bukan pajak terjadi hal yang sebaliknya dimana penerimaan yang lebih besar terdapat di propinsi-propinsi KTI (66,1 %). Jika diamati lebih rinci, porsi bagi hasil bukan pajak terbesar tersebut terdapat di propinsi yang memiliki kawasan hutan cukup luas, yaitu Irian Jaya (17,4 %), Kalimantan Timur (15,6 %), dan Kalimantan Tengah (10,0 %). Dengan penerimaan bagi hasil bukan pajak tersebut, propinsi yang bersangkutan dapat menggunakannya untuk prioritas kegiatan-kegiatan yang dapat mempertahankan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan kualitas sumber

daya alamnya. Rincian jumlah dan %tase bagi hasil pajak dan bukan pajak serta sebarannya di masing-masing propinsi dapat dilihat pada Tabel 6.

4. Sumbangan dan Bantuan Yang dimaksud dengan sumbangan adalah dana yang diberikan pemerintah kepada pemerintah daerah yang digunakan untuk membiayai belanja pegawai daerah dan pegawai pusat yang diperbantukan di daerah, serta keperluan belanja non pegawai. Sedangkan bantuan adalah dana yang diberikan pemerintah kepada daerah yang digunakan untuk pembangunan daerah yang bersangkutan. Sebagian besar dari sumbangan (kurang lebih 80%) adalah dalam bentuk subsidi daerah otonom (SDO) yang merupakan perimbangan keuangan dari pemerintah pusat atas pembiayaan gaji dan tunjangan lainnya termasuk tunjangan pangan bagi pegawai negeri sipil di daerah. Subsidi lainnya antara lain adalah subsidi pembiayaan penyelenggaraan sekolah dasar negeri, subsidi biaya operasional rumah sakit daerah, biaya pra jabatan, dan subsidi pembiayaan penyelenggaraan otonomi daerah. Untuk menunjang pelaksanaan pembangunan yang menjadi tugas pemerintah dati I, kepada dati I diberikan bantuan pembangunan dati I yang dimaksud untuk membiayai berbagai kegiatan pembangunan yang merupakan prioritas daerah serta merupakan tugas dan wewenang pemerintah dati I. Pada tahun anggaran 1997/98, komponen bantuan dati I bertambah delapan komponen baru yaitu 1) bantuan pengembangan wilayah, 2) prasarana fisik pamongpraja, 3) pembinaan masyarakat tertinggal, 4) pengelolaan kawasan lindung, 5) pembinaan seni budaya daerah, 6) pembinaan olah raga, 7) pembinaan kerukunan umat beragama, dan 8) pengembangan dampak lingkungan. Komponen bantuan yang telah ada sebelumnya adalah bantuan umum pembangunan dati I, peningkatan jalan propinsi, reboisasi, pemantauan dan pengawasan, operasi dan pemeliharaan pengairan, dan penataran calon penatar P-4. Sejalan dengan kebijaksanaan untuk lebih mengarahkan bantuan pembangunan ke KTI, kawasan terisolir dan terpencil lainnya, besarnya bantuan ke KTI pada tahun 1997/98 lebih besar dibandingkan kawasan lainnya yaitu 51,5% dari total bantuan kepada dati I. Komponen sumbangan dan bantuan dalam pendapatan APBD tingkat I pada tahun anggaran 1997/98 masih menempati urutan pertama yaitu 51,7% dari total penerimaan. Angka tersebut menurun dari tahun sebelumnya yang besarnya 53,5%. Penurunan yang terjadi sejak akhir Repelita V ini menunjukkan bahwa secara perlahan pemerintah daerah mampu mengurangi ketergantungannya kepada pemerintah pusat dalam membiayai pemerintahan dan pembangunan. Secara nasional, proporsi sumbangan dan bantuan di KBI lebih besar dibandingkan dengan proporsi KTI yaitu 79,4%. Besarnya proporsi sumbangan dan bantuan di KBI ini dipengaruhi oleh besarnya porsi sumbangan yang diberikan ke KBI yaitu sebesar 89,6%, lebih besar dibandingkan tahun lalu sebesar 89,1%.

Berkaitan dengan besarnya jumlah pegawai yang harus dibiayai dan jumlah kabupaten yang juga besar, propinsi-propinsi di Jawa seperti Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat berturut-turut adalah propinsi yang mendapatkan sumbangan terbesar. Sebaran sumbangan di propinsi-propinsi KTI umumnya hampir sama, berkisar antara 0,4%-0,9%, kecuali Kalimantan Tengah sebesar 2,2% dan Sulawesi Tengah 2,4%. Sedangkan untuk bantuan, porsi terbesar terdapat di Irian Jaya, yaitu sebesar Rp103 miliar atau 6,0% dari total bantuan. Rincian bantuan untuk masing-masing propinsi terdapat pada Tabel 7. Pada tabel tersebut terlihat pula bahwa 5,9 % dari total bantuan terdapat di Propinsi DKI Jakarta. Angka tersebut terlihat besar karena dalam APBD Tingkat I-nya termasuk komponen bantuan Inpres Dati II, mengingat DKI Jakarta tidak memiliki APBD Tingkat II. Dibandingkan dengan perkiraan jumlah penduduk 1997, sumbangan dan bantuan per kapita pada tahun 1997/98 sumbangan dan bantuan per kapita sedikit naik dari Rp32.656 per kapita pada tahun lalu menjadi Rp34.120 per kapita. Proporsi sumbangan dan bantuan per kapita di KTI lebih besar dibandingkan dengan KBI yaitu Rp37.483. Propinsi yang sumbangan dan bantuan per kapitanya senantiasa terbesar adalah Kalimantan Tengah. Pada tahun 1997/98, besarnya sumbangan dan bantuan per kapita Kalimantan Tengah adalah Rp103,7ribu per kapita, naik sedikit dari tahun lalu sebesar Rp96.649per kapita. Sama dengan tahun sebelumnya, propinsi yang sumbangan dan bantuan per kapitanya terkecil adalah Sulawesi Selatan yaitu sebesar Rp13,1 ribu per kapita. Besarnya perbandingan antara sumbangan dan bantuan per kapita yang terbesar dan terkecil adalah 7,9 : 1. Melihat perbandingan tersebut pada tahun lalu yaitu 7,7 : 1, maka besarnya dana yang diberikan kepada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan antara kawasan pada tahun anggaran 1997/98 sedikit lebih tidak merata.

5. Pinjaman
Sebagaimana lembaga-lembaga lainnya, ada masanya pemerintah daerah membutuhkan dana pinjaman. Pinjaman tersebut digunakan untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan khususnya dalam membangun prasarana yang dibutuhkan daerah. Selain itu, pinjaman dapat meningkatkan kemandirian daerah dalam membiayai pembangunan, selain menggunakan sumber dana yang ada pemerintah daerah.

Jenis pinjaman yang dikenal di Indonesia selama ini dapat bersumber dari luar negeri, atau sering disebut penerusan pinjaman (subsidiary loan agreement/SLA), dan yang bersumber dari dalam negeri, termasuk yang disebut dengan rekening pembangunan daerah (RPD). Berbagai bentuk pinjaman ini sesungguhnya sangat potensial dalam membantu daerah untuk membiayai pembangunannya. Namun karena persyaratannya cukup berat dan prosedur peminjaman dirasakan rumit, maka belum banyak propinsi yang dapat memanfaatkannya. Pinjaman pemerintah dati I yang digunakan untuk BUMD Tingkat I dapat dilaksanakan setelah disahkan oleh Mendagri. Pada tahun anggaran 1991/92, propinsi yang memanfaatkan pinjaman hanya 3 propinsi. Mulai tahun anggaran 1992/93 hingga 1995/96, propinsi yang memanfaatkan pinjaman bertambah menjadi 4 propinsi yaitu Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan. Pada tahun 1997/98, Propinsi Sulawesi Selatan juga memanfaatkan dana pinjaman tersebut. Pinjaman terbesar diterima oleh Propinsi DKI Jakarta yaitu Rp52,7 miliar atau 92,8 % dari total pinjaman, lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp78.251. Pinjaman di 4 propinsi tersebut pada umumnya digunakan untuk pembangunan prasarana perkotaan. Rincian jumlah dan persentase pinjaman dapat dilihat pada Tabel 8.

BAB IV BELANJA DAERAH TINGKAT I


Dalam APBD tingkat I, belanja daerah merupakan rencana pengeluaran dati I selama tahun anggaran yang bersangkutan. Pengeluaran daerah pada prinsipnya bertujuan untuk sebesar-besarnya dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan pelayanan masyarakat. Untuk itu, belanja daerah seyogyanya tidak termasuk untuk penyediaan anggaran bagi perayaan-perayaan seperti hari besar dan hari ulang tahun, pesta, pemberian hadiah, tanda mata, dan sebagainya yang tidak bertujuan untuk kesejahteraan dan pelayanan masyarakat luas. Belanja daerah terdiri atas belanja rutin dan belanja pembangunan. persentase belanja rutin APBD tingkat I tahun anggaran 1997/98 adalah 65,1 % dari total APBD tingkat I seluruh Indonesia (Tabel 9). Hal ini berarti dana yang digunakan untuk belanja pembangunan hanya sebesar 34,9 %. Porsi anggaran baik rutin maupun pembangunan tersebut hampir sama besarnya dengan porsi anggaran belanja tahun lalu. Porsi belanja rutin yang selama Repelita V telah menunjukkan penurunan, pada dua tahun pertama Repelita VI naik kembali. Pada tahun 1996/97 turun sedikit sebesar sekitar 3%. Menurunnya porsi anggaran rutin sampai pada posisi yang lebih seimbang dengan porsi anggaran pembangunan menunjukkan adanya perhatian pemerintah daerah untuk meningkatkan kinerja pembangunannya. Diharapkan pada tahun-tahun mendatang porsi tersebut dapat lebih diseimbangkan, setidaknya dipertahankan. Pengamatan atas belanja per kapita menunjukkan bahwa besarnya belanja per kapita secara nasional pada tahun anggaran 1997/98 adalah Rp65.961,2 atau meningkat %

dari tahun anggaran 1996/97. Hampir sama dengan tahun lalu, propinsi dengan belanja per kapita terbesar berturut-turut adalah DKI Jakarta (Rp338.576), diikuti oleh Kalimantan Tengah (Rp148.340), dan Kalimantan Timur (Rp119.988) yang menggusur Irian Jaya. Irian Jaya sendiri berada pada urutan berikutnya (Rp119.263). Sedangkan yang terkecil adalah Lampung (Rp27.040). Perbandingan antara belanja per kapita terbesar dengan terkecil, yaitu belanja per kapita DKI Jakarta dengan Lampung, adalah 12,5 : 1. Jika dilihat per kawasan, maka belanja per kapita KBI lebih tinggi daripada KTI. Hal ini terjadi karena besarnya penduduk di KBI adalah 4,3 kali penduduk di KTI, sementara besarnya belanja KBI adalah 4,9 kali belanja KTI. Untuk penyempurnaan kriteria alokasi Bantuan Pembangunan Dati I di masa mendatang, besarnya belanja per kapita yang mengandung pengertian besarnya kemampuan pemerintah daerah dalam melayani masyarakatnya dapat dipertimbangkan menjadi salah satu dasar kriteria alokasi. Belanja perkapita dapat pula diuraikan atas rutin dan pembangunan. Belanja rutin per kapita terbesar sama dengan tahun sebelumnya yaitu di Propinsi DKI Jakarta (Rp192.455), Kalimantan Tengah (Rp88.000), dan Sulawesi Tengah (Rp72.427). Walaupun belanja rutin per kapita yang termasuk besar tersebut banyak terdapat di propinsi-propinsi KTI, namun secara nasional belanja rutin perkapita di KBI lebih besar daripada KTI. Sebaliknya, belanja pembangunan per kapita di KTI lebih besar daripada di KBI. Sedangkan untuk belanja pembangunan per kapita terbesar adalah di Propinsi DKI Jakarta (Rp146,121), sedangkan propinsi lainnya jauh lebih kecil. Besarnya perbedaan nilai belanja per kapita baik rutin maupun pembangunan menunjukkan besarnya ketidak-merataan persebaran penduduk antar wilayah. 1. Belanja Rutin Belanja rutin adalah pengeluaran untuk membiayai kegiatan pemerintah daerah yang bersifat administrasi dan pelayanan pemerintahan umum. Besarnya porsi belanja rutin dalam total APBD tingkat I pada tahun anggaran 1997/98 adalah sekitar Rp8.634 miliar atau 65,0%, sedikit menurun dari porsi tahun sebelumnya sebesar 65,5% walaupun secara absolut lebih besar. Rincian belanja rutin dalam APBD tingkat I pada tahun anggaran 1997/98 adalah sebagai berikut: bar chart dari belanja rutin (dibandingkan dengan belanja rutin tahun lalul)

Pada tabel di atas terlihat bahwa sebagian besar belanja rutin digunakan untuk belanja pegawai sebesar 61,9%, sedikit menurun dibandingkan belanja pegawai tahun lalu sebesar %. Komponen belanja rutin lainnya yang juga besar adalah belanja barang, belanja lainnya, dan belanja pemeliharaan. Propinsi-propinsi yang belanja pegawainya besar umumnya adalah propinsi yang struktur kelembagaannya telah lengkap seperti Propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatera Utara. Sementara itu, propinsi yang nilai absolut belanja barang dan pemeliharaan secara mencolok cukup besar adalah DKI Jakarta. Jika dilihat persentasenya dari total belanja rutin, maka Propinsi Maluku mempunyai belanja barang terbesar. Namun hal ini tidak diikuti oleh pemeliharaan karena hanya sebesar 4,3 % dari total

belanja rutinnya. Besarnya persentase belanja barang dan pemeliharaan di suatu propinsi dapat menjadi indikator bertambahnya aset pemerintah daerah serta meningkatnya kepedulian akan pemeliharaan aset yang telah ada. Belanja perjalanan secara nasional hanya sebesar 1,2 % dari total belanja rutin. Namun jika dilihat berdasarkan kawasan, maka propinsi-propinsi di KTI mengeluarkan cukup besar dana untuk biaya perjalanan dinas yaitu 4,4 kali biaya perjalanan dinas propinsi-propinsi di KBI. Hal ini juga menunjukkan kemungkinan bahwa perjalanan dinas aparat pemerintah daerah sebagian besar dilakukan ke Jakarta yang bagi propinsi di KTI memerlukan biaya cukup besar. Rincian jumlah dan persentase belanja rutin masing-masing propinsi dapat dilihat pada Tabel 11.a dan 11.b.

2. Belanja Pembangunan Pembangunan daerah adalah bagian integral dari pembangunan nasional, dan pelaksanaannya mengacu pada pola dasar pembangunan daerah serta rencana pembangunan lima tahun masing-masing daerah. Dengan melihat penggunaan anggaran belanja pembangunan dalam APBD, dapat dilihat cerminan arahan pembangunan suatu daerah yang seyogyanya merupakan bagian integral dari Repelita VI secara nasional. Dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi internasional dan regional hingga saat ini, maka dalam memasuki tahun anggaran 1997/98 pemerintah daerah harus memberikan perhatian lebih besar dalam penyusunan anggaran pembangunannya. Sejalan dengan semakin luasnya jangkauan dan lingkup pembangunan di daerah, maka besarnya belanja pembangunan dalam total APBD tingkat I senantiasa meningkat. Jika pada awal Repelita V (1989/90) besarnya belanja pembangunan adalah Rp1.042,5 miliar, maka pada akhir Repelita V menjadi sebesar Rp2.523,8 miliar. Selama Repelita V tersebut, laju pertumbuhan rata-rata per tahun belanja pembangunan adalah 24,7 %. Pada awal Repelita VI (1994/95), belanja pembangunan tersebut meningkat menjadi Rp2.759,8 miliar, dan pada tahun ketiga Repelita VI ini meningkat lagi menjadi Rp4.183,5 miliar. Dalam struktur APBD tingkat I tahun anggaran 1997/98, belanja pembangunan dikelompokkan dalam 22 sektor pembangunan, sebagaimana telah dikemukakan pada bab terdahulu. Gambaran belanja pembangunan per sektor secara nasional terlihat pada grafik di bawah ini.

Grafik belanja pembangunan per sektor

Pada grafik di atas terlihat sektor transportasi masih merupakan penyerap terbesar belanja pembangunan. Penggunaan dana pembangunan untuk sektor transportasi tersebut sebagian besar berada di KTI yaitu 40,3%. Hal ini antara lain karena sebagian besar propinsi di KTI memberikan porsi lebih dari 50 % pada sektor ini, seperti Propinsi Sulawesi Tenggara, Maluku, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Timur. Beberapa pertimbangan daerah dalam memprioritaskan sektor transportasi antara lain adalah untuk membuka daerah terpencil dan terisolir, memperlancar dan mempercepat transportasi dari daerah produksi ke pemasaran dan konsumen, memperlancar lalu lintas perekonomian, memperlancar urusan pembinaan pemerintahan, dan sebagainya. Sektor pengguna belanja pembangunan terbesar kedua adalah sektor aparatur pemerintah dan pengawasan. Hal ini sejalan dengan upaya pencapaian sasaran pembangunan daerah sebagaimana ditetapkan dalam Repelita VI, yaitu berkembangnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab, serta meningkatnya kemandirian dan kemampuan pemerintah daerah. Propinsi yang memberikan porsi cukup besar (lebih dari 20 %) pada sektor ini adalah Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Sumatera Utara, dan Irian Jaya. Sektor pengguna terbesar ketiga dan keempat dari belanja pembangunan berturutturut adalah sektor subsidi pembangunan kepada daerah bawahan dan sektor pembangunan daerah dan pemukiman. Hal ini juga sejalan dengan arahan GBHN 1993 untuk mengembangkan daerah dan menyerasikan laju pertumbuhan daerah, antar dan antara kota dan desa, serta antarsektor. Kedua sektor ini bertukar peringkat dibandingkan tahun lalu. Rincian jumlah dan persentase belanja pembangunan masing-masing propinsi dalam Tabel 12.a dan 12.b.

BAB V

KEMAMPUAN DAERAH DALAM MEMBIAYAI BELANJA DAERAH

1. Kemampuan Membiayai Belanja Rutin Dalam UU No. 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah di Daerah disebutkan bahwa pemerintah daerah terdiri atas kepala daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah dibentuk sekretariat daerah dan dinas-dinas. Sekretariat daerah adalah unsur staf yang membantu kepala daerah, sedangkan dinas adalah unsur pelaksana pemerintah daerah yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat. Untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan tersebut dalam APBD tingkat I disediakan anggaran belanja yang disebut dengan belanja rutin. Indikasi kemampuan daerah dalam membiayai pengeluarannya dalam suatu tahun anggaran, dapat diketahui dari adanya peningkatan PAD. Seyogyanya jika PAD suatu daerah dapat ditingkatkan, maka pada suatu saat daerah tersebut dapat mencukupi belanjanya sendiri, setidaknya untuk belanja rutin. Walaupun kemampuan daerah selama ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan belanja rutin, namun dalam beberapa tahun belakangan terdapat indikasi peningkatan kemampuan keuangan daerah di hampir semua propinsi. persentase perbandingan antara PAD dengan belanja rutin pada tahun anggaran 1997/98 meningkat cukup berarti dari 44,2 % tahun anggaran yang lalu menjadi 51,5 %. Jika pada Repelita V sampai dengan tahun lalu hanya Propinsi DKI Jakarta saja yang memiliki persentase di atas 100 %, maka pada tahun ini persentase Bali meningkat pesat dari 88,2 % menjadi 109,9 %. Demikian pula dengan jumlah propinsi lainnya yang memiliki persentase di atas 60 % semakin bertambah. Pada awal Repelita VI hanya Propinsi DKI Jakarta, Bali dan Sulawesi Selatan, dan pada tahun yang lalu tercatat Sumatera Barat dan Sumatera Selatan memiliki persentase di atas 60 %. Pada tahun ini jumlah tersebut bertambah lagi dengan Propinsi Riau, Jambi, dan Lampung. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan keuangan pemerintah daerah setidaknya untuk membiayai belanja rutinnya semakin meningkat. Namun demikian propinsi yang dapat diartikan benar-benar mampu membiayai belanja rutinnya dari pendapatan asli daerahnya hanya Propinsi DKI Jakarta dan Bali saja. Perbandingan antara PAD dengan belanja rutin masingmasing propinsi dapat dilihat pada Tabel 13.a. Bagian terbesar dari belanja rutin adalah belanja pegawai. Semakin kuat struktur ekonomi suatu propinsi, semakin lengkap pula struktur organisasi pemerintahan yang diperlukan, dan selanjutnya memerlukan jumlah pegawai yang lebih besar. Dengan demikian, seyogyanya belanja yang dikeluarkan untuk pegawai tidak melebihi kemampuan keuangan daerah.

Dari perbandingan antara pendapatan asli daerah dengan belanja pegawai pada tabel 13.b., terlihat bahwa rata-rata nasional adalah 79,6 %. Namun jika melihat rincian masing-masing propinsi, tercatat 10 propinsi mempunyai angka perbandingan di atas 100 %. Angka tertinggi adalah di Propinsi DKI Jakarta, diikuti berturut-turut oleh Propinsi Bali, Riau, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Melihat besarnya angka perbandingan sampai dengan di atas 300 %, menjadi indikasi belum efisiennya penyelenggaraan pemerintahan di propinsipropinsi tersebut. Hal ini terjadi antara lain karena jumlah pegawai yang lebih besar dibandingkan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan. Untuk mengetahui kemampuan daerah yang sesungguhnya dalam membiayai belanja rutinnya, dapat dengan mengurangi belanja pegawai -- yang merupakan subsidi pusat -- dari belanja rutin sehingga didapat belanja operasional. Belanja operasional yang berisi kebutuhan pokok suatu propinsi seperti belanja barang, pemeliharaan, perjalanan dinas, dan sebagainya, seyogyanya dapat dibiayai oleh PAD propinsi yang bersangkutan. Perbandingan antara PAD dengan besarnya belanja operasional, menunjukkan kemampuan nyata suatu propinsi dalam membiayai belanja rutin. Dari Tabel 13.c terlihat propinsi-propinsi yang termasuk kategori mampu membiayai sendiri belanja rutinnya dari PAD (mempunyai persentase perbandingan lebih dari 100 %) yaitu Propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Bali, Sulawesi Selatan, DI Yogyakarta, Sumatera Selatan dan Lampung. Pada tahun yang lalu, dua propinsi terakhir belum termasuk kategori mampu. Dari analisis indikator-indikator APBD tingkat I pada pembahasan di muka dapat disimpulkan bahwa propinsi-propinsi tersebut memiliki kemampuan yang lebih besar dari propinsi lainnya dalam membiayai penyelenggaraan pemerintahannya. Sebagian besar propinsi tersebut berada di KBI, hanya satu propinsi yang berada di KTI yaitu Sulawesi Selatan. Sebaliknya, propinsi yang mempunyai persentase kecil atau kurang dari 50 % berada di KTI, yaitu Propinsi Kalimantan Tengah (40 %) dan Irian Jaya (17,8 %). Rendahnya persentase tersebut cukup memprihatinkan, karena seperti Irian Jaya misalnya, kemampuan keuangan propinsi tersebut tidak sampai seperlima bagian dari kebutuhan operasionalnya. Di sisi lain, terdapat faktor-faktor yang dapat menyebabkan besarnya kebutuhan biaya operasional di kedua propinsi tersebut seperti kondisi geografis berupa wilayah yang cukup luas dan masih banyaknya daerah yang terisolasi. 2. Kemampuan Membiayai Belanja Pembangunan Untuk mengetahui kemampuan daerah dalam membiayai belanja pembangunan tahun anggaran 1997/98, dilakukan perbandingan antara PAD dengan belanja pembangunannya (Tabel 14). Sebagaimana tahun sebelumnya, propinsi yang mempunyai persentase lebih dari 100 % adalah propinsi-propinsi yang sudah

mampu, yaitu yang berada di pulau Jawa dan satu propinsi di pulau Sumatera yaitu Sumatera Utara. Sedangkan seluruh propinsi di KTI tercatat mempunyai persentase kecil yaitu di bawah 70 %. Sulawesi Selatan yang termasuk sebagai propinsi yang mampu dalam membiayai belanja rutin, belum menunjukkan peningkatan kemampuan PADnya dalam membiayai belanja pembangunannya. persentase perbandingan Propinsi Sulawesi Selatan yang terbesar di KTI sama dengan tahun lalu yaitu hanya sebesar 68,8 %. Dari rata-rata persentase perbandingan PAD dengan belanja pembangunan secara nasional menunjukkan adanya sedikit peningkatan yaitu dari 94,3 % menjadi 97,4 %. Angka tersebut masih menunjukkan bahwa daerah masih kurang mampu dalam membiayai belanja pembangunan. Walaupun demikian, persentase tersebut menunjukkan adanya perbaikan dari tahun anggaran yang lalu.

3. Kemampuan Daerah Dalam Membiayai Belanja Daerah

Dari analisis kemampuan daerah dalam mebiayai belanja rutin dan pembangunan sebagaimana dikemukakan di atas, secara umum dapat dilihat kemampuan masingmasing propinsi dalam membiayai belanja daerahnya. Untuk memperkuat analisis tersebut, dibuat kuadran dengan menggunakan parameter jumlah APBD tingkat I TA 1997/98 sebagai sumbu X dan tingkat pertumbuhan realisasi APBD tingkat I rata-rata pertahun pada periode tahun 1989/90-1994/95 sebagai sumbu Y. Angka rata-rata nasional dari kedua parameter tersebut digambarkan sebagai titik awal (0,0) dari kuadran tersebut. Digunakannya kedua parameter tersebut di atas adalah untuk melihat konsistensi kemampuan suatu daerah pada kurun waktu 1989/90 sampai dengan 1997/98 yang dicerminkan dari konsistensi kemampuan APBD tingkat I dari suatu propinsi. Dari kwadran yang menunjukkan kinerja APBD tingkat I tersebut dapat dilihat pengelompokan propinsi-propinsi sesuai dengan tingkat kinerjanya. Propinsipropinsi yang terletak pada kuadran I adalah propinsi yang dapat dianggap mampu. Sedangkan pada kuadran II terletak propinsi-propinsi dengan kemampuan menengah, dan pada kuadran III terletak propinsi-propinsi yang dapat dianggap belum mampu dalam membiayai belanja daerahnya. Propinsi-propinsi yang terletak pada kuadran I sama seperti tahun yang lalu yaitu Pada kuadran dapat dilihat bahwa sebagian besar propinsi telah mempunyai kinerja yang cukup baik, yaitu jumlah APBD tingkat I di atas rata-rata nasional, namun tingkat pertumbuhan rata-rata pertahunnya sebagian besar masih di bawah rata-rata

nasional. Terdapat propinsi pada kuadran II tersebut. Sedangkan propinsi terletak pada kudran IV yang menunjukkan kinerja APBD tingkat I yang tidak terlalu baik. Posisi suatu propinsi pada satu kuadran juga menunjukkan arti tersendiri yaitu semakin tinggi posisi suatu propinsi pada kuadran tersebut menunjukkan semakin baiknya kinerja APBD tingkat I propinsi tersebut. Seperti misalnya posisi Propinsi DKI Jakarta yang terletak pada posisi tertinggi di kuadran I menunjukkan kinerja APBD tingkat I yang terbaik. Untuk melihat lebih rinci kinerja dari masing-masing propinsi dapat dilihat pada kuadran berikut ini.

Das könnte Ihnen auch gefallen