Sie sind auf Seite 1von 19

1

JURNAL PENELITIAN
ANALISIS IMPLEMENTASI CLINICAL PATHWAY KASUS STROKE BERDASARKAN INA-CBGs DI RUMAH SAKIT STROKE NASIONAL BUKITTINGGI TAHUN 2011

OLEH ANFERI DEVITRA BP. 0921291005

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ANDALAS PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2011

ANALISIS IMPLEMENTASI CLINICAL PATHWAY KASUS STROKE BERDASARKAN INA-CBGs DI RUMAH SAKIT STROKE NASIONAL BUKITTINGGI TAHUN 2011
1) Anferi Devitra Mahasiswa Program Pasca Sarjana UNAND Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Peminatan Kajian Administrasi Rumah Sakit Email: anferi18@yahoo.com 2) Adila Kasni Astiena dan Hadril Busuddin: Dosen Pascasarjana Unand Padang

ABSTRACT To control the guality and budget of health, the government implemented the policy has applied the Prospective Payment System (PPS) based on casemix INA-CBGs package. In doing this, the hospital must implement the clinical pathway as the integrated health service plan involving all steps done by patient from entering hospital till going home. The data from National Stroke Hospital of Bukittinggi showed that average length of stay stroke case was longer than average from INA-CBGs package. It could be the loss for hospital. Based on above information, it could be understood how far the clinical pathway has been applied national Stroke Hospital of Bukittinggi. The purpose of the research was to find out the analysis of clinical pathway implementation at stroke case based on the INA-CBGs system, using system approach at National Stroke Hospital of Bukittinggi. The input components consist of the policy, human resources, service data, and facilities. The process components consist of strategy, implementation and evaluation. The output component is the step of clinical pathway implementation. The research design was qualitative by getting information from nine informants, observing and analizing documents.The research was conducted at National Stroke Hospital of Bukittinggi in March-July 2011. The research result showed that the implementation of clinical pathway at National Stroke Hospital of Bukittinggi was at introduction level and ready for implementation step. The operational policy, commitment, clinical leadership, motivation and evaluation need improving. The hospital management was suggested to make the clinical pathway plan, to establish clinical pathway team, to increase the motivation of hospital staff and to socialize the program to all hospital staff.

Keyword: clinical pathway, INA-CBGs, implementation, and team

PENDAHULUAN Kesehatan merupakan hak fundamental setiap individu yang dinyatakan secara global dalam konstitusi WHO, pada dekade terakhir telah disepakati komitmen global Millenium Development Goals (MDGs) yang menyatakan pembangunan kesehatan adalah pangkal kecerdasan, produktifitas dan kesejahteraan manusia serta Kementerian Kesehatan telah menetapkan visi Masyarakat Sehat Yang Mandiri Dan Berkeadilan (Kemen. Kes, 2010). Untuk mewujudkan harapan tersebut terdapat beberapa permasalahan seperti perkembangan tekhnologi kesehatan dan kedokteran, pola pembiayaan kesehatan, kondisi geografis, serta perubahan pola penyakit dari infeksi ke non infeksi, salah satunya peningkatan kasus penyakit stroke. Pengobatan stroke digolongkan sebagai perawatan jangka panjang karena membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh, apalagi biaya kesehatan yang semakin berat dirasakan oleh masyarakat (Thabrany, 2005). Mulai bulan September 2008, Departemen Kesehatan melakukan terobosan dengan mengubah model pembayaran pelayanan kesehatan dari pembiayaan fee for service menjadi Prospective Payment System (PPS) berdasarkan paket casemix sistem INA-CBGs. Dalam penerapannya, rumah sakit harus mengimplementasikan clinical pathway sebagai perencanaan pelayanan kesehatan terpadu dengan merangkum setiap langkah yang dilakukan pada pasien mulai dari masuk sampai keluar rumah sakit (Kemen.Kes, 2010). Tujuan clinical pathway antara lain mengurangi variasi dalam pelayanan, cost lebih mudah diprediksi, pelayanan lebih terstandarisasi, meningkatkan kualitas pelayanan (guality of care), meningkatkan prosedur costing, meningkatkan kualitas dari informasi yang telah dikumpulkan dan sebagai (counter-check) terutama pada kasus-kasus (high cost, high volume). Keuntungan membuat clinical pathway dapat mendukung pengenalan evidencebased medicine, meningkatkan komunikasi antar disiplin ilmu teamwork, menyediakan standar yang jelas dan baik untuk kegiatan pelayanan, membantu mengurangi variasi dalam perawatan pasien (melalui standar), meningkatkan proses manajemen sumber daya. menyokong proses guality improvement secara berkelanjutan, membantu dalam proses audit klinis, meningkatkan kolaborasi dokter dan perawat/ profesi kesehatan lainnya serta meningkatkan peran dokter dalam perawatan. Parameter yang berhubungan dengan implementasi clinical pathway pada rumah sakit dapat dilihat dari Average Length Of Stay (ALOS). Berdasarkan data di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi didapatkan ALOS kasus stroke di rumah sakit lebih

lama dari ALOS sistem INA-CBGs. Berdasarkan hal tersebut untuk mengendalikan mutu dan biaya pelayanan maka perlu dilihat sejauh mana implemetasi clinical pathway kasus stroke di RSSN Bukittinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui analisis implementasi clinical pathway kasus stroke berdasarkan sistem INA-CBGs di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi dengan menggunakan pendekatan sistem. Komponen input terdiri dari kebijakan, sumber daya tenaga, data pelayanan, sarana dan prasarana. Komponen proses terdiri dari strategi, upaya pelaksanaan, dan evaluasi serta komponen out put yaitu tahap implementasi clinical pathway. METODE PENELITIAN Disain penelitian menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan tekhnik pengambilan sampel secara purposive. Pemilihan informan penelitian berdasarkan prinsip kesesuaian dan kecukupan berkaitan dengan topik penelitian dan mengetahui secara lebih luas tentang tujuan penelitian serta dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yaitu Direktur, Ketua Komite Medik, Kepala SMF Neurologi, Kepala Instalasi Stroke, Kepala Perawat Ruangan Stroke dan Kepala Instalasi Farmasi. Data dikumpulkan dengan cara wawancara mendalam pada enam orang informan, melakukan observasi, dan telaah dokumen. Instrumen utama adalah peneliti sendiri dengan bantuan pedoman wawancara mendalam, alat perekam, alat pencatat dan buku harian. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi pada bulan Maret sampai Juli 2011. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam oleh peneliti sendiri dan melakukan pengamatan (observasi) dengan menggunakan form checklist tentang data rekam medik pasien (data laporan RL1-RL 6), data laporan pelayanan Jamkesmas, Buku Pedoman Pelaksanaan Jamkesmas (Manlak), Format Clinical Pathway, Aplikasi software casemix system INA-CBGs, Buku ICD10 dan ICD 9, Standar Pelayanan Minimal Profesi, bukti edukasi (pelatihan), dan sarana penunjang untuk implementasi clinical pathway. Data sekunder dikumpulkan dengan menelusuri dan menelaah dokumen-dokumen milik Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi yang berhubungan dengan implementasi clinical pathway, antara lain: dokumen Surat Keputusan Direktur, Renstra Rumah Sakit dan dokumen berhubungan dengan penerapan clinical pathway. Validasi data dilakukan melalui upaya triangulasi data yaitu triangulasi sumber didapat dengan melakukan wawancara terhadap beberapa orang informan yang berbeda

dan triangulasi metode yaitu melakukan analisis data terhadap hasil wawancara mendalam, observasi dan telaah dokumen. Analisis data kualitatif dengan jalan mengorganisasi data, memilah-milah menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, serta memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. (Moleong, J, 2005). Langkahnya adalah membuat transkrip data, mereduksi data, display data, serta conclution and verification yaitu membuat kesimpulan dan menafsirkan data, menemukan pola dan hubungan serta membuat temuan-temuan umum. HASIL PENELITIAN 1. Masukan (Input) Adalah kumpulan bagian atau elemen yang terdapat dalam sistem yang diperlukan untuk berfungsinya sistem tersebut. Input dalam implementasi clinical pathway adalah dari aspek kebijakan, data pelayanan, sumber daya tenaga serta sarana dan prasarana. a. Kebijakan Kebijakan dari Departemen Kesehatan bahwa pola pembiayaan kesehatan peserta Jamkesmas di rumah sakit menggunakan sistem casemix INA-DRG melalui surat edaran Menteri Kesehatan Nomor 586/ Menkes/VII/ 2008, tanggal 3 Juli 2008. Pada Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Manlak) tahun 2009 ditekankan bagi rumah sakit yang melaksanakan pelayanan Jamkesmas agar pemberlakuan INA-DRG dapat berjalan dengan baik, rumah sakit harus melaksanakan pelayanan sesuai dengan clinical pathway dan menggunakan sumber daya yang paling efisien dan efektif (Dep. Kes, 2009). Berdasarkan kebijakan pemerintah tersebut rumah sakit yang melayani pasien Jamkesmas, harus menyesuaikan pola pembiayaan kesehatan dari yang bersifat fee for service menjadi Prospective Payment Sistem. Salah satu elemen terkait adalah rumah sakit harus membuat perencanaan perawatan pasien sebelum pasien dirawat yang merupakan integrasi dari berbagai standar medik, keperawatan, farmasi dan penunjang (clinical pathway). Penerapan clinical pathway ini sangat memerlukan dukungan rumah sakit dalam bentuk kebijakan. Seperti yang ditekankan pada teori bahwa kunci sukses penerapan clinical pathway adalah adanya dukungan organisasi dalam bentuk kebijakan (Currey dan Harvey, 1998). Kebijakan adalah pengertian umum yang akan membimbing arah berfikir dalam menentukan keputusan yang berfungsi untuk memberikan jaminan bahwa keputusan akan

sesuai serta mendukung tercapainya tujuan. Kebijakan diharapkan dalam berbagai bentuk praktek pelayanan, pernyataan, peraturan dan bahkan peraturan operasional sebagai konsekuensi dari keputusan bagaimana kita ingin mengerjakan sesuatu. Tanpa adanya dukungan kebijakan dari manajemen maka clinical pathway tidak akan bisa terlaksana karena kebijakan disebuah rumah sakit merupakan dasar hukum untuk pelaksanaan sebuah program. Dari hasil wawancara mendalam dan telaah dokumen di RSSN Bukittinggi dapat disimpulkan bahwa pihak manajemen RSSN Bukittinggi sangat mendukung pelaksanaan clinical pathway. Hal ini tampak dari telah dilakukan sosialisasi clinical pathway di lingkungan rumah sakit dengan mengeluarkan surat Keputusan Direktur tentang pembentukan dokter case manajer dan telah memasukan kegiatan casemix dan clinical pathway dalam Rencana Strategik Rumah Sakit. Namun dalam pelaksanaannya belum ada kebijakan operasional rumah sakit yang mendukung, sehingga implementasi clinical pathway belum terlaksana sebagaimana mestinya. Menurut penulis, langkah awal dan mendasar yang harus dilaksanakan adalah kebijakan yang telah diambil oleh manajemen perlu disosialisasikan lagi dan ditegaskan lagi dalam bentuk kebijakan operasional yaitu kebijakan yang terdiri dari kegiatan-kegiatan secara nyata menggerakan organisasi dalam memenuhi tujuannya. Kebijakan dalam hal ini adalah berupa prosedur tetap terkait implementasi clinical pathway ini. Prosedur tetap adalah rangkaian kegiatan tata kerja atau prosedur yang saling berkaitan satu sama lain, yang menunjukan cara, urutan, tahapan pekerjaan secara jelas dan pasti. Protap yang diperlukan adalah berupa surat keputusan direktur yang mengatur penerapan clinical pathway b. Data pelayanan Data pelayanan yang dibutuhkan untuk penyusunan dan penerapan clinical pathway stroke di rumah sakit hampir sama dengan data rekam medik yaitu berupa sensus harian, laporan RL1 sampai dengan RL6 (terutama RL2), laporan diagnosa penyakit dengan kode ICD 10 dan ICD 9, data pengunaan obat laporan pelayanan pasien output dari sistem INA-CBGs. Sebagaimana yang disampaikan Pearson, dkk (1995) data pelayanan dibutuhkan untuk menetapkan judul clinical pathway, lama hari rawat dan adanya variasi dalam pelayanannya. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dan telaah dokumen didapatkan bahwa data pelayanan untuk penerapan clinical pathway dari segi kuantitas (jenis dan jumlah data) cukup tersedia dan memadai. Hal ini karena unit instalasi pelayanan dan rekam medik dari awal telah menyiapkan data yang diperlukan untuk implementasi clinical

pathway. Semua data bisa diakses di rekam medik yang sudah tertata dengan sistem elektronik. Apalagi RSSN Bukittinggi merupakan rumah sakit khusus jadi variasi kasus pasien tidak sebanyak rumah sakit umum biasa. Namun dari segi kualitas data, masih ada kelengkapan dan penulisan diagnosa yang belum mengacu kepada standar penulisan diagnosa sesuai ICD 10 dan ICD 9. Hal sangat berpengaruh terhadap data untuk penentuan kelompok clinical pathway dan lama hari rawat pasien. Sebagaimana yang terdapat pada Pedoman Pelaksanaan Jamkesmas 2009 yang menegaskan pemberlakuan INA-CBGs di PPK lanjutan meliputi berbagi aspek sebagai satu kesatuan yakni software dan aktifasinya, administrasi klaim, clinical pathway, dan proses verifikasi, agar dapat berjalan dengan baik dokter harus menulis diagnosa dan tindakan dengan lengkap menurut ICD 10 dan ICD 9 (Dep. Kes, 2009). Menurut penulis, data penulisan diagnosa yang sesuai dengan ICD sangat diperlukan dalam penyusunan dan penerapan clinical pathway karena kesalahan penulisan diagnosa menyebabkan kesalahan pengkodean, kemudian menyebabkan kesalahan dalam pentarifan dan pada akhirnya mempengaruhi data untuk penyusunan clinical pathway terutama pada penetapan judul dan rata-rata lama hari rawat kasus stroke c. Sumber daya tenaga Sumber daya tenaga/ manusia merupakan kunci utama keberhasilan dalam penerapan clinical pathway, untuk itu diperlukan ketersediaan dan kemampuan sumber daya manusia dalam mengelola potensi yang ada di rumah sakit secara efektif dan efisien sehingga dapat memberikan hasil yang positif. Peran sumber daya manusia ibarat mesin yang akan menjalankan rencana kerja yang telah dibuat. Wawancara mendalam tentang sumber daya tenaga untuk penerapan clinical pathway diketahui bahwa tenaga yang ada cukup memadai dari segi kualitas dan kuantitas dalam penerapan clinical pathway. Hambata yang ditemui adalah belum ada konsep tim dalam memberdayakan sumber daya yang ada seoptimal mungkin. Menurut teori, suatu pathway seyogyanya dikembangkan oleh tim multidisiplin yang terlibat aktif dalam penanganan pasien dan keterlibatan semua anggota tim dalam pengembangan sebuah clinical pathway merupakan kunci sukses penerapan clinical pathway dalam pelayanan sehari-hari (Pearson, dkk, 1995). Menurut penulis untuk penerapan clinical pathway ini perlu pendekatan manajemen sumber daya manusia dengan dibentuknya tim casemix di RSSN Bukittinggi yang sekaligus menangani masalah clinical pathway. Tim tersebut terdiri dari (kepala SMF) dokter spesialis neurologi, dokter umum, kepala perawat, kepala farmasi, dan

kepala bagian unit penunjang (gizi, labor, ronsen dan fisioterapi) yang bertugas menganalisis pelayanan yang diberikan. Menurut tim center of casemix Dep. Kes (2009) bahwa integrasi clinical pathway tersebut dapat merupakan suatu standar prosedur operasional yang merangkum berbagai profesi medis antara lain standar pelayanan medis dari setiap kelompok Staf Medis/ Staf Medis Fungsional (SMF), profesi keperawatan dengan asuhan keperawatan serta profesi farmasi dengan unit dose daily dan stop ordering serta bagian penunjang. d. Sarana dan prasarana Berdasarkan hasil wawacara mendalam dengan beberapa informan, aspek sarana dan prasarana dalam penerapan clinical pathway secara umum tidak ada masalah karena rumah sakit telah memfasilitasi untuk hal ini. Rumah sakit telah memiliki alat-alat keperawatan yang menunjang standar asuhan keperawatan, logistik keperawatan sudah sesuai dengan standar pelayanan stroke dan sudah lulus akreditasi rumah sakit. Begitu juga dengan sarana terkait tekhnis penerapan clinical pathway itu sendiri yaitu format clinical pathway, software sistem INA-CBGs, buku ICD dan SPM, formularium obat, komputer dan alat tulis kantor lainnya telah tersedia. Hal ini sesuai dengan teori bahwa rumah sakit memberikan fasilitasi untuk pengembangan dan pelaksanaan clinical pathway (Currey dan Harvey, 1998). Menurut hasil observasi, sarana bagian penunjang sudah tersedia seperti alat laboratorium, CT-Scan, USG, ECG, TCD, elektromedik, fisioterapi dan protese protestik. 2. Proses (Proces) Proses adalah kumpulan bagian atau elemen yang terdapat dalam sistem yang berfungsi untuk mengubah masukan menjadi keluaran yang terdiri dari strategi, upaya penerapan dan evaluasi. a. Strategi Strategi adalah rencana yang cermat tentang kegiatan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Pada penerapan clinical pathway, strategi penerapan yang digunakan adalah dengan melihat dari pembentukan komitmen dan kepemimpinan klinis yang kuat. 1) Pembentukan Komitmen Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan didapatkan bahwa di RSSN Bukittinggi belum ada pembentukan komitmen manajemen dan staf untuk penerapan clinical pathway ini. Tanpa adanya komitmen dari staf dan manajemen rumah sakit penerapan clinical pathway akan menemui hambatan dalam penerapannya. Penelitian Siti Nurfaida (2009) tentang Penerapan Clinical Pathway, Studi Kasus di

Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang Jawa Timur menyimpulkan bahwa belum adanya komitmen dokter, kepemimpinan klinis, dan dukungan manajemen klinis merupakan hal yang menghambat dalam penerapan clinical pathway. Begitu juga menurut Pearson, dkk (1995) untuk pengembangan clinical pathway dicapai dengan sebuah konsensus yang disepakati bersama oleh semua anggota tim kesepakatan dengan konsesus diperlukan untuk mengurangi hambatan dan resistensi dalam pelaksanaan pathway. Komitmen adalah upaya penyatuan persepsi dan kesepakatan, serta tekad bersama untuk mencapai sebuah tujuan (Maulana, 2009). Pembentukan komitmen organisasi sangat diperlukan dalam penerapan clinical pathway di rumah sakit (Cheah, 2000 Berdasarkan beberapa penjelasan diatas menurut penulis pembentukan komitmen secara tertulis untuk penerapan clinical pathway perlu dilakukan secepatnya sebagai bentuk tekad dan persamaan persepsi, yang harus dilakukan dari seluruh jajaran direksi, manajemen dan profesi. Beberapa kiat untuk membentuk komitmen penerapan clinical pathway di RSSN adalah diperlukan upaya manajemen membentuk komitmen secara transparansi menampilkan data-data pelayanan dan menghubungkannya terhadap pendapatan dan pengeluaran serta jasa pelayanan rumah sakit kalau clinical pathway tidak diterapkan. Kemudian melibatkan staf sejak dari awal secara bersama-sama menyusun perencanaan pelayanan pasien yang efisien dan efektif. Dengan adanya pemahaman dan kejelasan tersebut setiap komponen dirumah sakit akan merasa dihargai. 2) Kepemimpinan Klinis Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan beberapa informan, kepemimpinan klinis ini belum sepenuhnya diterapkan di RSSN Bukittinggi. Hanya beberapa pimpinan yang selalu mengingatkan dan mendorong staf agar memberi pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan seperti pada bidang keperawatan dan farmasi. Kepemimpinan merupakan faktor penting dalam keberhasilan manajemen yang dapat dirasakan pada tingkat individu, antar individu, manajerial dan organisasi. Salah satu bentuk kepemimpinan yang diperlukan dalam implementasi clinical pathway adalah kepemimpinan klinis yang kuat yaitu pola kepemimpinan yang diperlukan untuk mendorong seluruh staf memberikan pelayanan yang didasarkan pada bukti ilmiah yang terbaru dan terbaik. Sebagaimana yang terdapat dalam teori bahwa pemimpin dengan

10

kewenangan yang dimiliki selalu untuk mendorong seluruh staf menjalankan clinical pathway yang didasarkan pada bukti ilmiah yang terbaru dan terbaik (Currey dan Harvey, 1998). Bentuk kepemimpinan klinik yang kuat adalah pemimpin baik manajer puncak maupun manajer menengah yang selalu punya perhatian agar menerapkan pelayanan sesuai evidence base dan formularium serta standar asuhan klinis yang telah disepakati. Evidance based medicine practice adalah praktik yang dilakukan berdasarkan bukti. Penggunaan evidance based dan formularium merupakan standar dasar dalam penyusunan dan penerapan clinical pathway. Hal ini sesuai dengan pengertian clinical pathway adalah suatu konsep perencanaan terpadu, pelayanan kepada pasien mulai dari masuk sampai keluar rumah sakit berdasarkan standar pelayanan medis, standar asuhan keperawatan, dan standar pelayanan tenaga kesehatan lain yang berdasarkan bukti yang diberikan pada pada pasien (Dep.Kes, 2008) Kepemimpinan klinis ini diperlukan karena sangat berhubungan dengan clinical governance. Menurut Currey dan Harvey (1998) clinical governance meliputi manajemen klinis, yaitu pemberian asuhan klinis yang terdiri dari asuhan medis (primer, sekunder dan tersier), asuhan keperawatan, asuhan kebidanan, rehabilitasi medik dan sebagainya. Pimpinan rumah sakit dan profesional secara bersama pada dasarnya bertanggung jawab terhadap clinical governance. b. Upaya Penerapan Rumah sakit sebagai organisasi yang sangat dinamis yang tumbuh dan berkembang harus selalu mencari cara untuk terbaik untuk memberikan pelayanan kepada pasien sesuai sesuai dengan perkembangan ilmu dan tekhnologi terbaru. Begitu juga dalam penerapan clinical pathway, karena program ini merupakan hal yang masih baru bagi staf rumah sakit maka dari manajemen perlu melakukan pendekatan dengan melihat edukasi (pendidikan) dan motivasi (dorongan) terhadap staf untuk penerapan clinical pathway. Sebagaimana menurut Gillies (1986) fungsi dasar manajemen pada tahap actuating adalah pengarahan (edukasi) dan motivasi. Berdasarkan hal diatas maka perlu dilihat bagaimana edukasi dan motivasi untuk penerapan clinical pathway yang telah dilakukan di RSSN Bukittinggi. 1) Edukasi Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan didapatkan hasil bahwa pihak RSSN telah melakukan upaya edukasi (pendidikan dan pelatihan) kepada staf dalam rangka penerapan clinical pathway ini. Sejak dicanangkan RSSN sebagai pusat

11

stroke tahun 2005 telah mulai dibuat konsep clinical pathway. Dalam perkembangan tahun 2010 telah dilanjutkan edukasi dalam bentuk pelatihan di rumah sakit dengan mengadakan worshop maupun dengan mengirim petugas mengikuti pelatihan dan seminar tentang casemix dan clinical pathway yang diadakan Departemen Kesehatan. Dalam penerapannya edukasi pada tingkat operasional telah dilakukan seperti dibagian SMF neurologi dengan mengupdate perkembangan clinical pathway ini dan bagian keperawatan sudah mulai menghitung berapa sumber daya bahan habis pakai yang digunakan pasien dalam penerapan clinical patway ini. Jadi pihak manjemen dan staf telah menyadari pentingnya edukasi bagi staf untuk pathway ini. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa edukasi dan komunikasi yang intensif dibutuhkan untuk menjamin pathway dapat berjalan dengan baik (Cheah, 2000). 2) Motivasi Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan beberapa orang informan didapatkan hasil bahwa upaya untuk memotivasi staf agar melakukan penerapan clinical pathway ini belum dilakukan oleh pihak manajemen. Motivasi adalah suatu set atau kumpulan perilaku yang memberi landasan bagi seseorang untuk bertindak, dalam suatu cara yang diarahkan kepada tujuan spsesifik tertentu (spesifik goal directed way) (Armstrong,1991). Berdasarkan beberapa hal diatas menurut penulis motivasi merupakan hal mendasar yang harus diberikan pada staf. Upaya yang dilakukan adalah memberikan pengertian tentang pentingnya penerapan clinical pathway, dalam teori mengatakan bahwa staf akan bekerja bila ada kejelasan dan pemahaman terhadap persoalan (Djojodibroto, 1997). Upaya lain adalah dengan cara staf dilibatkan sejak awal supaya merasa dihargai aktualisasinya. Selain itu perlu diberikan reward bukan hanya uang tapi juga pujian (pengakuan). c. Evaluasi Evaluasi merupakan bagian penting dari proses manajemen, karena dengan evaluasi akan diperoleh umpan balik (feed back) terhadap pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan. Tanpa adanya evaluasi sulit rasanya untuk mengetahui sejauh mana tujuan-tujuan yang direncanakan tercapai atau belum. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan beberapa informan tentang evaluasi terhadap upaya pelaksanaan clinical pathway di RSSN Bukittinggi, evaluasi ini belum pernah dilakukan. Sejak dikeluarkannya kebijakan penerapan clinical pathway

12

oleh manajemen tidak pernah dilihat lagi bagaimana perkembangannya apalagi dievaluasi. Menurut Darmadjaja (2009) evaluasi yang dilakukan terhadap kebijakan penerapan clinical pathway pada suatu rumah sakit untuk efisiensi dan efektifitas, ada tiga hal yang dilakukan yaitu: 1) Evaluasi upaya kesiapan rumah sakit untuk penyusunan dan penerapan clinical pathway yaitu menyangkut dengan dukungan organisasi, kesiapan sumber daya tenaga, fasilitasi rumah sakit, sarana prasarana clinical pathway dan proses manajemen untuk menerapkannya. 2) Evaluasi penggunaan yang ditujukan untuk melihat sejauh mana clinical pathway digunakan untuk efektif dan efisiensi pelayanan. Pada tahap ini clinical pathway memastikan semua intervensi dilakukan secara tepat waktu dengan mendorong staf klinik untuk bersikap pro-aktif dalam pelayanan. Clinical pathway diharapkan dapat mengurangi biaya dengan menurunkan Length Of Stay (LOS) dan tetap memelihara mutu pelayanan. 3) Evaluasi outcome untuk peningkatan pelayanan dan melihat dampak clinical pathway dari: a) Secara mikro sistem: External customers, untuk individu pasien/ keluarga, penyandang dana (asuransi) sebagai purchasers dan internal customer profesi (dokter, apoteker, perawat, penata, akuntasi dan rekam medik) serta penyelenggara rumah sakit sebagai provider dan menjadi jelas, eksplisit dan akuntabel dari segi mutu layanan maupun biaya yang dikeluarkan (value for money). b) Secara makro sistem Dalam hal ini pemerintah mudah untuk mengalokasikan biaya kesehatan yang diperlukan untuk masyarakat dan dapat menilai benchmarking efisiensi biaya dan mutu layanan setiap penyelenggara kesehatan sehingga mempertajam skala prioritas pembangunan kesehatan dalam menyusun national health accounts and universal coverage system asuransi nasional. Menurut peneliti upaya evaluasi implementasi clinical pathway di RSSN Bukittinggi baru pada tahap evaluasi kesiapan, jadi yang perlu dilakukan adalah mengindentifikasi dan evaluasi terhadap dukungan rumah sakit sebagai pedoman pelaksanaan, monitoring kemajuan, dan evaluasi terhadap proses manajemen dalam penerapan clinical pathway. Evaluasi perlu dilakukan secara berkelanjutan sampai

13

clinical pathway bisa diterapkan. RSSN harus menunjuk staf yang care terhadap pathway ini dalam bentuk tim sebagai evaluator, sebagaimana yang disampaikan oleh Cheah (2000), seorang manajer kasus ditugaskan untuk bertindak sebagai fasilitator dan evaluator dalam pemberlakuan pathway. 3. Keluaran (out put) Out put adalah kumpulan bagian atau elemen yang dihasilkan dari berfungsinya proses dalam sistem. Keluaran yang diharapkan adalah dengan melihat sejauh mana tahap upaya implementasi clinical pathway dengan sistim INA-CBGs di RSSN Bukittinggi dan hal apa saja yang perlu dibenahi untuk pelaksanaannya. Hasil wawancara mendalam didapatkan bahwa implementasi clinical pathway di RSSN Bukittinggi baru tahap pengenalan dan secara umum telah siap untuk melaksanakan penerapan clinical pathway ini, tahap penggunaan (pelaksanaan) ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan perlu ketegasan manajemen serta pendekatan manajemen untuk meningkatkan edukasi dan motivasi staf fungsional. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Masukan (Input) a. Kebijakan Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi telah mensosialisasikan clinical pathway dan memasukan kedalam rencana strategi serta mengeluarkan Surat Keputusan Pembentukan Dokter Caser Manajer. Dalam pelaksanaannya belum didukung dengan b. Data Pelayanan Data Pelayanan yang dibutuhkan untuk penyusunan dan penerapan clinical pathway di RSSN Bukittinggi sudah cukup tersedia dan memadai, hanya kualitas penulisan diagnosa penyakit yang sesuai dengan ICD 10 dan ICD 9 yang perlu disosialisasikan lagi. c. Sumber Daya Tenaga Sumber daya tenaga di RSSN Bukittinggi telah diberi pelatihan penyusunan dan penerapan clinical pathway baik inhouse training maupun dengan mengikuti pelatihan dan seminar di luar rumah sakit. Belum ada dibentuk tim clinical pathway rumah sakit yang terdiri dari multidisiplin ilmu sebagai kebijakan operasional berupa prosedur tetap implementasi clinical pathway.

14

pengelolaan sumber daya tenaga yang terintegrasi untuk implemetasi clinical pathway. d. Sarana dan prasarana Sarana dan prasarana untuk penerapan clinical pathway sudah cukup memadai tidak ada masalah karena rumah sakit telah menfasilitasi untuk hal ini. 2. Komponen Proses a. Strategi 1) Pembentuk komitmen dari pihak manajemen, medis, staf fungsional lainnya di Rumah Sakit Stroke Nasional untuk penerapan clinical pathway belum ada dilakukan. 2) Pola kepemimpinan klinik yang kuat untuk mendukung penerapan clinical pathway belum sepenuhnya diterapkan di RSSN Bukittinggi. b. Upaya Penerapan 1) Edukasi Edukasi kepada staf terkait implementasi tentang clinical pathway telah dilakukan sejak berdirinya RSSN sebagai pusat stroke nasional kemudian telah dilakukan dilakukan edukasi lanjutannya dalam bentuk pelatihan pada staf di rumah sakit dalam bentuk workshop dan mengikuti pelatihan tentang casemix dan clinical pathway yang diadakan Departemen Kesehatan. 2) Motivasi Belum dilakukan upaya motivasi terhadap staf oleh manajemen rumah sakit untuk penerapan clinical pathway ini. c. Evaluasi Evaluasi terhadap upaya implementasi clinical pathway belum pernah dilakukan di RSSN Bukittinggi. 3. Keluaran (out put) Implementasi clinical pathway diRSSN Bukittinggi baru pada tahap pengenalan dan secara umum RSSN sudah siap untuk menuju tahap penggunaan (pelaksanaan).

15

B. Saran 1. Kepada Manajemen Rumah Sakit a. Perlu dukungan dari manajemen dalam bentuk kebijakan operasional dengan mengeluarkan prosedur tetap (protap) penerapan clinical pathway . b. Perlu dibentuk Tim Clinical Pathway di RSSN Bukittinggi yang terdiri dari multidiplin ilmu dan menunjuk komite medik sebagi leader . c. Perlu dilakukan pembentukan komitmen terhadap penerapan clinical pathway. d. Perlu diadakan sosialisasi, motivasi dan edukasi lanjutan peningkatan sumber daya manusia untuk pelaksanaan clinical pathway e. Perlu adanya monitoring dan evaluasi yang berkelanjutan untuk melihat sejauh mana upaya implementasi dilakukan dan mengetahui hambatan dalam implementasi clinical pathway. 2. Kepada Komite Medik, SMF Neurologi, Keperawatan dan Farmasi a. Perlu dilakukan upaya nyata dengan mulai mengisi format clinical pathway berdasarkan evidence base dan standar pelayanan profesi, dalam perjalanan disempurnakan dengan melakukan evaluasi klinis. b. Perlu dioptimalkan peran dokter case manajer untuk mengelola pelayanan kepada pasien sebagai pedoman untuk pelaksanaan clinical pathway. 3. Kepada Peneliti Lain Perlu penelitian lanjutan tentang aspek klinis penyusunan dan penerapan clinical pathway dari aspek pembiayanaan untuk melihat sejauh mana efektifitas dan efisiensi pelayanan dengan mengunakan clinical pathway.

16

DAFTAR PUSTAKA Armstrong. 1991. Definisi Motivasi. hhtp://www.organisasi Azwar, A. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. FK UI. Binarupa Aksara. Jakarta Bachtiar, A, Dkk. 2000. Metodologi Penelitian Kesehatan. PPS UI. Jakarta Bungin, B. 2001. Analisis Data Penelitian Kualitatif. PT Rajagrafindo Persada. Jakarta Cheah. 2000. Evidence And Information For Policy. Geneva Currey dan Harvey. 1998. Clinical Pathway in Hospital . Aksara. Jakarta Danim, S. 2000. Pengantar Studi Kebijakan Penelitian Kebijakan. PT Bumi Aksara. Jakarta Darmadjaja. 2009. Implementasi Clinical Pathway dan Case Manajer. Jakarta Dep. Kes. 2004. Standar Pelayanan Unit Stroke. Jakarta Dep. Kes. 2005. Buku tarif INA DRG Rumah Sakit Kelas A dan B. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik. Jakarta Dep.Kes. 2007. Rencana Kerja Implementasi Casemix 15 RS Pilot Projet Di Indonesia. Jakarta.Dirtjen Bina Pelayanan Medik Dep. Kes. 2007. Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit Tipe B dan A Dep. Kes. 2008. Implementasi Clinical Pathway Dalam Rangka Penerapan Sistem Casemix Di Indonesia. Jakarta Dir. Jen Bina Pelayanan Medik Dep. Kes. 2008. Pedoman Pelaksanaan Jamkesmas Tahun 2008 . JPKM Jakarta Dep. Kes. 2008. Pengelolaan Pelayanan Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit Dep. Kes. 2009. Pedoman Pelaksanaan Jamkesmas Tahun 2009. JPKM. Jakarta Djojodibroto. 1997. Kiat Mengelola Rumah Sakit. Hipokrates. Jakarta. Fetter, R, dan Brand. 2008. DRGs Their Design and Development. Health Administration Press. Michigan Firmanda, D. 2005. Integrated Clinical Pathway (ICP): Peran Profesi Medis dalam Rangka Menyusun Sistem DRG-Casemix di Rumah Sakit, disampaikan dalam Evaluasi Penyusun Clinical Pathway di Departemen Kesehatan. Desember 2005 Firmanda, D. 2008. Clinical Pathway Dalam Rangka Kendali Mutu dan Biaya Melalui Sistem DRG Casemix. RSUP Fatmawati Jakarta Firmanda, D. 2009. Pengenalan Sistem Pembiayaan Casemix. RSUP Fatmawati Jakartali Firmanda, D. 2009. Tekhnik Penyusunan Clinical Pathway. RSUP Fatmawati. Jakarta

17

Firmansyah, Dkk. 2009. Clinical Pathway Integrasi Pendokumentasian Berbagai Disiplin Ilmu Kesehatan Di Rumah Sakit. RSCM. Jakarta Gani, A. 1998. Pembiayaan Kesehatan di Indonesia dalam Thabrany, Hasbullah dan Hidayat Budi. Pembayaran Kapitasi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta Gani, A. 2002. RS Sebagai Public Enterprise. hhtp://www.JurnalManajemen 2009 Ghufron, A. 2008. Sistem Jaminan Kesehatan. UGM Gillies. 1986. Konsep Manajemen Organisasi. PT Rosdakarya. Bandung Hatta, G. 2006. Aplikasi Klasifikasi Tentang Penyakit Dan Masalah Kesehatan (ICD 10). Jakarta Hosizah. 2009. Casemix Upaya Pengendalian Biaya Pelayanan Rumah Sakit Di Indonesia. Universitas Esa Unggul. Jakarta Johnson, dkk. 2000. Clinical Pathway Intergrited. Jakarta. hhtp://www.jurnalmanajemen kesehatan 2009 Junaidi, I. 2004. Panduan Praktis Pencegahan dan Pengobatan Stroke, PT Buana Ilmu Populer, Jakarta Kemen. Kes. 2010. Perubahan Grouper Klaim Jamkesmas dengan INA-CBGs Kemen. Kes. 2010. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan. Jakarta Kodim, N. Epidemiologi Penyakit Cerebrovaskuler. Perdossi. Jakarta Laksono, T. 2006. Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi dalam Manajemen Rumah Sakit Lumbanthobing, S.M. 1994. Stroke Bencana Peredaran Darah Di Otak. FKUI Jakarta Makmur, A, dan Alibbirwin. 2004. Penyakit Stroke di Ruang Intensif RSUP Pertamina. Studi Kasus. Jurnal Kesehatan Vol.4 No.1. Maret 2004 Maulana. 2009. Pembentukan Komitmen Pada Organisasi. Jakarta. Middelton dan Robert. 1998. Clinical Pathway. hhtp://jurnalpelayanankesehatan Moleong, J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Rosdakarya . Jakarta Nurfaidah, S. 2009. Peran Budaya Dalam Penerapan Clinical Pathway. Malang hhtp://.jurnalmanajemenpelayanankesehatan 2010 Pearson, dkk. 1995. Integrited Clinical Pathways. Jakarta Perdossi. 2004. Guidelines Stroke Perdossi. Jakarta Ranette, R. 2009. Lama Hari Rawat Pasien Stroke di RSCM dan Faktor Yang Mempengaruhinya. hhtp://jurnalmanajemenpelayanankesehatan 2010

18

Rivany, R. 1998. DRG dan Casemix, Reformasi Mikro Ekonomi di Di Industri Pelayanan Kesehatan. Modul RSSN Bukittinggi. 2009. Laporan Pelayanan Jamkesmas Dengan Sistem INA DRG tahun 2009. RSSN Bukittinggi RSSN Bukittinggi. 2010. Profile RSSN Bukittinggi Ruhaya. 2010. Stroke dan Penanganannya. Seminar di RSSN Bukittinggi Sardiman, A.M. 2009. Motivasi Dalam Organisasi .PT Buana Pelajar. Jakarta Sulastomo. 1999. Pembiayaan Kesehatan Dari Asuransi ke Managed Care Concept. Thabrany. 2005. Current Health Insurance Coverage in Indonesia. Paper Presented in the Asia- Pacific Summit on Health Insurance and Managed Care, Jakarta May 22-26, 2002. Thabrany. 2005. Pendanaan Kesehatan dan Alternatif Mobilisasi Dana Kesehatan di Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta Thabrany. 2005 . Pelayanan Kesehatan Berpihak Kepada Masyarakat Miskin. Seminar Kesehatan Kebijakan Kesehatan Nasional. Jakarta Tim Casemix. 2008. Clinical Pathway dalam Sistem Casemix. UGM Jogjakarta Unand. 1997. Pedoman Penulisan Proposal Penelitian Dan Tesis. Program Sarjana Unand. Padang. Walshe, J. 1970. Disease of Nervous System. E & Livingstone, Edinburgh and London. Yastroki. 2005. Penanganan Masalah Stroke Di Indonesia. Jurnal elektronik hhtp:/ww.yahoo.co.id Yoga, T. 2005. Manajemen Administrasi Rumah Sakit. Bintang. Jakarta Pasca

19

Das könnte Ihnen auch gefallen