Sie sind auf Seite 1von 1

hujjatul islam

Jalaluddin Al-Mahalli

REPUBLIKA AHAD, 28 FEBRUARI 2010

B5

yang Tawadhu
produktif. Hampir di setiap bidang ilmu yang dikuasainya, ia menghasilkan sebuah karya tulis. Tentang ushuluddin dan usul fikih, misalnya, beliau menulis Syarh Jami al-Jawami. Dalam bidang fikih, beliau menulis Syarh al-Minhaj athThalibin, karya Imam Nawawi. Kitab ini dipakai hampir di seluruh pesantren di Indonesia. Ulama Syafii juga banyak mempelajari dan menggunakan kitab ini sebagai rujukan.
Ilustrasi
WULFRUNSUFI

AHLI TAFSIR

Ia pernah menolak jabatan hakim agung dan lebih senang menjadi pengajar fikih.

Nidia Zuraya

KITABKLASIK.CO.CC

mam Jalaluddin Al-Mahalli adalah seorang mufasir (ahli tafsir) berkebangsaan Mesir. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim bin Ahmad bin Hasyim Al-Mahalli Al-Mishri. Namun, ia lebih dikenal dengan julukan Jalaluddin AlMahalli yang berarti orang yang mempunyai keagungan dalam masalah agama. Sedangkan, Al-Mahalli dinisbahkan pada kampung kelahirannya, Mahalla alKubra, yang terletak di sebelah barat Kairo, tak jauh dari Sungai Nil. Dalam buku bertajuk Guruku di Pesantren, disebutkan bahwa Al-Mahalli dilahirkan pada tahun 791 H atau bertepatan dengan tahun 1388 M dan wafat pada hari pertama tahun 864 H/1460 M. Bahkan, ada yang menyebutkan wafatnya tahun 1455 M. Namun, beberapa sumber lain, seperti dalam Sejarah dan Keagungan Madzab Syafii, karangan KH Siradjuddin Abbas, menyebutkan bahwa ia dilahirkan pada tahun 769 H dan meninggal tahun 835 H. Ia adalah sosok yang selalu tampil sederhana, jauh dari gemerlap dunia meski ia juga seorang pedagang. Sejak kecil, Al-Mahalli sudah menunjukkan tanda-tanda kecerdasan. Berkat keuletannya dalam menutut ilmu, ia banyak menguasai berbagai disiplin ilmu. Karena itu, selain dikenal sebagai ahli tafsir, AlMahalli juga dikenal fakih (ahli dalam bidang hukum Islam), ahli kalam (teologi), ahli usul fikih, ahli nahwu (gramatika), dan menguasai mantik (logika). Dalam menelaah kitab-kitab Islami, AlMahalli belajar dan berguru kepada ulama yang masyhur pada masa itu. Di antaranya adalah al-Badri Muhammad bin al-Aqsari, Burhan al-Baijuri, Ala al-Bukhari, dan al-Allamah Syamsuddin al-Bisathi. Namun, tidak sedikit pula dari ilmu-ilmu yang dikuasainya itu dipelajari secara otodidak. Karena penguasaannya terhadap berbagai disiplin ilmu, tak mengherankan jika Al-Mahalli dikenal banyak kalangan. Hingga suatu saat, ia disodori jabatan alQadhi al-Akbar (hakim agung). Namun, jabatan itu ditolaknya. Ia lebih suka menjadi mudarris fiqh (pengajar fikih). Di samping aktif mengajar, Al-Mahalli juga dikenal sebagai seorang penulis yang

Karya kolaborasi guru dan murid Kendati demikian, tidak semua kitab yang ia tulis bisa diselesaikannya. Terdapat banyak kitab yang belum ia sempurnakan, termasuk masterpiece-nya (karangan andal) berupa Tafsir al-Jalalain. Setelah Al-Mahalli menyelesaikan separuh karangannya (dari surat Alkahfi hingga Annas), ia bermaksud melanjutkan karangannya yang tinggal separuh. Yaitu, dari awal surah Alfatihah sampai Al-Isra. Namun, ketika baru selesai menafsirkan Alfatihah, ia keburu wafat. Ia wafat pada hari pertama tahun 864 H/1460 M atau saat usianya genap 73 tahun. Kitab tafsir ini akhirnya dilanjutkan oleh salah seorang muridnya, Jalaluddin As-Suyuthi. Kitab tafsir ini kemudian diberi nama Tafsir al-Jalalain yang berarti karya dari dua Jalaluddin (tokoh agama yang agung). Hal inilah yang menyebabkan tafsir surah Alfatihah dalam kitab al-Jalalain ditaruh di belakang agar menyatu dengan tafsir Al-Mahalli yang telah selesai dan mudah dipilah-pilah. Kitab tafsir ini disusun oleh dua orang ulama terkemuka yang kemudian dikenal dengan nama dua Jalal (Jalalain) sebagai penanda nama sebuah kitab. Mereka itu adalah Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin Al-Suyuthi. Kedua penulis ini merupakan guru (Jalaluddin Al-Mahalli) dan murid (Jalaluddin Al-Suyuthi). Kitab tafsir ini, sebelum selesai di tangan Jalaluddin Al-Mahalli, disempurnakan oleh Jalaluddin AlSuyuthi. Al-Mahalli lahir pada tahun 791 H/1389 M dan wafat tahun 864 H. Sedangkan, Al-Suyuthi lahir lima belas tahun sebelum meninggalnya Al-Mahalli. Tepatnya pada tahun 849 H/1445 M dan wafat pada 9 Jumadilawal tahun 991 H. Dalam makalah berjudul Metode Penelitian Tafsir Struktural, Abdullah Faishol memaparkan bahwa Tafsir Jalalain ditulis dengan menggunakan pendekatan bi al-rayi, yaitu menafsirkan Alquran berdasarkan rayi dan ijtihad. Karena itu, para ulama yang hidup sesudah Al-Suyuthi membuat klasifikasi Tafsir Jalalain ke dalam kategori tafsir bi al-rayi. Pengategorian kitab Tafsir Jalalain ke dalam kitab tafsir bi al-rayi ini juga diungkap oleh Manna Qaththan dalam bukunya Mabahits fi Ulum Alquran. Kitab Tafsir Jalalain merupakan salah satu kitab pegangan kalangan ahlussunnah di antara kitab-kitab tafsir bi al-rayi lain, seperti Tafsir al-Baidhawy, Tafsir alFahr al-Razy, Tafsir Abu Suud, Tafsir alAlusi, dan Tafsir al-Naisaburi, yang berkembang di kalangan ahlussunnah. Di Indonesia, kitab tafsir ini dipakai hampir di seluruh pesantren salaf. Semula, kitab ini ditulis oleh Jalaluddin Al-Mahalli yang dimulai dari awal surah Alkahfi sampai dengan akhir surah Annas. Setelah itu, beliau menafsirkan surah Alfatihah sampai selesai. Namun, belum selesai menafsirkan keseluruhan ayat Alquran, Allah sudah memanggilnya

sehingga tak sempat menafsirkan surahsurah lainnya. Hasil karya Al-Mahalli yang belum selesai dan terpublikasikan secara luas itu kemudian dilanjutkan oleh salah seorang muridnya, Jalaluddin As-Suyuthi dengan pola dan gaya yang sama sebagaimana ditulis oleh Al-Mahalli. Beliau memulai tafsirnya dari surah Albaqarah sampai akhir surah Al-Isra. Beliau meletakkan tafsir surah Alfatihah pada akhir tafsir Jalaluddin Al-Mahalli agar terletak berurutan dengan karyanya. Kedua mufasir (ahli tafsir) ini, terang Abdullah, dalam menyusun kitab Tafsir Jalalain menggunakan metode dengan cara mengutip suatu ayat sampai selesai, kemudian disertai penjelasannya. Terkadang, dalam satu ayat, terdapat sisipan penjelasan ataupun analisisnya. Analisis dalam Tafsir Jalalain terkadang berupa muradif, penjelasan makna suatu lafal tertentu dari ayat Alquran, qiraah, irab kalimat, dan tidak dijelaskannya fawatih al-suwar (penafsirnya menyerahkan pengertiannya kepada Allah). ed: sya

Penggagas Tafsir Bi al-Rayi


S
ebagaimana dijelaskan sebelumnya, Tafsir Jalalain merupakan karya hasil kolaborasi antara guru dan murid. Kitab tafsirnya memiliki keunikan dibandingkan tafsir-tafsir lainnya, terutama dalam menganalisis setiap kata dan lafal yang diterangkan. Metode yang digunakan adalah tafsir bi al-Rayi, yakni menggunakan pola logika (ijtihad). Abdullah Faishol dalam Metode Penelitian Tafsir Struktural menjelaskan, Tafsir Jalalain ditulis dengan menggunakan pendekatan bi al-rayi, yaitu menafsirkan Alquran berdasarkan rayi dan ijtihad. Penafsiran model ini tidak dijumpai dalam kitab-kitab ulum al-Quran (ilmu tafsir) pada abad-abad yang silam, bahkan sampai periode modern, termasuk dalam al-Burhan fi Ulum al-Quran karangan al-Zarkasyi dan al-Itqan fi Ulum al-Quran karya al-Suyuthi. Karena itulah, dengan adanya tafsir bi al-rayi ini, para ulama kemudian mengklasifikasi metode tafsir menjadi dua hal, yakni tafsir bi al-matsur dan tafsir bi al-rayi. Sebagaimana diungkapkan oleh al-Suyuthi bahwa beliau menafsirkannya sesuai dengan metode yang dipakai oleh alMahalli, yakni berangkat dari qawl yang kuat, irab lafal yang dibutuhkan, dan meninggalkan ungkapan-ungkapan yang terlalu panjang dan tidak perlu. Kitab ini terbagi atas dua juz. Juz pertama berisi tafsir surah Albaqarah sampai surah al-Isra yang disusun oleh Jalaluddin al-Suyuthi. Sedangkan, juz yang kedua berisi tafsir surah Alkahfi sampai surah Alnaas ditambah dengan tafsir surah Alfatihah yang disusun oleh Jalaluddin al-Mahalli. Secara umum, tidak ada perbedaan antara metode yang dipakai oleh al-Mahalli dan al-Suyuthi. Keduanya menafsirkannya dengan singkat dan padat. Yang menarik dari kitab ini adalah penempatan tafsir surah Alfatihah yang diletakkan paling akhir. Kedua mufasir juga tidak berbicara tentang basmalah sebagaimana tafsir-tafsir lainnya. Tidak ada keterangan yang menyebutkan alasan tidak ditafsirkannya basmalah. Namun, dalam tafsir ini, ayat-ayat yang berada dalam satu surat tidak menggunakan nomor atau minimal pembatas. Sehingga, orang sedikit kesulitan jika ingin merujuk ayat-ayat tertentu. sya/berbagai sumber
Ilustrasi
ALIENSHIFT.COM

Das könnte Ihnen auch gefallen