Sie sind auf Seite 1von 4

Topik Judul

: Pencemaran Air : Pencemaran di Teluk Minamata Pencemaran di Teluk Minamata Jepang Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dapat memacu terjadinya

pencemaran lingkungan baik itu pencemaran air, pencemaran udara maupun pencemaran tanah. Pencemaran air akibat dari aktivitas industry harus dikendalikan sejak dini karena limbah yang berasal dari kawasan industry baik yang sudah diolah maupun belum pada akhirnya juga akan dibuang ke pantai. Hal tersebut merupakan masalah yang serius bagi kelangsungan hidup manusia maupun kehidupan alam sekitarnya dan biota laut. Pencemaran air itu sendiri adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,energy, dan atau komponen lain ke dalam air dan atau berubahnya tatanan airoleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidakdapt berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannyaataufungsinya. Salah satu hal yang perlu dilakukan dalam pengendalian dan pemantauan dampak lingkungan adalah melakukan penelitian unsur-unsur yang terkandung dalam ikan terutama Pb (Timah hitam), Cu (Tembaga), Cd (Cadmium), dan Hg (Merkuri). Pencemaran logam-logam tersebut dapat mempengaruhi dan menyebabkan penyakit pada konsumen, karena di dalam tubuh unsur yang berlebihan akan mengalami detoksifikasi sehingga membahayakan manusia. Contohny seperti Cadmium dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal, hati, tulang, pancreas dan kelenjar gondok. Cu dalam jumlah besar menyebabkan rasa tidak enak di lidah dan menimbulkan kerusakan pada ginjal dan hati. Pb (Timah hitam) bersifat kronis dan komulatif, keracunan Pb menimbulkan anemia, gangguan ginjal, penurunan mental pada anak-anak, gangguan jiwa, penyakit hati dan gangguan susunan syaraf, serta mengacaukan susunan darah. Dalam jangka lama Pb terkumpul pada gigi dan tulang. Hg (Merkuri) merupakan unsur yang sangat berbahaya dan beracun, pada keracunan tingkat ringan timbul pusing, sakit kepala, dan mudah lelah. Pada keracunan tingkat berat dapat mengakibatkan kerusakan ginjal, sendi-sendi kaku, penglihatan terganggu, kelainan system syaraf dan dapat menimbulkan kematian. Pencemaran logam berat merupakan permasalahan yang sangat serius untuk ditangani, karena merugikan lingkungan dan ekosistem secara umum. Sejak kasus merkuri di Minamata Jepang pada 1953, pencemaran logam berat semakin sering terjadi dan semakin banyak dilaporkan. Agen Lingkungan Amerika Serikat (EPA) melaporkan, terdapat 13 elemen logam berat yang diketahui berbahaya bagi lingkungan. Di antaranya arsenik (As), timbal (Pb), merkuri (Hg), dan kadmium (Cd). Logam berat sendiri sebenarnya merupakan unsur esensial yang sangat dibutuhkan setiap makhluk hidup, namun beberapa di antaranya (dalam kadar tertentu) bersifat racun. Mungkin bagi masyarakat awam logam berat masih sedikit asing di telinga mereka berbeda dengan para kimiawan. Mungkin masyarakat mendefenisikan logam berat sebagai logam yang berat (dalam artian ditimbang) seperti baja, besi, aluminium dan tembaga. Terlepas dari defenisi di atas logam berat adalah logam-logam yang memiliki sifat toksisitas (racun) pada makhluk hidup.

Salah satu kasus pencemaran air laut yaitu kasus pencemaran akibat limbah merkuri yang pernah terjadi di kawasan teluk minatamata Jepang Tahun 1953. Minamata adalah sebuah desa kecil, yang menghadap ke Laut Shiranui, bagian selatan Jepang yang sebagian besar penduduknya hidup sebagai nelayan, dan merupakan pengkonsumsi ikan cukup tinggi, yaitu 286-410gram/hari. Tahun 1908 berdiri PT Chisso dengan Motto dahulukan Keuntungan perkembangannya pada tahun 1932 Industri ini berkembang dan memproduksi berbagai jenis produk dari pewarna kuku sampai peledak, dengan dukungan militer, industri ini merajai industri kimia, dan dengan leluasa membuang limbahnya ke teluk Minamata yang diperkirakan 200-600 ton Hg dibuang selama tahun 1932-1968, selain merkuri limbah PT Chisso juga berupa mangan, Thalium, dan Selenium. Tanda-tanda keracunan mulai terlihat pada tahun 1949 ketika hasil tangkapan mulai menurun drastis, yang ditandai dengan punahnya jenis karang yang menjadi habitat ikan yang menjadi andalan nelayan. Tanda-tanda keracunan juga terlihat pada beberapa hewan yang memakan ikan hasil tangkapan nelayan. Beberapa ekor kucing yang memakan ikan tersebut mengalami kejang, menari-nari, dan mengeluarkan air liur, yang beberapa saat kemudian kucing tersebut mati. Akhirnya pada tanggal 1 Mei 1956, kota Minamata mengumumkan secara resmi bahwa 1655 orang meninggal dan sebanyak 613 lainnya menderita sakit karena tercemar logam berat. Pada tahun 1960 bukti menyebutkan bahwa PT Chisso memiliki andil besar dalam tragedy Minamata, karena ditemukan Metil-Hg dari ekstrak kerang dari teluk Minamata. Secara umum, zat yang meracuni penduduk Minamata adalah merkuri (Hg), disamping terdapat zat-zat lain yang mencemari teluk Minamata, seperti mangan (Mn), selenium (Se), dan thalium (Tl). Awal dari rantai keracunan ini dimulai dari ikan, kerang atau hewan air lainnya yang tercemar merkuri dari makanan atau insangnya. Hewan air tersebut yang masuk dalam rantai makanan akhirnya dimakan oleh predator di atasnya, dan akhirnya sampai pada puncak pada rantai makanan, yaitu manusia. Merkuri akan meracuni manusia saat kadarnya melebihi kadar normal dalam darah. Senyawa merkuri dapat masuk ke peredaran darahjuga otak kemudian meracuninya. Ibu hamil yang terkontaminasi oleh merkuri secara otomatis akan mengkontaminasi janin yang dikandungnya, karena logam merkuri dapat melintasi plasenta dan memengaruhi janin. Ini dibuktikan dari penelitian, bahwa bayi yang terkena logam dalam kandungan ibunya, akan dipengaruhi secara berlebihan daripada ibunya, sehingga anak yang dilahirkan nantinya akan cacat fisik permanen dan tidak sedikit pula yang mengalami kematian. Ciri-ciri dari penduduk yang mengalami penyakit minamata gejala utamanya bersifat nerologik, termasuk adanya kesulitan berjalan danberbicara, serta kejang-kejang, dan adanya keluhan nyeri pada lutut dan jari-jarinya. Penyakit Minamata atau Sindrom Minamata adalah sindrom kelainan fungsi saraf yang disebabkan oleh keracunan akut air raksa. Gejala-gejala sindrom ini seperti kesemutan pada kaki dan tangan, lemas-lemas, penyempitan sudut pandang dan degradasi kemampuan berbicara dan pendengaran. Pada tingkatan akut, gejala ini biasanya memburuk disertai dengan kelumpuhan, kegilaan, jatuh koma dan akhirnya mati.

Tidak hanya di Minamata, di Indonesia pun pernah terjadi hal serupa, sejak tahun 1996 perairan Teluk Buyat Provinsi Sulawesi Utara telah dijadikan tempat pembuangan tailing (limbah hasil tambang emas) oleh PT Newmont Minahawa Raya (PT NMR). Efek dari efektivitas tersebut diduga bukan hanya terjadi pada teluk itu sendiri tetapi pada daerah sekitarnya (Teluk Totok dan Kotabunan). Kasus pencemaran merkuri di Teluk Buyat juga telah meminta korban, tragedi kemanusiaan yang dipicu ketidakadilan pembangunan ekonomi. Tidak hanya di Teluk Buyat, di Kabupaten Aceh Selatan pun limbah mercury banyak bertebaran pada areal pengolahan emas tradisional di Gunung Alue Buloh, Desa Panton Luas, Kecamatan Sawang. Tambang emas di kawasan Gunung Alue Buloh, Sawang itu sendiri adalah milik daerah sehingga merupakan asset pemerintah kabupaten Aceh Selatan. Tempat pengolahan emas gelondongan di Sawang sudah mencapai 114 unit. Pada penambangan emas tradisional, merkuri digunakan untuk memisahkan butiran emas dari tanah, pasir atau bebatuan. Para penambang emas tradisional demi mendapatkan butiran emas, setiap hari mengguyurkan merkuri ke pasir, tanah, dan bebatuan. Di Kecamatan Sawang terdapat sungai Krueng Sawang yang airnya diperkirakan sudah terkontaminasi limbah merkuri karena bagian terbesar dari limbah merkuri itu hanyut ke sungai selain terserap oleh tanah. Penambang emas juga kadang menggunakan Tromol, sebuah alat berat pengolahan biji dan pasir menjadi emas dengan menggunakan air keras. Pemerintah Aceh Selatan berada pada situasi dilematis antara kepentingan ekonomi, dan ekologi. Apabila penambangan emas tradisional itu dihentikan dan ditutup maka akan berdampak pada perekonomian masyarakat sekitar, sementara bila dibiarkan akan mengancam keselamatan dan kesehatan masyarakat sebagai dampak negatif dari bahan berbahaya dan beracun (B3) limbah merkuri. Solusi yang dipertimbangkan adalah menggunakan zat lain yang ramah lingkungan untuk memisahkan emas sebagai logam mulia dari tanah, pasir, atau bebatuan. Di Sungai Citarum pun yang merupakan sumber air minum bagi warga Jakarta saat ini mulai tercemar zat kimia Zn (seng), Fe (logam), NH-N, NO-N (nitrogen), HS, Mn (mangan), biochemical oxygen demand (BOD), COD, dan oksigen terlarut melebihi baku mutu air. Sehingga General Manager Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkit Saguling Erry Wibowo membenarkan, air Citarum yang masuk ke Waduk Saguling sudah tercemar bahan kimia, terutama HS. Pencemaran berlangsung sejak waduk dioperasikan pada 1985 tanpa ada upaya pengendalian. Kami khawatir kasus minamata terjadi di Citarum karena hingga kini belum ada pengendalilan, ujar Erry. Yang mengherankan mengingat warga kota Jakarta yang egois terutama para petinggipetinggi kita digedung DPR, belum ada instansi yang menangani perusakan dan pencemaran Citarum. Selama Citarum masih berair, walaupun tercemar hebat, itu dianggap biasa, ujar Guru Besar Lingkungan Institut Teknologi Bandung Mubiar Purwasasmita. Sungguh ironis negeri kita ini. Pengalaman pencemaran limbah merkuri di Minamata, Jepang dan di Teluk Buyat, Sulawesi Utara seyogyanya dapat menjadi pelajaran pada pemerintah dan masyarakat Aceh betapa berbahayanya limbah merkuri pada aspek kesehatan masyarakat. Sisi baiknya, masyarakat Minamata dan kalangan industri di Jepang dapat memetik hikmah dari pencemaran lingkungan tersebut. Secara bersama-sama

masyarakat Minamata, kalangan industri, pemerintah kota dan pemerintah Jepang melakukan perbaikan lingkungan dengan upaya terpadu. Secara konsisten, seluruh industri diharuskan mengolah limbah. Peraturan disusun dan dilaksanakan secara konsisten. Pada saat bersamaan pemulihan lingkungan teluk Minamata dilakukan, sehingga kualitas air di teluk Minamata kembali seperti sebelum pencemaran. Limbah rumah tangga dari seluruh bangunan diolah secara sungguh-sungguh, sehingga tidak ada lagi limbah industri dan limbah rumah tangga yang mencemari perairan kota Minamata. Sejarah kemudian mencatat, bahwa Minamata yang semula tercemar berat, kini menjadi kota kualitas lingungannya baik, kota yang nyaman dan aman untuk ditinggali. Kini masyarakat kota Minamata sangat terkenal dengan kepedulian terhadap pengelolaan lingkungan. Para stakeholder (pemegang saham, investor, pemasok) kota Minamata, tidak mau mengulang sejarah buruk yang pernah terjadi. Kesungguhan para stakeholder di Minamata, dapat menjadi inspirasi bagi siapa saja untuk ikut bersama masyarakat dunia menyelamatkan lingkungan. Belajar dari kasus Minamata ini diharapkan dapat membangkitkan kesadaran yang tinggi untuk menyadari lagi bagaimana pertimbangan kepada lingkungan adalah penting dan bahwa upaya-upaya akan dilakukan untuk mencegah pencemaran lingkungan tanpa pengalaman bencana polusi. Dari pengalaman yang terjadi di Jepang dapat dijadikan sebagai pelajaran bagi negara-negara lain untuk lebih waspada dan peduli akan lingkungan. Referensi : http://masdony.wordpress.com/2009/04/19/logam-berat-sebagai-penyumbang-pencemaran-air-laut/ Koran Kompas, Senin, 25 April 2011. Citarum Tecemar dari Hulu. HJ. Mukono. 2006. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan Edisi Kedua. Airlangga University Press : Surabaya. (Hal3 20) Mulia M. Ricki. 2005. Kesehatan Lingkungan. Graha Ilmu : Yogyakarta. (Hal 46). Budiman, Suyono. 2010. Ilmu Kesehatan Masyarakat dalam Konteks Kesehatan Lingkungan. EGC : Jakarta.

Das könnte Ihnen auch gefallen