Sie sind auf Seite 1von 6

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Miopia (mata minus) dapat diklasifikasikan sebagai miopia simpleks dan miopia patologis. Miopia simpleks biasanya ringan dan miopia patalogis hampir selalu progresif. Keadaan ini biasanya diturunkan orang tua pada anaknya. Miopia tinggi adalah salah satu penyebab kebutaan pada usia dibawah 40 tahun. Miopia tinggi adalah miopia dengan ukuran 6 dioptri atau lebih. Penderita dengan minus diatas 6 dioptri mempunyai risiko 34 kali lebih besar untuk terjadinya komplikasi pada mata.( Queirs A,2010) Sekitar lima juta penduduk Inggris menderita rabun dekat dan 200.000 diantaranya menderita miopia tinggi. Pada beberapa orang, miopia tinggi dapat menyebabkan kerusakan retina atau ablasio. Miopia tinggi juga berkaitan dengan katarak dan glaukoma. Miopia tinggi atau miopia degeneratif kronik dapat terjadi dalam suatu keluarga (bersifat familial). Sebuah penelitian yang dilakukan pada 15 keluarga di Hongkong yang kemungkinan genetik menderita miopia tinggi pada 2 generasi terakhir didapatkan hasil bahwa lokus autosomal dominan yang berkaitan dengan miopia tinggi adalah kromosom 18p. (Seo-Wei Leo,dkk,2007) Miopia diderita sekitar 25% dari populasi dunia. Prevalensi miopia termasuk miopia tinggi (minimal 6.0 dioptri) meningkat proporsinya di Asia. Singapura adalah salah satu negara yang tertinggi tingkat miopianya di dunia dan menjadi masalah kesehatan publik yang mempunyai dampak dan risiko kehilangan penglihatan

berhubungan dengan penyebab yang lain karena itulah menarik untuk menemukan solusi untuk mencegah onset dan progresivitas miopia. (Seo-Wei Leo,dkk,2007) Peningkatan insiden miopia terjadi pada negara maju dengan tingkat pendidikan yang meningkat. Persentase bervariasi dari satu negara ke negara lain, dari 25% di Amerika Serikat sampai 90% di beberapa bagian Cina. Beberapa cara untuk mengurangi miopia yang pertama metode fitting lensa kontak (ortokeratologi) untuk mengurangi miopia secara temporer dan metode kedua menggunakan teknik operasi (lasik) untuk membentuk kornea secara permanen dan mengurangi miopia. (Whitcher JP,2004) Faktor etiologi yang berbeda akan mempengaruhi onset dan progresivitas miopia, seperti peningkatan tekanan intraokuler, anomali daya akomodasi dan defokus pada retina. Tergantung mekanisme yang terjadi, dapat dilakukan beberapa pendekatan klinis seperti menurunkan tekanan intraokuler, relaksasi akomodasi dengan atropin atau pirenzepine, monofokal, bifokal atau multifokal lensa, atau geometri konvensional, atau lensa kontak reverse geometry rigid gas-permeable. (Whitcher JP,2004) Ortokeratologi adalah prosedur untuk mengurangi atau menghilangkan miopia (rabun jauh) dan astigmat (iregularitas kornea) dengan menggunakan lensa kontak rigid gas permeable. Konsep lensa ini adalah dipakai pada malam hari untuk memperbaiki visus dan tidak perlu memakai lensa kontak sepanjang hari. Koreksi miopia ini disarankan untuk orang yang melakukan olahraga dimana tidak mungkin memakai kacamata dan menggunakan lensa kontak konvensional yang memungkinkan untuk hilang (sebagai contoh pada berenang atau menyelam). (Swarbrick HA,2006) Pasien ideal untuk memakai ortokeratologi adalah miopia ringan antara - 0.75 sampai - 4.00 dioptri dan dengan astigmat sampai - 1.50 dioptri. Pasien dengan

ammetropia antara - 0.25 sampai - 0.50 dioptri dapat diterapi juga namun lebih sulit. Bila rabun jauhnya lebih dari - 4.00 dioptri, melalui pemeriksaan mata diperlukan untuk memastikan apakah ortokeratologi dapat dikerjakan atau tidak. Berita buruk untuk pasien dengan miopia lebih dari - 5.50 dioptri, ortokeratologi tidak dapat dilakukan. Syarat tambahan untuk pemakaian lensa kontak konvensional, seperti tidak ada penyakit segmen anterior mata, lensa ortokeratologi tidak dapat digunakan ketika pasien telah operasi kornea (operasi refraktif, operasi transplantasi kornea) atau menderita keratoconus (penonjolan yang tidak teratur dan penipisan kornea). (Swarbrick HA,2006) Di beberapa literatur, ortokeratologi sebenarnya mempunyai tujuan untuk menyembuhkan miopia yang masih dalam tingkat sangat ringan. Ini bisa ditilik dari metodenya yang merupakan usaha untuk membentuk kelengkungan kornea supaya lebih rata/flat dengan menggunakan lensa kontak rigid/kaku (bukan softlens) yang didesain secara khusus. Lensa kontak yang umumnya dibuat dari bahan yang bersifat high gas permeable (mudah dilalui udara, agar kornea mendapat oksigen yang cukup) ini memiliki kelengkungan dasar yang lebih flat/rata (1.00 - 2.00 D) dari pada kelengkungan kornea pasien. Namun, ada pula beberapa ahli yang menggunakan ortokeratologi ini sebagai salah satu metode pengendalian miopia. Untuk itu, pasien disuruh memakai lensa kontak tersebut pada waktu waktu tertentu (umumnya malam hari). Di salah satu studi yang dilakukan oleh seorang ahli dari Houston, setiap peserta program yang umurnya bervariasi dari 5 hingga > 21 tahun diminta untuk memakai lensa kontak tersebut tiap malam selama 5 tahun. Selama kurun waktu itu, secara periodik pasien diperiksa untuk mengetahui perkembangannya. Hasilnya terlihat cukup memuaskan. 97% dari 519

peserta dinyatakan tidak mengalami pertambahan derajat miopia atau pertambahannya sangat kecil. (Swarbrick HA,2006) Meskipun sama-sama menggunakan lensa kontak jenis rigid/kaku, metode yang ini hanya menggunakan lensa kontak Rigid Gas Permeable (RGP) yang umum digunakan untuk mengkoreksi kelainan refraksi sebagaimana soflen dan kacamata. Jadi fungsi lensa kontak RGP di sini memang sebagai pengganti kacamata atau soflen. Menurut beberapa studi yang sudah dilakukan oleh para ahli kesehatan penglihatan, pemakaian lensa kontak jenis ini memang dapat mengurangi laju pertambahan miopia, meskipun hasilnya tidak sebagus metode ortokeratologi. Lensa kontak jenis ini juga mampu memberi kualitas penglihatan yang lebih baik dari pada soflen maupun kacamata. (Swarbrick HA,2006) Islam menegaskan kepada manusia bahwa mereka telah diberikan anugerah berupa panca indera dan salah satunya adalah indera penglihatan berupa mata. Mata merupakan organ penglihatan yang penting untuk melihat hal-hal yang terjadi dihadapannya. Setiap muslim diwajibkan untuk menjaga, memelihara kesehatannya dan juga berobat kepada ahlinya jika mampu apabila mengalami gangguan pada tubuhnya.(Zainudin, 1996). Namun dalam pengobatan miopia dengan menggunakan lensa RGP ini bertujuan mengurangi keluhan sakit yang pada pasien. Ulama sepakat membolehkan tindakan medis yang mengalami masalah tertentu. Dasarnya, sejenis tindakan ini pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW, berdasarkan riwayat at-Tirmidzi, merujuk pada keterangan Abdurahman bin Tharfah bahwa kakeknya yang bernama `Arfajah bin As`ad pernah terputus batang hidungnya dalam perang Al-Kilab atau dalam riwayat lain disebutkan

mengalami kecelakaan di masa Jahiliah,maka dianjurkan ditambal dengan hidung palsu terbuat dari perak yang dibentuk menyerupai batang hidung. (Zuhroni, dkk, 2003) Sementara berobat merupakan salah satu bentuk usaha dan ikhtiar dengan segala hal yang telah Allah anugerahkan di alam jagad raya. Dan meyakini bahwa seorang muslim tidak boleh berputus asa dari rahmat dan inayah (pertolongan) Allah Subhana wa Ta'ala. Seorang muslim seharusnya mempunyai harapan kuat untuk sembuh dengan izin Allah, dan hendaknya para dokter dan keluarga pasien terus memberi sugesti (semangat) kepada pasien dengan memperhatikan kondisinya dan meringankan penyakit jasmani maupun rohani yang tengah dideritanya, terlepas apakah si sakit bakal sembuh ataupun tidak. (Shalih, 1999) Untuk menetapkan hukum halal atau haram pemakaian suatu zat atau obat, alim ulama biasanya memakai penetapan hukumnya secara qiyas. (As-Sadlan dan Ghanim, 2000). 1.2 Permasalahan 1. Bagaimana aspek klinis miopia? 2. Bagaimana aspek klinis penggunaan lensa rigid gas permeable? 3. Bagaimana penatalaksanaan miopia? 4. Bagaimana kaitan pandangan antara kedokteran dan Islam tentang penggunaan lensa RGP pada penderita miopia? 1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum Mampu menjelaskan mekanisme miopia serta penatalaksaannya dengan menggunakan lensa RGP ditinjau dari kedokteran dan Islam.

1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mendapatkan informasi mengenai aspek klinis miopia 2. Mendapatkan informasi mengenai aspek klinis penggunaan lensa RGP 3. Mendapatkan informasi tentang penatalaksanaan miopia 4. Mendapatkan informasi kaitan pandangan antara kedokteran dan Islam tentang penggunaan lensa RGP pada penderita miopia 1.4. 1. Manfaat Bagi Penulis Penulis berharap dapat menambah pengetahuan mengenai mekanisme penggunaan lensa RGP pada penderita miopia ditinjau dari kedokteran dan Islam dan menambah pengalaman dalam menyusun karya ilmiah yang baik dan benar, serta menemukan titik temu antara pandangan Islam dengan ilmu kedokteran mengenai topik yang dibahas. 2. Bagi Civitas Akademika Universitas Yarsi Diharapkan skripsi ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan bagi civitas akademika Universitas YARSI, dapat menjadi tambahan kepustakaan mengenai penggunaan lensa RGP pada penderita miopia ditinjau dari kedokteran dan Islam. 3. Bagi Masyarakat Diharapkan skripsi ini dapat memberikan informasi dan menambah pengetahuan masyarakat mengenai penggunaan lensa RGP pada penderita miopia ditinjau dari kedokteran dan Islam.

Das könnte Ihnen auch gefallen