Sie sind auf Seite 1von 24

MAKALAH SISTEM RESPIRASI II

Asuhan Keperawatan pada Klien Adult Respiratory Distress Syndrome

Disusun oleh: Eko Saktiantoro Umi Soraya Christina : I31110018 : I31110020 : I31110021

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2012

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN ATELEKTASIS

A. Konsep Teori 1. Definisi Atelektasis sebenarnya bukan merupakan penyakit, tetapi ada kaitannya dengan penyakit parenkim paru. Atelektasis adalah istilah yang berarti pengembangan paru-paru yang tidak sempurna dan menerangkan arti bahwa alveolus pada bagian paru-paru yang terserang tidak mengandung udara dan kollaps. Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal. Kolapsnya paru atau alveolus disebut atelektasis, alveolus yang kolaps tidak mengandung udara sehingga tidak dapat ikut serta di dalam pertukaran gas. Kondisi ini mengakibatkan penurunan luas permukaan yang tersedia untuk proses difusi dan kecepatan pernafasan berkurang (Elizabeth J.Corwin, 2009).

2. Etiologi Berdasarkan penyebabnya, atelektasis diklasifikasikan menjadi

(Elizabeth J.Corwin, 2009) a. Atelektasis Kompresi Atelektasis kompresi terjadi ketika sumber dari luar alveolus menimpa kan gaya yang cukup besar pada alveolus sehingga alveolus kolaps. Hal ini terjadi jika dinding dada tertusuk atau terbuka, karena tekanan atmosfir lebih besar daripada tekanan yang menahan paru mengembang (tekanan pleura) dan dengan pajanan tekanan atmosfir paru akan kolaps. Atelekasis kompresi juga dapat terjadi jika terdapat tekanan yang bekerja pada paru atau alveoli akibat pertumbuhan

tumor. Distensi abdomen, atau edema, dan pembengkakan ruang interstitial yang mengelilingi alveolus. b. Atelektasis Absorpsi Atelektasis absorpsi terjadi akibat tidak adanya udara didalam alveolus, apabila aliran masuk udara ke dalam alveolus dihambat, udara yang sedang berada di dalam alveolus akhirnya berdifusi keluar dan alveolus akan kolaps. Penyumbatan aliran udara biasanya terjadi akibat penimbunan mukus dan obstruksi aliran udara bronkus yang mengaliri suatu kelompok alveolus tertentu, setiap keadaan

menyebabkan akumulasi mukus, seperti fibrosis kistik, pneumonia, atau bronkitis kronik, meningkatkan resiko atelektasis absorbsi. Atelektasis juga absorpsi juga dapat disebabkan oleh segala sesuatu yang menurunkan pembentukan atau konsentrasi surfaktan tanpa surfaktan, tegangan permukaan alveolus sangat tinggi. Meningkatkan kemungkinan kolapsnya alveolus.

3. Patofisiologi Pada atelektasis absorpsi, obstruksi saluran napas menghambat masuknya udara ke dalam alveolus yang terletak distal tehadap sumbatan. Udara yang sudah terdapat dalam alveolus tersebut diabsorpsi sedikit demi sedikit ke dalam aliran darah dan alveolus pun terjadi kolaps. Untuk mengembangkan alveolus yang kolaps total diperlukan tekanan udara yang lebih besar. Seperti halnya seseorang meniup balon lebih keras pada waktu mulai mengembangkan balon. Atelektasis absorpsi terjadi akibat tidak adanya udara di dalam alveolus. Apabila aliran masuk udara ke dalam alveoluas dihambat, udara yang sedang berada di dalam alveolus akhirnya berdifusi keluar dan alveolus akan kolaps. Penyumbatan aliran udara biasanya terjadi akibat penimbunan mukus dan obstruksi aliran udara bronkus yang mengaliri alveolus. Setiap keadaan yang menyebabkan akumulasi mukus seperti fibrosis kistik, pneumonia atau bronkitis kronis, meningkatkan resiko

atelektasis absorpsi. Pembedahan juga merupakan faktor resiko atelektasis absorpsi karena efek anastesi yang menyebabkan terbentuknya mukus serta keengganan membatukkan mukus. Hal ini terutama terjadi pada pembedahan di daerah abdomen atau toraks karena batuk akan menimbulkan nyeri yang hebat. Sedangkan pada pasien tirah baring lama dapat menyebabkan pengumpulan mukus di daerah dependen paru sehingga ventilasi di daerah tersebut berkurang. Akumulasi mukus dapat meningkatkan resiko pneumonia karena mukus dapat berfungsi sebagai media pembiakan mikroorganisme. Juga dapat disebabkan oleh segala sesuatu yang menurunkan pembentukan atau konsentrasi surfaktan. Tanpa surfaktan, tegangan permukaan alveolus sangat tinggi, sehingga meningkatkan terjadinya kolaps pada alveolus. Bayi prematur dikaitkan dengan terjadinya penurunan produksi surfaktan dan tingginya insiden atelektasis absorpsi. Kerusakan pada sel alveolus tipe II yang menghasilkan surfaktan juga dpat menyebabkan atelektasis absorpsi. Sel-sel ini dihancurkan oleh dinding alveolus yang rusak, hal ini terjadi selama proses beberapa jenis penyakit pernapasan. Berbeda dengan atelektasi absorpsi, atelektasiS kompresi terjadi ketika sumber dari luar alveolus menimpakan gaya yang cukup besar pada alveolus sehingga alveolus kolaps. Tekanan ini biasa terjadi efusi pleura, pneumotoraks atau peregangan abdominal yang mendorong diafragma ke atas. Atelektasis kompresi disebabkan oleh tekanan ekstrinsik pada semua bagian paru atau bagian bagian dari paru, sehingga mendorong udara keluar dan mengakibatkan kolaps. Hal ini dapat terjadi jika dinding dada tertusuk atau terbuka karena tekanan atmosfir lebih besar daripada tekanan yang menahan paru mengembang dan dengan pajanan tekanan tersebut paru akan kolaps.

4. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis sangat bervariasi, tergantung pada sebab dan luasnya atelektasis. Pada umumnya atelektasis yang terjadi pada penyakit tuberculosis, limfoma, neoplasma, asma dan penyakit yang disebabkan infeksi misalnya bronchitis, bronkopmeumonia, jarang menimbulkan gejala klinis yang jelas, kecuali jika ada obstruksi pada bronkus utama. Atelektasis dapat terjadi secara perlahan dan hanya menyebabkan sesak nafas yang ringan. Gejalanya bisa berupa: nyeri dada batuk Jika disertai infeksi, bisa terjadi demam dan peningkatan denyut jantung, kadang-kadang sampai terjadi syok (tekanan darah sangat rendah). dipsneu dengan pola pernapasan yang cepat dan dangkal takikardi sianosis temperatur yang tinggi, jika berlanjut akan menyebabkan penurunan kesadaran atau syok perkusi redup bising nafas akan melemah atau sama sekali tidak terdengar perbedaan gerak dinding thorak, gerak sela iga dan diafragma Pada perkusi mungkin batas jantung dan mediastinum akan bergeser, letak diafragma meninggi

5. Pemeriksaan Diagnostik Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan klinis dan gambaran radiologis yang jelas dari berkurangnya ukuran paru-paru (digambarkan dengan adanya penarikan tulang iga, peninggian diafragma, penyimpangan dari trakea, jantung dan mediastinum dan selam lobus kehilangan udara, di

celah interlobus menjadi bergeser atau tidak pada tempatnya, dan densitas pada lobus menjadi lebih opak, seperti pada bronkus, pembuluh darah kelenjar limfe menjadi tidak beraturan. a. b. Rontgen dada: menunjukan adanya daerah bebas udara di paru-paru. CT-scan / bronkoskopi serat optik: menentukan penyebab terjadinya penyumbatan. c. GDA: menunjukan derajat hipoksemia dan keadekuatan ventilasi alveolar. d. Bronkoskopi dan bronkografi: menentukan cabang bronkus yang tersumbat.

Kolaps dapat didiagnosa dengan adanya: a. b. Peningkatan densitas dan menggerombolnya pembuluh darah paru Perubahan letak hilus atau fisura (k eatas atau ke bawah). Pada keadaan normal letak hilus kanan lebih rendah dari hilus kiri. c. Pergeseran trakea, mediastinum atau fisura interlobaris ke arah bagian paru yang kolaps d. Sisa paru bisa amat berkembang (over-expanded) dan demikian menjadi hipertranslusen.

6. Komplikasi Atelektasis yang berkepanjangan dapat menyebabkan penggantian jaringan paru yang terserang dengan jaringan fibrosis. Bila meluas dapat menyebabkan hipoksemia.

7. Pengobatan Tujuan pengobatan adalah mengeluarkan dahak dari paru-paru dan kembali mengembangkan jaringan paru yang terkena. Tindakan yang biasa dilakukan:

a.

Berbaring pada sisi paru-paru yang sehat sehingga paru-paru yang terkena kembali bisa mengembang

b.

Menghilangkan penyumbatan, baik melalui bronkoskopi maupun prosedur lainnya

c. d. e. f. g. h.

Latihan menarik nafas dalam (spirometri insentif) Perkusi (menepuk-nepuk) dada untuk mengencerkan dahak Postural drainase Antibiotik diberikan untuk semua infeksi Pengobatan tumor atau keadaan lainnya Pada kasus tertentu, jika infeksinya bersifat menetap atau berulang, menyulitkan atau menyebabkan perdarahan, maka biasanya bagian paru-paru yang terkena mungkin perlu diangkat

Setelah penyumbatan dihilangkan, secara bertahap biasanya paru-paru yang mengempis dan kembali mengembang, dengan atau tanpa pembentukan jaringan parut ataupun kerusakan lainnya.

B. Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian a. Keluhan utama Keluhan utama yang dirasakan adalah: Sesak nafas Nyeri dada b. Riwayat penyakit sekarang Pasien merasakan sesak nafas setelah beraktivitas dan merasakan nyeri dada pada bagian yang terkena atelektasis c. Riwayat penyakit dahulu

Pada saat lahir pasien pernah mengalami kelainan yaitu setelah lahir belum sempat terjadi tangisan yang pertama. d. Riwayat psiko sosial Pasien merasakan cemas karena mengalami nyeri Pasien jarang berkomunikasi dengan lingkungan sekitar e. Pola aktivitas sehari-hari Mobilisasi berkurang karena pasien sesak nafas jika pasien banyak melakukan aktivitas Pola istirahat, tidur pasien menjadi berkurang atau tidak teratur Pemasukan nutrisi dan cairan berkurang

2. Diagnosa Keperawatan a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolar-kapiler b. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan edema paru (peningkatan produksi sputum)

3. Intervensi Keperawatan a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolar-kapiler Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 124 jam pasien menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan Kriteria hasil: pertukaran gas dapat dipertahankan Intervensi mandiri: Kaji frekuensi kedalaman pernafasan R/: untuk mengevaluasi derajat distres pernafasan atau proses penyakit Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien memilih posisi yang mudah untuk bernafas, dorong pasien untuk penafasan dalam atau nafas bibir

R/: pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps jalan nafas Auskultasi bunyi nafas, cacat area penurunan aliran udara/bunyi tambahan (ronki, mengi, redup) R/: bunyi nafas mungkin redup karena penurunan aliran udara, adanya mengi mengindikasikan spasme bronkus. Palpasi fremitus (getaran fibrasi pada saat palpasi) R/: penurunan getaran fibrasi diduga ada pengumpulan cairan Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. R/: selama distres pernafasan berat/akut, pasien secara total tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari Awasi tanda-tanda vital dan irama jantung R/: takikardia dan perubahan tekanan darah yang dapat menunjukan adanya hipoksemia sistemik pada fungsi jantung. Intervensi kolaborasi: Awasi gambaran seri GDA dan nadi R/: PaCO2 biasanya meningkat (bronchitis, emfisema) dan PaCO2 secara umum menurun, sehingga terjadi hipoksia Berikan oksigen tambahan sesuai degan indikasi hasil GDA dan toleransi pasien R/: memperbaiki atau mencegah memburuknya hipoksia Bantu intubasi, berikan/pertahankan ventilasi mekanik R/: terjadinya kegagalan nafas yang akan datang memerlukan upaya penyelamatan hidup

b. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan edema paru (peningkatan produksi sputum) Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 124 jam pasien menunjukan perilaku mencapai bersihan jalan nafas. Kriteria hasil: klien dapat mempertahankan jalan nafas secara efektif Intervensi mandiri:

Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas abnormal (mengi, ronkhi) R/: beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obtruksi jalan nafas dan terdapat nafas adventisius Kaji frekuensi kedalaman pernafasan dan gerakan dada R/: pernafasan dangkal dan gerakan dada tidak simetris sering terjadi karena ketidaknyamanan gerakan dinding dada/cairan paru. Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari, kecuali kontra indikasi, tawarkan air hangat R/: cairan (khususnya air hangat) membantu mengencerkan sputum Observasi warna kulit, membran mukosa dan kuku R/: sianosis kuku menunjukan adanya vasokontruksi, sianosis membram mukosa dan kulit sekitar mulut menunjukan hipoksemia sistemik Intervensi kolaborasi: Berikan obat sesuai indikasi (bronkodilator, mis: egonis, epinefrin, mis: adrenalin, vaponefrin, xantin,mis: aminofilin, oxtrifilin) R/: merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal Berikan humidikasi tambahan, mis: nebulizer ultranik, humidifier aerosol ruangan R/: kelembaban menurunkan kekentalan sekret dan mempermudah pengeluaran secret. Berikan pengobatan pernafasan, mis: fisioterapi dada R/: drainase postural dan perkusi bagian penting untuk

mengencerkan secret dan memperbaiki ventilasi pada segmen paru

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN ADULT RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (ARDS) / SINDROM DISTRES PERNAFASAN DEWASA (SDPD)

A. Konsep Teori 1. Definisi Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS) merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan permeabilitas membran alveolar-kapiler terhadap air, larutan dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus dan akumulasi cairan dalam parenkim paru yang mengandung protein. ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome) adalah keadaan darurat medis yang dipicu oleh berbagai proses akut yang berhubungan langsung ataupun tidak langsung dengan kerusakan paru, (Aryanto Suwondo, 2006). Sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan progresif kandungan oksigen arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius (Brunner & Suddarth, 2001). ARDS atau yang juga dikenal dengan edema paru non kardiogenik adalah sindrom klinis yang di tandai dengan penurunan progesif kandungan oksigen arteri yang terjadi setelah, penyakit atau cedera serius (Brunner& Suddart hal : 615). Merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan permeabilitas membrane alveolar kapiler terhadap air, larutan, dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan dalam parenkim paru yang mengandung protein (Aru W, dkk, 2006) Kondisi kedaruratan paru yang tiba-tiba dan bentuk kegagalan nafas berat, biasanya terjadi pada orang yang sebelumnya sehat yang telah terpajan pada berbagai penyebab pulmonal dan non pulmonal (Hudak & Gallow, 1997).

2. Epidemiologi/Insiden Kasus ARDS telah menunjukkan hubungan dengan angka kematian hingga setinggi 50% sampai 60%. Angka bertahan hidup sedikit meningkat ketika penyebabnya dapat ditentukan, serta diobati secara dini dan agresif, terutama pengguna tekanan ekspirasi akhir positif (PPEP). Tahunan insiden dari ARDS adalah 1,5-13,5 orang per 100.000 orang dalam populasi umum.

3. Etiologi ARDS berkembang sebagai akibat kondisi atau kejadian berbahaya berupa trauma jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyebabnya bisa penyakit apapun, yang secara langsung ataupun tidak langsung melukai paru-paru: a. Trauma langsung pada paru Pneumoni virus, bakteri, fungal

Contusio paru Aspirasi cairan lambung Inhalasi asap berlebih Inhalasi toksin Menghisap O2 konsentrasi tinggi dalam waktu lama b. Trauma tidak langsung Sepsis Shock DIC (Dissemineted Intravaskuler Coagulation) Pankreatitis Uremia Overdosis Obat Idiophatic (tidak diketahui) Bedah Cardiobaypass yang lama Transfusi darah yang banyak PIH (Pregnand Induced Hipertension) Peningkatan TIK Terapi radiasi

4. Patofisiologi ARDS dimulai dengan kerusakan pada epitel alveolar dan endotel mikrovaskuler. Kerusakan awal dapat diakibatkan injury langsung atau tidak langsung. Kedua hal tersebut mengaktifkan kaskade inflamasi, yang dibagi dalam 3 fase yang dapat dijumpai secara tumpang tindih: inisiasi, implikasi, dan injury. Pada fase inisiasi, kondisi yang menjadi faktor resiko akan menyebabkan sel-sel imun dan non imun melepaskan mediator-mediator dan modulator-modulator inflamasi di dalam paru dan ke sistemik.

Pada fase amflikasi, sel efektor seperti netrofil teraktifasi, tertarik ke dan tertahan di dalam paru. Di dalam organ target tersebut mereka melepaskan mediator inflamasi, termasuk oksidan dan protease, yang secara langsung merusak paru dan mendorong proses inflamasi selanjutnya. Pada fase injury, kerusakan pada membran alveolar-kapiler menyebabkan peningkatan permiabilitas membran, dan aliran cairan yang kaya protein masuk ke ruang alveolar. Cairan dan protein tersebut merusak integritas surfaktan di alveolus, dan terjadi kerusakan lebih jauh. Terdapat 3 fase kerusakan alveolus: a. Fase eksudatif (ditandai edema interstisial dan alveolar, nekrosis sel pneumosit tipe 1 dan denudasi/terlepasnya membran basalis, pembengkakan sel endotel dengan pelebaran interselular junction, terbentuknya membran hialin pada duktus alveolar dan ruang udara, dan inflamasi neotrofil. Juga ditemukan hipertensi pulmoner dan berkurangnya compliance paru. b. Fase proliferatif: Paling cepat timbul setelah 3 hari sejak onset, ditandai proliferasi sel epitel pneumosit tipe 2. c. Fase fibrosis: kolagen meningkat dan paru menjadi padat karena fibrosis.

5. Pathway
INJURY

Mengaktifkan proses inflamasi

Fase inisiasi (sel-sel imun dan non-imun melepaskan mediator inflamasi di dalam paru dan sistemik) Fase amplikasi (teraktifasinya netrofil)

Tertarik dan tertahan dalam paru

Terlepasnya mediator inflamasi (oksidan dan protease)

Merusak paru dan mendorong proses inflamasi

Kerusakan membran alveolar

Peningkatan permeabilitas kapiler Gangguan pertukaran gas

Kebocoran pada kapiler darah alveoli

Cairan yang kaya protein masuk ke ruang alveoli

Perbedaan tekanan hidrostatik paru pe aliran darah balik ke jantung

Bersihan jalan nafas tidak efektif

Edema paru

difusi O2 dan CO2

Penurunan surfaktan pe cardiac output

Kolaps alveolar yg progresif

pecomplience paru

Gangguan perfusi jaringan

sesak

Ansietas

6. Manifestasi Klinis Ciri khas ARDS adalah hipoksemia yang tidak dapat diatasi selama bernapas spontan. Frekuensi pernapasan sering kali meningkat secara bermakna dengan ventilasi menit tinggi. Sianosis dapat atau tidak terjadi. Hal ini harus diingat bahwa sianosis adalah tanda dini dari hipoksemia. Pernapasan yang cepat serta dangkal dan dispnea, yang terjadi bebrapa jam hingga beberapa hari pasca cedera awal. Gejala ini timbul sebagai reaksi terhadap penurunan kadar oksigen dalam darah. Peningkatan frekuensi ventilasi akibat hipoksemia dan efeknya pada pusat pneimotaksik. Retraksi interkostal dan suprasternal akibat peningkatan uoaya yang diperlukan untuk mengembangkan paru-paru yang kaku. Ronkhi basah dan kering yang terdengar dan terjadi karena penumpukan cairan didalam paru-paru. Gelisah, khawatir, dan kelambanan mental yang terjadi karena sel-sel otak mengalami hipoksia. Disfungsi motorik yang terjadi ketika hipoksis berlanjut. Takikardia yang menandakan upaya jantung untuk memberikan lebih banyak lagi oksigen kepada sel dan organ vital. Asidosis respiratorik yang terjadi ketiak karbon dioksida bertumpuk di dalam darah dan kadar oksigen menurun. Asidosis metabolic yang pada akhirnya akan terjadi sebagai akibat kegagalan mekanisme kompensasi. Distres pernafasan akut: takipnea, dispnea , pernafasan menggunakan otot aksesoris pernafasan dan sianosis sentral. Batuk kering dan demam yang terjadi lebih dari beberapa jam sampai seharian. Auskultasi paru: ronkhi basah, krekels halus di seluruh bidang paru, stridor, wheezing.

Perubahan sensorium yang berkisar dari kelam pikir dan agitasi sampai koma. Auskultasi jantung: bunyi jantung normal tanpa murmur atau gallop.

7. Pemeriksaan Diagnostik a. Analisa gas darah: Hipoksemia ( pe PaO2 ) Hipokapnia ( pe PCO2 ) pada tahap awal karena hiperventilasi Hiperkapnia ( pe PCO2 ) menunjukkan gagal ventilasi Alkalosis respiratori ( pH > 7,45 ) pada tahap dini Asidosis respiratori / metabolik terjadi pada tahap lanjut b. Leukositosis (pada sepsis), anemia, trombositopenia (refleksi

implamasi sistemik dan injuri endotel), peningkatan kadar amilase (pada pankreatitis) c. Gangguan fungsi ginjal dan hati, tanda koagulasi intravaskular diseminata (sebagai bagian dari MODS/ multiple organ disfunction syndrome) d. Katerisasi arteri pulmonalis membantu mengidentifikasi penyebab edema paru. e. Foto dada: tahap awal: sedikit normal, infiltrasi pada perihilir paru tahap lanjut: interstisial bilateral difus pada paru, infiltrat di alveoli f. CT scan: pola heterogen, predominasi infiltrat pada area dorsal paru (foto sufine). g. Analisis sputum yang meliputi pewarnaan gram dan pemeriksaan kultur serta sensitivitas menunjukkan mikroorganisme penyebab infeksi. h. Pemeriksaan kultur darah menunjukkan mikroorganisme penyebab infeksi.Pemeriksaan pemakaian obat. skrining toksikologi dapat menemukan

i.

Pemeriksaan kadar amylase serum dapat menyingkirkan kemungkinan pancreatitis.

8. Penatalaksanaan a. b. c. d. e. Mengidentifikasi dan mengatasi penyebab, Memastikan ventilasi yang adekuat, Memberikan dukungan sirkulasi, Memastikan volume cairan yang adekuat, Memberikan dukungan nutrisi, tujuan terapi: Tidak ada terapi yang dapat menyembuhkan, umumnya bersifat suportif Terapi berfokus untuk memelihara oksigenasi dan perfusi jaringan yang adekuat Mencegah komplikasi nosokomial (kaitannya dengan infeksi)

Farmakologi Inhalasi NO2 dan vasodilator lain Kortikosteroid (masih kontroversial: no benefit, kecuali bagi yang inflamasi eosinofilik) Ketoconazole: inhibitor poten untuk sintesis tromboksan dan menghambat biosintesis leukotrienesmungkin bisa digunakan untuk mencegah ARDS. Obat-obatan golongan sedative atau penyekat neuromuscular

Non-farmakologi Ventilasi mekanispemberian oksigen dengan berbagai teknik pemberian, menggunakan ventilator, mengatur PEEP (positiveend expiratory pressure) Pembatasan cairan untuk mencegah bertambahnya edema intertistial dan edema paru. Pemberian surfaktan tidak dianjurkan secara rutin.

9. Komplikasi Komplikasi yang harus dipertimbangkan adalah: a. Paru: barotrauma (volutrauma), emboli paru (PE), fibrosis paru, ventilator-associated pneumonia (VAP). b. Gastrointestinal: pendarahan (ulkus), dysmotility, pneumoperitoneum, bakteri translokasi. c. d. e. Jantung: aritmia, infark disfungsi Ginjal: gagal ginjal akut (ARF), keseimbangan cairan positif. Mechanical: vaskular cedera, pneumotoraks (dengan menempatkan kateter arteri paru-paru), trakea cedera / stenosis (hasil intubasi dan / atau iritasi dengan endotracheal tabung. f. Nutritional: malnutrition (catabolic state), electrolyte deficiencGizi: gizi buruk (katabolik negara), kekurangan elektrolit

B. Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian Aktivitas / Istirahat Gejala Sirkulasi Gejala : riwayat adanya bedah jantung / bypass jantung paru, fenomena embolik (darah, udara, lemak). Tanda : tekanan darah: dapat normal atau meningkat pada awal (berlanjut menjadi hipoksia), hipotensi terjadi pada tahap lanjut (syok) atau dapat faktor pencetus seperti pada eklampsia frekuensi jantung: takikardi biasanya ada bunyi jantung: normal pada tahap dini, disritmia dapat terjadi, tetapi EKG normal. kulit dan membrane mukosa: pucat, dingin, sianosis biasanya terjadi (tahap lanjut). : kekurangan energi, insomnia

Integritas Ego Gejala : Tanda : mental. ketakutan, ancaman perasaan takut gelisah, agitasi, gementar, mudah terangsang, perubahan.

Makanan / Cairan Gejala : Tanda : usus. kehilangan selera makan, mual edema, perubahan berat bada, hilang/berkurangnya bunyi

Neurosensori Gejala : Tanda : adanya trauma kepala mental lamban, disfungsi motor

Pernafasan Gejala : adanya aspirasi/tenggelam, inhalasi asap/gas, infeksi difus paru (timbul tiba-tiba/bertahap), kesulitan nafas, lapar udara. Tanda : pernafasan: cepat, mendengkur, dangkal, peningkatan kerja nafas, penggunaan otot aksesori, pelebaran nasal,

memerlukan oksigen konsentrasi tinggi. bunyi nafas: krekels, ronki, dan bronkial. perkusi dada: bunyi pekak di atas area konsolidasi. Ekspansi dada menurun atau tak sama; peningkatan fremitus; sputum sedikit atau berbusa; pucat atau sianosis; serta penurunan mental, bingung. Keamanan Gejala darah. Seksualitas Gejala/tanda: kehamilan dengan adanya komplikasi eklampsia. : riwayat trauma ortopedi/fraktur, sepsis, tranfusi

2. Diagnosa keperawatan

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan meningkatnya tahanan jalan nafas (edema interstisisial). b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kehilangan surfaktan yang menyebabkan kolaps alveoli c. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran balik vena, dan penurunan curah jantung. d. Ansietas berhubung dengan proses perpajanan penyakit

3. Intervensi Keperawatan a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan meningkatnya tahanan jalan nafas (edema interstisisial). Kemungkinan dibuktikan oleh: Laporan dipsnea, perubahan kedalaman atau frekuensi pernapasan, penggunaan otot aksesori untuk bernafas, batuk (efektif/tidak efektif) dengan atau tanpa produksi sputum, ansietas atau gelisah. Hasil yang diharapkan: menyatakan/menunjukkan hilangnya dispnea mempertahan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih/tak ada ronkhi mengeluarkan sekret tanpa kesulitan. Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki/mempertahankan bersihan jalan napas. Intervensi mandiri Catat perubahan upaya dan pola bernapas R/ Observasi penurunan ekspansi dinding dada dan

adanya/peningkatan fremitus R/ Catat karakteristik batuk (menetap, efektif/tak efektif) juga produksi sputum R/

Pertahanan posisi tubuh/kepala tepat dan gunakan alat jalan napas sesuai kebutuhan R/ Bantu dengan batuk/napas dalam, ubah posisi dan

penghisapansesuai indikasi R/

Intervensi kolaborasi Berikan oksigen lembab, cairan IV, berikan kelembaban ruangan yang tepat R/ Berikan terapi aerosol, nebuliser ultrasonik R/ Bantu dengan berikan fisioterapi dada, contoh drainase postural; perkusi dada/vibrasi sesuai indikasi R/ Berikan bronkodilator, contoh aminofilin, albuterol (proventil); isoetarin (bronkosol) dan agen mukolitik, contoh asetikiestein (mucomyst); guaifenesin (Robitussin) R/

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kehilangan surfaktan yang menyebabkan kolaps alveoli Ditandai dengan: takipnea, penggunaan otot aksesori, sianosis, perubahan GDA Hasil yang diharapkan: Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distres pernapasan. Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam

kemampuan/situasi. Intervensi mandiri

c. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran balik vena dan penurunan curah jantung Ditandai dengan: sianosis, perubahan GDA. d. Ansietas berhubungan dengan proses perpajanan penyakit Ditandai dengan: gelisah, respon verbal yang takut

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Keperawatan Medical Bedah Pendekatan Sistem Pernapasan. Edisi 8. Jakarta : EGC. Doengoes, E. Marilyn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC Price, Sylvia, Wilson. 2006. Potofisiologi Konsep Klinis Proses proses Penyakit. Jakarta : EGC

Das könnte Ihnen auch gefallen