Sie sind auf Seite 1von 26

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi para dokter. Jenis yang berat memperlihatkan morbiditas dan derajat cacat yang relatif tinggi dibanding dengan cedera oleh sebab lain. Biaya yang dibutuhkan dalam penanganannya tinggi. Luka bakar karena api atau akibat tak langsung dari api misalnya tersiram air panas banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga (De Jong, 1997). Kelompok terbesar dengan kasus luka bakar adalah anak-anak kelompok usia di bawah 6 tahun, bahkan sebagian besar berusia kurang dari 2 tahun. Lebih dari 80% luka bakar pada anak balita merupakan cedera lepuh. Luka ini dapat terjadi bila anak tersebut tidak terurus dengan baik, atau kurangnya pengawasan orang tua terhadap anaknya. Puncak insidens kedua adalah luka bakar akibat kerja, yaitu pada usia 25-35 tahun. Pada pasien lanjut usia dengan luka bakar cukup kecil, tetapi kelompok ini membutuhkan perawatan pada fasilitas khusus luka bakar. Luka bakar selain dapat menyebabkan kematian juga dapat menimbulkan akibat lain yang berkaitan dengan problem fungsi maupun estetik. Prognosis dan penanganan luka bakar tidak hanya tergantung pada kedalaman dan luas luka bakar, letak daerah yang terbakar, usia, dan keadaan kesehatan penderita, tetapi juga ditentukan oleh penanganan sejak awal hingga penyembuhan. Pada fase awal dapat terjadi gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan elektrolit yang dapat berlanjut menjadi syok beserta akibat-akibatnya. Pada fase sub akut dapat timbul masalah inflamasi, infeksi, maupun sepsis. Pada fase lanjut dapat muncul masalah kontraktur, jaringan parut dan deformitas jaringan/ organ. Oleh karena itu, diperlukan adanya pemahaman proses penyakit secara keseluruhan sehingga

dapat dilakukan penatalaksanaan yang tepat untuk menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas akibat luka bakar. (Schwartz, 2000)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Luka bakar (combustio) adalah luka yang disebabkan oleh kontak dengan suhu tinggi seperti api, air panas, listrik, bahan kimia, dan radiasi; juga oleh sebab kontak dengan suhu rendah (frost-bite). (Mansjoer, 2000)

B. Struktur dan Fungsi Kulit Kulit yang merupakan pelindung tubuh, beragam luas dan tebalnya. Luas kulit orang dewasa adalah 0,5 2 m2. Tebalnya antara 1,5 5 mm tergantung dari letak, umur, jenis kelamin, suhu, dan keadaan gizi. Kulit paling tipis di kelopak mata, penis, labium minor, dan bagian medial lengan atas. Sedangkan kulit tebal terdapat di telapak tangan dan kaki, punggung, bahu dan bokong. (De jong, 2000) Secara anatomis kulit tersusun atas 3 lapisan yang merupakan pokok dan alat-alat tambahan. Ketiga lapisan yang merupakan bangunan pokok terdiri dari : 1. Lapisan epidermis Lapisan epidermis merupakan lapisan yang paling tipis dengan tebal bervariasi dari 0,004 mm pada kelopak mata sampai 1,6 mm pada telapak tangan. Tebal rata-rata epidermis adalah 0,1 mm. Lapisan epidermis ini bersifat avaskuler, akan tetapi aktif bermetabolisme dan mendapatkan nutrisi dari dermis lewat celah-celah antar sel. Lapisan epidermis ini tersusun dari 4 jenis sel : a. Sel keratinosit Sel keratinosit merupakan bagian terbesar dari sel penyusun epidermis, sel-sel inilah yang menyusun epitel berlapis dengan kornifikasi. Fungsi terpenting dari sel ini adalah membentuk lapisan tanduk (stratum korneum) yang merupakan pelindung utama terhadap trauma-trauma mekanis, fisis, kimiawi, dan mikrobiologis. Menurut perubahan-perubahan yang terjadi dari sel-sel keratinosit ini selama proses keratinisasi, epidermis

dapat dibagi menjadi beberapa jenis yang dari dalam ke permukaan terdiri dari : 1) stratum basale 2) stratum spinosum 3) stratum granulosum 4) stratum lusidum 5) stratum korneum Proses keratinisasi meliputi seluruh proses perubahan keratinosit menjadi stratum korneum, termasuk didalamnya pembentukan matriks dan protein fibous pada epidermis, rambut dan kuku. Sel-sel pada stratum basale aktif mengadakan mitosis, kemudian anak sel yang baru ini akan terdorong ke atas dan membentuk stratum spinosum atau stratum malphigi dan selanjutnya sampai menjadi stratum korneum. Keratinisasi berlangsung kira-kira 2 minggu (14 hari). b. c. d. 2. sel melanosit (sel pembentuk pigmen) sel langerhans (sel penyaji antigen) sel merkel (reseptor raba yang lambat)

Lapisan dermis Lapisan dermis merupakan jaringan ikat dengan tebal antara 1- 4 mm.

Lapisan dermis paling tebal dapat dijumpai pada punggung dan paling tipis pada palpebra. Hubungan antara dermis dan epidermis tidaklah sebagai bidang rata, tetapi berbentuk gelombang. Bagian dari dermis yang menonjol ke epidermis dinamakan papila. Bagian bawah dari dermis papiler dinamakan dermis retikuler yang mengandung vasa darah dan limfe, serabut syaraf, adnexa dan lainnya. Dermis tersusun dari beberapa unsur yang meliputi unsur seluler, fibrous, substansi dasar, pembuluh darah dan limfe, dan sistem syaraf. Unsur seluler terdiri dari fibroblast, sel mast, makrofag, leukosit yang banyak pada stratum papilare. Unsur fibrous terdiri dari kolagen, elastin dan retikulin. Substansi dasar tersusun dari mukopolisakarida (asam hialuronat dan dermatan sulfat) yang mampu menahan sejumlah air. Pembuluh darah dalam kulit terdiri dari 2 plexus, plexus superfisialis (kapiler, endarteriole, venula) yang memberi makan ke papila dan

plexus profunda yang lebih besar, di bagian bawah dermis. Pada kulit yang masih normal, darah yang sampai kulit merupakan 10 % dari seluruh peredaran darah dalam tubuh. Ada 3 macam serabut syaraf pada kulit, yaitu serabut adrenergik (menginervasi pembuluh darah untuk vasokonstriksi, inervasi m. erector papilare untuk kontraksi, inervasi kelenjar apokrin untuk mengatur sekresi), serabut kolinergik (menginervasi kelenjar ekrin), serabut sensorik untuk menerima rangsangan dari luar (meissner untuk sentuhan, paccini untuk tekanan, akhiran syaraf bebas terutama pada papila dermis dan sekitar folikel rambut untuk panas, dingin, nyeri dan gatal). 3. subcutis Subcutis terdiri atas lobulus jaringan lemak yang dipisahkan oleh septa yang terdiri atas jaringan ikat kolagen dan pembuluh darah. Lapisan ini berfungsi untuk melindungi tubuh dari trauma mekanis dan dingin, disamping untuk cadangan energi. Alat-alat tambahan juga terdapat pada kulit antara lain kuku, rambut, kelenjar sebacea, apokrin dan kelenjar ekrin. Organ tambahan (apendiks) kulitpun berbeda menurut tempatnya. Kelenjar sebacea paling banyak terdapat di muka tetapi tidak di telapak kaki atau tangan, sementara kelenjar keringat terdapat di seluruh tubuh. Asam laktat dalam keringat dan asam amino hasil keratinisasi mempertahankan keasaman permukaan kulit antara 4-6 sehingga pertumbuhan bakteri terhambat. Namun, beberapa jenis stapilokokus dan streptokokus hidup komensal di kulit. Bakteri tersebut di lapisan keratin, muara rambut serta kelenjar sebacea. Selain sebagai pelindung terhadap cedera fisik, kekeringan, zat kimia, kuman penyakit dan radiasi, kulit juga berfungsi sebagai pengindra, pengatur suhu tubuh dan ikut mengatur peredaran darah. Pengaturan suhu dimungkinkan oleh adanya jaringan kapiler yang luas di dermis (vasodilatasi dan vasokonstriksi), adanya lemak subkutan dan kelenjar keringat. Keringat yang menguap di kulit akan melepaskan panas tubuh yang dibawa ke permukaan oleh kapiler. Berkeringat ini juga menyebabkan tubuh kehilangan air, disebut insensible water loss, yang dapat mencapai beberapa liter sehari. Faal perasa dan peraba dijalankan

oleh ujung syaraf sensoris Vater-Pacini, Meissner, Krause, dan Ruffini yang terdapat di dermis. (De jong, 2000)

C. Kedalaman Luka Bakar Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tingginya suhu dan lamanya pajanan suhu tinggi. Selain api yang langsung menjilat tubuh, baju yang ikut terbakar juga memperdalam luka bakar. 1. Derajat I (luka bakar superfisial) Luka bakar hanya terbatas pada lapisan epidermis. Luka bakar derajat ini ditandai dengan kemerahan, nyeri atau hipersensitivitas setempat, yang biasanya akan sembuh tanpa jaringan parut dalam waktu 5-7 hari. Misalnya tersengat matahari. 2. Derajat II (luka bakar dermis) Luka bakar derajat dua mencapai kedalaman dermis tetapi masih ada elemen epitel yang tersisa, seperti sel basal, kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan folikel rambut. Dengan adanya sisa epitel yang sehat ini, luka akan sembuh sendiri dalam 10-21 hari. Oleh karena kerusakan kapiler dan ujung syaraf di dermis, luka derajat ini tampak lebih pucat dan lebih nyeri dibandingkan luka bakar superfisial, karena adanya iritasi ujung syaraf sensorik. Juga timbul bula berisi cairan eksudat yang keluar dari pembuluih darah karena permeabilitas dindingnya meninggi. Luka bakar derajat dua dibedakan menjadi : a. Derajat II dangkal, di mana kerusakan mengenai bagian superfisial dari dermis dan penyembuhan terjadi spontan dalam 10-14 hari. b. Derajat II dalam, di mana kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis. Bila kerusakan lebih dalam mengenai dermis, subyektif dirasakan nyeri. Penyembuhan terjadi lebih lama tergantung bagian dari dermis yang memiliki kemampuan reproduksi sel-sel kulit (biji epitel, stratum germinativum, kelenjar keringat, kelenjar sebacea, dsb) yang tersisa. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari 1 bulan.

3. Derajat III Luka bakar derajat III meliputi seluruh kedalaman kulit, mungkin subkutis, atau organ yang lebih dalam. Oleh karena tidak ada lagi elemen epitel hidup yang memungkinkan penyembuhan dari dasar luka, maka untuk mendapatkan kesembuhan harus dilakukan cangkok kulit. Koagulasi protein yang terjadi memberikan gambaran luka bakar berwarna keputihan, pucat abu-abu gelap atau hitam, dengan permukaan lebih rendah dari jaringan sekeliling yang masih sehat, tidak ada bula, dan tidak nyeri. Diagnosis banding antara luka bakar derajat II dan III kadang sukar ditentukan. Diagnosis banding ditentukan dengan uji tusuk jarum. Uji dilakukan dengan menusukkan ujung jarum steril yang tajam dan yang tumpul pada penderita yang sadar. Penderita diminta membedakan mana yang tajam dan mana yang tumpul. Pada luka bakar derajat II, regenerasi epitel dari sisa kelenjar keringat atau sel epitel lain dari dasar luka bakar kelihatan sebagai bintik setelah dua minggu. Bintik itu berwarna kelabu pada orang kulit gelap atau hitam, dan merah pada orang kulit putih. (Mansjoer, 2000 & De jong, 2000)

D. Luas Luka Bakar Luas luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Perhitungan luas luka bakar untuk orang dewasa antara lain berdasarkan rule of nine dari Wallace, yaitu : Kepala dan leher : 9 % Ekstremitas atas : 2 x 9 % (kiri dan kanan) Paha dan betis kaki : 4 x 9 % (kiri dan kanan) Dada, perut, punggung, bokong : 4 x 9 % Perineum dan genital : 1 % Rumus tersebut tidak digunakan pada anak dan bayi karena luas relatif permukaan kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Oleh karena itu, digunakan rumus 10 untuk bayi dan rumus 10-15-20 dari Lund dan Browder untuk anak. Untuk anak, kepala dan leher 15 %, badan depan

dan belakang masing-masing 20 %, ekstremitas atas kanan dan kiri masingmasing 10 %, ekstremitas bawah kanan dan kiri masing-masing 15 % . Dasar presentasi yang digunakan dalam rumus-rumus tersebut di atas adalah luas telapak tangan dianggap 1 %. (Mansjoer, 2000 & De jong, 2000)

E. Klasifikasi luka bakar 1. Berat/kritis bila: Derajat II dengan luas lebih dari 25 % Derajat III dengan luas lebih dari 10 %, atau terdapat pada muka, kaki, dan tangan Luka bakar disertai trauma jalan nafas atau jaringan lunak luas, atau fraktur Luka bakar akibat listrik 2. Sedang bila: Derajat II dengan luas 15-25 % Derajat III dengan luas kurang dari 10 %, kecuali muka, tangan dan kaki 3. Ringan bila: Derajat II dengasn luas kurang dari 15 % Derajat III kurang dari 2 % (Mansjoer, 2000)

F. Patofisiologi Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan. Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi akan rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan udem dan menimbulkan bula dengan membawa serta elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan tambahan karena penguapan yang berlebihan, cairan masuk ke bula yang terbentuk pada luka bakar derajat II, dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat III. bila luas luka bakar kurang dari 20 %, biasanya mekanisme

kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya tetapi bila di atas 20 % akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala yang khas seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun dan produksi urin berkurang. Syok dapat menimbulkan asidosis, nekrosis tubuler akut, dan disfungsi serebral. Kondisi-kondisi ini dapat dijumpai pada fase awal/akut/syok yang biasanya berlangsung sampai 72 jam pertama. Pembengkakan terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah 8 jam. Pada kebakaran di ruang tertutup atau luka pada muka, dapat terjadi kerusakan mukosa jalan nafas karena gas, asap, atau uap panas yang terisap. Udem yang terjadi dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas karena udem laring. Gejala yang timbul adalah sesak nafas, takipneu, stridor, suara serak, dan dahak berwarna gelap karena jelaga. Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lain. Karbon monooksida akan mengikat hemoglobin dengan kuat sehingga hemoglobin tak mampu lagi mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan adalah lemas, bingung, pusing, mual, dan muntah. Pada keracunan berat dapat terjadi koma. Bila lebih dari 60 % hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal. Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi dan penyerapan cairan edema kembali ke pembuluh darah. Ini ditandai dengan peningkatan diuresis. Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami trombosis. Padahal pembuluh ini membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar selain berasal dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran nafas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Pada awalnya infeksi biasanya disebabkan oleh kuman gram positif yang berasal dari kulit sendiri atau dari saluran nafas, tetapi kemudian dapat terjadi invasi kuman gram negatif. Pseudomonas aeruginosa yang dapat menghasilkan eksotoksin protease dan toksin lain yang berbahaya, terkenal sangat agresif dalam

invasinya pada luka bakar. Infeksi pseudomonas dapat dilihat dari warna hijau pada kasa penutup luka bakar. Kuman memproduksi enzim penghancur keropeng yang bersamaan dengan eksudasi oleh jaringan granulasi membentuk nanah. Infeksi ringan dan noninvasif ditandai dengan keropeng yang mudah lepas dengan nanah yang banyak. Infeksi yang invasif ditandai dengan keropeng yang kering dengan perubahan jaringan di tepi keropeng yang mula-mula sehat menjadi nekrotik; akibatnya, luka bakar yang mula-mula derajat II menjadi derajat III. keadaan ini disebabkan oleh trombosis; kuman menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler di jaringan yang terbakar sehingga jaringan tersebut mati. Infeksi dapat berlanjut menjadi bakterimia yang dapat menyebabkan fokus infeksi di usus. Syok septik dan kematian dapat terjadi karena toksin kuman yang menyebar di darah. Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat sembuh dengan meninggalkan cacat berupa parut. Akibat luka bakar derajat II yang dalam mungkin terjadi parut hipertrofik yang nyeri, gatal, kaku, dan secara estetik sangat jelek. Luka bakar derajat III yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami kontraktur. Bila ini terjadi di persendian, maka fungsi sendi dapat berkurang atau hilang. Pada luka bakar berat dapat terjadi ileus paralitik. Pada fase akut, peristaltik menurun atau berhenti karena syok, sedangkan pada fase mobilisasi, peristaltik dapat menurun karena kekurangan ion kalium. Stress atau beban faali yang terjadi pada penderita luka bakar dapat menyebabkan terjadinya tukak di mukosa lambung atau duodenum dengan gejala yang sama dengan gejala tukak peptik. Kelainan ini dikenal sebagai tukak Curling. Yang dikhawatirkan pada tukak curling ini adalah penyulit perdarahan yang tampil sebagai hematemesis dan/atau melena. Fase permulaan luka bakar adalah fase katabolisme, sehingga keseimbangan protein menjadi negatif. Protein tubuh banyak hilang karena eksudasi, metabolisme tinggi, dan infeksi. Penguapan berlebihan dari kulit yang rusak juga memerlukan kalori tambahan. Tenaga yang diperlukan tubuh pada fase ini terutama didapat dari pembakaran protein dari otot skelet. Oleh karena itu penderita menjadi sangat kurus, otot mengecil dan berat badan menurun. Dengan

demikian korban luka bakar menderita penyakit berat yang disebut penyakit luka bakar. Bila luka bakar menyebabkan cacat, terutama bila luka mengenai wajah sehingga rusak berat, penderita mungkin mengalami beban kejiwaan berat. Jadi prognosis luka bakar terutama ditentukan oleh luasnya luka bakar. (Mansjoer, 2000 & De jong, 2000)

G. Fase Luka Bakar 1. Fase awal/ akut/ shock Terjadi gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan elektrolit. 2. Fase setelah shock berakhir/ diatasi/ sub akut Bila ada luka terbuka dapat terjadi masalah inflamasi, infeksi yang dapat menimbulkan sepsis dan penguapan cairan dan panas tubuh. (evaporatif heat loss) 3. Fase lanjut Periode penutupan luka sampai maturasi. Masalah yang mungkin timbul berupa kontraktur, jaringan parut dan deformitas jaringan/ organ.

H. Penatalaksanaan Tiga hal yang sangat penting pada penanganan luka bakar, yaitu: (1) Burn Shock Timbul dalam 48 jam: merupakan suatu jenis yang berbeda dari shock hemorhagik/ neurologik. Pengertian burn shock sendiri sebenarnya masih kabur dan belum pasti, aspek-aspek penting dalam burn shock: a) Hipokalemia b) Kekurangan elektrolit dan protein c) Nyeri (2) Infeksi Dalam fase kedua ini ada bahaya-bahaya berupa: Bila proses supuratif berlangsung untuk beberapa waktu lamanya, ditakuti terjadi amiloidosis. Osteoforosis karena alat-alat tidak dipakai.

10

Stase urin yang dapat menimbulkan batu-batu dalam traktus urinarius. Dekat akhir fase burn shock dapat timbul curlings ulcers (lambung, duodenum, dan jejenum)

(3) Rehabilitasi Seringkali luka bakar meninggalkan kontraktur yang kadang-kadang hebat sekali, sehingga penting sekali tindakan rehabilitasi. Bertujuan untuk mengembalikan bentuk dan fungsi. Luka bakar yang perlu rehabilitasi terutama luka bakar yang terdapat di daerah persendian. Dilakukan seawal mungkin untuk mencegah timbulnya kontraktur Terapi posisi

(Schwart, 2000) Prinsip Terapi pada luka bakar Menghentikan sumber pajanan panas Membuka baju Menutupi bagian yang terbakar Rawat luka Mendinginkan dan membersihakan luka pada satu jam pertama Menyirami luka dengan air mengalir selama minimal 15 menit Pemberian antiseptik dan antibiotik topikal Antiseptik biasanya digunakan betadine atau nitras-argenti 0,5% setiap 2 jam Antibiotik topikal bentuk yang digunakan biasanya berbentuk larutan, salep atau krim (Zilfer Sulfadizin 1%) dioleskan tanpa pembalut dan dapat dibersihkan dan diganti tiap hari Menentukan luas dan dalamnya luka bakar Berdasarkan luas dan dalamnya luka bakar maka dilanjutkan dengan pemberian terapi cairannya. Pemberian Terapi Cairan Menurut Karakata, S dan Bachsinar, B.,1996, cara pemberian cairan pada luka bakar sebagai berikut:

11

1. Formula EVANS Dalam 24 jam I. Berikan : NaCl 0.9% Koloid Dekstrosa 5% : 1 x BB x % luka bakar. : 1 x BB x % luka bakar. : 2000 ml (untuk penggantian Insensible water loss).

Dalam 8 jam pertama, jumlah cairan yang diberikan sebesar setengah dari kebutuhan total. Dalam 16 jam kedua, diberikan sisa kebutuhan total. Dalam 24 jam II. Berikan : NaCl 0.9% Koloid Dekstrosa 5% : 1 x BB x % luka bakar. : 1 x BB x % luka bakar. : 2000 ml (untuk penggantian Insensible water loss).

Cairan diberikan dalam tetes merata. Cara menghitung tetes, dipakai rumus :

g = Keterangan

P Qx3 : g = jumlah tetes per menit p = jumlah cairan dalam cc Q = jam yang diperkirakan BB = berat badan penderita (dalam kg). IWL = (Insensible water lost) adalah kehilangan setiap hari yang tidak kita

sadari. Kehilangan air dengan cara ini berlangsung lewat keringat dan pernapasan. Rata-rata IWL pada orang dewasa 2000 cc/hari. Pada pemberian cairan yang tepat, akan dicapai produksi urin 50 cc/jam. Pada anak-anak, pemberian Dekstrosa 5% sebagai pengganti IWL berdasarkan berat badannya. Untuk berat badan <10 kg penggantian IWL sebesar 100 ml/kgBB, berat badan 10-20 kg: 50 ml/kgBB, dan berat badan >20 kg: 25 ml/kgBB

12

2. Formula BROOKE Dalam 24 jam I. Berikan : Koloid Ringer laktat Dekstrosa 5% 24 jam II. Berikan : Koloid Ringer laktat Dekstrosa 5% : 0,25 x BB x % luka bakar. : 0,75 x BB x % luka bakar. : 2000 ml : 0,5 x BB x % luka bakar. : 1,5 x BB x % luka bakar. : 2000 ml

3. Formula BAXTER (1971) Paling banyak saat ini, praktis dan mudah. Pada cara ini hanya diberikan cairan Ringer laktat. Dalam 24 jam I. Berikan : Ringer laktat : 4 x BB x % luka bakar.

Setengah dari jumlah kebutuhan cairan total diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Dalam 24 jam II. Berikan : Ringer laktat : 4 x BB x % luka bakar.

Kebutuhan total cairan pada hari kedua sama dengan hari pertama, hanya cara pemberiannya berbeda. Pada hari kedua cairan diberikan sedemikian rupa, sehingga produksi urin sekitar 50-100 ml/jam. Jumlah cairan dan elektrolit yang diberikan dalam 48 jam pertama (24 jam I + 24 jam II) tidak banyak berbeda antara formula satu dengan lainnya. Miliekivalen Natrium rata-rata normal sekitar 0,5-0,6 mEq/kgBB/%luka bakar. Jumlah Produksi Urin Normal Penting diketahui sebagai acuan untuk mengetahui apakah pengobatan cairan memadai atau tidak.

13

Produksi Urin Normal Berat / usia Bayi ( < 1 tahun) <3 kg 4 5 kg (0-3 bulan) 4 7 kg (4-6 bulan) 8 9 kg (7-12 bulan) Anak (> 1 tahun) 1 5 tahun 6 10 tahun 11 12 tahun 13 15 tahun > 15 tahun Dewasa Produksi urin 8 10 ml/jam 10 15 ml/jam 15 20 ml/jam 20 25 ml/jam 20 25 ml/jam 25 30 ml/jam 30 40 ml/jam 40 50 ml/jam 50 100 ml/jam > 50 ml/jam

Sumber: Karakata, S dan Bachsinar, B.,1996 Medika Mentosa Luka Bakar (1) Hari Pertama Pemberian Analgetik Analgetik yang baik adalah dari jenis morfin Pemberian ATS Biasanya diulangi tetapi jangan lewat setelah 12 hari karena dalam waktu 14 hari tubuh sudah membentuk antibodi terhadap kuman tersebut, sehingga penyuntikan ATS dapat menyebabkan timbulnya reaksi serum. Untuk profilaksis diberikan dalam bentuk toksoid. Untuk memperoleh kekebalan yang cukup, diberikan sebagai berikut: Mula-mula toksoid dan ATS Sepuluh hari kemudian toksoid Diulang lagi toksoid Antasida Diberikan untuk pencegahan timbulnya curlings ulcers (lambung, duodenum dan jejenum) yang dapat timbul dekat akhir fase burn shock. Perawatan lukanya sendiri dapat dilakukan dengan 2 macam cara yaitu

14

Cara dibalut (occlusive dresing). Kerugiannya yaitu bila terjadi infeksi pada luka diketahui lambat/ tidak segera. Cara terbuka Luka dibiarkan terbuka sehingga terkena udara (exposed to air), untuk mencegah infeksi dibaringkan pada tempat tidur yang baik dan bersih dan diberi kelambu yang bersih juga. Bula yang utuh dibiarkan tetapi bulla yang sudah pecah dibuka sama sekali karena lipatan kulit disudut bulla merupakan tempat yang baik sekali bagi kuman-kuman. Apabila luka-luka kotor maka dibersihkan dengan hati-hati (jangan digosok keras-keras) dan bila pembresihan luka memberikan rasa yang amat sakit dilakukan dengan narkose. Keuntungan cara terbuka dengan cara tertutup adalah: Luka tidak sembab (kering) Tidak ada jaringan granulasi yang berlebihan Bila infeksi segera terlihat Kemungkinan infeksi memang lebih besar, karena itu penting sekali perawatan yang bersih dan dijaga jangan sampai timbul sepsis (Schwart, 2000) (2) Hari Kedua Pemberian antibiotik sistemik Pada hari kedua permeabilitas pembuluh darah mulai membaik dan terjadi mobilitas dan penyerapan cairan edema ke pembuluh darah ini ditandai dengan meningkatnya diuresis. Evaluasi luka bakar Diuresis, minimal 30 cc/ jam, kecuali untuk penderita gagal ginjal, diabetes melitus dan gagal jantung diuresis 15 cc/ jam sudah dianggap cukup Fisioterapi Fisioterapi adalah terapi fisik yang meliputi pergerakan-pergerakan normal suatu ekstremitas, fisioterapi terutama dilakukan bila luka bakar mengenai daerah persendian, tujuan dari fisioterapi segera dan aktif ini 15

adalah untuk mencegah terjadinya kontraktur, fisioterapi meliputi gerakangerakan normal yang dilakukan oleh persendian yang permukannya terkena luka maka dilaksanakan semaksimal mungkin dan dilakukan secara bertahap sehingga morbiditas penderita dapat dikurangi. Skin Grafting Sesudah timbul jaringan granulasi pada luka-luka bakar dilakukan skin grafting, terutama bila luka bakarnya luas dan tidak adanya pulaupulau epitel (sisanya folikel rambut). Kadang-kadang dalam stadium awal sudah dilakukan skin grafting, yaitu luka-luka bakar ditutupi dengan kulit kemudian dibalut dengan maksud agar tidak terjadi kehilangan cairan yang terlalu banyak melalui luka-luka bakar tersebut. Tetapi lebih dianjurkan, dibiarkan luka dirawat terbuka dulu baru kemudian dilihat apakah perlu dilakukan grafting. Nutrisi Minuman a) Segera setelah peristaltik normal b) Sebanyak 25 ml/Kg/BB/ hari c) Sampai diuresis minimal 30 ml/ jam Makanan a) Segera setelah dapat minum tanpa kesulitan b) Sedapat mungkin 2.500 3.000 kalori/ hari c) Sedapat munkin mengandung 100-150 gram protein/ hari Suplemen Vitamin A, B dan D Vitamin C 500 mg (Schwart, 2000) Menurut teori, kandungan albumin yang tinggi bisa mempercepat kesembuhan luka operasi dan luka bakar. Albumin juga berperan mengikat obatobatan yang tidak mudah larut, seperti aspirin, antikoagulan koumarin, dan obat tidur. Selain mengobati luka bakar dan luka pascaoperasi, albumin bisa digunakan

16

untuk menghindari timbulnya sembap paru-paru dan ginjal, serta carrier faktor pembekuan darah (Pamuji, H dan Hidayat, R., 2003). Menurut Eddy Suprayitno selaku guru besar ilmu biokimia difakultas perikanan, Universitas Brawijaya yang menemukan kadar albumin cukup tinggi dalam kandungan ekstrak ikan gabus. Dengan meminum ekstrak ikan gabus, pasien hanya membutuhkan 24 kilogram ikan gabus untuk menyembuhkan luka operasi atau luka bakar. Malah, menurut Eddy, luka dapat sembuh tiga hari lebih cepat ketimbang menggunakan serum albumin. Hal ini Eddy terinspirasi dari orang-orang Cina yang mengobati luka bakar dengan memakan ikan gabus (Pamuji, H dan Hidayat, R., 2003). Pemeriksaan Laboratorium a) Pemeriksaan darah lengkap. b) Pemeriksan kadar elektrolit darah. c) Konsentrasi gas darah dan karboksihemoglobin. d) Pemeriksaan penyaringan terhadap obat-obatan, antara lain etanol. e) Penilaian terhadap status mental pasien dan antisipasi terhadap gejala-gejala putus obat. f) Rontgen dada dan radiografi seluruh vertebra (Schwart, 2000) Evaluasi penderita luka bakar a) Pengukuran tensi, nadi dan frekuensi nafas. b) Pemasangan kateter buli-buli untuk mengukur produksi urine per 24 jam. c) Pemasangan kateter pengukuran tekanan vena. d) Pemeriksaan Hemoglobin dan hematokrit. e) Analisis kadar elektrolit darah. Prognosis luka bakar Prognosis luka bakar ditentukan oleh: Dalamnya/ stadium luka bakar Luas luka bakar Bagian tubuh yang terbakar dan penyebab luka bakar Ada tidaknya kelainan lain yang menyertai

17

Cara perawatan (Schwart, 2000) Prognosis luka bakar adalah: 1) Prognosis baik Derajat I Derajat II Dewasa 15%-30% Anak 10%-20% Derajat III 2%-10% Tanpa komplikasi lain Mobiliassi segera dan aktif 2) Luka bakar tidak pada tangan, muka, kaki, mata telinga dan anogenital Prognosis Jelek Derajat II Dewasa > 30% Anak > 20% Derajat III > 10% Luka bakar pada tangan, muka, kaki, mata, telinga, dan anogenital. Disertai komplikasi Luka bakar akibat tersengat listrik Cara perawatan yang memenuhi prinsip sentralisasi dan melakukan fisioterapi secara aktif dan bertahap sangat mempengaruhi prognosis luka bakar.

I. Indikasi Rawat Inap Penderita syok atau terancam syok bila luas luka bakar > 10 % pada anak atau > 15 % pada orang dewasa. Terancam udem laring akibat terhirupnya asap atau udara hangat. Letak luka memungkinkan penderita terancam cacat berat, seperti pada wajah, mata, tangan, kaki, atau perineum (Mansjoer, 2000)

18

J. Perawatan 1. Nutrisi diberikan cukup untuk menutupi kebutuhan kalori dan keseimbangan nitrogen yang negatif pada fase katabolisme yaitu sebanyak 2500-3000 kalori sehari dengan kadar protein tinggi. 2. Perawatan lokal dapat secara terbuka atau tertutup. 3. Antibiotik topikal diganti satu kali dalam satu hari, didahului hidroterapi untuk mengangkat sisa-sisa krim antibiotik sebelumnya. Bila kondisi luka sangat kotor atau dijumpai banyak krusta dan atau eksudat, pemberian dapat diulang sampai dengan 2-3 kali sehari. 4. Rehabilitasi termasuk latihan pernafasan dan pergerakan otot dan sendi. 5. Usahakan tak ada gangguan dalam penyembuhan; penyembuhan bisa dicapai secepatnya dengan : Perawatan luka bakar yang baik Penilaian segera daerah-daerah luka bakar derajat 3 atau 2 dalam. Kalau memungkinkan buang kulit yang non vital dan menambalnya secepat mungkin. 6. Usahakan mempertahankan fungsi sendi-sendi. Latihan gerakan atau bidai dalam posisi baik. 7. Aturlah proses maturasi sehingga tercapai tanpa proses kontraksi yang mengganggu fungsi. Bilamana luka bakar sembuh persekundum dalam 3 minggu atau lebih selalu ada kemungkinan timbul parut hipertrofi dan kemungkinan kontraktur pada waktu proses maturasi. Sebaiknya dipasang perban menekan, bidai yang sesuai dan anjuran untuk mangurangi edema dengan elevasi daerah yang bersangkutan. 8. Antibiotik sistemik spektrum luas diberikan untuk mencegah infeksi. Infeksi dapat ,memperburuk derajat luka bakar dan mempersulit penyembuhan. Yang banyak dipakai adalah golongan aminoglikosida yang efektif terhadap pseudomonas. 9. Suplementasi vitamin yang dapat diberikan yaitu vitamin A 10.000 unit per minggu, vitamin C 500 mg dan sulfas ferous 500 mg.

19

Tindakan bedah Eskarotomi dilakukan juga pada luka bakar derajat III yang melingkar pada ekstremitas atau tubuh. Hal ini dilakukan untuk sirkulasi bagian distal akibat pengerutan dan penjepitan dari eskar. Tanda dini penjepitan berupa nyeri, kemudian kehilangan daya rasa menjadi kebal pada ujung-ujung distal. Tindakan yang dilakukan yaitu membuat irisan memanjang yang membuka eskar sampai penjepitan bebas. Debridemen diusahan sedini mungkin untuk membuang jaringan mati dengan jalan eksisi tangensial. (Mansjoer, 2000)

K. luka bakar khusus 1. Trauma kimia Trauma akibat bahan kimia diperlakukan sebagai luka bakar karena samasama menimbulkan efek panas seperti luka bakar. Penatalaksanaan : Yang paling penting adalah penanganan harus segera dilakukan begitu terjadi trauma meliputi perawatan luka lokal dan perawatan sistemik untuk menunjang kesembuhan. Urutan tindakan yang harus dilakukan : Melepaskan pakaian dan irigasi dengan air dalam jumlah banyak. Pengenceran tersebut akan menghilangkan zat kimia dari tubuh sekaligus mengurangi reaksi antara zat kimia dengan jaringa tubuh. Irigasi dilanjutkan selama 2 jam pada trauma asam dan 12 jam pada trauma basa. Rehidrasi, karena trauma kimia dan luka bakar sama-sama menyebabkan keadaan hipovolemia. Catatan : Bahan kimia berupa asam/basa kuat menimbulkan reaksi tubuh, menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat dan penyembuhan yang lama, sehingga menimbulkan deformitas bagian tubuh yang terkena. Hal yang perlu dicatat pada pertolongan; jangan memberikan antidotum (asam diberikan basa atau

20

sebaliknya) karena akan menimbulkan reaksi yang akan memperberat kerusakan yang terjadi. (Mansjoer, 2000) 2. Trauma listrik Kerusakan akibat listrik pada struktur yang lebih dalam tergantung pada resistensi jaringan, dengan urutan paling resisten adalah berturut-turut tulang, lemak, tendon, kulit, otot, pembuuh darah, dan syaraf. Penatalaksanaan Lakukan ABC traumatologi Perhatikan khusus pada kelainan yang merupakan dampak aliran listrik pada tubuh, antara lain : o Ensefalopati o Kardiomiopati o Gagal ginjal akut o Rabdomiolisis Penatalaksaanaan lainnya sebagaimana penanganan luka bakar pada umumnya. Namun karena kerusakan jaringan yang terjadi pada luka bakar listrik memiliki kekhususan maka penanganan luka tidak terlalu agresif. Evaluasi status neurologis berulang selama masa penyembuhan, karena trauma listrik dapat disertai trauma tumpul dan trauma kepala. Terapi cairan. Kerusakan jaringan yang luas akan menyebabkan hilangnya cairan (hipovolemi) dan asidosis metabolik maka diperlukan cairan kristaloid untuk rehidrasi dan natrium bikarbonat sebanyak 200 400 mmol untuk mengoreksi asidosis. Komplikasi a. Neurologis Trauma listrik dengan arus rendah akan menyebabkan satu atu lebih gejala neurologis pada separuh kasus, sementara arus tinggi akan menyebabkan defisit neurologis pada dua pertiga kasus. Trauma susunan syaraf pusat Gejala bervariasi mulai dari gangguan kesadaran, kejang, penurunan daya ingat, kelabilan emosi, gangguan belajar, dan sakit kepala.

21

Trauma susunan syaraf tepi Hilangnya daya sensoris dan motoris, parestesi, paralisis, paresis, disestesia, causalgia, dan distrofi reflek simpatis. Separuh kasus dengan neuropati perifer tidak akan mencapai kesembuhan sempurna. b. Kerusakan pleura : efusi pleura dan pneumonitis. c. Trauma jantung, dapat terjadi aritmia namun tidak terlalu berbahaya pada pasien normal. d. Trauma abdomen dapat menyebabkan nekrosis dan perforasi saluran cerna. e. Mata, hanya terjadi perubahan jaringan pada arus yang lebih dari 100 volt, paling sering berupa kekeruhan lensa. (Mansjoer, 2000) Luka bakar listrik terjadi karena tubuh terkena aliran listrik. Luka bakar listrik sering menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih berat dari pada luka bakar yang terlihat pada permukaannya. Tubuh merupakan penghantar tenaga listrik, dan panas yang ditimbulkannya menyebabkan luka bakar pada tubuh. Perbedaan kecepatan hilangnya panas dari jaringan tubuh superfisial dengan jaringan tubuh yang lebih dalam, menghasilkan keadaan dimana jaringan yang lebih dalam akan bisa mengalami nekrosis, sedangkan kulit di atasnya relatif tampak normal. Rabdomiolisis menghasilkan pelepasan mioglobin yang dapat

menyebabkan kegagalan ginjal. Penanganan harus segera dilakukan pada penderita dengan luka bakar listrik meliputi perhatian pada jalan nafas, pernafasan, pemasangan infus, ECG, dan pemasangan kateter. Apabila urin berwarna gelap, mungkin urin mengandung hemokromogens. Janganlah menunggu konfirmasi laboratorium untuk melakukan terapi terhadap mioglobinuria. Pemberian cairan harus ditingkatkan sedemikian rupa sehingga tercapai produksi urin sekurang-kurangnya 100 cc/jam (pada penderita dewasa). Bila urin belum tampak jernih, berikan segera 25 gr manitol dan tambahkan 12,5 gr manitol pada tiap penambahan 1 liter cairan untuk mempertahankan diuresis sejumlah cairan tersebut. Bila terjadi asidosis metabolik, pertahankan perfusi sebaik mungkin dan berikan natrium

22

bikarbonat untuk membuat urin menjadi alkalis dan meningkatkan kelarutan mioglobin dalam urin. (American College of Surgeons, 1997) 3. Cedera suhu dingin Pada waktu suhu jaringan turun, akan terjadi vasokonstriksi arteriola sehingga sel mengalami hipoksia. Pada waktu jaringan dihangatkan kembali terjadi vasodilatasi. Akibat anoksia, permeabilitas dinding pembuluh darah meninggi sehingga timbul udem. Arus darah melambat sehingga berturut-turut terjadi stasis kapiler, aglutinasi trombosit, trombosis dan nekrosis jaringan. Kerusakan jaringan akibat langsung dari suhu dingin terjadi karena cairan sel mengkristal. Sel syaraf, pembuluh darah, dan otot lurik sangat peka terhadap suhu rendah, sedangkan kulit, fasia dan jaringan ikat lebih tahan. Dapat terjadi keadaan, kulit masih tampak sehat, tetapi otot di bawahnya mati. Beratnya kerusakan dibagi menjadi beberapa derajat. Derajat 1 ditemukan adanya hiperemia dan udem, seperti pada luka bakar derajat I. Pada derajat 2 terjadi nekrosis kulit sampai subkutis. Pada derajat 3 ditemukan nekrosis kulit dan subkutis; terdapat juga nyeri seperti pada luka bakar yang biasanya berlangsung sampai 5 minggu. Kemudian terbentuk keropeng yang berwarna hitam dan mengelupas. Luka ditangani seperti luka bakar derajat III. Pada derajat 4 terjadi kerusakan seluruh jaringan. Terjadi mumifikasi yaitu bagian tubuh tersebut berwarna hitam dan mengerut. Batas jaringan yang mati menjadi jelas, dan dalam waktu satu bulan tampak demarkasi bagian tubuh yang mati sehingga dapat dilakukan amputasi. Penatalaksanaannya yaitu semua baju yang ketat

dilonggarkan. Bagian yang sakit secara perlahan-lahan dihangatkan kembali dengan merendamnya dalam air suam-suam kuku (kira-kira 30o C) selanjutnya diberikan perawatan seperti pada luka bakar biasa. Fisioterapi sangat penting. (de jong, 2000) 4. luka radiasi dan ionisasi Radiasi adalah pancaran dan pemindahan energi melalui ruang dari suatu sumber ke tempat lain tanpa perantaraan massa atau kekuatan listrik. Energi ini dapat berupa radiasi elektromagnet seperti cahaya, sinar rontgen, sinar gama, dll. Luka bakar akibat radiasi dapat menyebabkan eritem ringan sementara yang

23

berlangsung 2-3 jam. Eritem ini menimbulkan rasa hangat dan terjadi pada kekuatan di atas 50 rad. Eritem yang menetap timbul setelah gejala ringan ini hilang, dan disebabkan oleh radiasi kekuatan sedang. Kerusakan subkutan serupa dengan luka bakar derajat III. Ujung syaraf, folikel rambut, kelenjar keringat, dan pembuluh darah halus hilang. Dosis 300-400 rad menyebabkan rambut rontok tiga minggu setelah pajanan. Pada dosis 700 rad terdapat epilasi permanen, sedangkan pada dosis kurang dari itu akar rambut akan tumbuh kembali. Sindrom radiasi akut merupakan gejala kerusakan organ yang sel-selnya cepat bermitosis, misalnya sistem hemopoietik dan mukosa usus. Tahap I ditandai dengan malaise, muntah, diare yang akut yang mungkin membaik sendiri. Tahap II disertai anemia, leukositopenia, dan trombositopenia mungkin masih membaik setelah beberapa minggu. Pada tahap III muncul lagi diare dan muntah berat sehingga tubuh kehilangan cairan dan elektrolit, juga terjadi perdarahan usus. Bila dosis radiasi lebih dari 50.000 rad, muncul gejala susunan syaraf pusat yaitu rasa terbakar, kesemutan, gelisah, koma dan akhirnya kematian dalam tiga hari akibat udem otak. Sindrom radiasi kronik terjadi karena radiasi sedang dalam waktu lama atau setelah akumulasi radiasi ringan. Tanda dan gejala berupa rasa kurang sehat kronik, depresi sumsum tulang, anemia, radiodermatitis, ulkus yang susah sembuh, kematian jaringan, dan keganasan terutama di sistem darah, payudara, tiroid, tulang, atau paru. (De Jong, 2000)

24

BAB IV KESIMPULAN

Luka bakar (combustio) adalah luka yang disebabkan oleh kontak dengan suhu tinggi seperti api, air panas, listrik, bahan kimia, dan radiasi; juga oleh sebab kontak dengan suhu rendah (frost-bite). Luka bakar selain dapat menyebabkan kematian juga dapat menimbulkan akibat lain yang berkaitan dengan problem fungsi maupun estetik. Prognosis dan penanganan luka bakar tidak hanya tergantung pada kedalaman dan luas luka bakar, letak daerah yang terbakar, usia, dan keadaan kesehatan penderita, tetapi juga ditentukan oleh penanganan sejak awal hingga penyembuhan. Pada fase awal dapat terjadi gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan elektrolit yang dapat berlanjut menjadi syok beserta akibat-akibatnya. Pada fase sub akut dapat timbul masalah inflamasi, infeksi, maupun sepsis. Pada fase lanjut dapat muncul masalah kontraktur, jaringan parut dan deformitas jaringan/ organ. Oleh karena itu, diperlukan adanya pemahaman proses penyakit secara keseluruhan sehingga

dapat dilakukan penatalaksanaan yang tepat untuk menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas akibat luka bakar

25

DAFTAR PUSTAKA

De Jong W., 1997, Luka bakar, dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah, bag.3, hal. 10581064, penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta Mansjoer, Arif, 2000, Bedah plastik,Luka bakar, dalam: Kapita Selekta Kedokteran ed.3 jilid ke-2, hal. 365-372, Media Aesculapsius FK UI, Jakarta Schwartz, 2000, Luka bakar, dalam: Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, ed. 6, hal. 97-145, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta American College of Surgeons, 1997, Trauma Termal, dalam : Advanced trauma Life Support for Doctors, hal. 299 318, Komisi Trauma IKABI, Jakarta.

26

Das könnte Ihnen auch gefallen