Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Dec 31 Posted by indonesiabiobutanol Berikut adalah sifat-sifat dari n-butanol. Densitas energi Rasio Udara/Bahan Bakar RON MON Titik beku Titik didih Massa jenis relatif Flash point Viskositas 25oC Viskositas kinematik at 20oC LHV/Lower Heating Value Energi Penguapan Kelarutan Autoignisi Kemurnian* Kandungan air* Keasaman* Aldehid* Oksigen *kriteria untuk produk bahan bakar Posted in Biobutanol Leave a Comment 29,1 MJ/L 11,1 96 78 -89 oC 117-118 oC 0,811 35oC 2,911 3,64 cSt 33,1 MJ/kg 0,43 MJ/kg 9 ml/100 ml H2O 343 oC 99.5% min 0,05% max 0,02 max (mg KOH/kg) 0,05% max 21,5 %
Mesin nonpremix (bensin) adalah mesin yang mencampurkan bahan bakar dan udara di dalam ruang pembakaran, berbeda dengan mesin premix (diesel) yang mencampurkannya sejak dalam tangki. Keunggulan utama dari mesin ini adalah tingkat keamanan yang lebih tinggi karena mengurangi resiko perambatan api ke dalam tangki. Bila beban transportasi tidak terlalu besar, mesin nonpremix lebih dipilih dibandingkan mesin premix. Mesin nonpremix menggunakan bahan bakar dengan karakteristik tertentu yang kita kenal dengan bilangan oktan. Kriteria bilangan oktan yang tinggi mengakibatkan tidak semua bahan bakar sesuai dengan mesin nonpremix (tidak sefleksibel mesin premix). Alkohol adalah bahan bakar terbarukan yang memiliki bilangan oktan tinggi dan proses produksinya relatif sederhana. Berikut adalah perbandingan butanol, bensin, dan beberapa alkohol. Metanol Rumus Molekul Energi (MJ/L) MON (Motor Octane Number) CH3OH 16 92 Etanol C2H5OH 19,6 89 107 9 Butanol C4H9OH 29,1 78 96 11,1 Bensin Fraksi minyak bumi C5 C12 32 80 90 91 99 12 15
RON (Research Octane 106 Number) Rasio Udara/Bahan Bakar (L) 6,6
Jenis Bakteri yang umum digunakan dalam produksi butanol melalui fermentasi ABE adalah Clostridium sp. Hasil fermentasi ABE adalah tiga produk utama yang terdiri atas butanol, etanol, dan aseton dengan perbandingan kandungan masing-masing produk adalah 6:3:1 beserta produk samping berupa CO2, asam asetat, H2, dan asam butirat. Fermentasi ABE hanya menggunakan satu tahap proses dimana gula sederhana yang siap difermentasi dimasukan dalam fermentor bersamaan dengan broth berupa glukosa dan diberi asupan N2 lalu dibiarkan proses fermentasi berlangsung selama 22 jam pada suhu 35oC dan pH 4.5-5 di fed batch reactor. Dari fermentasi setiap 1 g glukosa diperoleh 0.303 g butanol, 0.155 g aseton, 0.0068 g etanol, 0.0086 g asam asetat, 0.0084 g asam butirat, 0.6954 g CO2dan H2. Setelah fermentasi berlangsung selama 22 jam kandungan aseton, butanol, dan etanol telah mencapai konsentrasi tertentu (5g/L) sehingga dapat mulai dilakukan proses gas stripping untuk menangkap uap aseton, butanol, dan etanol. Uap yang terbawa kemudian masuk ke dalam kondenser untuk dikondensasi dan didinginkan hingga suhu 10oC. Gas H2 dan CO2 yang pada proses ini tidak mengalami kondensasi alirannya kembali disirkulasikan. Apabila produksi gas CO2 dan H2 telah berlebih maka sebagian dilepaskan ke udara terbuka untuk menjaga tekanan bioreaktor. Selanjutnya untuk memurnikan kandungan butanol dalam produk dilakukan distilasi sebanyak dua tahap seperti yang dapat dilihat dalam gambar. Penggunaan Fermentasi ABE secara komersial di dunia industri bioteknologi telah berakhir semenjak 1980 karena dirasakan proses ini tidak mampu bersaing dengan proses sintesis solven berbasis petroleum. Reaksi pembentukan butanol dan produk sampingnya dalam fermentasi ABE adalah sebagai berikut:
Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa pada prinsipnya metode ini memproduksi butanol melalui dua tahap proses. Proses pertama adalah fermentasi pada fibrous bed bioreactor untuk pembentukan asam butirat dari glukosa atau umumnya proses ini disebut acidogenesis. Asam butirat sendiri sebenarnya juga dihasilkan pada tahapan awal fermentasi ABE oleh Clostridium acetobutylicum, namun selanjutnya mengalami pergantian proses metabolik menghasilkan solven berupa butanol, aseton, dan etanol saat konsentrasi asam butirat mencapai >2g/L dan pH <5. Pada proses tahap pertama untuk menghasilkan asam butirat ini digunakan jenis strain yang berbeda dari fermentasi ABE. Dengan umpan berupa gula sederhana, Clostridium tyrobutiricum mampu menghasilkan asam butirat dalam jumlah yang relative besar (48% w/w) hingga konsentrasi 80g/L, dan produktivitas >2 g/L.h pada suhu proses 37oC di dalam fermentor berisikan medium glukosa dan xylose yang diberi asupan gas nitrogen. Agitasi pada fermentor sebesar 150 rpm dengan pH 6.0 (dijaga menggunakan NH4OH atau 6 N HCL). Pada proses yang berlangsung 36-48 jam ini dihasilkan produk samping berupa gas hidrogen yang pada proses tahap berikutnya akan dimanfaatkan sebagai umpan reaktor setelah melalui proses kompresi. Produk samping lainya yang dihasilkan adalah gas karbon dioksisa dan asam asetat dalam jumlah kecil. Namun proses acidogenesis ini dapat terinhibisi oleh banyaknya produk asam yang dihasilkan sehingga menurunkan yield dan konsentrasi produk sehingga diperlukan penanganan lanjut. Asam butirat yang telah dihasilkan dari proses sebelumnya akan diproses dengan hidrogenasi katalitik. Hidrogen yang dihasilkan dalam fermentasi dipisahkan dari karbon dioksida untuk menghidrogenasi asam butirat. Gas hydrogen make up diperlukan untuk memenuhi kebutuhan umpan yang tidak mampu disuplai dari proses sebelumnya. Sementara itu asam butirat hasil fermentasi dipisahkan dan dimurnikan dari medium fermentasi menggunakan proses ekstraksi amine. Proses fermentasi dan ekstraksi yang berjalan secara simultan akan dapat dihasilkan asam butirat dengan konsentrasi dan produktivitas yang lebih tinggi disebabkan dengan adanya proses ini akumulasi asam yang dihasilkan dalam fermentor dapat segera dikontrol untuk sementara asam yang telah terbentuk langsung menuju ekstraksi. Asam butirat kemudian di-stripping dengan menggunakan air panas atau steam pada ekstraktor kedua untuk mengkonsentrasikan asam butirat dan menjadi umpan kolom hidrogenasi. Asam karboksilat akan dapat terkonversi secara katalitik menjadi alkohol dengan bantuan katalis oksida logam (Cu/ZnO dan Cu/Cr) di bawah tekanan (200-300 atm) dan suhu tertentu (150-250oC) selama 20 jam.
Proses hidrogenasi katalitik mampu mencapai selektivitas tinggi (>95%) dan konversi >70% apada waktu reaksi yang relatif singkat (beberapa jam). Proses ini akan menghasilkan produk samping berupa ester dan air. Produk butanol yang dihasilkan dapat dipisahkan dari asam butirat yang tidak bereaksi, dan produk samping dengan menggunakan proses distilasi. Yield teoretis butanol dari asam butirat dalam proses ini mampu mencapai 83% (w/w). Butanol dengan tekanan uap yang rendah dan kelarutan yang rendah dalam air akan keluar dari bottom sedangkan ester butirat dan air akan keluar dari bagian puncak dan kembali di-recycle seperti yang ditunjukan dalam gambar. Neraca massa berbasis stoikiometri reaksi: 1. Fermentasi asam butirat tanpa pembentukan asam asetat (jumlahnya sedikit) 2. Hidrogenasi asam butirat menjadi butanol
Fermentasi pertama berlangsung selama 1.67 jam dan dimaksudkan untuk mengkonversi glukosa yang telah diperolah dari proses sakarifikasi menjadi asam butirat (acidogenesis). Jenis bakteri yang digunakan dalam fermentor acidogenesis adalah Clostridium tyrobutiricum. Jenis bakteri ini memiliki keunikan karena hanya akan mengkonversi glukosa ke dalam tiga jenis asam namun tidak akan mengkonversi asam ke wujud solven di dalam fermenter. Jenis bakteri ini juga memiliki selektivitas yang tinggi dimana glukosa yang menjadi umpan akan terkonversi menjadi asam butirat dalam jumlah yang besar dibandingkan dengan produk samping yang berupa asam asetat dan asam laktat. Pada akhir proses juga akan dihasilkan produk samping berupa gas hidrogen, dan karbon dioksida. Produk samping gas langsung dikeluarkan dari fermentor untuk selanjutnya dipisahkan hidrogennya menggunakan membrane gas separator. Reaksi yang terjadi di dalam fermentor acidogenesis secara sederhana dapat dinyatakan adalah sebagai berikut:
Fermentasi tahap kedua merupakan proses konversi asam butirat menjadi butanol (sulvogenesis) oleh bakteri Clostridium acetobutylicum (lihat gambar 1.4) yang memakan waktu antara 1.11 jam. Karena kondisi umpan yang diproses di fermentor kedua seluruhnya berupa asam butirat maka perlu dilakukan penambahan broth dalam jumlah lebih besar dibandingkan pada fermentor pertama, oleh karena itu pada proses DIRCRTM ini ukuran fermentor pertama dan kedua memiliki perbandingan volume 1:5.
Reverse osmosis
Lebih mudah didesain untuk berbagai kebutuhan kualitas (konsentrasi produk) yang dibutuhkan Dapat digunakan untuk membantu pemisahan azeotrop Tidak membutuhkan desain alat yang rumit Tidak membutuhkan energi ataupun bahan tambahan sama sekali
Konstruksi relatif rumit Banyak alat pendukung dan energi yang dibutuhkan Hanya sesuai untuk sistem campuran dengan kelarutan yang kecil
baku jagung hanya $1,07/gallon cepat karena proses butanol Produk samping hanya terbentuk saat start-up, tidak terbentuk lagi setelah steady Produk yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme langsung dipisahkan dari reaktor Bioreaktor utama tidak membutuhkan suhu dan tekanan 2. FermentasiHidrogenasi yang tinggi Yield butanol dari glukosa yang Melibatkan lebih banyak lebih besar 4.0 g/g vs 1..5-2.0 g/g fermentasi ABE Fermentasi asam butirat memiliki produktivitas yang lebih tinggi (>2 g/Lh) dibanding fermentasi ABE (umumnya <0.5 g/Lh). Konsentrasi butanol yang lebih tinggi hidrogenaasi memproduksi butanol pada konsentrasi lebih tinggi sementara fermentasi ABE terbatas < 2% karena adanya inhibisi oleh butanol sendiri. Butanol merupakan satusatunya produk utama dalam proses sehingga lebih mudah dipisahkan dan dimurnikan teknologi sehingga perlu biaya investasi dan operasional yang tidak sedikit. Membutuhkan energi yang besar pada kolom hidrogenasi acidogenesis hanya membutuhkan waktu 1,67 jam dan sulvogenesis 1,11 jam.
dibanding produk hasil fermentasi ABE. 3. ABE fermentation Yield rendah, dari 1 g glukosa hanya dihasilkan 0.3 g butanol. CO2 yang dihasilkan jumlahnya sangat besar (0.6 g/g glukosa) Waktu fermentasi membutuhkan waktu yang lama yaitu 22 jam. No. Proses Produksi Butanol 1. Dual Immobilized ReaCtor with Continuous Recovery (DIRCRTM) Yield produksi butanol mencapai 49% Konversi mencapai 2,5 gallon butanol/gantang jagung gallon/gantang Kapasitas produksi dapat mencapai 30 g/l/h butanol dan dilution rate 3,5/h Kedua bioreaktor membutuhkan control yang ketat untuk mempertahankan kondisi mikroorganisme Kelebihan Kekurangan
mendekati konversi teoritis 2,8 Kedua bioreaktor membutuhkan asupan media perkembangan dan glukosa sebagai sumber energi mikroorganisme
Biaya produksi dengan bahan Proses fermentasi kontinyu baku jagung hanya $1,07/gallon cepat karena proses butanol Produk samping hanya terbentuk saat start-up, tidak terbentuk lagi setelah steady Produk yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme langsung dipisahkan dari reaktor acidogenesis hanya membutuhkan waktu 1,67 jam dan sulvogenesis 1,11 jam.
Bioreaktor utama tidak membutuhkan suhu dan tekanan 2. FermentasiHidrogenasi yang tinggi Yield butanol dari glukosa yang Melibatkan lebih banyak lebih besar 4.0 g/g vs 1..5-2.0 g/g fermentasi ABE Fermentasi asam butirat memiliki produktivitas yang lebih tinggi (>2 g/Lh) dibanding fermentasi ABE (umumnya <0.5 g/Lh). Konsentrasi butanol yang lebih tinggi hidrogenaasi memproduksi butanol pada konsentrasi lebih tinggi sementara fermentasi ABE terbatas < 2% karena adanya inhibisi oleh butanol sendiri. Butanol merupakan satusatunya produk utama dalam proses sehingga lebih mudah dipisahkan dan dimurnikan dibanding produk hasil fermentasi ABE. 3. ABE fermentation Yield rendah, dari 1 g glukosa hanya dihasilkan 0.3 g butanol. CO2 yang dihasilkan jumlahnya sangat besar (0.6 g/g glukosa) Waktu fermentasi membutuhkan waktu yang teknologi sehingga perlu biaya investasi dan operasional yang tidak sedikit. Membutuhkan energi yang besar pada kolom hidrogenasi
Beberapa spesies Clostridia, yaitu C. acetobutylicum, C. beijerinckii, dan C. saccharoperbutylacetonicum memiliki jalur metabolism yang mirip. Bakteri tersebut dapat mengkonversi berbagai jenis glukosa menjadi asam asetat, asam laktat, dan asam butirat melalui proses asidogenesis. Lalu asam tersebut diubah menjadi aseton, butanol, dan etanol (ABE), serta karbondioksida dan hidrogen. Namun tingkat toleransi pelarut ABE dalam mikroorganisme tersebut masih di bawah 23 g/L. C. tyrobutyricum dapat digunakan untuk mengubah glukosa menjadi asam butirat, sehingga bila fermentasi dilanjutkan dengan bakteri di atas, selektivitas dan perolehan butanol secara keseluruhan akan lebih besar. C. cellulolyticum dan C. thermocellum menggunakan selulosa sebagai bahan baku pembuatan butanol. C. pasteurianum menggunakan gliserol sebagai bahan baku sintesis butanol. Escherichia coli, Lactococcus lactis, Lactobacillus buchneri, Saccharomyces cerevisiae, dan Bacillus subtilis direkayasa untuk menghasilkan butanol dengan dengan melakukan modifikasi genetik. Usaha ini dilakukan untuk meningkatkan toleransi mikroorganisme terhadap pelarut ABE.
Biobutanol, biofuel yang lebih baik dari bioethanol Butanol (C4H10) (Gambar 1) adalah alkohol yang memiliki banyak kesamaan dengan bensin. Tidak seperti halnya etanol, butanol tidak menyerap air dan tidak korosif. Tabel 1 menunjukkan senyawa ini memiliki kandungan energi hanya sedikit lebih rendah dari bensin. Butanol dan bensin juga memiliki kemiripan dalam bilangan oktan dan rasio udara-bahan bakar. Kedua cairan ini juga mudah bercampur. Hal-hal di atas menyebabkan butanol bisa diproses dan dialirkan melalui infrastruktur yang telah ada untuk bensin. Di samping itu panas penguapan butanol lebih rendah dari etanol, menyebabkan mesin berbahan bakar butanol lebih mudah distarter daripada mesin berbahan bakar etanol saat udara dingin.
Gambar 1 Empat isomer dari butanol (dari kiri ke kanan: normal butanol, isobutanol, sekunder butanol, tersier butanol) Butanol pada mulanya diproduksi melalui fermentasi karbohidrat menggunakan bakteri Clostridium acetobutylicum dalam proses fermentasi aseton-butanol-etanol (ABE) yang menghasilkan ketiga senyawa tersebut dengan rasio 3:6:1 (Waites et al. 2001). Proses ini rumit dan produktivitas butanol terhenti saat konsentrasinya mencapai 12 g/l mengingat alkohol ini bersifat racun bagi bakteri. Sejak 1970an, proses fermentasi digantikan oleh proses kimiawi katalitik yang menggunakan bahan baku propylene. Namun adanya kebutuhan akan butanol sebagai biofuel membangkitkan proses fermentasi butanol. Beberapa raksasa industry kimia seperti DuPont, BP, GEVO telah mencanangkan pembangunan pabrik butanol dari proses fermentasi atau mengubah pabrik etanol menjadi butanol (BioButanol 2010). Potensi biobutanol di Indonesia Indonesia cukup potensial untuk pengembangan industry biobutanol. Konsumsi bensin di negara kita lebih dari 50 juta liter per hari (EIA 2009), atau senilai 83 trilyun rupiah setahun. Pemerintah telah mentargetkan untuk mengganti 10 % penggunaan bahan bakar petroleum dalam bentuk biodiesel dan 5 % dalam bentuk bioetanol pada tahun 2010 (DataConsult 2008). Bahan baku bioetanol umumnya dari molasses mengingat Indonesia adalah negara penghasil gula tebu nomor 10 di dunia (FAOSTAT 2008). Menimbang keunggulan butanol dibanding etanol, maka alkohol ini seharusnya dipilih sebagai biofuel utama dari industry fermentasi di Indonesia. Molasses dapat digunakan sebagai bahan baku untuk jangka pendek. Bakteri yang digunakan misalnya C. acetobutylicum (Syed et al. 2008) dan C. saccharobutylicum (Berezina et al. 2009). Untuk jangka panjang, bahan baku harus dari sumber daya non-pangan guna menghindari kompetisi dengan kebutuhan pangan. Bagas dari tebu adalah pilihan yang baik. Bagas bisa dihidrolisis untuk menghasilkan gula yang bisa difermentasi menjadi butanol menggunakan teknologi fermentasi yang telah ada.
Referensi: Berezina OV, Brandt A, Yarotsky S, Schwarz WH, Zverlov VV. 2009. Isolation of a new butanol-producing Clostridium strain: high level of hemicellulosic activity and structure of solventogenesis genes of a new Clostridium saccharobutylicum isolate. Systematic and Applied Microbiology 32(7):449-459. BioButanol. 2010. Companies working on producing biobutanol.http://www.biobutanol.com/The-Players.html 14 May 2011 DataConsult. 2008. Biofuel industry development in Indonesia.http://www.thefreelibrary.com/Biofuel+industry+development+in+Indonesia.a0174599615 20 May 2011 EIA. 2009. International Petrol (Oil) Consumption.http://www.eia.doe.gov/emeu/international/oilconsumption.html 20 May 2011 FAOSTAT. 2008. Food and Agricultural commodities production.http://faostat.fao.org/site/339/default.aspx November 16, 2010 Fortman JL, Chhabra S, Mukhopadhyay A, Chou H, Lee TS, Steen E, Keasling JD. 2008. Biofuel alternatives to ethanol: pumping the microbial well. Trends in Biotechnology 26(7):375381. Lee SY, Park JH, Jang SH, Nielsen LK, Kim J, Jung KS. 2008. Fermentative butanol production by Clostridia. Biotechnology and Bioengineering 101(2):209-228. Nigam PS, Singh A. 2011. Production of liquid biofuels from renewable resources. Progress in Energy and Combustion Science 37(1):52-68. Ragauskas AJ, Williams CK, Davison BH, Britovsek G, Cairney J, Eckert CA, Frederick WJ, Hallett JP, Leak DJ, Liotta CL and others. 2006. The path forward for biofuels and biomaterials. Science 311(5760):484-489. Sims REH, Mabee W, Saddler JN, Taylor M. 2010. An overview of second generation biofuel technologies. Bioresource Technology 101(6):1570-1580. Syed QUA, Nadeem M, Nelofer R. 2008. Enhanced butanol production by mutant strains of Clostridium acetobutylicum in molasses medium. Turkish Journal of Biochemistry-Turk Biyokimya Dergisi 33(1):25-30. Thomas G. 2000. Overview of Storage Development DOE Hydrogen Program. Sandia National Laboratories, Livermore, CA.http://www1.eere.energy.gov/hydrogenandfuelcells/pdfs/storage.pdf 10 May 2011
Waites MJ, Higton G, Morgan NL, Rockey JS. 2001. Industrial Microbiology, an introduction: Blackwell Publishing Limited