Sie sind auf Seite 1von 31

CSR DALAM KONTEKS HUBUNGAN

TRIPARTIT:
ANALISIS TERHADAP STUDI KASUS PT RIAU
ANDALAN PULP AND PAPER DAN PT LAPINDO
BRANTAS (2002 - 2009)

Disusun untuk ikut serta dalam


Lomba Ilmiah Mahasiswa Sosial Politik Universitas Indonesia
Kategori Lomba Karya Tulis Ilmiah
2009

oleh:
Ahmad Naufal Dai (0706291174)
Tangguh (0706291426)

Departemen Ilmu Hubungan Internasional


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
Abstract
This paper sought for a deeper understanding in the notions of CSR in accordance
with the demand from the society for a more beneficial existence of a corporation
in Indonesia. Provided that the society and government had laready have the same
logic in accepting CSR, what we are seeking to explain in this paper is on the
question of how and what kind of role society and government provide to
incentifize and sustain the active role of company in doing their CSR. Upon this
case we took two examples of company, the RAPP, ltd (Riau Pulp and Paper) as
the branch corporation of the larger APRIL (Asia Pacific Resources
International Limited) and Lapindo Brantas Ltd. In this paper we also elaborate
the notion of tripartite relation between the government-civil society-capital.
Upon our conclusion we find out that in terms of achievements done, RAPP was
better than Lapindo in implementing their CSR, Riaupulp was able to lure the
society’s and district government’s support when at the same time Lapindo was
crucified. Somehow we find that it was up to the company’s own goodwill to
enforce the CSR in this country because both the society and the government
somehow remain indifferent to unite in observing the role of CSR. The society are
not strongly bound and the government could be no more than a lame watchdog.

Keywords: CSR, Tripartite relationship, Government’s role, Society’s role,


RAPP ltd, Lapindo Brantas inc.
KATA PENGANTAR

Hoi Poloi

(peribahasa Yunani, “Demi Rakyat”)

Konsep CSR di Indonesia boleh dikatakan masih hijau. Implemetasinya masih


mengalami banyak kendala dan tantangan. Diantara terkait pertanyaan apakah
benar kesadaran akan entitas perusahaan dibebani tanggung jawab sosial
(Corporate Social Responsibility) dan moral sudah menjadi sebuah konteks
kesadaran yang umum di masyarakat dan pemerintah. Kalaupun iya dalam bentuk
apakah pelaksanaan CSR itu dapat dilihat? Nilai-nilai apa sajakan yang terkait
didalam sebuah bentuk tanggung jawab korporasi yang telah mendapatkan
keuntungan dalam operasionalisasinya. Lalu dalam tataran yang lebih dalam kami
ingin melihat seperti apakah konsep CSR ketika dikaitkan dengan hubungan
tripartite masyarakat-modal-pemerintah dalam konteks interaksi. Lalu kami akan
mencoba mengevaluasi sejauh apa bentuk interaksi ketiga faktor tersebut, apakah
sudah cukup berhasil ataukah masih mengalami banyak kendala.

Pertanyaan-pertanyaan tadi akan kami jawab sembari melihat konteks relevan


CSR di Indonesia. Kami menyadari karya tulis ini belum sempurna dan
komprehensif dalam membahas persoalan, tetapi kami bangga karena niat dan
usaha kami terwujud dengan selesainya penulisan karya tulis ini setelah bekerja
keras mengumpulkan dan menganalisis data dari berbagai sumber. Kami bangga
karena bisa menyumbangkan sumbangan akademis, sekalipun masih sederhana.
Setidaknya kami telah berusaha untuk berkontribusi dalam perluasan wacana
pembenahan sistem pertahanan dan keamanan kita.

Kepada semua pihak yang membaca dan menilai karya ilmiah ini, kami
mengharapkan diskusi, saran, dan kritik untuk semakin membuka cakrawala
berpikir kami, di samping untuk semakin mendinamisasi wacana dalam karya tulis
ini.

Depok, 18 Februari 2009


DAFTAR ISI

BAGIAN AWAL
Abstract……….................................................................................................... ii
Kata Pengantar ................................................................................................. iii
Daftar Isi …...….…………………………....………………………………… v
BAGIAN INTI
I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
I.1. Latar Belakang ……....……………………………………..............….. 1
I.2. Rumusan Masalah .........……………………………......................…… 2
I.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan……...…………………………..………. 2
II. TELAAH PUSTAKA ........................................................................... 3
II.1. Konsep Tripartit; Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat ………………. 3
II.2. Definisi Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) ……………... 5
III. METODE PENULISAN …………………………………....……… 9
IV. PEMBAHASAN ..................................................................................... 11
IV.1. PT Riau Andalan Pulp and Paper………...……………………………. 11
IV.2. PT Lapindo Brantas………...…………………………………………... 14
V. PENUTUP ……………………………………………....…....……... 22
V.1. Simpulan ………………………...…………………………………….. 22
V.2. Saran……………………………………………………………………. 23
BAGIAN AKHIR
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PESERTA
BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Kekuasaan dan pengaruh perusahaan raksasa atau korporasi di berbagai ranah


kehidupan masyarakat yang semakin kokoh di era globalisasi adalah fakta empiris
yang mau tidak mau harus kita hadapi di abad ke-21 ini. Dengan kekuatan itu,
dampak positif maupun negatif yang diberikan dari perusahaan-perusahaan
tersebut pun terasa sangat besar. Tidak ada yang menyangkal bahwa korporasi
telah memberikan sumbangan bagi kemajuan ekonomi, peningkatan sumber daya
manusia dan sebagainya. Namun, dampak negatif aktivitasnya juga berskala yang
sama. Kerusakan lingkungan, proses pemiskinan dan marginalisasi kelompok
masyarakat rentan, kian lebarnya kesenjangan ekonomi serta pengaruhnya
terhadap proses politik yang tidak demokratis di berbagai jenjang pemerintahan
hanyalah sebagian dari dampak negatif itu.

Kritik serta usulan solusi telah diajukan untuk menangani dampak negatif
tersebut. Corporate Social Responsibility (CSR) adalah sebagian langkah solusi
yang sudah dipraktikkan secara global pada 20 tahun terakhir ini, dengan berbagai
tingkatan kinerja. Di Indonesia, CSR saat ini dapat digambarkan sebagai potensial
sekaligus merisaukan. Potensial karena dijumpai banyak indikasi positif seperti:
penyelenggaraan PROPER oleh Kementerian Lingkungan Hidup, penganugerahan
CSR Award, Forum BUMN untuk community development (comdev), naiknya
keanggotaan organisasi-organisasi perusahaan yang mempromosikan CSR,
maraknya seminar dan pelatihan CSR serta pembentukan divisi/departemen yang
menangani CSR di berbagai perusahaan, terutama korporasi. Perusahaan-
perusahaan berskala lebih kecil juga sudah mulai mengikuti kecenderungan ini.
Di sisi lain, masih terdapat kebijakan ekonomi-politik pemerintah dan produk
hukum yang kurang kondusif dalam mendorong investasi yang ramah sosial dan
lingkungan. Implementasi kebijakan CSR korporasi yang bersifat kosmetikal juga
masih kerap ditemukan.

I.2. Rumusan Masalah

Pertanyaan utama yang ingin kami jawab terkait dengan tiga variabel, yaitu (1)
tanggung jawab sosial korporasi (corporate social responsibility) sebagai sebuah
ide dan (b) hubungan segitiga yang saling mempengaruhi antara masyarakat-
negara-modal. Seluruhnya akan kami bentuk dalam pertanyaan:

“Bagaimanakah peranan masyarakat sipil dan pemerintah berkoordinasi dalam


memonitor implementasi CSR oleh korporasi di Indonesia (dengan mengambil
contoh Riaupulp dan Lapindo)?”

I.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan analisis mengenai:

1. Performa CSR dua perusahaan besar (PT Riau Andalan Pulp and Paper
dan PT Lapindo Brantas) sebagai kasus studi.

2. Solusi untuk usaha penanganan kedua kasus tersebut.

Manfaat yang diharapkan dari pembuatan karya tulis ini adalah untuk:

1. Memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang konsep tripartit


pemerintah-swasta-masyarakat dan konsep tanggung jawab sosial
perusahaan.

2. Memberikan masukan bagi para pembuat kebijakan demi menangani


kedua kasus studi.

3. Memberikan opsi solusi dan saran menyangkut kedua kasus studi.


4. BAB II

TELAAH PUSTAKA

II.1. Konsep Tripartit; Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat

Farchan Bulkin dalam tulisannya tentang negara dan masyarakat menjelaskan


bahwa ada suatu keterkaitan antar variabel dari ketiga konsep tersebut dalam
interaksi struktural dan ideasional dalam membentuk arah kebijakan suatu negara.
Signifikansi ketiga konsep ini dapat terlihat perihal hubungan triangular di mana
negara sebagai titik sentral kerap menjadi sasaran konflik kepentingan dua aktor
lainnya, yakni pengusaha (modal) dan masyarakat sipil (civil society), di mana
keduanya berupaya memajukan kepentingan fundamental mereka.1
Pengusaha/modal selalu menuntut iklim investasi yang “kondusif”, gaji buruh
yang tidak terlalu tinggi, akses yang lebih luas terhadap sumber daya alam, dan
liberalisasi pemerintah yang harus dibarengi kepastian hukum. Masyarakat (civil
society) datang dari titik pemikiran berbeda, berupaya menentang dominasi
berlebihan dari kaum pemodal terutama agar hak-hak sebagai konsumen dan
stakeholders (bagian dari sebuah sistem di mana aktor-aktor ini menjadi subjek
yang terpengaruh dari sebuah kebijakan) dapat terpenuhi dan terlindungi. Lewat
forum solidaritas, lembaga swadaya masyarakat (NGOs), dan kritik akademisi,
masyarakat terus berupaya mengimbangi dominasi kapital yang semakin menguat
di era globalisasi ini dalam ranah kehidupan berbangsa.2

O’Brien dalam tataran lebih tinggi melihat pola konfliktual yang sama tidak hanya
terjadi dalam ranah kehidupan di suatu negara, tetapi sudah memasuki dimensi
internasional di mana aktor yang berperan sudah berskala global, dalam hal ini

1 Farchan Bulkin, Negara Masyarakat dan Ekonomi, (Jakarta: Prisma 8, 1984) h. 51 –


53
2 DR. Firmanzah. Globalisasi; Sebuah Proses Dialektik Sistemik. Jakarta: Yayasan Sad
Satria Bhakti, 2002, h. 18-23
menyangkut pertentangan antara institusi-institusi ekonomi multilateral (MEIs,
Multilateral Economic Institutions) dan pergerakan masyarakat sipil global
(GSM, Global Social Movements). Dengan isu-isu yang mirip seperti
kesejahteraan buruh, perlindungan terhadap konsumen gerakan sosial global yang
terdiri dari variasi aktor seperti akademisi, relawan LSM, tokoh masyarakat, dan
bahkan pemimpin negara-negara berkembang mengadakan forum tahunan yang
dikenal sebagai WSF (World Social Forum) untuk menandingi pertemuan tahunan
di Davos, Swiss yang dikenal dengan nama World Economc Forum.3

Pada intinya kajian literatur yang kami pergunakan di sini adalah perihal
bagaimana negara dan masyarakat dapat mempengaruhi kinerja perusahaan agar
ampuh lebih baik mengimplementasikan tanggung jawab sosial korporasinya.
John Elkington dalam karyanya menelurkan istilah The Triple Bottom Line yang
menurutnya setiap usaha harus mempertimbangkan tiga aspek nilai dalam
operasionalisasinya, yaitu nilai ekonomi, nilai sosial, dan nilai lingkungan.4
Relevansi karyanya dengan hubungan tripartit antara negara-modal-masyarakat
dapat terlihat dari penggambarannya mengenai adanya pressure waves terhadap
iklim usaha dari pemerintah dan masyarakat untuk merubah paradigma lama
menjadi paradigma baru dalam berbisnis. Implikasi paling jelas terlihat dari
penambahan divisi hubungan masyarakat.5

Hal itu menurut Julie Richardson terlihat dari perubahan strategisasi hubungan
perusahaan dan konsumen seperti semakin perlunya perusahaan membentuk unit
kegiatan yang dapat menunjukkan akuntabilitas perusahaannya tidak hanya pada
para pemegang saham (share holders) secara ekonomi tetapi juga secara sosial
dan lingkungan kepada masyarakat (share holders). Dengan begitu menurut
Elkington, masyarakat akan merasa kepentingannya terakomodasi sehingga

3 O’Brien R. ed., Contesting Global Governance: Multilateral Economic Institutions


and Global Social Movements, (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), h. 1 - 23
4 John Elkington, Entering the Triple Bottom Line, dalam Adrian Henriques dan Julie
Richardson, eds., The Triple Bottom Line, Does It all Addss Up? Asserting The Sustainability
of Business and CSR, (London: Sterling V.A, 2004) h. 1 - 5
5 Ibid
mengurangi pengawasan ketat (public scrutiny) yang kerap mengajukan
keberatannya kepada pemerintah dalam bentuk tuntutan hukum atau aspirasi
politik yang dapat bernilai negatif terhadap eksistensi sebuah perusahaan.6

Relevansi hubungan ketiga konsep menjadi sangat erat dengan CSR ketika
berbicara mengenai risk-management system yang terus diupayakan oleh
perusahaan demi memitigasi kemungkinan eror dan protes masyarakat. Suara
masyarakat dinilai merupakan elemen penting yang harus diwaspadai oleh
perusahaan jika tidak ingin terimbas permasalahan eksternal yang merepotkan.
Oleh karena itu ditengah tekanan masyarakat yang semakin kencang, CSR harus
dikembangkan dan dioptimalkan demi kepentingan perusahaan itu sendiri.7

II.2. Definisi Konsep Corporate Social Responsibility (CSR)

Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial korporasi


adalah suatu konsep di mana organisasi, khususnya (namun bukan hanya)
korporasi, mempertimbangkan kepentingan masyarakat dengan bertanggung
jawab atas pengaruh kegiatan mereka terhadap pelanggan, supplier, karyawan,
pemegang saham, masyarakat, dan stakeholder lainnya, seperti lingkungan dalam
segala aspek operasional korporasi. Kewajiban ini dipandang berada di luar
amanat undang-undang untuk dan memandang organisasi dengan sukarela
mengambil langkah untuk meningkatkan kualitas hidup bagi karyawan dan
keluarga mereka sebagaimana juga masyarakat lokal dan masyarakat umum. CSR
berhubungan erat dengan pembangunan berkelanjutan, di mana ada argumentasi
bahwa suatu korporasi dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan
keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan

6 Julie Richardson, Accounting for Sustainability: Measuring Quantities or Enhancing


Qualities? dalam Adrian Henriques dan Julie Richardson, eds., The Triple Bottom Line, Does
It all Addss Up? Asserting The Sustainability of Business and CSR, (London: Sterling V.A,
2004) h. 34 - 36
7 Ronen Shamir, Between Self-Regulation and the Alien Tort Claims Act: On the
Contested Concept of Corporate Social Responsibility, dalam Law & Society Review, Vol. 38,
No. 4 (Des., 2004), h. 635-664
atau deviden, namun juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan
untuk saat ini maupun untuk jangka panjang.

CSR muncul sebagai respon terhadap meningkatnya tuntutan atas etika bisnis
secara drastis pada 1980-an dan 1990-an. Sehingga, kini kebanyakan korporasi
besar menekankan komitmen untuk meningkatkan nilai-nilai sosial nonekonomik,
bahkan beberapa korporasi melakukan rebranding nilai-nilai core mereka dengan
pertimbangan etika bisnis.

Ada beberapa pendekatan terhadap CSR. Yang diterima secara luas adalah
proyek-proyek pembangunan berbasis masyarakat. Pendekatan alternatif yang
paling sering dipilih adalah pengembangan fasilitas pendidikan. Pendekatan
terhadap CSR yang paling lazim adalah pemberian bantuan kepada organisasi-
organisasi lokal dan masyarakat miskin di negara-negara berkembang, yang tidak
terlalu disukai beberapa organisasi karena tidak membangun kecakapan
masyarakat lokal.

Korporasi yang bertanggung jawab atas pengaruhnya terhadap masyarakat akan


melakukan pencatatan, audit, dan pelaporan tindakannya. Hal ini merupakan satu
unsur penting CSR yang disebut akuntansi sosial (social accounting). Terdapat
beberapa pedoman dan standar akuntansi sosial, seperti berikut.

• The GoodCorporation Standard8, yang dikembangkan oleh The Institute


of Business Ethics, menetapkan prinsip-prinsip syarat-syarat penempatan
tenaga kerja yang jelas dan adil, hubungan yang jujur dan adil dengan
pelanggan, hubungan yang jujur dan adil sengan supplier dan kontraktor,
kontribusi terhadap masyarakat untuk menjadikannya lingkungan yang
lebih baik untuk kediaman dan bisnis, perlindungan terhadap lingkungan
dalam penggunaan sumber-sumber daya serta minimalisasi limbah dan
polusi, akuntabilitas finansial terhadap para pemegang saham (atau

8 “The GoodCorporation Standard”,


http://www.goodcorporation.com/PDF/standard_2007.pdf, diakses pada 9 Februari 2009 11:45
sepadan) serta komunikasi dengan mereka terkait materi organisasi, dan
komitmen manajemen untuk memenuhi standar tersebut.

• Manual for the Preparers and Users of Eco-efficiency Indicators9, yang


dikembangan oleh United Nations Conference on Trade and Development
(UNCTAD), menetapkan indikator-indikator eko-efisiensi10 berupa rasio
antara variabel lingkungan dan variabel finansial dengan mengukur
performa perusahaan di bidang lingkungan (lima isu lingkungan umum,
yaitu penggunaan air, penggunaan energi, kontribusi terhadap pemanasan
global, substansi perusak ozon, dan limbah) dengan mempertimbangkan
kondisi finansialnya.

• Guidance on Good Practices in Corporate Governance Disclosure11, juga


dikembangkan oleh UNCTAD, menetapkan pentingnya transparansi dan
manajemen korporat, menyerukan keterbukaan korporat di bidang-bidang
finansial dan hasil operasi; tanggung jawab dewan terkait komunikasi
finansial; transaksi signifikan dengan pihak-pihak terkait; tujuan
perusahaan; struktur kepemilikan serta para pemegang saham dan investor
substansial; peraturan dan prosedur akuisisi kontrol korporat di pasar
modal dan transaksi luar biasa; struktur, peran, dan fungsi dewan; anggota
dewan dan eksekutif kunci; mekanisme perlindungan hak stakeholder;
faktor-faktor risiko material yang dapat diduga; independensi auditor
eksternal; dan fungsi audit internal.

• Guidance on Corporate Responsibility Indicators Inannual Reports12,


juga dikembangkan oleh UNCTAD, menyerukan indikator-indikator
tanggung jawab korporat, seperti berikut.

Kelompok Indikator
9 “Manual for the Preparers and Users of Eco-efficiency Indicators”,
http://www.unctad.org/en/docs/iteipc20037_en.pdf, diakses pada 9 Februari 2009 12:06
10 Eko-efisiensi (eco-efficiency): “… dicapai dengan penawaran barang dan jasa dengan
harga bersaing yang memuaskan kebutuhan manusia dan meningkatkan kualitas hidup,
sementara secara progresif mereduksi pengaruh ekologis dan intensitas sumber daya…” dan
dicapai ketika aktivitas ekonomi berada pada tingkat “… selaras dengan estimasi kapasitas
yang dapat ditanggung bumi”. (The World Business Council for Sustainable
Development/WBCSD, 1996)
11 “Guidance on Good Practices in Corporate Governance Disclosure”,
http://www.unctad.org/en/docs/iteteb20063_en.pdf, diakses pada 9 Februari 2009 12:02
12 “Guidance on Corporate Responsibility Indicators Inannual Reports”,
Perdagangan, 1. Pendapatan total
investasi, dan relasi 2. Nilai impor vs. ekspor
3. Total investasi baru
4. Pembelian lokal
Kreasi pekerjaan dan 5. Total angkatan kerja dengan perincian melalui
praktik perburuhan jenis pekerjaan, kontrak pekerjaan, dan gender
6. Gaji dan keuntungan pekerja dengan perincian
jenis pekerjaan dan gender
7. Jumlah total dan tingkat turnover pekerja dengan
perincian gender
Persentase pekerja yang tercakup dalam perjanjian
kolektif
Pengembangan 8. Pengeluaran pada penelitian dan pengembangan
teknologi dan SDM 9. Jam pelatihan rata-rata per tahun per pekerja
dirinci kategori pekerja
Pengeluaran pada pelatihan pekerja per tahun per
pekerja dirinci kategori pekerja
Kesehatan dan 10. Biaya kesehatan dan keamanan pekerja
keamanan Hari kerja yang hilang karena kecelakaan, luka, dan
penyakit dalam pekerjaan
Kontribusi pemerintah 11. Pembayaran kepada pemerintah
dan masyarakat Kontribusi sukarela terhadap masyarakat sipil
Korupsi 12. Jumlah hukuman atas pelanggaran korupsi
terkait hukum atau regulasi dan jumlah denda
yang dibayar
BAB III

METODE PENULISAN

Penulisan karya tulis ilmiah ini dilakukan berdasarkan metode kualitatif, bersifat
deskriptif, dan disertai analisis. Deskriptif karena penelitian yang ada dalam karya
tulis ilmiah ini berusaha menggambarkan pola hubungan antara variabel tanggung
jawab sosial korporasi (corporate social responsibility) sebagai sebuah ide,
hubungan segitiga yang saling mempengaruhi antara masyarakat-negara-modal,
dan teori kerangka pikir legal dalam pengembangan tripartit di Indonesia dengan
studi kasus PT Riau Andalan Pulp and Paper dan PT Lapindo Brantas.

Penulisan karya tulis ilmiah ini juga bersifat analitis karena berusaha melihat lebih
dalam konsepsi sebuah tripartit dan CSR yang ideal. Berpijak dari itu, analisis
dilanjutkan kepada realitas kondisi variabel-variabel ini dalam konteks dan kasus
yang diteliti. Hal ini bertujuan memetakan persoalan dan melihat seberapa ideal
aplikasi variabel-variabel ini dalam kasus studi, sehingga dapat diperoleh
rekomendasi solusinya.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam karya tulis ilmiah ini adalah
studi literatur. Data yang digunakan dalam karya tulis ilmiah ini meliputi data
primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan adalah buku-buku,
internet, dan jurnal ilmiah yang menjelaskan definisi, kriteria, ciri-ciri, dan
indikator-indikator konsep tripartit serta konsep CSR. Data sekunder yang
digunakan berupa buku-buku, jurnal, media massa, serta berbagai literatur dari
internet yang berhubungan dengan realitas kondisi variabel-variabel tersebut
dalam kasus-kasus yang diteliti.

Data-data yang terkumpul kemudian digunakan untuk menjelaskan realitas


kondisi performa CSR dua kasus studi tersebut. Terakhir, setelah melihat
permasalah secara komprehensif, kami coba merekomendasikan solusi atas
realitas kondisi performa CSR kedua korporasi besar tersebut.
BAB IV

PEMBAHASAN

Dalam pembahasan ini kami akan mengambil dua contoh perusahaan besar di
Indonesia yaitu PT. Riau Andalan Pulp and Paper, RAPP (anak perusaahaan
APRIL) dan PT. Lapindo Brantas, untuk selanjutnya dikaji perihal sejauh apa
mereka telah melakukan strategisasi dan implementasi tanggung jawab sosial
korporasi (CSR) mereka.

IV.1. PT Riau Andalan Pulp and Paper

Perseroan terbatas Riau Andalan Pulp and Paper merupakan anak perusahaan
Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) yang merupakan
perusahaan terkemuka yang bergerak dalam usaha tanaman karet dan merupakan
salah satu perusahan terbesar dunia yang menghasilkan bubur kayu dan kertas.
Visi perusahaan ini berupaya untuk menjadi yang terbersar, yang paling rapih
manajemennya, dan paling peduli soal sustainable production di dunia. Dalam
situs resmi perusahaan ini, APRIL menyatakan komitmennya dalam memenuhi
permintaan pasar dunia akan kertas dan karet yang semakin meningkat, namun di
sisi lain akan terus berusaha sebaik mungkin mengintegrasikan prinsip
keberlangsungan (sustainability) dalam operasinya.

Sebagai perusahaan yang mengandalkan pasokan ekstraktif dari hutan sebagai


bahan bakunya, RAPP merasa perlunya membentuk iklim produksi yang kondusif
dalam artian konsiderasi dalam setiap tindakan perusahaan ini tidak melulu
berfokus pada operasionalisasi yang bertujuan laba, namun juga program nir-laba
untuk membuktikan kontribusinya sebagai perusahaan yang melaksanakan CSR.
Hal itu dapat terlihat dari laporan kegitan nirlaba perusahaan ini sedari tahun
2008-2009 sebagai berikut:

• Membentuk satuan khusus tugas yang dimaksudkan untuk berkolaborasi


dengan masyarakat dalam membantu membasmi dan mengurangi illegal
logging. Kasus illegal logging selain meresahkan Pemda dan masyarakat
sekitar juga meresahkan PT Riau Andalan Pulp and Paper karena dianggap
mengancam sustainability dari ketersediaan bahan baku kayu bagi
perusahaan tersebut. Hal ini disebabkan kerap kali para pembalak liar
(illegal logger) menggunakan metode yang tidak direstui dan tidak
memperhatikan aspek regenerasi hutan. Setidaknya urusan ini merupakan
bagian dari interest perusahaan.

• Menciptakan program-program pemberdayaan masyarakat yang


kontributif terhadap pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di
sekitar unit produksi RAPP. Poin pemberdayaan ini menyangkut
pembentukkan sekolah-sekolah unggulan yang mampu memberikan
kontribusi nyata terhadap perbaikan pendidikan masyarakat sekitar.
Bahkan banyak media Riau yang menganggap sekolah bentukan RAPP
sebagai salah satu yang terbaik di provinsi tersebut. Situs resmi APRIL
(Induk perusahaan RAPP) juga menyatakan dirinya secara aktif terus
berupaya mengembangkan wilayah Kampar agar lebih maju dan modern.

• Memberikan kontribusi dengan menyalurkan sebagian energi listrik


kepada masyarakat yang dianggap sangat membutuhkannya. Hal ini
terbukti ketika perusahaan ini mengalami krisis sejak awal tahun 2008,
perusahaan mulai sering memadamkan pasokan listriknya yang berdampak
signifikan karena sebagian warga memang mengandalkan pasokan listrik
dari perusahaan ini.

• Membentuk satuan tugas yang difungsikan untuk mencegah dan


memadamkan kebakaran hutan yang kerap terjadi di hutan-hutan
Indonesia. Divisi pemadam kebakaran swasta ini berulang kali
memberikan kontribusi positif terhadap upaya pencegahan kebakaran
meluas.
Intinya, dapat disimpulkan perihal prestasi dan kinerja, PT RAPP boleh dikatakan
berhasil dalam memenuhi target dan janjinya sebagai perusahaan yang
berkomitmen untuk menerapkan CSR. Selanjutnya, kami akan melihat seberapa
besarkah peran masyarakat dalam menginsentifkan PT RAPP untuk melakukan
hal ini.

Insentif Masyarakat dan Pemerintah Terhadap PT Riau Andalan Pulp


and Paper

Dalam kurun waktu beberapa tahun ini, ada beberapa kritik dan saran yang
menjadi modalitas perusahaan ini melaksanakan CSR bagi Riaupulp (nama lain
dari PT RAPP). Beberapa peristiwa juga dapat menjadi tolak ukur penilaian
seberapa berhasilnya Beberapa hal krusial itu adalah:

1. Rencana pelaksanaan hearing dengan DPRD Riau menyangkut


pembahasan peninjauan manajemen dan efisiensi PT. RAPP terkait dengan
isu krisis global.13 Walaupun sampai berita terkni belum ada kejelasan
mengenai hasil pembicaraan yang terjadi namun dapat dikatakan DPRD
Riau cukup peduli terhadap pelaksanaan CSR perusahaan kertas raksasa
tersebut. Sejak tahun 2002, DPRD Riau dan Pemda setempat berulangkali
mengadakan pembicaraan dengan pihak manajemen Riaupulp mengenai
kesediaan perusahaan tersebut memberikan kontribusi positif terhadap
masayarakat sekitar terutama daerah Pelalawan.14

2. Hasil penelitian menteri kehutanan dan lingkungan hidup untuk tahun


2008 penelitian hidup menyimpulkan bahwa PT RAPP, bersama dengan
PT Lapindo mendapatkan predikat hijau dari skala penilaian pemerintah
yang berarti telah ‘cukup memenuhi’ standard pemerintah. Namun
WALHI segera angkat bicara dan memprotes kemungkinan adanya
ketidaksesuaian antara fakta di lapangan dan pengukuran ranking

13 Diambil dari http://www.riauterkini.com/politik.php?arr=21744 diakses pada 2 Februari 2009


p.k. 13.20 WIB
14 Diambil dari http://riaumandiri.net/indexben.php?id=6071 diakses pada 29 Januari 2009 p.k.
00.20 WIB
perusahan-perusahaan tersebut.15 LSM lingkungan di Indonesia memang
mengambil stance kritis terhadap pemerintah dan program CSR
perusahaan yang dinilai membahayakan keselamatan lingkungan.

3. Penyegelan bahan baku kayu milik PT Riau Andalan Pulp & Paper oleh
polisi pada 15 Februari 2007 dipersoalkan Dinas Kehutanan Riau karena
dinilai tidak berdasar. Media lokal juga memprotes langkah polisi.
Sedangkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Riau dari Partai
Kebangkitan Bangsa, Yulios, menuding penyegelan itu menghambat
investasi.16 Hal ini seolah menyiratkan bahwa Riaupulp telah menanamkan
pengaruhnya dengan cukup signifikan di daerah Riau, tidak hanya
terhadap masyarakat sipil, namun termasul media dan pemerintah daerah.

Sedangkan, PT RAPP terus dikritik oleh WALHI karena dianggap memberikan


kinerja buruk dalam pengelolaan operasionalisasi produksinya, disamakan dengan
PT Newmont Nusa Tenggara.17 Protes WALHI terhadap RAPP juga kembali
datang bersamaan dengan protes terhadap kementerian kehutanan Indonesia
dalam rencana kebijakannya pada tahun 2008.18 Tuduhan dari Kalahari juga
mewarnai wajah ‘permusuhan’ LSM-LSM Indonesia terhadap salah satu
perusahaan penghasil kertas terbesar di dunia ini.19

IV.2. PT Lapindo Brantas

Sungguh ironis ketika PT Lapindo Brantas, suatu perusahaan kontraktor yang


seharusnya mengekstrak minyak dan gas bumi malah mengekstrak lumpur panas

15 Diambil dari http://korbanlumpur.info/index.php/media/media-lokal/86-korantempo-


kementerian-lingkungan-hidup-menuai-protes diakses pada 4 februari 2009, p.k. 11.30
16 Diambil dari http://www.tempointeractive.com/hg/nusa/sumatera/2007/03/03/brk,20070303-
94665,id.html diakses pada 6 Februari 2009 p.k. 14.50 WIB
17 Diambil dari http://www.walhi.or.id/kampanye/psda#media diakses pada 1 februari 2009, p.k.
15.45 WIb
18 Diambil dari http://www.walhi.or.id/kampanye/hutan/konversi/ diakses pada pada 3 Februari
2009, p.k. 11.30 WIB
19 Diambil dari http://www.jikalahari.org/in/berita/kolom.php diakses pada 4 Februari 2009, p.k.
17.30 WIB
di desa Renokenongo, kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo provinsi Jawa
Timur, Indonesia sejak 29 Mei 2006. Semburan lumpur tersebut sampai dengan
bulan Oktober 2006 belum berhasil dihentikan tersebut telah menyebabkan
tergenangnya kawasan pemukiman penduduk, tak kurang dari 10 pabrik, dan 90
hektar sawah di tiga kecamatan di sekitarnya, serta memengaruhi aktivitas
perekonomian di Jawa Timur. Banjir lumpur panas selain menganggu jadwal
perjalanan kereta api dari dan ke Surabaya, juga menyebabkan jalan tol Surabaya-
Gempol ditutup untuk ruas Gempol-Sidoarjo sehingga menyebabkan kemacetan
luar biasa di jalur dari dan menuju ke Surabaya dan mengharuskan pembangunan
jalur tol pengganti.

Ada dua versi penyebab banjir lumpur panas ini. Pertama, gempa berkekuatan 5,9
skala Richter yang melanda Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelum awal
semburan, dengan episentrum sejauh 280 km dari pusat semburan lumpur. Kedua,
pengeboran sumur Banjar Panji-1 oleh PT Lapindo Brantas sejak awal Maret
2006 yang diperkirakan direncanakan dengan prediksi pengeboran yang salah.
Versi kedua ini didukung oleh voting konklusif antara 74 ilmuwan petroleum
dunia dalam Konferensi Internasional di Cape Town, Afrika Selatan, pada akhir
Oktober 2008.20 Kedua versi ini memiliki konsekuensi sosial, ekonomi, dan
politik masing-masing. Pada versi pertama, ketika lumpur Lapindo dikategorikan
sebagai bencana alam, tanggung jawab utama bukan berada pada pundak PT
Lapindo Brantas melainkan pada pemerintah yang berperan melayani dan
membela rakyatnya. Pada versi kedua, ketika semburan lumpur Lapindo
merupakan kesalahan PT Lapindo Brantas, tanggung jawab terhadap korban
lumpur berada pada Lapindo.

Koordinasi Pemerintah dan Masyarakat Sipil dalam Advokasi Tanggung


Jawab Sosial PT Lapindo Brantas

20 Lihat “Durham University - Conclusive vote on cause of Indonesian mud volcano”,


diakses dari http://korbanlumpur.info/media/media-asing/401-durham-university-conclusive-
vote-on-cause-of-indonesian-mud-volcano-.html 17 Februari 2009 15:28
Dalam penanggulangan masalah banjir lumpur panas Lapindo ini, terlihat bahwa
ada paradoks antara peran pemerintah dan BUMN, swasta, serta masyarakat sipil,
sehingga terjadi kontradiksi. Di antaranya, dalam mengusahakan kompensasi bagi
masyarakat sebagai korban yang paling dirugikan, di mana mereka harus
mengungsi dan kehilangan mata pencaharian, pemerintah hanya membebankan
kepada PT Lapindo pembayaran ganti rugi untuk empat desa (Kedung Bendo,
Renokenongo, Siring, dan Jatirejo) sementara desa-desa lainnya ditanggung
APBN, juga penanganan infrastruktur yang rusak. Di sini terlihat adanya
penerapan tripartit yang melenceng, di mana PT Lapindo seakan ingin
melimpahkan porsi terbesar tanggung jawab sosial dalam kasus ini kepada
pemerintah.

Sementara pemerintah tampak bersedia menanggung beban tanggung jawab ini,


pemerintah terlihat bersikap biasa-biasa saja dilihat dari poin-poin: (1)
ketidakseriusan menghentikan semburan, di mana payung kebijakan baru turun
tiga bulan pascasemburan lumpur dan sampai saat ini tidak ada mobilisasi
teknologi, ahli dan dana yang secara sungguh-sungguh diarahkan untuk
menghentikan semburan; (2) ketidakseriusan menangani dampak, di mana sampai
saat ini hak-hak korban tidak terlindungi dan tidak dipenuhi; sementara proses
hukum hanya dilakukan setengah hati, di mana berkas kasus sudah lebih dua
tahun cuma bolak-balik Kepolisian Daerah (Polda)-Kejaksaan Tinggi Jawa Timur
(Kejati Jatim); bahkan, meledaknya pipa Pertamina yang merenggut 12 nyawa
sama sekali tidak diusut; serta (3) ketidakpekaan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM), di mana dalam dua kali Sidang Paripurna (7 dan 27
Januari 2009) Komnas HAM belum membuahkan keputusan.21

Di lain pihak, PT Lapindo Brantas sendiri tampak tidak serius menanggung beban
tanggung jawab sosial dalam kasus ini dan lebih sering mengingkari kesepakatan
bersama dengan tripartit lainnya. Dengan pemerintah, sebagai contoh Lapindo

21 “Mengapa Komnas HAM Menunda Keputusan Kasus Lumpur Lapindo?” diakses dari
http://korbanlumpur.info/kata-mereka/tokoh-bicara/455-mengapa-komnas-ham-menunda-
keputusan-kasus-lumpur-lapindo-.html 17 Februari 2009 15:14
melanggar mekanisme pembayaran 80% sisa uang aset korban Lapindo yang
diatur dalam Peraturan Presiden yang mengatur pelunasan 20-80 dengan jangka
waktu sebelum masa kontrak dua tahun habis. Dengan masyarakat, Lapindo
sering mengingkari perjanjian-perjanjian yang telah disepakati bersama dengan
korban, Sebagai contoh, Lapindo tidak memberikan kejelasan setelah hampir tiga
tahun tentang perlunasan 80% tersebut.22

Poin lainnya adalah, ketika skenario antisipasi kegagalan penghentian semburan


lumpur sampai kepada pilihan penyaluran membuang langsung lumpur panas itu
ke Kali Porong, dilakukan pengujian toksikologis di tiga laboratorium
terakreditasi yang menyimpulkan lumpur Lapindo tidak termasuk limbah B3 dan
tidak berbahaya sehingga dapat dibuang ke perairan. Namun, Walhi menolak
rencana ini setelah menunjukkan hasil uji lumpur berbeda, yaitu bahwa lumpur
Lapindo tercemar logam kadmium (Cd) dan timbal (Pb) yang cukup berbahaya
serta kadar PAH (Chrysene dan Benz(a)anthracene) di atas ambang batas,
sehingga mengancam keberadaan manusia dan lingkungan. Paralel dengan
penolakan Walhi, Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi dalam Rapat
Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI, 5 September 2006, juga menyatakan
rencana pembuangan lumpur yang dilakukan dengan cara mengalirkannya ke laut
melalui Sungai Porong dapat mengakibatkan kegagalan panen produksi tambak
yang semakin meluas di sepanjang pesisir Sidoarjo dan daerah kabupaten lain di
sekitarnya, karena lumpur yang sampai di pantai akan terbawa aliran transpor
sedimen sepanjang pantai; memperburuk kerusakan ekosistem Sungai Porong;
serta mencemari Selat Madura dan sekitarnya. ITS sebagai BUMN pun telah
mengkaji alternatif dengan memisahkan air dari endapan lumpur lalu membuang
air ke laut. Namun, karena terjadinya peningkatan volume semburan lumpur,
Rapat Kabinet pada 27 September 2006 tetap memutuskan untuk membuang
lumpur panas Sidoardjo ke laut melalui Sungai Porong. Keputusan ini tentu saja
ditolak Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)23 dan ITS karena bisa
22 “Tim 16 Kembali Demo BPLS dan Minarak Lapindo”, diakses dari
http://korbanlumpur.info/kabar-korban/berita/464-tim-16-kembali-demo-bpls-dan-minarak-
lapindo.html 17 Februari 2009 14:53
23 Lihat “WALHI Jawa Timur Tolak Pembuangan Lumpur Lapindo”,
http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/industri/060905_lumpurlapindo-laut_sp/, diakses
mengakibatkan dampak yang semakin meluas terhadap sebagian besar tambak di
sepanjang pesisir Sidoarjo dan daerah kabupaten lain di sekitarnya juga
memperburuk kerusakan ekosistem Sungai Porong. Namun, pemerintah tetap
merealisasikan keputusan ini. Dari hal ini terlihat bahwa peran interaksi dan
koordinasi antara pemerintah dan masyarakat sipil sangat lemah.

Insentif Pemerintah

Insentif pemerintah dalam kasus Lapindo dijalankan dalam bentuk usaha


mengakomodasi kedua pihak, baik PT Lapindo Brantas maupun para korban
Lapindo, dalam usaha penyelesaian dampak sosial dan ekonomi kasus ini. Pada
akhirnya, altruisme pemerintah dianggap berlebihan ketika pada awalnya
pemerintah hanya membebankan kepada Lapindo pembayaran ganti rugi untuk 4
desa (Kedung Bendo, Renokenongo, Siring, dan Jatirejo) sementara desa-desa
lainnya ditanggung APBN, juga penanganan infrastruktur yang rusak. Hal ini
adalah konsekuensi pandangan bahwa semburan lumpur panas Lapindo dipicu
oleh gempa Yogyakarta, sehingga Lapindo tidak bertanggung jawab sepenuhnya
sementara dan hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah. Masyarakat juga
mensinyalir bahwa pemerintah berusaha merintangi usaha politisasi24 kasus ini
oleh masyarakat karena CEO PT Lapindo Brantas, Nirwan Bakrie, yang
merupakan adik kandung dari pengusaha dan Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia pada Kabinet Indonesia Bersatu,
Aburizal Bakrie.

Beberapa insentif pemerintah yang nyata akhir-akhir ini adalah sebagai berikut.

1. Di tingkat nasional, pemerintah merespon demo korban Lapindo yang


tergabung dalam Tim 16 Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera I

pada 26 Januari 2009, 21:50


24 Yang dimaksud oleh penulis dengan “politisasi” dalam konteks ini adalah seluruh
usaha oleh seluruh pihak untuk membuat suatu isu menjadi agenda politik pemerintah.
Keberhasilan usaha politisasi akan berlanjut kepada “sekuritisasi”, yaitu seluruh respon
pemerintah terhadap isu yang dipolitisasi, termasuk menciptakan basis legal formal
(Tim 16 Perum TAS I) terhadap Istana Negara pada 2-3 Desember dengan
memanggil Nirwan Bakrie, CEO Lapindo, dan beberapa menterinya untuk
membuat kesepakatan dengan perwakilan Tim 16 tentang pembayaran
bertahap.25

2. Di tingkat lokal, pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur


Soekarwo-Syaifullah Yusuf (Karsa) pada 30 Januari 2009 berjanji akan
menuntaskan kasus Lapindo serta memberi ganti rugi warga korban di luar
peta terdampak.26 Sukarwo pun berjanji akan meminta Presiden Susilo
Bambang Yudoyono untuk mendesak PT lapindo Brantas untuk segera
membayar sisa ganti rugi 80% yang sudah telat hampir satu tahun serta
mencarikan dana talangan dari pemerintah daerah maupun pusat untuk
ganti rugi semua korban.27

Insentif Masyarakat

Insentif masyarakat dalam kasus Lapindo dijalankan dalam bentuk primernya


advokasi kepada pemerintah dan pihak PT Lapindo Brantas untuk melindungi apa
yang dipersepsikan sebagai hak-hak pada korban Lapindo dalam kasus ini,
sebagai penjaga kepentingan para korban, dan kritik terhadap performa
pemerintah dan Lapindo dalam penyelesaian kasus ini. Bentuk nyatanya antara
lain adalah demo sebagai ungkapan protes dan pengajuan tuntutan.

Contoh aksi demo masyarakat antara lain sebagai berikut.

1. Tim 16 Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera I (Tim 16 Perum TAS


I) pada 3 Desember 2008 menandatangani kesepakatan skema cicilan 30
25 “Penggantian Aset Korban yang Tak Kunjung Beres”, diakses dari
http://korbanlumpur.info/kabar-korban/berita/452-penggantian-aset-korban-yang-tak-kunjung-
beres-.html 18 Februari 2009 17:46
26 “Warga Menanggapi Dingin Sesumbar Karsa”, diakses dari http://korbanlumpur.info/
kabar-korban/berita/459-warga-menanggapi-dingin-sesumbar-karsa.html 17 Februari 2009
15:11
27 “Koalisi Korban Lapindo Demo Tuntut Penuntasan Kasus Lapindo”, diakses dari
http://korbanlumpur.info/kabar-korban/berita/465-koalisi-korban-lumpur-demo-tuntut-
penuntasan-kasus-lapindo.html 18 Februari 2009 17:26
juta per bulan itu, kecewa setelah mendemo Istana Negara pada 2-3
Desember.28

2. Pada 23 Desember 2008 lalu, ribuan warga dari tujuh desa korban lumpur
Lapindo yang tergabung dalam Gerakan Pendukung Perpres No 14 Tahun
2007 (Geppres) menutup jembatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis,
sebagai ungkap protes menuntut sisa pembayaran ganti rugi sebesar 80%
yang harus dibayar PT Lapindo Brantas secara tunai.29

3. Pada pagi 11 Febuari 2009, sekitar 4000 korban Lapindo dari Perumahan
Tanggul Angin Sejahtera I yang terorganisir rapi dalam kelompok TIM 16
mendemo kantor Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dan
kantor PT Lapindo Brantas, setelah Lapindo melanggar kesepakatan.30

4. Pada 16 Februari 2009, para korban Lapindo yang tergabung dalam


Koalisi Kelompok Korban Lapindo (K3L) yang terdiri dari Geppres (yang
menuntut pembayaran cash and carry), Laskar Korban Lumpur atau
Lasbon Kapur (yang menuntut 20% cash dan 80% diganti rumah),
Pengungsi Pasar Baru Renokenongo/Persatuan Warga Renokenongo
Korban Lapindo alias Pagar Rekorlap (pembayaran belum tuntas 20% dan
belum menentukan sikap untuk 80%), dan Persatuan Warga Perum TAS I
alias tim 16 mendemo pasangan gubernur baru Jawa Timur pasangan
Sukarwo dan Syaifullah Yusuf, mendesak gubernur untuk berkomitmen
kepada korban Lapindo serta menuntut pemerintah untuk memberikan
dana talangan untuk para korban.31

28 “Penggantian Aset Korban yang Tak Kunjung Beres”, diakses dari


http://korbanlumpur.info/kabar-korban/berita/452-penggantian-aset-korban-yang-tak-kunjung-
beres-.html 18 Februari 2009 17:46
29 “Korban Lumpur Lapindo Tutup Jembatan Porong”, diakses dari
http://hotmudflow.wordpress.com/2008/12/23/korban-lumpur-lapindo-tutup-jembatan-porong/
17 Februari 2009 14:44
30 “Tim 16 Kembali Demo BPLS dan Minarak Lapindo”, diakses dari
http://korbanlumpur.info/kabar-korban/berita/464-tim-16-kembali-demo-bpls-dan-minarak-
lapindo.html 17 Februari 2009 14:53
31 “Koalisi Korban Lapindo Demo Tuntut Penuntasan Kasus Lapindo”, diakses dari
http://korbanlumpur.info/kabar-korban/berita/465-koalisi-korban-lumpur-demo-tuntut-
penuntasan-kasus-lapindo.html 18 Februari 2009 17:26
27

BAB V

PENUTUP

V.1. Simpulan

Studi kasus penulis atas berbagai perusahaan besar yang menjadi subjek penelitian
menunjukkan bahwa sebagai suatu gagasan, CSR sudah menjadi wacana umum
yang telah tersosialisasi dengan baik di Indonesia dan menjadi konsideran
perusahaan sebagai aspek yang dapat memberi dampak positif terhadap usahanya
karena merupakan investasi sosial dan bukan komponen biaya yang akan
mengurangi keuntungan. CSR bukan lagi suatu keharusan bagi perusahaan,
melainkan kebutuhan untuk memperoleh modal sosial, karena terdapat korelasi
positif antara profit atau tujuan finansial perusahaan dengan CSR atau tujuan
sosial perusahaan. Berbagai pertimbangan lain seperti bahwa nilai konsumsi
masyarakat didasarkan pada pertimbangan etika sosial perusahaan juga pada
akhirnya membuat CSR menjadi bagian sentral dan penting di berbagai
perusahaan. Namun, pada akhirnya kesadaran implementasi CSR masih belum
optimal di Indonesia karena terdapat beberapa perusahaan yang masih tidak peduli
dengannya karena kurangnya pandangan positif terhadap aspek lingkungan dan
sosial di sekelilingnya.

Di lain pihak, konsep tripartit masih mengalami kendala dalam implementasinya.


Dalam lingkungan penyelenggaraan tripartit tersebut, terlihat bahwa peran
interaksi dan koordinasi antara ketiga sudut segitiga tersebut masih lemah.
Beberapa catatan penulis adalah bahwa konsep triple bottom line ternyata malah
memberi masalah di beberapa kasus. Salah satu contohnya adalah dalam kasus PT
Riau Andalan Pulp and Paper, di mana masyarakat sipil di tingkat lokal dan
pemerintah daerah mengalami bias terhadap perusahaan tersebut, sehingga
memberikan resistensi terhadap usaha para LSM dan NGO serta pemerintah pusat.
Sementara itu, dalam kasus lumpur panas Lapindo, pemerintah pusat disinyalir
tidak tanggap dengan tuntutan masyarakat dan sering menunda keputusan,
sehingga butuh sentakan-sentakan drastis sebelum memulai langkahnya. Pihak
swasta sendiri (PT Lapindo Brantas) terkesan tidak bertanggung jawab terutama
dalam pembayaran terhadap para korban lumpur. Yang terkonstruksi di benak
masyarakat malah adanya isu main belakang antara pemerintah dan PT Lapindo
Brantas terkait hubungan CEO Lapindo dengan salah seorang menteri kabinet.

V.2. Saran

Kasus PT Riau Andalan Pulp and Paper memperlihatkan kepada kita bagaimana
lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau non-governmental organization (NGO)
yang bertujuan mengembangkan masyarakat dalam konteks social development
dalam isu-isu kemanusiaan tidak mampu melakukan pendekatan yang benar-benar
bottom-up, malah sebenarnya top-down. Para LSM dan NGO tersebut mengalami
resistensi karena kurangnya keterkaitan langsung dengan masyarakat sipil di
tingkat lokal terkait isu PT RAPP. Oleh karena itu, seharusnya para LSM dan
NGO dapat bersikap lebih membumi dan organik serta supel terhadap masyarakat
untuk dapat membaca kepentingan mereka. Selain itu, pemerintah pusat yang juga
menerima resistensi masyarakat terkait isu PT RAPP menunjukkan
ketidakpekaannya terhadap isu tersebut, sehingga seharusnya pemerintah pusat
dapat berkoordinasi dalam meninjau regulasi ulang terkait isu-isu krusial.

Sementara itu, kasus Lapindo menunjukkan peran masyarakat dalam melakukan


politisasi isu tersebut dengan melakukan berbagai diskursus dan sosialisasi
gagasan, sehingga isu Lapindo dapat dianggap sebagai isu dengan tingkat prioritas
yang lebih tinggi oleh pemerintah. Proses politisasi dapat menjadi sarana
memperkuat kontrol politik masyarakat terhadap pemerintah, sehingga
masyarakat sipil dapat menjalankan peran primernya dalam tripartit sebagai
penjaga dan pengkritik, pelindung hak-hak masyarakat, dan penyampai aspirasi.

28
29

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Bulkin, Farchan. Negara Masyarakat dan Ekonomi. Jakarta: Prisma 8, 1984

Firmanzah. Globalisasi; Sebuah Proses Dialektik Sistemik. Jakarta: Yayasan Sad


Satria Bhakti, 2002

Henriques, Adrian dan Julie Richardson, eds. The Triple Bottom Line, Does It all
Addss Up? Asserting The Sustainability of Business and CSR. London: Sterling
V.A, 2004

O’Brien R. ed. Contestiing Global Governance: Multilateral Economic


Institutions and Global Social Movements. Cambridge: Cambridge University
Press, 2000

Sumber Internet

http://riaumandiri.net/indexben.php?id=6071

http://www.riauterkini.com/politik.php?arr=21744

“Durham University - Conclusive vote on cause of Indonesian mud volcano”


diakses dari http://korbanlumpur.info/media/media-asing/401-durham-
university-conclusive-vote-on-cause-of-indonesian-mud-volcano-.html

“Guidance on Good Practices in Corporate Governance Disclosure”


http://www.unctad.org/en/docs/iteteb20063_en.pdf

“Korban Lumpur Lapindo Tutup Jembatan Porong”


http://hotmudflow.wordpress.com/2008/12/23/korban-lumpur-lapindo-tutup-
jembatan-porong/

“Lumpur Lapindo Tidak Dapat Ditutup, Kata Geolog Internasional”


http://hotmudflow.wordpress.com/2008/10/23/lumpur-lapindo-tidak-dapat-
ditutup-kata-geolog-internasional/

“Manual for the Preparers and Users of Eco-efficiency Indicators”


http://www.unctad.org/en/docs/iteipc20037_en.pdf

“Mengapa Komnas HAM Menunda Keputusan Kasus Lumpur Lapindo?”


http://korbanlumpur.info/kata-mereka/tokoh-bicara/455-mengapa-komnas-ham-
menunda-keputusan-kasus-lumpur-lapindo-.html

“Penggantian Aset Korban yang Tak Kunjung Beres”


http://korbanlumpur.info/kabar-korban/berita/452-penggantian-aset-korban-
yang-tak-kunjung-beres-.html

“The GoodCorporation Standard”


http://www.goodcorporation.com/PDF/standard_2007.pdf

“Tim 16 Kembali Demo BPLS dan Minarak Lapindo”


http://korbanlumpur.info/kabar-korban/berita/464-tim-16-kembali-demo-bpls-
dan-minarak-lapindo.html 17 Februari 2009 14:53

“WALHI Jawa Timur Tolak Pembuangan Lumpur Lapindo”


http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/industri/060905_lumpurlapindo-
laut_sp/

“Warga Menanggapi Dingin Sesumbar Karsa” http://korbanlumpur.info/kabar-


korban/berita/459-warga-menanggapi-dingin-sesumbar-karsa.html

Sumber Jurnal

Shamir, Ronen. Between Self-Regulation and the Alien Tort Claims Act: On the
Contested Concept of Corporate Social Responsibility. Law & Society Review,
Vol. 38, No. 4 (Des., 2004), h. 635-664

30
31

DAFTAR RIWAYAT HIDUP PESERTA

Ahmad Naufal Dai (0706291174)

Tempat/Tanggal Lahir : Bandung, 16 Agustus 1990


Status : Belum menikah
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Asrama UI Depok
Nomor Kontak : +6285691579245
Alamat E-mail : accuser_of_justice@yahoo.com
Informasi Pendidikan : Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI
2007

Tangguh (0706291426)

Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 14 Januari 1990


Status : Belum menikah
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jalan Palembang blok F no. 194 RT 002/05 Perum
Masnaga Raya Jakamulya Bekasi Selatan 17146
Nomor Kontak : +628158210373
Alamat E-mail : altria_arc@yahoo.com
Informasi Pendidikan : Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI
2007

Das könnte Ihnen auch gefallen