Sie sind auf Seite 1von 18

4

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Foraminifera Foraminifera merupakan hewan akuatik yang termasuk ke dalam Filum Protozoa, Kelas Sarcodina, subkelas Rhizophoda dan Ordo Foraminiferida. Foraminifera diklasifikasi menurut Yassini dan Jones (1995), sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Protozoa Subphylum: Sarcomastigophora Superclass: Sarcodina Class: Rhizopoda Subclass: Granulorecticulosa Ordo: Foraminiferida 2.2. Morfologi Foraminifera Bentuk penampakan luar foraminifera menurut Boltovskoy dan Wright (1976), antara lain sebagai berikut (Gambar 1): 1. Dinding, yaitu lapisan terluar dari foraminifera yang berguna melindungi bagian dalam tubuhnya. Dinding foraminifera terbentuk dari silica keras yang disekresikan dari tubuhnya. 2. Kamar, merupakan bagian utama foraminifera yang didalamnya terdapat organel-organel yang mengatur sistem metabolisme sel, diantaranya inti sel, vakuola kontraktil, mitokondria dan vakuola makanan. 3. Protoculum, merupakan kamar utama pada cangkang foraminifera didalamnya terdapat nukleus mengatur aktivitas sel.

4. Septa, dinding tipis yang membagi kamar menjadi beberapa bagian yang terpisah. 5. Suture, bagian dari bidang cangkang yang memisahkan kamar-kamar yang terbentuk. 6. Aperture, merupakan lubang jalan tempat keluar masuknya zat kedalam atau dari tubuhnya berfungsi sebagai mulut dan merupakan tempat mensekresikan kalsium karbonat (CaCO3) untuk menyemen tubuhnya pembentukan dalam cangkang.

Gambar 1. Bagian dan struktur tubuh Foraminifera (Suhaidi, 2008) Organisme ini memiliki pseudopodia seperti jala yang disebut reticulopodia (Gambar 2) yang merupakan penjuluran protoplasma sel yang berfungsi sebagai alat penangkap mangsa, bergerak atau berenang, menempel dan mempertahankan kedudukannya dalam badan air. Bentuk cangkangnya sangat bervariasi, mulai dari bentuk yang sederhana, bulat, lonjong, panjang sampai berduri-duri.

Gambar 2. Morfologireticulopodia Foraminifera 2.3. Bioekologi Foraminifera Foraminifera merupakan organisme yang eukariotik uniseluler heterotropik dan sangat tergantung oleh fitoplankton dan alga sehingga termasuk ke dalam Filum Protozoa. Berdasarkan daur hidupnya foraminifera termasuk ke dalam kelompok Holoplankton (zooplankton sejati) atau organisme plankton di seluruh siklus hidupnya. Foraminifera merupakan 2,5 % dari semua hewan Kambrium sampai resen yang diketahui (Boltovskoy dan Wright, 1976). Foraminifera hidup di laut tersebar diberbagai karakteristik dan bentuk perairan geografis perairan seperti perairan laut dangkal, perairan laut dalam, perairan estuari, perairan pesisir laut, perairan subur, perairan tercemar, perairan hangat dan perairan dingin (kutub). Foraminifera planktonik hidup pada air laut dengan salinitas normal, tidak ditemukan pada air tawar atau pada lingkungan air hypersaline yaitu lingkungan air dengan salinitas sangat tinggi (Boltovskoy dan Wright, 1976). Hidup pada zona yang cukup mendapat sinar matahari photic dan

sedikit pada zona yang tidak mendapat sinar matahari Batial. Foraminifera planktonik memiliki penyebaran yang luas membuat Foraminifera planktonik sangat baik untuk menentukan umur sedimen. Foraminifera dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu foraminifera planktonik dan foraminifera benthik. Foraminifera planktonik merupakan organisme yang hidupnya melayang-layang dalam air laut dari zona permukaan sampai kedalaman 1000 m, berukuran antara 50-100 mikron, dengan ciri-ciri utama mempunyai bentuk test bulat berkomposisi gamping hyaline, susunan kamarnya pada umumnya trochospiral(Gustiantini, 2001). Ukuran cangkang juga ditemukan antara 5 m sampai ukuran 20 cm. Terdapat sekitar 30-50 spesiesforaminifera planktonik dan masuk ke dalam kelompok dari dua famili yaitu Globigerinidae (bentuk spinose) dan Globorotalidae (bentuk nonspinose). Sebagai contoh, pada sample sedimen di Laut Timor saat ekspedisi VITAL 2005, ditemukan kumpulan foraminifera planktonik sangat melimpah dalam jumlah lebih dari 80% (Okvariani, 2002). Di laut dalam seperti Laut Banda, foraminifera planktonik mendominasi sedimen dasar laut dan kelimpahannya dapat mencapai 90 % dibandingkan dengan foraminifera benthik di kedalaman lebih dari 1000 meter (Van Marle et al.,1987). Foraminifera bentik merupakan organisme yang hidupnya terbatas pada dasar laut (bentos). Ciri-ciri utamanya antara lain susunan kamar planispiral, bentuk cangkang yang lebih pipih (Streamline), memanjang, komposisi test aglutineous dan arenaceous. Golongan ini hidup di dasar laut mulai dari tepi sampai kedalaman lebih dari 3000 m. Kondisi optimum terjadi pada kedalaman

150-300m, dimana ada ribuan bahkan sepuluh ribu spesimen per meter persegi (Boltovskoy dan Wright, 1976). Aktivitas kehidupan dan sebaran foraminifera bentik dipengaruhi oleh faktor abiotik dan biotik dari lingkungan tempat hidupnya, seperti salinitas, suhu, substrat, kedalaman, nutrisi, kandungan organik dalam sedimen, kekeruhan, gelombang dan arus, serta faktor-faktor ekologi lainnya. Kemampuan beradaptasi sangat mempengaruhi kehidupan foraminifera benthik untuk dapat berproduksi dan bertahan di habitatnya, mulai dari perairan dangkal sampai laut dalam (Dewi dan Darlan, 2008). Cangkang foraminifera sangat beranekaragam memiliki bentuk rumit dan kompleks karena pengaruh habitatnya. Keunikan foraminifera seperti bentuk, ciri struktur cangkang merupakan kunci dalam mengindentifikasi jenis dan spesies foraminifera (Dewi dan Darlan, 2008). Spesies foraminifera yang berhasil diketemukan dan diberi penamaan mencapai sekitar 275.000 spesies dan banyak jenis foraminifera yang masih belum diidentifikasi (Loeblich dan Tapan, 1994). Cangkang foraminifera berbentuk partikel biogenis banyak ditemukan di antara partikel non-biogenisseperti mineral, fragmen batuan dan lain-lain. Kumpulan partikel dari spesies tertentu dapat membentuk hamparan pantai berpasir putih. Sebagai contoh, Amphistegina spp. merupakan anggota dari foraminifera yang di pantai-pantai di Hawaii sejak 1500 tahun yang lalu (Dewi dan Darlan, 2008). Di Indonesia, foraminifera Shlumbergerella floresianaditemukan di pantai sekitar Kesuma Sari (Barbin, 1987 in Renema, 2008) dan menyebar di sekitar Pulau Bali sampai Pulau Lombok (Adisaputra, 1998 in Dewi dan Darlan, 2008). Di pesisir Selatan Pulau Jawa di

dominasi oleh kumpulan Sphaerogypsina globules yang memberikan warna putih kecoklatan di Pantai sekitar Prigi, Trenggalek, Jawa Timur. Di perairan laut dangkal terutama pada ekosistem terumbu karang foraminifera benthik merupakan salah satu kontributor penting dalam pembentukkan hamparan terumbu karang setelah alga gampingan (Boersma, 1978). Antara forminifera benthik dan terumbu karang terjadi simbiosis mutualistis. Foraminifera merupakan organisme yang sangat melimpah di lingkungan termbu karang, untuk memproduksi material biogenik sebagai bahan pembentuk kerangka karang (Molengraaff, 1928 dan Wells, 1957, in Tomascik et al., 1997). Foraminifera merekat pada rumput laut, alga dan fragmen koral di Pulau Pari, Teluk Jakarta dan penciri utama lingkungan terumbu didominasi oleh Calcarina (Rositasari, 1993). Di paparan Spermonde, Sulawesi Selatan, forminifera membentuk 40-80% sedimen dasar laut (Renema, 2008). Selain terumbu karang, foraminifera juga mendiami lingkungan payau, yang umumnya berhutan mangrove, sedimennya berbutir halus, banyak mengandung sisa-sisa tanaman salinitas rendah dan jumlah spesiesnya tidak bervariasi. Trochamina inflate, Miliammina fusca dan Jadammina polystoma merupakan spesies yang umum ditemukan di sekitar hutan mangrove (Dewi dan Darlan, 2008). Lingkungan laguna juga sesuai bagi kehidupan foraminifera tertentu karena adanya pengaruh daratan dan lautan dalam perairan itu. Karakteristik organismenya dengan keanekaragaman yang rendah, dicirikan dengan spesies dari genera Rotalia, Ammonia, Elphidium, Ammobaculites, Reophax Textularia

10

Haplophragmoides dan lain-lain. Jumlah individunya juga rendah dan tidak ditemukan foraminifera planktonik (Dewi dan Darlan, 2008) Dibandingkan dengan foraminifera planktonik, foraminifera bentik sangat sensitif terhadap berbagai perubahan lingkungan seperti temperatur, salinitas, cahaya, kedalaman, dan kandungan oksigen. Hal ini disebabkan organismeorganisme benthik ini hidup dengan menempelkan diri pada lapisan permukaan sedimen hingga kedalaman beberapa centimeter (5-10 cm), batuan, tumbuhtumbuhan laut dan karang yang berada di dasar perairan serta berasosiasi dengan terumbu karang sehingga merupakan indikator lingkungan terumbu karang yang sangat potensial (Boltovskoy dan Wright, 1976). Alasan lain adalah karena struktur tubuhnya terdiri dari satu sel, menyebabkan organisme ini lebih cepat memberikan respon terhadap berbagai perubahan lingkungan, yang dapat berupa rendahnya spesimen dan terjadinya perubahan morfologi foraminifera itu sendiri (Rositasari, 1996). 2.4. Foraminifera Sebagai Bioindikator Cangkang foraminifera yang keras dan sulit terurai menjadikan foraminifera dijadikan pedoman oleh Geologi sebagai penciri lingkungan pengendapan dan penentuan umur batuan (Biostratigrafi) dan dalam pencarian sumberdaya minyak, gas alam atau mineral (Natsir, 1996). Fenomena-fenomena khusus yang menyebabkan foraminifera memiliki potensi yang besar sebagai indikator menurut Dewi dan Darlan (2008), yaitu: foraminifera memiliki siklus hidup pendek, sehingga memberi respon yang cepat terhadap perubahan lingkungan atau perubahan akibat aktifitas manusia. Terdapatnya kumpulan

11

foraminifera di estuarin mengindikasikan perubahan karena limbah yang masuk ke dalam lingkungan tersebut. Banyak jenis foraminifera oportunistik mendapat keuntungan langsung atau tidak langsung dari jenis polutan tertentu. Keuntungan langsung adalah terdapatnya tambahan nutrisi bagi jenis tersebut seperti senyawa organik, nutrien, bakteri, mineral dan sebagainya. Keuntungan tidak langsung adalah dengan berkurangnya kompetisi dan predasi (Dewi dan Darlan, 2008). Keanekaragaman jenis di daerah buangan berkurang, namun pada jarak tertentu akan tercapai keseimbangan yang mengakibatkan tingginya populasi jenis toleran. Deformasi cangkang terdapat secara alamiah, namun lebih banyak ditemukan di perairan yang terpolusi. Sebaran jenis hidup di estuariseharusnya diamati mulai dari sebelum terjadinya pencemaran, namun hal ini tidak memungkinkan karena hampir seluruh estuari saat ini telah mengalami pencemaran. Cara lain adalah dengan mengamati sample hasil spesimen dan membandingkannya. Walaupun telah banyak dilakukan berbagai penelitian yang berkaitan dengan foraminifera sebagai indikator pencemaran, masih banyak hal yang belum terungkap dengan baik. Sebelumnya Rositasari (1993) telah mengungkapkan keunggulan foraminifera sebagai bioindikator yang sangat efektif dan ekonomis dibandingkan biota lain, yaitu: 1. Ditemukan pada hampir semua lingkungan pesisir dalam jumlah jenis yang cukup banyak. Dengan demikian untuk mendapatkan data yang signifikan hanya diperlukan sejumlah kecil sample; 2. Cangkang kosong dari foraminifera dapat bertahan dalam waktu yang lama didalam sedimen, sehingga memudahkan penganalisaan;

12

3. Siklus reproduksi relatif pendek, sebagian besar hanya mencapai beberapa bulan dan sebagian lain mencapai 1 tahun. Hal tersebut memungkinkan dilakukannya pengamatan pada berbagai bentuk respon organisme ini terhadap lingkungan hidupnya, yang dapat berupa variasi fenotip (morfologi) yang dapat terlihat dalam waktu relatif singkat. Perubahan morfologi inilah yang banyak digunakan sebagai indikator lingkungan tempat hidupnya; 4. Publikasikan tentang foraminifera dan lingkungan hidupnya telah banyak dibahas dalam beberapa dekade ini sehingga memudahkan dalam mendapatkan sumber acuan. Keberadaanforaminifera akan dapat memberikan gambaran kondisi lingkungan hidupnya yang berbeda. Pada lingkungan perairan dengan tingkat sedimentasi tinggi, distribusi foraminifera akan menunjukkan keanekaragaman jenis yang tinggi dengan tingkat populasi spesimen hidup yang rendah (Rositasari, 2009). Penurunan kualitas lingkungan yang terjadi pada lingkungan muara sungai menyebabkan hanya jenis tertentu yang dapat mempertahankan diri dan dapat berkembang di lingkungan ini. Rositasari (2002) menunjukkan bahwa masukan air laut kebeberapa Sungai Ciawi, muara sungai Bekasi, Sungai Dadap, dan sungai Cilincing, memiliki kesamaan beberapa jenis yang mencirikan lingkungan muara sungai, yaitu Ammonia becarii, berbagai jenis Elphidium sp. serta beberapa jenis foraminifera bentik penciri perairan payau seperti Trochammina, Cyclammina, dan Rheopax.

13

Gambar 3. Spesies-spesies foraminifera yang terdapat di perairan Indonesia (Dewi dan Darlan, 2008) Sejak beberapa dekade terakhir yang lalu mulai dipelajari mengenai pengaruh pencemaran lingkungan terhadap foraminifera bentonik oleh (Gustiantini,2001) dan disimpulkan bahwa: 1. Spesies foraminifera sensitive terhadap polusi 2. Spesies foraminifera tertentu muncul dan justru dominan pada area terkontaminasi; 3. Spesies tertentu membangun cangkang yang tidak normal pada area polusi. Beberapa cangkang foraiminifera menunjukkan gejala abnormalitas akibat tekanan lingkungan. Rositasari (2009) menyimpulkan bahwa tingginya tingkat kematian dan kemunculan cangkang abnormal erat kaitannya dengan pola arus , sebaran sedimen dan suspensi serta kandungan logam berat di perairan.

14

Abnormalitas pada morfologi cangkang foraminifera telah diamati oleh Alve (1991) dengan dugaan bahwa gejala tersebut akibat polusi logam berat. 2.5. Keterkaitan Karakteristik Oseanografi terhadapForaminifera Karakteristik oseanografi ditentukan oleh berbagai parameter oseanografi, diantaranya suhu, salinitas, total padatan tersuspensi (TSS), kedalaman, fitoplankton, bahan-bahan terlarut, bahan anorganik, bahan organik, penetrasi cahaya, kandungan oksigen, gelombang, arus, turbiditas, substrat, nutrisi. Suhu memiliki peranan dalam pembentukan ukuran cangkang dan bentuk morfologi cangkang (Boltovskoy dan Wright, 1976). Foraminifera dapat ditemukan pada kisaran suhu (10- 300C) (Boersma dan Haq, 1984 in Okvariani, 2002), namun pada suhu hangat (tropis) foraminifera dapat tumbuh optimal pada kisaran suhu antara 210 sampai 260C (Boltovskoy dan Wright, 1976). Pada suhu terendah foraminifera mempunyai ukuran cangkang yang maksimal dan komposisi yang padat, sedangkan pada suhu air yang tinggi foraminifera kurang dapat bertahan pada kondisi tersebut (Okvariani, 2002). Salinitas mempengaruhi pertumbuhan foraminifera, siklus reproduksi dan bertahan untuk hidup. Foraminifera planktonik sangat sensitif terhadap perubahan salinitas. Foraminifera ini hidup pada salinitas normal dengan kisaran salinitas (30-40). Foraminifera bentonik dominan pada kisaran salinitas (18-30) (Boltovskoy dan Wright, 1976). Namun sebagian besar spesimen foraminifera menunjukkan pertumbuhan rata-rata tertinggi dan kelimpahan populasi besar pada perairan salinitas 34 (Boltovskoy dan Wright, 1976). Kelimpahan foraminifera cenderung mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya kedalaman (Adithya, 2008). Pada laut dangkal variasi jenis

15

foraminifera serta jumlah foraminifera semakin besar. Pada laut dalam yang memiliki tekanan yang besar menyebabkan foraminifera berdinding aglutinin saja yang dapat bertahan walaupun dengan jumlah yang sangat sedikit. Pada laut dangkal kandungan oksigen masih tinggi dan nutrien phosphate dan nitrat menyebabkan jumlah foraminifera benthonik pada area ini sangat tinggi. Bahan anorganik berupa, sisa bahan industri, buangan limbah pabrik, sampah plastik, sisa-sisa bahan kimia, bahan bakar fosil dan kemasan produk serta detergen dapat mengganggu keberadaan, pertumbuhan, perkembangan dan diversitas foraminifera. Bahan-bahan organik berupa detergen menyebabkan perairan yang terkontaminasi bahan tersebut menjadi asam dan mengganggu metabolisme foraminifera dan mekanisme pembentukan cangkang foraminifera serta mengganggu proses sekresi kalsium karbonat (CaCO3) (Rositasari, 1993) Penetrasi cahaya matahari berperan penting dalam fotosintesis fitoplankton dan algae yang hidup bersimbiosis dengan foraminifera (Okvariani, 2002) dan sebagai sumber makanan foraminifera (Boltovskoy dan Wright, 1976). Apabila organisme-organisme tersebut tidak dapat berfotosintesis kembali mengakibatkan jumlah foraminifera berkurang seiring menurunnya jumlah fitoplankton dan Algae tersebut. Konsentrasi oksigen memiliki pengaruh terhadap struktur morfologi cangkang. Pada umumnya foraminifera yang beradaptasi dengan oksigen minim berukuran kecil, tidak berornamentasi, tipis, hidupnya menempel, dan berdinding cangkang gampingan. Kandungan oksigen yang minim dan pH yang asam mengakibatkan berkurangnya kemampuan foraminifera untuk mensekresi kalsium karbonat (Rositasari, 1993).

16

Gelombang dan arus berperan penting dalam difusi oksigen dari udara ke dalam perairan laut serta berperan dalam distribusi nutrien dan sumber makanan bagi foraminifera. Arus juga berperan dalam distribusi organisme laut dan siklus reproduksinya. Arus membantu dalam penyebaran fase gamet dan embrio foraminifera planktonik, dimana foraminifera tersebut sangat tergantung oleh arus (Boltovskoy dan Wright, 1976; Pringgoprawiro et al., 1994). Foraminifera memanfaatkan material substrat untuk mensekresikan bahan penyusun cangkang melalui mekanisme kimiawi (Boltovskoy dan Wright, 1976). Substrat lumpur dan lanau merupakan tempat yang ideal bagi foraminifera. Foraminifera yang hidup pada substrat lumpurlanau pada umumnya memiliki cangkang yang tipis, rapuh berbentuk bulat telur, struktur kamar trochospira. Foraminifera jenis Elphidium sp banyak ditemukan pada area tersebut. Pada subtrat berpasir dan berkerikil kandungan bahan organiknya rendah cangkang foraminifera tebal, ornamentasi unik, lonjong dan cembung-cembung seperti Quinqueloculina sp (Rositasari, 1996). Turbiditas dapat mengganggu proses fotosintesis antara algae dan fitoplankton sebagai sumber makanan bagi foraminifera. Hal ini mengakibatkan ketersediaan makanan menjadi terbatas sehingga terjadi persaingan antara organisme termasuk predasi sehingga populasi foraminifera menjadi berkurang. Turbiditas mempengaruhi proporsi jumlah foraminifera bentonik berdinding gampingan calcareous, sedangkan foraminifera pembentuk dinding cangkang pasira (agglutinated) semakin meningkat karena tidak memerlukan bikarbonat dari hasil fotosintesis fitoplankton (Boltovskoy dan Wright, 1976).

17

2.6. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Kelapa merupakan salah satu dari ratusan pulau-pulau pasir dan terumbu karang yang terdapat di Kepulauan Seribu dan merupakan salah satu pulau dari sebelas pulau yang berpenghuni. Secara geografis Kepulauan Seribu terletak pada 10602000 BT hingga 10605700 BT dan 501000 LS hingga 505700 LS (Gambar 4), Pulau Kelapa dan Pulau Harapan termasuk kedalam tata wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu bagian dari Provinsi DKI Jakarta, Kelurahan Pulau Kelapa termasuk dalam Kepulauan Seribu Utara bersama-sama dengan Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Harapan. Berdasarkan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tahun 2010-2030, jumlah pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu mencapai 117 pulau yang terbagi dalam 2 kecamatan dan 6 kelurahan. Secara geologis Pulau Kelapa merupakan paparan benua yaitu bagian dari gugusan pulau-pulau tropis yang membentuk Kepulauan Seribu dengan kondisi perairan yang hangat sirkulasi air relatif lancar kondisi seperti ini sangat mungkin ekosistem terumbu karang dan biota-biota laut berasosiasi dengannya mencapai pertumbuhan maksimal (Dahuri, 1996 in Dewi dan Darlan, 2008). Lokasi pengambilan contoh sedimen terletak di bagian utara Teluk Jakarta sekitar 30 mil laut dari pesisir Teluk Jakarta memiliki air yang cukup jernih dan pasir laut yang putih dengan kedalaman 20-37 meter pada umumnya kurang dari 30 m. Pada zaman purba perairan ini merupakan daratan yang tidak tergenang oleh air karena terdapat pola aliran sungai bawah laut yang sekarang terjadi endapan sedimen (Nontji, 1993), sehingga penetrasi cahaya matahari mampu mencapai permukaan dasar laut, sehingga banyak sekali terdapat spot-spot terumbu karang.

18

Gambar 4. Lokasi Kepulauan Seribu di sebelah Utara Teluk Jakarta

Kondisi perairan laut dipengaruhi oleh dua musim antara lain musim Barat pada periode Bulan November-Maret dan musim Timur (Mei-September). Ratarata suhu di Kepulauan Seribu rata-rata antara 250-330 Celcius, sedangkan salinitas sangat variabel di perairan Indonesia. Hal ini disebabkan karena adanya curah hujan yang tinggi dan besarnya limpasan dari banyak sungai. Musim hujan terjadi pada bulan November hingga bulan April dengan intensitas hujan mencapai 20 hari/bulan. Berdasarkan data tahun 2000, curah hujan bulanan di Kepulauan Seribu rata-rata tercatat sebesar 142,54 mm dengan curah hujan terendah pada bulan Juni dan tertinggi pada bulan September (TERANGI, 2007). Kepulauan Seribu dipengaruhi oleh perairan Teluk Jakarta dimana bermuara 13 sungai yang membawa air tawar dalam jutaan meter kubik (m3) ke laut sehingga mempengaruhi salinitas dan tingkat kesadahan dari laut serta pH. Nilai pH yang

19

terukur pada lokasi pengamatan rata-rata sebesar 8,00-8.50 pada semua stasiun pengamatan (Huda, 2008). Perairan Indonesia termasuk iklim tropis, salinitas meningkat dari arah barat ke timur dengan kisaran antara 30 34 (Wyrtki, 1961). Namun salinitas di Pulau Kelapa cenderung konstan berkisar antara 32-33. Arus laut dipengaruhi angin musim barat dan musim timur. Pada musim barat angin bertiup kencang berakibat arus laut yang kuat bergerak dari barat ke timur disertai hujan deras, pada saat ini arus dapat mencapai 4-5 Knot dan tinggi gelombang mencapai 2 meter dan rata-rata 2-4 m tetapi tidak lebih dari 5 meter (Muzaki, 2008). Kecepatan arus pada musim barat dapat mencapai lebih dari 0,5 m/s dengan kecepatan arus tertinggi berada pada bagian timur (Muzaki, 2008). Perairan Kepulauan Seribu juga merupakan air laut yang berasal dari Samudera Pasifik melalui mekanisme Arlindo (Arus lintas Indonesia) yang membawa material Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia pada umumnya, air laut dari Samudera Pasifik merupakan air laut yang hangat dan banyak ditumbuhi plankton yang merupakan salah satu makanan dari foraminifera. Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian Hakim (2011) menyebutkan perairan Indonesia khususnya perairan Utara Jawa memiliki kandungan klorofil-a antara 0,5-1,0 mg/m3 Nilai kandungan klorofil-a yang tinggi di perairan tersebut disinyalir membawa banyak substrat yang mengandung unsur organik dan zat hara lainnya (Hakim, 2011). Kondisi lingkungan Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu diperkirakan mengalami berbagai perubahan seiring dengan pertumbuhan penduduk yang meningkat dan diikuti dengan berubah fungsinya menjadi obyek wisata dan tempat tinggal penduduk. Hal ini ditandai dengan berbagai masalah seperti

20

pengaruh sampah, tumpahan minyak, deterjen, tingkat erosi dan abrasi tinggi yang secara tidak langsung merusak struktur komunitas foraminifera pada daerah ini. Berbagai spesies foraminifera sangat memerlukan persyaratan hidup yang spesifik untuk dapat tumbuh dan berkembang karena cara hidup dan struktur tubuh yang sederhana memungkinkan foraminifera berperan sebagai rantai pertama yang terkena oleh pencemaran. Karakteristik spesifik itu pula yang memungkinkan foraminifera memberikan respon terhadap kondisi lingkungan hidupnya dalam waktu relatif cepat (Rositasari,1996) sehingga foraminifera ini membentuk struktur komunitas yang mampu menggambarkan kondisi lingkungan dan sumberdaya yang terdapat pada daerah ini. 2.7. Karakteristik Sedimen Seluruh permukaan dasar laut diselimuti oleh partikel-partikel sedimen yang merupakan endapan yang terjadi selama puluhan sampai jutaan tahun yang lalu sehingga menyimpan banyak informasi yang dapat menjelaskan fenomenafenomena pembentukan sedimen ini terbentuk, termasuk yang berkaitan erat dengan pencemaran seperti kondisi kimia dan fisika perairan, kualitas lingkungan dan biota-biota laut serta pola hidup manusia (Hutabarat dan Evans, 1985). Sedimen terbentuk dari hasil pembongkaran dan penguraian batu-batuan serta cangkang dan sisa rangka organisme laut terutama moluska dan foraminifera (Supriyadi, 1996). Menurut tipe asalnya sedimen terbagi dalam dua kriteria, yaitu: a. Sedimen Terigenous (material endapan berasal dari input daratan) dan b. Sedimen Pelagik (material endapan berasal dari kolom laut). Partikel sedimen pelagik 85% terdiri dari endapan ooze kurang lebih 30% endapan ooze ini terdiri

21

dari organisme kecil yang keras. Endapan calcareous ini sebagian besar meluas pada dasar laut dan membentuk lapisan berdasarkan umur batuan sedimen. Kebanyakan sedimen calcareous ini berukuran mikroskopis dan mempunyai cangkang yang mengandung CaCO3.Salah satu komponen biogenik kontributor materi endapan penyusun tipe sedimen ini adalah foraminifera. Foraminifera dalam sedimen laut telah banyak diteliti oleh para peneliti baik di Indonesia maupun di mancanegara dengan berbagai tujuan penelitian dan manfaatnya. Oleh karena itu, Kepulauan Seribu sendiri mempunyai sedimen terdiri dari batu-batu kapur (karang), pasir dan kerikil yang mengandung foraminifera dapat dijadikan tempat tujuan penelitian yang ideal (Muzaki, 2008).

Das könnte Ihnen auch gefallen