Sie sind auf Seite 1von 21

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Alzheimers disease merupakan penyakit kognitif dan perilaku yang ditandai dengan gangguan fungsi sosial dan pekerjaannya. Penyakit ini adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan bersifat progresif.1 Diperkirakan terdapat 36 juta orang menderita alzheimers disease (AD) pada tahun 2009 di seluruh dunia.2 Pada tahun 2000, tercatat prevalensi AD di Amerika mencapai 4,5 juta dan diperkirakan angka ini akan meningkat tiga kali lipat menjadi 13,2 juta pada tahun 2050. Prevalensi penderita AD akan terus bertambah walaupun telah dicoba berbagai cara preventif. Pada populasi di Amerika, tercatat sebagian besar penderita Alzheimer adalah orang lanjut usia dengan rincian; umur 85 tahun ke atas (8 juta), 75-84 tahun (4,8 juta), 65-74 tahun (0,5 juta), dan hanya sedikit yang berusia dibawah 65 tahun.3 Sedangkan di daerah Asia Pasifik, pada tahun 2005 tercatat penderita alzheimer berjumlah 13,7 juta orang. Di Beberapa negara di Asia Tenggara kejadian AD pada tahun 2005 diantaranya Malaysia 63.000 orang, Filipina 169.800 orang, Singapura 22.000 orang, Thailand 229.100 orang, dan di Indonesia 606.100 orang. Tingginya penderita alzheimer memerlukan penanganan yang segera untuk menghindari berbagai efek negatif yang ditimbulkan serta memperlambat progresivitas penyakit tersebut.4 Salah satu masalah utama dalam alzheimer adalah sistem diagnosis yang lemah. Martin menyebutkan bahwa sebagian besar penderita alzheimer tidak mendapatkan sistem diagnosis yang benar.2 Di negara maju hanya sekitar 20-50% kasus AD yang diketahui dan tercatat dalam perawatan. Lebih dari itu, di negara berkembang dan miskin 90% kasus alzheimer tidak teridentifikasi dengan baik. Hal tersebut mengindikasikan bahwa terdapat sekitar 36 juta orang alzheimer belum terdiagnosis sehingga tidak mendapatkan terapi dan pelayanan kesehatan.

Berdasarkan

sejumlah

guideline

penyakit

alzheimer

yang

telah

dipublikasikan selama 27 tahun dan menurut guideline terbaru pada April 2011 mengalami pembaruan, penentuan diagnosis AD dan tingkat keparahan alzheimer belum dapat menggunakan biomarker tertentu. Alzheimer terdiri dari tiga stadium, yaitu alzheimer preklinik (ditegakkan apabila seseorang lupa terhadap waktu, tempat), gangguan kognitif akibat alzheimer (ditegakkan apabila seseorang lupa terhadap kemampuan orang dekat seperti teman mengenai pribadinya).5 Penelitian yang dilakukan oleh Himbergen et al. pada 840 responden alzheimer mendapatkan bahwa 798 responden mengalami peningkatan adiponektin (sebesar 95% dari keseluruhan responden).5 Sedangkan untuk biomarker yang lain (glukosa, albumin, insulin, CRP, LDL, HDL) tidak spesifik. Data tersebut didukung oleh penelitian Schaefer bahwa terjadi peningkatan adiponektin pada individu demensia dan alzheimer pada cairan otak serta serebrospinal.5 Oleh karena itu, penulis ingin mengkaji lebih lanjut tentang hubungan antara alzheimers disease terhadap peningkatan adiponektin. dan keluarga), serta

demensia alzheimer (ditegakkan apabila seseorang memiliki masalah mengingat

B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana hubungan antara alzheimers disease terhadap peningkatan adiponektin? 2. Bagaimana potensi adiponektin sebagai penentu progresivitas penyakit alzheimer? C. Tujuan Penulisan 1. Mengetahui hubungan antara alzheimers disease terhadap peningkatan adiponektin. 2. Mengetahui potensi adiponektin sebagai penentu progresivitas penyakit alzheimer.

D. Manfaat Penulisan 1. Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan gambaran secara ilmiah tentang peran adiponektin, sehingga akan sebagai mendorong penentu para peneliti untuk

mengembangkan alzheimer.

potensinya

progresivitas

penyakit

2. Kami harapkan karya tulis ini mampu memberikan bukti yang kuat mengenai potensi adiponektin sebagai penentu progresivitas penyakit alzheimer sehingga penggunaan adiponektin dapat digunakan sebagai biomarker penentu progresivitas penyakit alzheimer oleh klinisi. 3. Kami harapkan karya tulis ini pada akhirnya mampu memberikan manfaat bagi klinisi dalam menentukan tingkat progresivitas penyakit alzheimer.

BAB II TELAAH PUSTAKA

A. Alzheimer pada Lansia Studi prevalensi di Amerika Serikat pada lansia dengan umur 65 tahun menunjukkan, persentase penderita penyakit Alzheimer (penyebab terbesar demensia) meningkat dua kali lipat setiap pertambahan umur 5 tahun. Sebuah penelitian pada populasi usia lanjut di AS mendapatkan lebih dari 45% mereka yang berusia 85 tahun atau lebih menderita penyakit Alzheimer. Di Jepang, dari seluruh penduduk sentenarian (usia 100 tahun atau lebih), 70 persen mengalami demensia dengan 76%-nya menderita penyakit Alzheimer.7 Simptoma alzheimer ditandai dengan perubahan-perubahan yang bersifat degeneratif pada sejumlah sistem neurotransmitter, termasuk perubahan fungsi pada sistem neural monoaminergik yang melepaskan asam glutamat, noradrenalin, serotonin dan serangkaian sistem lain yang dikendalikan oleh neurotransmitter.8 Perubahan degeneratif juga terjadi pada beberapa area otak seperti lobus temporal dan lobus parietal, dan beberapa bagian lain di dalam korteks frontal dan girus singulat, menyusul dengan hilangnya sel saraf dan sinapsis.8,9 Salah satu proses penyebab hilangnya sel saraf dan sinapsis adalah apoptosis. Apoptosis terjadi pada sel saraf yang tertutup plak amiloid yang masih mengandung molekul terminus-C, dan tidak terjadi jika molekul tersebut telah teriris. Sekretase- dan presenilin-1 merupakan enzim yang berfungsi untuk mengiris domain terminus-C pada molekul AAP dan melepaskan enzim kinesin dari gugus tersebut.10 Hal ini disimpulkan oleh tim dari Howard Hughes Institute yang dipimpin oleh Lawrence S. B. Goldstein bahwa terminus-C membawa sinyal apoptosis bagi neuron.10 Sinyal apoptosis juga diekspresikan oleh proNGF yang tidak teriris, saat terikat pada pencerap neurotrofin p75NTR, dan distimulasi hormon sortilin.11

Selain apoptosis, penumpukan plak pada hipokampus diperkirakan sebagai penyebab alzheimers disease. Penumpukan plak ditengarai karena induksi apolipoprotein-E yang bertindak sebagai protein kaperon,12 defiensi vitamin B1 yang mengendalikan13 metabolisme glukosa serebral14 seperti OGlkNAsilasi,15 dan kurangnya enzim yang terbentuk dari senyawa tiamin16 seperti kompleks ketoglutarat dehidrogenase-alfa, kompleks piruvat dehidrogenase, transketolase,17 O-GlcNAc transferase, protein fosfatase 2A18 dan beta-Nasetilglukosaminidase.19 Hal ini berakibat pada peningkatan tekanan fluida serebrospinal20 menurunnya rasio hormon CRH,21 dan terpicunya simptoma hipoglisemia di dalam otak walaupun tubuh mengalami hiperglisemia. Penumpukan plak juga terjadi akibat enzim Cdk5 dan GSK3beta yang menyebabkan hiperfosforilasi protein tau.22 Selain menyebabkan penumpukkan plak, hiperfosforilasi juga menjadi penghalang terbentuknya ligasi antara protein S100beta dan tau, dan menyebabkan distrofi neurit, meskipun kelainan metabolisme seng juga dapat menghalangi ligasi protein ini.23 Simptoma hiperinsulinemia dan hiperglisemia juga menginduksi hiperfosforilasi protein tau, dan oligomerasi amiloid-beta yang berakibat pada penumpukan plak amiloid.24 Namun meski insulin menginduksi oligomerasi amiloid-beta, insulin juga menghambat enzim aktivitas enzim kaspase-9 dan kaspase-3 yang juga membawa sinyal apoptosis, dan menstimulasi sekresi Hsp70 oleh sel LAN5 untuk mengaktivasi program pertahanan sel.25 Pada wanita, peningkatan kadar plasma adiponektin merupakan faktor risiko independen yang dapat digunakan untuk pengembangan dalam pencarian semua penyebab penyakit Alzheimer.5 Sehingga, konseptualisasi Alzheimer's disease ditekankan sebagai sebuah kontinuitas penyakit dengan gangguan kognitif ringan sebagai demensia awal dan bermanifestasi sebagai tahap akhir dari penyakit. Ulasan ini memberikan gambaran pada pendekatan diagnostik saat ini dan usulan revisi kriteria diagnostik dan penelitian untuk penyakit Alzheimer.26 Menurut NINCDS-ADRDA (asosiasi penyakit alzheimer), diagnosis AD diklasifikasikan sebagai diagnosis pasti (diagnosis klinis dengan konfirmasi histologis), kemungkinan (sindrom klinis yang khas tanpa konfirmasi histologis),

atau mungkin (gambaran klinis atipikal tetapi tidak ada diagnosis alternatif yang jelas, tidak ada konfirmasi histologis). Kriteria diagnosis yang diterima saat ini mendukung probabilistik AD dalam konteks klinis dimana tidak ada biomarker diagnostik definitif.27 Meskipun kriteria NINCDS-ADRDA untuk AD adalah standar diagnostik yang berlaku, adapun tanda khas yang diakui sebagai diagnosis dari penyakit ini adalah perubahan struktural otak yang terlihat pada pencitraan resonansi magnetik dan luas dari lobus medial temporal, perubahan neuroimaging molekul dilihat dengan tomografi emisi positron (PET), dan perubahan dalam cairan serebrospinal (CSF) biomarker.27 Kriteria baru untuk diagnosis penyakit Alzheimer berpusat pada gangguan memori awal dan signifikan episodik. Harus ada setidaknya satu atau lebih biomarker abnormal antara neuroimaging struktural dengan pencitraan resonansi magnetik, neuroimaging molekul dengan PET, dan analisis CSF dari amiloid atau proteins.27 Sebagai contoh, penurunan amiloid -(1-42) peptida dan peningkatan dan phospho-protein mungkin merupakan tanda-tanda awal AD.28,29,30 Baru-baru ini fokus penelitian telah bergeser pada pengembangan alatalat baru yang meningkatkan spesifitas diagnosis AD prodromal,28 tetapi belum ada biomarker yang tersedia. Tes laboratorium, atau teknik pencitraan otak untuk digunakan rutin dalam membantu diagnosis31 memiliki keterbatasan penggunaan dalam dokter keluarga. Demikian juga, tidak ada tanda-tanda genetik saat ini direkomendasikan untuk penggunaan rutin dalam diagnosis AD, termasuk pengujian untuk apolipoprotein E4 gen atau mutasi pada amiloid, presenilin, atau yang telah dikaitkan dengan bentuk yang jarang dari keluarga demensia.32 Membuat diagnosis Alzheimer pada tahap awal bisa menjadi tantangan klinis. Variabel gejala Alzheimer mengarah pada sindrom bermasalah, terutama dalam pengaturan perawatan primer,33 dengan waktu yang terbatas untuk konsultasi. Selain itu, dokter harus waspada terhadap kemampuan pasien untuk menyembunyikan gejala mereka. Pada tahap awal demensia, akomodasi atau perubahan dalam kognisi, kemampuan fungsional, suasana hati, atau perilaku

yang umum mengganggu diagnosis.34 American Academy of Neurology, American Geriatrics Society, American Medical Association, dan American Association of Family Medicine, mendorong dokter untuk waspada terhadap masalah kognitif pada orang dewasa yang lebih tua dan mengambil langkah-langkah untuk mengidentifikasi gangguan kognitif pada tahap seawal mungkin. Namun, dokter di perawatan primer sering gagal untuk ranah dewasa yang lebih tua untuk konsultasi AD secara rutin karena waktu tidak cukup, penggantian tidak memadai untuk layanan, dan ketidakpastian tentang sumber daya yang tersedia untuk memfasilitasi diagnosis.35,36 Sejauh ini, intervensi farmakologis dan perilaku terbukti pada akhirnya tidak dapat mencegah perkembangan penyakit. Akan tetapi, ada bukti yang menunjukkan bahwa penggunaannya dapat menyebabkan stabilisasi penyakit dan perkembangan keterlambatan kognitif, fungsional, dan perilaku. Hasil ini dapat memberikan perbaikan dalam kualitas hidup pasien dan keluarga mereka.35 Namun demikian, dokter keluarga harus menasihati pasien penderita AD dan keluarga mereka tentang harapan yang realistis dari hasil pengobatan yang cenderung sederhana,37 dan potensi efek samping yang ringan sampai sedang (kebanyakan mual, muntah, diare, atau ketiganya). Karena kerusakan yang disebabkan oleh mekanisme patofisiologis yang terkait dengan AD ireversibel, maka deteksi dini AD menawarkan prospek yang lebih baik untuk pasien dengan AD dan keluarga serta teman mereka. Hal ini memungkinkan baik pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam rencana perawatan mereka dan untuk mempersiapkan lebih baik untuk tantangan masa depan sebagai akibat dari proses neurodegeneratif, karena obat yang tersedia saat ini dan setiap modifikasi terapi penyakit masa depan akan memiliki kesempatan terbesar untuk memberikan manfaat. Selain itu, bukti terbaru menunjukkan bahwa pengobatan dini memberikan manfaat ekonomi baik kepada pasien dan pengasuh serta masyarakat secara keseluruhan.38,39,40 Oleh karena itu, diagnosis awal dan inisiasi berikutnya dari program pengelolaan yang tepat dapat mengoptimalkan prognosis untuk pasien dengan AD. Kendati manfaat intervensi dini, demensia masih kurang

terdiagnosis; diperkirakan 50% pasien perawatan primer berusia lebih tua dari 65 tahun belum didiagnosa.41 B. Adiponektin Adiponektin adalah hormon protein yang memodulasi sejumlah proses metabolisme, termasuk regulasi glukosa dan katabolisme asam lemak. Adiponektin secara eksklusif disekresikan dari jaringan adiposa ke dalam aliran darah dan sangat berlimpah dalam plasma relatif terhadap banyak hormon.42 Dalam tubuh manusia, adiponektin (AdipoQ, Apn) dikode oleh gen AdipoQ. Apn disekresikan oleh jaringan adipose dalam bentuk 244 asam aminorantai panjang polipeptida yang memiliki empat regio spesifik.43 Apn memiliki harga rujukan sebesar 5-10g/ml atau sebesar 0,01% dari protein plasma. Kadar dalam plasma akan meningkat ketika terjadi peningkatan metabolisme, stres fisik, dan stres psikis.44 Secara otomatis, Adiponektin bertransformasi ke dalam struktur yang lebih besar. Awalnya, tiga molekul adiponektin mengikat bersama untuk membentuk sebuah homotrimer. Para trimer terus hexamers diri asosiasi dan bentuk atau dodecamers. Seperti konsentrasi plasma, tingkatan relatif dari struktur berbeda secara seksual dimorfik, di mana perempuan memiliki peningkatan proporsi high-molecular weight forms. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa high-molecular weight forms mungkin merupakan bentuk yang paling aktif biologis tentang homeostasis glukosa.45 Adiponektin memberikan beberapa efek penurunan berat badan melalui stimulasi pada otak. Hal ini mirip dengan aksi leptin, tetapi dua hormon melakukan tindakan yang komplementer dan dapat memiliki efek adiktif.46 Adiponektin mengikat sejumlah reseptor. Sejauh ini, reseptor adiponektin yang telah diidentifikasi, yaitu: 1) adiponektin reseptor 1 (AdipoR1), 2) adiponektin reseptor 2 (AdipoR2), 3) T-kaderin (T-Cad). Reseptor ini memiliki kekhususan jaringan yang berbeda dalam tubuh dan memiliki afinitas yang berbeda untuk berbagai bentuk adiponektin. Adiponektin juga diketahui berperan

dalam regulasi AMP kinase yang mempengaruhi target downstream, sebuah jalur metabolisme penting tingkat titik kontrol selular.47,48 Hingga saat ini, belum ada terapi yang dikembangkan dengan adiponektin dan mungkin beberapa tahun sebelum uji klinis dimulai.42 Kadowaki et al. telah melakukan kloning reseptor adiponektin dalam otot rangka yang terdapat AdipoR1 dan hati yang terdapat AdipoR2, yang tampaknya kelompok dari novel cell-surface receptor family. Kadowaki juga menunjukkan bahwa AdipoR1 dan AdipoR2 berfungsi sebagai reseptor untuk adiponektin globuler dan full-length serta memediasi peningkatan aktivitas AMP-activated protein kinase, peroxisome proliferator-activated receptor- ligand, dan penyerapan glukosa dan asam lemak teroksidasi dengan adiponektin. Obesitas dapat menurunkan tingkat ekspresi AdipoR1/R2 sehingga mengurangi sensitivitas adiponektin, yang akhirnya menyebabkan resistensi insulin, yang disebut "vicious cycle". Baru-baru ini, Kadowaki menunjukkan bahwa osmotin, yang merupakan ligan untuk homolog ragi AdipoR (PHO36), diaktifkan melalui AMPK AdipoR di C2C12 miosit. Hal ini dapat memfasilitasi pengembangan efisien agonis reseptor adiponektin.49 Hasil penelitian Bauche et al. menunjukkan bahwa peningkatan kadar adiponektin dalam plasma akan mengakibatkan gangguan diferensiasi sel dan peningkatan pengeluaran energi. Apn akan berikatan pada reseptor spesifik AdipoR1 dan AdipoR2.50 AdipoR1 diekspresikan di otot skelet sedangkan AdipoR2 akan diekspresikan di hati.51 Jumlah reseptor tersebut juga dipengaruhi oleh metabolisme tubuh. Kondisi seperti obesitas, resistensi insulin mampu menurunkan reseptor adiponektin. Akibatnya Apn yang tidak berikatan dengan reseptor akan beredar dalam plasma.52

10

Gambar 1. Struktur AdipoR1 dan AdipoR2 (Takashi et al., 2006)

Setelah terjadi ikatan antara Apn dengan reseptor akan terjadi peningkatan p38 MAPK(p38 mitogen-activated protein kinase), AMP kinase, PPAR-gama (peroxisome proliferator activated nuclear resceptor-gama), yang mengakibatkan peningkatan BMR (Basal Metabolic Rate).48 PPAR-gama dan LRH-1 (liver receptor homolog-1) juga memainkan peran penting dalam aktivasi gen AdipoQ melalui PPRE (peroxisome proliferator activated receptor gamaa response element) dan LRH-RE(liver receptor homolog-responsive element) di promoter.46 Setelah Apn disekresikan dari jaringan adiposit, Apn memiliki gugus globular terminal-karboksil dan gugus kolagen terminal-amino.53 Adiponektin di plasma beredar dalam berbagai berbagai komplek multimer dan berkombinasi melalui gugus kolagen terminal-amino yang dapat membentuk LMW (low molecular weight) trimer, MMW (middle molecular weight) hexamer, dan HMW (high molecular weight). Di sel otot ikatan Apn terhadap reseptor akan mengakibatkan peningkatan -oksidasi asam lemak, ambilan glukosa oleh sel, sedangkan di dalam hepar dapat menyebabkan penurunan glukoneogenesis.54

11

Gambar 2. Bentuk Adiponektin dan Mekanisme Transduksi

Apn juga terlibat dalam pengaturan kadar glukosa darah dengan meningkatkan transpor glukosa dari darah ke dalam sel.42 Hal tersebut terjadi karena Apn dapat meningkatkan sensitivitas insulin melalui pengurangan kadar trigliserid plasma, peningkatan katabolisme asam lemak, metabolisme glukosa.46 Ekspresi Apn akan diaktifkan selama adipogenesis tetapi juga bisa terjadi feedback negatif dalam produksi Apn seperti pada orang dengan obesitas.42 Belum banyak yang mengkaji hubungan antara peningkatan konsentrasi adiponektin terhadap kejadian alzheimer. Akan tetapi Schaufer memiliki asumsi bahwa terjadi resistensi reseptor adiponektin di sel otak.5 Hal tersebut mengakibatkan meningkatnya Apn bebas dalam plasma dan cairan serebrospinal. Tidak berfungsinya Apn akan mengakibatkan penurunan BMR dan rendahnya masukan glukosa ke dalam sel. Padahal satu-satunya sumber energi yang diperlukan sel otak adalah glukosa.55 Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hua et al. juga telah mengkaji bahwa terdapat dan laporan jumlah kasus resistensi normal.56 insulin Ditinjau dengan secara

hiperadiponektinemia

AdipoR1/2

12

patogenesis, penyebab resistensi insulin adalah karena rendahnya kadar adiponektin. Dalam literatur juga disebutkan bahwa hipoadiponektin merupakan penyebab utama resistensi insulin. Akan tetapi tingginya kadar Apn pada kasus diatas tetap tidak mampu untuk menginduksi aktivasi p38 MAPK sehingga tidak terjadi masukan glukosa ke dalam sel otot. Hal tersebut mengindikasikan terjadinya resistensi adiponektin.49

Gambar 3. Resistensi Insulin diakibatkan oleh rendahnya kadar adiponektin

Hiperadiponektinemia dapat terjadi karena rendahnya reseptor insulin (InsR) di jaringan adiposit yang mengakibatkan rendahnya FoX01

(phosphatidylinositol 3-kinase/ forkhead box 01) yaitu sinyal yang berfungsi untuk menurunkan glukoneogenesis yang berujung pada peningkatan kadar glukosa darah. Tingginya glukosa darah akan mengaktifkan transkripsi dari gen AdipoQ.57 Ada kemungkinan bahwa tingkat adiponektin dalam plasma

mencerminkan tingkat adiponektin di CSF(cerebrospinal fluid). Kecenderungan adiponektin yang lebih tinggi dalam plasma dan CSF dari MCI(mild cognitive impairment) dan AD menunjukkan bahwa molekul ini memainkan peran penting dalam timbulnya AD.58

13

BAB III METODE PENULISAN

A. Pengumpulan Data dan Informasi Jenis data yang diperoleh berupa data sekunder yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif dengan bersumber dari berbagai referensi atau literatur yang relevan dengan topik permasalahan yang dibahas. Kriteria inklusi yang digunakan adalah artikel, jurnal, dan buku yang ditulis pada tahun 2007-2012 serta merupakan hasil penelitian atau pemaparan para ahli, sedangkan kriteria eksklusi adalah artikel yang berupa opini tanpa menyertakan nama penulis. Data diperoleh melalui internet, jurnal ilmiah, buku ajar dan berbagai sumber terpercaya seperti New England Journal of Medicine; British Medical Journal; Medline; Journal of Neurology; Journal of Alzheimers Disease; dengan kata kunci: Alzheimer; Adiponectin.

B. Pengolahan Data dan Informasi Penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode studi pustaka yang didasarkan atas hasil studi terhadap berbagai literatur yang telah teruji validitasnya, berhubungan satu sama lain, relevan dengan kajian tulisan serta mendukung uraian atau analisis pembahasan.

C. Analisis dan Sintesis Setelah data yang diperlukan terkumpul, dilakukan pengolahan data dengan menyusun secara sistematis dan logis. Metode dasar yang digunakan dalam menyusun karya tulis ini yaitu metode eksposisi yang merupakan pemaparan dari suatu mekanisme, dengan tulisan yang bersifat deskriptif, menggambarkan tentang potensi penggunaan kadar plasma adiponektin sebagai penentu progresivitas penyakit Alzheimer.

14

BAB IV ANALISIS DAN SINTESIS

A. Hubungan antara Penyakit Alzheimer terhadap Peningkatan Adiponektin Faktor resiko alzheimer yang berupa keturunan dan usia yang semakin tua tidak dapat dicegah. Akan tetapi studi terbaru yang menunjukkan bahwa faktor endokrin yang berperan dalam patogenitas alzheimer yang dimungkinkan dapat dikendalikan. Studi yang dilakukan oleh Himbergen bahwa 95% penderita alzheimer mengalami peningkatan adiponektin. Tingginya kadar Apn tersebut merupakan indikator meningkatnya adipositokin (adipositokin: adiponektin, TNFalpha, IL6, dan resistin) lain.5 Gaya hidup selalu dikaitkan dengan berbagai kelainan kesehatan seperti hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, dan obesitas. Semua penyakit tersebut merupakan faktor resiko terjadinya alzheimer. Orang dengan sindroma metabolik (hipertensi, resistensi insulin, obesitas) akan merangsang jaringan adiposit untuk mensekresikan adipositokin dalam jumlah yang lebih banyak. Tingginya adipositokin (faktor proinflamasi) tersebut dapat menyebabkan kerusakan sel termasuk sel neuron.58 Hasil penelitian Bauche et al. menunjukkan bahwa peningkatan kadar adiponektin dalam plasma akan mengakibatkan gangguan diferensiasi sel dan peningkatan pengeluaran energi.50 Kadowaki et al. telah melakukan kloning reseptor adiponektin dalam otot rangka (AdipoR1) dan hati (AdipoR2), yang tampaknya kelompok dari novel cellsurface receptor family. Kadowaki menunjukkan bahwa AdipoR1 dan AdipoR2 berfungsi sebagai reseptor untuk adiponektin globuler dan full-length serta memediasi peningkatan aktivitas AMP-activated protein kinase, peroxisome proliferator-activated receptor- ligand, dan penyerapan glukosa dan asam lemak teroksidasi dengan adiponektin. Obesitas menurunkan tingkat ekspresi

AdipoR1/R2 sehingga mengurangi sensitivitas adiponektin, yang akhirnya

15

menyebabkan resistensi insulin, yang disebut "vicious cycle". Orang dengan resistensi insulin akan memacu pembentukan adiponektin, sedangkan adiponektin sendiri sudah terlalu banyak di plasma maupun cairan cerebrospinal (CSF) karena sensitivitas terhadap reseptornya sehingga adiponektin yang terakumulasi di CSF justru mengakibatkan kerusakan jaringan otak.49

Gambar 4. Sindroma metabolik menyebabkan peningkatan inflamasi.59

Dari studi yang dilakukan Huijuan et al. menunjukkan bahwa inkubasi semalam (16 jam) dengan HMW adiponektin (0.01-1g/ml untuk PBMC; 520g/ml untuk MVEC, HMC) memicu peningkatan produksi monocyte chemoattractant protein-1 dan interleukin-8 oleh PBMC dan MVEC, tapi itu tidak berpengaruh pada produksi kemokin HMC (n=3-5). Adiponektin LMW pada konsentrasi yang sama tidak menginduksi produksi kemokin dalam salah satu jenis sel diuji, dan tidak memblokir sitokin yang diinduksi oleh produksi kemokin PBMC atau MVEC (n = 3-5). Data in vitro ini menunjukkan bahwa adiponektin HMW isoform adalah molekul pro-inflamasi. HMW adiponektin dapat

16

menyebabkan peradangan sel tubuh tertentu. Dari penelitian ini dapat diasumsikan peningkatan adiponektin dalam CSF dapat menyebabkan kerusakan jenis sel-sel neuron tertentu terutama sel otak.60 Adiponektin yang beredar terdiri dari isoform ukuran yang berbeda, dan ada bukti bahwa setidaknya beberapa dari efeknya isoform spesifik.61 Huijuan et al. menduga bahwa pro-inflamasi yang ditimbulkan adiponektin tergantung pada ukuran.60 Isoform HMW menginduksi ekspresi pro-inflamasi kemokin MCP-1 dan IL-8. HMW dapat mengaktifkan NF-kB, MCP-1 dan IL-8, tetapi tidak adiponektin LMW.62

Grafik 5. Adiponektin menyebabkan peningkatan NO, IL-6, dan MMP-3.63

17

Adiponektin mengaktifkan p38, ERK1/2 dan JNK, dan produksi adiponektin menginduksi NO, IL-6, MMP-1 dan MMP-3 yang dimediasi oleh MAPKs, terutama oleh p38. Hal ini penting mengingat bahwa ternyata adiponektin juga terlibat dalam patogenesis inflamasi.63 B. Potensi Adiponektin sebagai Penentu Progresivitas Penyakit Alzheimer Uji berbagai biomarker yang dilakukan oleh Himbergen et al. pada 840 responden alzheimer mendapatkan bahwa 798 responden mengalami peningkatan adiponektin (sebesar 95% dari keseluruhan responden).5 Sedangkan untuk biomarker yang lain (glukosa, albumin, insulin, CRP, LDL, HDL) tidak spesifik. Data tersebut didukung oleh penelitian Schaefer bahwa terjadi peningkatan adiponektin pada individu demensia dan alzheimer pada cairan otak serta serebrospinal (CSF).5 Penelitian yang dilakukan oleh Une et al. menunjukkan bahwa tingginya kadar adiponektin di CSF memiliki korelasi positif terhadap kadar adiponektin dalam plasma darah.58 Hal tersebut terbukti dari hasil penelitiannya terhadap 45 responden Alzheimer bahwa semakin tinggi kadar Apn di CSF juga sebanding terhadap kadar Apn di plasma.58 Dapat dibuktikan bahwa patogenesis pada Alzheimers disease (AD) mungkin dimediasi oleh dua jalur yaitu melibatkan peradangan dan kelainan metabolik. Sedangkan insulin dan adiponektin merupakan biomarker yang dapat digunakan sebagai penanda kelainan metabolik.64 Kecenderungan adiponektin yang lebih tinggi dalam plasma dan CSF menunjukkan bahwa molekul ini memainkan peran penting dalam timbulnya AD.58 Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa kadar adiponektin plasma dapat digunakan untuk pencerminan kadar adiponektin di Cerebrospinal Fluid (CSF) yang kemungkinan dapat digunakan untuk penentuan tingkat progresivitas penyakit Alzheimer.

18

C. Aplikasi Penggunaan Adiponektin sebagai Biomarker Progresivitas Penyakit Alzheimer Sistem diagnosis terkini untuk membuat definitif diagnosis pada penyakit alzheimer adalah dengan otopsi otak. Pada praktik klinisnya, diagnosis juga dibuat dengan dasar riwayat dan anamnesis status mental pasien. Selain itu, juga dilakukan MRI secepatnya dalam AD membantu menegakkan diagnosis klinis dari penyakit ini.1 Penemuan terbaru dalam pencarian penanda Alzheimer adalah penurunan glutamat pada hipokampus. Penelitian yang dilakukan oleh Rupsingh

mengemukakan bahwa pada penderita Alzheimer mengalami penurunan Glutamat pada hipokampus, Glu/kreatin (Cr), Glu/myo-inositol (mI), Glu/N-acetylaspartate (NAA), dan perbandingan rasio NAA/Cr. Pengukuran profil neurometabolik menggunakan Hidrogen magnetic resonance spectroscopy(MRS) tetapi belum ada biomarker definitif dari penyakit AD. Selain itu, pengukuran ini memiliki aplikabilitas rendah dalam penggunaan secara klinisnya.65 Sejauh ini, adiponektin diaplikasikan sebagai penanda adanya sindroma metabolik dan gagal ginjal kronik. Adiponektin berperan dalam faktor proteksi kardiovaskuler dalam sindroma metabolik. Belum ada penggunaan pengukuran kadar adiponektin untuk deteksi dini alzheimer ataupun pengukur progresivitas penyakit alzheimer.66 Seperti yang kita ketahui, Sindroma metabolik merupakan salah satu faktor resiko dari penyakit Alzheimer. Pada individu dengan sindroma metabolik dengan resistensi insulin menyebabkan sel adiposa menyekresikan adiponektin untuk meningkatkan sensitifitas sel terhadap insulin. Semakin tinggi kadar adiponektin dalam plasma berbanding lurus dengan kadar adiponektin dalam cairan serebrospinal. Peningkatan jumlah adiponektin berperan dalam peningkatan sensitivitas insulin sel. Semakin tinggi jumlah adiponektin, maka semakin sensitif sel untuk menggunakan insulin, sehingga semakin tinggi penggunaan glukosa. Otak membutuhkan glukosa sebagai energi untuk menjalankan fungsinya. Hal ini dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan Himbergen et al., yang menemukan adanya peningkatan adiponektin pada penderita alzheimer.5

19

Pengukuran adiponektin mudah dilakukan, dan memiliki nilai aplikabilitas lumayan tinggi. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan darah vena penderita, pemeriksaan adiponektin plasma dilakukan pada keadaan penderita puasa sedikitnya 8 jam dengan alat microplate reader 530 serta menggunakan metode ELISA (human adiponektin ELISA kit-cat 376405).65 Oleh karena itu, aplikasi pengukuran adiponektin sebagai parameter progresivitas penyakit alzheimer diharapkan mempermudah penatalaksanaan alzheimer sesuai dengan tingkat keparahan penyakit. Sejauh ini, perkembangan penyakit alzheimer masih tidak dapat dicegah dengan intervensi farmakologis dan perilaku. Akan tetapi, penggunaanya hanya dapat menyebabkan stabilisasi penyakit dan perkembangan keterlambatan kognitif, fungsional, dan perilaku, sehingga memberikan perbaikan dalam kualitas hidup pasien dan keluarga mereka.35

20

D. Kerangka Pemikiran Penyakit Alzheimer

Kematian sel-sel otak serta timbul neurodegeneratif Perusakan sel otak melalui mekanisme inflamasi NF-kB, MCP-1 dan IL-8 HMW adiponektin meningkatkan release mediator inflamasi: NF-kB, MCP-1 dan IL-8 Peningkatan kadar HMW adiponektin bebas pada CSF

Penurunan transpor glukosa dari darah ke dalam sel otak

Perusakan sel otak melalui mekanisme inflamasi NO, IL-6, MMP-1 dan MMP-3

Kegagalan pengaktivan sinyal transduksi p38 MAPK

adiponektin meningkatkan release mediator inflamasi: NO, IL-6, MMP-1 dan MMP-3

Peningkatan kadar adiponektin bebas

Kegagalan perlekatan adiponektin dengan reseptor

Penderita resistensi reseptor adiponektin di otak

Peningkatan Kadar Adiponektin dalam CSF

Peningkatan Kadar Adiponektin dalam plasma darah


Uji biomarker adiponektin

Uji biomarker adiponektin

21

BAB V PENUTUP

A. Simpulan 1. Peningkatan Adiponektin berhubungan dengan kejadian penyakit Alzheimer melalui pengaruhnya terhadap mekanisme inflamasi di otak dan metabolisme sel otak. 2. Adiponektin berpotensi untuk diaplikasikan sebagai penentu progresivitas penyakit Alzheimer karena merupakan biomarker yang terlibat dalam patogenesis penyakit Alzheimer dan memiliki nilai aplikabilitas lumayan tinggi. B. Saran 1. Perlu dilakukan pengujian maupun penelitian klinis lebih lanjut mengenai tingkatan nilai normal dan efektivitas penggunaan adiponektin sebagai penentu progresivitas penyakit Alzheimer. 2. Adiponektin sangat berpotensi sebagai biomarker penentu progresivitas penyakit Alzheimer sehingga sangat disarankan pemakaiannya untuk penunjang gejala klinis.

Das könnte Ihnen auch gefallen