Sie sind auf Seite 1von 28

BAB I PENDAHULUAN

Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan badan siliar. Berdasarkan reaksi radang, uveitis anterior dibedakan atas 2 tipe yaitu tipe granulomatosa dan tipe non granulomatosa. Penyebab uveitis anterior dapat bersifat endogen maupun eksogen. Lebih dari 75% uveitis endogen tidak diketahui penyebabnya, namun 37% kasus di antaranya ternyata merupakan reaksi imunologik yang berkaitan dengan penyakit sistemik. Penyakit sistemik yang berhubungan dengan uveitis anterior meliputi: spondilitis ankilosa, sindromaReiter, artritis psoriatika,penyakit Crohn, kolitis ulserativa, dan penyakit Whipple (Suhardjo dan Gunawan, 1993). Uveitis anterior merupakan salah satu radang di dalam bola mata yang sering dijumpai. Dari survei di rumah sakit di Ghana tahun 1990 uveitis merupakan penyebab kebutaan dua mata urutan ketiga setelah katarak dan glaukoma (Sjamsoe,1993). Kebutaan dari uveitis anterior disebabkan oleh penyulit-penyulit yang ditimbulkan akibat kronisitas dan rekurensi perjalanan penyakit (Ardy, 1993). Gejala-gejala uveitis anterior meliputi: mata merah, fotofobia, lakrimasi, rasa sakit, dan penglihatan kabur. Mata yang terkena biasanya unilateral, disertai dengan adanya flare dan sel di dalam bilik mata depan; jarang dijumpai adanya hipopion. Variasi gejala sering dijumpai, hal ini berhubungan dengan faktor penyebab.

BAB II ANATOMI

Uvea merupakan lapisan vaskular di dalam bola mata yang terdiri dari iris, korpus siliar, dan koroid. Bagian ini dilindungi oleh kornea dan sklera. Uvea ikut memasok darah ke retina. Uvea dibagi menjadi 2 bagian yaitu uvea anterior yang terdiri dari iris dan badan siliar dan uvea posterior yaitu koroid (Wijana, 1993; Vaughan et al, 2000).

1. Iris Iris adalah perpanjangan korpus siliare ke anterior. Iris berupa permukaan pipih dengan apertura bulat di tengahnya yang disebut dengan pupil. Iris terletak bersambungan dengan permukaan anterior lensa, yang memisahkan kamera okuli anterior dan kamera okuli posterior, yang masing-masing berisi humor aqueus. Di dalam stroma iris terdapat otot-otot sphincter dan dilator (Wijana,1993; Voughan et al,2000). Secara histologis terdiri dari stroma yang jarang dan diantaranya terdapat lekukan-lekukan di permukaan anterior yang berjalan radier yang dinamakan kripta. Di dalam stroma terdapat sel pigmen yang bercabang, banyak pembuluh darah dan serabut saraf. Di permukaan anterior ditutupi oleh endotel, terkecuali pada kripta, di mana pembuluh darah pada stroma dapat berhubungan langsung dengan kamera okuli anterior. Di bagian posterior dilapisi oleh dua lapisan epitel, yang merupakan lanjutan epitel pigmen retina. Warna dari iris tergantung dari selsel pigmen yang bercabang yang terdapat di dalam stroma yang jumlahnya dapat berubah-ubah dan juga epitel pigmen yang jumlahnya tetap (Wijana,1993). Ada 2 otot yang ada di dalam iris antara lain otot sfingter pupil (M. sphincter pupillae) yang berjalan sirkuler, yang terletak di dalam dekat pupil dan dipersarafi oleh saraf parasimpatis (N. III), dan otot dilator pupil (M. dilatator pupillae) yang berjalan radier dari akar iris ke pupil, terletak di bagian posterior stroma dan disarafi oleh saraf simpatis (Wijana, 1993) Pasokan darah ke iris berasal dari circulus major iris. Kapiler-kapiler iris memiliki lapisan endotel yang tak berlubang sehingga normalnya tidak membocorkan fluoresin yang disuntikkan secara intravena. Persyarafan iris adalah melalui serat-serat nervus siliare (Voughan, 2000). Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat aktivitas parasimpatik yang
2

dihantarkan melalui nervus kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktifitas simpatik (Voughan, 2000).

Gambar 1. Anatomi mata 2. Korpus Siliaris Pada potongan melintang korpus siliare secara kasar berbentuk cincin segitiga yang membentang ke depan dari ujung anterior khoroid ke pangkal iris ( 6mm). Terdiri dari dua zona, yaitu zona anterior dengan permukaan berjonjot lekuk dan menonjol yang disebut dengan pars plikata ( 2mm), dan zona posterior yang datar dengan permukaan licin disebut pars plana ( 4mm). Processus siliaris ini berasal dari pars plikata. Processus siliaris ini terutama terbentuk dari kapiler-kapiler dan vena yang bermuara ke vena-vena vorteks. Kapiler-kapilernya besar dan berlobang-lobang sehingga membocorkan fluoresin yang disuntikkan secara intravena. Ada dua lapis epitel siliaris: satu lapisan tanpa pigmen di sebelah dalam, yang merupakan perluasan neuroretina ke anterior, dan lapisan berpigmen di sebelah luar, yang merupakan perluasan lapisan epitel pigmen retina. Prosessus siliaris dan epitel siliaris pembungkusnya berfungsi sebagai pembentuk humor aquaeus (Voughan, 2000; Ghozie, 2002). Korpus siliaris mengandung otot polos yang tersusun longitudinal, sirkular, dan radial. Otototot ini berfungsi untuk menarik dan mengendorkan serabut zonula Zinni, yang menghasilkan
3

perubahan tegangan pada kapsul lensa. Ketegangan kapsul lensa yang berubah akan menyesuaikan kekuatan lensa mata sesuai dengan jarak benda yang dilihat agar bayangannya tepat di retina (Ghozie, 2002). Procesus siliaris mengandung terutama pembuluh kapiler dan venanya yang menumpahkan darahnya ke luar melalui vena vorticosa. Kapilernya besar dan mudah dirembesi larutan suntikan flouresin. Pars plana terdiri atas selapis tipis otot siliaris dan pembuluh siliar yang diselimuti epitel siliar. Serabut zonula berorigo di lekukan dari procesus siliaris (Ghozie, 2000). Pembuluh darah dibadan siliar berasal dari sirkulus iridis mayor, sedang syaraf sensoris berasal dari syaraf siliaris (Voughan, 2000; Ghozie, 2002).

Gambar 2. Badan Siliar

3.

Koroid Koroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sclera. Koroid tersusun dari tiga lapisan pembulu darah koroid; besar, sedang, dan kecil. Semakin dalam pembuluh terletak di dalam koroid, semakin lebar lumennya. Bagian dalam pembuluh darah koroid dikenal sebagai koriokapilaris. Darah dari pembuluh darah koroid dialirkan melalui empat vena vortex, satu di masing- masing kuadran posterior. Koroid di sebelah dalam dibatasi oleh membrana Bruch dan di sebelah luar oleh sclera. Ruang suprakoroid terletak di antara koroid dan sclera. Koroid melekat erat ke posterior ke tepi-tepi nervus optikus. Ke anterior, koroid bersambung dengan korpus siliaris.

BAB III UVEITIS ANTERIOR

I.

DEFINISI Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan badan siliar yang dapat berjalan akut

maupun kronis. Menurut American Optometric Association (AOA) tahun 2004, uveitis anterior adalah suatu proses inflamasi intraokular dari bagian uvea anterior hingga pertengahan vitreus. Penyakit ini dihubungkan dengan trauma bola mata, dan juga karena berbagai penyakit sistemik seperti juvenile rheumatoid, artritis, ankylosing spondilitis, Sindrom Reiter, sarcoidosis, herpes zoster, dan sifilis.

II.

EPIDEMIOLOGI Di Indonesia belum ada data yang akurat mengenai jumlah kasus uveitis. Di Amerika

Serikat ditemukan angka kejadian uveitis anterior adalah 8-12 orang dari 100.000 penduduk per tahun. Insidensinya meningkat pada usia 20-50 tahun dan paling banyak pada usia sekitar 30-an (Sjamsoe, 1993; AOA, 2004) Menurut AOA (2004), berdasarkan etiologinya ada beberapa faktor resiko yang menyertai kejadian uveitis anterior antara lain, penderita toxoplasmosis dan yang berhubungan dengan hewan perantara toxoplasma. Beberapa penyakit menular seksual juga meningkatkan angka kejadian uveitis anterior seperti sifilis, HIV, dan sindroma Reiter.

III.

KLASIFIKASI Berdasarkan spesifitas penyebabnya uveitis anterior dapat dibagi atas uveitis infeksius,

uveitis non infeksius, dan uveitis tanpa penyebab yang jelas. Uveitis infeksius dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, dan virus. Uveitis non infeksius dapat disebabkan oleh agen non spesifik (endotoksin dan mediator peradangan lainnya), agen spesifik pada mata (oftalia simpatika, uveitis imbas lensa), dan penyakit sistemik seperti Behcet, sarkoidosis, sindroma Reiter, dll (Sjamsoe,1993).

Berdasarkan asal nya uveitis anterior dibedakan menjadi, uveitis eksogen dan uveitis endogen. Uveitis eksogen pada umumnya dikarenakan oleh trauma, operasi intra okuler, ataupun iatrogenik. Sedangkan uveitis endogen dapat disebabkan oleh fokal infeksi di organ lain maupun reaksi autoimun ( Anonim,2008). Secara klinis (menurut cara timbul dan lama perjalanan penyakitnya) uveitis anterior dibedakan menjadi uveitis anterior akut dan uveitis anterior kronis. Uveitis anterior akut biasanya timbulnya mendadak dan perjalanan penyakitnya kurang dari 5 minggu. Sedangkan yang kronik mulainya berangsur-angsur, dan perjalanan penyakitnya dapat berbulan-bulan maupun tahunan (Ardy, 1993). Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan patologi anatominya terdiri dari tipe granulomatosa dan non granulomatosa. Tipe granulomatosa infiltratnya terdiri dari sel epiteloid dan makrofag. Sedangkan tipe non granulomatosa infiltratnya terdiri dari sel plasma dan limfosit (Ardy,1993; anonim, 2008). IV. ETIOLOGI Penyebab terjadinya uveitis anterior dibagi menjadi beberapa golongan antara lain: autoimun, infeksi, keganasan, dan lain-lain. Penyebab autoimun terdiri dari: artritis Rhematoid juvenile, spondilitis ankilosa, sindrom Reiter, kolitis ulseratif, uveitis terinduksi-lensa, sarkoidosis, penyakit crohn, psoriasis. Penyebab infeksi terdiri dari: sipilis, tuberkulosis, lepra, herpes zooster, hepes simpleks, onkoserkiasis, adenovirus. Untuk penyebab keganasan terdiri dari: sindrom masquerada, retinoblastoma, leukemia, limfoma, melanoma maligna. Sedangkan yang lainnya berasal dari: iridopati, uveitis traumatika, ablatio retina, gout, dan krisis glaukomatosiklitik (Voughan, 2000). Selain itu menurut Rosenbaum (2007) etiologi dari uveitis anterior digolongkan menurut agen penyebab infeksi, seperti dalam tabel berikut:

Tabel 1. Etiologi uveitis anterior menurut golongkan agen penyebab infeksi BACTERIAL/ SPIROCHETAL Atypical mycobacteria Brucellosis Cat scratch disease Leprosy Leptospirosis Lyme disease Mumps Propionibacteri-um Rubeola Syphilis Vaccinia Tuberculosis HIV-1 Whipple's disease West Nile virus Sporotrichosis Histoplasmosis Toxoplasmosis VIRAL Cytomegalovirus Epstein-Barr Herpes simplex Herpes zoster Human T cell leukemia virus FUNGAL Aspergillosis Blastomycosis Candidiasis Coccidioidomycosis Cryptococcosis PARASITIC Acanthamoeba Cystercercosis Onchocerciasis Pneumocystis carinii Toxocariasis

Masih menurut Rosenbaum (2007) beberapa penyakit sistemik dapat berhubungan dengan uveitis, penyakit-penyakit tersebut diantaranya adalah:

Spondyloarthritides Crohn's disease Sarcoidosis Behcet's disease Hypersensitivity reactions Tubulointerstitial nephritis Juvenile rheumatoid arthritis Kawasaki disease, multiple sclerosis, and relapsing polychondritis Multiple sclerosis Relapsing polychondritis

Sjgren's syndrome Systemic lupus erythematosus Systemic vasculitis Granulomatous angiitis of the central nervous Vogt-Koyanagi-Harada syndrome AIDS Blau syndrome

Uveitis anterior juga dapat disebabkan oleh infeksi fokal seperti: gigi, telinga, hidung, tenggorokan, traktus urogenitalis, traktus digestivus, kulit, dan lain-lain. Trauma perforata dan oftalmia simpatika juga dapat menyebabkan uveitis anterior (Wijana, 1993)

V.

PATOFISIOLOGI Peradangan traktus uvealis banyak penyebabnya dan dapat mengenai satu atau ketiga

bagian secara bersamaan. Bentuk uveitis paling sering terjadi adalah uveitis anterior akut (iritis), umumnya unilateral dan ditandai dengan adanya riwayat sakit, fotopobia dan penglihatan kabur, mata merah, dan pupil kecil serta ireguler. Penyakit peradangan traktus uvealis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada oreng dewasa dan usia pertengahan. Pada kebanyakan kasus penyebabnya tidak diketahui. Berdasarkan patologi dapat dibedakan dua jenis besar uveitis: yang non-granulomatosa (lebih umum) dan granulomatosa. Uveitis non-granulomatosa terutama timbul di bagian anterior traktus ini, yaitu iris dan korpus siliaris. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrat sel-sel limfosit dan sel plasma dengan jumlah cukup banyak dan sedikit mononuklear. Pada kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di kamera okuli anterior (Vaughan, 2000). Badan siliar berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (humor aqueus) yang memberi makanan kepada lensa dan kornea. Dengan adanya peradangan di iris dan badan siliar, maka timbullah hiperemi yang aktif, pembuluh darah melebar, pembentukan cairan bertambah, sehingga dapat menyebabkan glaukoma sekunder. Selain oleh cairan bilik mata, dinding pembuluh darah dapat juga dilalui oleh sel darah putih, sel darah merah, dan eksudat yang akan
8

mengakibatkan tekanan osmose cairan bilik mata bertambah dan dapat mengakibatkan glaukoma. Cairan dengan lain-lainya ini, dari bilik mata belakang melalui celah antar lensa iris, dan pupil ke kamera okuli anterior. Di kamera okuli anterior, oleh karena iris banyak mengandung pembuluh darah, maka suhunya meningkat dan berat jenis cairan berkurang, sehingga cairan akan bergerak ke atas. Di daerah kornea karena tidak mengandung pembuluh darah, suhu menurun dan berat jenis cairan bertambah, sehingga di sini cairan akan bergerak ke bawah. Sambil turun sel-sel radang dan fibrin dapat melekat pada endotel kornea, membentuk keratik presipitat yang dari depan tampak sebagai segitiga dengan endapan yang makin ke bawah semakin besar. Di sudut kamera okuli anterior cairan melalui trabekula masuk ke dalam kanalis Schlemn untuk menuju ke pembuluh darah episklera. Bila keluar masuknya cairan ini masih seimbang maka tekanan mata akan berada pada batas normal 15-20 mmHg. Sel radang dan fibrin dapat pula menyumbat sudut kamera okuli anterior, sehingga alirannya terhambat dan terjadilah glaukoma sekunder. Galukoma juga bisa terjadi akibat trabekula yang meradang atau sakit (Wijana,1993) Elemen darah dapat berkumpuk di kamera okuli anteror dan timbullah hifema (bila banyak mengandung sel darah merah) dan hipopion (yang terkumpul banyak mengandung sel darah putihnya). Elemen-elemen radang yang mengandung fibrin yang menempel pada pupil dapat juga menagalami organisasi, sehingga melekatkan ujung iris pada lensa. Perlekatan ini disebut sinekia posterior. Bila seluruh iris menempel pada lensa, disebut seklusio pupil sehingga cairan yang dari kamera okuli posterior tidak dapat melalui pupil untuk masuk ke kamera okuli anterior, iris terdorong ke depan, disebut iris bombe dan menyebabkan sudut kamera okuli anterior menyempit, dan timbullah glaukoma sekunder. Perlekatan-perlekatan iris pada lens menyebabkan bentuk pupil tidak teratur. Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang yang menyebabkan organisasi jaringan dan terjadi oklusi pupil. Peradangan badan siliar dapat pula menyebabkan kekeruhan pada badan kaca, yang tampak seperti kekeruhan karena debu. Dengan adanya peradangan ini maka metabolisme pada lensa terganggu dan dapat mengakibatkan katarak. Pada kasus yang sudah lanjut, kekeruhan badan kaca pun dapat mengakibtakan organisasi jaringan yang tampak sebagai membrana yang terdiri dari jaringan ikat dengan neurovaskularisasi dari retina yang disebut retinitis proloferans. Pada kasus yang lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan ablasi retina (Wijana, 1993).

VI.

GAMBARAN KLINIS

Gejala Subyektif Gejala subyektif uveitis anterior dapat berupa rasa nyeri, fotofobia , lakrimasi, dan mata kabur. Masing-masing gejala akan dijelaskan di bawah ini (Ardy, 1993 ; Gunawan, 1993 )

Nyeri

Nyeri disebabkan oleh iritasi saraf siliar bila melihat cahaya dan penekanan saraf siliar bila melihat dekat. Sifat nyeri menetap atau hilang timbul.Lokalisasi nyeri bola mata, daerah orbita dan kraniofasial. Nyeri ini disebut juga nyeri trigeminal. Intensitas nyeri tergantung hiperemi iridosiliar dan peradangan uvea serta ambang nyeri pada penderita, sehingga sulit menentukan derajat nyeri.

Fotofobia dan lakrimasi

Fotofobia disebabkan spasmus siliar dan kelainan kornea bukan karena sensitif terhadap cahaya. Lakrimasi disebabkan oleh iritasi saraf pada kornea dan siliar, jadi berhubungan erat dengan fotofobia.

Penglihatan kabur

Derajat kekaburan bervariasi mulai dari ringan sedang, berat, atau hilang timbul, tergantung penyebab. Pada uveitis anterior akut dapat disebabkan oleh pengendapan fibrin, edema kornea, kekeruhan akuos, dan badan kaca depan karena eksudasi sel radang dan fibrin. Pada uveitis anterior kronik dapat disebabkan oleh kekeruhan lensa, badan kaca, dan kelainan kornea seperti edema, lipatan Descemet, vesikel epitel dan keratopati. Edema kornea akibat glaukoma sekunder dapat mengalami kalsifikasi. Pada infeksi herpes simpleks terdapat edema menetap disertai neovaskularisasi stroma perifer dan pannus kornea.

10

Gejala Obyektif Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah, oftalmoskopik direk dan indirek, bila diperlukan angiografi fluoresen atau ultrasonografi.

Injeksi siliar Keratik presipitat

Terjadi karena pengendapan agregasi sel radang dalam bilik mata depan pada endotel kornea akibat aliran konveksi akuwos humor, gaya berat dan perbedaan potensial listrik endotel kornea. Lokalisasi dapat di bagian tengah dan bawah dan juga difus. Keratik presipitat dapat dibedakan :

Baru dan lama :


o o

baru bundar dan berwarna putih. lama mengkerut, berpigmen, lebih jernih.

Jenis sel :
o o

lekosit berinti banyak kemampuan aglutinasi rendah, halus keabuan. limfosit kemampuan aglutinasi sedang membentuk kelompok kecil bulat batas tegas, putih.

makrofag kemampuan aglutinasi tinggi tambahan lagi sifat fagositosis membentuk kelompok lebih besar dikenal sebagai mutton fat.

Ukuran dan jumlah sel :


o

halus dan banyak terdapat pada iritis dan iridosiklitis akut, retinitis/koroiditis, uveitis intermedia. Uveitis anterior akut dengan etiologi penyakit sendi dan infeksi fokal.

o o

kecil dan hanya beberapa, terdapat pada Sindrom Posner-Schlossman. mutton fat keabuan dan agak basah. Terdapat pada uveitis granulomatosa disebabkan oleh tuberkulosis, sifilis, lepra, Vogt-Koyanagi-Harada dan simpatik oftalmia. Juga ditemui padauveitis non granulomatosa akut dan kronik yang berat.
11

Mutton fat dibentuk oleh makrofag yang bengkak oleh bahan fagositosis dan set epiteloid berkelompok atau bersatu membentuk kelompok besar. Pada permulaan hanya beberapa dengan ukuran cukup besar karena hidratasi dan tiga dimensi, lonjong batas tidak teratur. Bertambah lama membesar, menipis dan berpigmen akibat fagositosis pigmen uvea, dengan membentuk daerah jernih padaendotel kornea. Pengendapan Mutton fat sulit mengecil dan sering menimbulkan perubahan endotel kornea gambaranmerupakan gelang keruh di tengah karena pengendapan pigmendan sisa hialin sel.

Edema Kornea

Edema kornea disebabkan oleh perubahan endotel dan membran Descemet dan neovaskularisasi kornea. Gambaran edema kornea bcrupa lipatan Descemet dan vesikel pada epitel kornea. Harus dibedakan dari keratitis profunda misalnya keratitis disciformis dengan edema menetap, neovaskularisasi stroma perifer dan pannus.

Kekeruhan bilik mata

Kekeruhan dalam bilik mata depan dapat disebabkan oleh meningkatnya kadar protein, sel, dan fibrin.

Sel

Sel radang berasal dari iris dan badan siliar. Pengamatan sel akan terganggu bila efek Tyndall hebat. Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah dalam ruangan gelap dengan celah 1 mm dan tinggi celah 3 mm dengan sudut 45. Dapat dibedakan sel yang terdapat dalam bilik mata depan. Jenis sel : limfosit dan sel plasma bulat, mengkilap putih keabuan. makrofag lebih besar, wama tergantung bahan yang difagositosis. sel darah berwarna merah. pigmen kecil dan coklat.

Fibrin

12

Dalam humor akuos berupa gelatin dengan sel, berbentuk benang atau bercabang, wama kuning muda, jarang mengendap pada kornea.Terdapat pada iridosiklitis akut dan berat karena eksudasi fibrin ke dalam bilik depan mata (iritis plastik).

Hipopion

Merupakan pengendapan sel radang pada sudut bilik mata depan bawah. Pengendapan terjadi bila derajat sel dalam bilik depan lebih dari 4+. Hipopion dapat ditemui pada uveitis anterior hiperakut dengan sebutan sel lekosit berinti banyak, biasanya karena rematik, juga pada penyakit Behcet, dan fakoanafilaktik.

Hiperemi iris

Merupakan gejala bendungan pada pembuluh darah iris. Edema dan eksudasi pada stroma iris, keadaan ini dipermudah karena iris kaya dengan pembuluh darah sehingga struktur iris normal hilang dan gambaran iris kusam coklat keabuan.Gambaran bendungan dan pelebaran pembuluh darah iris kadang-kadang tidak terlihat karma ditutupi oleh eksudasi sel. Gambaran hiperemi ini harus dibedakan dari rubeosis iridis dengan gambaran hiperemi radial tanpa percabangan abnormal.

Miosis pupil

Pupil mengecil karena edema dan pembengkakan stroma iris karena iritasi akibat peradangan langsung pada sfingter pupil. Reaksi pupil terhadap cahaya lambat disertai nyeri.

Nodul iris

Nodul tidak sesuai karena pengendapan agregasi sel dalam stroma tidak selalu menimbulkan kerusakan jaringan. Dibentuk oleh limfosit, sel plasma dan jarang makrofag. Dapat ditemui pada iritis atau iridosiklitis kronik. Nodul iris tidak selalu menunjukkan peradangan granulomatosa.

Nodul Kocppe

13

Lokalisasi pinggir pupil, banyak, menimbul, bundar, ukuran kecil, jernih, warna putih keabuan. Proses lama nodul Kocppe mengalami pigmentasi baik pada permukaan atau lebih dalam merupakan hiasan dari iris.

Nodul Busacca

Merupakan agregasi sel yang tcrjadi pada stroma iris nodul Koeppe, terlihat scbagai benjolan putih pada permukaan depan iris. Juga dapat ditemui bentuk kelompok dalam liang setelah mengalami organisasi dan hialinisasi. Nodul Busacca merupakan tanda uveitis anterior granulomatosa.

Sinekia posterior

Merupakan perlengketan iris dengan kapsul depan lensa. Perlengketan dapat berbentuk benang atau dengan dasar luas dan tebal. Bila luas akan menutupi pupil, dengan pemberian midriatika akan berbentuk bunga. Bila eksudasi fibrin membentuk sinekia seperti cinein, bila seklusi sempurna akan memblokade pupil (iris bombe). Kelainan ini dapat dijumpai pada uveitis granulomatosa atau nongranulomatosa, lebih sering bentuk akut dan subakut, dengan fibrin cukup banyak. Ditemui juga pada bentuk residif bila efek Tyndall berat.

Sinekia anterior

Perlengketan iris dengan sudut irido-kornea, jelas terlihat dengan gonioskopi. Sinekia anterior timbul karena pada permulaan blok pupil sehingga akar iris maju ke depan menghalangi pengeluaran akuos, edema dan pembengkakan pada dasar iris, sehingga setelah terjadi organisasi dan eksudasi pada sudut iridokornea menarik iris ke arah sudut. Sinekia anterior bukan merupakan gambaran dini dan determinan uveitis anterior, tetapi merupakan penyulit peradangan kronik dalam bilik depan mata.

Oklusi pupil

Ditandai dengan adanya blok pupil oleh seklusi dengan membran radang pada pinggir pupil.

Atrofi iris
14

Merupakan degenerasi tingkat stroma dan epitcl pigmen belakang.

Perubahan sel lensa

Dikenal 3 bentuk perubahan pada lensa akibat uveitis anterior, yaitu: pengendapan set radang, pigmen dan kekeruhan lensa.

Perubahan dalam badan kaca Kekeruhan badan kaca timbul karena pengelompokan sel, eksudat fibrin dan sisa

kolagen, di depan atau belakang, difus, berbentuk debu, benang, menetap atau bergerak. Agregasi terutama oleh sel limfosit, plasma dan makrofag. Iridosiklitis dapat dibedakan dari iritis dengan ditemui sel dan kekeruhan di ruang belakang lensa dan badan kaca depan akibat eksudasi badan siliar. Kekeruhan badan kaca tidak berkurang melainkan akan bertambah. Bila lebih banyak sel melekat terlihat penebalan benda kaca dan terpisah. Pada kasus uveitis anterior residif dan kronik tidak terkontrol, akan mengalami regresi dan pemecahan jaringan kolagen, pencairan dan retraksi, sehingga mengakibatkan lepas badan kaca. Efek Tyndall dan set dalam ruang belakang badan kaca akibat masuknya eksudasi radang melalui hialod belakang yang rusak. Badan kaca yang mengalami kerusakan akan membentuk perlengkctan dan kckeruhan bersama set radang dan membentuk eksudat berupa salju, tipikal pada uveitis intermedia, dan posterior. Kekeruhan ini akan bertambah membundar, keabuan, mengkilap bergerak di atas badan kaca perifer. Pada uveitis anterior tidak begitu berat, terjadi perubahan bagian depan badan kaca, tetapi dapat meluas ke seluruh badan kaca dan setelah mengalami proses regresi organisasi dapat menimbulkan penyulit vitreo-retina.

Perubahan tekanan bola mata

Tekanan bola mata pada uveitis anterior dapat rendah (hipotoni), normal atau meningkat (hipertoni).

15

Tabel 2. Perbedaan Uveitis Granulomatosa dan Non Granulomatosa Non granulomatosa Onset Sakit Fotofobia Penglihatan kabur Merah sirkumkorneal Presipitat keratik Putih halus Kecil dan tak tratur Kelabu besar Kecil dan tak teratur (bervariasi) Kadang-kadang Kadang-kadang Uvea anterior Kadang-kadang Kadang-kadang Uvea anterior dan Akut Nyata Nyata Sedang Nyata Granulomatosa Tersembunyi Tak ada atau ringan Ringan Nyata Ringan

Pupil

Sinekia posterior Nodul iris

Tempat

posterior Akut Sering Menahun Kadang-kadang

Perjalanan Rekurensi

VII.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan laboratorium yang mendalam umumnya tidak diperlukan untuk uveitis anterior, apalagi untuk tipe non-granulomatosa. Tes kulit terhadap tuberkulosis dan histoplasmosis dapat
16

berguna demikian juga antibodi terhadap toksoplasmosis. Berdasarkan tes-tes ini dan gambaran kliniknya, seringkali dapat ditegakkan diagnosa etiologinya (Vaughan, 2000) Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat mendukung dalam penegakan diagnosa dan etiologi adalah radiografi thorak dan fluorescent treponemal antibody absorption (FTA-ABS). Berikut adalah pemeriksaan dan indikasi pada penegakan diagnosa dan etiologi uveitis anterior menurut George (2007) dan AOA (2004):

Radiografi thorak untuk Sarkoidosis dan TB Tes darah rutin untuk membedakan penyebab bakteri atau virus dan mengetahui keganasan seperti limfoma dan leukimia.

FTA-ABS test untuk Sifilis VRDL untuk sifilis Purified protein derivative (PPD) test untuk TB Angiotensin-converting enzyme (ACE) test untuk Sarkoidosis Antinuclear antibody (ANA) untuk SLE dan juvenile rheumatoid arthritis. HLA-B27 typing untuk ankylosing spondilytis, sindrom Reiter, inflammantory bowel disease, psoriasis artritis, sindrom Behcet.

Gallium scan untuk Sarkoidosis Anergy evaluation untuk Sarkoidosis Toxoplasmosis enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) MRI pada kepala akan membantu dalam penegakan cases of intraocular (CNS) lymphoma.

Pada pasien dengan indikasi sarkoidosis dan pada pemeriksaan radiografi thorak negatif, pemeriksaan CT thorak untuk mengetahui hilar adenopathy.

VIII.

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding uvetis anterior menurut Vaughan (2000) antara lain:

Konjungtivitis: penglihatan tidak kabur, respon pupil normal, ada tahi mata dan umumnya tidak ada sakit, fotofobia, atau injeksi siliaris.
17

Keratitis atau keratokunjungtivitis: penglihatan dapat kabur dan ada rasa sakit dan fotofobia. Beberapa penyebab keratitis seperti herpes simpleks dan herpes zooster dapat menyertai uveitis anterior sebenarnya.

Glaukoma akut: pupil melebar, tidak ada sinekia posterior, dan korneanya beruap. Setelah serangan berulang kali,uveitis non-granulomatosa dapat menunjukkan ciri uveitis granulomatosa

IX.

TERAPI

Tujuan terapi uveitis anterior menurut AOA (2004), antara lain:


Mengembalikan tajam penglihatan, Mengurangi rasa nyeri di mata, Mengeliminasi peadangan atau penyebab pradangan, Mencegah terjadinya sinekia iris, Mengendalikan tekanan intraokular.

Pada referat ini akan dibahas terapi spesifik dan terapi non spesifik untuk uveitis anterior menurut Sjamsoe (1993). 1. Terapi Non Spesifik

Tiga jenis obat yang digunakan sebagai terapi non spesifik pada uveitis yaitu midriatiksikloplegik, kortikosteroid, dan imunosupresan.

Midriatik-sikloplegik

Semua sikloplegik merupakan agen antagonis kolinergik yang bekerja dengan menghambat neurotransmiter pada reseptor sfingter iris dan korpus silier. Pada pengobatan uveitis anterior sikloplegik bekerja dengan 3 cara yaitu:
o

Mengurangi nyeri karena imobilisasi iris


18

Mencegah adesi iris ke kapsula lensa anterior (sinekia posterior), yang dapat meningkatkan tekanan intraokular dan menyebabkan glaukoma sekunder.

Menyetabilkan blood-aqueous barrier dan mencegah terjadinya flare.

Agen sikloplegik yang digunakan dalam terapi uveitis anterior menuruut AOA (2004) antara lain:
o o o o

Atropine 0,5%, 1%, 2% Homatropin 2%, 5% Scopolamine 0,25% Cyclopentolate 0,5%, 1%, 2%.

Kortikosteroid

Semua orang setuju bahwa kortikosteroid merupakan terapi non spesifik yang bermanfaat pada uveitis. Efek samping baik topikal maupun sistemik telah kita ketahui, akan tetapi tidak ada salahnya diingatkan kembali tentang cara kerja variasi efek anti inflamasi, efek samping dan potensi preparat steroid yang dipakai dalam pengobatan uveitis. Pengobatan peradangan intra okular dengan kortikosteroid dimulai pada tahun 50-an. Ada 2 cara pengobatan kortikosteroid pada uveitis:
o o

Lokal : Tetes mata, dan injeksi peri okular Sistemik

Efek terapeutik kortikosteroid topikal pada mata dipengaruhi oleh sifat kornea sebagai sawar terhadap penetrasi obat topikal ke dalam mata, sehingga daya tembus obat topikal akan tergantung pada: a. Konsentrasi dan frekuensi pemberian Makin tinggi konsentrasi obat dan makin sering frekuensi pemakaiannya, maka makin tinggi pula efek antiinflamasinya. b. Jenis kortikosteroid Peradangan pada kornea bagian dalam dan uveitis diberikan preparat dexametason, betametason dan prednisolon karena penetrasi intra okular baik, sedangkan preparat medryson, fluorometolon

19

dan hidrokortison hanya dipakai pada peradangan pada palpebra, konjungtiva dan kornea superfisial. c. Jenis pelarut yang dipakai Kornea terdiri dari 3 lapisan yang berperan pada penetrasi obat topikal mata yaitu, epitel yang terdiri dari 5 lapis sel, stroma, endotel yang terdiri dari selapis sel. Lapisan epitel dan endotel lebih mudah ditembus oleh obat yang mudah larut dalam lemak sedangkan stroma akan lebih mudah ditembus oleh obat yang larut dalam air. Maka secara ideal obat dengan daya tembus kornea yang baik harus dapat larut dalam lemak maupun air (biphasic). Obat-obat kortikosteroid topikal dalam larutan alkohol dan asetat bersifat biphasic. d. Bentuk larutan Kortikosteroid tetes mata dapat berbentuk solutio dan suspensi. Keuntungan bentuk suspensi adalah penetrasi intra okular lebih baik daripada bentuk solutio karena bersifat biphasic, tapi kerugiannya bentuk suspensi ini memerlukan pengocokan terlebih dahulu sebelum dipakai. Pemakaian steroid tetes mata akan mengakibatkan komplikasiseperti: Glaukoma, katarak, penebalan kornea, aktivasi infeksi, midriasis pupil, pseudoptosis dan lain-lain.

Injeksi peri-okular

Dapat diberikan dalam bentuk long acting berupa Depo maupun bentuk short acting berupa solutio. Keuntungan injeksi peri-okular adalah dicapainya efek anti peradangan secara maksimal di mata dengan efek samping sistemik yang minimal. Indikasi injeksi peri-okular adalah : 1. Apabila pasien tidak responsif terhadap pengobatan tetes mata, maka injeksi peri-okular dapat dianjurkan. 2. Uveitis unilateral. 3. Pre operasi pada pasien yang akan dilakukan operasi mata. 4. Anak-anak. 5. Komplikasi edema sistoid makula pada pars planitis. Penyuntikan steroid peri-okular merupakan kontra indikasi pada uveitis infeksi (toxoplasmosis) dan skleritis. Lokasi injeksi peri-okular : a) Sub-konjungtiva dan sub-tenon anterior
20

Pemakaian sub-konjungtiva/sub-tenon steroid repository (triamcinolone acetonide 40 mg, atau. methyl prednisolone acetate 20 mg) efektif pada peradangan kronis segmen anterior bola mata. Keuntungan injeksi sub-konjungtiva dan sub-tenon adalah dapat mencapai dosis efektif dalam 1 kali pemberian pada jaringan intraokular selama 24 minggu sehingga tidak membutuhkan pemberian obat yang berkali-kali seperti pemberian topikal tetes mata. Untuk kasus uveitis anterior berat dapat dipakai dexametason 24 mg. b) Injeksi sub-tenon posterior dan retro-bulbar Cara ini dipergunakan pada peradangan segmen posterior (sklera, koroid, retina dan saraf optik). Komplikasi injeksi peri-okular : 1) Perforasi bola mata. 2) Injeksi yang berulang menyebabkan proptosis, fibrosis otot ektra okular dan katarak subkapsular posterior. 3) Glaukoma yang persisten terhadap pengobatan, terutama dalam bentuk Depo di mana dibutuhkan tindakan bedah untuk mengangkat steroid tersebut dari bola mata. 4) Astrofi lemak sub-dermal pada teknik injeksi via palpebra.

Sistemik

Pengobatan kortikosteroid bertujuan mengurangi cacat akibat peradangan dan perpanjangan periode remisi. Banyak dipakai preparat prednison dengan dosis awal antara 1 2 mg/kg BB/hari, yang selanjutnya diturunkan perlahan selang sehari (alternating single dose). Dosis prednison diturunkan sebesar 20% dosis awal selama 2 minggu pengobatan, sedangkan preparat prednison dan dexametaxon dosis diturunkan tiap 1 mg dari dosis awal selama 2 minggu. Pada uveitis kronis dan anak-anak bisa terjadi komplikasi serius seperti supresi kelenjar adrenal dan gangguan pertumbuhan badan, maka diberikan dengan cara alternating single dose. Indikasi kortikosteroid sistemik : 1. Uveitis posterior 2. Uveitis bilateral 3. Edema makula 4. Uveitis anterior kronik (JRA, Reiter) 5. Kelainan sistemik yang memerlukan terapi steroid sistemik

21

Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama akan terjadi efek samping yang tidak diingini seperti Sindrom Cushing, hipertensi, Diabetes mellitus, osteoporosis, tukak lambung, infeksi, hambatan pertumbuhan anak, hirsutisme, dan lain-lain.

Imunosupresan

Sitostatika

Pengobatan sitostatika digunakan pada uveitis kronis yang refrakter terhadap steroid. Di RSCM telah dipakai preparat klorambusil 0,10,2 mg/kg BB/hari, dosis klorambusil ini dipertahankan selama 23 bulan lalu diturunkan sampai 58 mg selama 3 bulan dan dosis maintenance kurang dari 5 mg/hari, sampai 612 bulan. Selain itu juga dipakai preparat Kolkhisindosis 0,5 mg1 mg/peroral/2 kali/hari. Dosis letak adalah 7 mg/hari. Selama terapi sitostatika kita hams bekerja sama dengan Internist atau Hematologist. Sebagai patokan kita hams mengontrol darah tepi, yaitu lekosit harus lebih dari 3000/mm3 dan trombosit lebih dari 100.000/mm3 selama dalam pengobatan. Preparat sitostatika ini menekan respons imun lebih spesifik dibandingkan kortikosteroid, tetapi pengobatan sitostatika ini mempunyai risiko terjadinya diskrasia darah, alopesia, gangguan gastrointestinal, sistitis hemoragik, azoospermia, infeksi oportunistik, keganasan dan kerusakan kromosom. Indikasi sitostatika: 1. Pengobatan steroid inefektif atau intolerable 2. Penyakit Behcet 3. Oftalmia simpatika 4. Uveitis pada JRA (Juvenile rheumatoid arthritis) Kontra indikasi sitostatika : 1. Uveitis dengan etiologi infeksi 2. Bila tidak ada : Internist/hematologist Fasilitas monitoring sumsum tulang Fasilitas penanganan efek samping akut

Siklosporin A
22

Siklosporin A (CsA) adalah salah satu obat imunosupresan yang relatif baik yang tidak menimbulkan efek samping terlalu berat dan bekerja lebih selektif terhadap sel limfosit T tanpa menekan seluruh imunitas tubuh; pada pemakaian kortikosteroid dan sitostatik akan terjadi penekanan dari sebagian besar sistem imunitas, seperti menghambat fungsi sel makrofag, sel monosit dan sel neutrofil. Selain itu CsA tidak menyebabkan depresi sumsum tulang dan tidak mengakibatkan efek mutagenik seperti obat sitostatika. Mekanisme kerja siklosporin A dalam respons imun adalah spesifik dengan:

Menekan secara langsung sel T helper subsets dan menekan secara umum produksi limfokin-limfokin (IL-2, interferon, MAF, MIF). Secara umum CsA tidal( menghambat fungsi sel B.

Produksi sel B sitotoksik dihambat oleh CsA dengan blocking sintensis IL-2. Secara tidak langsung mengganggu aktivitas sel NK (natural killer cell) dengan menekan produksi interferon, di mana interferon dalam mempercepat proses pematangan dan sitolitik sel NK.

Populasi makrofag dan monosit tidak dipengaruhi oleh CsA sehingga tidak mempengaruhi efek fagositosis, processing antigen dan elaborasi IL-1.

1.

Terapi Spesifik

Toxoplasmosis

Pengobatan anti toxoplasma yang paling ideal adalah terapi kombinasi.

Sulfadiazin atau trisulfa :

Dosis 4 kali 0.51 gr/hari selama 36 minggu.

Pirimetamin :

Dosis awal 75100 mg pada hari pertama, selanjutnya 2 kali 25 mg/hari selama 36 minggu.
23

Trimethoprim-sulfamethoxazol (Bactrim) :

Dosis 2 kali 2 tablet Bactrim selama 46 minggu. Preparat sulfa mencegah konversi asam paraaminobenzoat menjadi asam folaL Preparat pirimetamin bekerja menghambat terbentuknya tetrahidrofolat. Asam folat dibutuhkan oleh organisme toxoplasma untuk metabolisme karbon. Pada pemakaian pirimetamin dapat terjadi depresi sumsum tulang, maka kontrol darah tepi tiap minggu, apabila trombosit diindikasi penghentian terapi. Untuk mencegah depresi sumsum tulang diberikan preparat tablet asam folinat 5 mg tiap 2 hari.

Klindamisin :

Sebagai pengganti pirimetamin, yang bekerja sinergik dengan preparat sulfa. Secara invivo pada experimen obat ini dapat menghancurkan kista toxoplasma pada jaringan retina. Dosis: 3 kali 150300 mg/hari/oral. Pemberian sub-konjungtiva klindamisin 50 mg dilaporkan memberi hasil baik.

Spiramisin :

Diberikan pada wanita hamil dan anak-anak karena efek samping yang minimal. Obat ini kurang efektif dalam mencegah rekurensi.

Minosiklin :

Dosis 12 kapsul sehari selama 46 minggu.


Fotokoagulasi dengan laser apabila tidak ada respon terapi medikamentosa. Infeksi virus Herpes simplex :

Pada keratouveitis Herpes simplex diberikan topikal antivirus seperti asiklovir dan sikloplegik. Apabila epitel kornea intact/sembuh maka dapat diberikan topikal steroid bersama antivirus. Diberikan juga asiklovir 5 kali 200 mg/hari selama 23 minggu yang kemudian diturunkan 2 atau 3 tablet/hari.
24

Pada kasus retinitis Herpes simplex dan ARN (Acute retinal necrosis) diberikan asiklovir intravena dengan dosis awal 5 mg/kgBB/kali yang dapat diberikan 3 kali per hari.

Herpes zoster :

Diberikan asiklovir 5 kali 400 mg pada keadaan akut selama 1014 hari. Kortikosteroid sistemik diberikan pada orang tua untuk mencegah terjadi post herpetic neuralgia. Pada uveitis anterior diberikan steroid dan sikloplegik topikal.

Sitomegalovirus :

DHPG (Gancyclovir) 5 mg/kgBB/dalam 2 kali pemberian intravena Foscarnet: 20 mg/kgBB/perinfus. Menurut Wiyana (1993), selama pemberian obat harus diperhatikan beberapa hal diantaranya:

Berat badan. Bila berat badan naik dengan cepat berarti ada penumpukan air, karena adanya Na retensi, makanya pada pemberian kortekosteroid yang lama harus disertai pemberian KCl.

Tensi darah harus diperiksa setiap hari Pemeriksaan kadar K, Na dalam darah Pemeriksaan kadar gula dalam darah, harus dilakukan satu kali dalam setiap minggu Adanya mimpi buruk, merupakan tanda adanya psikose.

Berhasil tidaknya pengobatan tergantung oleh daya tahan tubuh serta adanya virulensi dari faktor penyebab iridosiklitis. Oleh karenanya pemberian kortikosteroid tidak akan berhasil apabila tidak disertai pengobatan penyebabnya. Keadaan umum diperbaiki untuk memperbaiki daya tahan tubuh. Istirahat di tempat tidur, terlindung dari cahaya, tidak boleh membaca, dilarang minum alkohol (dapat menyebabkan hiperemi), memakan makanan yang mudah dicerna, dan memakai kaca mata hitam. Selain itu jangan lupa memeriksa bagian-bagian tubuh yang lain seperti: gigi, telinga, hidung, tenggorokan, traktus urogenitalis, traktus digestivus, kulit, dan bagian lain. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui penyebab dan juga mengobati penyebab tersebut (Wijana, 1993).

25

X.

KOMPLIKASI

Ada empat komplikasi utama uveitis anterior antara lain: katarak, glaukoma, band keratopathy, dan cystoid macular edema (CME) (AOA,2004). Katarak subcapular posterior merupakan salah satu komplikasi dari pengobatan uveitis anterior berupa penggunaan kortikosteroid topikal jangka panjang (AOA, 2004). Glaukoma sekunder yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme, antara lain: (AOA, 2004)

Gangguan sirkulasi humor aqueous karena tersumbat oleh sel radang Sinekia posterior memungkinkan humor aqueous terkumpul di belakang iris. Sinekia anterior peripheral prograsif menutup sudut bilik mata Cortikosteroid topikal yang digunakan pada terapi dapat meningkatkan tekanan intra okular

Rubeosis iridis menyebabkan neovaskular glaukoma

Band keratopathi terjadi pada uveitis yang lama. Terjadi karena penumpukan calsium pada kornea anterior (AOA, 2004). Edema kistoid makuler dapat terjadi pada uveitis anterior yang lama. CME mungkin disebabkan karena penurunan kadar prostaglandin (AOA, 2004).

XI.

PROGNOSIS Dengan pengobatan, serangan uveitis non-granulomatosa umumnya berlangsung

beberapa hari sampai minggu dan sering kambuh. Uveitis granulomatosa berlangsung berbulanbulan sampai tahunan, kadang-kadang dengan remisi dan eksaserbasi, dan dapat menimbulkan kerusakan permanen dengan penurunan penglihatan yang nyata. Prognosis bagi lesi korioretinal perifer lokal jauh lebih baik, sering sembuh tanpa gangguan penglihatan yang berarti.

26

BAB IV KESIMPULAN

Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan korpus siliare (pars plikata), kadang-kadang menyertai peradangan bagian belakang bola mata, kornea dan sklera. Berdasarkan spesifitas penyebabnya uveitis anterior dapat dibagi atas uveitis infeksius, uveitis non infeksius, dan uveitis tanpa penyebab yang jelas. Secara klinis (menurut cara timbul dan lama perjalanan penyakitnya) uveitis anterior dibedakan menjadi uveitis anterior akut dan uveitis anterior kronis. Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan patologi anatominya terdiri dari tipe granulomatosa dan non granulomatosa. Gejala-gejala uveitis anterior meliputi: mata merah, fotofobia, lakrimasi, rasa sakit, clan penglihatan kabur. Mata yang terkena biasanya satu pihak, disertai dengan adanya flare dan sel di dalam bilik mata depan; jarang dijumpai adanya hipopion. Variasi gejala sering dijumpai, hal ini berhubungan dengan faktor penyebab. Tujuan terapi uveitis anterior antara lain: mengembalikan tajam penglihatan, mengurangi rasa nyeri di mata, mengeliminasi peadangan atau penyebab pradangan, mencegah terjadinya sinekia iris,m engendalikan tekanan intraokular.

27

DAFTAR PUSTAKA

1. American Optometric Association, 2004, Anterior Uveitis, dalam Optometric Clinical Practice Guideline, American Optometric Association, St. Louis 2. Anonim, 2007, Uveitis Anterior, http://exdeathhealth.blogspot.com/2008/03/uveitisanterior.html 3. Ardy, H., 1993, Diagnosis Etiologik Uveitis Anterior, dalam Cermin Dunia Kedokteran no 87. sept 1993, Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta: 47-54 4. Ghozie, M., 2002, Kornea, Uvea, dan Lensa, dalam Hand Book of Ophtalmology, Yogyakarta 5. Hodge, W. G., 2000, Traktus Uvealis & Sklera, dalam Vaughan, D. G., Asbury, T. dan Riodan, P., Oftalmologi Umum, Widya Medika, Jakarta : 155-174 6. Riodan, P., 2000, Anatomi & Embriologi Mata, dalam Vaughan, D. G., Asbury, T. dan Riodan, P., Oftalmologi Umum, Widya Medika, Jakarta : 1-29 7. Rosenbaum, J,T, 2007, Up to Date: Canada, http://www.uptodate.com 8. Sjamsoe, S., 1993, Penatalaksanaan Uveitis, dalam Cermin Dunia Kedokteran no 87. sept 1993, Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta: 55-58 9. Suhardjo dan Gunawan, S., 1993. Gambaran Klinis Uveitis Anterior Akuta pada HLA-B27 positif, FK UGM, Yogyakarta 10. Wijana, N., 1993, Uvea, dalam Ilmu Penyakit Mata, Abadi Tegal, Jakarta: 126-153

28

Das könnte Ihnen auch gefallen