Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Hermawan Kartajaya
Taufik Jacky Mussry Iwan Setiawan Bayu Asmara Nastiti Tri Winasis B.E. Satrio Irvan Irawan Jie Levina Yulianti Anthony Darmaja
14 APRIL 2011
Self-Medication
Who benefits and who is at loss?
Swamedikasi
Swamedikasi dapat diartikan secara sederhana sebagai upaya seseorang untuk mengobati dirinya sendiri. Swamedikasi menjadi alternatif yang banyak dipilih masyarakat untuk meredakan/ menyembuhkan keluhan kesehatan ringan atau untuk meningkatkan keterjangkauan akses terhadap pengobatan. Berdasarkan hasil Susenas tahun 2009, BPS mencatat bahwa terdapat 66% orang sakit di Indonesia yang melakukan swamedikasi. Angka ini relatif lebih tinggi dibandingkan persentase penduduk yang berobat jalan ke dokter (44%). Walaupun demikian, persentase swamedikasi di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan tingkat swamedikasi di Amerika Serikat yang mencapai 73%. Angka ini bahkan cenderung akan meningkat karena terdapat enam dari sepuluh orang di Amerika yang mengatakan bahwa mereka mungkin akan melakukan swamedikasi lagi di masa yang akan datang terhadap penyakit yang dideritanya. Menurut situs www.wsmi.com (world self-medication industry), bentuk swamedikasi yang bertanggung jawab adalah penggunaan obat bebas secara tepat berdasarkan inisiatif pribadi pasien, dengan bantuan tenaga kesehatan ahli (dokter atau apoteker) jika diperlukan. Dengan keberadaan swamedikasi ini, tidak dapat dihindari terjadinya peresepan sendiri (self-prescription, yaitu penggunaan dari obat resep oleh pasien atau konsumen tanpa pengawasan dari dokter). Sebetulnya hal peresepan sendiri sudah diatur pada permenkes No.919/MENKES/PER/X/1993, yang di dalamnya ditentukan jenis dan batasan jumlah obat yang dapat diserahkan kepada konsumen tanpa harus menyertakan resep dari dokter (lihat Exhibit 1). Tercatat bahwa ada 30% konsumen Indonesia yang pernah dan biasa melakukan swamedikasi dan peresepan sendiri (termasuk pembelian obat tanpa resep). Yang lebih mencengangkan, 47% di antaranya adalah untuk jenis obat-obatan antiobiotik. Dengan
Self-Medication
Self-Medication can be dened simply as any eort by an individual to medically treat themself. Self-medication is an alternative that many people choose to relieve / cure minor health complaints or to improve the aordability of access to medical treatment. Based on results of the National SocioEconomic Survey in 2009, BPS-Statistics Indonesia notes that 66% of sick people in Indonesia practice self-medication. This gure is relatively higher than the percentage of people who go to a doctor for medical treatment (44%). However, the percentage of self-medication in Indonesia is still lower than in the United States reached 73%. This gure will potentially continue to rise because 6 out of 10 people in the United States admit that they will probably self-medicate in the future. According to www.wsmi.com (world self-medication industry), a responsible form of self-medication is the proper use of nonprescription medicine by people on their own initiative, with the help of skilled health personnel (a doctor or pharmacist) when necessary. With self-medication, we cant avoid selfprescription, which is usage of prescription drugs by a person without the proper supervision or advice of a doctor. The Indonesian Health Ministry has already issued a ministry regulation (PerMen) which governs self-medication with ruling 919/MENKES/ PER/X/1993. This regulation species the type and amount of medicine which can be given to a consumer without the requirement of a doctors prescription (see Exhibit 1). It is known that around 30 percent of Indonesian consumers have practiced self-medication and selfprescription (including the purchase of a medicine without a prescription) at least once. The more astonishing fact is that 47 percent of them selfprescribe antibiotics. With this statistic in mind, the
0.0
Total Flu Gastric Cough Headache Cold Fever Percentage Self-medication Visit to the docter(outpatient)
kondisi ini, maka tepatlah tindakan pemerintah Indonesia meluncurkan Pedoman Penggunaan Antibiotik sebagai salah satu respon terhadap peringatan Hari Kesehatan Dunia, 7 April kemarin, yang tahun ini bertemakan Antibiotic Resistance. Tema hari kesehatan dunia ini diambil karena berdasarkan data WHO, pada tahun 2010 terdapat sekitar 25 ribu orang di Eropa yang meninggal karena infeksi bakteri yang kebal terhadap antibiotik. Jika dilakukan studi di Indonesia, ada kemungkinan ditemukan indikasi yang sama juga karena keberadaan antibiotik yang selama ini sangat mudah diperoleh sehingga penggunaannya menjadi cenderung tidak rasional. Apalagi di Indonesia sangat banyak sekali penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotik selama ini dianggap sebagai obat segala penyakit yang dapat dibeli bebas dengan harga terjangkau. Adapun dalam fenomena swamedikasi, peresepan sendiri (termasuk pembelian obat tanpa resep) ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, perkembangan teknologi informasi, dengan semakin berkembangnya teknologi, masyarakat menjadi lebih mudah dalam mengakses informasi, termasuk di dalamnya informasi mengenai kesehatan. Masyarakat jadi lebih terbuka dengan adanya informasi di Internet mengenai pengobatan, termasuk juga pengobatan alternatif. Masyarakat jadi lebih berani untuk melakukan pengobatan terhadap penyakit yang dideritanya berdasarkan aneka informasi yang didapatkan melalui Internet. Kemudahan mendapatkan obat juga mendukung pergeseran ini, yang didukung peningkatan jumlah
Indonesian government has taken the right step in publishing a formal guide on antibiotics usage in conjunction with the commemoration of world health day on April 7th, 2011. The main theme this year is Anti-biotic Resistance. This theme was apparently selected because, according to WHO data, in 2010 around 25,000 people in Europe have died due to antibiotic-resistant bacterial infection. If this study were to be done in Indonesia, there is a possibility that the results would be similar. It is widely known how easy it is for Indonesians to obtain antibiotics without prescription. And because it is so easy to access, people tend to use it irrationally. This is especially true in Indonesia where a lot of diseases are caused by some form of bacteria and antibiotics is widely considered as a cure-all which is aordable, and widely available. This self-medication and self-prescription phenomena is caused by several factors. First is the development of information technology. With the widespread use and availability of information technology, it has become easier for people to access information, including information related to healthcare. Through the Internet, people have become more exposed to medication information, including alternative treatments. This in turn, increases peoples self-condence in practicing selfmedication on their illness, based to the information that they gather from the Internet. The ease of obtaining pharmaceutical drugs also supports this trend, along with the increasing
apotek dan toko obat di Indonesia. Jika dilihat dari perkembangan tahun 2007 sampai 2009, perkembangan jumlah apotek dibandingkan total jumlah saluran distribusi relatif meningkat stabil, berbeda halnya dengan pedagang besar farmasi dan toko obat. Jika dibuat rata-rata, maka satu apotek akan melayani 17.800 orang (lihat Exhibit 2). Selain peningkatan jumlah apotek dan toko obat, juga terjadi perkembangan baru dalam pelayanan penjualan obat melalui apotek. Kini apotek tidak hanya mau melakukan pengiriman obat ke rumah, tapi juga buka 24 jam, hingga melayani pemesanan melalui Internet. Kemudahan semacam ini juga punya kontribusi dalam swamedikasi. Di lain pihak, sebetulnya terjadi peningkatan yang signikan terhadap jumlah rumah sakit dan dokter di Indonesia. Jumlah peningkatan rumah sakit bahkan mencapai angka 151 rumah sakit pertahun dari 2008 sampai 2009. Namun, jika dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan rumah sakit masih kalah cepat. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai jumlah 237,641,326 penduduk, satu rumah sakit tercatat harus menangani sekitar 155,000 orang. Hal tersebut sangat jauh dari kondisi yang ideal, terutama di daerah-daerah luar Jawa yang tingkat pembangunannya masih tertinggal dibandingkan dengan daerah-daerah di pulau Jawa.
number of pharmacies and drug stores in Indonesia. Looking at the numbers from 2007 to 2009, the growth of pharmacies when compared to other type of outlets is relatively stable. When we average them out, one pharmacy will serve 17.800 people (see Exhibit 2). Beside the growth in the number of pharmacies and drug stores, there is also a shift in the service given by pharmacies. Not only will a pharmacy send your medicine to your house, but they are also open 24 hours and even provide an online ordering system. This convenience also contributes to the rise of selfmedication. On the other side, there is actually a signicant rise in the number of hospitals and doctors in Indonesia. Hospital growth reached 151 hospitals per year from 2008 to 2009. However, this number quite low when compared with the growth of the Indonesian population. With 237,641,326 Indonesians, one hospital has to serve around 155,000 people. This is far from ideal, especially outside of Java where the level of development typically lags behind areas in Java. In the three year period from 2005 to 2008, the ratio of doctors to patients rose from 18 doctors per 100,000 people to 23 doctors per 100,000 people. This indicates that there is an increase of 5 doctors per 100,000 people in that 3 years period. The number of health personnel such as midwives and paramedics are also increasing (see Exhibit 3).
44%
Pharmaceutical Wholesaler
35% 36%
34 % 33 %
22%
Pharmacy
27%
Drug Store
2007
2008
2009
Source: Indonesia Health Prole 2009
Dalam periode tahun 2005-2008, rasio jumlah dokter meningkat dari 18 dokter per 100.000 penduduk menjadi 23 dokter per 100.000 penduduk. Hal ini mengindikasikan adanya penambahan 5 dokter untuk setiap 100.000 penduduk dalam jangka waktu 3 tahun. Jumlah tenaga kesehatan terdidik seperti bidan dan mantri juga mengalami peningkatan. Meski ada peningkatan jumlah rumah sakit dan dokter, tapi ternyata hal tersebut seperti tidak menghalangi minat orang untuk melakukan swamedikasi. Sebagaimana ditunjukkan dalam hasil survei MarkPlus Insight, alasan swamedikasi, peresepan sendiri, atau pembelian obat tanpa resep di masyarakat Indonesia, adalah karena penyakitnya dinilai ringan (46%), harga yang lebih murah (16%), dan obat mudah didapat (9%). Terlihat bahwa faktor biaya dan waktu menjadi alasan yang melatarbelakangi swamedikasi. Dengan kata lain, swamedikasi menjadi suatu tantangan yang mesti disikapi secara aktif oleh para pemain di healthcare industry (lihat Exhibit 4). Tantangan bagi Rumah Sakit Semakin banyak rumah sakit baru yang bermunculan, khususnya rumah sakit swasta -- termasuk rumah sakit asing, dan rumah sakit pemerintah yang memberikan layanan seperti rumah sakit swasta -- menciptakan persaingan yang semakin ketat di industri ini (lihat Exhibit 5). Selain menghadapi persaingan yang semakin ketat, rumah sakit juga harus dapat mempertahankan eksistensinya di tengah fenomena swamedikasi yang semakin meningkat. Ini sebuah hal yang harusnya bisa menjadi semacam wake up call bagi rumah sakit yang selama ini belum berorientasi pelanggan atau customer centric.
This increase in the number of hospitals and doctors, apparently does not hinder peoples interest in selfmedication. As shown by the result of MarkPlus Insights survey, the reason for self-medication, self-prescription or buying a medicine without a doctors prescription are due to the mildness of the disease (46%), lower cost (16%) and easiness to obtain (9%). Time and money are the main factors that push self-medication. In other words, self-medication has become a signicant challenge that players in healthcare industry must actively address (see Exhibit 4). Challenges for Hospital Industry With the rapid growth of new hospitals, especially private institutions -- including international, as well as government-owned hospitals that are operated as private institutions competition in the industry is becoming very tight (see Exhibit 5). Besides erce competition, hospitals also have to maintain its existence amidst the rise of self-medication. This trend should serve as a wake-up call for hospitals that are not customer-centric yet. Hospitals are often considered to oer similar service standards; therefore there are no signicant dierence between one hospital and another. According to a study by MarkPlus Insight, it is found that the consideration factor for a person to choose a hospital -- besides its location and doctor quality -- is its service standards. Therefore, a hospital has to be able to provide a unique service standard, dierent from other hospitals, to stand out and gain competitive advantage. This means that hospitals have to start creating and maintaining close relationships with its patients (customer intimacy) so
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
83 68 2005 36 18 23 43 24 35 2008
Doctor
Midwife
Paramedic
Rumah sakit seringkali identik dengan standar pelayanan yang kurang lebih sama, sehingga tidak ada perbedaan signikan antar rumah sakit. Berdasarkan salah satu studi MarkPlus Insight, ditemukan bahwa pertimbangan utama orang dalam memiliih rumah sakit -- selain lokasi yang dekat dan kualitas dokter yang dimiliki -- adalah standar pelayanan. Karena itu rumah sakit harus mulai menawarkan layanan yang berbeda dari rumah sakit lain, sehingga dapat menunjukkan dierensiasi mereka dan memberikan keunggulan kompetitif tersendiri. Dengan kata lain, rumah sakit harus dapat meningkatkan kedekatannya dengan pasien (customer intimacy), sehingga pasien akan merasa nyaman ketika berada di rumah sakit. Upaya meraih customer-intimacy ini merupakan sebuah tantangan yang tidak mudah, terutama kalau mengingat banyak rumah sakit yang masih berjuang untuk menggerakan semua bagian yang ada agar bisa memberikan layanan yang bagus. Rumah sakit yang sudah memiliki dedicated doctors dalam jumlah signikan misalnya, masih mencari bentuk penerapan standarisasi layanan dokter. Standarisasi ini mencakup ketepatan waktu berada di rumah sakit, lamanya waktu berinteraksi dengan pasien, kebijakan rekomendasi pengobatan, hingga perlu atau tidaknya penggunaan obat. Dokter inilah yang sesungguhnya punya peran penting dalam membangun customer intimacy. Peran dokter semakin kuat ketika pasien sudah mulai akrab dengan sistem asuransi kesehatan
that a patient will feel comfortable in their hospital. This is not an easy challenge, especially considering that there many hospitals are still trying to mobilize all of their division to provide good service. Even hospitals that mainly have employed as opposed to independent -- doctors, are still trying to standardize the service standards of its doctors. These standards include timeliness, duration of patient interaction, medication recommendation, etc. Yet doctors hold a crucial role in building customer intimacy. This is increasingly true as patients today are more familiar with the managed-care insurance system which requires the involvement of a family doctor who truly understands the condition of each patient. Challenges for The Pharmaceutical Industry The pharmaceutical industry is also facing challenges with the rise of this phenomenon. According to BPS-Statistics Indonesia, from 2007 to 2009, the percentage of modern pharmaceutical companies is decreasing compared to companies oering traditional medicine. This could be interpreted as a signal for the pharmaceutical industry to start considering producing traditional (i.e. herbal) medication. MarkPlus Insights survey indicates that jamu and herbal medication are two alternatives which are increasingly gaining public trust for selfmedication (see Exhibit 6).
managed care yang membutuhkan keberadaan dokter keluarga atau dokter yang benar-benar mengerti keadaan pasien. Tantangan bagi Industri Farmasi Perkembangan yang menarik bukan hanya terjadi di sektor industri rumah sakit, tapi juga sektor industri farmasi. Berdasarkan data BPS dari 2007-2009, tercatat bahwa persentase jumlah industri farmasi modern dibandingkan industri obat tradisional semakin berkurang. Hal ini bisa jadi salah satu sinyal untuk industri farmasi agar mulai mempertimbangkan memproduksi lebih banyak obat tradisional seperti obat herbal, jamu, dan lain-lain. Survei yang dilakukan MarkPlus Insight mengindikasikan bahwa jamu dan obat herbal adalah dua alternatif yang semakin mendapat kepercayaan publik untuk swamedikasi setelah obat bebas (lihat Exhibit 6). Selain itu, pengembangan jenis obat-obatan baru juga penting karena jika hanya mengandalkan produksi obat non-paten, maka kompetisi yang dihadapi pun sangat banyak. Sebabnya, semua kompetitor dapat memproduksi obat dengan kandungan yang sama dan efek yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada merek yang digunakan. Dalam hal ini, perusahaan-perusahaan farmasi, terutama yang kecil, pada umumnya menghadapi kesulitan dalam mengembangkan obat paten karena beberapa
The development of new drugs is also increasingly important. If pharmaceutical companies only rely on non-patented drugs, the competition is limitless. Any competitor can produce the same medicine with the same active-ingredients and more-or-less similar results. The only dierence is its brand. In this case, pharmaceutical companies, especially smaller ones, seem to be having diculties in producing patented medications, mainly due to limited nancial and human resources. On another front, the growth of hospitals and clinics, seem to bring positive hope toward the pharmaceutical industry, particularly ethical drugs. Challenges for Pharmacies and Drug Stores As the numbers of pharmacies and drug stores continue to increase, they are also increasingly competing with modern outlets such as minimarkets and supermarkets that provide over the counter medicines, which are typically used for self-medication. A survey by MarkPlus Insight reveals that supermarkets/minimarkets are also becoming alternative destinations where respondents go to buy over the counter medicine, right after pharmacies and drug stores. The increasing number of minimarkets create new challenges for pharmacies and drug stores. While it may be dicult for some people to nd a pharmacy or drug store, it
535
535
0
2005 Goverment hospital 2006 2007 Private hospital 2008 2009 Number of percentage
batasan, terutama dalam hal nansial dan sumber daya. Di lain pihak, bertambahnya jumlah rumah sakit dan klinik membawa harapan positif terhadap industri farmasi, terutama dalam penjualan obat ethical. Tantangan bagi Apotek Seiring dengan terus bertambahnya jumlah apotek, secara tidak langsung apotek juga mendapatkan persaingan dari toko-toko modern seperti minimarket dan supermarket, terutama yang juga menyediakan berbagai obat OTC yang biasa digunakan untuk swamedikasi. Survei yang dilakukan MarkPlus Insight mencatat bahwa supermarket atau minimarket juga menjadi tempat yang dituju untuk pembelian obat setelah apotek dan toko obat. Jumlah minimarket yang semakin banyak menciptakan tantangan baru untuk apotek. Beberapa orang merasakan kesulitan menemukan lokasi apotek di tempat-tempat tertentu namun tidak sulit untuk menemukan minimarket. Berdasarkan peraturan pemerintah tentang pendirian apotek (Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/ MENKES/SK/X/2002), salah satu kriteria wajib dalam pendirian apotek adalah keberadaan apoteker pengelola apotek. Selain sebagai persyaratan wajib, keberadaan apoteker menjadi salah satu keunggulan apotek dari berbagai saluran distribusi obat lain yang biasa diakses konsumen untuk swamedikasi. Apoteker memiliki peranan yang sangat penting bagi swamedikasi karena langsung berinteraksi dengan konsumen dalam hal pemilihan obat. Posisi apoteker ini menjadi sangat strategis dalam mewujudkan
is relatively easier for anybody to nd a minimarket near them. According to government ruling regarding building a pharmacy (Indonesian Minister of Health Rule Number 1332/MENKES/SK/X/2002), one of the main criteria in building a pharmacy is the availability of a pharmacist as its administrator. Aside from the government regulation, a pharmacist presence could also be the strength of a pharmacy compared to other drug outlets. A pharmacist is easily accessible by society for their self-medication consultation. A pharmacist plays an important role in selfmedication because they interact directly with the consumer when choosing a drug. The pharmacists position becomes strategic in building a responsible self-medication culture. Unfortunately, in reality, a pharmacy does not always have a pharmacist on duty when a consumer needs them. If a pharmacy has already gained an advantage compared to other drug distribution outlets, all pharmacies also need to gain an advantage when compared to each other. Nowadays, a pharmacy does not only have to sell a product, they also have to serve. More than just oering friendly service, but also providing operational excellence, especially with regards to speed and medicine availability. The existence of a pharmacy network could be one operational advantage to meet the consumers need in an ecient medication provision. With an integrated information system, each pharmacy in the network can support each other to fulll the comprehensive need of its consumers. On the
pengobatan swamedikasi yang bertanggung jawab. Namun pada kenyataannya seringkali sebuah apotek tidak memiliki apoteker yang selalu siap siaga ketika konsumen membutuhkan. Jika apotek sudah memiliki keunggulan dibandingkan jenis outlet obat lainnya, maka setiap apotek juga perlu memiliki keunggulan dibandingkan apotek lainnya. Dewasa ini bisnis apotek tidak hanya dituntut untuk mengedepankan sisi produk saja melainkan juga harus mengedepankan pelayanan. Pelayanan dalam hal ini tidak hanya menyangkut bentuk pelayanan yang ramah saja tetapi juga diperlukan suatu sistem operasi yang excellent khususnya dalam kecepatan pelayanan dan ketersediaan obat. Keberadaan apotek-apotek berjaringan merupakan salah satu keunggulan dalam segi operasional untuk menjawab kebutuhan konsumen terkait dengan ketersediaan obat secara esien. Dengan sistem informasi terpadu, masing-masing apotek dalam jaringan dapat saling mendukung untuk memberikan solusi ketersediaan obat yang lengkap bagi konsumen. Selain itu apotek jaringan ini juga mampu memberikan berbagai layanan tambahan, seperti antar jemput resep, dan layanan buka 24 jam. Tantangan bagi Pasien Hal penting lain yang perlu diperhatikan oleh masyarakat Indonesia adalah mengenai catatan kesehatan pasien. Sekarang ini catatan kesehatan pasien masih dipegang oleh masing-masing rumah sakit, sehingga pasien tidak memiliki catatan kesehatan jika akan melakukan pengobatan lanjutan, khususnya ke rumah sakit yang berbeda. Berbeda halnya dengan di beberapa negara lain seperti di Inggris dengan sistem NHS (National Health Service), catatan kesehatan dapat diakses di manapun dan kapanpun sehingga ketika seorang pasien membutuhkan pertolongan medis, pihak penolong dapat mengetahui riwayat kesehatan si pasien, seperti alergi yang diderita, atau sejarah penyakit terdahulu. Hal ini merupakan tantangan dan juga kesempatan bagi pemerintah dan para penyedia jasa kesehatan di masa yang akan datang untuk dapat bersinergi dalam membagi catatan kesehatan masyarakat. Selain berguna untuk masyarakatnya sendiri, hal ini juga turut akan memberikan efek positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia secara tidak langsung.
other hand, a pharmacy network can also provide additional service, such as prescription pick-up and delivery, 24 hours service, etc. The Challenges for Patients Finally, there is another crucial factor that Indonesians need to pay more attention to, the patients medical record. At this moment, a patients medical record is created and stored by each hospital, therefore a patient will not have it readily available when they are trying to obtain service from another hospital or healthcare institution. In contrast, several modern countries such as the United Kingdom, with its NHS (National Health Service), this record is accessible anywhere and anytime. So when a patient is in need of a medical help, the caregiver can easily obtain the patients medical history, such as allergies, prior illness, etc. This is a challenge and also an opportunity for government and medical institutions in the future to collaborate in developing a shared medical record system. This will not only be useful for the society as a whole, this will also indirectly provide a positive eect for the growth of Indonesian economy.
For Inquiries, Please Contact: Iwan Setiawan (iwan.setiawan@markplusinc.com) PT MarkPlus Indonesia Segitiga Emas Business Park CBD B 01/01 Jl. Prof. Dr. Satrio Kav.6 Jakarta Selatan 12940 Indonesia Phone : +62-21-5790 2338 (Hunting) Fax : +62-21-5790 712 Hasanuddin (hasanuddin@markplusinc.com) PT MarkPlus Indonesia Segitiga Emas Business Park CBD B 01/01 Jl. Prof. Dr. Satrio Kav.6 Jakarta Selatan 12940 Indonesia Phone : +62-21-5790 2338 (Hunting) Fax : +62-21-5790 712
Copyright MarkPlus, Inc. All rights reserved General Disclaimer: This paper has been prepared for general guidance on matters of interest only, and does not constitute professional advice. You should not act upon the information contained in this paper without obtaining specic professional advice. No representation or warranty (expressed or implied) is given as to the accuracy or completeness of the information contained in this paper, and to the extent permitted by law, MarkPlus, Inc. its members, employees and agents accept to liability, and disclaim all responsibility, for the consequences of you or anyone else acting, or refraining to act, in reliance on the information contained in this paper or for any decision based on it.