Sie sind auf Seite 1von 49

KASUS V

Benign Prostat Hiperplasia





Blok GUS

Tutorial : dr. Ferdiana
Tutorial B1

Oktari Dwi Yanti 111 0211 025
Meilani Sepwita 111 0211 069
Zola Gita 111 0211 182
Eka Henny Suryani 111 0211 0
Rizky Amelia 111 0211 040
Novia Dwi Tirtasari 111 0211 133
Alvito Wira Tiza 111 0211 176
Syifa Puspa Pertiwi 111 0211 149
Oktaviano 101 0211 171
Meitika Sinaga 111 0211 105

Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta
Tahun Ajaran 2013/2014
Kasus 5
Tn, H 70 tahun dating dengan keluhan kurang lebih sudah dua bulan mengalami BAK tidak
lancar, mesti sedikit mengedan jika mau BAK padahal rasanya sudah ingin sekali BAK, urin
keluar juga tidak lancar, menetes setelah BAK, nyeri saat BAK sering dirasakan, namun setelah
BAK rasanya masih ada sisa urin di kandung kemih, dan selang 30 menit kemudian rasa kembali
ingin BAK lagi dan seperti tidak bias menahan keinginan untuk kencing, pancaran urinpun
melemah.
Pada saat malam hari pasien sering terbangun untuk BAK, beberapa kali tidak mampu menahan
kencing sehingga keluar sebelum sampai ke toilet. Keluhan ini dirasakan makin berat sejak 1
bulan yang lalu. Sejak satu minggu yang lalu sering anyang-anyangan dan urin berwarna agak
keruh. Demam, mual, muntah dan riwayat keluar darah atau pasir saat BAK disangkal.
Riwayat penyakit diabetes dan hipertensi disangkal.
Saudara kandung meninggal karena kanker prostat.















Pada periksaan fisik :
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 140/100 mmHg
N : 80x/menit
Suhu : 37
0
C
RR : 20x/menit
Pemeriksaan Fisik Umum : dalam batas normal

Status Urologi
Pada region suprapubic teraba kandung kemih penuh 3 jari atas simfisis pubis, NT (+)

Costo Vertebra Angel
Inspeksi : warna sama dengan daerah sekitar, edema (-)
Palpasi : Tidak teraba massa pada CVA kanan dan kiri, nyeri tekan (-) CVA kanan dan kiri
Perkusi : nyeri ketok (-) pada CVA kanan
Dilakukan kateterisasi urin keluar warna jernih volume 600 cc.

Pada Pemeriksaan Rectal Toucher (Setelah Kateterisasi)
Tonus Sfingter Ani (TSA) baik, ampula tidak kolaps, mukosa licin, massa (-), Prostat teraba
kenyal, simetris, nodul (-), nyeri tekan (-), batas atas tidak teraba. Taksiran berat prostat
>60gram.




Pemeriksaan Laboratorium
Hb : 12 gr/dL
Ht : 38%
WBC : 8.000/mm
3

Ureum : 23gr/dL
Kreatinin : 0,9 gr/dL
Glukosa Sewaktu : 98gr/dL
PSA : 1,2 ng/dL

Urinalisa
Warna jernih, Sedimen Leukosit : 15-20/LP; Eritrosit : 0-2/LP; Protein (-); Epitel : 1-3; Nitrit (+)

Pemeriksaan USG Kandung Kemih, Prostat, dan Ginjal
Tampak prostat normoechoic, ukuran 4,48 x 3,81 x 4,65 cm dengan volume 41,58 cm
3
, protusi
intra vesica 2 cm.
Vesika urinaria : dinding tebal, tampak balon kateter, batu (-), tumor (-)
Kesan : BPH








Anatomi Genitalia Masculina

Organa genitalia masculina terbagi menjadi 2, yaitu:
Organa genitalia eksterna, yaitu penis, glandula bulbo-urethrales cowperi, urethra, dan
scrotum.
Organa genitalia interna, yaitu testis, epididymis, ductus deferens, glandula vesiculosa,
ductus ejaculatorius, dan glandula prostatica.



1. Penis
Merupakan alat kopulasi laki-laki yang mempunyai kemampuan erektil. Pembungkus
penis terdiri dari:
Kulit
Fascia penis superficialis
Fascia penis profunda
Tunica albuginea
Sedangkan bagian-bagian penis terdiri dari:
Radix penis, yang terdiri dari crura penis dan bulbus penis.
Corpus penis, yang terdiri dari satu pasang corpus cavernosa dan satu corpus
spongiosum.
Glans penis, yang terdiri dari collum, corona, preputium, frenulum, dan glandula
preputii Tyson.



2. Glandula bulbo-urethrales Cowperi
Merupakan dua buah kelenjar kecil, bulat, dan terletak dorsolateral terhadap urethra
pars membranacea. Glandula ini bermuara ke urethra pars spongiosa. Fungsinya
menghasilkan sekret sebagai akibat stimulasi erotik.



3. Urethra
Merupakan saluran fibromuscular yang menyalurkan urine dari vesica urinaria ke
dunia luar dan menyalurkan liquor seminalis. Panjangnya sekitar 17,5-20 cm, yakni dari
OUI hingga ke OUE.



Urethra terdiri dari tiga bagian, yaitu:
Urethra pars prostatica
Pada dinding posterior urethra pars prostatica terdapat crista urethralis. Sedangkan
di sisi crista terdapat sinus prostaticus, tempat glandula prostatica bermuara.



Urethra pars membranacea
Urethra pars spongiosa

4. Scrotum
Merupakan suatu kantong berkulit tipis, biasanya ditumbuhi rambut jarang, dan
terletak di dorsal penis serta di luar cavum abdominalis. Scrotum ini berisi testis,
epididymis, dan ujung bawah funiculus spermaticus. Dindingnya terdiri dari:
Kulit
Fasciculus superficialis (m. dartos)
Fascia spermatica externa
Fascia cremasterica
Fascia spermatica interna
Tunica vaginalis



5. Testis
Merupakan dua buah alat parenkimatosa yang terletak di dalam scrotum. Biasanya
testis sinistra letaknya lebih rendah daripada testis dekstra. Testis berfungsi dalam
spermatogenesis. Pembungkusnya terdiri dari:
Kulit
Tunica dartos
Fascia spermatica externa
Lamina cremasterica (fascia cremasterica dan m. cremasterica)
Fascia spermatica interna
Tunica vaginalis testis
Testis digantung oleh funiculus spermaticus, dan masing-masing testis diselubungi
tunica albuginea. Organ ini dibentuk oleh 250-400 lobuli testis, yang dipisahkan oleh septum
testis.



6. Epididymis
Organ ini berbentuk seperti huruf C, dan melekat ke tepi lateral margo posterior testis.
Fungsinya sebagai tempat pematangan spermatozoa. Bagian-bagian dari epididymis adalah:
Caput epididymidis
Corpus epididymidis
Cauda epididymidis



7. Ductus deferens
Nama lainnya adalah vas deferens atau ductus seminalis. Saluran ini merupakan
lanjutan dari canalis epididymis mulai dari cauda epidydimis dan berakhir pada ductus
ejaculatorius, yang dibentuknya bersama dengan ductus glandula vesiculosa. Fungsi dari
ductus deferens adalah menyalurkan sperma matang dari epididymis ke ductus ejaculatorius
dan urethra.

8. Glandula vesiculosa
Nama lainnya adalah vesicula seminalis. Saluran ini bersama dengan ductus deferens
membentuk ductus ejaculatorius. Fungsinya adalah menghasilkan sekret yang ditambahkan
pada cairan semen, yakni sebagai makanan spermatozoa.

9. Ductus ejaculatorius
Saluran ini dibentuk oleh vas deferens dan ductus glandula vesiculosa, dan bermuara
di urethra pars prostatica. Ductus ini berfungsi mengalirkan cairan semen ke urethra.



10. Glandula prostatica
Glandula prostatica berbentuk seperti piramid terbalik, dengan basis menghadap
kranial, dan apex menghadap caudal. Diameter transversanya 4 cm, diameter
anteroposteriornya 2,5 cm, dan beratnya 20 gr. Bagian-bagiannya terdiri dari:
Basis prostat
Apex prostat
Facies posterior (facies rectalis)
Facies anterior (facies pubicus)
Facies lateralis
Pembungkusnya terdiri dari fascia prostatica dan capsula prostatica. Glandula ini
memiliki 5 lobi, yakni:
Lobus anterior
Lobus laterales sinistra
Lobus laterales dextra
Lobus mediana sering terjadi BPH.
Lobus posterior sering terjadi Ca prostat.




Faal Prostat

Prostat berfungsi menghasilkan cairan tipis yang ditambahkan ke semen dan bersifat
alkalis, sehingga membantu menetralkan suasana asam di vagina. Cairan prostat dialirkan
melalui ductus secretorius dan bermuara di urethra posterior. Volume cairan prostat merupakan
25% seluruh volume ejakulat.
Rangsangan parasimpatis akan menyebabkan peningkatan sekresi kelenjar epitel prostat.
Sedangkan, rangsangan simpatis akan menyebabkan pengeluaran cairan prostat ke urethra
posterior.






Histologi Ginjal
Ginjal dibagi menjadi korteks dan medula
Setiap ginjal terdiri atas 1 4 jt nefron
Terdiri atas :
Korpu malpighi/ Korpuskel renalis
Tubulus konturtus proksimal
Ansa(lengkung) henle
Tubulus konturtus distal
Tubulus dan duktus koligentes

Korpuskel renalis
Setiap KR berdiameter 200 m dan terdiri dari seberkas kapiler, yaitu glomerulus yang
dikelilingi kapsul epitel berdinding ganda yang disebut kapsula bowman.
Mempunyai kutub vaskular dan kutub urinarius

Kapsula bowman
Lapisan luar(parietal) terdiri atas epitel selapis gepeng dan selapis tipis serat retikulin
Lapisan viseral sangat termodifikasi : Podosit
Podosit memiliki badan sel yang menjulurkan beberapa cabang (prosesus primer).
Tiap prosesus primer menjulurkan banyak cabang (prosesus sekunder)
Tiap cabang memeluk kapiler glomerulus
Tiap prosesus sekunder podosit berselang-seling membentuk celah yaitu celah filtrasi

Glomerulus
Terdiri dari sel sel endotel,podosit yg mengelilinginya dan mempunyai sel mesangial.
Sebagai tempat filtrasi


Tubulus Kontortus Proksimal
Dilapisi oleh epitel kuboid atau silindris rendah.
Sel sel epitelnya pnya bnyak mikrovili dan membentuk brush border untuk menyerap
makro molekul

Ansa (lengkung) Henle
Struktur berbentuk U yang terdiri atas segmen tipis dan tebal.
Segmen tebal memiliki struktur yg sangat mirip dengan TKD.
Segmen tebal berdiameter 60m.
Segmen tipis berdiameter <12m.
Lumen di segmen nefron ini lebar karna dindingnya terdiri atas sel epitel gepeng.


Tubulus Kontortus Distal
Tidak memiliki brush border & kanalikuli.
Ukuran sel << dr pd tubulus proksimal
Mengalami modifikasi di daerah jukstaglomerular. Sel-sel menjadi lebih silindris dan
intinya berhimpitan.
Dinding segmen tubulus distal yang termodifikasi terlihat lebih hitam karena rapatnya
inti, disebut makula densa.











Duktus Koligentes
Kumpulan Tubulus Kolingentes.
Melebar saat mendekati puncak piramid.
Tubulus kolingentes yang lebih kecil dilapisi epitel kuboid (diameter < 40 m).
Saat tubulus masuk ke medula yang lebih dalam,sel sel nya meninggi sehinnga
berbentuk silindris


Aparat jukstaglomerulus:
Sel jugtaglomerulus sel sel otot polos yang termodifikasi
Sel lacis/ sel mesangial ekstaglomerulus sel sel pucat fungsi fagositosit
Makula densa : modifikasi dari TKD















Fisiologi Perkemihan

1. Sifat sifat air kemih

- Jumlah eksresi dalam 24 jam 1.500 cc tergantung dari masuknya (intake) cairan serta faktor
lainnya.

- Warna bening muda dan bila dibiarkan akan menjadi keruh.

- Warna kuning terantung dari kepekatan, diet obat obatan dan sebagainya.

- Bau khas air kemih bila dibiarkan terlalu lama maka akan berbau amoniak.

- Baerat jenis 1.015 1.020.

- Reaksi asam bila terlalu lama akan menjadi alkalis, tergantung pada diet (sayur menyebabkan
reaksi alkalis dan protein memberi reaksi asam).


2. Komposisi air kemih

- Air kemih terdiri dari kira kira 95 % air

- Zat zat sisa nitrogen dari hasil metabolisme protein asam urea, amoniak dan kreatinin

- Elektrolit, natrium, kalsium, NH3, bikarbonat, fosfat dan sulfat

- Pigmen (bilirubin, urobilin)

- Toksin

- Hormon


3. Mekanisme Pembentukan Urine

Dari sekitar 1200ml darah yang melalui glomerolus setiap menit terbentuk 120 125ml filtrat
(cairan yang telah melewati celah filtrasi). Setiap harinyadapat terbentuk 150 180L filtart.
Namun dari jumlah ini hanya sekitar 1% (1,5 L) yang akhirnya keluar sebagai kemih, dan
sebagian diserap kembali.


4. Tahap tahap Pembentukan Urine

a. Proses filtrasi

Terjadi di glomerolus, proses ini terjadi karena permukaan aferent lebih besar dari permukaan
aferent maka terjadi penyerapan darah, sedangkan sebagian yang tersaring adalah bagian cairan
darah kecuali protein, cairan yang tersaring ditampung oleh simpai bowman yang terdiri dari
glukosa, air, sodium, klorida, sulfat, bikarbonat dll, diteruskan ke seluruh ginja.


b. Proses reabsorpsi

Terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa, sodium, klorida, fosfat dan beberapa
ion karbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal dengan obligator reabsorpsi terjadi
pada tubulus atas. Sedangkan pada tubulus ginjal bagian bawah terjadi kembali penyerapan dan
sodium dan ion karbonat, bila diperlukan akan diserap kembali kedalam tubulus bagian bawah,
penyerapannya terjadi secara aktif dikienal dengan reabsorpsi fakultatif dan sisanya dialirkan
pada pupila renalis.




c. Augmentasi (Pengumpulan)

Proses ini terjadi dari sebagian tubulus kontortus distal sampai tubulus pengumpul. Pada tubulus
pengumpul masih terjadi penyerapan ion Na+, Cl-, dan urea sehingga terbentuklah urine
sesungguhnya.

Dari tubulus pengumpul, urine yang dibawa ke pelvis renalis lalu di bawa ke ureter. Dari ureter,
urine dialirkan menuju vesika urinaria (kandung kemih) yang merupakan tempat penyimpanan
urine sementara. Ketika kandung kemih sudah penuh, urine dikeluarkan dari tubuh melalui
uretra.


4. Mikturisi

Peristiwa penggabungan urine yang mengalir melui ureter ke dalam kandung kemih., keinginan
untuk buang air kecil disebabkan penanbahan tekanan di dalam kandung kemih dimana
saebelumnmya telah ada 170 23 ml urine.

Miktruisi merupakan gerak reflek yang dapat dikendalikan dan dapat ditahan oleh pusat pusat
persyarafan yang lebih tinggi dari manusia, gerakannya oleh kontraksi otot abdominal yang
menekan kandung kemih membantu mengosongkannya.



5. Ciri ciri Urine Normal

Rata rata dalam satu hari 1 2 liter, tapi berbeda beda sesuai dengan jumlah cairan yang
masuk. Warnanya bening oranye pucat tanpa endapan, baunya tajam, reaksinya sedikit asam
terhadap lakmus dengan pH rata rata 6.

















BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA

A. PERUBAHAN PADA SISTEM PERKEMIHAN
Seiring bertambahnya usia, akan terdapat perubahan pada ginjal, bladder, uretra, dan
sisten nervus yang berdampak pada proses fisiologi terkait eliminasi urine. Hal ini dapat
mengganggu kemampuan dalam mengontrol berkemih, sehingga dapat mengakibatkan
inkontinensia, dan akan memiliki konsekuensi yang lebih jauh.
1. Perubahan pada Sistem Renal
Pada usia dewasa lanjut, jumlah nefron telah berkurang menjadi 1 juta nefron dan
memiliki banyak ketidaknormalan. Penurunan nefron terjadi sebesar 5-7% setiap dekade,
mulai usia 25 tahun. Bersihan kreatinin berkurang 0,75 ml/m/tahun. Nefron bertugas
sebagai penyaring darah, perubahan aliran vaskuler akan mempengaruhi kerja nefron dan
akhirnya mempengaruhi fungsi pengaturan, ekskresi, dan matabolik sistem renal. Berikut
ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem renal akibat proses menua:
a. Membrana basalis glomerulus mengalami penebalan, sklerosis pada area fokal, dan
total permukaan glomerulus mengalami penurunan, panjang dan volume tubulus
proksimal berkurang, penurunan aliran darah renal. Implikasi dari hal ini adalah
filtrasi menjadi kurang efisien, sehingga secara fisiologis glomerulus yang mampu
menyaring 20% darah dengan kecepatan 125 mL/menit (pada lansia menurun hingga
97 mL/menit atau kurang) dan menyaring protein dan eritrosit menjadi terganggu,
nokturia.
b. Penurunan massa otot yang tidak berlemak, peningkatan total lemak tubuh,
penurunan cairan intra sel, penurunan sensasi haus, penurunan kemampuan untuk
memekatkan urine. Implikasi dari hal ini adalah penurunan total cairan tubuh dan
risiko dehidrasi.
c. Penurunan hormon yang penting untuk absorbsi kalsium dari saluran gastrointestinal.
Implikasi dari hal ini adalah peningkatan risiko osteoporosis.

2. Perubahan pada Sistem Urinaria
Perubahan yang terjadi pada sistem urinaria akibat proses menua, yaitu :
a. penurunan kapasitas kandung kemih (N: 350-400 mL)
b. peningkatan volume residu (N: 50 mL)
c. peningkatan kontraksi kandung kemih yang tidak di sadari
d. atopi pada otot kandung kemih secara umum. Implikasi dari hal ini adalah
peningkatan risiko inkotinensia.

3. Perubahan pada aliran darah ginjal
Terdapat beberapa perubahan pada pembuluh darah ginjal pada lansia. Pada
korteks ginjal, arteri aferen dan eferen cenderung untuk atrofi yang berarti terjadi
pengurangan jumlah darah yang terdapat di glomerulus. Atrofi arteri aferen dan eferen
pada jukstaglomerulus terjadi tidak simetris sehingga timbul fistel. Jadi ketika aliran
darah di korteks berkurang, aliran di jukstaglomerular akan meningkat. Ini berpengaruh
pada konsentrasi urin yang berkurang pada usia lanjut akibat gangguan pengaturan sistem
keseimbangan.

a. Perubahan aliran darah ginjal pada lanjut usia
Ginjal menerima sekitar 20% dari aliran darah jantung atau sekitar 1 liter per
menit darah dari 40% hematokrit, plasma ginjal mengalir sekitar 600 ml/menit.
Normalnya 20% dari plasma disaring di glomerulus dengan GFR 120 ml/menit atau
sekitar 170 liter per hari. Penyaringan terjadi di tubular ginjal dengan lebih dari 99%
yang terserap kembali meninggalkan pengeluaran urin terakhir 1-1,5 liter per hari.
Dari beberapa penelitian pada lansia yang telah dilakukan, memperlihatkan
bahwa setelah usia 20 tahun terjadi penurunan aliran darah ginjal kira-kira 10% per
dekade, sehingga aliran darah ginjal pada usia 80 tahun hanya menjadi sekitar 300
ml/menit. Pengurangan dari aliran darah ginjal terutama berasal dari korteks.
Pengurangan aliran darah ginjal mungkin sebagai hasil dari kombinasi pengurangan
curah jantung dan perubahan dari hilus besar, arcus aorta dan arteri interlobaris yang
berhubungan dengan usia.

b. Perubahan fungsi ginjal pada lanjut usia
Pada lansia banyak fungsi hemostasis dari ginjal yang berkurang, sehingga
merupakan predisposisi untuk terjadinya gagal ginjal. Ginjal yang sudah tua tetap
memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh dan fungsi
hemostasis, kecuali bila timbul beberapa penyakit yang dapat merusak ginjal.
Penurunan fungsi ginjal mulai terjadi pada saat seseorang mulai memasuki
usia 30 tahun dan 60 tahun, fungsi ginjal menurun sampai 50% yang diakibatkan
karena berkurangnya jumlah nefron dan tidak adanya kemampuan untuk regenerasi.
Beberapa hal yang berkaitan dengan faal ginjal pada lanjut usia antara lain : (Cox, Jr
dkk, 1985)
1) Fungsi konsentrasi dan pengenceran menurun.
2) Keseimbangan elektrolit dan asam basa lebih mudah terganggu bila dibandingkan
dengan usia muda.
3) Ureum darah normal karena masukan protein terbatas dan produksi ureum yang
menurun. Kreatinin darah normal karena produksi yang menurun serta massa otot
yang berkurang. Maka yang paling tepat untuk menilai faal ginjal pada lanjut usia
adalah dengan memeriksa Creatinine Clearance.
4) Renal Plasma Flow (RPF) dan Glomerular Filtration Rate (GFR) menurun sejak
usia 30 tahun.

c. Perubahan laju filtrasi glomerulus pada lanjut usia
Salah satu indeks fungsi ginjal yang paling penting adalah laju filtrasi
glomerulus (GFR). Pada usia lanjut terjadi penurunan GFR. Hal ini dapat disebabkan
karena total aliran darah ginjal dan pengurangan dari ukuran dan jumlah glomerulus.
Pada beberapa penelitian yang menggunakan bermacam-macam metode,
menunjukkan bahwa GFR tetap stabil setelah usia remaja hingga usia 30-35 tahun,
kemudian menurun hingga 8-10 ml/menit/1,73 m2/dekade.
Penurunan bersihan kreatinin dengan usia tidak berhubungan dengan
peningkatan konsentrasi kreatinin serum. Produksi kreatinin sehari-hari (dari
pengeluaran kreatinin di urin) menurun sejalan dengan penurunan bersihan kreatinin.

d. Perubahan pengaturan keseimbangan air pada lanjut usia
Perubahan fungsi ginjal berhubungan dengan usia, dimana pada peningkatan
usia maka pengaturan metabolisme air menjadi terganggu yang sering terjadi pada
lanjut usia. Jumlah total air dalam tubuh menurun sejalan dengan peningkatan usia.
Penurunan ini lebih berarti pada perempuan daripada laki-laki, prinsipnya adalah
penurunan indeks massa tubuh karena terjadi peningkatan jumlah lemak dalam tubuh.
Pada lanjut usia, untuk mensekresi sejumlah urin atau kehilangan air dapat
meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler dan menyebabkan penurunan volume
yang mengakibatkan timbulnya rasa haus subjektif. Pusat-pusat yang mengatur
perasaan haus timbul terletak pada daerah yang menghasilkan ADH di hypothalamus.
Pada lanjut usia, respon ginjal pada vasopressin berkurang biladibandingkan
dengan usia muda yang menyebabkan konsentrasi urin juga berkurang, Kemampuan
ginjal pada kelompok lanjut usia untuk mencairkan dan mengeluarkan kelebihan air
tidak dievaluasi secara intensif. Orang dewasa sehat mengeluarkan 80% atau lebih
dari air yang diminum (20 ml/kgBB) dalam 5 jam.

B. DEFINISI BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA
1. Hyperplasia prostat jinak adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk
dalam prostat , pertumbuhantersebut dimulai dari bagian periuretral sebaga proliferasi
yang terbatas dan tumbuh menekan kelanjar normal yang tersisa ( Price & Wilson 2005).
Benigna prostat hipertropi adalah tumor jinak dan kelenjar prostat bagian paling dalam
(medial prostat) membesar oleh karena pembesaran ke arah tepi-tepi menimbulkan
penyempitan uretra. Pembesaran tersebut dapat menyebabkan dorongan sampai ke arah
basis vesika urinaria, sehingga mengakibatkan kesulitan miksi.
2. Benigna Prostat hyperplasia adalh kondisi patologis yang paling umum, yang banyak
terjadi pada pria diatas 50 tahun (Bruner dan Suddarth, 2001)
3. BPH (Benigna Prostat hyperplasia) adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami
pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002)
4. Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada
pria > 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra dan pembiasan
aliran urinarius. (Doenges, 1999)
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas
kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra.


C. ETIOLOGI
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab
prostat hiperplasia, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan.
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah :
a. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia
lanjut;
b. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan stroma
kelenjar prostat;
c. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati;
d. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.

Penyebab BPH belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga akibat pengaruh hormone,
yaitu terjadi perubahan keseimbangan antara hormone estrogen dan testoteron. Sebagian
besar dihasilkan oleh kedua testis, kira-kira 90 % dan sisanya diproduksi oleh kelenjar
adrenal, dengan bertambahnya usia akan terjadi penurunan keseimbangan testoteron dan
estrogen, hal ini disebabkan oleh berkurangnya produksi testoteron dan konvensi testoteron
menjadi estrogen pada jaringan perifer, estrogen inilah yang emudian menyebabkan
hyperplasia.
Pada umumnya dikemukakan beberapa teori :
1. Teori Hormonal.
Teori ini dibuktikan bahwa, sebelum pubertas dilakukan kastraksi, maka tidak terjadi
BPH. Selain androgen (testoteron), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH.
Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal yaitu antar
hormone testoteron dan androgen.
2. Teori Reawekering (Neal, 1978)
Menyebutkan bahwa jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat
embriologi sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan
sekitarnya.
3. Teori Growth Faktor (Faktor Pertumbuhan)
Peranan dari growth faktor ini sebagai pemacu pertumbuhan strauma kelenjar prostat.
4. Teori peningkatan lama hidup sel-sel prostat arena berkurangnya sel-sel yang mati.
5. Teori sel STEM
Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel srem. Prostat, dalam hal ini kelenjar
periuretral pada orang dewasa, berada dalam keadaan seimbang antara pertumbuhan sel
dan sel yang mati. Oleh karena suatu sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan
hormon atau faktor pencetus lain. Maka sel stem dapat berproliferasi dengan cepat,
sehingga terjadi hiperplasi kelenjar periuretral.
6. Dehidro Testoteron
Testoteron yang dihasilkan oleh sel Lyding Pada testis (90 %) dan sebagian kelenjar
adrenal (10 %), masuk kedalam peredaran darah dan 98 % akan terikat oleh globulin
menjadi seks hormone dinding globulin.

D. PATOFISIOLOGI
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior
buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat
normal pada orang dewasa 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya
Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer,
zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2000).
Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan
keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi
tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan
bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam
sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan
bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-
RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi
pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada
traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan
pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat,
tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar,
detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh
sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi
resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan
mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih
tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat
seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar
diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakulasedangkan yang besar
disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding
kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi.Gejala
obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga
kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir
miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena
pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung
kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai
hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit
ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi
menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan
obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox(overflow incontinence). Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak
dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan
tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan
hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

PATHWAY (TERLAMPIR)


E. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi
dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan
kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau
mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-
putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan
inkontinen karena overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran
prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum
penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala antara
lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan
ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Arif Mansjoer,
2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
1. Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.
2. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak
sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria
dan menjadi nocturia.
3. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara
periodik (over flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa :
Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin
berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan
saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah berkemih),
retensi urine akut.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa
rektum, kelainan lain seperti benjolan dalam rektum dan prostat. Pada perabaan melalui
colok dubur dapat diperhatikan konsistensi prostat, adakah asimetri, adakah nodul pada
prostat, apakah batas atas dapat diraba. Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan
menentukan jumlah sisa urine setelah miksi spontan. Sisa miksi ditentukan engan
mengukur urine yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urine dapat pula
diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi.
a. Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
- Grade 0 : Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam rectum.
- Grade 1 : Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam rectum.
- Grade 2 : Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam rectum.
- Grade 3 : Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam rectum.
- Grade 4 : Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam rectum
b. Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing
dahulu kemudian dipasang kateter.
- Normal : Tidak ada sisa
- Grade I : sisa 0-50 cc
- Grade II : sisa 50-150 cc
- Grade III : sisa > 150 cc
- Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.

2. Laboratorium
a. Pemeriksaan urine untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflmasi
saluran emih. Pemeriksaan kultur urine ini berguna untuk mengetahui kuman
penyebab infeksi dan sensifitas kuman.
- Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran
kemih.
- Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.

b. Pemeriksaan ginjal untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit yang mengenai
saluran kemih bagian atas.
c. Pemeriksaan darah untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya penyakit diabetes
mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persyarafan pada buli-buli.

3. Pencitraan
a. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang
menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari
retensi urin.
b. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
c. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin
dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
d. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan
melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

G. PENATALAKSANAAN
Rencana pengobatan tergantung penyebab keparahan obstrusi dan kondisi klien, jika
klien masuk RS dalam keadaan darurat karena tidak dapat beremih, maka kateterisasi segera
dilakukan. Tidak semua klien yang menderita penyakit ini perlu menjalani tindakan medik.
Bila keadaan lebih parah, dilakukan tindakan medis dan terapi medikamentosa. Tujuan terapi
pada klien ini adalah untuk menghilangkan obstruksi pada leher buli-buli.
Penatalaksanaan kolaboratif adalah untuk membantu pengosongan kandung kemih,
mengurangi gejala-gejala yang dialami klien dan mencegah atau mengobati komplikasi.
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung
pada stadium-stadium dari gambaran klinis.
1. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan
konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin.
Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak
mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak
dianjurkan untuk pemakaian lama.
2. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan
reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
3. Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat
sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan
pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika,
retropubik dan perineal.
4. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin
total dengan memasang kateter atausistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau
pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan
dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat
adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen
yang menekan produksi LH.
Jenis-jenis penatalasanaan adalah:
1. Terapi Konservatif
- Dilakukan bila gejala yang ada masih ringan, atau tidak ada gejala
- Dilakukan dengan pemberian obat-obatan hormon
2. Nonsurgical Invasive Care
Dilakukan dengan pemasangan kateter urine secara intermiten untuk mengurangi gejala
dan bypass obstruksi. Pemasanagan kateter urine dalam jangka waktu lama harus
dihindari karena akan menigkatkan kemungkinan terjadinya infeksi.
- Pemasangan stens (stainless steel) atau coils (titanium) pada uretra prostatik.
- Terapi microwave (terapi panas)
3. Surgical Invasive
Indikasi operasi penurunan jumlah urine output yang dapat meningkatkan rasa tidak
nyaman. Residual urine yang menetap, retensi urine akut. Proses pembedahan yang dapat
dilakukan antara lain:
a. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi atau
resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
b. Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih.
c. Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah
melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.
d. Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum
dan rektum.
e. Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan
jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra
dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat.

Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat
dilakukan dengan:
a. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari
alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
b. Medikamentosa
- Mengharnbat adrenoreseptor
- Obat anti androgen
- Penghambat enzim -2 reduktase
c. Fisioterapi
d. Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal, infeksi
saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis
pembedahan:
- Terapi Invasif Minimal
Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar
prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter.
- Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)
- Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)

H. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin
beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati
prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat
mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000)
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen
yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan
membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis
urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
(Sjamsuhidajat, 2005).
1. Komplikasai Pre op
a. Pielonefritis
b. Hidronefrosis
c. Azotemia
d. Uremia
2. Post op
a. Hiponatremia dilusi (TURP)
b. Infeksi
c. Hidrokel
d. Syok
e. Retensi urin akut
f. Ileus paralitikum
g. Peningkatan suhu tubuh
h. Nyeri saat jalan






BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA

I. PERUBAHAN PADA SISTEM PERKEMIHAN
Seiring bertambahnya usia, akan terdapat perubahan pada ginjal, bladder, uretra, dan
sisten nervus yang berdampak pada proses fisiologi terkait eliminasi urine. Hal ini dapat
mengganggu kemampuan dalam mengontrol berkemih, sehingga dapat mengakibatkan
inkontinensia, dan akan memiliki konsekuensi yang lebih jauh.
4. Perubahan pada Sistem Renal
Pada usia dewasa lanjut, jumlah nefron telah berkurang menjadi 1 juta nefron dan
memiliki banyak ketidaknormalan. Penurunan nefron terjadi sebesar 5-7% setiap dekade,
mulai usia 25 tahun. Bersihan kreatinin berkurang 0,75 ml/m/tahun. Nefron bertugas
sebagai penyaring darah, perubahan aliran vaskuler akan mempengaruhi kerja nefron dan
akhirnya mempengaruhi fungsi pengaturan, ekskresi, dan matabolik sistem renal. Berikut
ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem renal akibat proses menua:
d. Membrana basalis glomerulus mengalami penebalan, sklerosis pada area fokal, dan
total permukaan glomerulus mengalami penurunan, panjang dan volume tubulus
proksimal berkurang, penurunan aliran darah renal. Implikasi dari hal ini adalah
filtrasi menjadi kurang efisien, sehingga secara fisiologis glomerulus yang mampu
menyaring 20% darah dengan kecepatan 125 mL/menit (pada lansia menurun hingga
97 mL/menit atau kurang) dan menyaring protein dan eritrosit menjadi terganggu,
nokturia.
e. Penurunan massa otot yang tidak berlemak, peningkatan total lemak tubuh,
penurunan cairan intra sel, penurunan sensasi haus, penurunan kemampuan untuk
memekatkan urine. Implikasi dari hal ini adalah penurunan total cairan tubuh dan
risiko dehidrasi.
f. Penurunan hormon yang penting untuk absorbsi kalsium dari saluran gastrointestinal.
Implikasi dari hal ini adalah peningkatan risiko osteoporosis.

5. Perubahan pada Sistem Urinaria
Perubahan yang terjadi pada sistem urinaria akibat proses menua, yaitu :
e. penurunan kapasitas kandung kemih (N: 350-400 mL)
f. peningkatan volume residu (N: 50 mL)
g. peningkatan kontraksi kandung kemih yang tidak di sadari
h. atopi pada otot kandung kemih secara umum. Implikasi dari hal ini adalah
peningkatan risiko inkotinensia.

6. Perubahan pada aliran darah ginjal
Terdapat beberapa perubahan pada pembuluh darah ginjal pada lansia. Pada
korteks ginjal, arteri aferen dan eferen cenderung untuk atrofi yang berarti terjadi
pengurangan jumlah darah yang terdapat di glomerulus. Atrofi arteri aferen dan eferen
pada jukstaglomerulus terjadi tidak simetris sehingga timbul fistel. Jadi ketika aliran
darah di korteks berkurang, aliran di jukstaglomerular akan meningkat. Ini berpengaruh
pada konsentrasi urin yang berkurang pada usia lanjut akibat gangguan pengaturan sistem
keseimbangan.

e. Perubahan aliran darah ginjal pada lanjut usia
Ginjal menerima sekitar 20% dari aliran darah jantung atau sekitar 1 liter per
menit darah dari 40% hematokrit, plasma ginjal mengalir sekitar 600 ml/menit.
Normalnya 20% dari plasma disaring di glomerulus dengan GFR 120 ml/menit atau
sekitar 170 liter per hari. Penyaringan terjadi di tubular ginjal dengan lebih dari 99%
yang terserap kembali meninggalkan pengeluaran urin terakhir 1-1,5 liter per hari.
Dari beberapa penelitian pada lansia yang telah dilakukan, memperlihatkan
bahwa setelah usia 20 tahun terjadi penurunan aliran darah ginjal kira-kira 10% per
dekade, sehingga aliran darah ginjal pada usia 80 tahun hanya menjadi sekitar 300
ml/menit. Pengurangan dari aliran darah ginjal terutama berasal dari korteks.
Pengurangan aliran darah ginjal mungkin sebagai hasil dari kombinasi pengurangan
curah jantung dan perubahan dari hilus besar, arcus aorta dan arteri interlobaris yang
berhubungan dengan usia.

f. Perubahan fungsi ginjal pada lanjut usia
Pada lansia banyak fungsi hemostasis dari ginjal yang berkurang, sehingga
merupakan predisposisi untuk terjadinya gagal ginjal. Ginjal yang sudah tua tetap
memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh dan fungsi
hemostasis, kecuali bila timbul beberapa penyakit yang dapat merusak ginjal.
Penurunan fungsi ginjal mulai terjadi pada saat seseorang mulai memasuki
usia 30 tahun dan 60 tahun, fungsi ginjal menurun sampai 50% yang diakibatkan
karena berkurangnya jumlah nefron dan tidak adanya kemampuan untuk regenerasi.
Beberapa hal yang berkaitan dengan faal ginjal pada lanjut usia antara lain : (Cox, Jr
dkk, 1985)
5) Fungsi konsentrasi dan pengenceran menurun.
6) Keseimbangan elektrolit dan asam basa lebih mudah terganggu bila dibandingkan
dengan usia muda.
7) Ureum darah normal karena masukan protein terbatas dan produksi ureum yang
menurun. Kreatinin darah normal karena produksi yang menurun serta massa otot
yang berkurang. Maka yang paling tepat untuk menilai faal ginjal pada lanjut usia
adalah dengan memeriksa Creatinine Clearance.
8) Renal Plasma Flow (RPF) dan Glomerular Filtration Rate (GFR) menurun sejak
usia 30 tahun.

g. Perubahan laju filtrasi glomerulus pada lanjut usia
Salah satu indeks fungsi ginjal yang paling penting adalah laju filtrasi
glomerulus (GFR). Pada usia lanjut terjadi penurunan GFR. Hal ini dapat disebabkan
karena total aliran darah ginjal dan pengurangan dari ukuran dan jumlah glomerulus.
Pada beberapa penelitian yang menggunakan bermacam-macam metode,
menunjukkan bahwa GFR tetap stabil setelah usia remaja hingga usia 30-35 tahun,
kemudian menurun hingga 8-10 ml/menit/1,73 m2/dekade.
Penurunan bersihan kreatinin dengan usia tidak berhubungan dengan
peningkatan konsentrasi kreatinin serum. Produksi kreatinin sehari-hari (dari
pengeluaran kreatinin di urin) menurun sejalan dengan penurunan bersihan kreatinin.

h. Perubahan pengaturan keseimbangan air pada lanjut usia
Perubahan fungsi ginjal berhubungan dengan usia, dimana pada peningkatan
usia maka pengaturan metabolisme air menjadi terganggu yang sering terjadi pada
lanjut usia. Jumlah total air dalam tubuh menurun sejalan dengan peningkatan usia.
Penurunan ini lebih berarti pada perempuan daripada laki-laki, prinsipnya adalah
penurunan indeks massa tubuh karena terjadi peningkatan jumlah lemak dalam tubuh.
Pada lanjut usia, untuk mensekresi sejumlah urin atau kehilangan air dapat
meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler dan menyebabkan penurunan volume
yang mengakibatkan timbulnya rasa haus subjektif. Pusat-pusat yang mengatur
perasaan haus timbul terletak pada daerah yang menghasilkan ADH di hypothalamus.
Pada lanjut usia, respon ginjal pada vasopressin berkurang biladibandingkan
dengan usia muda yang menyebabkan konsentrasi urin juga berkurang, Kemampuan
ginjal pada kelompok lanjut usia untuk mencairkan dan mengeluarkan kelebihan air
tidak dievaluasi secara intensif. Orang dewasa sehat mengeluarkan 80% atau lebih
dari air yang diminum (20 ml/kgBB) dalam 5 jam.

J. DEFINISI BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA
5. Hyperplasia prostat jinak adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk
dalam prostat , pertumbuhantersebut dimulai dari bagian periuretral sebaga proliferasi
yang terbatas dan tumbuh menekan kelanjar normal yang tersisa ( Price & Wilson 2005).
Benigna prostat hipertropi adalah tumor jinak dan kelenjar prostat bagian paling dalam
(medial prostat) membesar oleh karena pembesaran ke arah tepi-tepi menimbulkan
penyempitan uretra. Pembesaran tersebut dapat menyebabkan dorongan sampai ke arah
basis vesika urinaria, sehingga mengakibatkan kesulitan miksi.
6. Benigna Prostat hyperplasia adalh kondisi patologis yang paling umum, yang banyak
terjadi pada pria diatas 50 tahun (Bruner dan Suddarth, 2001)
7. BPH (Benigna Prostat hyperplasia) adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami
pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002)
8. Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada
pria > 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra dan pembiasan
aliran urinarius. (Doenges, 1999)
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas
kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra.


K. ETIOLOGI
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab
prostat hiperplasia, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan.
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah :
e. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia
lanjut;
f. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan stroma
kelenjar prostat;
g. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati;
h. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.

Penyebab BPH belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga akibat pengaruh hormone,
yaitu terjadi perubahan keseimbangan antara hormone estrogen dan testoteron. Sebagian
besar dihasilkan oleh kedua testis, kira-kira 90 % dan sisanya diproduksi oleh kelenjar
adrenal, dengan bertambahnya usia akan terjadi penurunan keseimbangan testoteron dan
estrogen, hal ini disebabkan oleh berkurangnya produksi testoteron dan konvensi testoteron
menjadi estrogen pada jaringan perifer, estrogen inilah yang emudian menyebabkan
hyperplasia.
Pada umumnya dikemukakan beberapa teori :
7. Teori Hormonal.
Teori ini dibuktikan bahwa, sebelum pubertas dilakukan kastraksi, maka tidak terjadi
BPH. Selain androgen (testoteron), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH.
Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal yaitu antar
hormone testoteron dan androgen.
8. Teori Reawekering (Neal, 1978)
Menyebutkan bahwa jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat
embriologi sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan
sekitarnya.
9. Teori Growth Faktor (Faktor Pertumbuhan)
Peranan dari growth faktor ini sebagai pemacu pertumbuhan strauma kelenjar prostat.
10. Teori peningkatan lama hidup sel-sel prostat arena berkurangnya sel-sel yang mati.
11. Teori sel STEM
Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel srem. Prostat, dalam hal ini kelenjar
periuretral pada orang dewasa, berada dalam keadaan seimbang antara pertumbuhan sel
dan sel yang mati. Oleh karena suatu sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan
hormon atau faktor pencetus lain. Maka sel stem dapat berproliferasi dengan cepat,
sehingga terjadi hiperplasi kelenjar periuretral.
12. Dehidro Testoteron
Testoteron yang dihasilkan oleh sel Lyding Pada testis (90 %) dan sebagian kelenjar
adrenal (10 %), masuk kedalam peredaran darah dan 98 % akan terikat oleh globulin
menjadi seks hormone dinding globulin.

L. PATOFISIOLOGI
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior
buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat
normal pada orang dewasa 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya
Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer,
zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2000).
Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan
keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi
tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan
bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam
sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan
bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-
RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi
pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada
traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan
pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat,
tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar,
detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh
sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi
resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan
mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih
tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat
seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar
diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakulasedangkan yang besar
disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding
kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi.Gejala
obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga
kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir
miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena
pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung
kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai
hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit
ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi
menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan
obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox(overflow incontinence). Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak
dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan
tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan
hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

PATHWAY (TERLAMPIR)


M. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi
dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan
kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau
mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-
putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan
inkontinen karena overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran
prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum
penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala antara
lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan
ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Arif Mansjoer,
2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
5. Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.
6. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak
sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria
dan menjadi nocturia.
7. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
8. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara
periodik (over flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa :
Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin
berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan
saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah berkemih),
retensi urine akut.

N. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
4. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa
rektum, kelainan lain seperti benjolan dalam rektum dan prostat. Pada perabaan melalui
colok dubur dapat diperhatikan konsistensi prostat, adakah asimetri, adakah nodul pada
prostat, apakah batas atas dapat diraba. Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan
menentukan jumlah sisa urine setelah miksi spontan. Sisa miksi ditentukan engan
mengukur urine yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urine dapat pula
diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi.
c. Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
- Grade 0 : Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam rectum.
- Grade 1 : Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam rectum.
- Grade 2 : Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam rectum.
- Grade 3 : Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam rectum.
- Grade 4 : Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam rectum
d. Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing
dahulu kemudian dipasang kateter.
- Normal : Tidak ada sisa
- Grade I : sisa 0-50 cc
- Grade II : sisa 50-150 cc
- Grade III : sisa > 150 cc
- Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.

5. Laboratorium
d. Pemeriksaan urine untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflmasi
saluran emih. Pemeriksaan kultur urine ini berguna untuk mengetahui kuman
penyebab infeksi dan sensifitas kuman.
- Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran
kemih.
- Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.

e. Pemeriksaan ginjal untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit yang mengenai
saluran kemih bagian atas.
f. Pemeriksaan darah untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya penyakit diabetes
mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persyarafan pada buli-buli.

6. Pencitraan
e. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang
menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari
retensi urin.
f. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
g. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin
dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
h. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan
melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

O. PENATALAKSANAAN
Rencana pengobatan tergantung penyebab keparahan obstrusi dan kondisi klien, jika
klien masuk RS dalam keadaan darurat karena tidak dapat beremih, maka kateterisasi segera
dilakukan. Tidak semua klien yang menderita penyakit ini perlu menjalani tindakan medik.
Bila keadaan lebih parah, dilakukan tindakan medis dan terapi medikamentosa. Tujuan terapi
pada klien ini adalah untuk menghilangkan obstruksi pada leher buli-buli.
Penatalaksanaan kolaboratif adalah untuk membantu pengosongan kandung kemih,
mengurangi gejala-gejala yang dialami klien dan mencegah atau mengobati komplikasi.
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung
pada stadium-stadium dari gambaran klinis.
5. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan
konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin.
Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak
mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak
dianjurkan untuk pemakaian lama.
6. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan
reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
7. Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat
sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan
pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika,
retropubik dan perineal.
8. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin
total dengan memasang kateter atausistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau
pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan
dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat
adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen
yang menekan produksi LH.
Jenis-jenis penatalasanaan adalah:
4. Terapi Konservatif
- Dilakukan bila gejala yang ada masih ringan, atau tidak ada gejala
- Dilakukan dengan pemberian obat-obatan hormon
5. Nonsurgical Invasive Care
Dilakukan dengan pemasangan kateter urine secara intermiten untuk mengurangi gejala
dan bypass obstruksi. Pemasanagan kateter urine dalam jangka waktu lama harus
dihindari karena akan menigkatkan kemungkinan terjadinya infeksi.
- Pemasangan stens (stainless steel) atau coils (titanium) pada uretra prostatik.
- Terapi microwave (terapi panas)
6. Surgical Invasive
Indikasi operasi penurunan jumlah urine output yang dapat meningkatkan rasa tidak
nyaman. Residual urine yang menetap, retensi urine akut. Proses pembedahan yang dapat
dilakukan antara lain:
f. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi atau
resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
g. Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih.
h. Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah
melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.
i. Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum
dan rektum.
j. Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan
jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra
dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat.

Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat
dilakukan dengan:
e. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari
alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
f. Medikamentosa
- Mengharnbat adrenoreseptor
- Obat anti androgen
- Penghambat enzim -2 reduktase
g. Fisioterapi
h. Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal, infeksi
saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis
pembedahan:
- Terapi Invasif Minimal
Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar
prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter.
- Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)
- Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)

P. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin
beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati
prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat
mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000)
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen
yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan
membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis
urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
(Sjamsuhidajat, 2005).
3. Komplikasai Pre op
e. Pielonefritis
f. Hidronefrosis
g. Azotemia
h. Uremia
4. Post op
i. Hiponatremia dilusi (TURP)
j. Infeksi
k. Hidrokel
l. Syok
m. Retensi urin akut
n. Ileus paralitikum
o. Peningkatan suhu tubuh
p. Nyeri saat jalan

Das könnte Ihnen auch gefallen