Sie sind auf Seite 1von 32

8

BAB II
LANDASAN TEORI

II.1. Tinjauan Pustaka
II.1.1. Persalinan
II.1.1.1. Definisi Persalinan
Persalinan adalah suatu proses terdiri dari kontraksi uterus yang efektif dan
teratur sehingga menyebabkan pendataran dan pembukaan serviks. Dari proses
ini akan menyebabkan pengeluaran hasil konsepsi berupa janin dan plasenta dari
uterus secara pervaginam (DeCherney AH., et al, 2007).
Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi (janin+uri), yang
dapat hidup ke dunia luar, dari rahim melalui jalan lahir atau dengan jalan lain.
Partus normal disebut juga partus spontan, adalah proses lahirnya bayi pada letak
belakang kepala secara pervaginam dengan tenaga ibu sendiri, tanpa bantuan alat-
alat serta tidak melukai ibu dan bayi yang umumnya berlangsung kurang dari 24
jam. Partus luar biasa (abnormal) ialah persalinan pervaginam dengan bantuan
alat-alat atau melalui dinding perut dengan operasi caesaria (Mochtar R, 1998).
Persalinan adalah suatu periode yang diawali oleh kontraksi uterus sampai
dengan pengeluaran plasenta (Cunningham FG, et al, 2007). Persalinan atterm
adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 3742 minggu. Sedangkan
persalinan postterm adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan melewati
42 minggu (Saifuddin AB, dkk, 2002).
II.1.1.2. Proses Persalinan Normal
Tandatanda permulaan pesalinan terdiri dari timbulnya rasa sakit akibat his
yang datang lebih kuat, sering, dan teratur, keluarnya lendir bercampur darah
(bloody show) yang lebih banyak karena robekan-robekan kecil pada serviks,
kadang-kadang ketuban pecah dengan sendirinya, dan pada pemeriksaan dalam
ditemukan pembukaan dan pendataran serviks (Mochtar R, 1998; Wiknjosastro
H., dkk, 2007).
Mekanisme persalinan terdiri dari 4 kala:
1) Kala I (Kala Pembukaan): waktu untuk pembukaan serviks sampai
menjadi pembukaan lengkap 10 sentimeter. Terdiri dari dua fase yaitu
9



fase laten dan fase aktif (Wiknjosastro H dkk, 2007). Fase laten (8 jam)
serviks membuka sampai 3 cm dan fase aktif (7 jam) serviks membuka
dari 3 sampai 10 cm. Kontraksi lebih kuat dan sering selama fase aktif
(Mochtar R, 1998;Wiknjosastro H., dkk, 2007).
2) Kala II (Kala Pengeluaran Janin): dimulai dari pembukaan lengkap (10
cm) sampai bayi lahir. Proses ini biasanya berlangsung 2 jam pada
primipara dan 1 jam pada multipara. Pada proses ini his terkodinir, kuat,
cepat, dan lebih lama, kirakira 23 menit sekali. Kepala janin telah
turun masuk ruang panggul sehingga terjadi tekanan pada otot otot
dasar panggul yang secara reflektoris menimbulkan rasa mengedan.
Karena tekanan pada rektum, ibu merasa seperti ingin buang air besar,
dengan tanda anus terbuka. Pada waktu his, kepala janin mulai kelihatan,
vulva membuka, dan perineum meregang. Dengan his mengedan yang
terpimpin akan lahirlah kepala, diikuti oleh seluruh badan janin. Setelah
istirahat sebentar, his mulai lagi untuk mengeluarkan anggota badan bayi
secara lengkap (Mochtar R, 1998; Wiknjosastro H., dkk, 2007).
3) Kala III (Kala Pengeluaran Uri): waktu untuk pelepasan dan pengeluaran
uri dimulai segera setelah bayi lahir sampai lahirnya plasenta, yang
berlangsung tidak lebih dari 30 menit. Setelah bayi lahir, kontraksi rahim
istirahat sebentar. Uterus teraba keras dengan fundus uteri setinggi pusat,
dan berisi plasenta yang menjadi tebal 2 kali sebelumnya. Dalam waktu
510 menit seluruh plasenta terlepas, terdorong ke dalam vagina dan
akan lahir spontan atau dengan sedikit dorongan dari atas simfisis atau
fundus uteri. Pada saat plasenta lahir pada umumnya otototot uterus
berkontraksi, pembuluh-pembuluh darahakan terjepit dan perdarahan
segera berhenti. Seluruh proses biasanya berlangsung 530 menit setelah
bayi lahir. Pengeluaran plasenta disertai dengan pengeluaran darah kira
kira 100200 cc (Mochtar R, 1998; Wiknjosastro H., dkk, 2007).
4) Kala IV (Kala Pengawasan): mulai dari lahirnya uri selama 12 jam
dimana dilakukan pengamatan keadaan ibu terutama terhadap bahaya
perdarahan post partum. Sebelum meninggalkan wanita postpartum harus
diperhatikan 7 pokok penting diantaranya: kontraksi uterus harus baik,
10



tidak ada perdarahan dari vagina atau alat genitalia lainnya, plasenta dan
selaput ketuban harus telah lahir lengkap, kandung kemih harus kosong,
lukaluka pada perineum terawat dengan baik, bayi dalam keadaan baik,
dan ibu dalam keadaan baik (Mochtar R, 1998; Wiknjosastro H., dkk,
2007).
II.1.1.3. Definisi Persalinan Preterm
Persalinan preterm didefinisikan sebagai persalinan yang terjadi pada usia
kehamilan kurang dari 37 minggu dan lebih dari 20 minggu (Duff Patrick, et al,
2004 ; DeCherney AH, et al, 2007). Berdasarkan ACOG 1995 pada haid yang
teratur, persalinan preterm dapat didefinisikan sebagai persalinan yang terjadi
antara usia kehamilan 20-37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir.
Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI di Semarang tahun 2005 menetapkan
bahwa persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22
37 minggu (Wiknjosastro H., dkk, 2007).
II.1.1.4. Etiologi dan Faktor Risiko
Persalinan prematur merupakan kelainan proses yang multifaktorial.
Kombinasi keadaan obstetrik, sosiodemografi, dan faktor medis mempunyai
pengaruh terhadap terjadinya persalinan prematur (Wiknjosastro H., dkk, 2007).
Banyak kasus persalinan prematur sebagai akibat proses patogenik seperti
mediator biokimia yang mempunyai dampak terjadinya kontraksi uterus dan
perubahan serviks. Untuk memprediksi kemungkinan terjadinya persalinan
prematur harus dicermati beberapa kondisi yang dapat menimbulkan kontraksi,
menyebabkan persalinan prematur atau seorang dokter terpaksa mengakhiri
kehamilan pada saat kehamilan belum cukup bulan. Kondisi selama kehamilan
yang berisiko terjadinya persalinan preterm, yaitu:
1) Janin dan plasenta: perdarahan trimester awal, perdarahan antepartum
(plasenta previa, solusi plasenta, vasa previa), ketuban pecah dini (KPD),
pertumbuhan janin terhambat, cacat bawaan janin, kehamilan ganda
(gemeli), polihidramnion
2) Ibu: penyakit pada ibu, diabetes mellitus, preeklampsia/hipertensi dalam
kehamilan, infeksi saluran kemih/genital/intrauterine, penyakit infeksi
dengan demam, stress psikologik, kelainan bentuk uterus/serviks, riwayat
11



persalinan preterm/abortus berulang, inkompetensi serviks, pemakaian
obat narkotik, trauma, perokok berat lebih dari 10 batang per hari,
keadaan social ekonomi rendah, usia ibu < 18 tahun atau > 40 tahun,
jarang melakukan ANC (Duff Patrick, et al, 2004), (DeChherney AH, et
al, 2007).
Williams menyatakan berbagai kejadian dan faktor demografi mempengaruhi
terjadinya persalinan preterm, di antaranya:
1) Komplikasi medik dan obstetri: Meis dan kawan-kawan melaporkan
bahwa 28% persalinan preterm kehamilan tunggal disebabkan oleh
beberapa hal: 50% akibat pre eklampsia, 25% akibat gawat janin, 25%
akibat IUGR, solusio plasenta atau kematian janin, sedangkan 72%
terjadi secara spontan dengan atau tanpa disertai ketuban pecah dini.
2) Abortus imminen: Perdarahan per vaginam pada trimester awal
kehamilan berhubungan terhadap peningkatan kejadian persalinan
preterm. Weiss dkk (2004) melaporkan adanya kaitan antara perdarahan
pervaginam pada kehamilan 613 minggu dengan kejadian meningkatnya
persalinan sebelum kehamilan 24 minggu, persalinan preterm, dan
solusio plasenta baik itu perdarahan ringan maupun perdarahan berat.
3) Faktor gaya hidup: Merokok, gizi buruk, kenaikan berat badan ibu
selama hamil yang kurang memadai, tubuh pendek, defisiensi vitamin C,
umur ibu yang terlalu muda maupun terlalu tua, faktor pekerjaan ibu
(berdiri lama, berjalan jauh, pekerjaan berat, jam kerja yang terlalu
lama), stress psikologik, pemakaian obat-obatan seperti narkotika, dan
lainlain (Cunningham FG, et al, 2007).
4) Faktor genetik: Perkiraan bahwa terdapat hubungan antara faktor genetik
denga persalinan preterm adalah sifat persalinan preterm yang berulang,
menurun dalam keluarga dan banyak pada ras tertentu (Cunningham FG,
et al, 2007).
5) Korioamnionitis: Infeksi pada membran dan cairan amniom yang
disebabkan oleh bermacam-macam jenis mikroorganisme dapat
menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini, persalinan preterm, ataupun
keduanya. Namun jalan masuk mikroorganisme ke dalam cairan amnion
12



pada kondisi selaput ketuban yang masih utuh belum jelas. Pada 20%
kasus wanita dengan persalinan preterm dapat ditemukan bakteri maupun
virus saat pemeriksaan amniosentesis. Endotoksin sebagai produk dari
bakteri dapat merangsang monosit desidua untuk menghasilkan sitokin
yang selanjutnya dapat merangsang asam arachidonat dan produksi
prostaglandin. Prostaglandin E
2
dan F
2
bekerja dengan modus parakrin
untuk merangsang terjadinya kontraksi miometrium (Cunningham FG et
al, 2007).
II.1.1.5. Identifikasi Pasien yang Memiliki Risiko Tinggi Terjadi Persalinan
Preterm


1) Sistem skoring: berdasarkan penelitian, sistem skoring tidak memberikan
manfaat dalam identifikasi pasien resiko tinggi mengalami persalinan
preterm (Cunningham FG et al, 2007).
2) Riwayat persalinan preterm: tabel berikut ini memperlihatkan adanya
hubungan yang kuat antara riwayat persalinan preterm dengan kejadian
persalinan preterm berikutnya.
Tabel 1. Hubungan Riwayat Persalinan Preterm Dengan
Persalinan Preterm Berikutnya
Recurrent Spontaneous Preterm Births According to Prior Outcome in 15.863
Women Delivering Their First and Subsequent Pregancies at Parkland Hospital
Birth outcome Second Birth 34 weeks (%)
First birth 35 weeks 5
First birth 34 weeks 16
First and second birth 34 weeks 41
Adapted from Bloom and associates 2001. Suimber: Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL,
Hauth JC, Gilstrap LC, Wenstorm KD. 2007. Williams Obstetrics 22
th
Edition. USA. McGraw-Hill
Companies.

Meskipun pasien hamil dengan riwayat persalinan preterm jelas memiliki
resiko tinggi mengalami persalinan preterm ulangan, peristiwa ini hanya
10% dari keseluruhan persalinan preterm. Dengan kata lain 90% kejadian
persalinan preterm tak dapat diramalkan berdasarkan riwayat persalinan
preterm (Cunningham FG, et al, 2007).


13



3) Inkompetensia serviks: berdasarkan naskah dari American College of
Obstetrican and Gynecologist (2001) inkompetensia serviks adalah
peristiwa klinis berulang yang ditandai dengan dilatasi servik yang
berulang dan persalinan spontan pada trimester II yang tidak didahului
dengan KPD, perdarahan, atau infeksi (Cunningham FG, et al, 2007).
4) Dilatasi serviks: dilatasi serviks asimptomatik pada kehamilan setelah
trimester II adalah faktor resiko terjadinya persalinan preterm, ahli lain
berpendapat bahwa hal tersebut adalah variasi normal terutama pada
pasien multipara. Pemeriksaan serviks pada kunjungan prenatal untuk
memperkirakan adanya persalinan preterm adalah hal yang tak perlu dan
berbahaya (Cunningham FG, et al, 2007).
5) Fetal fibronectine: merupakan glikoprotein yang dihasilkan dalam 20
bentuk molekul dari berbagai jenis sel antara lain hepatosit, fibroblas, sel
endothel, dan amnion janin. Kadar yang tinggi dalam darah maternal serta
dalam cairan amnion diperkirakan berperan dalam adhesi interseluler
selama implantasi dan dalam mempertahankan adhesi plasenta pada
desidua. Deteksi fibronectine dalam cairan servikovaginal sebelum adanya
ketuban pecah adalah marker adanya partus prematurus imminen. Nilai >
50 ng/mL adalah positif (pemeriksaan dengan metode ELISA dan harus
menghindari kontaminasi dengan darah dan cairan ketuban). Goldenberg,
dkk (2000) : pemeriksaan fibronectine bahkan pada kehamilan 822
minggu merupakan prediktor kuat untuk terjadinya persalinan preterm.
Lowe, dkk (2004) pemeriksaan fibronectine pada kasus partus prematurus
imminen dapat menurunkan lama waktu tinggal di rumah sakit
(Cunningham FG et al, 2007).
II.1.1.6. Patogenesis
Berdasarkan pertimbangan klinis dan bukti eksperimental terdapat 4 jalur
yang memicu terjadinya persalinan preterm di antaranya distensi berlebihan dari
miometrium maupun membran pada janin, perdarahan desidua, aktivasi endokrin
fetus yang terlalu dini, dan infeksi intrauterin (Simhan HN, et al, 2007).


14



Bagan 1. Patogenesis Persalinan Preterm

Sumber: Lockwood CJ, Kuczynski E. Risk stratification and pathological mechanisms in preterm
delivery. Paediatr Perinat Epidemiol. 2001;15 Suppl 2:78-89.


II.1.1.7. Diagnosis
American College of Obstetricans and Gynecologist 1997 menyampaikan
kriteria persalinan preterm, yaitu terdapat 4 kontraksi uterus dalam waktu 20
menit atau 8 dalam 60 menit disertai dengan perubahan progresif pada serviks,
dilatasi serviks > 1 cm, dan pendataran serviks > 80% (Cunningham FG, et al,
2007). Kriteria diagnosis:
1) Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu lengkap atau antara 140 dan
259 hari.
2) Kontraksi uterus (his) teratur, setiap 78 menit sekali, atau 2-3 kali dalam
waktu 10 menit.
3) Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%,
atau sedikitnya 2 cm.
4) Selaput ketuban seringkali telah pecah.
5) Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi,
rasa tekanan intrapelvik dan nyeri bagian belakang.
15



6) Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah (Rompass J,
2004; Wiknjosastro H., dkk, 2007).
Beberapa indikator dapat dipakai untuk meramalkan terjadinya persalinan
preterm, sebagai berikut:
1) Indikator klinik: dapat dijumpai seperti timbulnya kontraksi dan
pemendekan serviks. Terjadinya ketuban pecah dini juga meramalkan
akan terjadinya persalinan preterm.
2) Indikator laboratorik: beberapa yang bermakna di antaranya : jumlah
leukosit dalam air ketuban (>20 ml/l), CRP (0,7 mg/l), dan pemeriksaan
leukosit serum ibu (> 13.000/ mm
3
).
3) Indikator biokimia: peningkatan kadar fibronektin jaringan > 50 ng/ml
sitokin inflamasi seperti IL-1, IL-6, IL-8, dan TNF Alfa (Wiknjosastro
H., dkk, 2007).

II.1.1.8. Pencegahan


Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah persalinan preterm
antara lain sebagai berikut:
1) Pendidikan masyarakat melalui media yang ada tentang bahaya &
kerugian kelahiran preterm.
2) Hindari kehamilan pada ibu terlalu muda (kurang dari 17 tahun).
3) Hindari jarak kehamilan terlalu dekat.
4) Menggunakan kesempatan periksa hamil & memperoleh pelayanan
antenatal yang baik.
5) Anjuran tidak merokok maupun mengkonsumsi obat terlarang.
6) Hindari kerja berat dan istirahat yang cukup.
7) Mengusahakan makan lebih baik selama masa hamil untuk cegah gizi
buruk & anemia.
8) Obati penyakit yang dapat menyebabkan persalinan preterm.
9) Lakukan penanganan pada infeksi genital/saluran kemih.
10) Deteksi dan pengamanan faktor risiko terhadap persalinan preterm
(Wiknjosastro H., dkk, 2007).

16



II.1.1.9. Penatalaksanaan
Tabel 2. Indikasi Mutlak Persalinan Preterm

Faktor Maternal
Penyakit hipertensi berat (contoh: serangan akut hipertensi kronik, eklampsia, preeklampsia berat)
Penyakit paru atau jantung (contoh : edema paru, ARDS, penyakit katup jantung, takiaritmia)
Dilatasi serviks progresif ( > 4 cm)
Perdarahan maternal (contoh: solutio plasenta, placenta previa, DIC)
Faktor Fetal
Kematian janin atau anomali letal
Gawat janin
Infeksi intrauterin (korioamnionitis)
Terapi yang merugikan janin (contoh: gawat janin akibat induksi persalinan)
Perkiraan berat janin > 2500 gram
Eritroblastosis fetalis
IUGR berat
Sumber : DeCherney AH, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N. 2007. Current Diagnosis &
Treatment Obstetrics & Gynecology 10
th
Edition. USA. McGraw-Hill Companies

II.1.1.9.1. Rekomendasi Penatalaksanaan Persalinan Preterm:
1) Konfirmasi diagnosis persalinan preterm.
2) Kehamilan < 34 minggu dengan kemajuan persalinan progresif
(dilatasi serviks > 4 cm) tanpa disertai indikasi ibu dan atau janin untuk
terminasi kehamilan lakukan observasi ketat kontraksi uterus dan
denyut jantung janin serta lakukan pemeriksaan serviks serial untuk
menilai kemajuan persalinan.
3) Kehamilan < 34 minggu: beri kortikosteroid untuk pematangan paru.
4) Kehamilan < 34 minggu pada wanita dengan kemajuan persalinan tidak
progresif (dilatasi serviks < 4 cm) cegah kontraksi uterus dengan
pemberian tokolisis dan berikan kortikosteroid serta antibiotik untuk
profilaksis infeksi streptococcus.
5) Pada kehamilan > 34 minggu lakukan observasi kemajuan persalinan
dan kesehatan janin intrauterin.
6) Pada kasus dengan persalinan aktif yang progresif (dilatasi serviks > 4
cm) berikan antibiotik sebagai profilaksis terhadap infeksi
streptococcus pada neonatus (Cunningham FG, et al, 2007).

17



II.1.1.9.2. Rehidrasi dan Tirah Baring
Hidrasi sedasi dengan cara pemberian cairan 500 ml larutan Ringer Lactat
secara intravena dalam 30 menit dan 812 mg morfin sulfa intramuscular. Pasien
dianjurkan untuk tidur dengan posisi kaki lebih tinggi (berbaring). Istirahat
dengan posisi tubuh seperti itu dapat menyebabkan pengaliran darah ke plasenta
meningkat, aliran darah ke ginjal juga lebih banyak sehingga tekanan pada
ekstrimitas bawah turun. Akan tetapi menurut Kovevich dkk (2000) bahwa tirah
baring selama 3 hari berturut-turut dapat meningkatkan komplikasi tromboemboli
(Cunningham FG, et al, 2007).
II.1.1.9.3. Kortikosteroid
Diberikan untuk percepatan pematangan paru dengan Betamethasone 12 mg
secara intramuskular tiap 24 jam selama 48 jam atau Dexamethasone 6 mg,
intramuscular, tiap 12 jam selama 48 jam (Cunningham FG, et al, 2007).
Mekanisme kerja kortikosteroid pada persalinan preterm adalah sebagai berikut:
1) Pengaruh secara fisiologi: efek fisiologi glukokortikoid pada
perkembangan paru adalah meningkatkan surfaktan paru. Penelitian-
penelitian awal yang dilakukan terhadap kelinci dan domba
menunjukkan bahwa glukokortikoid merangsang pembentukan struktur
paru dan mulai timbul produksi surfaktan paru. Secara histologi dapat
diamati sebagai pendataran epitel, penipisan septum alveolus,
peningkatan differensiasi sel. Selain dari efek terhadap surfaktan,
glukokortikoid meningkatkan compliance paru dan volume maksimal
paru. Pemberian glukokortikoid janin juga mengurangi kebocoran
protein dari pembuluh pulmoner ke ruang udara dan meningkatkan
clearance cairan paru sebelum kelahiran (Cunningham FG, et al, 2007).
2) Pengaruh secara biokimia: mekanisme betametason atau kortikosteroid
lainnya yang terbaru untuk menurunkan frekuensi respiratory distress
syndrome, melibatkan induksi protein yang mengatur sistem biokimia
dengan sel tipe II pada paru janin yang memproduksi surfaktan.

Pada
sel- sel paru janin manusia yang dikultur, pemberian deksametason
meningkatkan kandungan protein surfaktan A, B, C, D, sambil
merangsang aktifitas semua enzim penting untuk biosintesis fosfolipid.
18



Karena itu, konsentrasi fosfatidilkolin yang larut meningkat. Pada
gilirannya hal ini merangsang perkembangan badanbadan lamelar,
yang kemudian disekresikan ke dalam lumen ruang udara.
Glukokortikoid mempunyai efek- efek tambahan yang membantu
pernapasan, dengan cara meningkatkan aktifitas enzim anti oksidan dan
menginduksi protein yang terlibat dalam clearance cairan paru.
Masing-masing efek ini menunjukkan suatu sisi dari pematangan paru
janin dan berlanjut dengan memfasilitasi transisi dalam pernapasan
setelah kelahiran (Cunningham FG et al, 2007).
3) Pengaruh terhadap jaringan lain: observasi klinis terhadap efek
multisistem terapi steroid terhadap bayi baru lahir konsisten dengan
data yang didapat dari penelitian hewan. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa kortikosteroid membantu perkembangan hati,
usus, kulit, glandula adrenal, ginjal, dan jantung janin. Contoh-contoh
ini menggambarkan efek global steroid terhadap transisi perkembangan
mayor dan menyediakan suatu dasar ilmiah untuk penggunaan terapi
steroid antenatal untuk mempercepat fase perkembangan pada janin
manusia sebelum kelahiran preterm (Cunningham FG, et al, 2007).
II.1.1.9.4. Tokolisis


1) Beta Agonis: merupakan golongan tokolisis yang secara struktur sama
dengan katekolamin endogen seperti epinefrin dan norepinefrin. Obat
ini bekerja dengan merangsang reseptor adrenergik pada uterus. Saat
ini yang paling banyak dgunakan adalah Terbutalin dan Ritodrine.
Ritodrine diberikan secara intravena dengan dosis awal 50100 g/m
dan ditingkatkan 50g/m setiap 1520 menit sampai kontraksi uterus
berhenti. Terbutalin dianjurkan 2,5g/m setiap 20 menit sampai
kontraksi berhenti (Putra HK, 2007).
2) Magnesium sulfat: Obat ini bekerja dengan cara peningkatan kadar
MgSO
4
akan menurunkan pelepasan asetilkolin oleh motor end plates
pada neuromuscular junction sehingga mencegah masuknya kalsium.
Selain itu obat ini juga berperan sebagai antagonis kalsium pada sel
dan ekstrasel. Harus tersedia antidotum calcium gluconat 10 ml dalam
19



larutan 10% untuk meminimalisasi efek samping yang mungkin
timbul. Dosis awal pemberian 46 gram secara intravena yang
diberikan selama 1530 menit dan dilanjutkan dengan dosis 24 gram
per jam selama 24 jam (Putra HK, 2007).
3) Indomethacine ( Prostaglandine syntetase inhibitors ): obat yang
termasuk ke dalam golongan OAINS ini bekerja dengan cara
menghambat enzim cyclooxygenase sehingga tidak terjadi
pembentukan prostaglandin yang merupakan salah satu pencetus
induksi persalinan (kontraksi uterus) yang kuat. Pemberian dapat
dilakukan secara per oral atau per rektal. Dosis awal 50100 mg per
oral atau 100200 mg per anal diikuti dengan pemberian selama 24
jam yang tak melebihi 200 mg (Putra HK, 2007).
4) Penghambat Kanal Kalsium: aktivitas miometrium berkaitan langsung
dengan kalsium bebas dalam sitoplasma dan penurunan kadar kalsium
menyebabkan terhambatnya kontraksi uterus. Antagonis kalsium
merupakan relaksan otot polos yang menghambat aktivitas uterus
dengan menghambat influks kalsium melalui kanal kalsium. King dkk
(2003) menyatakan bahwa nifedipine adalah tokolitik yang lebih aman
dan lebih efektif dibandingkan beta-mimetik. Dosis nifedipine
diberikan 20 mg peroral dilanjutkan dengan pemberian 1020 mg
setiap 6 jam sampai kontraksi uterus hilang (Putra HK, 2007).
5) Antagonis Oksitosin: antagonis oksitosin salah satu contohnya
atosiban merupakan pilihan alternatif untuk tokolitik karena
spesifitasnya yang tinggi dan minimalnya efek samping terhadap ibu
mapun janin. Atosiban menghasilkan efek tokolitik dengan melekat
secara kompetitif dan memblok langsung reseptor oksitosin di
miometrium. Dosis awal dengan bolus intravena 6,75 mg dalam 0,9
ml isotonik cairan NaCl selama 1 menit , dilanjutkan infus 18 mg/jam
selama 3 jam dan 6 mg/jam selama 45 jam (Putra HK, 2007).
II.1.1.9.5. Antibiotika
Hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko terjadinya infeksi
seperti pada kasus KPD. Obat diberikan per oral, yang dianjurkan adalah:
20



eritromisin 3 x 500 miligram selama 3 hari. Obat pilihan lain adalah ampisilin 3 x
500 mg selama 3 hari, atau dapat menggunakan antibiotika lain seperti
klindamisin. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada pemeriksaan pasien
dengan ketuban pecah dini (KPD) yaitu semua alat yang digunakan untuk periksa
vagina harus steril, periksa dalam vagina tidak dianjurkan, tetapi dilakukan
dengan pemeriksaan spekulum, pada pemeriksaan USG jika terdapat penurunan
indeks cairan amnion tanpa adanya kecurigaan kelainan ginjal dan tidak adanya
IUGR mengarah pada kemungkinan KPD (Wiknjosastro H., dkk, 2007).
II.1.1.9.6. Persiapan Persalinan
Bila usia gestasi 34 minggu atau lebih : dapat melahirkan di tingkat
dasar/primer, mengingat prognosis relatif baik. Bila usia gestasi kurang dari 34
minggu : harus dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas perawatan neonatus yang
memadai (Wiknjosastro H., dkk, 2007). Cara persalinannya bila janin presentasi
kepala : per vaginam dengan episiotomi lebar dan perlindungan forseps terutama
pada bayi < 35 minggu. Indikasi seksio sesarea:
1) Janin sungsang
2) Taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram (masih kontroversial)
3) Gawat janin, bila syarat pervaginam tidak terpenuhi
4) Infeksi intrapartum dengan takikardi janin, gerakan janin melemah,
oligohidramnion, dan cairan amnion berbau bila syarat pervaginam
tidak terpenuhi
5) Kontraindikasi partus pervaginam lain (letak lintang, plasenta previa,
dan sebagainya) (Rompass J, 2004).
II.1.1.9.7. Perawatan Neonatus
Untuk perawatan bayi preterm baru lahir perlu diperhatikan keadaan umum,
biometri, kemampuan bernapas, kelainan fisik, dan kemampuan minum. Keadaan
kritis yang harus dihindari adalah kedinginan, pernapasan yang tidak adekuat, atau
trauma. Suasana hangat diperlukan untuk mencegah hipotermia pada neonatus,
bila mungkin bayi sebaiknya dirawat cara KANGURU untuk menghindari
hipotermia. Kemudian dibuat perencanaan pengobatan dan asupan cairan. ASI
diberikan lebih sering, tetapi bila tidak mungkin, diberikan dengan sonde atau
dipasang infus. Semua bayi baru lahir harus mendapat nutrisi sesuai dengan
21



kemampuan dan kondisi bayi. Sebaiknya persalinan bayi yang terlalu muda atau
terlalu kecil berlangsung pada fasilitas yang memadai seperti perawatan intensif di
bagian NICU. Lakukan konsultasi rutin dengan dokter spesialis anak
(Wiknjosastro H., dkk, 2007).
II.1.1.9.8. Manajemen menurut POGI (Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia)
Setelah pemberian informed consent yang baik, cara persalinan dan
kemampuan klinik merawat preterm harus dipertimbangkan. Bila kehamilan > 35
minggu dan presentasi kepala, maka persalinan pervaginam menjadi pilihan.
Namun bila kehamilan 32-35 minggu maka pertimbangan seksio sesaria menjadi
pilihan. Menjadi kesulihatn pilihan bila bayi dengan berat lahir sangat rendah
karena risiko kematian tinggi (50%). Bila tidak ditemukan infeksi, maka upaya
tokolisis dapat dilakukan (POGI, 2006). Obat yang dianjurkan ialah:
1) Nifedipine 10 mg, diulang tiap 30 menit, maksimum 40 mg/6jam.
Umumnya hanya diperlukan 20 mg, dan dosis perawatan 3 x 10 mg.
2) Beta mimetik: terbutalin atau salbutamol (POGI, 2006).
3) Pemberian kortikosteroid diperlukan untuk pematangan paru:
betamethasone 12 mh/hari, untuk 2 hari saja. Bila tidak ada
betamethasone dapat diberikan dexamethasone (POGI, 2006).
4) Persiapan untuk perawatan bayi kecil perlu dibahas dengan dokter anak,
untuk kemungkinan perawatan intensif. Bila ternyata bayi tidak
mempunyai kesulitan (minum, napas, tanpa cacat) maka perawatan cara
kanguru dapat diberikan agar lama perawatan di rumah sakit dapat
dikurangi (POGI, 2006).
II.1.1.9.9. Manajemen Menurut Kapita Selekta FKUI
Setiap persalinan preterm harus dirujuk ke rumah sakit kemudian cari apakah
terdapat faktor penyulit baik risiko tinggi atau rendah. Sebelum dirujuk, berikan
air minum 1.000 ml dalam waktu 30 menit dan nilai apakah kontraksi berhenti
atau tidak (Medical Journal, 2010).
Bila kontraksi masih berlanjut, berikan obat tokolisis seperti Fenoterol 5 mg
per oral dosis tunggal sebagai pilihan pertama atau Ritodrin mg per oral dosis
tinggi sebagai pilihan kedua, atau Ibuprofen 400 mg per oral dosis tunggal sebagai
22



pilihan ketiga. Bila pasien menolak dirujuk, pasien harus istirahat baring, banyak
minum, dan tidak diperbolehkan bersenggama. Pasien diberi tokolisis seperti
Fenoterol 5 mg per oral 6 jam atau Ritodrin 10 mg per oral tiap 4 jam atau
Ibuprofen 400 mg per oral tiap 8 jam sampai 2 hari bebas kontraksi. Persalinan
tidak boleh ditunda bila ada kontraindikasi mutlak (gawat janin, karioamnionitis,
perdarahan antepartum yang banyak) dan kontraindikasi relatif seperti
pertumbuhan janin terhambat dan pembukaan serviks 4 cm (Medical Journal,
2010).
Penanganan di rumah sakit yaitu dengan observasi pasien selama 3060
menit. Penatalaksanaannya tegantung kontraksi uterus serta dilatasi dan penipisan
serviks (Medical Journal, 2010).
1) Hidrasi dan sedasi, yaitu hidrasi dengan NaCl 0,9%, dekstrosa 5%
atau ringer laktat, dekstrosa 5% sebanyak 1:1 dan sedasi dengan
morfin sulfat 612 mg intramuskular selama 1 jam sambil
mengobservasi ibu dan janin.
2) Pasien kemudian dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu:
kelompok I: Pembukaan serviks terus berlangsung maka berikan
tokolisis, kelompok II: Tidak ada perubahan pembukaan dan
kontraksi uterus masih terjadi maka diberikan tokolisis, kelompok III
: Tidak ada perubahan pembukaan dan kontraksi uterus berkurang
maka pasien hanya diobservasi.
3) Berikan tokolisis bila janin dalam keadaan baik, usia kehamillan 20-
37 minggu, pembukaan serviks kurang dari 4 cm, dan selaput
ketuban masih ada. Jenis tokolisis yang diberikan adalah beta
mimetik adrenergik, magnesium sulfat 4 g (200 ml MgSO
4
10 %
dalam 800 ml Dekstrosa 5% dengan tetesan 100ml/jam), Etil
alcohol, dan Glukokortikoid (contoh Deksametason 12 mg/hari
selama 3 hari) (Medical Journal, 2010).
4) Lakukan persalinan pervaginam bila janin presentasi kepala atau
lakukan episiotomi lebar dan ada perlindungan forseps terutama
pada kehamilan 35 minggu. Lakukan persalinan dengan seksio
sesarea bila janin letak sungsang, gawat janin dengan syarat partus
23



pervaginam tidak terpenuhi, infeksi intrapartum dengan syarat partus
pervaginam tidak terpenuhi, janin letak lintang, plasenta previa, dan
taksiran berat janin 1.500 gram (Medical Journal, 2010).
II.1.1.10. Prognosis
Prognosis persalinan preterm bergantung pada usia kehamilan dan berat lahir
bayi. Berikut adalah tabel perkiraan harapan hidup bayi prterm yang dirawat di
pelayanan kesehatan tingkat tiga:
Tabel 3. Perkiraan Harapan Hidup Bayi Preterm
Usia gestasi (minggu) Berat lahir (gram) Harapan hidup (%)
24-25 500-750 60
25-27 751-1000 75
28-29 100-1250 90
30-31 1251-1500 96
32-33 1500-1750 99
>34 1751-2000 100
DeCherney AH, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N. 2007. Current Diagnosis &
Treatment Obstetrics & Gynecology 10
th
Edition. USA. McGraw-Hill Companies

II.1.2. Asfiksia Neonatorum
II.1.2.1. Definisi


Ikatan Dokter Anak Indonesia menyatakan asfiksia neonatorum adalah
kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat
setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia, dan asidosis.
Berdasarkan WHO asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir (Depkes RI, 2008). ACOG dan AAP
(American Academy of Pediatrics) menyatakan seorang neonatus disebut
mengalami asfiksia bila memenuhi kondisi sebagai berikut:
1) Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0).
2) Nilai Apgar 0-3 selama lebih dari 5 menit.
3) Gangguan neurologis (misalnya: kejang, hipotonia, atau koma).
4) Adanya gangguan sistem multiorgan selama periode neonatus (misalnya:
gangguan kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau
sistem renal) (Gomella TL, et al, 2004).

24



II.1.2.2. Etiologi dan Faktor Risiko
Tabel 4. Faktor Risiko Asfiksia Neonatorum

Faktor risiko antepartum Faktor risiko intrapartum Faktor risiko janin

Primipara

Penyakit pada ibu:
Demam saat kehamilan

Hipertensi dalam kehamilan
Anemia

Diabetes mellitus

Penyakit hati dan ginjal

Penyakit kolagen dan pembuluh darah

Perdarahan antepartum

Riwayat kematian neonatus sebelumnya
Penggunaan sedasi, anelgesi atau anestesi
Malpresentasi

Partus lama
Persalinan yang sulit dan
traumatik

Mekoneum dalam ketuban

Ketuban pecah dini

Induksi Oksitosin

Prolaps tali pusat


Prematuritas

BBLR

Pertumbuhan janin
terhambat

Kelainan kongenital
Sumber: (Depkes RI, 2008;Hay WW et al, 2003)

Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan
dan melahirkan atau pada periode segera setelah lahir. Janin sangat bergantung
pada pertukaran plasenta untuk oksigen, asupan nutirisi, dan pembuangan produk
sisa sehingga gangguan pada aliran darah umbilikal maupun plasental hampir
selalu akan menyebabkan asfiksia (Depkes RI, 2008). Penyebab depresi bayi pada
saat lahir ini mencakup asfiksia intrauterin, bayi kurang bulan, hipoksia
intrapartum, konsumsi obat-obatan oleh ibu, dan lain sebagainya. (Saifuddin AB,
dkk, 2002).

II.1.2.3. Patogenesis
Penyebab asfiksia dapat berasal dari faktor ibu, janin, dan plasenta. Adanya
hipoksia dan iskemia jaringan menyebabkan perubahan fungsional dan biokimia
pada janin. Faktor ini yang berperan pada kejadian asfiksia (Depkes RI, 2008).
1) Cara bayi memperoleh oksigen sebelum lahir : sebelum lahir, paru janin
tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan untuk mengeluarkan
karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru janin dalam
keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial
rendah. Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui
paru karena konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan
melalui pembuluh yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus
kemudian masuk ke aorta. Setelah lahir, bayi akan segera bergantung
25



pada paru-paru sebagai sumber utama oksigen. Cairan yang mengisi
alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru, dan alveoli akan berisi
udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinan oksigen mengalir
ke dalam pembuluh darah disekitar alveoli. Arteri dan vena umbilikasis
akan menutup sehingga menurunkan tahanan pada sirkulasi plasenta dan
meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan udara dan
peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan
mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang.
Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik,
menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan
tekanan sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran
pada duktus arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh
pembuluh darah di vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung
oksigen kembali ke bagian jantung kiri, dimana akan dipompakan ke
seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada kebanyakan keadaan, udara
menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi relaksasi pembuluh
darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh paru
mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang
sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan
mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh.
Saat akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan
paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan
napas yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen
dan pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh
darah paru. Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah,
warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan
(Depkes RI, 2008).
2) Mekanisme yang terjadi pada bayi baru lahir mengalami gangguan di
dalam kandungan atau pada masa perinatal berdasarkan penelitian
laboratorium menunjukkan bahwa pernapasan adalah tanda vital pertama
yang berhenti ketika bayi baru lahir kekurangan oksigen. Setelah periode
awal pernapasan yang cepat maka periode selanjutnya disebut apnu
26



primer. Rangsangan seperti mengeringkan atau menepuk telapak kaki
akan menimbulkan pernapasan. Walaupun demikian bila kekurangan
oksigen terus berlangsung, bayi akan melakukan beberapa usaha
bernapas megap-megap dan kemudian terjadi apnu sekunder, rangsangan
saja tidak akan menimbulkan kembali usaha pernapasan bayi baru lahir.
Bantuan pernapasan harus diberikan untuk mengatasi masalah akibat
kekurangan oksigen. Frekuensi jantung mulai menurun pada saat bayi
menglami apnu primer. Tekanan darah akan tetap bertahan sampai
dimulainya apnu sekunder. Jika bayi menunjukkan tanda pernapasan
segera setelah dirangsang, itu adalah apnu primer. Jika tidak
menunjukkan perbaikan apa-apa, ia dalam keadaan apnu sekunder.
Sebagai gambaran umum, semakin lama seorang bayi dalam keadaan
apnu sekunder, semakin lama pula dia bereaksi untuk dapat memulai
pernapasan (Depkes RI, 2008).
3) Patofisiologi komplikasi pasca hipoksia: kelainan yang terjadi akibat
hipoksia dapat timbul pada stadium akut, atau sekunder pasca hipoksia.
Pada keadaan hipoksia akut akan terjadi redistribusi aliran darah
sehingga organ vital seperti otak, jantung, dan kelenjar adrenal akan
mendapatkan aliran yang lebih banyak dibandingkan organ lain seperti
kulit, jaringan muskuloskeletal serta organ-organ rongga abdomen dan
rongga toraks lainnya seperti paru, hati, ginjal, dan traktus
gastrointestinal. Pada hipoksia yang berkelanjutan, kekurangan oksigen
untuk menghasilkan energi bagi metabolisme tubuh menyebabkan
terjadinya proses glikolisis anerobik. Produk sampingan proses tersebut
(asam laktat dan piruvat) menimbulkan peningkatan asam organik tubuh
yang berakibat menurunnya pH darah sehingga terjadilah asidosis
metabolik. Perubahan sirkulasi dan metabolisme ini secara bersama-sama
akan menyebabkan kerusakan sel baik sementara ataupun menetap.
Pada bayi kurang bulan, proses hipoksia yang terjadi akan lebih berat
dibandingkan dengan bayi cukup bulan akibat kurang optimalnya faktor
redistribusi aliran darah, terutama aliran darah otak, sehingga risiko
terjadinya gangguan hipoksik iskemik dan perdarahan periventrikular
27



lebih tinggi. Demikian pula disfungsi jantung akibat proses hipoksik
iskemik ini sering berakhir dengan payah jantung. Karena itu tidaklah
mengherankan apabila, pada hipoksia berat, angka kernatian bayi kurang
bulan, terutama bayi berat lahir sangat rendah yang mengalami hipoksia
berat dapat mencapai 43-58% (Depkes RI, 2008).
II.1.2.4. Disfungsi Multi Organ pada Hipoksia/Iskemia
Gambaran klinik yang terlihat pada berbagai organ tubuh tersebut sangat
bervariasi tergantung pada beratnya hipoksia, selang waktu antara pemeriksaan
keadaan hipoksia akut terjadi, masa gestasi bayi, riwayat perawatan perinatal,
serta faktor lingkungan penderita termasuk faktor sosial ekonomi. Beberapa
penelitian

melaporkan, organ yang paling sering mengalami gangguan adalah
susunan saraf pusat. Pada asfiksia neonatus, gangguan fungsi susunan saraf pusat
hampir selalu disertai dengan gangguan fungsi beberapa organ lain (multiorgan
failure) (Depkes RI, 2008).
1) Sistem Susunan Saraf Pusat: pada keadaan hipoksia aliran darah ke otak
dan jantung lebih dipertahankan dari pada ke organ tubuh lainnya, namun
terjadi perubahan hemodinamik di otak dan penurunan oksigenisasi sel
otak tertentu yang selanjutnya mengakibatkan kerusakan sel otak. Salah
satu gangguan akibat hipoksia otak yang paling sering ditemukan pada
masa perinatal adalah ensefalopati hipoksik iskemik (EHI). Pada saat
timbulnya hipoksia akut atau saat pemulihan pasca hipoksia terjadi dua
proses yang saling berkaitan sebagai penyebab perdarahan
peri/intraventrikular. Pada proses pertama, hipoksia akut yang terjadi
menimbulkan vasodilatasi serebral dan peninggian aliran darah serebral.
Keadaan tersebut menimbulkan peninggian tekanan darah arterial yang
bersifat sementara dan proses ini ditemukan pula pada sirkulasi kapiler di
daerah matriks germinal yang mengakibatkan perdarahan. Selanjutnya
keadaan iskernia dapat pula terjadi akibat perdarahan ataupun renjatan
pasca perdarahan yang akan memperberat keadaan penderita. Pada proses
kedua, perdarahan dapat terjadi pada fase pemulihan pasca hipoksia
akibat adanya proses reperfusi dan hipotensi sehingga menimbulkan
iskemia di daerah mikrosirkulasi periventrikular yang berakhir dengan
28



perdarahan. Proses mana yang lebih berperan dalarn terjadinya
perdarahan tersebut belum dapat ditetapkan secara pasti, tetapi gangguan
sirkulasi yang terjadi pada kedua proses tersebut telah disepakati
mempunyai peran yang menentukan dalarn perdarahan tersebut (Depkes
RI, 2008).
2) Sistem Pernapasan: penyebab terjadinya gangguan pernapasan pada bayi
penderita asfiksia neonatus masih belum dapat diketahui secara pasti.
Beberapa teori mengernukakan bahwa hal ini merupakan akibat langsung
hipoksia dan iskemianya atau dapat pula terjadi karena adanya disfungsi
ventrikel kiri, gangguan koagulasi, terjadinya radikal bebas oksigen
ataupun penggunaan ventilasi mekanik dan timbulnya aspirasi mekonium
(Depkes RI, 2008).
3) Sistem kardiovaskuler: bayi yang mengalami hipoksia berat dapat
menderita disfungsi miokardium yang berakhir dengan payah jantung.
Disfungsi miokardium terjadi karena menurunnya perfusi yang disertai
dengan kerusakan sel miokard terutama di daerah subendokardial dan
otot papilaris kedua bilik jantung. Pada penelitian terhadap 72 penderita
asfiksia hanya 29% bayi yang menderita kelainan jantung. Kelainan yang
ditemukan bersifat ringan berupa bising jantung akibat insufisiensi katup
atrioventrikuler dan kelainan ekokardiografi khas yang menunjukkan
iskernia miokardium (Depkes RI, 2008).
4) Sistem urogenital: pada sistem urogenital, hipoksia bayi dapat
menimbulkan gangguan perfusi dan dilusi ginjal serta kelainan filtrasi
glomerulus. Aliran darah yang kurang menyebabkan nekrosis tubulus dan
perdarahan medula. Dalam penelitian terhadap 30 penderita asfiksia
neonatus Jayashree G, dkk.

menemukan disfungsi ginjal pada 43 % bayi
dengan gejala oliguria disertai ureum darah > 40 mg % dan kadar
kreatinin darah > 1 mg % (Depkes RI, 2008).
5) Sistem gastrointestinal: kelainan saluran cema ini terjadi karena radikal
bebas oksigen yang terbentuk pada penderita hipoksia beserta faktor lain
seperti gangguan koagulasi dan hipotensi, menimbulkan kerusakan epitel
dinding usus.

Gangguan fungsi yang terjadi dapat berupa kelainan ringan
29



yang bersifat sementara seperti muntah berulang, gangguan intoleransi
makanan atau adanya darah dalam residu lambung sampai kelainan
perforasi saluran cerna, enterokolitis nekrotikans,

kolestasis, dan
nekrosis hepar (Depkes RI, 2008).
6) Sistem audiovisual: gangguan pada fungsi penglihatan dan pendengaran
dapat terjadi langsung karena proses hipoksia dan iskemia, ataupun tidak
langsung akibat hipoksia iskemia susunan saraf pusat atau jaras-jaras
yang terkait yang menimbulkan kerusakan pada pusat pendengaran dan
penglihatan. Retinopati yang ditemukan ternyata tidak hanya karena
peninggian tekanan oksigen arterial tetapi pada beberapa penderita
disebabkan oleh hipoksemia yang menetap. Penelitian jangka panjang
dengan alat brainstem auditory evoked responses yang dilakukan pada
bayi dengan riwayat asfiksia, menemukan gangguan fungsi pendengaran
pada sejumlah bayi. Selanjutnya dari penelitian tersebut dilaporkan
bahwa kelainan pendengaran ditemukan pada 17,1% bayi pasca asfiksia
yang disertai gangguan perkembangan otak, dan 6,3% pada penderita
tanpa gangguan perkembangan otak (Depkes RI, 2008).
II.1.2.5. Pembagian Serta Tanda dan Gejala
1) Asfiksia berat (nilai APGAR 0-3): frekuensi jantung < 40 kali per menit,
tidak ada usaha napas, tonus otot lemah atau hampir tidak ada, bayi tidak
dapat memberikan reaksi jika diberi rangsangan, bayi tampak pucat
bahkan sampai berwarna kelabu, terjadi kekurangan oksigen yang
berlanjut sebelum atau sesudah persalinan (Dewi VNL, 2010).
2) Asfiksia sedang-ringan (nilai APGAR 4-6): frekuensi jantung 60-80
kali per menit, usaha napas lambat, tonus otot biasanya dalam keadaan
baik, bayi masih bisa bereaksi terhadap rangsangan yang diberikan,
bayi tampak sianosis, tidak terjadi kekurangan oksigen yang bermakna
selama proses persalinan (Dewi VNL, 2010).
II.1.2.6. Diagnosis
1) Anamnesis: anamnesis terarah untuk mencari faktor risiko terhadap
terjadinya asfiksia.
30



2) Pemeriksaan fisis: bayi tidak bernafas atau menangis, denyut jantung
kurang dari 100x/menit, tonus otot menurun, bisa didapatkan cairan
ketuban ibu bercampur mekonium, atau sisa mekonium pada tubuh
bayi, BBLR.
3) Pemeriksaan penunjang: laboratorium : hasil analisis gas darah tali
pusat menunjukkan hasil asidosis pada darah tali pusat : PaO
2
< 50
mmHg, PaCO
2
> 55 mmHg, pH < 7,30 (Depkes RI, 2008)
4) Pada bayi baru lahir harus segera dinilai keadaan umumnya sedini
mungkin. Keadaan umum bayi dinilai satu menit setelah lahir dengan
penggunaan nilai APGAR yang dirancang pada tahun 1952 oleh
Dr.Virginia Apgar.
Tabel 5. Nilai APGAR
Kriteria 0 1 2 Keterangan
Appearance
(warna kulit)
Biru,Pucat Tubuh merah
muda, ekstremitas
biru
Seluruh tubuh
merah muda

Pulse (frekuensi
nadi)
Tidak ada Kurang dari
100/menit
Lebih dari
100/menit

Grimace
(reaksi
rangsangan)
Tidak ada respon Menyeringai Batuk/bersin
Activity (tonus
otot)
Lemah Ekstremitas sedikit
fleksi
Gerakan aktif
Respiration
(pernapasan)
Tidak ada Lemah, tidak
teratur
Baik,
menangis

JUMLAH
Sumber : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. 2004. Nelson Textbook of Pediatrics 17
th

Edition. USA. Saunders.

Keterangan :
bayi normal ( nilai 7-10 ),
asfiksia sedang - ringan ( nilai 4-6 ),
asfiksia berat ( nilai 0-3 ) (Wiknjosastro H., dkk, 2007).





31



Gambar 1. Expanded Apgar Score
Sumber : Available from :
http://aappolicy.aappublications.org/cgi/content/full/pediatrics;117/4/1444

II.1.2.7. Prinsip Tata laksana
Penatalaksanaan resusitasi dasar pada penanganan segera asfiksia neonatorum
dilakukan sesuai dengan algoritma tatalaksana asfiksia neonatorum yang
direkomendasikan American Heart Association (AHA)/American Academy of
Pediatrics (AAP) dengan melakukan beberapa penyesuaian (Depkes RI, 2010) :
1) Tim resusitasi: di tingkat Puskesmas, bidan harus dapat mengantisipasi,
mengenali gejala asfiksia, dan dapat memberikan resusitasi dasar dengan
segera, bila diperlukan segera melakukan rujukan ke rumah sakit. Di
tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi, tiap rumah sakit yang
menolong persalinan harus memiliki tim resusitasi yang terdiri dari
dokter dan paramedia yang telah mengikuti pelatihan resusitasi neonatus
yang diselenggarakan oleh profesi dokter (Depkes RI, 2010).
2) Alat resusitasi: di tingkat puskesmas, harus tersedia minimal balon yang
mengembang sendiri (self inflating bag/ambu bag) bagi pelaksanaan
ventilasi dalam resusitasi asfiksia neonatorum. Di tingkat pelayanan
kesehatan yang lebih tinggi , rumah sakit harus harus dilengkapi dengan
32



alat ventilasi yang lebih canggih. Neopuff harus ada di tingkat ini
(Depkes RI, 2010).
3) Penggunaan oksigen: penggunaan oksigen aliran bebas (21%)
menurunkan risiko mortalitas dan hipoksik iskemik ensefalopati. Namun
beberapa penelitian menyatakan bahwa saat ini belum terdapat cukup
bukti yang bisa dijadikan dasar untuk merokemndasikan penggunaan
oksigen aliran bebas sebagai ganti oksigen 100 % (Depkes RI, 2010).
4) Penggunaan oksimeter untuk monitoring dan panduan pemberian
oksigen: alat ini dapat mendeteksi hipoksia pada bayi sebelum bayi
terlihat sianosis secara klinis. Pada pemakaian klinis oksimeter dapat
mendeteksi hipoksia secara cepat sehingga dapat dijadikan alat untuk
memantau dan sebagai panduan dalam pemberian oksigen secara lebih
akurat (Depkes RI, 2010).
5) Resusitasi pada bayi kurang bulan: bayi kurang bulan mempunyai risiko
terkena berbagai komplikasi setelah lahir. Secara anatomi dan fisiologi
bayi kurang bulan adalah imatur, sehingga mereka memiliki berbagai
risiko sebagai berikut: kulit yang tipis dengan permukaan tubuh yang
relatif luas serta kurangnya lemak tubuh memudahkan bayi kehilangan
panas, jaringan yang imatur memungkinkan lebih mudah rusak oleh
oksigen yang berlebihan, otot yang lemah dapat menyebabkan bayi
kesulitan bernapas, usaha bernapas dapat berkurang karena imaturitas
sistem saraf, paru-paru mungkin imatur dan kekurangan surfaktan
sehingga kesulitan ventilasi, selain itu paru paru bayi lebih mudah cedera
setelah tindakan VTP, sistem imunitas yang imatur rentan terhadap
infeksi, kapiler yang rapuh dalam otak yang sedang berkembang dapat
pecah, pengambilan darah berulang untuk pemeriksaan pada bayi
prematur lebih mudah menyebabkan hipovolemi karena volume darah
yang sedikit (Depkes RI, 2008).
II.1.2.8. Tata Laksana pada Bayi Kurang Bulan
Kondisi diatas menjadikan resusitasi pada bayi kurang bulan memerlukan
beberapa tambahan seperti :
33



1) Tambahan tenaga terampil: kemungkinan bayi kurang bulan akan
memerlukan resusitasi yang secara signifikan lebih tinggi dibanding bayi
cukup bulan. Diperlukan tambahan pemantauan dan mungkin tambahan
alat bantu pernapasan. Selain itu mungkin bayi-bayi ini memerlukan
intubasi endotrakeal lebih sering. Karena itu, dibutuhkan petugas
tambahan yang hadir saat kelahiran, termasuk petugas yang terlatih
dalam melakukan intubasi endotrakeal (Depkes RI, 2008).
2) Tambahan sarana untuk menjaga suhu tubuh: jika bayi diantisipasi
kurang bulan secara signifikan (misalnya <28 minggu), mungkin
diperlukan plastik pembungkus (polyethylene) yang dapat dibuka-tutup
serta alas hangat yang dapat dipindah-pindahkan siap pakai (Depkes RI,
2008).
Gambar 2. Penggunaan plastik pembungkus untuk
mengurangi kehilangan panas akibat evaporasi

Dikutip dari American Academy of Pediatrics dan American Heart
Association. Buku panduan resusitasi neonatus. Edisi ke-5, 2006)

3) Blender oksigen: blender oksigen diperlukan untuk memberikan
konsentrasi oksigen antara 21% sampai 100%. Selang bertekanan tinggi
menghubungkan oksigen dan sumber udara ke blender dengan petunjuk
angka yang mengatur gas dari 21% ke 100%. Pengatur aliran dapat
dihubungkan ke blender dengan kecepatan aliran 0 sampai 20 L/menit
untuk mendapatkan konsentrasi oksigen yang dapat diberikan langsung
ke bayi atau melalui alat tekanan positif (Depkes RI, 2008).
4) Menjaga bayi tetap hangat: bayi yang lahir kurang bulan hendaknya
mendapatkan semua langkah untuk mengurangi kehilangan panas
(Depkes RI, 2008).
34



5) Pemberian oksigen: untuk menghindari pemberian oksigen yang
berlebihan saat resusitasi pada bayi kurang bulan, digunakan blender
oksigen dan oksimeter agar jumlah oksigen yang diberikan dapat diatur
dan kadar oksigen yang diserap bayi dapat diketahui. Saturasi oksigen
lebih dari 95% dalam waktu lama, terlalu tinggi bagi bayi kurang bulan
dan berbahaya bagi jaringannya yang imatur (Depkes RI, 2008).
6) Ventilasi: bayi kurang bulan mungkin sulit diventilasi dan juga mudah
cedera dengan ventilasi tekanan positif yang intermiten.
7) Pertimbangkan pemberian Continuous Positive Airway Pressure (CPAP):
Jika bayi bernapas spontan dengan frekuensi jantung diatas 100 kali per
menit tapi tampak sulit bernapas dan sianosis pemberian CPAP mungkin
bermanfaat. CPAP diberikan dengan memasang sungkup balon yang
tidak mengembang sendiri atau T-piece resuscitator pada wajah bayi
dan mengatur katup pengontrol aliran atau katup Tekanan Positif Akhir
Ekspirasi (TPAE) sesuai dengan jumlah CPAP yang diinginkan. Pada
umumnya TPAE sampai 6 cmH
2
O cukup (Depkes RI, 2008).
8) Gunakan tekanan terendah untuk memperoleh respons yang adekuat jika
VTP (Ventilasi Tekanan Positif) intermiten diperlukan karena apnu,
frekuensi jantung kurang dari 100 x/menit, atau sianosis menetap,
tekanan awal 20-25 cmH
2
O cukup untuk sebagian besar bayi kurang
bulan. Jika tidak ada perbaikan frekuensi jantung atau gerakan dada,
mungkin diperlukan tekanan yang lebih tinggi. Namun hindari terjadinya
peningkatan dada yang berlebihan selama dilakukan ventilasi karena
paru-parunya mudah cedera (Depkes RI, 2008).
9) Pertimbangkan pemberian surfaktan secara signifikan: bayi sebaiknya
mendapat resusitasi lengkap sebelum surfaktan diberikan. Penelitian
menunjukkan bayi yang lahir kurang dari usia kehamilan 30 minggu
mendapatkan keuntungan dengan pemberian surfaktan setelah resusitasi,
sewaktu masih di kamar bersalin atau bahkan jika mereka belum
mengalami distres pernapasan (Depkes RI, 2008)
10) Pencegahan terhadap kemungkinan cedera otak: otak bayi kurang
bulan mempunyai struktur yang sangat rapuh yang disebut matriks
35



germinal. Matriks germinal terdiri atas jaringan kapiler yang mudah
pecah, terutama jika penanganan bayi terlalu kasar, jika ada perubahan
cepat tekanan darah dan kadar CO
2
dalam darah, atau jika ada sumbatan
apapun dalam aliran vena di kepala. Pecahnya matriks germinal
mengakibatkan perdarahan intraventrikuler yang menyebabkan
kecacatan seumur hidup (Depkes RI, 2008).
11) Hal-hal berikut perlu dipantau dan diperhatikan sesudah resusitasi:
kadar gula darah yang rendah sering terjadi pada bayi-bayi dengan
gangguan neurologis setelah mengalami asfiksia dan menjalani
resusitasi, pemantauan kejadian apnu dan bradikardi pada bayi, jumlah
oksigen dan ventilasi yang tepat, pemberian minum, harus dilakukan
secara perlahan dan hati-hati sambil mempertahankan nutrisi melalui
intravena, kecurigaan tehadap infeksi (Depkes RI, 2008).
12) Penghentian resusitasi: bila tidak ada upaya bernapas dan denyut
jantung setelah 10 menit, setelah usaha resusitasi yang menyeluruh dan
adekuat dan penyebab lain telah disingkirkan, maka resusitasi dapat
dihentikan. Data mutakhir menunjukkan bahwa setelah henti jantung
selama 10 menit, sangat tipis kemungkinan selamat, dan yang selamat
biasanya menderita cacat berat (Depkes RI, 2008).
II.1.2.9. Pencegahan Asfiksia Neonatorum
Pencegahan terhadap asfiksia neonatorum adalah dengan menghilangkan atau
meminimalkan faktor risiko penyebab asfiksia. Derajat kesehatan wanita,
khususnya ibu hamil harus baik, komplikasi saat kehamilan, sebelum persalinan,
dan saat melahirkan harus dihindari. Upaya peningkatan derajat kesehatan ini
tidak mungkin dengan hanya satu intervensi, karena penyebab rendahnya derajat
kesehatan wanita adalah akibat banyak faktor seperti kemiskinan, kurangnya
pendidikan, kepercayaan, adat istiadat dan lain sebagainya. Karenanya dibutuhkan
kerjasama banyak pihak dan lintas sektoral yang saling terkait. Adanya kebutuhan
dan tantangan untuk meningkatkan kerjasama antar tenaga obstetri di kamar
bersalin menyebabkan perlu diadakan pelatihan untuk penanganan situasi yang tak
terduga dan tidak biasa yang dapat terjadi pada persalinan. Pada bayi dengan
36



prematuritas, perlu diberikan kortikosteroid untuk meningkatkan maturitas paru
janin (Depkes RI, 2008).



37




Bagan 2. Algoritma Resusitasi Asfiksia Neonatorum
Sumber : Departemen Kesehatan RI. 2008. Pencegahan dan Penatalaksanaan Asfiksia
Neonatorum. Jakarta. Available from :
http://www.yanmedik.depkes.go.id/buk/index/php?option=com_docman&task=doc
download&g
38







Bagan 3. Alur Resusitasi.
Sumber : Buku Panduan Resusitasi Neonatus Edisi ke-5, 2006
39



II.2. Kerangka Teori











Varibel yang diteliti :
Variabel yang tidak diteliti :

II.3. Kerangka Konsep



II.4. Hipotesis
Ha: Terdapat hubungan antara persalinan preterm pada partus spontan dengan
kejadian asfiksia neonatorum di RSU Bhakti Yudha Depok periode Januari 2008
Desember 2010.

Ibu
Plasenta
Janin
Imaturitas Organ
Intrapartum
Persalinan preterm
Pematangan organ
vital belum sempurna
Asfiksia neonatorum
Nilai APGAR / pH
tali pusat
Persalinan Preterm Asfiksia neonatorum
Antepartum
Janin : Prematuritas

Das könnte Ihnen auch gefallen