Sie sind auf Seite 1von 14

2.

Arsitektur Dan Kebudayaan


Arsitektur yang istilah berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata arche
yang berarti asli dan kata tekton adalah kokoh adalah produk dari
kebudayaan dan merupakan alat ungkap dari kehidupan masyarakat. Orang akan
dengan mudah membaca tentang arsitektur bali ataupun arsitektur jepang
misalnya.
Paradigma agama, paham kosmologi, pembagian golongan masyarakat,
nilai-nilai, moral adalah wujud ekspresi kebudayaan yang tercermin dalam karya-
karya arsitektur. Keinginan menempelkan pesan social pada bangunan menjadi
titik tolak pemakaian simbol-simbol dalam dunia arsitektur. Dalam hal ini
semiotika adalah cabang ilmu yang sangat membantu. Interpretasi simbol dalam
dunia arsitektur di tentukan oleh sistem nilai yang memberikan makna pada
simbol tersebut. Dan pemakaian simbol-simbol banyak dijumpai pada bangunan
arsitektur tradisional. Misalnya apa makna joglo di jawa. Selain itu simbol juga
merupakan identitas bagi status komunitas
Simbolisasi pada arsitektur tradicional selalu berkaitan dengan konsep
kosmologi, metafora tubuh, jenis binatang dan objek tertentu (perahu) dan lain-
lain. Inti dari pembahasan entropologi adalah kebudayaan manusia, karena ide,
gagasan dan nilai-nilai religi banyak berperan dalam mempengaruhi sikap dan
tindakan manusia dalam bersikap. Akibatnya adalah perwujudan bentuk
arsitektural. Arsitektur pada hakekatnya sangat kintekstual, maksudnya sanagat
dipengaruhi oleh hal-hal seperti keadaan geografis, geologis, demografis, budaya,
iklim dan lain-lainnya. Arsitektur juga merupakan kesatuan unsur tempat,
bangunan, budaya dan manusia di tidak mungkin tidak ada salah satu unsurnya.
Pada hakekatnya karya arsitektur adalah upaya manusia dalam
menciptakan lingkungan yang utuh untuk menampung kebutuhan manusia
bertempat tinggal. Berusaha dan bersosial budaya. Adalah ruang yang
menampung kegiatan manusia dan sekaligus mempunyai makna. Sebagai persepsi
budaya arsitektur harus bermakna positif.
Arti atau arsitektur sebagai benda budaya, konsep, pola dan wujudnya
adalah interprestasi dan simbol-simbol emosi dalam pikiran manusia yang
memberikan tanggapan terhadap arsitektur. Fungsi dari arsitektur adalah benda
budaya yang ditentukan oleh persepsi pengamat. Misalnya bangunan yang dekat
dengan kegiatan publio tituntut memiliki akses dan ruang yang memadai agar
fungsi interaksi sosial dapat terwadahi.
3. Pengaruh Kebudayaan Barat
Gejala pembaratan sangat terasa terutama pada kehidupan kalangan elite
yang dekat dengan kekuasaan dan menimbulkan peralihan budaya. Sejak lama
berkembang konsep utama ideologi colonial, bahwa dengan mencontoh
kehidupan orang-orang barat, maka orang-orang pribumi akan menjadi modern
seperti mereka. Sejak rezim soekarno berakhir minat terhadap hal-hal yang
menyangkut daya tarik tempo doeloe meningkat. Bangunan-bangunan dengan
langgam arsitektur colonial diputar dengan hati-hati, furniture jaman Batavia di
buat kembali, dan bahkan film-film pun dibuat dengan roman belanda dengan
setting nusantara. Status kesetiaan perasaan terhadap hidup masa lampau yang
dengan kuatnya mengikatnya beberapa orang Indonesia. Ekspresi simbolis
keangkuhan budaya barat yang masih tertanam dengan baik dalam diri
kebanyakan manusia Indonesia.

BETANG
HUNIAN TRADISIONAL SUKU DAYAK NGAJU
DI KALIMANTAN TENGAH

Yunitha
Jurusan Perancangan Dan Kritik Arsitektur

Abstrak
Betang adalah bangunan tradisional suku Dayak Ngaju di Kalimantan
Tengah, bangunan ini menyimpan banyak makna sejarah, arsitektur dan makna
religius. Oleh karena itu tulisan ini berusaha menggali dan meninjau rumah
bentang dari sudut teori, konsep, dan lokalitasnya sebagai hunian. Selain sebagai
bangunan yang kaya akan falsafah hidup orang dayak. Bangunan ini juga
merupakan karya pandang bentuk bangunan maupun dari sudut pandang
konstruksinya serta yang melantar belakangi cara pembangunannya.

Kata Kunci : Betang Ruang, Dayak Ngaju
1. Pendahuluan
Betang sebagai hunian tradisional, merupakan pencerminan dari
kehidupan masyarakat suku dayak ngaju di kalimantan tengah. Sebgai pencermin
berbagai aspek kehidupan manusia,hunian tradisional akan terkait dengan
kehidupan sosial ekonomi, spiritual dan budaya (Rapoport, 1969). Dengan
demikian arsitektur rumah betang sebagai hunian tradisional merupakan artefek
jejak perjalanan hidup manusia suku dayak ngaju yang ada di kalimantan tengah.
Oleh karena itu sebagai :artefek jejak perjalanan hidup manusia dayak, rumah
betang merupakan karya arsitektur yang penting kedudukannya dalam kehidupan
sehari-hari suku dayak ngaju.
Arsitektur adalah ciri (idea), konsep, kaidah, prinsip dan lainnya, yang
dasarnya adalah hasil pengolahan batin, pikiran dan perasaan (Rapoport, 1969).
Kata arsitektur berasal dari bahasa yunani : arche : dan tektoon, arche berarti
yang asli, yang utama. Yang awal, sedangkan tektoon menunjukan yang berdiri
kokoh, tidak roboh, stabil dan sebagainya. Oleh karena itu pengertian yang semula
arsitektur dapat diartikan sebagai suatu cara asli untuk membangun secara kokoh
(mangunwijaya, 1992). Sejak manusia keluar dari gua untuk membangun, apakah
itu rumahnya atau tempat pribadinya, ia terus-menerus bergulat melawan
kekuatan-kekuatan alam: gaya tarik bumi, hembusan angin kencang, gempa, terik
matahari atau dinginnya salju. Melalui proses coba-coba (trial and eror) selama
beberapa generasi terbentuklah suatu tradisi membangun yang khas (yang asli)
dengan menggunakan bahan yang kokoh terhadap kekuatan alam sekitarnya.
Pengertian arsitektur seni, ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan
bangunan dan penciptaan ruang untuk kegunaan manusia (bugdiharjo, 1977),
selain itu, arsitektur adalah pernyataan ruang dan waktu dari segenap kehidupan
masyarakat yang berbudaya, yang memberi wadah bagi segenap aktivitas tetapi
lebih dari itu merupakan suatu akspresi manusia dan juga merupakan persoalan
kemanusiaan serta pergaulan sosial yang luas (mangunwijaya, 1992). Arsitektur
juga merupakan hasil dari pemikiran kreatif yang diwujudkan dalam suatu
bangunan (boullee, 1799).
Bangunan secara arsitektural adalah hasil karya yang diperoleh melalui
proses pemikiran dan imajinasi yang ada dalam pikiran dan jiwa, arsitektur bukan
hanya gaya, teknik atau metode tetapi arsitektur merupakan penjelmaan dari
sesuatu yang kasat mata dan tidak terukur menjadi suatu bentuk yang nyata (khan,
1991 dalam Johnson, 1994). Dari segi seni, arsitektur adalah seni bangunan
termasuk di dalamnya bentuk dan ragam hiasannya. Dari segi teknik, arsitektur
adalah sistem mendirikan bangunan termasuk proses perancangan, konstruksi,
struktur dan dalam hal ini menyangkut aspek dekorasi dan keindahan. Dipandang
dari segi sejarah, kebudayaan dan geografi, arsitektur adalah ungkapan fisik dan
peninggalan budaya dari suatu masyarakat dalam batasan tempat dan waktu
tertentu. Secara tradisional bangunan rumah tinggal terbentuk karena dipengaruhi
oleh banyak faktor (Rapoport, 1969) yaitu:
a. Pentingnya iklim terhadap penciptaan bentuk bangunan
b. Larangan religius yang banyak di temukan pada daerah-daerah
c. Simbolisasi lebih penting dari pada kegunaannya, bahkan konstruksi
dan teknologi sebagai faktor pengubah, tidak menentukan bentuk.
d. Bangunan berorientasi pada kekuatan alam semesta dari pada
topografinya.
e. Kehidupan perekonomian tidak mempunyai dampak yang menentukan
bentuk rumah
f. Agama mempengaruhi bentuk, rancangan, tujuan dan orientasi rumah.
Dengan demikian wujud dan struktur arsitektural rumah betang sebagai
bangunan hunian tradisional merupakan cermin tingkat teknologi, cermin gaya
hidup (way og life) serta nilai budaya yang bersangkutan.
2. Konsep Rumah Betang
Betang adalah sebuah bangunan rumah tinggal yang besar dan luas serta
bertiang tinggi. Panjang bangunan sekitar 63 depa dengan lebar 10 depa (satu
depa = 1, 70 m) dan tingginya diukur setinggi orang yang menumbuk padi dengan
menggunakan alo sekitar 2,5 sampai 4 meter. Rumah betang yang cukup besar
tingginya sekitar 3 meter, dimaksudkan agar seluruh sanak keluarga dapat
berkumpul dalam satu tempat, sehingga dapat menghadapi musuh bersama-sama
dan aman
Sebuah rumah betang biasanya terdiri atas beberapa bagian penting, yaitu:
- Batang huma, yaitu ruangan utama yang berfungsi sebagai ruangan utama dan
ruang tempat tidur
- Dapur, dan
- Karayan, yaitu bangunan yang menghubungkan ruangan utama dengan dapur.
atau bisa juga merupakan suatu bidang yang ditinggalkan di depan rumah
sebagai tempat untuk menjemur padi, menyimpan sementara hasil hutan atau
tempat ikan yang dikeringkan.
Ruangan tempat tidur dibuat berjejer, artinya setiap kamar atau ruang tidur
tersebut semua pintunya menghadap keruangan yang disebut los. Ruang los dibuat
sepanjang bangunan utama, dengan lebar seperempat lebar bangunan utama.
Sedangkan tiga perempat lebar bangunan utama seluruhnya sebagai kamar tidur.
Penghuni rumah betang mempunyai hanya sebuah dapur, pada bagian los ini
terdapat ruang utama yang disebut dengan balai kandan, tempat penghuni betang
menerima tamu, keluarga dari tempat jauh yang ingin menginap.











Tiang Betang Toyoi, menggunakan sistem tarah, yaitu sistem hitungan
pangkasan beliung pada tiang 1 tarah setara dengan 4-5 cm. tiang, merupakan
kolom menerus dari tanah sampai atap.
Tongkat, merupakan kolom menerus dari tanah sampai lantai. Tinggi 2.29
m. tiang utama betang terdiri dari 4 bh, tersusun dari tiang bakas (utama / 32
tarah), sampai tiang busu (bungsu / 22 tarah), tinggi tiang 5.558m

2.1. Bahan Bangunan
Rumah betang, terbuat dari material lokal yang ada di sekitarnya. Tiang
bangunan yang tinggi terbuat dari kayu ulin dengan diameter 60-80 cm. tiang ini
tersusun berjejer mengikuti pola grid. Bentuknya bulat dan di-tarah (tarah adalah
sistem dimensi pada tiang betang, 1 tarah = 4-5 cm) menggunakan pangkasan
beliung.
Dinding rumah betang terbuat dari kulit kayu lokal (kayu pendu) yang
diikat disusun rapi dan sudah dibersihkan. Pengikat bahan dinding kulit kayu
umumnya menggunakan rotan yang sudah diserut halus, menggunakan langgei
(langgei sejenis pisau kecil untuk pekerjaan halus).
Lantai rumah betang terbuat dari papan kayu ulin yang juga sudah di tarah
dan di bersihkan secara rapi sepanjang 4-5 m atau sepanjang potongan kayu.
Lebar papan bisa beragam (30-40 cm). papan-papan kayu ini bertumpu pada
handaran (handaran balok lantai yang terletak di atas tongkat tiang betang) bahan
handaran biasanya terbuat dari kayu ulin. Sistem sambungan pada handaran ini
menggunakan sistem sambungan pasak (tidak menggunakan paku).
Atap rumah betang terbuat sirap ulin yang lebarnya 40 cm dan susunan
saling tumpang tindih menutupi lubang sambungan atap.









2.2. Kontek lokasitas
Rumah betang merupakan rumah tradisional yang saran makna religius.
Hal tersebut dapat difahami berdasarkan bentuk dan susunan rumahnya. Bila
ditinjau dari sudut pencahayaan ruangnya, terasa sangat gelap, karena jumlah
bukaan yang sangat sedikit, namun dari sudut pandang kepercayaan religius
penghuninya, gelap dan kegelapan merupakan gambaran dari permulaan
kehidupan yang gelap gulita. Sedangkan dari sudut pandang kesehatan, rumah
yang terlalu gelap kurang baik untuk kesehatan mata. Sementara itu ketertutupan
juga akan mengurangi sistem penghawaan di dalam rumahnya. Namun demikian
rumah betang yang tinggi tersebut justru sejuk bila berada dalamnya.
Konstruksi rumah betang tersusun dari sambungan kayu dan pen yang
diikat dengan anyaman rotan. Peninggian bangunan menggambarkan posisi dan
letak manusia yang lebih tinggi dan mulai, dan rumah betang berasal dari atas.
Komposisi bangunan rumah betang menganut faham keseimbangan yang
sempurna, artinya panjang di sebelah kiri dan panjang sebelah kanan dalam
susunan yang sama. Jumlah tiang dan tongkat rumah betang yang di jadikan
panggung bangunan tersusun dalam pola yang teratur, dengan hirarki dari yang
tua sampai yang bungsu. Pada rumah betang di tumbang malahoi, tiang bungsu di
tandai dengan tiang berjumlah 15 tarah sedangkan yang tua berjumlah 32 tarah



2.3. Pelaksanaan pembangunan
Dalam pelaksanaan pembangunannya pemilik betang mempersiapkan
bahan dan materialnya dilakukan dalam rentang waktu yang panjang yaitu lebih
kurang 7 tahun, dan material tersebut dikumpulkan di halaman betang. Sebelum
pelaksanaan konstruksinya. Pemancangan tiang-tiang betang dilakukan dengan
melobangi tanah, sampai pada kedalaman yang cukup, setelah itu barulah tiang
tersebut ditarik dengan menggunakan rotan dari tempatnya dikumpulkan melalui
parit yang sudah diisi air dan ditancapkan oleh ratusan orang terlibat dalam
pembangunannya, biasanya pembangunan dilaksanakan kurang lebih 300 orang,
berasal dari berbagai kampung di sekitarnya.
3. Konsep Hunian Suku Dayak
Bagi suku Dayak Ngaju konsep hunian. Lebih dari sekedar tempat
berlindung, hunian merupakan warisan, turun-temurun yang ditempati dari
generasi ke generasi. Oleh karena itu rumah tinggal harus dapat menampung
banyak keluarga dan anak cucu. Akibatnya ruang-ruang menjadi banyak dan
sengaja di bentuk selebar mungkin dan merupakan tempat penyimpanan harta
yang aman dan dapat dipercaya.
Selain itu hunian juga merupakan surga yang nyaman, tempat kediaman
yang tentram jauh dari bahaya, oleh karena itu tiang-tiang dan ruang-ruang
tersusun berdasarkan urutannya, seperti surga yang tersusun dari yang paling
bawah sampai yang paling tinggi, dari yang bungsu sampai yang tertua, dari
yang jelata sampai yang mahatalal (ranying Mahatala langit)
Hunian bagi suku dayak ngaju juga merupakan kebersamaan, kesatuan
dan kekokohan suatu suku, semuanya terimplementasi pada satu betang untuk
satu anak suku artinya seluruh keturunan harus berada dalam konsep satu
betang, yang berarti juga harus tinggal di satu rumah, semuanya
melambangkan kesatuan, tidak boleh bercabang-cabang. Oleh karena itu
bentuk rumah betang yang kaku, lurus dan seimbang yang mengartikan
semua penghuninya memperoleh proporsi yang lama, sekalipun, harus ada
yang dituakan dan yang diutamakan. Oleh karena itu ada ruang utama, yang
utama sebagai ruang bersama yang menyatukan semunya dalam satu atap.
Hunian juga pusat orientasi, yang berarti titik dimana setiap orang harus
kembali, awal dan yang akhir, oleh karena itu betang menjadi pusat sistem
kosmos yang menentukan titik pertemuan antara yang timur dan yang barat
antara kan-ngaju (hilir) dan kan-ngawa (hulu), antara kan-ngambu (atas) dan
kan-ngiwa (bawah) (Guntur, 2001). Rumah betang selalu menghadap Timur,
tempat terbitnya matahari, hat tersebut dimaksudkan agar bukaan jendela dan
pintu mendapat banyak sinar pagi yang baik. Selain itu hadapan rumah selalu
terdapat sungai yang menjadi orientasi rumah betang.

4. Betang Sebagai Hunian
Sebagai hunian, rumah betang terdid dari beberapa susunan, mulai dari
bagian bawah bangunan sampai penutup atap. Bagian bawah bangunan
merupakan ruang komunal sehari-hari yang digunakan untuk bersosialisa-zi,
dengan penduduk dan warga sekitar rumah betang, suatu ruang yang luas
dibatasi oleh tiang-tiang rumah betang. Ruang ini adalah ruang transparan
tanpa dinding yang memiliki jangkauan ruang luar yang luas batas terluarnya
adalah sampai batas bunyi gong terdengar, ruang tersebut juga merupakan
ruang yang membatasi desa dan wilayah kekuasaan betang tersebut. Pusat dari
ruang ini adalah tiang utama betang yang berada pada bagian bawah betang,
yang meniadi orientasi penduduk sekitarnya. Ruang ini adalah ruang tempat
bekerja, tempat berkomunikasi berbicara tentang musim, dan tempat berteduh
dari panas pada Siang hari.
Ruang berikutnya adalah karayan, ruang ini merupakan ruang terbuka
yang sengaja di bentuk, sebagai bagian dari rumah betang, ruang ini
merupakan tempat penyimpanan sementara hasil panen dan juga merupakan
ruang pengantara antara bagian dapur dan rumah betang, tempatnya dibagian
belakang. Sebagian lagi berada dibagian depan yang berdiri terpisah dari
bangunan utama. Tempat ini untuk menjemur padi dan hasil panen lainnya,
Ruang ini tanpa dinding, dibatasi oleh peninggian ruang yang bust dengan
sengaja, luasnya bervariasi tergantung berapa banyak keluarga yang berada di
rumah betang.
Ruang selanjutnya adalah ruang utama (balai kandan, balai parung,
karimui). Ruang ini adalah ruang utama betang, ruang yang dibatasi oleh
dinding/sekat, tempat utama bagi semua orang, tempat upacara yang sah. Titik
utama rumah yang berada di jihi bakas (tiang utama) dan jihi busu. kadang jihi
bakas diganti dengan luhing (tiang utama yang berukir sejarah penghuni
betang, pusat orientasi did dan rumah betang). Tempat utama menerima
tamuie (sartak keluarga/tame) dari jauh. Oleh karena itu ruang ini lebih luas
dibanding ruang manapun didalam rumah betang. Ruang ini adalah ruang
tempat berdiskusi, tempat menyembuhkan rasa sakit dan tempat menunggu
jenasah yang meninggal, dan tempat mempelai pria tidur pada saat meminang
perempuan rumah betang., Ruang ini adalah ruang yang paling banyak
menerima cahaya, karena bukaan pintu dan jendela utama berada di ruang ini.
Selain ruang-ruang tersebut terdapat ruang lainnya yang disebut sebagai
karung, yaitu ruang tempat tidur, tempat sanak, keluarga istirahat Selain
tempat menyimpan berbagai harta benda yang berharga. Jumlah karung ini
sesuai dengan jumlah sanak keluarga penghuni betang. Besarnya ya tiap
karung sesuai dengan keluarga yang mendiaminya. Jumlahnya harus sama
besar baik di bagian kid dan bagian kanan. Tiap karung memiliki satu jendela
kecil tempat cahaya dari luar masuk. Tiap karung berorientasi pada ruang
utama.
Ruang terakhir adalah ruang di bagian atas, ruang ini adalah ruang
tempat menyimpan berbagai peralatan, harta benda yang paling berharga dan
juga terdapat menyimpan berbagai jimat penghuni betang.

5. Teori
Arsitektur tradisional suku Dayak Ngaju berangkat dari al-am kehidupan
sehari-hari masyarakatnya, termasuk kepercayaannya yang dinamisme den
animisme. Hal tersebut menunjukkan bahwa bush-bush arsitekturnya tumbuh
dari beberapa pohon penghayatan keagamaan, karena disitulah biasanya
nampak arsitektur dalam arti yang sejati diilhami dari kedalaman jiwa manusia
yang peka dimensi kosmologik (Mangunwijaya, 1992:55).,
Karya arsitektur suku Dayak Ngaju yang berangkat dari penghayatan
jiwa den dimensi kosmologik tersebut menghasilkan suatu bangUnan rumah
yang memiliki panggung pada ketinggian 3A m,hal ini menjelaskan bahwa
adanya ruang yang ditinggikan tersebut dibedakan statusnya dari yang
dibawahnya, adanya kepentingan ruang tersebut di banding ruang lain di
sekitarnya, sehingga memutuskan hubungan ruang tersebut dengan ruang
sekitarriya (Ching, 1979:118). Akibatriya ruang. semacam ini membutuhkan
tangga untuk menyambung hubungan ruang tersebut dengan. ruang di
bawahnya atau di sekitarnya. Bagi orang Dayak Ngaju, laseh atau lantai
(ruang) yang ditinggikan memberikan rasa lebih aman den nyaman, serta
tiupan angin di ketinggian lebih. terasa dibandingkan jika berada di bagian
bawah. Lantai merupakan eleman panting pembentuk ruang selain dinding den
atap, bagian lantai adalah salah satu susunan arsitektural yang nampak den
dapat disentuh den diraba, selain itu jugs sebagai bagian dari susunan ruang
yang tidak nampak (Ashihara, 1989:21).
Lantai yang ditinggikan bagi orang dayak dapat dibedakan atas due
bagian yaitu lantai yang dibatasi dinding den lantai yang tidak dibatasi
dinding. Lantai yang dibatasi dinding di sebut dengan karung, sedangkan
lantai yang tidak dibatasi dengan disebut dengan karayan. Karung merupakan
deretan ruang-ruang yang sating berjajar berhadapan satu dengan yang lain
den ruang semacam ini di kategorikan sebagai slab, cross and court plans
(Tabor, 1976 dalam Steadman, 1983 :193). Sementara itu karayan, merupakan
ruang rektangular yang dapat merupakan ruang tunggal berdiri sendiri-sendiri
dan merupakan ruang rektanggular yang menghubungkan karung den dapur.
Ruang penghubung semacam ini dinamakan sebagai ruang transisi (Tzu dalam
Van de Ven, 1986:7-8; Steadman, 1983:21-25; Ching, 1989 :202-203; Tuan,
1969:107-110; Ashihara, 1986:80; Arnheim, 1977:1620).
Lantai yang dibatasi dinding, bagi orang Dayak Ngaju lebih berfungsi
sebagai ruang bersama, tempat istirahat, tempat menyimpan dan tempat
upacara: Ruang semacam ini disebut sebagai ruang intim Juan, 1989:136-148).
Ruang intim termasuk jugs di dalamnya adalah ruang personE,,13 . Didalam
ruang intim ini terdapat hirarki yang menjelaskan derajad, posisi dan
kedudukan ruang-ruang tersebut terhadap ruang lainnya (Ching, 1989:150;
Ashih,-ira,, 1986: 80-91). Hirarki tersebut terdiri dari 2 bush susunan, yang
pertama secara horisontal menjelaskan kedudukan ruang-ruang terhadap pusat
ruang, sedangk.an yang kedua secara vertikal menjelaskan susunan ruang dari
bagian bawah sampai ruang atas yang serba suci. Hirarki secara horisontal
terdiri dari susunan karung terhadap balai kandan atau balai parung. Ruang
tertinggi adalah ruang utama tersebut kemudian berurutan ruang di sebelah
kiri dan sebelah kanannya, yang tengah sebagai yang utama dan pertama
tersusun secara linier4. Secara vertikal hirarki ruang yang tertinggi adalah
pada bagian atas yaitu bagian atap -yang merupakan ruang menyimpan harts,
senjata, simbol-simbol kekuatan, jimat dan gambaran tentang surga sebagai
alam atas5.Ruang-ruang tersebut merupakan ruang interior.
Lantai yang tidak dibatasi oleh dinding bagi orang Dayak Ngaju, selain
Karayan, dapat diketegorikan kedalam dua bagian ruang yaitu ruang yang di
batasi oleh bunyi gong, dan ruang yang dibatasi oleh pengalaman dan
jangkauan imajinasi personalnya. Ruang yang dibatasi oleh Gong adalah
ruang yang dibatasi oleh tandatanda dan simbol, yang menunjukan batas
wilayah atau kampung yang merupakan wilayah kekuasaan, dikenali dan
memiliki jarak yang didalamnya mengandung waktu tempuh6 . Ruang kedua
adalah ruang yang dibatasi oleh pengalaman dan jangkauan imajinasi. Ruang
ini murni terdapat jarak dan waktu tempuh yang mungkin membebaskan
manusia dayak untuk keluar dari ruang gong yang membatasinya. Kedua
ruang ini merupakan ruang eksterior bagi suku Dayak Ngaju penghuni
Betang.
Namun demikian bagi suku Dayak Ngaju masih terdapat ruang lain
selain ruang eksterior dan ruang interior, ruang tersebut adalah ruang surgawi
yang tergambar pada bangunan Bandung. Ruang semacam ini dinamakan
sebagai ruang subjektif, yaitu ruang yang menandakan simbol vertikal yaitu
alam atas dan alam bawah (Tuan, 1977:119-121). Bagi penghuni betang, atau
masyarakat suku Dayak Ngaju, simbol vertikal ini digambarkan pada burung
enggang untuk menggambarkan roh yang terbang keatas dan jata (ular nags)
yang menggambarkan perguasa alam bawah. Oleh karena itu pada bagian atas
rumah betang atau Bandung di bentuk gambaran akan burung ini, yang
menjelaskan keadaan roh yang terbang tersebut. Ruang ketiga ini hanya dapat
difahami oleh orang tertentu Baja, yaitu mereka yang mempunyai kedudukan
sebagai basir8. Sementara itu ruang kehidupan sehari-hari yang ditandai oleh
alam yaitu ruang dari pagi sampai malam tiba, musim yang berganti, sejarah
mass lalu dan mass deparij digambarkan pada hunian rumah betang yang
berpusat pada luhing adat atau jihi bakas, sebagai simbol orientasi yang
menentukan kan-ngawa (hilir), kan-ngaju (hulu), kan-ngambu (atas), dan kan
ngiwa (bawah). Ruang semacam ini dinamakan sebagai ruang objektif (Tuan,
1977:119-121).
Pada bagian interior rumah Betang, ruang-ruang didorninasi oleh ruang
yang gelap, karena kurangnya pencahayaan dan bukaan pada bangunannya.
Ruang semacam ini sengaja dibentuk menjadi gelap karena pemahaman akan
kegelapan sebagai bagian dari kepercayaan - masyarakat penghuni betang,
yaitu dari kekosongan menjadi suatu yang ada (kehidupan)

6. Kesimpulan
Sebagai bangunan tradisional yang sarat akan makna religius, Betang
merupakan peninggalan bersejarah yang tidak dimiliki daerah manapun
didunia, keunikannya, sejarahnya, cara mendinkannya, filsafat hidup yang
dikandungnya, menjadikannya berbeda dengan bangunan tradisional lainnya.

Das könnte Ihnen auch gefallen