Sie sind auf Seite 1von 17

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

PENGEMBANGAN TEKNIK DIAGNOSA FASCIOLOSIS PADA SAPI DENGAN


ANTIBODI MONOKLONAL DALAM CAPTURE ELISA
UNTUK DETEKSI ANTIGEN
Sawitri Endah Estuningsih, G. Adiwinata, S. Widjajanti dan D. Piedrafita*
Balai Penelitian Veteriner, Jl. Martadinata 30, Bogor 16114
*Centre for Animal Biotechnology, Melbourne University, Australia

ABSTRACT
S.E. Estuningsih, G. Adiwinata, S. Widjajanti and D. Piedrafitas. 2004. Development of Diagnosis
Technique for Fasciolosis in Cattle Using Monoclonal antibody in Capture ELISA to Detect Antigen.
The purpose of this study was to develop and implement an improved test for diagnosis of fasciolosis in cattle
for antigen detection using monoclonal antibody to Fasciola in capture ELISA. In order to do this work and develop this
assay, a large reagents have been collected and generated. This included the collection of Fasciola gigantica
Excretory/Secretory antigen, recombinan Cathepsin L, polyclonal and monoclonal antibodies. Development of two sites
antigen capture ELISA using monoclonal antibodies have been standardised and applied to the abattoir and field
samples. Blood for serum, fecal samples and livers were collected from 150 cattle slaughtered at the abattoir. From each
animal, livers were processed for the determination of total Fasciola parasites numbers and the corresponding faecal and
serum samples were analysed for coproantigen and anti-Fasciola antibodies, respectively. A field study was also
undertaken in villages in Yogyakarta. A total of 305 cattle from 2 regencies in Yogyakarta were monitored, the blood
(for serum) and faecal samples from the same cattle were collected monthly for a 10 months period. The serum and
faecal samples were also analysed as the same as abattoir samples. Coproantigen was detected using 2 monoclonal
antibodies raised against Fasciola ES antigen (one monoclonal for capture and one biotinylated monoclonal for
detection). Anti-Fasciola antibody in serum was detected by coating ELISA plate with F. gigantica ES antigen, followed
by incubating serum from cattle and detected with HRP-conjugated anti-bovine IgG commercial antibody. The result
show that the sensitivity and specificity of coproantigen detection were 95% and 91% respectively, is comparable with
indirect ELISA for detection of anti-Fasciola antibody in serum (91% and 88% respectively). In addition, the two-sites
capture ELISA had the best positive correlation between increasing worm burdens and increasing absorbance value
compared with anti-Fasciola antibodies in serum. Furthermore, results from field study show that most animals from 2
regencies in Yogyakarta were found to be infected with F. gigantica over the study, as determined by two-site capture
ELISA. The incidence of Fasciola infection was high and a mean 40-90% in Bantul region and between 50-78% in
Kulon Progo region. This capture assay will have the advantage over the conventional indirect ELISA for the detection
of anti-Fasciola antibody in serum currently available in Indonesia, in that patent infections in cattle will be identified.
Collection of faeces rather than serum will also allow a more cost-effective and adaptable assay. We purpose to use this
assay as a diagnostic determining patent infection in the near future.
Key words: Fasciolosis, diagnosis, ELISA, monoclonal antibody.

ABSTRAK
S.E. Estuningsih, G. Adiwinata, S. Widjajanti and D. Piedrafitas. 2004. Pengembangan Teknik Diagnosis
Fasciolosis pada Sapi dengan Antibodi Monoklonal dalam Capture ELISA untuk Deteksi Antigen.
Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan uji capture-ELISA, yang
merupakan uji diagnosis fasciolosis pada sapi dengan cara mendeteksi antigen dengan menggunakan antibodi
monoklonal Fasciola. Sebagai pendukung uji tersebut maka beberapa reagen perlu dihasilkan dan dikoleksi, seperti
Fasciola gigantica ES antigen (FgESAg), recombinant CatL antigen (rCatL Ag), polikolonal dan monoklonal antibodi.

23

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004


Uji capture-ELISA ini distandarisasi dan diaplikasikan pada sampel hewan sapi dari rumah potong hewan (RPH) dan
dari lapangan. Dari RPH diperoleh 150 sampel sapi yang terdiri dari serum darah yang akan diuji anti-Fasciola antibodi,
feses yang akan diuji kandungan antigennya dan hati untuk diproses dan dikoleksi cacing F.gigantica yang ada di
dalamnya. Sedangkan dari lapangan yang berlokasi di Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta,
diperoleh 305 sampel sapi yang terdiri dari serum dan feses. Sampel dari sapi yang sama tersebut dikoleksi setiap bulan
selama 10 bulan. Antigen dalam feses dideteksi dengan menggunakan 2 monoklonal antibodi terhadap FgESAg
(monoklonal yang tidak dilabel untuk capture dan monoklonal yang dilabel dengan biotin untuk deteksi). Anti-Fasciola
antibodi dideteksi dengan cara melapisi cawan ELISA dengan FgESAg, lalu serum sampelnya diinkubasikan dan
antibodinya dideteksi dengan HRP-conjugated anti-bovine IgG komersial. Hasilnya menunjukkan bahwa uji antigen
dalam feses sensitifitasnya 95 % dan spesifisitasnya 91 %. Sedangkan uji antibodi dalam serum sensitifitasnya 91 % dan
spesifisitasnya 88 %. Berdasarkan uji capture-ELISA terhadap sampel dari lapangan diketahui bahwa kasus kejadian
fasciolosis di Bantul antara 40-90 % dan di Kulon Progo antara 50-70 %. Uji capture-ELISA menunjukkan hasil yang
lebih baik dan memberikan korelasi positif antara peningkatan kadar antigen dalam feses dan jumlah cacing F. gigantica
dalam hati sapi dibandingkan dengan uji antibodi dalam serum. Sehubungan dengan sensitifitas dan spesifisitas yang
tinggi dan kemudahan dalam pengambilan sampel hewan (feses) dari uji capture-ELISA dibandingkan dengan uji
antibodi dalam serum, maka uji diagnosis fasciolosis dengan capture ELISA ini akan digunakan di Indonesia di masa
yang akan datang
Key words: Fasciolosis, diagnosis, ELISA, antobodi monoklonal.

PENDAHULUAN
Fasciolosis merupakan salah satu penyakit parasiter yang menyerang ternak ruminansia. Di daerah
tropis penyakit ini disebabkan oleh infeksi cacing hati Fasciola gigantica, sedangkan di daerah temperate
disebabkan oleh F. hepatica (Boray, 1985). Di Indonesia, prevalensi fasciolosis antara 60-90% (Edney dan
Muchlish, 1962; Suhardono et al., 1991). Kerugian ekonomi akibat penyakit ini diperkirakan sekitar 513,6
milyar setiap tahun (Anonymous, 1990), berupa kerusakan hati yang harus diafkir, kekurusan dan penurunan
tenaga untuk membajak sawah.
Diagnosa fasciolosis pada umumnya berdasarkan penemuan telur cacing dalam feses hewan yang
terinfeksi (Boray, 1985). Akan tetapi jumlah telur cacing yang terlalu sedikit dalam feses akan mengalami
kesulitan dalam mendiagnosa, dan telur tidak akan ditemukan sampai cacing hati mencapai dewasa. Cacing
hati mulai produksi telur biasanya antara minggu ke 10-14 setelah hewan terinfeksi F. hepatica (Armour et
al., 1974) dan F. gigantica pada minggu ke 12-18 setelah infeksi. Pendekatan alternatif untuk diagnosa
fasciolosis adalah dengan pemeriksaan serologi untuk deteksi antibodi terhadap Fasciola spp dengan
menggunakan antigen yang spesifik (Hillyer et al., 1992; Hillyer, 1993) yang umumnya dengan uji ELISA.
Antibodi F. hepatica dengan uji ELISA dapat dideteksi antara minggu ke 3-6 setelah infeksi pada saat larva
cacing migrasi ke hati (Marin, 1992). Namun uji ini masih ada kekurangannya, karena titer antibodi yang
tinggi hanya bisa untuk menunjukkan bahwa hewan tersebut pernah terinfeksi akan tetapi tidak bisa
menunjukkan bahwa hewan tersebut sedang terinfeksi oleh Fasciola (infeksi aktif). Selanjutnya, hewan yang
sudah diberi obatpun tetap menunjukkan titer yang tinggi terhadap Fasciola (Ibarra et al., 1998).
Maka dari itu perlu dikembangkan teknik diagnosa fasciolosis yang bisa mendeteksi adanya infeksi
aktif. Salah satu teknik tersebut adalah dengan capture ELISA untuk mendeteksi adanya antigen dalam
serum atau feses yang dikeluarkan oleh cacing F. gigantica. Abdel-Rahman et al (1998) melaporkan bahwa
capture ELISA untuk deteksi coproantigen merupakan diagnosa Fasciola dengan memeberikan hasil yang
sensitif, spesifik dan cepat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan dan menerapkan teknik
diagnosa fasciolosis pada sapi untuk deteksi antigen F. gigantica dengan antibodi monoklonal dalam capture
ELISA.

24

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

MATERI DAN METODE


Dalam pengembangan capture ELISA digunakan 2 pendekatan yaitu: Capture ELISA dengan
menggunakan antibodi monoklonal dan capture ELISA dengan menggunakan antibodi poliklonal. Untuk
pengembangan capture ELISA tersebut diperlukan antigen Fasciola baik dari cacing dewasa
(Ekskretori/Sekretori , ES antigen) ataupun ekspresi dari rekombinan protein Fasciola (rCatL), monoklonal
dan poliklonal antibodi.
1.

Produksi Exkretori/Sekretori (ES) antigen F. gigantica

Metode pembuatan antigen ES dari cacing F. gigantica dewasa sama seperti yang telah diuraikan oleh
Wijffels et al (1994) setelah dimodifikasi sebagai berikut: Cacing F. gigantica dewasa dikoleksi dari saluran
empedu pada hati sapi yang dipotong di RPH. Cacing hati yang masih dalam keadaan hidup ditempatkan
dalam kontainer yang berisi larutan Phosphate Buffer Saline (PBS) dan diinkubasikan pada suhu 370 C
selama 15-20 menit (kira-kira 50 ekor cacing setiap 100 ml PBS). Cacing yang sudah terlihat bersih
dipindahkan ke dalam kontainer yang berisi media RPMI yang mengandung antibiotik yang bersuhu 370 C
selam 20 menit. Selanjutnya, semua cacing hati yang masih hidup dan bersih dipindahkan lagi ke dalam
medium RPMI yang baru dan diinkubasikan selama 4-6 jam pada suhu 370C. Setelah inkubasi larutan yang
telah mengandung ES antigen disentrifugasi dan disimpan dalam suhu 200C sampai digunakan.
2.

Produksi rCatL antigen

Cara isolasi rCatL sebagai berikut: Inokulasi kultur sel yang mengandung CatL ke dalam 50 ml minimal
medium (0,67% yeast nitrogen base, 2% gliserol, 0,002% urasil dan 0,003% lisin) dalam tabung erlemeyer
dan dibiarkan 2 malam sambil di goyang (shaker) pada suhu 280 C. Setelah pertumbuhan sel cukup bagus,
kultur sel tersebut ditransfer ke dalam 950 ml enriched medium (1 % dextrose/glucose, 3% gliserol, 20mM
CaC2, 1% yeast extract and 8% peptone), lalu diinkubasikan selam 3 malam (72 jam) pada suhu 280C sambil
di shaker. Setelah inkubasi 3 malam, larutan sel tersebut disentrifuse dengan kecepatan 5000 rpm selama 10
menit pada suhu 40C, kemudian supernatan didialisa dengan starter buffer (100mM Imidazole, 250 mM
NaH2PO4 dan 2,5 M NaCl) pH 7,6 dan dilakukan 4 kali penggantian buffer. Setelah dialisa larutan
disentrifuse dengan kecepatan 5000 rpm selama 10 menit pada suhu 40C, selanjutnya cairan ditampung
untuk dilakukan purifikasi dengan menggunakan HiTrap column.
3.

Produksi antibodi poliklonal

Antibodi poliklonal diproduksi dengan cara melakukan imunisasi pada kelinci dan ayam dengan antigen
ES atau rCatL. Jadwal imunisasi sebagai berikut:
minggu ke 0 : imunisasi dengan antigen (100 g) + Quil A (100 g)
minggu ke 4 : imunisasi dengan antigen (20 g) + Quil A (20 g)
minggu ke 6 : imunisasi dengan antigen (20 g) + Quil A (20 g)
minggu ke 8 : imunisasi dengan antigen (20 g) + Quil A (20 g)
minggu ke 10: ELISA
Setelah minggu ke 10 atau setelah titer antibodi pada kelinci dan ayam tinggi, antibodi poliklonal
dikoleksi sebanyak mungkin. Antibodi poliklonal kelinci dikoleksi dari darah jantung, sedangkan pada ayam
dikoleksi dari kuning telur.
4.

Antibodi monoklonal

Antibodi monoklonal terhadap antigen Fasciola diperoleh dari WEHI, Australia. Untuk capture ELISA
antibodi monoklonal tersebut juga dilabel dengan biotin.
25

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

5.

Standarisasi capture ELISA dengan antibodi monoklonal

Standarisasi capture ELISA dilakukan dengan menggunakan antigen ES/rCatL yang sudah diketahui
konsentrasinya sebelum digunakan untuk menguji sampel. Antibodi monoklonal yang tidak dilabel
digunakan sebagai capture dan antibodi monoklonal yang sudah dilabel dengan biotin digunakan sebagai
secondary antibody. Selanjutnya, untuk deteksi antigen F. gigantica dilakukan dengan cara mencampurkan
antigen dengan konsentrasi yang telah ditentukan ke dalam serum atau larutan feses dari sapi yang negatif F.
gigantica.
Cara menyiapkan larutan feses untuk deteksi antigen menurut Espino et al (1990) sbb:
Feses dihancurkan dengan menggunakan mortar supaya homogen. Kemudian 1 gram feses yang sudah
homogen dilarutkan dalam 2 ml larutan PBST 1% dan diaduk dengan vortek dan kecepatan tinggi.
Selanjutnya, larutan feses tersebut disentrifugasi dengan kecepatan tinggi selama 10 menit pada suhu 40C.
Supernatan dikoleksi dan disimpan dalam suhu 200C sampai digunakan.
6.

Aplikasi capture ELISA

i) Menentukan nilai cut-off


Nilai cut-off ditentukan dengan cara menghitung rata-rata nilai optical density (OD) dari 32 sampel
negatif (feses dan serum) dari sapi yang dipotong di rumah potong hewan (RPH) ditambah 3 kali standar
deviasi (std). Hasil penghitungan cut-off adalah 0,21. Selanjutnya sampel feses yang mempunyai nilai OD
>0,21 dinyatakan terinfeksi aktif F. gigantica
ii) Analisis sampel dari RPH
Seratus lima puluh sampel darah, feses dan hati diambil dari sapi yang dipotong di RPH. Hati sapi
diproses untuk menentukan jumlah cacing hati yang yang terdapat di dalam hati, feses diproses untuk deteksi
antigen dan pemeriksaan telur cacing, sedangkan sampel darah diproses untuk diambil serum dan diperiksa
antibodi F. gigantica.
iii) Analisis sampel dari lapangan
Survey lapangan dilakukan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dimana prevalensi fasciolosis
cukup tinggi. Tiga ratus lima ekor sapi di Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Bantul telah dimonitor
untuk diambil sampel darah dan feses. Pengambilan sampel dilakukan sebulan sekali selama 10 bulan.
Sampel darah diproses untuk koleksi serum dan diperiksa antibodi terhadap F. gigantica, sedangkan feses
diproses untuk diperiksa adanya telur dan antigen F. gigantica.
7.

Validasi capture ELISA

Dalam melakukan validasi capture ELISA digunakan hewan percobaan domba sebanyak 7 ekor yang
diinfeksi dengan 300 metaserkaria F. gigantica, dan 2 ekor domba tidak diinfeksi sebagai kontrol negatif.
Antibodi F. gigantica dalam serum dan antigen F. gigantica dalam feses dimonitor pada saat infeksi
(minggu ke 0) dan setiap minggu sesudah infeksi. Setelah level antibodi dan antigen cukup tinggi domba
diobati dengan fasinex, selanjutnya antibodi dan antigen tetap dimonitor sampai antigen tidak terdeteksi lagi
dalam feses.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Antigen ES F. gigantica terdiri dari beberapa protein dengan berat molekul antara 7,2-75 kDa (Gambar
1). Protein yang dominan yang terlihat pada SDS-PAGE berukuran sekitar 70-75 kDa, 35-54 kDa dan 7-21
kDa. Adapun rCatL hanya mempunyai satu protein yang berukuran sekitar 50 kDa (Gambar 2). Pada reaksi
26

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

immunoblotting, serum anti-rCatL poliklonal kelinci bereaksi dengan 2 protein yang berukuran sekitar 42
kDa dan 50 kDa (Gambar 3), sedangkan pada serum kelinci normal tidak bereaksi.
Hasil titrasi serum poliklonal kelinci dan ayam dipaparkan pada Gambar 4a, b, c dan d. Ada perbedaan
respon antibodi pada serum kelinci antara yang diimunisasi dengan yang tidak diimunisasi, sedangkan antara
ayam yang diimunisasi dengan yang tidak diimunisasi tidak berbeda. Hal ini disebabkan karena tingginya
background pada cawan ELISA, kemungkinan karena ada kontaminasi protein yang tidak spesifik saat
purifikasi antibodi dalam kuning telur dan turunnya sensitifitas dari metode tersebut. Pemakaian serum
poliklonal dalam capture ELISA, dengan menggunakan poliklonal ayam sebagai capture (yang dikotingkan
ke cawan ELISA), yang diikuti dengan serum poliklonal kelinci (secondary antibody) memberikan hasil
yang sama antara kontrol positif dan negatif. Sedangkan, apabila serum poliklonal kelinci sebagai capture
yang diikuti dengan poliklonal ayam terlihat ada perbedaan antara kontrol positif dan negatif (data tidak
ditampilkan). Perbedaan ini tetap ada pada saat digunakan untuk menguji sampel feses maupun serum. Hasil
ini memberikan harapan bahwa diagnosa fasciolosis dengan capture ELISA bisa dikembangkan dengan
menggunakan antibodi poliklonal. Akan tetapi, implementasi dari uji ini masih memerlukan peningkatan
sensitifitasnya yang hanya bisa dicapai dengan melakukan purifikasi dengan memisahkan antibodi yang
spesifik dari antibodi yang tidak spesifik di dalam serum kelinci atau kuning telur. Misalnya dengan teknik
presipitasi alumunium sulfat atau afinity purification. Purifikasi terhadap poliklonal antibodi telah dilakukan
akan tetapi tidak berhasil mendapatkan antibodi dengan konsentrasi protein yang tinggi. Sementara itu,
antibodi monoklonal sudah siap dan telah berhasil mengenal antigen ES F. gigantica. Selanjutnya untuk
menguji sampel lapangan dalam capture ELISA akan digunakan antibodi monoklonal.
Hasil titrasi antibodi monoklonal dapat dilihat pada Gambar 5a dan 5b, hanya 3 antibodi monoklonal
(A, C dan D) yang mempunyai titer tinggi terhadap antigen ES, sebaliknya, ke 4 antibodi monoklonal
tersebut tidak bereaksi terhadap antigen rCatL (Gambar 6a dan 6b). Hasil ini memperlihatkan bahwa
antibodi monoklonal tersebut sangat dominan dalam mendeteksi antigen ES daripada antigen rCatL F.
gigantica. Antibodi monoklonal yang telah dilabel dengan biotin juga bereaksi dengan antigen ES (Gambar
7) yang selanjutnya akan dipakai dalam capture ELISA untuk menguji sampel feses atau serum sapi dari
lapangan.
Selanjutnya, hasil standarisasi capture ELISA dengan menggunakan antibodi monoklonal non-biotin
dan antibodi monoklonal biotin dipaparkan pada Tabel 1. Berdasarkan hasil pada Tabel 1 menunjukkan
bahwa kombinasi antara antibodi monoklonal A non-biotin sebagai capture (1:800; 2,5 g/ml) dan dideteksi
dengan antibodi monoklonal C biotin (1:800; 0,63g/ml) memberikan hasil yang paling bagus (titer tinggi)
(Gambar 8).
Hasil capture ELISA dengan menggunakan sampel serum ataupun feses dari sapi yang negatif F.
gigantica setelah penambahan antigen ES dapat dilihat pada Gambar 9. Uji ini mampu mendeteksi antigen
ES dalam feses, tetapi sebaliknya tidak pada serum. Hasil ini menunjukkan bahwa deteksi antigen ES dalam
feses lebih sensitif dibanding deteksi antigen ES dalam serum, dan mempunyai keunggulan karena
pengambilan sampel feses lebih praktis dan cepat dibanding pengambilan sampel serum serta memerlukan
biaya yang lebih murah. Maka dari itu untuk menguji sampel dari RPH maupun dari lapangan dengan
capture ELISA hanya akan diterapkan pada sampel feses saja.
Berdasarkan hasil survey dari RPH Jakarta, 92 (61,3%) dari 150 ekor sapi yang dipotong terinfeksi F.
gigantica dalam hatinya. Jumlah cacing yang ditemukan antara 1-426 cacing per ekor sapi yang berukuran
antara 16-48 mm (Gambar 10). Nilai cut-off pada capture ELISA ditentukan dengan cara menghitung nilai
rat-rata OD dari 32 ekor sapi yang negatif F. gigantica (negatif cacing dalam hati, negatif telur cacing dalam
feses dan negatif antibodi dalam serum) ditambah 3 kali std yang memberikan hasil 0,21 (Tabel 2).
Berdasarkan hasil penghitungan tersebut, sapi yang sampel fesesnya mempunyai nilai OD >0,21 dinyatakan
terinfeksi F. gigantica. Selanjutnya hasil pemeriksaan sampel feses dari RPH dengan capture ELISA untuk
deteksi antigen F. gigantica dapat dilihat pada Tabel 3 yang memperlihatkan bahwa sensitifitas dan
spesifisitas dari uji tersebut masing-masing adalah 95% dan 91%. Hasil pemeriksaan telur cacing dalam
27

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

feses terpapar pada Tabel 4 yang memperlihatkan bahwa 92 (61.3%) dari 150 ekor sapi yang dipotong di
RPH positif cacing dalam hatinya tetapi hanya 53% sapi-sapi tersebut ditemukan telur dalam fesesnya. Hasil
pemeriksaan antibodi ELISA pada serum sapi dari RPH ada pada Tabel 5, dimana sensitifitas dari uji
tersebut adalah 91% sedangkan spesifisitasnya adalah 88%. Korelasi antara antigen dalam feses dengan
jumlah cacing dalam hati lebih bagus daripada korelasi antara antibodi dalam serum dengan jumlah cacing
dalam hati (Gambar 11&12).
Diagnosa fasciolosis pada sapi dengan menggunakan antibodi monoklonal untuk deteksi antigen ES
telah dilaporkan oleh Fafbemi et al (1995) dan Dumenigo et al. (1996) yang menyatakan bahwa antigen
dalam serum dapat terdeteksi pada minggu ke 2-3 setelah infeksi. Tingkat infeksi pada hewan dapat
diketahui dengan mengukur banyaknya antigen Fasciola yang berada dalam feses maupun serum hewan
yang terinfeksi (Fagbemi dan Guobadia, 1995). Pada penelitian ini telah dipaparkan bahwa capture ELISA
dengan menggunakan antibodi monoklonal untuk deteksi antigen F. gigantica dalam serum sapi memberikan
hasil yang tidak sebagus deteksi antigen dalam feses. Hasil ini sama dengan hasil yang telah dilaporkan oleh
Abdel-Rahman et al (1998) bahwa deteksi antigen F. gigantica dalam feses lebih sensitif dibandingkan
deteksi antigen dalam serum. Berdasarkan laporan Espino dan Finlay (1994) dan Dumenigo et al (1996) ada
korelasi antara jumlah antigen dalam feses dengan jumlah cacing dewasa dalam hati. Dari laporan ini terlihat
bahwa deteksi antigen dalam feses dengan capture ELISA bisa untuk menentukan adanya infeksi aktif F.
gigantica. Dari hasil-hasil yang telah dipaparkan terlihat bahwa deteksi antigen dalam feses pada hewan
yang terinfeksi F. gigantica memberikan hasil yang lebih bagus dan akurat yang mempunyai beberapa
keunggulan daripada uji serologi. Pada uji serologi membutuhkan tabung venojek dan jarum untuk
pengambilan darah sehingga membutuhkan biaya yang mahal, sedangkan untuk deteksi antigen dalam feses
hanya memerlukan kantong plastik untuk koleksi feses. Keuntungan yang lainnya adalah pada capture
ELISA hanya mendeteksi adanya infeksi aktif fasciola pada hewan.
Hasil dari survey lapangan yang dilakukan di Kabupaten Bantul dan Kulon Progo, Yogyakarta selama
10 bulan pengamatan didapatkan bahwa sapi-sapi di daerah tersebut terinfeksi F. gigantica. Persentase sapi
yang positif antigen dan telur F. gigantica di kedua daerah tersebut dipaparkan pada Gambar 13 &14.
Kejadian fasciolosis berdasarkan deteksi antigen dalam feses di Kabupaten Bantul antara 40-90% dan di
Kulon Progo antara 50-78% (Gambar 13), sedangkan berdasarkan pemeriksaan telur cacing kejadian
fasciolosis di daerah tersebut lebih rendah (Gambar 14). Berdasarkan jenis sapi, sapi Ongole lebih peka
terhadap infeksi F. gigantica dibanding sapi Simental dan Limosin meskipun di Kabupaten Bantul pada
akhir pengamatan persentase sapi yang terinfeksi hampir sama 90% (Gambar 15 dan 16). Wiedosari et al
(1999) juga melaporkan bahwa sapi Ongole lebih peka terhadap infeksi F. gigantica dibanding sapi Bali dan
Kerbau. Penemuan telur cacing dalam feses lebih fluktuatif dibanding dengan deteksi antigen dalam feses
sehingga penemuan telur dalam feses bukan sebagai indikator yang bagus untuk deteksi adanya infeksi F.
gigantica pada sapi. Diagnosa fasciolosis dengan capture ELISA untuk deteksi antigen dalam feses
merupakan diagnosa yang lebih tepat untuk mendeteksi adanya infeksi aktif F. gigantica pada sapi dan
merupakan diagnosa yang simpel, cepat dan akurat.
Hasil validasi capture ELISA pada hewan percobaan terlihat bahwa antigen ES F. gigantica dalam
feses mulai terdeteksi pada 4 ekor domba pada minggu ke 5 setelah infeksi , dan pada minggu ke 7 setelah
infeksi semua domba yang diinfeksi positif antigen dalam fesesnya. Level antigen dalam feses tertinggi
dicapai pada minggu ke 14 setelah infeksi dan 2 minggu setelah domba diobati level antigen sudah tidak
terdeteksi lagi dalam feses (Gambar 17). Sedangkan antibodi dalam serum mulai terdeteksi pada minggu ke
3 setelah infeksi dan mencapai level yang tertinggi pada minggu ke 9-14 setelah infeksi. Antibodi mulai
turun pada minggu ke 2 setelah domba diobati tapi levelnya masih tetap tinggi ( OD = 1) (Gambar 18).
Adapun, telur cacing F. gigantica mulai terdeteksi pada minggu ke 15 setelah infeksi dan satu minggu
setelah diobati telur sudah tidak terdeteksi lagi dalam feses (data tidak ditampilkan). Domba yang tidak
diinfeksi tetap negatif selama pengamatan. Dari hasil tersebut terlihat bahwa diagnosis secara konvensional
dengan pemeriksaan telur dalam feses hanya bisa dicapai setelah cacing dewasa/mulai produksi telur (15
minggu setelah infeksi). Sedangkan, diagnosis dengan capture ELISA, antigen dalam feses mulai terdeteksi
pada minggu ke 5 setelah infeksi, dan mencapai puncaknya pada minggu ke 14 setelah cacing dewasa.
28

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

Positif diagnosis ini tetap terdeteksi selama hewan terinfeksi dan menjadi negatif setelah hewan diobati
(cacing tereliminasi), sedangkan antibodi tetap tinggi walaupun hewan telah diobati. Jadi, diagnosis dengan
capture ELISA untuk deteksi antigen dalam feses memiliki keunggulan daripada deteksi antibodi dalam
serum, karena bisa untuk mendeteksi adanya infeksi aktif sehingga pengobatan bisa dilakukan secara
efektif/pada hewan yang terinfeksi saja. Selain itu pengambilan sampel feses lebih mudah dilakukan
dibanding pengambilan serum yang memerlukan keahlian, selain itu juga memerlukan biaya yang lebih.
Gambar 1. Gambaran protein ES antigen
gigantica
K
Da

M
W

Gambar 2. Gambaran protein rCatL antigen

1
K
Da 2
05.01
13.0
7
5.0

2
05.01
13.0
7
5.0
5
3.9

3
4.9
2
8.8

2
1.0

2
1.0

7.
2

7.
2

MW = berat molekul (marker)


= ES antigen

MW = berat molekul (marker)


1
= rCatL antigen

Gambar 3. Immunoblotting
K

M
W

2
1
7
5

3
2
2
7.

1
2

5
3.9

3
4.9
2
8.8

M
W

MW = berat molekul (marker)


= rCatL antigen diprobe dengan anti-rCatL poliklonal kelinci
= rCatL diprobe dengan serum kelinci normal
29

F.

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

Gambar 4a. Titrasi anti-ES poliklonal kelinci

3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0

R antiES sera
R NS

1/

1/

50
10
0
1/
20
0
1/
40
0
1/
80
1/ 0
16
0
1/ 0
32
0
1/ 0
64
1/ 00
1
1/ 280
25
0
6
1/ 000
51
0
1/ 200
10
0
24 0
00
00

OD

Respon anti-ES poliklonal kelinci

Titrasi serum

3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0

R antiCatL sera

00
80
25
0
6
1/ 000
51
0
1/ 200
10
00
24
00
00
1/

1/

12

00

64

32
1/

1/

00

1/

16

1/

80

40
1/

20
1/

10

1/

1/

R NS

50

OD

Gambar 4b. Titrasi anti-rCatlL poliklonal kelinci

Titrasi serum

3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0

chick antiES

64
00
12
8
1/
25 00
60
0
1/
51 00
1/ 200
10
0
24 0
00
00
1/

1/

00

00

1/

32

1/

16

80
1/

40
1/

20
1/

10

1/

50

chick NS

1/

OD

Gambar 4c. Titrasi anti-ES poliklonal ayam

Titrasi kuning telur

30

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0

chick anti-CatL
chick NS

1/
50
1/
10
0
1/
20
0
1/
40
0
1/
80
1/ 0
16
0
1/ 0
32
0
1/ 0
64
1/ 00
1
1/ 280
25
0
6
1/ 000
51
0
1/ 200
10
00
24
00
00

OD

Gambar 4d. Titrasi anti-rCatlL poliklonal ayam

Titrasi kuning telur

Gambar 5a. Titrasi antibodi monoklonal A dan B terhadap ES antigen

3
2.5

Mab
Mab
Mab
Mab

OD

2
1.5
1

A+ES
A-ES
B+ES
B-ES

0.5

1:
50
1/
10
0
1/
20
0
1/
40
0
1/
80
1/ 0
16
0
1/ 0
32
0
1/ 0
64
1/ 00
12
8
1/ 00
25
6
1/ 00
51
2
1/
0
10 0
24
00

Titrasi Mab

Gambar 5b. Titrasi antibodi monoklonal C dan D terhadap ES antigen

Mab C+ES

Mab C-ES

1.5

Mab D+ES

Mab D-ES

0.5
0
1:
50
1/
10
0
1/
20
0
1/
40
0
1/
80
1/ 0
16
0
1/ 0
32
0
1/ 0
64
1/ 00
12
8
1/ 00
25
6
1/ 00
51
1/ 20
10 0
24
00

OD

3
2.5

Titrasi mab

31

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

Gambar 6a. Titrasi antibodi monoklonal A dan B terhadap rCatL antigen


3
2.5

OD

2
1.5
1

Mab A+catL
Mab A-catL
Mab B+catL
Mab B-catL

0.5

1:
50
1/
10
0
1/
20
0
1/
40
0
1/
80
1/ 0
16
0
1/ 0
32
0
1/ 0
64
1/ 00
12
8
1/ 00
25
6
1/ 00
51
1/ 200
10
24
00

Dilution of Mab

Gambar 6b. Titrasi antibodi monoklonal C dan D terhadap rCatL antigen

3
2.5

OD

2
1.5
1

Mab C+catL
Mab C-catL
Mab D+catL
Mab D-catL

0.5

1:
50
1/
10
0
1/
20
0
1/
40
0
1/
80
1/ 0
16
0
1/ 0
32
0
1/ 0
64
1/ 00
12
8
1/ 00
25
6
1/ 00
51
1/ 200
10
24
00

Dilution of Mab

Gambar 7. Titrasi antibodi monoklonal biotin


MabA+ES
MabA+CatL
MabC+ES
MabC+CatL
MabD+ES
MabD+CatL

0.6
0.4
0.2
0

1/
50
1/
10
0
1/
20
0
1/
40
0
1/
80
1/ 0
16
0
1/ 0
32
0
1/ 0
64
1/ 00
12
8
1/ 00
25
6
1/ 00
51
1/ 200
10
24
00

OD

0.8

Dilution of Mabs

32

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

Tabel 1 . Hasil standarisasi capture ELISA dengan antibodi monoklonal


Antibodi Monoklonal biotin
C
D
Capture
Pengenceran
1:400
1:800
1:1600
1:400
1:800
Mabs
A
1:400
+++
+++
+++
++
++
1:800
+++
+++
++
++
++
1:1600
++
++
++
++
++
1:3200
+
+
+
+
+
A
D
C
1:400
++
++
++
++
++
1:800
++
++
++
+
+
1:1600
+
+
+
+
+
1:3200
+
+
+
+
+
A
C
D
1:400
++
++
++
++
++
1:800
+
+
+
++
++
1:1600
+
+
+
+
+
1:3200
+
+
+
+
+
+++ = bagus (deteksi antigen 0.62 g/ml)
++ = sedang (deteksi 1.25-2.5 g/ml)
+ = tidak bagus (deteksi > 5 g/ml)

1:1600

Gambar 8. Standarisasi capture ELISA dengan antibodi monoklonal terhadap ES antigen


Capture ELISA (Mab A sebagai capture,
deteksi dengan Mab C biotin)
3
2.5

OD

2
1.5
1
0.5
0
10

2.5

1.25 0.62 0.31 0.15

Pengenceran antigen (ug/ml)

33

++
++
++
+
++
+
+
+
++
++
+
+

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

Gambar 9. Standarisasi capture ELISA pada feses dan serum negatif


3
2.5

Feses+ES

OD

Feses+CatL

1.5

Serum+ES
Serum+CatL

1
0.5

3
01
0.

05
0.

79

0.

3.

0.

13

.5
12

50

Pengenceran antigen ug/ml

Gambar 10. Jumlah dan panjang cacing hati


450

Jumlah cacing

400
350
300
250
200
150
100
50
0
1

11

16

21

26

31

36

41

46

Rata-rata panjang cacing (mm)

Tabel 2. Nilai cut-off capture ELISA


Gr
up
1
2

Nomor
hewan
1-10
11-20

OD
0.09, 0.12, 0.14, 0.1, 0.2, 0.08, 0.1, 0.11, 0.1, 0.12
0.13, 0.18, 0.23, 0.1, 0.15, 0.12, 0.09, 0.12, 0.09,

Rata-rata OD +
sd
0.116 0.034
0.13 0.045

0.1
3

21-32

0.16, 0.1, 0.14, 0.15, 0.12, 0.12, 0.12, 0.13, 0.1,


0.1275 0.0234
0.12, 0.17, 0.1
Nilai rata-rata OD semua hewan = 0,12 0,03 ; nilai cut-off = 0,12 x (3x0,03) = 0,21

34

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

Tabel 3. Jumlah sapi yang positif (OD>0.21) dan negatif (OD<0.21) terhadap antigen F. gigantica dalam
feses berdasarkan uji capture ELISA
Ag ELISA

Fluke positif

Fluke negatif

Total

Positif

87

92

Negatif

53

58

Total

92

58

Sensitifitas : 87/92 x 100 % = 95 %

150
Spesifisitas : 53/58 x 100 % = 91 %

Tabel 4. Hasil pemeriksaan telur cacing F. gigantica dalam feses sapi RPH

Positif telur
F. gigantica
Negatif telur
F. gigantica
Total

Fluke positif
80

Fluke negatif
0

Total
80 (53,7%)

12

58

70

92 (61,3%)

58

150

Tabel 5. Jumlah sapi yang positif (OD>0.38) dan negatif (OD<0.38) antibodi ELISA
Ab ELISA

Fluke positif

Fluke negatif

Total

Positif

84

91

Negatif

51

59

Total

92

58

150

Sensitifitas : 84/92 x 100 %= 91 %

Spesifisitas : 51/58 x 100 % = 88 %

Antigen absorben (OD)

Gambar 11. Korelasi antara antigen dalam feses dengan jumlah cacing dalam hati
2
1.5
1
y = 0.0016x + 0.3638

0.5

R = 0.2426

0
1

51

101 151 201 251 301 351 401 451


Jumlah cacing hati

35

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

Gambar 12. Korelasi antara antibodi dalam serum dengan jumlah cacing dalam hati

Antibodi absorben OD)

2
1.5
y = 0.0005x + 0.6093
2
R = 0.0174

1
0.5
0
1

51

101

151

201

251

301

351

401

451

Jumlah cacing hati

Gambar 13. Persentase sapi yang positif antigen F. gigantica dalam feses di Kabupaten Bantul dan Kulon
Progo

% positif antigen ELISA


Au
gu
st
Se
pt

100
80
60

Bantul

40

Kulon Progo

20

Ju
ly

Ju
ne

M
a
Ap rch
ril
/M
ay

Fe
b

Ja
n

O
ct
De
c

Waktu pengambilan

Gambar 14. Persentase sapi yang positif telur F. gigantica di Kabupaten Bantul dan Kulon Progo
100

60
40

Bantul

20

Kulon Progo

n
Fe
b
M
ar
Ap ch
ril
/M
ay
Ju
ne
Ju
ly

Ja

ec

ct

pt

Se

gu

st

0
Au

% positif telur

80

Waktu pengambilan

36

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

100
80
60
40

Ongole
Simental

20

Limosin

ly

ne

Ju

Ju

Ap

ril

/M

ay

ch

ar

Fe

Ja

ec

ct

pt
Se

gu

st

0
Au

% of positive antigen ELISA

Gambar 15. Persentase sapi (berdasarkan jenis) yang positif antigen F. gigantica dalam feses di Kabupaten
Bantul

Time of collection

100
80
60
40

Ongole
Simental
Limosin

20

ly
Ju

ay
Ju
ne

Ap

ril

/M

ch
ar

Fe

n
Ja

ec

ct
O

pt

Se

gu

st

0
Au

% of positive antigen ELISA

Gambar 16. Persentase sapi (berdasarkan jenis) yang positif antigen F. gigantica dalam feses di Kabupaten
Kulon Progo

Time of collection

37

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

Gambar 17. Respon antigen dalam feses pada domba yang diinfeksi F. gigantica

Treated

2.5

OD

2
1.5
1
0.5
0
Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

Weeks after challenge


40

41

43

44

45

47

48

ctrl1

ctrl2

Gambar 18. Respon antibodi dalam serum pada domba yang diinfeksi F. gigantica

OD

Treated
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk Wk
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

Weeks after challenge


40

41

43

44

45

47

48

ctrl1

ctrl2

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 1990. Data ekonomi akibat penyakit. Direktorat jenderal Peternakan, Jakarta.
Abdel-Rahman, S.M., K.L. OReilly and J.B. Malone (1998). Evaluation of diagnostic monoclonal antibodybased capture enzyme-linked immunosorbent assay for detection of a 26-to 28-kd Fasciola hepatica
coproantigen in cattle. Am.J. for Vet. Res., 59(5):533-537

38

Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004

Boray, J.C. 1985. Flukes of domestic animals. In:Gaafar, S.M., Howard, W.E. and Marsh, R.E. (Eds),
Parasites, Pests and Predators. Elsevier, New York, pp. 179-218
Domenigo, B.E., Espino, A.M. and C.M.Finlay (1996). Detection of Fasciola hepatica antigen in cattle
faeces by a monoclonal antibody-based sandwich immunoassay. Res. Vet. Sci., 60:278-279
Edney, J.M. and A. Muchlis (1962). Fascioliasis In Indonesian Livestock. Com.Vet., 6:49-52
Espino, A.M., R. Marcet and C.M. Finlay (1990). Detection of circulating excretory-secretory antigens in
human fascioliasis by sandwich linked immonosorbent assay. J. of Clin. Microb., 28:2637-2640
Espino, A.M. and C.M. Finlay (1994). Sandwich enzyme-linked immunosorbent assay for detection of
excretory-secretory antigens in humans with fascioliasis. J. Clin. Microbiol., 32:190-193
Fagbemi, B.O., I.O. Obarisiagbon and J.V. Mbuh. 1995. Detection of circulating antigen in sera of Fasciola
gigantica infected cattle with antibodies reactive with a Fasciola-specific 88-kDa antigen. Vet.
Parasitol., 58:235-246
Fagbemi, B.O. and E.E. Guobadia 1995. Immunodiagnosis of fasciolosis in ruminant using a 28-kDa
cysteine protease of Fasciola gigantica adult worms. Vet. Parasitol., 57:309-318
Hillyer, G.M., M. Soler DeGalanes, J. Rodriguez-Perez, J. Bjorland, M.S. DeLagrava, S.R. Guzman and
R.T. Bryan. 1992. Use of the falcon assay screening test-enzyme-linked immunosorbent assay
(FAST-ELISA) and the enzyme-linked immonoelectrotransfer blot (EITB) to determine the
prevalence of human of fascioliasis in the Bolivian Altiplano. Am. J. Trop. Med. Hyg., 46:603-609
Hillyer, G.V. 1993. Serological diagnosis of Fasciola hepatica. Parasitol. al dia, 17:130-136
Ibarra, F., N. Montenegro, Y. Vera, C. Boulard, H. Quiroz, J. Flores and P. Ochoa. 1998. Comparison of
three ELISA tests for sero-epidemiology of bovine fasciolosis. Vet. Parasitol., 77:229-236
Marin, M.S. 1992. Epizootiologia de la fasciolosis bovine Asturias Identification y expresion de un antigeno
unitario. Tesis Doctoral. Facultat de Biologia, Universidad de Oviedo
Suhardono, S. Widjajanti, P. Stevenson and I.H. Carmichael 1991. Control of Fasciola gigantica with
triclabendazole in Indonesian cattle. Trop. Anim. Health and Production, 23:217-220
Wiedosari, E., H. Hayakawa and B. Copeman. 1999. Response of Buffalo, Ongole and Bali calves to
infection with 15 metacercariae of Fasciola gigantica twice weekly for 32 weeks. Second Annual
Fasciolosis control coordination meeting. Davao, Southern Mindanao
Wijfferls, G.L., L. Salvator, M. Dosen, J. Waddington, L. Wilson, C. Thompson, N. Campbell., J. Sexton., J.
Wicker, F. Bowen, T. Friedel and T.W. Spithill. 1994. Vaccination of sheep with purified cystein
proteinases of Fasciola hepatica decreases worm fecundity. Exp. Parasitol., 78:132-148

39

Das könnte Ihnen auch gefallen