Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
1 April 2014
MEDICINUS
MEDICINUS
BOARD OF EDITORIAL
Chief Editor: Dr. Raymond R. Tjandrawinata,
MBA, PhD.
Executive Editor: dr. Ratna Kumalasari.
Editorial Staff: Liana W Susanto, M biomed.,
dr. Lubbi Ilmiawan, dr. Prihatini Hendri, Puji
Rahayu, S. Farm, Apt., Anggie Karunia S.
Kristyanti, S.Farm., MM., Apt., Taufik Akbar,
S.Farm., Apt., Kosmas Nurhadi Indrawan,
S.Farm., Apt., Ana Widyaningsih S.Farm.,
Natalia Ni Putu Olivia Paramita S.D., S.Farm.,
Apt., Lolitha Henrietta Latuputty, S.Farm.,
Apt., Indra Manenda Rossi, S.Sos, Yosephine
D. Hendrawati S.Farm., Apt.
Peer Review: Prof. Arini Setiawati, Ph.D,
Jan Sudir Purba, M.D., Ph.D, Prof. Dr. Med.
Puruhito, M.D., F.I.C.S., F.C.T.S.
Editorial Office: Titan Center, Lantai 5, Jalan
Boulevard Bintaro B7/B1 No. 05, Bintaro Jaya
Sektor 7, Tangerang 15224, Indonesia, Tel.
+62 21 7454 111, Fax. +62 21 7453111,
Email: medical@dexa-medica.com,
Website: http://cme.medicinus.co/
contents
1 CONTENTS
2 Instruction for Authors
3 PERSPECTIVE
5
8
23
24
LEADING ARTICLE
Penyakit Refluks Gastroesofageal (GERD)
Inlacin Therapy in Patients with Type-2 Diabetes
Mellitus (The Prospective Surabaya-Inlacin Study)
Profil Produk REDACID
Profil Produk INLACIN
Contribution
Medicinus Editors accept participation in
form of writings, photographs and other
materials in accordance with the mission of
this journal. Editors reserve the right to edit
or modify the writings, particulary redactionally without changing the content of the
published articles, if necessary.
MEDICAL NEWS
59 Smartphone Menjajah, Gangguan Kesehatan
Bertambah!
60 Sering Mengorok?
Gabung dengan Klub Menyanyi!
Tidur Siang Tingkatkan Kemampuan
Belajar Si Kecil!
62 Maksimalkan Mutu RS Guna Meminimalisir
Arus Berobat ke Luar Negeri
64 CALENDAR EVENT
MEDICINUS
ralat
Berikut adalah gambar grafik yang benar dari artikel "Efektivitas Ekstrak Daun Zaitun (Olive, Olea
europaea) Dibandingkan dengan Captopril dalam Menurunkan Tekanan Darah pada Pasien Hipertensi Derajat 1" pada halaman 30, Medicinus edisi Agustus 2013, Vol. 26 No. 2.
Gambar 2. Perbandingan nilai baseline dan akhir penelitian (minggu ke-8) within-group dari tekanan darah sistolik dan diastolik, kadar kolesterol total dan trigliserida pada masing-masing
kelompok. *: berbeda signifikan pada a = 0,05; **: berbeda signifikan pada a = 0,01.
Gambar 3. Kadar plasma trigliserida pada subgrup dengan kadar trigliserida baseline > 200mg/
dL. Jumlah subjek pada kelompok olive (n=15) dan captopril (n=9). Pada masing-masing kelompok (within-group), analisis dilakukan terhadap baseline. *: berbeda signifikan pada a = 0,05; **:
berbeda signifikan pada a = 0,01.
MEDICINUS
MEDICINUS Editors receive original papers/articles of literature review, research or case reports with original photographs in the field
of Medicine and Pharmacy.
1. The article that is sent to the Editor are any papers/articles that
have not been published elsewhere in print. Authenticity and accuracy of the information to be the responsibility of the author(s).
2. The paper should be type in MS Word program and sent to our
editorial staff via e-mail: medical@dexa-medica.com
3. Should be type with Times New Roman font, 12 point, double
space on quarto size paper (A4) and should not two side of printing.
4. The paper should be max. 8 pages.
5. All type of articles should be completed with abstract and keyword. Abstract should not exceed 200 words.
6. The title does not exceed 16 words, if more please make it into
sub title.
7. The authors name should be completed with correct address.
8. Please avoid using abbreviations, acronyms.
9. Writing system using a reference number (Vancouver style)
10. If there are tables or images please be given a title and description.
11. The papers that have been edited if necessary will be consulted
to the peer reviewer.
12. The papers should be given with data of the authors / curriculum
vitae, and the email address (if any), telphone number / fax that
can be contacted directly.
ARTICLES IN JOURNALS
1. Standard journal article
Vega KJ, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with
an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med
1996; 124(11):980-3. More than six authors: Parkin DM, Clayton
D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 years follow-up. Br J Cancer
1996; 73:1006-12
2. Organization as author
The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical Exercise Stress Testing. Safety and performance guidelines. Med J
Aust 1996; 164:282-4
3. No author given
21st century heart solution may have a sting in the tail. BMJ 2002;
325(7357):184
4. Article not in English
Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar
seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen
1996; 116:41-2
5. Volume with supplement
Shen HM, Zhang QE. Risk assessment of nickel carcinogenicity
and occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994; 102
Suppl 1:275-82
6. Issue with supplement
Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Womens psychological reactions to breast cancer. Semin Oncol 1996; 23(1 Suppl 2):89-97
7. Volume with part
Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in
non-insulin dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem
1995;32(Pt 3):303-6
8. Issue with no volume
Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap lacerations of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990; 107(986 Pt
1):377-8
9. Issue with no volume
Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995; (320):110-4
10. No volume or issue
Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of the cancer patient and the effects of blood transfusion on antitumor responses.
Curr Opin Gen Surg 1993:325-33
11. Pagination in roman numerals
Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Introduction Hematol Oncol Clin North Am 1995; Apr;
9(2):xi-xii
MEDICINUS
perspective
MEDICINUS
Leading article
Konsultan Gastroenterohepatologi
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana Jakarta
Refluks gastroesofageal sebenarnya merupakan proses fisiologis normal yang banyak dialami orang
sehat, terutama sesudah makan.1 PRGE atau Penyakit refluks gastroesofageal (gastro-esophageal reflux
disease/GERD) adalah kondisi patologis dimana sejumlah isi lambung berbalik (refluks) ke esofagus
melebihi jumlah normal, dan menimbulkan berbagai keluhan.1,2 Refluks ini ternyata juga menimbulkan
symptoms ekstraesofageal, disamping penyulit intraesofageal seperti striktur, Barrett's esophagus atau
bahkan adenokarsinoma esofagus.1,2
PRGE dan sindroma dispepsia mempunyai prevalensi yang sama tinggi, dan seringkali muncul dengan simptom yang tumpang tindih sehingga menyulitkan diagnosis. Dispepsia non ulkus, di masa
lalu diklasifikasikan menjadi 4 subgrup yaitu dispepsia tipe ulkus, dispepsia tipe dismotilitas, dispepsia
tipe refluks dan dispepsia non spesifik. Namun kemudian ternyata dispepsia tipe refluks dapat berlanjut
menjadi penyakit organik yang berbahaya seperti karsinoma esofagus. Karena itulah para ahli sepakat
memisahkan dispepsia tipe refluks dari dispepsia dan menjadikan penyakit tersendiri bernama penyakit
refluks gastroesofageal.3
Prevalensi PRGE di Asia, termasuk Indonesia, relatif rendah dibanding negara maju. Di Amerika, hampir
7% populasi mempunyai keluhan heartburn, dan 20%-40% diantaranya diperkirakan menderita PRGE.
Prevalensi esofagitis di negara barat berkisar antara 10%-20%, sedangkan di Asia hanya 3%-5%, terkecuali Jepang dan Taiwan (13-15%).2,4 Tidak ada predileksi gender pada PRGE, laki-laki dan perempuan
mempunyai risiko yang sama, namun insidens esofagitis pada laki-laki lebih tinggi (2:1-3:1), begitu pula
Barrett's esophagitis lebih banyak dijumpai pada laki-laki (10:1).1PRGE dapat terjadi di segala usia, namun
prevalensinya meningkat pada usia diatas 40 tahun.1
Patogenesis PRGE meliputi ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan faktor defensif dari bahan refluksat (gambar 1).
MEDICINUS
leading article
MEDICINUS
reflux disease). Kesulitan dapat terjadi dalam membedakan dispepsia fungsional dengan NERD, karena
sama-sama mempunyai hasil endoskopi normal.
Apalagi dalam klinis GERD/NERD sendiri mempunyai
simptom yang tumpang tindih dengan sindroma dispepsia, dan dapat muncul bersama dispepsia.3
Di sarana kesehatan yang belum mampu melakukan pemeriksaan endoskopi SCBA, wawancara dengan kuesioner khusus juga dapat digunakan untuk
membantu menegakkan diagnosis dan memantau
keberhasilan terapi PRGE. Kuesioner ini juga membantu bila pasien menolak tindakan endoskopi. Salah
satu kuesioner yang banyak digunakan di Indonesia
adalah GERD-Q. Kuesioner yang berisi 6 pertanyaan
ini telah divalidasi dan direkomendasi dalam revisi
konsensus nasional tatalaksanana PGRE.4 Kuesioner
lain yang banyak di gunakan di Jepang adalah FSSG
(frequency scale for the symptoms of GERD). FSSG telah
divalidasi terhadap temuan endoskopik dan didapatkan sensitifitas 62%, spesifisitas 59%, akurasi 60%
pada cut off 8.11-12
Konsensus nasional penatalaksanaan PRGE 2013
(gambar 3a dan 3b) menyepakati terapi proton
pump inhibitor (PPI) test bila ditemui keluhan klinis
PRGE tanpa tanda alarm. Sebaliknya bila ada tanda
alarm langsung dirujuk untuk investigasi, termasuk
pemeriksaan endoskopi. Bila PPI test positif, maka
diagnossi PGRE dapat ditegakkan dan terapi dilanjutkan selama 8 minggu. Bila temuan endoskopi sesuai
dengan PRGE maka diberikan terapi PPI dosis ganda
sebagai lini pertama, selama 4-8 minggu. Dosis yang
disarankan ialah omeprazol 2 x 20 mg, atau lansoprazol 2 x 30 mg, atau pantoprazol 2 x 40 mg, atau
esomeprazol 2 x 40 mg. Kombinasi PPI dengan prokinetik memberikan hasil yang lebih baik, terutama
pada PRGE dengan skor FSSG yang tinggi.10
Beberapa studi dewasa ini mendapatkan efek yang
menjanjikan dari fraksi bioaktif dari Cinnamomum
burmanii, yang dinamakan DLBS2411. DLBS2411 ini
terbukti dapat menghambat ekspresi gen H+/K+ATPase, menghambat aktifitas H+/K+ATP-ase, sehingga
dapat bekerja sebagai antiulcer agent, serta mereduksi proses hyperoxidase sehingga bekerja sebagai
antioksidan.13 Studi pada hewan yang dilakukan oleh
Tjandrawinata dkk14 mendapatkan bahwa DLBS2411
dapat mengurangi ulkus gaster yang diinduksi oleh
indometasin dan etanol. Temuan ini membuktikan
efek gastroprotektif. Lebih jauh lagi, DLBS2411 juga
ternyata mempunyai efek antioksidan. Disimpulkan,
DLBS2411 adalah temuan novel yang menjanjikan
untuk mengatasi hiperasiditas, termasuk pada PGRE.
leading article
Selain terapi medikamentosa, pada tatalaksana PRGE sejumlah terapi non medikamentosa berupa modifikasi gaya hidup juga tidak kalah pentingnya, yaitu meninggikan posisi kepala saat tidur, menghindari makan
menjelang tidur, berhenti merokok dan alkohol (mengurangi tonus SEB), kurangi lemak dan jumlah makanan
(meningkatkan distensi lambung), turunkan berat badan, jangan berpakaian ketat (meningkatkan tekanan intraabdomen), hindari teh, coklat, peppermint, kopi, minuman bersoda (meningkatkan sekresi asam), hindari: antikolinergik, teofilin, diazepam, opiat, antagonis kalsium (menurunkan tonus SEB).2,5
daftar pustaka
1. Fisichella PM, Patti MG.Gastroesophageal reflux disease (cited,
2010 August 24). Available from url:http://emedicine.medscape. com/article/176595-overview,
2. Makmun D. Penyakit refluks gastroesofageal. Dalam: Sudoyo
AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.hlm.317-321
3. Simadibrata M. Dispepsia and gastroesophageal reflux disease
(GERD): Is there any correlation?. Acta Med Indones-Indones J
Intern Med 2009; 41(4):222-7
4. Syam AF, Aulia C, Renaldi K, Simadibrata M, Abdullah M, Tedjasaputra. Revisi konsensus nasional penatalaksanaan penyakit refluks gastroesofageal (Gastro-esophageal Reflux Disease/
GERD) di Indonesia 2013. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia; 2013.hlm.4-9,14-16
5. Djojoningrat D. Penyakit refuks esophageal. Dalam: Rani AA,
Simadibrata M, Syam AF. Buku Ajar gastroenterologi. InternaPublising. Jakarta, 2011.hlm. 245-5
6. Malekzadeh R, Moghaddam SN, Sotoudeh M. Gastroesophageal reflux disease: the new epidemic (cited 2010 August 25).
Diunduh dari url:http://www.ams.ac.ir/aim/0362/ 0362127.
htm.
7. Vakil N, van Zanten S, Kahrilas P, Dent J, and Jones R: The Montreal definition and classification of gastroesophageal reflux
disease: a global evidence-based consensus. Am J Gastroenterol 2006;101:1900-20.
8. Armstrong D, Gittens S, Vakil N . The montreal consensus and
the diagnosis of gastroesophageal reflux disease (Gerd):A central american needs analysis. CDDW 2008 (cited, 2010 August
MEDICINUS
Leading article
ABSTRACT
Prospective study on DLBS3233 (Inlacin) which is called Surabaya-Inlacin Study (SIS) has been performed (2012-2013) by SURABAYA DIABETES and NUTRITION CENTER (SDNC) by using modified rocket
system design (Tjokroprawiro 1978). As seen in the map of OAD (Oral Anti Diabetes) which has been
illustrated TABLE-1, Inlacin (DLBS3233) is catagorized in a class of insulin sensitizer. Surabaya Diabates
and Nutrition Centre investigated this novel insulin sensitizer (2012-2013) through a study titled: The Effect of add-on therapy with DLBS3233 on glycemic control, lipid profile and adiponectin in patients with
type-2-diabetes mellitus). A sample size of 50 type-2-diabetes mellitus (T2DM) patients with A1C level
of 7.0 % after at least a 3-month therapy with a combination of metformin plus one or more oral OADs
were enrolled in a 12-week study period. The study has currently been finished. The complete results and
conclusions are presented in this paper, under Section IV.
Interestingly, after 12 weeks of treatment with Inlacin on top of the other OADs previously taken by
the subjects, a significant metabolic improvement consisting of: reduced 1-hour post prandial glucose
(p<0.021), reduced A1C (p<0.001), reduced LDL Chol (p<0.020), reduced total Chol. (p<0.013), and increased adiponectin (p<0.001), was demonstrated. While regarding HOMA-R, we found an insignificant
reduction at week-12 (p<0.281); however, it was significant at week-6 (p<0.043). In addition, particularly for the subgroup of subjects with routine exercise, the effect of Inlacin treatment on HOMA-R was
found more powerful than that in non-exercise subgroup, and significant reduction of HOMA-R at week6 (p=0.05) was obtained (TABLE-F).
Conclusion: The study concluded that add-on therapy with Inlacin (DLBS3233) in T2DM patients was
effective and safe in improving glycemic control and lipid profile, as well as increasing adiponectin level.
It was also indicated in this study that implementing routine physical activity plus this novel insulin sensitizer may result in a more powerful effect.
INTRODUCTION:
Based on clinical experiences in daily practice, OAD can be categorized into 6 groups briefly described
below:
1. Insulin Secretagogues: SUs : Gliquidone, Glipizide, Gliclazide, Glibenclamide, Glimepiride; Non-Sulphonylureas (Metaglinides) : Nateglinide, Repaglinide (Dexanorm); GPR40 Agonist (TAK-875) : 50-200 mg
once/day. Long-chain fatty acids amplify glucose-stimulated insulin secretion, and increases GLP-1
level; GLIMIN (new tetrahydrotriazine-containing class) : IMEGLIMIN (1500 mg twice/day): increases
insulin secretion, increases muscle glucose uptake, and decreases hepatic glucose production.
2. Insulin Sensitizers:
A. Thiazolidinediones (TZDs): Glitazone Class (Pioglitazone, Neoglitazone, Darglitazone).
B. Non-TZDs:
i. Glitazar Class (Muraglitazar, Ragaglitazar, Imaglitazar, Tesaglitazar = MRIT); Muraglitazar has been
withdrawn
ii. Non-Glitazar Class (Metaglidasen: Non Edema and Non Weight Gain)
MEDICINUS
leading article
INSULIN SECRETAGOGUE
3 GPR40 Agonist (TAK-875) : 50-200 mg once/day. Long-chain FAs amplify glucose-stimulated insulin secretion, GLP-1
4 GLIMIN (new tetrahydrotriazine-containing class) : IMEGLIMIN (1500 mg twice/day) : Insulin, Muscle glucose uptake,
II
INSULIN SENSITIZER
III
IV
INCRETIN-ENHANCER
HGP
V
VI
(Rosi-*),
1
2
DPP-4 Inhibitors
GLP-1 Enhancers
Thiazolidinediones (TZDs) such as pioglitazone and biguanide (metformin) as previous insulin sensitizers have been available in Indonesia for years. However, Inlacin (DBLS3233), the novel sensitizer (see the
Insulin Sensitizer Group in TABLE 1), has been recently launched and available in the first months
of the year 2011
TABLE-2 CURRENT CRITERIA FOR THE DIAGNOSIS OF DIABETES-ADA 2013
The aim of this article is to
introduce the
novel insulin
sensitizer,
Inlacin (DLBS3233) with its 7 (seven)
STANDARDS
of MEDICAL
CARE
in DIABETES-2013
unique possible mechanisms
of
action
underlying
several
metabolic
improvements
demonstrated in
Diabetes Care 36 (Suppl 1), S12, January 2013, Summarized : Tjokroprawiro
2013
our Inlacin-study performed in Surabaya), to the residents of internal medicine and their associates,
internists, and associated
spesialists.
The test should be performed in a laboratory using a
1 A1C >6.5%.
method that in NGSP certified and standardized to the DCCT assay. *)
or
FPG >126 mg/dL (7.0 mmol/L). Fasting is defined as no caloric intake for at
least 8 h. *)
or
performed as described by the WHO, using a glucose load containing the equivalent of 75 g
MEDICINUS
leading article
TABLE-1. Map of Oral Anti Diabetes (OAD) in Daily Practice
INSULIN SECRETAGOGUE
I. RECENT INFORMATION
ABOUT DIABETES
advantages
and(SGLT2)-Inhibitors:
disadvantages of A1C meas1 SodiumThe
(OS) TYPE
GLucose
co Transporter-2
VI OTHER SPECIFIC
Seragliflozin,
AVE-2268,
1 ASP1941, BI 10773 , Canagliflozin, Dapagliflozin,
MELLITUS IN 2011-2013
urements
areRemogliflozin,
summarized
below.
KGT-1681, LX-4211, TS-033, YM-543 2 Glucokinase Activator (GKA): MTBL1, MK-0941.
Advantages
of
A1C
measurement:
3 Oxphos-Blocker 4 FBPase Inhibitor 5 INCB13739 (11 HSD1inhibitor) 6 Berberine
Based on the report of Clinical Practice Recom1. A1C, a picture of the average of BG level over the
preceding 2-3 months
mendation 2011 of the American Diabetes Asso2. Its values vary less than FPG (Fasting Plasma
ciation (ADA) published in Diabetes Care JanuGlucose)
TABLE-2 CURRENT CRITERIA FOR THE DIAGNOSIS OF DIABETES-ADA 2013
STANDARDS of MEDICAL CARE in DIABETES-2013
Diabetes Care 36 (Suppl 1), S12, January 2013, Summarized : Tjokroprawiro 2013
FPG >126 mg/dL (7.0 mmol/L). Fasting is defined as no caloric intake for at
least 8 h. *)
2-h PLASMA GLUCOSE >200 mg/dL (11.1 mmol/L) during an OGTT. The test should be
performed as described by the WHO, using a glucose load containing the equivalent of 75 g
anhydrous glucose dissolved in water.
*)
or
or
or
ASK-SDNC
10
MEDICINUS
leading article
resistance.
3. Inlacin (DLBS3233) increases genes expression
of PPAR and PPAR which results in increased
GLUT-4 synthesis, increased PPAR number, stimulated GLUT-4 activities (translocation, etc).
4. Inlacin stimulates GLUT-4 translocation from
cytoplasm to membrane.
5. Inlacin decreases TNF leading to a decreased
FFA decreased translocation of PKC and decreased PKC decreased serine phosphorylation and finally resulting in a decreased insulin
resistance. Inlacin also directly decreases translocation of PKC and decreases PKC and then
suppresses serine phosphorylation; and on the
other hand, it stimulates phosphorylation of tyrosine, and hence, decreased insulin resistance
can be pursued.
6. Inlacin increases adiponectin level
MEDICINUS
11
leading article
12
MEDICINUS
leading article
MEDICINUS
13
leading article
Study Objectives
1. To investigate clinical efficacy of add-on therapy with DLBS3233 in improving blood glucose control,
lipid profile and adiponectin in subjects with type-2-diabetes mellitus.
2. To investigate the safety of add-on therapy with DLBS3233 in subjects with type-2-diabetes mellitus.
V. THE RESULTS OF THE SURABAYA-INLACIN STUDY (SIS)
14
MEDICINUS
is much better.
7. ADIPONECTIN (Apn, TABLE-E) :
+0.45mg/mL (W 6: 8.99%) p = 0.148 (not significant),
+1.05mg/mL (W 12: 21.18%) p = 0.001.
But for Routine Exercise subgroup:
+0.98mg/mL (W 6: 17.98%) p=0.028.
+1.07mg/mL (W 12: 19.23%) p = 0.019
8. HOMA-R: 0.77 (W 6:16.84%) p = 0.043; 0.50
(W 12: 10.88%) p = 0.281 (NS).
For Routine Exercise subgroup (n=25): 1.12 (W 6:
32.13%) p=0.050
9. IMPROVEMENT IN HOMA-B (overall) was not
significant, but improvement in routine Exercise
Group is much better than that in Non-routine
Exercise subgroup.
10. NO EFFECT ON BODY WEIGHT : +0.36 kg (W 6)
p = 0.218; +0.23 kg (W 12) p = 0.412
11. NO SIGNIFICANT CHANGE IN HEART RATE AND
DIASTOLIC BLOOD PRESSURE (BP), HOWEVER
THERE IS A SIGNIFICANT REDUCTION IN SYSTOLIC BP FROM BASELINE AT WEEK-6 (from 131,12 to
124,29 mmHg, p=0.006), AND AT WEEK-12 (from
131,12 to 123,67 mmHg, p=0.004)
12. NO CLINICALLY SIGNIFICANT ADVERSE EVENTS
leading article
At WEEK 12, about 12.0% of subjects reached the target A1C level of less than 7.0%
MEDICINUS
15
leading article
16
MEDICINUS
leading article
reference
1. Dexa Medica (2010). Product Monograph DLBS3233
2. Investigators Brochure DLBS3233. Dexa Medica (2010)
3. Nailufar F, and Tjandrawinata RR (2011). Effects of DLBS3233,
an insulin sensitizer, on fructose-induced insulin resistance rat.
Medicinus 24,13
4. Shan CY, Yang JH, Kong Y, Wang XY, Zheng NY, XU YG, et al (2013).
Alteration of the Intestinal Barriers and GLP-2 secretion in Berberine-treated type 2 diabetic rats. Journal of Endocrinology
218, 255
5. Tandrasasmita OM, Wulan DDDR, Nailufar F, et al (2011).
DLBS3233 increases glucose uptake by mediating upregulation
of PPAR and GLUT4 expression. Biomedicine and Preventive
Nutrition (In press)
6. Tjandrawinata R, Suastika K, Noflarny D (2010). DLBS-3233 extract and its low risk of hypoglycemia in normoglycemic nonobese healthy subjects: a phase-I study. Phytotherapy Research.
http://mc.manuscriptcentral.com/ptr
7. Tjokroprawiro A (1978). The Dietetic Regimen for Indonesian
Patients with Diabetes Mellitus. Surabaya, Airlangga University
Press, Surabaya January 14
8. Tjokroprawiro A (2010). GalvusMet: the Novel FDC of Vildagliptin and Metformin (Its Roles on Metabolic Cardiovascular Complications in T2DM). Joint Symposium SUMETSU-7, MECARSU-7,
and SOBU-2. Surabaya, 12-13 February
9. Tjokroprawiro A (2011A). Inlacin : The Novel Insulin Sensitizer
with Mecar Effects (From 4 Unique Mechanisms to 18 Possible
Therapeutic Benefits). Launching Symposium. Surabaya 19
March
10. Tjokroprawiro A (2011B). Inlacin (DLBS-3233): The Novel Insulin
Sensitizer (From Theory to Clinical Benefits for Pts with Diabetes
Mellitus). Symposium III. Makassar, 16 - 17 July
11. Tjokroprawiro A (2011C). Inlacin (DLBS-3233): The Novel Insulin
Sensitizer with Multiple Unique Mechanism (Its Clinical Benefits
for Patients with Diabetes Mellitus). Symposium PKB-XXVI. Surabaya, 22-24 July
12. Tjokroprawiro A (2011D). Clinical Uses of Inlacin in Daily Practice
for Pts with T2DM (Its Clinical Benefits for Patients with Diabetes
Mellitus). Symposium SDU-XXI & SOBU-3. Surabaya, 8-9 October
13. Tjokroprawiro A (2011E). Inlacin (DLBS3233) : the Novel Insulin
Sensitizer with 5 Unique Mechanisms (Its Roles on Monoand
Addon Therapy in Pts with T2DM). Medan, 20 November
14. Tjokroprawiro A (2012A). Inlacin, the Novel Insulin Sensitizer for
Patients with T2DM (Its Roles on Monoand Addon Therapy).
Banda Aceh, 28 January
15. Tjokroprawiro A (2012B). Inlacin, the Novel Insulin Sensitizer in
Clinical Practice (Its Roles on Monoand Addon Therapy for Patients with Diabetes). Padang, 11-12 February
16. Tjokroprawiro A (2013A). The Roles of Inlacin in the Management of Patients with T2DM. (Clinical Experiences and the Results
of Prospective Study on Inlacin). Temu Ilmiah Penyakit Dalam
2013. Holistic Management in Internal Medicine, from EBM to
Application . Palembang, 11 May
17. Tjokroprawiro A (2013B). Clinical Review of DLBS3233 (Inlacin)
on Patients with T2DM (Prelimenary Results of the Prospective
Study in Surabaya). The 7th DOCLink Jakarta, 14-16 June
18. Tjokroprawiro A (2013C). Clinical Review of DLBS-3233 (Inlacin)
on Patients with T2DM. Clinical Review of DLBS-3233 (Inlacin)
on Patients with T2DM (Provided with the Results of Prospective
Inlacin-Study in Surabaya). Medical Seminar : Scientific SessionII. Balikpapan Diabetes Update-2013. Balikpapan, 13 October
19. Tjokroprawiro A (2013D). Inlacin as Add-on Therapy in Patients
with T2DM (Provided with the Results of the Prospective InlacinStudy in Surabaya). SUMETSU-10, MECARSU-10, SOBU-7,
SDU-24. Surabaya, 19-20 October
20. Tjokroprawiro A (2013E). Clinical Review of DLBS3233 (Inlacin)
on Patients with T2DM (Provided with the Results of Prospective
Study in Surabaya) HP EXTRA-I Healthy Palu Exhibition & Training-I 2013. PALU, 2 November
21. Tjokroprawiro A (2013F). Inlacin : the Novel Insulin Sensitizer
Produced in Indonesia (Back up: the Results Surabaya-Inlacin
Study in Patients with Diabetes) East Indonesia Endometabolic
Up Date VIII. Manado, 9 November
MEDICINUS
17
18
MEDICINUS
profil produk
redacid
Berdasarkan hasil penelitian, perdarahan saluran pencernaan bagian atas merupakan kasus kegawatdaruratan yang paling sering ditemukan di Unit Gawat Darurat (UGD) dengan angka kematian
mencapai 5%-15%. Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, didapatkan 26% kasus
pada tahun 1995. Dalam Jurnal Gut (2002), sekitar 35%-50% penyebab dari perdarahan akut saluran
cerna atas adalah tukak lambung atau ulkus peptikum. Ulkus peptikum merupakan suatu kerusakan atau hilangnya jaringan mukosa, submukosa sampai lapisan otot di saluran cerna yang terpajan
cairan lambung (asam dan pepsin). Umumnya, pasien datang dengan gejala nyeri ulu hati, karena
rangsangan asam lambung yang menimbulkan erosi dan peradangan kimiawi. Ada kalanya penderita tidak merasakan nyeri, meski sudah dalam kondisi cukup berat.
Kini ada pilihan baru dalam pengobatan ulkus peptikum, yaitu Redacid, bioactive fraction DLBS2411
yang diisolasi dari Cinnamomum burmannii (kayu manis). Obat ini sudah melalui berbagai macam
test laboratorium secara molekuler dan terbukti secara ilmiah mampu bekerja sebagai proton pump
down regulator, proton pump inhibitor dan mempunyai sifat farmakologis gastro protector.
Pada uji anti sekresi asam, bioactive fraction DLBS2411 terbukti menurunkan ekspresi pembentukan
mRNA H+/K+/ATPase pada sel HEK 293 dan sel parietal lambung tikus wistar secara in vitro dan ex
vivo. Penghambatan aktivitas H+/K+/ATPase oleh DLBS2411 sangat bergantung pada pH lambung.
Studi menunjukkan DLBS2411 paling baik bekerja pada pH 2 dengan IC50 paling rendah 9,20 mcg/
ml dibandingkan pH 7,4 (IC50= 29,20cg/ml) dan pH 4 (IC50= 18,70 mcg/ml). Pada uji hewan peptic
ulcer yang diinduksi oleh indomethacin dan ethanol, DLBS2411 mengurangi jumlah peteki dengan
menurunkan aktivitas enzim H+/K+/ATPase.
Bioactive fraction DLBS2411 juga bekerja sebagai gastroprotektor dengan meningkatkan sekresi mucus, PGE2, gen COX-2, Nitric Oxide (NO), dan gen MUC5A/C serta menunjukkan aktivitas antioksidan
dengan pembanding ascorbic acid.
Gambar 1. Redacid sebagai proton pump inhibitor menghambat enzim H+/K+ ATPase pada pH 7,4; pH 4; pH 2 dimana pH
makin asam dan konsentrasi makin tinggi akan menurunkan aktivitas enzim H+/K+ ATPase
MEDICINUS
19
Gambar 3. Persentase jumlah individu sehat pada kelompok Redacid 250 mg yang mencapai
pH > 4 lebih tinggi daripada kelompok placebo dalam 12 jam pertama (94% vs 75%)
Gambar 4. Redacid memiliki onset of action pada 12 menit pertama setelah pemberian 250
mg dosis 1 x 1 kaplet pada individu sehat
20 MEDICINUS
Gambar 5. Redacid 250 mg dengan dosis 1 x 1 kaplet sehari memiliki rata-rata pH lambung 24
jam lebih tinggi (pH 2,3) dibandingkan omeprazole 10 mg (pH 1,4) dan 20 mg (pH 1,8) pada
individu sehat
Dalam clinical study report-nya, dr. Murdani Abdullah, SpPD-KGEH et al melakukan penelitian terhadap efek bioactive fraction DLBS2411 pada regulasi pH lambung individu sehat diban-dingkan dengan penggunaan placebo. Sebanyak 94% individu pada kelompok bioactive fraction DLBS2411 250
mg dibandingkan dengan mereka yang diberikan placebo mampu mencapai pH >4 dalam 12 jam
dengan onset of action selama 12 menit setelah diberikan single dose 250 mg. Dibandingkan dengan
omeprazole, Redacid 250 mg menaikan rata-rata pH lambung (pH 2,3) lebih baik dibandingkan pemberian Omeprazole 10 mg (pH 1,4) dan 20 mg (pH 1,8) pada individu sehat .
Profil keamanan bioactive fraction DLBS2411 yang baik ditunjukkan dengan tidak mempengaruhi vital sign, fungsi hati, fungsi ginjal maupun fungsi hematologi.
PROFIL PRODUK REDACID
Komposisi:
Tiap kaplet mengandung
bioactive fraction DLBS2411
Cinnamomum burmannii 250 mg
Kegunaan:
membantu meringankan gangguan pada
lambung
Daftar Pustaka:
MEDICINUS
21
Gambar
1. Bioactive fraction DLBS3233 mengembalikan fosforilasi thyrosine pada resep22 MEDICINUS
tor insulin melalui peningkatan PI3 kinase dan Akt.
profil produk
inlacin
PENDAHULUAN
Sekarang ini, semakin banyak penggunaan obat
herbal dan suplemen makanan. Beberapa studi
menunjukkan penderita diabetes lebih menyukai menggunakan obat herbal atau suplemen
dibandingkan dengan orang yang tidak diabetes. The NHIS (National Health Interview Survey, di
Amerika) menemukan bahwa 22% penderita diabetes menggunakan obat herbal. Sementara studi
yang lain menunjukkan 31% menggunakan suplemen makanan. Namun, untuk menemukan informasi yang terpercaya mengenai manfaat, cara
penggunaan dan keamanan obat herbal masih
sangat sulit.
DLBS (Dexa Laboratories Biomolecular Science)
melakukan riset terhadap 2 tanaman asli Indonesia yaitu Cinnamomum burmannii atau dikenal dengan nama kayu manis dan Lagerstroemia speciosa
atau dikenal dengan nama bungur, untuk membuka informasi mengenai manfaat, cara kerja dan
keamanannya. Produk hasil riset ini dipasarkan
dengan merk dagang Inlacin, yang memiliki kandungan bahan aktif bioactive fraction DLBS3233. Inlacin bukan sekedar obat herbal pada umumnya,
pembuatannya menggunakan teknologi modern
yaitu TCEBS (Tandem Chemistry Expression Bioas-
Gambar 1. Bioactive fraction DLBS3233 mengembalikan fosforilasi thyrosine pada reseptor insulin melalui peningkatan
PI3 kinase dan Akt.
Vol. 27, No. 1 April 2014
MEDICINUS
23
PROFIL PRODUK
Komposisi:
Inlacin 50 mg, setiap kapsul mengandung bioactive fraction DLBS3233 50 mg
Inlacin 100 mg, setiap kapsul mengandung bioactive fraction DLBS3233 100 mg
Kegunaan:
Membantu menurunkan kadar glukosa darah
Dosis:
1 kapsul, sekali sehari, monoterapi atau kombinasi.
Peringatan & Perhatian:
Hanya untuk penderita kencing manis atas
anjuran dokter
Selama penggunaan produk ini konsultasikan
pada dokter secara berkala
Efek Samping:
Tidak ada laporan terjadinya efek samping. Aman
jika digunakan pada dosis yang telah disarankan.
Kemasan & Nomor Registrasi:
Inlacin 50 mg, Kotak, 5 strip @6 kapsul, POM
TR.081391471
Inlacin 100 mg, Kotak, 5 strip @6 kapsul, POM
TR.081391481. (SDH, RKS)
24
MEDICINUS
daftar pustaka
1. Available from: http://www.diabetes.org/.
2. Klein G, Kim J, Himmeldirk K, Cao Y, Chen X. Antidiabetes and anti-obesity
activity of Lagerstroemia speciosa. Evid Based Complement Alternat Med
2007; 4:401407
3. Kim SH, Hyun SH, Choung SY. Anti-diabetic effect of cinnamon extract on
blood glucose in db/db mice. J Ethnopharmacol 2006; 104:119123
4. Nailufar F, Tjandrawinata RR. Effect of DLBS3233, an insulin sensitizer, on
fructose-induced insulin resistance rat. Medicinus 2011; 24:1317
5. Sukandar EY, Sigit JI, Adnyana IK. Study of acute, subchronic toxicity and
teratogenicity of DLBS 3233. Study report. Bandung Institute of Technology, Bandung 2008.
6. Sukandar EY, Sigit JI, Adnyana IK. Subchronic toxicity of DLBS-3233. Study
report. Bandung Institute of Technology, Bandung 2008.
7. Sukandar EY, Sigit JI, Adnyana IK. Teratogenic effect of DLBS-3233. Study
report. Bandung Institute of Technology, Bandung 2008.
8. Tandrasasmita, OM, et al. Glucose lowering effect of DLBS 3233 is mediated through phosphorylation of tyrosine and upregulation of PPAR
and GLUT-4 expression. International Journal of General Medicine 2011;
4:345-357.
9. Nailufar, F, et al. DLBS 3233 increase glucose uptake by mediating upregulation of PPAR and PPAR expression. Biomedicine & Preventive Nutrition
1 2011:71-78.
10. Tjandrawinata, RR, Suastika, K, et al. DLBS 3233 extract, a novel insulin sensitizer with neligible risk of hypoglycemia: a phase 1 study. International
Journal Diabetes & Metabolism 2012; 21:13-20.
11. Wijaya, L., Hendri, P, Nofiarny, D., Tjandrawinata RR. Clinical Trial Phase II of
DLBS3233. Dexa Medica, Jakarta 2010. Data on file.
12. Wijaya, L., Hendri, P, Nofiarny, D., Tjandrawinata RR. Clinical Trial Phase III of
DLBS3233. Dexa Medica, Jakarta 2013. Data on file.
13. Wiweko, et al. Klinik Yasmin 2012.
14. Hestiantoro, Andon. Inlacin Treatment in PCOS Patients. PEACE (PCOS,
Endometriosis, Adenomyosis
Conference & Exhibition) 2013.
15. Inlacin Package Insert. PT Dexa Medica.
research
4 skp
ABSTRACT
Introduction.
DLBS1033 as an oral antithrombotic and thrombolytic agent, is promising for the treatment of cerebrovascular disease, including Peripheral Artery Disease (PAD). The hallmarks of peripheral artery disease
(PAD) are intermittent claudication, rest calf pain, and gangrenous ulcer.
Objective.
This study aimed to describe the clinical picture and risk factors of intermittent claudication in Koja
Hospital, as well as investigate the efficacy of DLBS1033 in patients with intermittent claudication, as
measured by the improvement of Ankle Brachial Index (ABI).
Methods.
This was a preliminary, randomized, double-blind, and placebo-controlled study. The study enrolled 20
outpatients from Koja Hospital Internal Medicine Department (IM-OPD), who attended the study site
from April to August 2013. Patients were interviewed and measured for the Ankle Brachial Index (ABI),
then they were divided into two groups. Group A was given DLBS1033 (Disolf) tablet, one tablet three
times daily for 2 weeks, and group B was given placebo. After 2 weeks, ABI were reassessed and measured. The difference of ABI was compared between groups by independent t-test. Statistical analysis
was done using SPSS 20.
Results.
Among 20 subjects with ABI 0.9, 90% were females and mean age of all subjects was 54.47.2 years.
The most prevalent independent risk factors related with PAD observed were hypertension, diabetes, dyslipidemia, and lack of exercise. Before treatment, ABI in DLBS1033 group was 0.810.05 and in
Control group 0.820.04 (p=0.73). After 2 weeks of treatment, ABI in DLBS1033 group was significantly
higher than that of Control group (1.080.7 vs. 0.780.03,p<0.01). That finding was accompanied by a
significantly greater improvement of ABI in DLBS1033 group than that in Control group (0.271.6 vs.
-0.040.03, p<0.01). The mean post-test ABI in DLBS1033 group was significantly higher (p<0.01) than
its baseline value (0.810.05). On the contrary, the mean post-test ABI in Control group was even lower
(p=0.02) than its baseline value.
Conclusion.
In Koja Hospital, the mean age of PAD patients was 54.4 years old, with 90% of them were females. The
most prevalent independent risk factors for PAD were hypertension, diabetes, dyslipidemia, and lack of
exercise. DLBS211033 showed to improve ABI in patients with intermittent claudication.
Keywords: Lumbrokinase, peripheral artery disease (PAD), Intermittent claudication
MEDICINUS
25
research
INTRODUCTION
Atherothrombotic diseases generally manifest as ischemic stroke, transient ischemic attack (TIA), myocardial
infarction (MI), angina, and peripheral artery disease (PAD). The Peripheral artery disease is defined as an obstruction in the blood circulation due to atherothrombosis in the artery branches excluding the intracranial
and coronary circulation. The hallmark of PAD is recognized as intermittent claudication, resting calf pain,
and gangrenous ulcer.1
The prevalence of PAD still varies.1 A study by Arain in 20082 reported that intermittent claudication increased parallel with age. PAD patients in 55-80 and 80 years old group were estimated around 1% and
>5%, respectively. The classification of PAD according to progression of clinical symptoms from Fontaine is
described in table 1.3
Risk factors for PAD are as follows: age, smoking, hypertension, diabetes, lack of exercise and obesity.2,4
National Health and Nutrition Examination survey reported that in PAD patients, the highest prevalence were
among smokers, Afro-American, patients with glomerular filtration rate (GFR) < 60 ml/min, DM patients, and
hypercholesterolemia patients. Patients who progressed until stage III were related with diabetes, smoking,
ABI < 0.7, age > 65 years old, and hypercholesterolemia.2,4,5
Most patients with PAD are asymptomatic. The most common clinical presentation is intermittent claudication (stage II Fontaine classification).1,3,6 Symptoms occur if the blood vessel narrowed > 50%. Patients generally complain leg pain upon walking and flight of stairs, but usually the pain attenuates after rest. Other
than pain, the other most frequently complained by the patients are numbness, leg heaviness and weakness
when walking or climbing.6 Some patients with PAD will develop rest pain and gangrene ulcer in the lower
extremities.7,8
There are many procedures utilized to determine PAD. Generally Ankle Brachial Index (ABI), CT- Angiography (CTA), Magnetic Resonance Angiography (MRA), and Contrast Angiography (CA) are used extensively.
ABI measurement are determined by computing the ratio between systolic blood pressure from the lower
extremity (dorsalis pedis or tibialis posterior) and the upper extremity (brachial artery), and this value is
determined with Doppler ultrasound. The normal ABI is set in the value of more than 0.9 (Table 2). But some
literatures consider the ABI between 0.91-1.30 as normal (table 3).1,2,9,10
The goals in treating PAD are to limit symptoms and delay progression, which offer non-invasive approach
and revascularization. Non-invasive approach includes the management for dyslipidemia, diabetes, hypertension, antiplatelet, and specific therapy.2,11 The specific therapy for PAD is pentoxyfiline, cilostazol, and statin.2,11,12 The use of aspirin and antioxidant for primary prevention were not proven effective in patients with
PAD.13
DLBS1033 as antithrombotic and thrombolytic agent
Recently, earthworms (Lumbricus rubellas, family Lumbricidae) are used empirically in Indonesia, China, Japan, and in other East Asia region in treating some diseases.11 Some previous studies identified earthworm
with their antimicrobial, anti-inflammatory, and anti neoplastic properties. In 1992, Mihara found that earthworm can directly dissolve fibrin and activate plasminogen.14
26
MEDICINUS
research
The Lumbricus rubellus from Indonesia is eminent with fibrinolytic enzyme known as lumbrokinase. The Lumbrokinase has been extracted in the form of bioactive protein fraction named DLBS1033.15 The bioactive protein fraction has a fibrinolytic and fibrinogenolytic properties. The other properties of the protein are known
to reduce blood viscosity, platelet aggregation, and finally reduce thrombus formation in the blood vessel.
DLBS1033 is known as an oral fibrinolytic agent with rapid onset and short acting. In one study done using
a fibrin plate, the fibrinolytic process occured in the first hour after incubation and had the activity after 12
hours.15 Lumbrokinase is absorbed mostly from the intestinal epithelium, thus enables the drug to be given
orally. The oral thrombolytic properties of Lumbrokinase have been being investigated extensively, mainly
for the vascular diseases.14,15,16
A pilot study which evaluated the efficacy of lumbrokinase in patients with chronic stable angina showed
that patients given lumbrokinase for 30 days were associated with the improvement of the myocardial perfusion. From 10 samples, 6 samples (60%) showed a reduction in duration and frequency of the angina attack.
The exact mechanism of lumbrokinase to improve symptoms remains unclear. Lumbrokinase was hypothesized to have anti ischemic properties in conjunction with the fibrinolytic properties, have the ability to
modify coagulation function, directly improve endothelial function or promote angiogenesis. The anti-inflammatory effect of lumbrokinase also associated with atherosclerosis and plaque stability.11,16
This study aimed to describe the clinical picture and risk factors of intermittent claudication in Koja Hospital,
as well as to investigate the efficacy of DLBS1033 in patients with intermittent claudication.
Methods
A total of 20 PAD patients in Internal Medicine Outpatient Department (IM-OPD) Koja Hospital, from April
2013 to August 2013, were included in this study. Patients included were patients with PAD, noted to have
intermittent claudication (Stage II), and had ABI 0,9. Patients were excluded if they were unconscious and refused to participate in the study. Data collected for baseline characteristic were age, smoking status, exercise
status, and obesity according to BMI, history of hypertension and diabetes, and ABI.
The study design was a preliminary, randomized, double-blind, and controlled clinical trial. Subjects were
interviewed and measured for the Ankle Brachial Index (ABI), then randomized into two groups (Group A
and B). One group was given DLBS1033 tablet, one tablet three times daily for 2 weeks and another group
was given placebo for two weeks. Unblinding process were performed after the study has completed. Each
group was maintained with their previous antihypertensive, hypoglicemic, and hypolipidemic agent. After 2
weeks, patients in both groups were reassessed for ABI. The difference of ABI was compared between groups
by independent t-test. Statistical analysis was done using SPSS 20.0. All PAD patients were described in proportion (%) for categorical variables, and mean (SD) for quantitative variable.
Results
There were 197 subjects with likely-intermittent claudication symptoms which were initially screened for the
ABI. Only 20 subjects (10.2%) showed ABI 0.9 and thus were eligible for this study. They were all showing mild
MEDICINUS
27
research
and moderate ischemia, with mean age of 54.4 years old. Of 20 subjects, 90% were females. Most of the patients (80%) were non-smoker, and never had exercise (80%). Half of the patients were normoweight. There
were 70% hypertensive patients, 60% diabetes patients , and 60% dyslipidemic patients.
A block-randomization was performed to allocate the eligible study subjects to receive either DLBS1033 tablet, one tablet three times daily for 2 weeks (Group A, i.e. DLBS1033) or its matched placebo (Group B, i.e.
Control). The preparates were given in blinding. The unblinding process were performed after the study has
completed.
Baseline characteristics of each group are shown in Table 4. Statistical analysis was performed using independent t-test and the results were as follows: before treatment, ABI in DLBS1033 group was 0.810.05 and in
Control group was 0.820.04 (p=0.73); after treatment, ABI in DLBS1033 group was 1.080.7 and in Control group
was 0.780.03 (p<0.01) (Figure 1).
Before treatment, the mean ABI in DLBS1033 group was 0.810.05 and in Control group, 0.820.04 (p=0.73)
(Figure 1). After 2 weeks of treatment, the mean ABI in DLBS1033 group was significantly higher than that
of Control group (1.080.7 vs. 0.780.03, p<0.01) (Figure 1). A significantly greater improvement of ABI in
DBLS1033 group than that in Control group (0.271.6 vs. -0.040.03, p<0.01) was also observed (Figure 2).
The mean post-treatment ABI in DLBS1033 group was significantly higher (p<0.01) than its baseline value
(0.810.05). On the contrary, the mean post-test ABI in Control group was even lower (p=0.02) than its baseline value.
Discussion
In our study, we found that of 197 subjects suffered from leg pain and clinically suspected to have intermittent claudication, there were only 10.2% patients who had ABI 0.9 and conferred the diagnosis of PAD. The
result reflected the challenge in diagnosing PAD and specifically in documenting intermittent claudication
because leg pain is very subjective and highly dependent with patient education levels.
Data from the Framingham study reported that the prevalence of PAD increases 10-fold in male with groupage from 30-44 to 65-74 years old and almost 20-fold in female of the same group-age.3,4 The same finding
also noted in our study where almost all patients (90%) with PAD were females.The risk factors for PAD are as
follows: age, smoker, hypertension, diabetes and dyslipidemia, lack of exercises and obesity.2,4,5
Intermittent claudication will increase parallel with age.2,3,4 However, in contrast with the previous study,
most subjects in our study were < 60 years old. This was particularly because only few patients older than 80
years attended Koja Hospital for treatment.
28
MEDICINUS
research
Table 4. Baseline characteristic of patients with intermittent claudication in Koja Hospital
(n=20)
Baseline Characteristic
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Age
a. < 60 years old
b. 60-80 years old
c. > 80 years old
Mean age (years old)
DLBS1033 (n=10)
%
n
Control (n=10)
n
%
6
4
0
55.8
30
20
0
7.8
8
2
0
53.2
40
10
0
6.8
Sex
a. Female
b. Male
9
1
45
5
9
1
45
5
Subjective complaint
a. Pain
b. Numbness
c. Leg heaviness
7
3
0
35
15
5
1
4
25
5
20
Smoker
a. Non-smoker
b. Ex-smoker
c. Smoker
d. > 10 cigarettes per day
7
2
1
0
35
10
5
0
9
0
1
0
45
0
5
0
Exercise
a. Never
b. Once a month
c. Once a week
d. 2-3 times a week
7
1
2
0
35
5
10
0
9
1
0
0
45
5
0
0
2
5
3
0
10
25
15
0
2
5
3
0
10
25
15
0
Hypertension
a. Yes
b. No
7
2
35
10
5
4
25
20
7
5
35
25
5
3
25
15
Dyslipidemia
a. Yes
b. No
6
4
30
20
6
4
30
20
10
0
50
0
10
0
50
0
The second most prevalent risk factor for PAD is smoking. However, most of our subjects were non-smokers.
This finding was also in contrast with a former report from Korean study.5 This phenomenon can be explained
by the fact that 90% subjects enrolled in the study were females and most of them were non-smokers. Other
possibility is the difficulty to interview some patients.
The third and the fourth risk factors are hypertension and diabetes. In our study we found that 70% of subjects were hypertensive and 60% were diabetic, thus these findings were consistent with the finding in other
previous studies.1,4
MEDICINUS
29
research
The fifth risk factor is dyslipidemia. In our study
60% of patients with intermittent claudication were
dyslipidemic. This finding was also consistent with
other previous studies.1,4
The sixth risk factor is lack of exercise. In our study
80% of patients never had exercise,10% of patients
exercise once a month and the other 10% exercise
once a week. This finding was consistent with previous studies.1,4 Last risk factor is obesity. In our study
only 30% of the subjects who were overweight. This
finding also contrasts with previous study.1,4 The
possibility of the difference was the small sample
size and the patients population were limited from
North Jakarta.
Most patients with intermittent claudication complained pain after walking (60%), while the rest
complained numbness (20%) and leg heaviness
(20%). However, there was no previous reported
study about the clinical presentation of intermittent
claudication.
A study by Li et al.16 showed that lumbrokinase tablet given for 6 weeks in patients with arteriosclerosis obliterans significantly improved the peripheral blood flow and ankle brachial index. This report
showed the drug effect in lowering the plasma
viscocity, fibrin and blood vessel dilatation. In our
study, we noted a significant ABI improvement in
patients given DLBS1033 (Figure 1). In contrast, a
significant reduction of ABI in Control group was
observed, indicating the worsened progress of the
disease. The improvement of ABI in DLBS1033 group
was also significantly higher than that in Control
group (Figure 2). These findings demonstrated the
benefit of DLBS1033 treatment in improving the ischemic tissues in patients with PAD.
Such beneficial effect was strongly associated with
the mechanism of action of DLBS1033 that reduces
blood viscosity as well inhibits platelet aggregation and thrombus formation.The limitations of this
study were the small sample size and short study
treatment. We took only small sample size due to
the low incidence of intermittent claudication in the
study site. However, the results of this study have
provided a preliminary evidence of the efficacy of
DLBS1033 treatment in improving ABI in PAD patients. Indeed, these promising findings justified a
further larger randomized clinical study with a longer study period as well.
30
MEDICINUS
Conclusion
Almost all PAD subjects in Koja General Hospital
were females, mean age of all subjects was 55.4
years old. The most prevalent independent risk factors for PAD observed in the study were hypertension, diabetes, dyslipidemia, and lack of exercise.
DLBS1033 showed to improve ABI in patients with
intermittent claudication.
reference
1. Garcia, LA. Epidemiology and pathophysiology of lower extremity peripheral arterial disease. Journal of Endovascular
Therapy 2006;13:113.
2. Arain, FA, Cooper LT. Peripheral arterial disease: diagnosis
and treatment. Mayo Clinic Proceedings 2008;83,8:944.
3. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Diagnosis and
management peripheral arterial disease: a national clinical guideline. United Kingdom: NHS Quality Improvement
Scotland:2006.
4. Criqui M.H. Peripheral arterial disease - epidemiological
aspects. Vascular Medicine 2001; 6(1suppl):3-7. Cited from
url:
http://vmj.sagepub.com/cgi/content/abstract/6/1_
suppl/3, accessed November 2009.
5. Lee YH, Shin MH, Kweon SS, Choi JS, Rhee JA, Ahn HR et
al. Cumulative smoking exposure, duration of smoking cessation, and peripheral arterial disease in middle-aged and
older Korean men. BMC Public Health 2011;11(94):1-Cited
from http://www.biomedcentral.com/content/pdf/14712458-11-94.pdf. accessed August 2012.
6. Anonymous. Peripheral Arterial Disease. Updated:
05/02/2008. Cited from url: http://www. ohiohealth.com/
bodymayo.cfm?id=6&action=detail&ref=1341, accessed
November 2009.
7. Mahameed A.A Peripheral Arterial Disease. Cited from
dari url:http://my.clevelandclinic.org/heart/default.aspx,
accessed November 2009
8. Hiatt WR. Pathophysiology of Intermittent Claudication in
Peripheral Arterial Disease. Cardiology Rounds 2006:10(1).
Cited from http://www.cardiologyrounds.org/crus/cardus0106.pdf, accessed August 2012.
9. Mahameed A.A Peripheral Arterial Disease. Cited from
url:http://my.clevelandclinic. org/heart/default.aspx, accessed November2009
10. Carmo GAL, Mandil A, Nascimento BR, Arantes BD, Bittencourt JC, Falqueto EB, et al. Can we measure the ankle-brachial index using only a stethoscope? A pilot study. Family
Practice Advance Access 2008;22-6
11. Gey DC, Emil P. Lesho EP, Manngold J. Management of Peripheral Arterial Disease. Am Fam Physician 2004;69:52532,533
12. Castao G, Ms R, Fernndez L, Gmez R, Illnait J. Effects
of policosanol and lovastatin in patients with intermittent
claudication: a double-blind comparative pilot study. Angiology. 2003 Jan;54(1):25-38
13. Belch J, MacCuish A, Campbell I, Cobbe S, Taylor R, Prescott
R. The prevention of progression of arterial disease and
diabetes (POPADAD) trial: factorial randomised placebo
controlled trial of aspirin and antioxidants in patients with
diabetes and asymptomatic peripheral arterial disease.
BMJ 2008;337:a1840. Cited from http://www.bmj.com/
content/337/bmj.a1840.full, acessed August 2012.
14. Trisina J, Sunardi F, Suhartono M, Tjandrawinata RR.
DBLS1033, a protein extract from lumbricus rubellus, possesses antithrombotic and thrombolytic activities. Journal
of Biomedicine and Biotechnology 2011.
Pilih Benar (B) atau Salah (S) pada pernyataan di bawah dengan membubuhkan tanda () di samping kanan.
No.
Pernyataan
Penderita peripheral artery disease (PAD) akan mengalami obstruksi pada peredaran
darahnya yang disebabkan oleh aterotrombosis di dalam arteri cabang termasuk pada
sirkulasi intrakranial dan koroner
Berdasarkan survey dari National Health and Nutrition Examination, angka kejadian
PAD tertinggi menyerang para perokok, pasien keturunan Afro-Amerika, pasien dengan
GFR < 60 ml/menit, penderita DM dan penderita hiperkolesterolemia.
Baru-baru ini ditemukan Lumbricus rubellus yang secara empris digunakan untuk
pengobatan beberapa penyakit di negara-negara seperti Indonesia, Cina, Jepang, Brazil
dan daratan Skandinavia.
Enzim lumbrokinase yang dihasilkan oleh Lumbricus rubellus diekstraksi dalam bentuk
bioactive protein fraction DLBS1033.
Bioactive protein fraction DLBS1033 diketahui sebagai oral fibrinolitik dengan mula
kerja cepat dan durasi kerja singkat.
Karakteristik dasar dari data yang terkumpul pada penelitian ini antara lain usia,
status/riwayat merokok, riwayat olahraga dan obesitas berdasarkan hasil BMI, riwayat
hipertensi, diabetes dan PPOK, serta kondisi ABI
Dari studi ini ditemukan beberapa faktor risiko pada sampel. Faktor risiko urutan ketiga
terbesar adalah hipertensi (sebanyak 70%) dan diabetes (40%).
Sementara untuk faktor risiko urutan terakhir pada studi ini adalah obesitas, yakni
sebanyak 30%.
Efek yang menguntungkan pada penelitian tersebut sangat terkait dengan mekanisme
kerja bioactive protein fraction DLBS1033 dalam mengurangi viskositas darah dan
menghambat platelet serta pembentukan thrombus.
10
Dari penelitian yang dilakukan Ndraha.S., et al, mengenai efek bioactive protein
fraction DLBS1033 pada pasien PAD di RSUD Koja Jakarta menunjukkan bahwa DLBS1033
meperbaiki ABI pasien dengan intermittent claudication.
KETERANGAN:
Tandai () pada jawaban yang dipilih.
Sasaran dari artikel dan kuis CME ini adalah untuk dokter umum/dokter spesialis.
Dokter akan memperoleh jumlah SKP yang tertera di atas dan akan mendapatkan sertifikat jika
MEDICINUS
31
32
MEDICINUS
CASE REPORT
ABSTRAK
Laporan kasus ini berdasarkan pasien wanita berusia 45 tahun dengan hipokalemia, metabolik alkalosis, hipertensi dan renal insufissiensi dengan dugaan diagnosa banding:
sindroma Liddles, Gittelmans dan Barter dewasa dengan hipertensi dan kemungkinan
hiperaldosteronisme. Kami menyarankan untuk melakukan pemeriksaan analisis genetik;
kadar hormon aldosteron, renin, prostaglandin, kalsium, dan magnesium dalam darah,
kalsium, magnesium dan klorida dalam urin, radiologi dan biopsi ginjal. Akan tetapi, semua pemeriksaan yang ditawarkan tersebut ditolak oleh pasien.
ABSTRACT
This case report is based on 45 years old women patient with hypokalemia, metabolic acidosis, hypertension and decreasing of renal function, with differential diagnosis: Liddle,
Gitelman and Barter's syndrome in adulthood with hypertension and possibility of hyperaldosteronism. We recommend that the patient do checking genetical analysis; aldosteron
hormonal level; renin and prostaglandin; calcium and magnesium level ini blood, calcium,
magnesium and chloride level in urine; renal radiology and byopsi. However, the patient
refused to take all the examination.
PENDAHULUAN
Potasium/kalium (K+) adalah kation mayor dalam tubuh, di dalam sel jaringan dengan kadar sekitar 150 mmol/L. Kadar dalam intraselular yang tinggi harus dipertahankan karena K+ berdifusi sangat lambat keluar dari membran sel, sedangkan Na-K-ATPase pump membutuhkan energi dari hasil
oksidatif, secara terus-menerus membawa K+ ke dalam sel melawan gradien konsentrasi. Pompa
tersebut merupakan faktor penting untuk mempertahankan pengaturan gradien ion yang dibutuhkan untuk transmisi impuls syaraf, kontraktilitas otot jantung dan skeletal. Sekitar 98% total kalium tubuh ditemukan dalam rongga ICW (intracellular waters) yang akan mencapai kadar sekitar
150160 mmol/L. Dalam rongga ECW (extracellular waters) kadar kalium hanya 3,55,0 mmol/L.1,2
Abnormalitas kadar potasium plasma akan terjadi bukan hanya karena abnormalitas total kalium
tubuh, tetapi juga karena pertukaran kalium antara kompartemen ekstraselular dan intraselular.
Sebanyak 98% kalium total dalam tubuh berada dalam intraselular, maka pertukaran (shiff) efeknya
lebih terlihat pada kalium plasma. Alkalosis menyebabkan terjadinya penurunan kadar kalium tubuh karena kalium bergerak dari rongga ekstraselular ke intraselular. Pada sel nefron distal ginjal,
kenaikan kalium intraselular tersebut menstimulasi sekresi kalium dan karenanya meningkatkan
ekskresi kalium renal.2
MEDICINUS
33
CASE REPORT
34
MEDICINUS
menimbulkan gejala. Pasien dapat beraktifitas sehari-hari tanpa keluhan. Keluhan hanya
timbul jika aktifitas pasien berlebihan (terlalu
lelah). Keadaan ini kemungkinan karena kalium intraselularnya normal. Tetapi kami tidak
bisa mengukur kadar kalium intraselular. Pada
pemeriksaan laboratorium lainnya (darah rutin,
faal hati, gula darah dalam batas norrmal, hanya
ditemukan albuminuria trace/nilai perbatasan
dan hiperkolesterolaemia. Pada awalnya kami
tidak percaya dengan hasil pemeriksaan laboratorium kami sendiri, kemudian kami lakukan
pemeriksaan ulang dengan sampel yang sudah
pasti persiapannya, ternyata hasilnya sama.
Pasien juga mengatakan bahwa setiap kali diminta untuk melakukan pemeriksaan hasilnya
selalu sama.
Kemudian kami mencari kemungkinan penyebab dari kelainan tersebut, dan kami menemukan di literatur adanya suatu kelainan metabolisme kalium (hipokalemia dan alkalosis
metabolik) yang dapat terjadi pada sindrom
Bartters atau Gitelmans. Sindrom Liddles, Bartters atau Gitelmans merupakan kelainan kongenital dari tubulus ginjal (renal potasium wasting) yang memberikan gambaran hipoklaemia,
alkalosis metabolik. Pada sindrom Liddles terdapat hipertensi. Sedangkan pada Bartters atau
Gitelmans tidak ditemukan adanya hipertensi.
Penyakit lain yang dapat menyebabkan kelainan tersebut adalah hyperaldosteronism dan
cystic fibrosis.3-17
Pada pasien ini terdapat hipertensi yang lama,
kemungkinan karena sindrom Liddles, tetapi
kemungkinan lain juga dapat terjadi pada sindrom Bartters atau Gitelmans yang bersamaan
dengan hipertensi essential ataupun hipertensi
karena penurunan fungsi ginjalnya. Kemungkinan hiperaldosteron juga belum dapat disingkirkan. Akan tetapi, kami tidak dapat menentukan jenis diagnosis pastinya pada pasien ini,
karena kami tidak dapat melakukan pemeriksaan analisis genetik, kadar hormon aldosteron,
renin, prostaglandin, kalsium, dan magnesium
dalam darah, pemeriksaan kalsium, magnesium dan klorida dalam urin, serta radiologi dan
biopsi ginjal. Karena semua pemeriksaan yang
ditawarkan ditolak oleh pasien. Hal ini kemungkinan karena memang penderita merasa tidak
sakit (keluhan hanya muncul pada saat kelelahan saja).
CASE REPORT
Cl cotransporter menyebabkan sindrom Gitelmans, gejalanya alkalosi metabolik, hipokalemia disertai hiperkalsiuria, hipomagnesemia,
kemudian muncul secara dominan gejala dan
tanda pada otot. Pada pasien ini terdapat alkalosis metabolik, hipokalemia, kristal kalsium
oksalat di urin, kelainan fungsi ginjal (peningkatan ureum, kreatinin dan asam urat. Keadaan
tersebut sesuai dengan kelainan pada sindrom
Barters dan Gitelmans.3,4,7,8,11,12 Akan tetapi, pada
pasien ini terdapat hipertensi dan hal ini tidak
sesuai dengan kelainan pada kedua sindrom, dimana biasanya tidak terdapat hipertensi. Kami
tidak dapat membuktikan apakah pada pasien
ini terjadi campuran dengan hipertensi esensial
atau hipertensi karena penurunan fungsi ginjal.
Di sini kami menggambarkan patogenesis dari
kedua penyakit serta perbedaan keduanya (lihat tabel 1 dan 2).3 Namun kami tidak dapat
membedakan secara pasti mengenai kelainan
ini karena keterbatasan pemeriksaan yang ada.
Kami menyarankan agar dilakukan pemeriksaan
analisis genetik, kadar hormon aldosteron, renin, prostaglandin, kalsium dan magnesium
dalam darah, juga pemeriksaan kalsium, magnesium dan klorida dalam urin, serta foto dan
biopsi ginjal, yang ternyata tidak disetujui oleh
pasien.
Kemungkinan lain adalah sindrom Liddles yang
mungkin terjadi pada pasien ini dimana ditemukan hipokalemia, metabolik alkalosis dan
hipertensi. Sindrom Liddles (pseudoaldosteronism) merupakan kelainan autosomal dominant
familial dengan gambaran klinik hyperaldosteronism berupa hipertensi, hipokalemia dan
metabolik alkalosis, tetapi kadar aldosteron
dan mineralokortikoid non aldosteron tidak terdeteksi. Pada kelainan ini, terjadi peningkatan
reabsorpsi natrium pada tubulus distal karena
adanya mutasi aktivasi amiloride-sensitive sodium channel.3-17
MEDICINUS
35
CASE REPORT
Panel kiri menunjukkan operasi normal sel TAL. Panel tengah menunjukkan mutasi transporter Na, K,
Cl yang kehilangan fungsinya. Panel kanan menunjukkan mutasi hilangnya fungsi transporter kanal
K atau kanal Cl.
36
MEDICINUS
CASE REPORT
Panel kiri menunjukkan sel tubulus kontortus distalis. Panel kanan mengilustrasikan konsekuensi
mutasi hilangnya fungsi co-transporter Na/Cl.
KESIMPULAN
Telah dilaporkan wanita berusia 45 tahun dengan hipokalemia, metabolik, alkalosis, hipertensi dan
insufisiensi renal dengan dugaan diagnosis banding: sindrom Liddles, Gittelmans dan Bartters
dewasa dengan hipertensi dan hyperaldosteronism.
daftar pustaka
1. Scott MG, Heusel JW, Legrys VA, Anderson OS. Electrolytes and Blood Gases. In Burtis CA, Ashwood ER. Tietz
Fundamentals of Clinical Chemistry. Philadelphia: WB Saunders Company, 2001:494517.
2. Kleinman LI, Lorenz JM. Physiology and pathophysiology of body water and electrolytes. In Kaplan LA, Pesce
AJ, 3th eds. Clinical Chemistry Theory, analysis, and correlation. St louis: Mosby, 1996:439463.
2. Mujais SK, Katz AI. Potasium Deficiency. In: Seldin DW, Giebsich G, 3th eds. The KIDNEY Physiology & Phatophysiology. Philadelphia: Lippincott Williams & wilkins:16151646.
3. Asplin JR, Coe FL. Heriditary Tubular Disorders. In:. Braundwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, LongobDL,
Jameson JR, 15th Eds. Harrisons Principles of Internal Medicine. USA 2001: McGraw-Hill ;1598-1606.
4. Singer GG, Brenner BM. Fluid and Electrolyre Disturbance. In: Braundwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser
SL, LongobDL, Jameson JR, 15th Eds. Harrisons Principles of Internal Medicine.:.USA 2001: McGraw-Hill ; 278
-283.
5. Longo N. Inhereted defects of membrane transport. In: Braundwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, LongobDL, Jameson JR, 15th Eds. Harrisons Principles of Internal Medicine. USA 2001: McGraw-Hill ; 2309 -2313.
6. Chesney RW. Specific Renal Tubular disorders. In Goldman L, Ausiello D, 22nd eds. Cecil Textbook of Medicine. USA : WB Saunders, 2004 : 745 750.
7. Mc Ray Dell K, Avner ED. Barter / Gittelman Syndromes and other Inhereted Tubular Transport Abnormalities. In Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, 17th eds. Nelson Textbook of Pediatrics. USA ; WB Saunders
: 1763 -1766.
8. Seifter JL. Acid-Base Disorders. In Goldman L, Ausiello D, 22nd eds. Cecil Textbook of Medicine. USA: WB
Saunders, 2004:696699.
9. Bazari H. Approach To The Patient With Renal Dissease. In Goldman L, Ausiello D, 22nd eds. Cecil Textbook of
Medicine. USA: WB Saunders, 2004:654-679.
10. Vargas-Poussou R, Huang C, Hulin P, et all. Fungctional Characterization of a Calsium-sensing Receptor
Mutation in Severe Autosomal Dominant Hypocalcemia with a Bartter-Like Syndrome. J Am Soc Nephrol
2002; 13:22592266.
11. Starremans PGJF, Kersten FFJ, Knoers NVAM, Van den Heuvel LPWJ, Bindels RJM. Mutations in the Human
Na-K-2Cl Cotransporter (NKCC2) Identified in Bartter Syndromes Type I Consistently Result in Nonfunctional
Transporters. J Am Soc Nephrol 2003; 14:14191426.
12. Pravervand S, Vandewalle A, Bens M, et al. Dysfuction of Epithelial Sodium Channel Expressed in the Kidney
of a Mouse Model for Liddle Syndrome. J Am Soc Nephrol 2003; 14:22192228.
13. Gladziwa U, Schwarz R, Gitter AH, Bijman J, Seybert H, Beck F, Ritz E, Gross P. Chronic hypokalaemia of adults:
Gitelmans syndrome is frequent but classical Bartters syndrome is rare. Nephrol Dial Transplant 1995; 10:
16071613 (abstract).
14. Wald MK, Perrin EV, Bolande RP. Bartters syndrome in early infancy ; Physiologic, light and electron microscopic observations. Pediatric 1971; 47:254263 (abstract).
15. Bates CM, Baum M, Quigley R. Cystic Fibrosis presenting with hipokalaemia and metabolic alkalosis in a
previously healthly aldolescent. J Am Soc Nephrol 1997 ; 8 : 352355 (abstarct).
16. Konrad m, Vollmer M, Lemmink HH, et al. Mutations in the Chloride Channel Gene CLCNKB as a Cause of
Classic Bartters Syndrome. J Am Soc Nephrol 2000; 11: 14491459.
MEDICINUS
37
MEDICAL REVIEW
ABSTRAK
Tumor Wilms (nephoblastoma) adalah neoplasma embrional ginjal yang tersusun atas
tiga elemen: blastema, epitel, dan stroma. Insidensnya 6% dari seluruh kanker pada masa
kanak-kanak. Kebanyakan kasus bersifat sporadis, hanya 1%-2% bersifat familial, dan diturunkan secara autosomal dominan. Sekitar 12%-15% kasus berkaitan dengan kelainan
kongenital dan sindrom tertentu, di antaranya aniridia, hemihipertrofi dan kelainan traktus genitourinarius. Gejala klinis yang paling sering ditemukan berupa massa abdomen
yang dapat dipalpasi, di samping dapat ditemukan pula hematuria, anemia, nyeri perut,
demam, hipertensi, dan tanda-tanda infeksi saluran kemih. Menurut The National Wilms
Tumor Study Committee, perkembangan tumor Wilms terbagi atas 5 tingkatan. Pemeriksaan pencitraan dengan USG abdomen sering menjadi langkah pertama pada kasus yang
dicurigai tumor Wilms. Namun, secara umum diperlukan pemeriksaan menyeluruh mulai
dari anamnesis, pemeriksaan fisis, laboratorium, dan pencitraan. Penatalaksanaan meliputi
pembedahan, radioterapi, dan kemoterapi. Prognosis bergantung pada beberapa faktor,
antara lain umur penderita, luasnya metastasis, besar tumor, dan histologis tumor.
Kata kunci: Tumor Wilms, Nefroblastoma, massa abdomen
ABSTRACT
Wilms tumor (nephroblastoma) is an embryonal neoplasm of the kidneys composed of
three elements: blastema, epithelia, and stroma. The incidence is approximately 6% of all
childhood cancers. Most cases of Wilms tumor are sporadic, only 1%-2% cases are familial
and inherited in an autosomal dominant manner. Approximately 12%-15% cases of Wilms
tumor are associated with congenital anomalies and several syndromes, such as aniridia,
hemihypertrophy, and genitourinary tract abnormalities. Most children with Wilms tumor
present with abdominal mass, and associated symptoms may include hematuria, anemia,
abdominal pain, fever, hypertension, and the symptoms and signs of urinary tract infection. The National Wilms Tumor Study Committee has developed the staging system of
Wilms tumor, it consists of five stages. Imaging study with abdominal ultrasound frequently become the first step in diagnosing a potential Wilms tumor. However, there should be
a holistic examinations that may consist of history taking, physical examinations, laboratory and imaging studies. The management of Wilms tumor includes surgical, radiation
therapy, and chemotherapy. Prognosis of patients with Wilms tumor depends on the age
of patient, the size, metastases, and histology of tumor.
Keywords: Wilms tumor, nephroblastoma, abdominal mass.
38
MEDICINUS
medical review
PENDAHULUAN
Tumor Wilms atau dikenal pula dengan istilah nefroblastoma merupakan tumor ginjal primer tersering yang terjadi pada masa kanak-kanak, dan termasuk tumor ganas retroperitoneal. Tumor Wilms
merupakan neoplasma embrional yang tersusun atas tiga elemen: blastema, epitel, dan stroma. Ginjal yang terkena biasanya unilateral tapi bisa bilateral (5%). Insiden tertinggi terjadi pada usia 2-3
tahun dan 70% didiagnosis sebelum usia 5 tahun. Hanya 10%-20% dari seluruh kasus tumor Wilms
yang didiagnosis selama tahun pertama kehidupan. Tumor Wilms dapat mengenai anak laki-laki
maupun perempuan dengan perbandingan yang sama, dan insidensnya lebih tinggi pada ras AfrikaAmerika daripada ras Asia atau Kaukasia. Tumor ini berkaitan dengan kelainan kongenital tertentu
dan sindrom malformasi.1,2,3,4,5
ETIOLOGI
Kebanyakan kasus bersifat sporadis, sekitar 1% bersifat familial yang diturunkan secara autosomal
dominan. Delesi pada kromosom 11p13 (10% kasus), 11p15, dan 16q telah dilaporkan pada beberapa
pasien tumor Wilms dan dikaitkan dengan meningkatnya risiko menderita tumor tersebut. Gen 11p13
dinamai gen Wilms tumor 1 (WT1); gen 11p15 dinamai gen Wilms Tumor 2 (WT2); dan gen 16q dinamai
gen Wilms tumor 3 (WT3). Produk gen WT 1 adalah protein yang mengikat DNA yang ditemukan
pada ginjal janin dan jaringan genitourinari. Produk gen WT 2 dan WT 3 tidak diketahui.1,2,6
Kelainan kongenital terjadi pada 12%-15% kasus. Kelainan kongenital yang paling sering ditemukan
adalah aniridia, hemihipertrofi, Beckwith-Wiedemann Syndrome, dan kelainan traktus genitourinaria, termasuk sindrom WAGR, dan Sindrom Denys-Drash. Tabel 1 memuat daftar beberapa kelainan
congenital dan sindrom yang berkaitan dengan tumor Wilm.5
MEDICINUS
39
medical review
MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinik yang dapat ditemukan antara lain:
1. Perut membuncit (tumor abdomen): 75%-90%
2. Hematuria (makroskopis) terdapat kira-kira
20% kasus, mungkin akibat infiltrasi tumor ke
dalam kaliks.
3. Hipertensi diduga oleh karena penekanan
tumor pada arteri renalis sehingga terjadi
iskemia jaringan ginjal atau akibat hipersekresi renin.
4. Anemia dan penurunan berat badan
5.Demam, malaise, muntah-muntah, dan
anoreksia
6. Nyeri perut yang bersifat kolik akibat perdarahan sehingga terjadi penggumpalan darah
dalam saluran kencing
7. Tanda-tanda infeksi saluran kencing7
PENYEBARAN DAN METASTASE
Tumor ini dalam pertumbuhannya mendesak
jaringan ginjal yang sehat di sekitarnya dan
membentuk semacam pseudokapsul sehingga
40 MEDICINUS
medical review
DIAGNOSIS
Massa abdomen pada masa kanak-kanak harus dipertimbangkan sebagai keganasan sampai pemeriksaan pencitraan dan laboratorium menegaskan asal massa tersebut. Jika diragukan, biopsi atau eksisi
dan pemeriksaan histologi adalah jalan terakhir untuk menegakkan diagnosis. Ketika massa abdomen ditemukan, sebaiknya langsung dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis lengkap diikuti oleh
pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati dan ginjal, Pemeriksaan pencitraan meliputi pemeriksaan
radiografi, USG, dan CT-Scan dan/atau MRI. Penting pula untuk memperhatikan adanya kelainan kongenital atau sindrom malformasi yang mungkin menyertai. Ringkasan mengenai pemeriksaan menyeluruh pada penentuan diagnosis tumor Wilms dapat dilihat pada tabel 3.2
Pemeriksaan USG abdomen seringkali menjadi langkah pertama yang sangat potensial dalam mendiagnosis tumor Wilms (gambar E.1). Melalui pemeriksaan ini dapat dibedakan massa intrarenal dari
massa yang berasal dari kelenjar adrenal atau struktur-struktur di sekitarnya. Evaluasi vena cava inferior penting karena tumor dapat meluas ke struktur tersebut.8,9
CT-Scan abdomen dapat mengkonfirmasi adanya massa yang berasal dari intrarenal dan mempertegas anatomi tumor (gambar E.2). Pemeriksaan ini juga dapat memberikan informasi adanya pertumbuhan tumor ke dalam vena cava inferior, integritas dari ginjal kontralateral, dan kemungkinan adanya metastase ke limfonodus atau hepar.2,4,10
MEDICINUS
41
medical review
Gambar E.1. USG Abdomen potongan axial menunjukkan massa padat ukuran 4,5 cm di anterior
korteks, bagian bawah ginjal kiri.9
Gambar E.2. Gambaran CT-Scan abdomen menunjukkan tumor Wilm pada ginjal kanan. Sisa bagian
ginjal yang masih berfungsi (tanda panah) tampak
pada bagian perifer tumor.10
CT-Scan abdomen dapat mengkonfirmasi adanya massa yang berasal dari intrarenal dan mempertegas anatomi tumor (gambar E.2). Pemeriksaan ini juga dapat memberikan informasi adanya pertumbuhan tumor ke dalam vena cava inferior, integritas dari ginjal kontralateral, dan kemungkinan adanya metastase ke limfonodus atau hepar.2,4,10
Pemeriksaan radiografi thoraks diperlukan untuk menentukan adanya metastasis ke paru. Pemeriksaan CT-Scan thoraks tidak rutin dilakukan, namun dapat membantu menemukan adanya nodul yang
tersembunyi pada pasien dengan gambaran radiografi thoraks yang normal.2
Tumor Wilms berasal dari jaringan primitif metanefrik blastema dan ditandai oleh adanya gambaran
histopatologik yang beragam. Tumor Wilms yang klasik tersusun oleh blastema persisten, displasia
tubulus (epitel), dan jaringan mesenkim pendukung (stroma). Adanya sel epitel, blastema, dan stroma
dalam satu gambaran histologi disebut trifasik dan menunjukkan suatu tumor Wilms klasik (gambar
E.3). Masing-masing tipe sel dapat menampilkan spektrum diferensiasi, umumnya mereplikasi berbagai stadium embriogenesis ginjal. Proporsi masing-masing tipe sel dapat pula bervariasi antara tumor
satu dengan yang lain.1,5
Beberapa tumor Wilms bersifat bifasik atau bahkan monomorfik. Gambaran histologi tumor Wilms
dapat berupa diferensiasi baik dan diferensiasi buruk. Gambaran histologi berdiferensiasi baik lebih
sering ditemukan (89%) dan ditandai oleh adanya tiga komponen seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya yaitu sel epitel, blastema, dan stroma.1,6
Gambaran histologi dengan diferensiasi buruk lebih jarang ditemukan (kurang dari 10%) dan digambarkan oleh adanya anaplasia (gambar E.4). Anaplasia ditandai oleh adanya nucleus polipoid raksasa
dalam sampel tumor. Untuk menentukan adanya anaplasia diperlukan kriteria berikut:
1. Nukleus dengan diameter utama sekurang-kurangnya tiga kali dari sel yang bersebelahan, dengan
peningkatan kromatin.
2. Gambaran multipolar atau gambaran mitosis polipoid lain yang dapat dikenali.1,4,6
Anaplasia dapat bersifat fokal ataupun difus. Kriteria untuk membedakan anaplasia fokal dan difus
bergantung pada penyebaran anaplasia. Anaplasia fokal ditunjukkan oleh perubahan nucleus anplastik yang terbatas dalam tumor primer. Definisi ini membatasi anaplasia fokal menjadi satu atau be-
42
MEDICINUS
medical review
Gambar E.3. Tumor terdiri dari komponen jaringan blastema, epitel tubular, dan jaringan penyambung fibrosa. Pola histologi trifasik (komponen epitel, blastema, dan stroma mesenkim) adalah
gambaran yang paling sering terlihat pada anak-anak dengan tumor Wilms, sedangkan gambaran
histologi epitel lebih sering ditemukan pada bayi. Perhatikan bagaimana sel stroma berbentuk gelendong bercampur dengan sel blastema yang kecil, bulat, dan berwarna lebih gelap. Gambaran
mikroskopik sangat membantu dalam menegakkan diagnosis, seperti pada potong beku. H&E:_300.5
Gambar E.4. Tumor Wilm dengan anaplasia. Tumor Wilm dengan diferensiasi buruk pada
anak perempuan usia 5 tahun. Terdapat pembentukan tubulus yang tidak jelas yang tersusun oleh sel-sel anplastik, berwarna lebih gelap menunjukkan pleomorfisme nyata dalam
ukuran dan bentuk sel. Terdapat sel raksasa dan gambaran mitosis besar. H&E:_200.5
MEDICINUS
43
medical review
44
MEDICINUS
Pasien tanpa metastasis saat didiagnosis diberikan Vincristin dan Actinomisin-D sebagai terapi
preoperatif, pasien dengan metastase (paru, tulang) diberikan Doxorubicin. Dosis Actinomisin D
yang diberikan 15 mg/kgBB/hari IV,dosis Vincristin 0,05 mg/kgBB/hari IV, dan dosis Doxorubicin
1,0 mg/kgbb IV.7,8
Kebanyakan pusat pengobatan mengikuti protokol kemoterapi yang dikeluarkan oleh National Wilms Tumor Study Group. Untuk tumor
stadium I dan II dengan diferensiasi baik diberikan Vincristin dan Actinomisin-D. Untuk tumor
stadium III dengan diferensiasi baik diberikan
Vincristin, Actinomisin-D, dan Doxorubicin, dan
terapi radiasi juga diberikan. Untuk tumor stadium IV dengan diferensiasi baik, Vincristin, Actinomisin-D, dan Doxorubicin juga diberikan, dan
terapi radiasi diberikan pada tempat-tempat
terdapatnya metastasis tumor, khususnya paru.
Jika ditemukan tumor pada hepar, pembedahan lebih dianjurkan daripada radioterapi. Radioterapi yang diberikan pre-operatif bertujuan
memperkecil tumor sehingga mudah dioperasi,
sedangkan radioterapi post-operatif bertujuan
menghilangkan sisa-sisa tumor.2,7
Tumor dengan diferensiasi buruk diberikan Vincristin, Actinomisin-D, Doxorubicin, dan Siklofosfamid. Radioterapi juga diberikan pada tempattempat terdapatnya penyakit.2
Kemoterapi diberikan untuk semua pasien tumor Wilms yang inoperabel. Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan dengan biopsi jarum perkutaneus. Pemilihan kemoterapi disesuaikan
dengan kriteria histologi. Untuk tumor dengan
diferensiasi baik, Vinkristin dan Actinomisin-D
diberikan pada stadium I dan II, sedangkan Vincristin, Actinomisin-D, dan Doxorubicin diberikan
pada tumor stadium III dan IV. Untuk Tumor dengan diferensiasi buruk diberikan Vincristin, Actinomisin-D, Doxorubicin, dan Siklofosfamid. Jika
tidak terjadi reduksi ukuran tumor dengan kemoterapi, dianjurkan radioterapi dengan dosis
1200-1260 cGy (150 cGy/hari selama 8 hari atau
180 cGy/hari selama 7 hari). Selama radioterapi,
pemberian Vincristin tetap dilanjutkan dengan
interval mingguan.1,2
Kemoterapi untuk tumor Wilms bilateral identik
dengan kemoterapi yang diberikan pada tumor
Wilms inoperable. Pembedahan yang dilakukan
dapat berupa nefrektomi unilateral dan nefrek-
medical review
tomi parsial kontralateral atau nefrektomi parsial bilateral. Pendekatan ini memungkinkan
pengangkatan neoplasma yang viable dengan
tetap berupaya mempertahankan sebanyak
mungkin jaringan ginjal yang masih berfungsi.
Kemoterapi dan radioterapi post-operatif juga
diberikan.2,8
Pemantauan post-terapi dianjurkan pada pasien
yaitu dengan pemeriksaan radiografi thoraks
setiap 3 bulan selama tahun pertama dan kedua,
dan setiap 6 bulan selama 5 tahun berikutnya.
Pemeriksaan USG abdomen dianjurkan setiap 3
bulan selama tahun pertama dan kedua setelah
terapi, dan selanjutnya tiap 6 bulan sampai 5 tahun setelah terapi.1
PROGNOSIS
Prognosis tumor Wilms dipengaruhi oleh stadium dan histologi tumor. Bentuk anaplastik
mempunyai prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan tumor Wilms yang klasik. Umur
penderita juga mempengaruhi prognosis, semakin tua usia anak , semakin sering metastase dan semakin luas metastasis semakin jelek
prognosisnya. Angka kesembuhan pada tumor
Wilms terlokalisir pada saat didiagnosis lebih
dari 85%, sedangkan pasien dengan metastasis paru mempunyai disease-free survival sekitar
70%-80%. Stadium I sampai III mempunyai tingkat kesembuhan lebih dari 90%.2,7,8
KESIMPULAN
Tumor Wilms merupakan tumor ginjal primer
yang paling sering ditemukan pada masa kanakkanak. Gejala klinis yang dapat ditemukan antara lain perut membuncit akibat adanya massa
abdomen, hematuria, hipertensi, anemia, nyeri
perut, demam, dan tanda-tanda infeksi saluran
kemih. USG abdomen merupakan teknik pencitraan yang paling sering dilakukan untuk menegakkan diagnosis tumor Wilms. Penatalaksanaannya meliputi pembedahan, radioterapi dan
kemoterapi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Redner A. Wilms Tumor. In: Lanzkowsky P,
editor. Manual of Pediatric Hematology and
Oncology . 4th ed. United States of America:
Elsevier; 2005. p.548-58
2. Huff V, Jaffe N. Wilms Tumor. In: Behrman
RE, Jenson HB, Kliegman RM, Marcdante, KJ,
editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th
ed. Elsevier; 2008. p.1-7
3. Pulito, AR. Wilms Tumor (Nephroblastoma).
In: Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG,
Zenk KE, editors. Neonatology, management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs. 5th ed. New York: McGraw
Hill; 2004. p.713-7
4. Blatt J, Geib KB, Gold SH. Solid Tumor . In:
Roberts KB, editor. Manual of Clinical Problems in Pediatrics, 5th ed. Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 2002. p.235-6
5. Isaacs H. Wilms Tumor. Tumors of the Fetus and Infant. New York: Springer - Verlag;
2002. p.268-78
6. Almond PS. Renal Tumors. In: Almond PS,
Arensman RM, Bambini DA, editors. Pediatric Surgery. Texas: Landes Bioscience; 2000.
p.164-8
7. Rauf S. Tumor Ginjal. Catatan Kuliah Nefrologi Anak. Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2002. p.63-5.
8. McLean TW, Wafford MM. Wilms Tumor.
In: Behrman RE, Jenson HB, Kliegman RM,
Marcdante, KJ, editors. Nelson Essentials of
Pediatrics. 5th ed. Elsevier; 2007. p.747-8.
9. Khan, AN. Wilms Tumor Imaging. In: Lin EC,
editor. 2011. Cited [2011 Dec 10]. Available
from:
http://emedicine.medScape.com/
article/415012-overview
10.
Warner BW. Wilms Tumor. In: Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL, Townsend
CM, editors. Sabiston Textbook of Surgery. 17th ed. Pennsylvania: Elsevier; 2004.
p.2127-9
MEDICINUS
45
MEDICAL REVIEW
Penatalaksanaan Gangguan
Saluran Cerna dalam Kehamilan
M. Adi Firmansyah
PPDS Tahap Mandiri Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo
ABSTRAK
Selama kehamilan, hampir semua sistem organ termasuk gastrointestinal mengalami perubahan
fisiologi. Keluhan gastrointestinal yang muncul pun beragam seperti mual, muntah, hiperemesis
gravidarum, hingga penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesofageal reflux disease/GERD). Mual dan
muntah dialami sekitar 60%-70% perempuan pada trimester pertama kehamilan, hiperemesis terjadi
pada 0,5% kehamilan dan heartburn terjadi pada 50%-80% kehamilan. Patogenesis yang mendasari
gangguan gastrointestinal ini dikaitkan adanya perubahan hormon selama kehamilan, penurunan
tekanan sfingter esofagus bawah, penurunan motilitas lambung, efek mekanik uterus gravid hingga
faktor psikologis. Terapi yang diberikan tentunya harus memperhatikan manfaat dan risiko terutama
keamanan obat tersebut dalam kehamilan.
Kata kunci: kehamilan, mual, muntah, hiperemesis gravidarum, gerd
PENDAHULUAN
Secara fisiologis, tubuh wanita hamil akan melakukan adaptasi, antara lain dengan perubahan anatomi, fisiologi serta biokimiawi sebagai adaptasi tubuh terhadap kehamilannya. Hampir semua sistem
organ termasuk gastrointestinal mengalami perubahan fisiologi selama kehamilan. Keluhan gastrointestinal selama kehamilan antara lain muntah, hiperemesis gravidarum, penyakit refluks gastroesofageal, dan konstipasi.1 Mual terjadi pada hampir 50%-90% kehamilan dan muntah sekitar 25%-55% kehamilan Meski begitu keduanya bersifat self-limiting.2 Sebagian besar perubahan yang terjadi selama
kehamilan ini akan kembali normal setelah selesainya masa persalinan dan laktasi.
Secara umum, kehamilan lebih banyak mempengaruhi motilitas saluran cerna dibandingkan pengaruh terhadap fungsi sekresi dan absorbsi.1 Sekresi asam lambung dilaporkan juga mengalami
peningkatan pada kondisi kehamilan,3,4,5 meski laporan lainnya menyebutkan bahwa tidak terjadi peningkatan.6,7 Perubahan motilitas ini terjadi pada hampir seluruh saluran cerna dan dikaitkan dengan
peningkatan hormon selama kehamilan. Selain itu, uterus yang membesar dapat mengganggu waktu
pengosongan lambung dan juga mempengaruhi gambaran klinis gangguan saluran cerna seperti
apendisitis.7 Artikel ini akan membahas gangguan gastrointestinal terkait asam lambung yang terjadi
selama kehamilan yakni mual, muntah, hiperemesis gravidarum dan penyakit refluks gastroesofageal.
PERUBAHAN HORMON SELAMA KEHAMILAN
Tiga hormon yang berperan pada perubahan fisiologi gastrointestinal adalah hormon hCG (human
chorionic gonadotropin), progesterone dan estrogen. Hormon hCG yang disekresi oleh trofoblas dan
kemudian oleh plasenta mencapai puncaknya pada trimester pertama kehamilan. Hormon ini berfungsi untuk menyokong corupus luteum sampai plasenta dapat menghasilkan progrestron untuk menyokong implantasi. Kadar puncak hormon ini selama trimester pertama kehamilan diduga berperan
dalam patogenesis terjadinya keluhan mual dan muntah serta hiperemesis gravidarum. HcG memiliki
struktur yang mirip sekitar 85% dengan hormon TSH (thyroid stimulating hormone) sehingga dapat
46
MEDICINUS
medical review
berikiatan dengan reseptor TSH di kelenjar tiroid dan merangsang produksi kelenjar tiroid meski bersifat stimulator tiroid yang lemah. Diduga terjadinya hiperemesis bertalian langsung dengan kelenjar
tiroid yang hiperaktif bukan dari hCG yang berlebihan karena seiring dengan membaiknya emesis
maka hipertiroidnya juga membaik. Kondisi ini dikenal dengan istilah gestational transient thyrotoxicosis.8,9
Progesteron dan estrogen memiliki efek yang kuat terhadap otot polos uterus untuk mempertahankan miometrium dalam keadaan yang relatif relaksasi. Pengaruh ini juga terjadi pada otot polos sistem
organ lain termasuk gastrointestinal. Selain itu, progestron juga menyebabkan waktu pengosongan
lambung dan waktu transit intestinal memanjang sehingga dipikirkan menjadi faktor predisposisi terjadi mual dan muntah.10
MUAL, MUNTAH, DAN HIPEREMESIS GRAVIDARUM
Mual dan muntah dialami sekitar 60%-70% perempuan pada trimester pertama kehamilan. Gejala ini
merupakan bagian dari spektrum normal kehamilan trimester pertama dan umumnya membaik pada
usia kehamilan 12-16 minggu. Istilah morning sickness yang lazim digunakan sehari-hari sebenarnya
tidak terlalu tepat mengingat kondisi dapat terjadi pada setiap waktu bahkan dapat terjadi terus menerus sepanjang hari. Namun begitu, sebagian besar perempuan hamil yang mengalami mual dan
muntah selama kehamilan umumnya dapat tetap cukup minum dan makan. Jika terjadi gejala mual
dan muntah yang berat serta persisten sehingga mengakibatkan dehidrasi, gangguan asam basa dan
elektrolit atau defisiensi nutrisi disebut sebagai hiperemesis gravidarum. Jika mual dan muntah dikatakan sebagai spectrum normal dari kehamilan maka kondisi hiperemesis ini dikatakan sebagai keadaan yang ekstrim. Diperkirakan 0,5% perempuan hamil mengalami kondisi ini. Tidak seperti mual
dan muntah yang lebih ringan dan fisiologis, hiperemesis dapat berakibat buruk pada ibu hamil ataupun janin. Bila tidak ditatalaksana dengan adekuat dan tepat, hiperemesis dapat menyebabkan komplikasi pada ibu seperti ensefalopati Wernicke (dikaitkan dengan 40% kematian janin), central pontine
myelinolisis, dan kematian.10,11,12
Patogenesis
Patogenesis mual dan muntah sejatinya masih diperdebatkan namun beberapa teori telah diajukan
seperti peningkatan hormon hCG. Pada sebuah studi komparatif, dilaporkan bahwa perempuan hamil
yang mengalami keluhan mual dan muntah didapatkan peningkatan kadar hormon hCG12 meski studi
lainnya tidak mendukung hal ini.13 Peranan hormon progesterone dan estrogen terhadap timbulnya
mual muntah tampaknya sebagai mediator terjadinya gangguan motilitas lambung. Sebuah studi
yang dilakukan Walsh dkk mendapati bahwa pada perempuan hamil yang mengalami mual muntah
terdapat gangguan irama lambung (gastric dysrithmia) melalui pengukuran elekrogastrografi. Penelitian itu membandingkan dengan perempuan tidak hamil yang diberikan hormon progesterone dan
atau estrogen, yang juga mengalami gangguan irama lambung dan mengalami keluhan mual muntah.14 Peranan sekresi asam lambung terhadap keluhan mual dan muntah tidak banyak dilaporkan.
Peningkatan sekresi asam lambung selama kehamilan tampaknya lebih berperan terhadap patogenesis timbulnya penyakit refluks gastroesofageal selama kehamilan.
Patogenesis hiperemesis gravidarum juga belum sepenuhnya jelas. Studi-studi menunjukkan hubungan langsung antara beratnya hiperemesis (yang ditandai dengan hasil tes fungsi hati dan gangguan
elektrolit) dengan peningkatan kadar tiroksin, kadar homon hCG, dan kadar estriol. Selain itu, overaktif
aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal, sistem imunitas yang overaktif, defisiensi vitamin, distensi saluran
pencernaan bagian atas, disfungsi otonom, gangguan pengosongan lambung dan faktor psikologi
juga dilaporkan berperan dalam terjadinya hiperemesis gravidarum.10,15 Infeksi Helicobacter pylori lebih
sering ditemukan pada perempuan hamil dengan komplikasi hiperemesis gravidarum. Hayakawa
dkk mendapati 61,8% perempuan hamil dengan hiperemesis ternyata positif terinfeksi Helicobacter
pylori dan pemberian antibiotik dapat mengurangi keluhan mual dan muntah pada pasien dengan
hiperemesis.17 Penurunan tekanan LES (lower esophageal sphincter), penurunan peristalsis gaster dan
MEDICINUS
47
medical review
lambatnya pengosongan lambung dapat memperberat gejala hiperemesis meski diduga kondisi ini
bukan penyebab tersendiri. Gambar 1 menunjukkan betapa rumitnya patogenesis dari hiperemesis
gravidarum.
Diagnosis
Pada perempuan hamil, kondisi mual, muntah, produksi air liur berlebihan (ptyalism) dan hiperemesis biasanya terjadi antara minggu ke-6 dan ke-8 kehamilan dan membaik pada trimester kedua.
Jika keluhan muncul setelah 12 minggu sejak amenore biasanya tidak berkaitan dengan hiperemesis
gravidarum sehingga sebaiknya dipikirkan penyebab lain mual dan muntah ini. Karena hiperemesis
umumnya berulang maka anamnesis riwayat hiperemesis pada kehamilan sebelumnya akan membantu mengarahkan diagnosis. Kehilangan berat badan dan massa otot dapat terjadi pada kasus-kasus
yang berat. Begitu juga dengan gangguan cairan dan elektrolit, dehidrasi, keton uria dan asetonuria.
Idealnya, usia kehamilan secara pasti harus diketahui dengan bantuan ultrasonografi uterus yang juga
dapat membantu mengonfirmasi ada tidaknya kehamilan ganda ataupun mola hidatidosa. Tidak ada
pemeriksaan penunjang yang memberikan gambaran spesifik untuk hiperemesis. Umumnya yang dapat ditemui adalah abnormalitas fungsi hati, gangguan elektrolit, gangguan fungsi tiroid (penurunan
kadar TSHs, peningkatan T4 bebas), dan ketonuria. Pada saat hiperemesis perbaikan, umumnya abnormalitas hasil laboratorium kembali normal.10,11
Diagnosis banding hiperemesis gravidarum yang perlu dipikirkan adalah gastritis, ulkus peptikum,
hepatitis, pancreatitis, obstruksi usus, hiperparatiroidism, hipertiroidism, IBS, nefrolitiasis, infeksi saluran kemih hingga uremia.10
48
MEDICINUS
medical review
Tata Laksana
Umumnya, tata laksana mual dan muntah
disesuaikan dengan beratnya keadaan. Pasien
dapat dianjurkan untuk makan dengan porsi
kecil namun sering (small but frequent) dan
juga menghindari makanan/minuman ataupun kondisi yang dapat mencetuskan mual dan
muntah. Medikamentosa umumnya jarang digunakan. Namun pada kondisi mual dan muntah sehingga timbul dehidrasi dan gangguan
asupan maka terapi cairan intravena dan atau
nutrisi parenteral dapat diberikan. Pemberian
cairan infus dekstrose tidak dianjurkan karena
selain dapat mencetuskan ensefalopati Wernicke, pada hiperemesis umumnya terjadi gangguan elektrolit sehingga cairan yang sesuai adalah normal saline atau ringer lactate atau cairan
Hartmann.10,11,15
Suplementasi vitamin B1 (thiamin) hendaknya
diberikan pada perempuan hamil yang memerlukan perawatan karena hiperemesis. Thiamin
dapat diberikan per oral dalam bentuk tablet thiamin hidroklorida 3 x 2550 mg. Jika tidak dapat
mentolerir pemberian oral maka dapat diberikan secara intravena seminggu sekali dengan
melarutkan 100 mg thiamin dalam 100 cc normal
saline dan diinfus dalam 3060 menit. Sedangkan pemberian vitamin B6 (piridoksin) diketahui
dapat mengurangi mual namun tidak mengurangi muntah secara signifikan.15
Obat antiemetik seperti antagonis dopamine
(metoclopramid dan domperidon misalnya
Vometa), fenotiazin (chlorpromazine dan
prochlorperazine) dan antihistamin (promethazine) dari berbagai penelitian menunjukkan
kurangnya efek teratogenik. Antihistamin (H1
blockers) seperti ranitidin diketahui aman untuk
kehamilan sedangkan omeprazole termasuk kelas C (tidak dianjurkan pada ibu hamil). Meski
infeksi Helicobacter pylori berperan dalam patogenesis hiperemesis gravidarum, tidak serta
merta menjadikan terapi eradikasi langsung
diberikan. Hal ini terkait karena masalah keamanannya.10,11,15 Terapi alternatif seperti bubuk
jahe (powdered ginger root) diketahui memberikan efek signifikan dibandingkan plasebo dalam
mengurangi gejala hiperemesis gravidarum.10,11
Pada kasus-kasus mual dan muntah yang persisten dengan pemberian terapi anti-emetik maka
pemberian kortikosteroid dapat dibenarkan.
Safari dkk melaporkan tingkat keberhasilan pemberian metilprednisolon oral sebesar 94% pada 18
pasien dengan hiperemesis refrakter. Dosis metilprednisolon yang diberikan adalah 48 mg per hari
selama 3 hari yang kemudian dititrasi turun dalam
2 minggu.16
Dukungan emosional hendaknya tidak dilupakan
dalam penatalaksanaan hiperemesis mengingat
adanya peranan faktor psikologi dalam patogenesisnya. Sikap yang bersahabat dari dokter dan
staf medis akan membantu menentramkan hati
pasien. Pada beberapa kasus, psikoterapi suportif,
terapi perilaku (misalnya cognitive behavioral therapy) hingga hipnoterapi dilaporkan membantu
pengobatan hiperemesis.10,11
PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGEAL
Gejala heartburn atau disebut juga sebagai pirosis diperkirakan terjadi pada 50%-80% perempuan hamil.18 Selain keluhan heartburn, perempuan hamil juga dapat mengalami refluks yang
sering ditandai dengan batuk persiten dan mengi. Keluhan biasanya muncul saat akhir trimester
kedua bahkan dapat menetap hingga masa partus dan dapat menjadi prediktor berkembangnya
penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux disease/GERD) yang berulang.17 Faktor
risiko terjadinya GERD ini pada kehamilan antara
lain multiparitas, usia ibu saat hamil, peningkatan
berat badan yang berlebihan, dan riwayat heartburn pada kehamilan sebelumnya.18 Meskipun
terkadang keluhan dapat menjadi berat, namun
esofagitis jarang terjadi dan biasanya GERD ini
membaik setelah masa melahirkan.
Patogenesis
Mekanisme yang mendasari terjadinya GERD
pada perempuan hamil dikaitkan dengan adanya
perubahan hormon yang mempengaruhi motilitas esofagus, penurunan tonus otot sfinger
esofagus bawah (lower esophageal sphincter/LES),
dan pengosongan lambung. Kompresi lambung
dan peningkatan tekanan intraabdominal akibat
pembesaran uterus juga diyakini berperan dalam
terjadinya GERD ini. Namun secara umum, dua
mekanisme yang dapat menjelaskan terjadinya
GERD adalah berkurangnya tekanan sfingter esofagus bawah dan efek mekanik uterus gravid.17
Penurunan tekanan LES diperkirakan sebagai akibat peranan hormon estrogen dan progesteron
MEDICINUS
49
medical review
50
MEDICINUS
tanil sebagai kategori C serta midazolam dan diazepam sebagai kategori D. Karena alasan inilah,
maka sebaiknya esofagogastroduodenoskopi
sebaiknya dilakukan hanya pada kasus-kasus refrakter dengan obat-obatan atau bila ada komplikasi serius. EGD sebaiknya ditunda sampai
setelah melewati trimester pertama kehamilan.
Tata Laksana
Tujuan utama tata laksana adalah untuk mengurangi refluks dan netralisasi volume lambung. Umumnya untuk gejala yang ringan,
dapat dilakukan dengan modifikasi perilaku
dan diet seperti menghindari berbaring atau
terlentang setelah makan, menghindari makanmakanan tertentu yang mencetuskan sekresi
asam lambung (misalnya kopi, coklat, alkohol,
makanan asam ataupun makanan berlemak,
dan me-rokok), serta dengan meninggikan
kepala saat berbaring.10,18 Pada gejala GERD sedang sampai berat, dapat dilakukan pemberian
obat-obatan dengan mempertimbangkan manfaat dan risikonya terhadap kehamilan. Antacid
dan sukralfat dianggap aman sebagai terapi lini
pertama bila digunakan pada trimester pertama
dan ketiga kehamilan.18,19 Antacid berbasis magnesium harus dihindari karena magnesium sulfat
dapat mengganggu kotraksi otot persalinan dan
dapat menyebabkan kejang. Begitu juga dengan
antacid yang mengandung natrium-bikarbonat,
karena dapat menyebabkan alkalosis metabolik
pada ibu dan janin serta dapat mengakibatkan
retensi cairan. Pada perempuan hamil dengan
anemia defisiensi besi yang mendapatkan preparat besi, pemberian antacid ini sebaiknya
diberikan dengan waktu berbeda untuk menghindari interaksi yang dapat mengganggu absorbsi besi.10
Jika tidak ada respon, maka dapat dilanjutkan
dengan pemberian antagonis reseptor H-2
yakni ranitidine. Simetidin harus dihindari karena adanya efek anti-androgenik. Penghambat
pompa proton (proton pump inhibitorPPI) sebaiknya diberikan pada kasus-kasus dengan gejala persisten atau bila ada komplikasi.18,19 Omeprazol tidak boleh diberikan selama kehamilan
karena termasuk kategori C (menimbulkan efek
teratogenik pada janin) sedangkan golongan
PPI lainnya termasuk kategori B.18 Tabel 1 berikut
menunjukkan keamanan obat GERD dalam kehamilan dan algoritma tata laksana GERD dalam
kehamilan disajikan dalam gambar 2.
medical review
reference
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
MEDICINUS
51
52
MEDICINUS
DM: Ada dua hal yang menjadi perhatian dalam perkembangan penyakit saluran cerna di Indonesia. Pertama,
semakin meningkatnya prevalensi penyakit yang berhubungan dengan asam lambung (acid-related disease),
khususnya GERD (Gastro-esophageal reflux disease) dengan berbagai komplikasinya. Kedua, semakin meningkatnya angka kejadian penyakit keganasan pada saluran
cerna, khususnya usus besar dengan kecenderungan faktor risiko usia yang semakin muda. Hal ini merupakan tantangan bagi para ahli gastoeneterologi untuk mengurangi
prevalensi tersebut. Berkaca dari hal tersebut, berdasarkan guideline yang disusun oleh para ahli gastroenterologi di Amerika Serikat, untuk mencegah timbulnya tumor
ganas pada usus besar (colorectal cancer), individu yang
sudah mencapai usia 50 tahun dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan kolonoskopi, sekali dalam seumur hidup,
meskipun mereka tidak memiliki riwayat keluarga yang
mengalami tumor ganas saluran cerna. Salah satu upaya
pencegahan dini yang bisa dilakukan adalah jika berdasarkan pemeriksaan histopatologis, seseorang ditemukan
polip adenoma di usus besarnya, harus segera dilakukan
pengangkatan. Kenapa? Sebab berdasarkan data statistik, pembiaran polip adenoma di usus besar memberikan
peluang 1% untuk bisa berkembang menjadi kanker usus
besar dan hal itu tidak boleh disepelekan.
DM: Ada dua hal yang menjadi perhatian dalam perkembangan penyakit saluran cerna di Indonesia. Pertama,
semakin meningkatnya prevalensi penyakit yang berhubungan dengan asam lambung (acid-related disease),
khususnya GERD (Gastro-esophageal reflux disease) dengan berbagai komplikasinya. Kedua, semakin meningkatnya angka kejadian penyakit keganasan pada saluran
cerna, khususnya usus besar dengan kecenderungan faktor risiko usia yang semakin muda. Hal ini merupakan tantangan bagi para ahli gastoeneterologi untuk mengurangi
prevalensi tersebut. Berkaca dari hal tersebut, berdasarkan guideline yang disusun oleh para ahli gastroenterologi di Amerika Serikat, untuk mencegah timbulnya tumor
ganas pada usus besar (colorectal cancer), individu yang
sudah mencapai usia 50 tahun dianjurkan untuk menjala-
DM: Prinsip hidup sehat saya adalah keseimbangan antara beban kerja, baik fisik maupun psikologis dengan aktivitas yang menyehatkan. Imbangi ritme tubuh yang biasa
melakukan kegiatan menyita waktu (misalnya bekerja)
dengan gaya hidup sehat seperti olahraga, mengatur pola
makan yang sehat, istirahat yang cukup dan juga kegiatan
rekreasi. Sebab,beban kerja yang berlebihan tanpa diimbangi dengan aktivitas yang menyehatkan justru akan
menjadi anomali hingga akhirnya menimbulkan stres dan
berbagai penyakit lainnya. Selain itu, prinsip hidup sehat
yang saya jalankan adalah selalu ikhlas dalam melakukan
sesuatu. Jika kita tidak ikhlas, pastilah akan menimbulkan
masalah bagi kita sendiri yang pada akhirnya bisa menyebabkan stres dan penyakit juga. (NDA)
MEDICINUS
53
54
2
MEDICINUS
Vol.26
27,No.2
No. August
1 April 2014
Vol.
2013
Patience
compliance
Diabetes mellitus atau yang lebih dikenal dengan penyakit kencing manis, merupakan suatu
penyakit atau gangguan metabolik yang kompleks dan progresif, yang populasinya semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Projeksi oleh
International Diabetes Federation (IDF) menyatakan bahwa jumlah populasi diabetes akan meningkat dari 366 juta pada 2011 menjadi 552 juta
pada tahun 2030. Jumlah pasien diabetes tipe-2
meningkat di setiap negara, dan terdapat sekitar 78.000 anak-anak yang didiagnosis diabetes
tipe-1 setiap tahun. Saat ini, sebanyak 80% pasien
diabetes hidup di negara dengan penghasilan
rendah dan menengah (negara berkembang),
dengan populasi terbesar berusia 4059 tahun.
China menempati urutan pertama negara dengan populasi pasien diabetes dewasa (2079
tahun) terbanyak di dunia (90 juta, pada tahun
2011), disusul India, Amerika Serikat, Rusia dan
Brazil. Indonesia sendiri menempati peringkat
10 dengan jumlah pasien diabetes sebanyak 7.3
juta, pada tahun 2011, dan diproyeksikan naik ke
peringkat 9 di tahun 2030 dengan 11.8 juta pasien
diabetes.1 Sementara berdasarkan data WHO,
pada tahun 2000, Indonesia berada pada urutan
ke-4 negara dengan populasi diabetes terbanyak
di dunia (dengan jumlah sekitar 8,4 juta pasien),
di bawah India, China dan Amerika Serikat. Pada
tahun 2030, jumlah pasien diabetes Indonesia
diproyeksikan akan mencapai 21,3 juta orang.2
MEDICINUS
55
Patience
compliance
darah pasien dimonitor secara rutin menggunakan perangkat elektronik (glukometer).10,11 Pasien
yang sudah lama menderita diabetes menunjukkan tingkat kepatuhan sebesar 104% terhadap
pengobatan dengan regimen satu kali sehari, dan
hanya sebesar 87% terhadap regimen tiga kali sehari.12
Monitoring-sendiri (self-monitoring) kadar glukosa darah menggunakan glukometer dilakukan oleh sebanyak 94% pasien dengan regimen
pengobatan satu kali sehari, dan hanya dilakukan
oleh sekitar 57% pasien dengan regimen dua atau
tiga kali sehari.12 Studi terakhir juga menunjukkan
bahwa sebanyak 24% pasien dengan terapi insulin, 65% pasien dengan terapi anti diabetes oral,
dan 80% pasien yang hanya mendapat terapi
dengan diet dan olahraga, tidak pernah melakukan monitoring-sendiri kadar glukosa darah nya
atau kurang dari sekali dalam sebulan.13 Monitoring-sendiri sedikitnya sekali sehari dilaporkan
oleh 39% pasien dengan terapi insulin, dan hanya
oleh 5% pasien dengan terapi anti-diabetes oral
ataupun diet/olahraga.13
Penelitian Cross-National Diabetes Attitudes,
Wishes, and Needs (DAWN),14 menunjukkan tingkat kepatuhan pasien diabetes tipe-1 terhadap
pengobatan sebesar 83% dan diabetes tipe-2
sebesar 78%; tingkat kepatuhan terhadap monitoring-sendiri kadar glukosa darah, masing-masing sebesar 70% dan 64%; dan terhadap jadwal
kontrol ke dokter, masing-masing sebesar 71%
dan 72%. Kepatuhan pasien diabetes tipe-1 dan
tipe-2 terhadap diet, masing-masing sebesar 39%
dan 37%; dan terhadap olahraga, sebesar 37% dan
35%. Dalam penelitian tersebut dilaporkan bahwa
secara umum kepatuhan pasien diabetes tipe-1
relatif lebih baik dibandingkan dengan pasien
diabetes tipe-2.
APA YANG MENGHAMBAT KEPATUHAN PASIEN
TERHADAP TERAPI DM?
Faktor-faktor penghambat kepatuhan pasien terhadap terapi diabetes antara lain adalah regimen
pengobatan yang kompleks (polifarmasi, banyaknya penyakit penyerta yang juga memerlukan
pengobatan), kegagalan dokter dan tenaga medis profesional untuk bertindak benar dan tepat
waktu sekalipun mereka mengetahui permasalahan pasien (yang dalam istilah medis lebih dikenal
sebagai inersia klinis), keamanan atau efek-samping obat, harga obat (isu ekonomi dan sosial), etnisitas, usia, pemahaman dan kepercayaan pasien
terhadap manfaat pengobatan, serta dukungan
keluarga atau lingkungan sekitar pasien.3,5,15,16
56
MEDICINUS
Patience
compliance
dan tetap terkontrol sepanjang waktu. Penderita diabetes perlu secara rutin mengontrol kadar
gula darahnya.
Keberhasilan terapi pada penderita diabetes mellitus tidak hanya menjadi tanggung jawab profesional kesehatan saja, ataupun si penderita itu
sendiri. Butuh kerjasama dan komunikasi yang
terencana dari semua pihak, bahkan komunitas
pun memiliki peranan yang penting untuk keberhasilan terapi dan mengendalikan pertambahan
jumlah penderita diabetes mellitus.
references
1. International Diabetes Federation. Diabetes atlas: The global burden. Available at URL: http://www.idf.org/diabetesatlas/5e/theglobal-burden. Retrieved on 28 August 2013.
2. Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. Global prevalence of
diabetes estimates for the year 2000 and projections for 2030. Diabetes Care. 2004; 27:10471053.
3. Bailey CJ, Kodack M. Patient adherence to medication requirements for therapy of type 2 diabetes. Int J Clin Pract.
2011;65(3):314-322.
4. Haynes RB, Taylor DW, Sackett DL: Compliance in health care. Baltimore, Md., Johns Hopkins University Press. 1979.
5. Ahmad NS, Ramli A, Islahudin F, Paraidathathu T. Medication adherence in patients with type 2 diabetes mellitus treated at primary health clinics in Malaysia. Patient Preference and Adherence
2013:7 525530.
6. Kurtz SMS: Adherence to diabetes regimens: empirical status and
clinical applications. Diabetes Educ. 1990; 16:50-56.
7. Glasgow RE, McCaul KD, Schafer LC: Self-care behaviors and glycemic control in type 1 diabetes. J Chron Dis. 1987; 40:399 -412.
8. Kravitz RL, Hays, RD, Sherbourne CD, DiMatteo MR, Rogers WH, Ordway L, Green-field S: Recall of recommendations and adherence
to advice among patients with chronic medical conditions. Arch
Intern Med. 1993; 153 : 1869-1878.
9. Anderson RM, Fitzgerald JT, Oh MS: The relationship of diabetesrelated attitudes and patients' self-reported adherence. Diabetes
Educ1993; 19 : 287-292.
10. Mason BJ, Matsuyama JR, Jue SG: Assessment of sulfonylurea adherence and metabolic control. Diabetes Educ. 1995; 21:52 -57.
11. Paes AHP, Bakker A, Soe-Agnie CJ: Impact of dosage frequency on
patient compliance. Diabetes Care. 1997; 20:1512 -1517.
12. Winkler A, Teuscher AU, Mueller B, Diem P. Monitoring adherence
to prescribed medication in type 2 diabetic patients treated with
sulfonylureas. Swiss Med Wkly. 2002; 132:379 -385.
13. Harris MI. Frequency of blood glucose monitoring in relation to
glycemic control in patients with type 2 diabetes. Diabetes Care.
2001; 24:979982.
14. Peyrot M, Rubin RR, Lauritzen T, Snoek FJ, Matthews DR, Skovlund
SE: Psychosocial problems and barriers to improved diabetes management: Results of the Cross-National Diabetes Attitudes, Wishes
and Needs (DAWN) Study. Diabet Med. 2005; 22:13791385.
15. Rubin RR. Adherence to pharmacologic therapy in patients with
type 2 diabetes mellitus. Am J Med. 2005;118 Suppl 5A:27S-34S.
16. Zafar A, Davies M, Azhar A, Khunti K. Clinical inertia in management of T2DM. Primary Care Diabetes. 2010; 4 (4): 203-207.
17. Delamater A. Improving patient adherence. Clinical Diabetes.
2006; 24: 71-72,75-77.
18. Schoenthaler AM, Schwartz BS, Wood C, Stewart WF. Patient and
physician factors associated with adherence to diabetes medications. Diabetes Educ. 2012;38(3):397-408.
19. American Association Diabetes Educator. Selfcare behavior guideline: Understanding the selfcare behaviors. Available at URL:
http:// http://www.diabeteseducator.org/diabeteseducation/patientresources. Retrieved at 29 Agustus 2013.
MEDICINUS
57
Medical news
Smartphone Menjajah,
Gangguan Kesehatan
Bertambah!
Hampir sama halnya dengan televisi, para pengguna
telepon pintar (smartphone) kini harus bersiap dengan kenyataan bahwa pemakaian telepon berfitur
dan berlayanan serba lengkap dan pintar tersebut
bisa memberikan efek negatif. Sebuah penelitian baru-baru ini dilakukan oleh para peneliti di Kent State
University, Ohio menyatakan hal tersebut. Menggunakan smartphone mungkin tidak memiliki tingkat stigma negatif sebesar kebiasaan duduk di sofa
sembari menonton televisi sepanjang hari, namun
efek buruk yang akan muncul bisa saja sama dengan
perilaku tersebut, tukas Jacob Barkley, asisten Guru
Besar Ilmu Olahraga Kent State University, Ohio.
Telepon selular atau yang kini bertajuk Smartphone
sudah menjadi benda multifungsi dan serba bisa,
sebab bukan lagi untuk berkomunikasi hanya dengan dua subjek (menelpon, mengobrol, mengirim
SMS, email, dll), namun juga menyediakan layanan
untuk berkomunikasi dengan orang banyak melalui
fitur media sosial, baik melalui teks, audio, maupun
dengan mengunggah foto atau video ke beberapa
subjek. Kemudahan smartphone pun tidak berhenti
sampai di situ, tesedianya fitur berbagai permainan
menarik dan futuristik serta layar sentuh di hampir se-
58
MEDICINUS
MEDICINUS
59
Sering
Mengorok?
Gabung dengan
Klub Menyanyi!
Medical news
Apakah Anda dan pasangan Anda punya kebiasaan
mengorok? Kalau iya, cobalah mengikuti klub menyanyi atau paduan suara, karena kegiatan tersebut
akan banyak membantu mengurangi kebiasaan mengorok. Adalah Exeter University dan The Royal Devon
and Exeter NHS Foundation Trust, melalui hasil uji
klinisnya menyatakan bahwa dengan mengikuti latihan
menyanyi atau olah vokal, selain dapat memperkuat
otot-otot tenggorokan, aktivitas tersebut juga bisa
mengurangi gejala gangguan pada tidur, seperti sleep
apnea dan juga mengorok, dimana kondisi gangguan
sleep apnea dapat membuat seseorang berhenti bernapas secara tiba-tiba, di tengah tidur lelapnya.
Mengorok dan gangguan sleep apnea sendiri lebih disebabkan oleh lemahnya otot-otot di sekitar langit-langit lunak rongga mulut dan kerongkongan bagian atas
(otot faringeal). Maka itu, para anggota klub paduan suara bisa meningkatkan kemampuan intonasi nada dan
kekuatan otot-otot di kerongkongan dan langit-langit
dengan cara berlatih vokal dengan serius.
Studi ini berawal dari pengakuan sang pelatih vokal di
The Royal Devon, Alise Ojay, yang mengatakan kepada
Malcolm Hilton, konsultan Otolaringologi, Exeter Hospital, sekaligus Pembantu Dekan Fakultas Kedokteran,
Exeter University, bahwa sejak mulai mengikuti kursus
vokal hingga kini ia menjadi pelatih vokal, kebiasaan
mengoroknya semakin lama semakin berkurang. Sejak mengetahui kebiasaan mengoroknya semakin
berkurang, Alise langsung menyusun program pelatihan vokal intensif khusus untuk penderita gangguan tidur, termasuk mengorok.
60 MEDICINUS
Tidur Siang
Tingkatkan Kemampuan
Belajar Si Kecil!
Setiap bulannya, para peneliti terus
memantau perkembangan pola tidur peserta studi, dan hasilnya memang menakjubkan. Dari bulan ke
bulan, para penderita gangguan
tidur tersebut yang mengikuti latihan vokal me-nunjukkan bahwa
gangguan me-ngorok dan OSA yang
mereka derita semakin lama semakin
berkurang, bahkan dua pertiga dari
mereka meminta untuk meneruskan
dilakukan pelatihan seperti itu hingga gangguan tidur mereka bisa hilang. Ini adalah konsep terapi yang
sangat menarik dan mudah, karena
hanya diperlukan niat dan kemauan
dari si penderita, sementara tidak
ada intervensi medis yang kami berikan dalam terapi ini. Memang tidak
pernah ada proses penyembuhan
yang instant bagi penderita gangguan tidur. Tetapi dengan adanya terapi
ini, penderita bisa memilih proses
penyembuhan secara non-invasif,
namun tetap aman dan bermanfaat
bagi kesehatan organ tubuh lainnya.
jelas Malcolm. Namun, Malcolm juga
menyarankan proses terapi ini akan
lebih cepat berhasil jika si penderita
juga menerapkan gaya hidup sehat
lainnya, seperti mengatur pola makan dan berolahraga secara teratur.
Sebab, kelebihan berat badan justru
semakin memperparah gangguan
mengorok dan OSA pada seseorang.
(NDA)
61
Medical news
Maksimalkan Mutu RS
Guna Meminimalisir Arus
Berobat ke Luar Negeri
Semakin banyaknya masyarakat Indonesia yang berobat ke luar negeri merupakan gambaran
bahwa masih kurangnya kualitas pelayanan medis terutama di rumah sakit. Hal itu disampaikan
oleh Ketua Umum PERSI, Sutoto, saat menghadiri acara Seminar Nasional Perhimpunan Rumah
Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) ke-12, Hospital Expo ke-26 serta Seminar Tahunan Patient Safety
ke-7, di Jakarta Convention Center, 6-9 November lalu. Sutoto menambahkan bahwa kunci untuk
menekan arus penduduk Indonesia yang berobat ke luar negeri adalah dengan semakin memperbaiki mutu pelayanan RS nasional, baik dari segi tempat, SDM, kesediaan alat medis dan obatobatan serta kemudahan akses mendapatkan pelayanan kesehatan.
Terlebih lagi, beberapa bulan ke depan kita akan menghadapi era SJSN (Sistem Jaminan Sosial
Nasional), dimana akses mendapatkan pelayanan kesehatan tidak akan sulit lagi bagi masyarakat
luas, sehingga harus terjadi pemerataan kualitas pelayanan di semua RS di Indonesia. tambah
Sutoto. Jadi, tidak akan ada lagi masyarakat Indonesia, terutama yang berkocek tebal, lebih percaya pada mutu pengobatan di negeri orang dibandingkan di negeri sendiri. Bahkan Sutoto
bercita-cita bahwa suatu saat, jika mutu pelayanan RS dan farmasi nasional sudah sangat baik,
masyarakat kita bisa mengajak orang luar negeri untuk berobat ke Indonesia, karena pelayanan
pengobatan kita yang sudah baik dan tentunya dapat dipercaya.
Padahal, menurut Dirjen Bina Upaya Kesehatan Kemenkes, Akmal Taher, saat ini Indonesia sudah
62
MEDICINUS
memiliki lima RS yang berstandar Internasional, yakni RS di Jakarta, Tangerang, dan Bandung. Sedangkan yang terbaru adalah RS Cipto
Mangunkusumo dan RS Premier Bintaro yang
berhasil menyabet standar internasional versi
Badan Akreditasi RS Internasional JCI. Akmal
pun berharap, dengan adanya RS di Indonesia
yang berstandar Internasional akan mengurangi arus warga berobat ke luar negeri.
Sebagai informasi, menurut data terakhir yang
dihimpun Direktorat Jenderal Pengembangan
Destinasi Pariwisata, Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif menyebutkan ada sekitar
600 ribu warga Indonesia yang berobat ke luar
negeri pada 2012. Sementara total biaya yang
mereka keluarkan mencapai US$1,4 miliar atau
setara Rp13,5 triliun dengan Singapura dan
Malaysia yang masih menjadi tujuan utama turis kesehatan Indonesia. Sejumlah negara lain
pun mulai melirik calon pasien dari Indonesia,
seperti Thailand, China, India, dan Jepang.
Mengingat krusialnya isu peningkatan kualitas pelayanan RS, Sutoto menegaskan bahwa
event Hospital Expo ini menjadi gerbang
utama bagi para praktisi RS untuk menimba
ilmu serta tukar-menukar informasi yang sebanyak-banyaknya. Sehingga ilmu yang akan
diperoleh dari acara ini bisa mereka aplikasikan untuk memperbaiki segala hal yang masih
kurang pada instansi perumahsakitan masingmasing.
Sebelumnya, perhelatan Seminar Nasional
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia
(PERSI) ke-12, Hospital Expo ke-26 serta Seminar Tahunan Patient Safety ke-7 ini dibuka oleh
Ketua Panitia Seminar Nasional, Sri Rachmani,
bersama dengan Direktorat Jenderal Bina
Upaya Kesehatan, Kementrian Kesehatan, Akmal Taher serta Robert Imam Sutedja dari PT
Okta Sejahtera Insani, selaku penyelenggara
Hospital Expo.
Seminar yang ditujukan bagi dunia perumahsakitan ini, pada tahun 2013 diikuti oleh
MEDICINUS
63
CALENDAR EVENT
MARCH
The 8th ANNUAL SCIENTIFIC MEETING OF INDONESIAN
SOCIETY OF HYPERTENSION
Theme: Optimizing Hypertension Management in
Primary and Referral Care for Morbidity and Mortality
Reduction
March 7th-9th, 2014, at Ritz Carlton, Mega Kuningan,
Jakarta
Contact Person:
PERKI House 2nd Floor
Jl. Danau Toba No 139 A-C
Bendungan Hilir Jakarta Pusat
Telp
: +6221 5734978
Email
: inash@inash.or.id
Website : www.inash.or.id
2nd BALIKPAPAN RHEUMATOID UPDATE 2014
Theme: Updating all the Rheumatology Knowledge
including New Discovering of all Rheumatoid Diseases
Medicines
March, 14th-16st, 2014, at Hotel Gran Senyiur Balikpapan
Contact Person:
Indonesian Rheumatology Association, Branch of Balikpapan
RSUD Kanijoso Djatiwibowo
Jl. MT Haryono (Ring Road) No, 565
Balikpapan
Phone : +62542 873901
Phonecell : +628125828617 (Endang)/+6282157012190
(Ramlah)
Fax
: +62542 873527
Email
: reumatologi.bpp@gmail.com
NATIONAL SYMPOSIUM AND WORKSHOP ON ANTIAGING MEDICINE
Theme: Keep Healthy and Young, But How?
March, 14th-16st, 2014, at Patra Hotel Bali
Contact Person:
Secretariat of Center for Study of Anti Aging Medicine
Medical Faculty, Udayana University
Denpasar, Bali
Email
: csaam_fkunud@ymail.com
or
PT Blesslink Rema
Jl. Sunda No. 50A
Bandung
Phone : +6222 426 2063
Phonecell : +62813 2172 3083/+62811 2255636
Fax
: +6222 426 2065
Email
: info@naswaambali.com
64
MEDICINUS
APRIL
THE 7th ASIAN PACIFIC CONGRESS OF HEART FAILURE
It Is More Than Diagnostic Tool
April 17th-19th, 2014, at Hotel , Bali
Contact Person:
Indonesian Heart Association
National Cardiovascular Center Harapan Kita Hospital
Jl. Letjend. S. Parman Kav. 87
Jakarta Barat 11420
Phone : +6221 5681149/5684093, ext. 1441, 1440
Fax
: +6221 5684220
Email:
inaheart@indosat.net.id/scientific.inaheart@
gmail.com
Website : www.7thapchf.org
THE 5th ANNUAL SCIENTIFIC MEETING OF INDONESIAN
UROGYNEACOLOGY ASSOCIATION
Vaginal Surgery for Better Quality of Life
April 25th-26th, 2014, at JW Marriot, Surabaya
Contact Person:
Reproduction Urogyneacology Department, Dr. Soetomo General Hospital
Jl. Mayjen Prof. dr. Moestopo No. 6-8, Surabaya
Phone : +6231-5501639/5013374
E-mail : mice@blesslinkrema.com
Website : www.hugi2014.com
MAY
THE 4th NATIONAL CONFERENCE OF PABI
Acute Care Surgery
May 13th-17th, 2014, Trans Luxury Hotel, Bandung
Contact Person:
Emergency Division of RSUP Hasan Sadikin Bandung
Phone : +6222-70888720
Fax
: +6222-2033925
Email : pabibandung2014@gmail.com
THE 25th PDGI CONGRESS
MEDICINUS
65
66
MEDICINUS