Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
DEPARTEMEN/SMF NEUROLOGI
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
STROKE
1. Pengertian (Definisi)
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang
8. Terapi
9. Edukasi
10. Prognosis
of evidence B)
Carotid Doppler (USG Carotis)
Transcranial Doppler /TCD (AHA/ASA, Class II, Level of evidence
A)
Penatalaksanaan Umum Stroke Akut:
a..Stabilisasi jalan nafas dan pernapasan
b.stabilisasi hemodinamik dengan cairan isotonis dengan cairan kristaloid
intravena
c.Penatalaksanaan hipertensi pada stroke akut dengan menggunakan obat
antihipertensi golongan Calcium Channel Blocker secara intravena
(Nicardipin atau Diltiazem dengan dosis 5mg/jam 2,5 mg/jam tiap 15
menit sampai 15 mg/jam)) dengan ketentuan sebagai berikut:
-Pada stroke iskemik akut, TD diturunkan 15% (sistolik maupun diastolik)
dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila TD Sistolik >220 mmHg
atau TD Diastolik > 120 mmHg (AHA/ASA. Class I, Level of evidence B)
-Pada stroke perdarahan intraserebral akut, apabila TDS>200mmHg atau
MAP>150 mmHg, TD diturunkan sampai TDS 140mmHg. (AHA/ASA,
Class IIa, Level of evidence B)
d. Pentalaksanaan hipotensi pada stroke akut, apabila TDS<100 mmHG
atau TDD <70mmHg dengan pemberian obat vasopressor intravena
(Norefinefrin dengan dosis 4ug/ml dimulai 1ug/menit dititrasi atau
Dopamin dengan dosis >10ug/kgBB/menit)
e.Penatalaksanaan peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK) dengan cara :
-Elevasi kepala 30 derajat
-Posisi pasien menghindari penekanan vena jugular
-Hindari pemberian cairan hipotonik atau glukosa
-Hindari hipertermia
-Jaga normovolemia
-Osmoterapi dengan pemberian cairan Manitol intravena dengan dosis
0,25-0,5 g/kgBB selama >20 menit diulangi setiap 4-6 jam dengan target
<310mOsm/L (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C)
f.Pengendalian kejang dengan Diazepam bolus lambat intravena 5-20 mg
dan diikuti Fenitoin loading dose 15-20 mg/kgBB bolus dengan kecepatan
50 mg/menit jka masih kejang (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C)
g.Pengendalian hiperpireksia dengan antipiretika Asetaminofen 650 mg
jika suhu>38,5 derajat Celcius dan diatasi penyebabnya (AHA/ASA, Class
I, Level of evidence C)
h.Penatalaksanaan hiperglikemia (BSS>180 mg/dl) pada stroke akut
dengan titrasi insulin (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C).
Hipoglikemia berat (<50mg/dl) diobati dengan Dekstrosa 40% intravena
atau infus glukosa 10-20%.Target yang harus dicapai adalah
normoglikemia.
i.Pemberian H2 antagonis (Ranitidin) atau penghambat pompa proton
(Omeprazole) secara intravena dengan dosis 80 mg bolus jika terjadi stress
ulcer (Class I, Level of evidence A)
j.Pemberian analgesik dan anti muntah sesuai indikasi.
h.Pemberian Neuroprotektor (Citicholin) dengan dosis 2x1000 mg
intravena selama 3 hari dilanjutkan dengan oral 2x1000 mg selama 3
minggu (ICTUS)
15 Kepustakaan
Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang
1. Pengertian (Definisi)
2. Anamnesa
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang
MENINGITIS TUBERKULOSA
ICD A 17.0
Meningitis tuberkulosa adalah reaksi peradangan yang mengenai
selaput otak yang disebabkan oleh kuman tuberkulosa
Didahului oleh gejala prodormal berupa nyeri kepala, anoreksia,
mual/muntah, demam subfebris, disertai dengan perubahan tingkah
laku dan penurunan kesadaran, onset subakut, riwayat penderita TB
atau adanya fokus infeksi sangat mendukung.
Berdasarkan stadium didapatkan
Stadium I (Stadium awal)
Gejala prodromal non spesifik yaitu apatis, iritabilitas, nyeri
kepala ringan, malaise, demam, anoreksia, muntah, nyeri
abdomen
Stadium II (Stadium intermediate)
Gejala menjadi jelas ditemukan drowsy perubahan mental,
tanda iritasi meningen, kelumpuhan saraf III,IV, VI
Stadium III (Stadium lanjut)
Penderita mengalami penurunan kesadaran menjadi stupor atau
koma, kejang, gerakan involunter, dapat ditemukan hemiparese
Gambaran klinis memeperlihatkan gejala yang bervariasi dan tidak
spesifik. Selama 2-8 minggu dapat ditemukan malaise anoreksia,
demam, nyeri kepala yang semakin memburuk, perubahan mental,
penurunan kesadaran, kejang, kelumpuhan saraf kranial, hemiparese.
Pemeriksaan funduskopi kadang-kadang memperlihatkan tuberkel
pada khoroid dan edema papil menandakan adanya peninggian
tekanan intrakranial
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis
dan pemeriksaan penunjang
Meningoensefalitis karena virus
Meningitis bakterial yang pengobatannya tidak sempurna
Meningitis oleh karena infeksi jamur / parasit (Cryptococcus
neofarmans atau Toxoplasma gondii), Sarkoid meningitis
Tekanan selaput yang difus oleh sel ganas, termasuk karsinoma,
limfoma, leukemia, glioma, melanoma, dan meduloblastoma
Pemeriksaan LCS, dilakukan jika tidak ada tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial (terdapat peningkatan tekanan
pada lumbal pungsi 40-75% pada anak dan 50% pada dewasa.
Warna jernih atau xanthokrom terdapat pada peningkatan protein
dan 150-200 mg/dl dan penurunan glukosa pada cairan
serebrospinal
pemeriksaan darah rutin, kimia, elektrolit
Pemeriksaan Sputum BTA (+)
Pemeriksaan Radiologik
- Foto polos paru
- CT Scan kepala atau MRI dibuat sebelum dilakukan pungsi
lumbal bila dijumpai peninggian tekanan intrakranial
Pemeriksaan penunjang lain :
- IgG anti TB (untuk mendapatkan antigen bakteri diperiksa
counter-immunoelectrophoresis, radioimmunoassay, atau
teknik ELISA).
- PCR
TATALAKSANA
Umum
Kortikosteroid
Penyelesain terapi (makan obat anti tuberkulosis) sampai selesai
batas waktu pengobatan, fisioterapi
Meningitis tuberkulosis sembuh lambat dan umumnya
meninggalkan sekuele neurologis
Bervariasi dari sembuh sempurna, sembuh dengan cacat atau
meninggal
I
A
Kolegium Neurologi Indonesia Sub divisi Neuro Infeksi
8. Terapi
9. Edukasi
10. Prognosis
Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang
Palembang,
Ka. Divisi Meningitis Tuberkulosa
1. Pengertian (Definisi)
2. Anamnesa
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis
MENINGITIS BAKTERIAL
ICD G 00
Meningitis bakterial (disebut juga meningitis piogenik akut atau
meningitis purulenta) adalah suatu infeksi cairan likuor
serebrospinalis dengan proses peradangan yang melibatkan piamater,
arakhnoid, ruang subarakhnoid dan dapat meluas ke permukaan otak
dan medula spinalis
Gejala timbul dalam 24 jam setelah onset, dapat juga subakut antara
1-7 hari. Gejala berupa demam tinggi, menggigil, sakit kepala,
fotofobia, myalgia, mual, muntah, kejang, perubahan status mental
sampai penurunan kesadaran.
- Tanda-tanda rangsang meningeal
- Papil edema biasanya tampak beberapa jam setelah onset
- Gejala neurologis fokal berupa gangguan saraf kranialis
- Gejala lain: infeksi ekstrakranial misalnya sinusitis, otitis media,
mastoiditis, pneumonia, infeksi saluran kemih, arthritis (N.
meningitidis).
- Gejala dan tanda klinis meningitis plus parameter LCS abnormal:
predominasi PMN, rasio glukosa LCS : darah < 0.4 plus
didapatkannya bakteri penyebab di dalam LCS secara
makroskopis dan atau hasil kultur positif
- Gejala dan tanda klinis meningitis plus parameter LCS abnormal:
predominansi PMN, rasio glukosa LCS : darah < 0.4 plus kultur
LCS negatif plus satu dari hal berikut:
o Kultur darah positif
o Tes antigen atau PRC dari LCS menunjukkan hasil positif
- Dengan atau tanpa riwayat infeksi saluran nafas atas yang baru,
riwayat faktor predisposisi seperti pneumonia, sinusitis, otitis
media, gangguan imunologi tubuh, alkoholisme, dan DM.
- Gejala dan tanda klinis
- Pemeriksaan LCS:
o Jumlah sel meningkat, kadang bisa mencapai puluh ribu
o Pada hitung jenis didapatkan predominansi neutrofil sebagai
tanda infeksi akut. Pada meningitis bakterial yang sudah
diobati namun tidak sempurna (partially treated) dapat
dijumpai predominansi monosit.
o Kadar glukosa LCS rendah, umumnya kurang dari 30% dari
kadar gula sewaktu lumbal pungsi dikerjakan
o Pewarnaan gram dan kultur umumnya dapat menemukan
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang
8. Terapi
kuman penyebab
- Pemeriksaan tes aglutinasi latex (jika tersedia)
- Pemeriksaan PCR (jika tersedia)
- Kultur darah positif pada 30-80% kasus
- CT-Scan/MRI kepala pada keadaan-keadaan tertentu.
Meningitis virus, Perdarahan Subarakhnoid, Meningitis Khemikal,
Meningtis TB, Meningitis Leptospira, Meningoensefalitis fungal.
Laboratorium
- Lumbal pungsi
- Pemeriksaan likuor
- Pemeriksaan kultur likuor dan darah
- Pemeriksaan darah rutin,
- Pemeriksaan kimia darah (gula darah, fungsi ginjal, fungsi hati)
dan elektrolit darah
- Analisis gas darah
Radiologis
- Foto polos paru
- CT Scan Kepala
- MRI kepala pada kondisi tertentu
Pemeriksaan penunjang lain: pemeriksaan antigen bakteri spesifik
seperti C-Reactive Protein atau PCR (Polymerase Chain Reaction)
(jika tersedia)
- Perawatan umum
- Kausal: Lama pemberian 10-14 hari
Usia
Bakteri Penyebab
Antibiotika
50 tahun
S. Pneumoniae
Cefotaxime 2g/6 jam max. 12 g/
N. Meningitidis
2g/12 jam + Ampicillin 2
L. Monocytogenes
mg/kgBB/IV/hari).
Chloramphenicol
1g/6
Trimetoprim/sulfametoxazole 20
Bila
prevalensi
S.
Pne
Cephalosporin 2% diberikan:
Cefotaxime / ceftriaxone + Vanc
IV (max. 3 g/ hari)
50 tahun
S. Pneumoniae
H. Influenzae
Species Listeria
Pseudomonas aeroginosa
N. Meningitidis
Bila
prevalensi
S.
Pne
Cephalosporin 2% diberikan:
Cefotaxime / ceftriaxone + Vanc
IV (max. 3 g/ hari)
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan
Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang
Palembang,
Ka. Divisi Meningitis Bakterial
STATUS EPILEPTIKUS
ICD G41.0
1. Pengertian (Definisi)
(Epilepsy Foundation of Americas Working Group on Status Epilepticus)
Adalahbangkitan yang berlangsunglebihdari 30 menit, atauadanyaduabangkitanataulebih, dimana di
antaraduabangkitantersebuttidakterdapatpemulihankesadaran. Penangananbangkitanharusdimulaidalam
5-10 menitsetelahawitansuatukejang.
2. Anamnesa
Alloanamnesadarisaksimatamengenaihal-hal yang terjadiselamabangkitan:
-
Onset bangkitan.
Polabangkitan
(Apakahbangkitandimulaidenganadanyadeviasimata,
gerakankepala,
gerakantubuh,
vokalisasi,
atauautomatisasi?
Apakahbangkitanterjadipadasalahsatuekstremitastubuhatauseluruhtubuh?
Bagaimanakesadaraanpasiensebelumbangkitan, saatbangkitan, dansesudahbangkitan?).
Durasibangkitanberlangsunglebihdari 30 menit.
Frekuensibangkitan.
Lamanya interval antarbangkitan.
Tidakterdapatpemulihankesadaranantarbangkitan.
Faktorpencetus (ApakahterdapatKelelahan, kurangtidur, hormonal, stress psikologis,
ataualkohol?)
Terapiepilepsisebelumnyadanbagaimanaresponnya.
Riwayatpenyakitsekarangdandahulu.
Riwayatbangkitanataupenyakitepilepsidalamkeluarga.
3. PemeriksaanFisik
Pemeriksaanfisikumum:
Terdapatpenurunankesadaran.
Secara visual didapatkanterjadinyabangkitan.
Mencaritanda-tandagangguan yang berkaitandenganepilepsi:
- Trauma kepala
- Tandainfeksi
- Kelainankongenital
- Kelainankulit (neurofakomatosis)
- Tandakeganasan
Pemeriksaanneurologis:
Mencaritanda-tandadefisitneurologisfokalataudifus yang dapatberhubungandenganepilepsi.
4. Kriteria Diagnosis
Adanyabangkitan yang berlangsunglebihdari 30 menit, atauadanyaduabangkitanataulebih, dimana di
antaraduabangkitantersebuttidakterdapatpemulihankesadaran.
Terdapattanda-tandagelombangepileptiformpada video EEG (jikafasilitastersedia)
5. Diagnosis
Klinissesuaidengankriteria diagnosis status epileptikus.
Dikatakanpasti
(established)
awaltidakefektifdalammenghentikanbangkitan.
jikapemberian
benzodiazepine
6. Diagnosis Banding
Syncope
with
secondary
jerking
movement,
gangguan
cardiac
danrespirasi
yang
munculbersamaandengansecondary anoxic seizure, Non-Epileptic Attack Disorder (NEAD),
microsleeps, panic attacks, ensefalopatiakut, intermittent phychosis, hysterical fugue, narkolepsi.
7.PemeriksaanPenunjang
EEG monitoring
Pemeriksaanlaboratorium:
Stadium
Penatalaksanaan
Pemeriksaandarahlengkap,
kadarglukosadarahsewaktu,
fungsiginjal,
fungsihati,
kadarelektrolitdarah, analisa gas
darah,
faal
hemostasis,
kadarobatepilepsi,
toksikologi
(terutamajikapenyebab
status
epileptikustidakjelas).
Pencitraanotak:
CT-Scan kepala, MRI kepala,
Positron Emission Tomography
(PET), Single Photon Emission
Computed Tomography (SPECT),
Magnetic ResonanseSpectrography
(MRS).
Rontgen thorax
Pungsilumbal
EKG
8. Terapi
Tindakan:
1. Operasi
Indikasioperasi:
- Fokalepilepsi
intraktabelterhadapobat-obatan.
Sindromaepilepsifokaldansimptomatik.
Kontraindikasiabsolut:
- Penyakitneurologik yang progresif (baikmetabolikmaupundegeneratif).
- Sindromaepilepsi yang benigna, dimanadiharapkanterjadiremisidikemudianhari.
Jenis-jenisoperasi:
- Operasireseksi: pada mesial temporal lobe, neokortikal.
- Diskoneksi: korpuskalosotomi, multiple supialtransection.
- Hemispherektomi.
StimulasiNervusVagus
9. Edukasi
yang
10. Prognosis
Mortalitas:
Selamaperawatan di RS: 9-21%
Standardized 10-year mortality ratio: 2.8 padapopulasiumum
Morbiditas:
Sequelegangguankognitifdanneurologisberat: 11-16%
90 harisetelah status epileptikus: 39% mengalamigangguankesadarandan 43% mengalamiperbaikan.
Urgent treatment
Phenytoin/fosphenytoin Class IIa, level B
Midazolam (continuous infusion) Class IIb, level B
Phenobarbital Class IIb, level C
Refractory treatment
Midazolam Class IIa, level B
Propofol Class IIb, level B
Pentobarbital/thiopental Class IIb, level B
Valproate sodium Class IIa, level B
Phenytoin/fosphenytoin Class IIb, level C
Lacosamide Class IIb, level C
Topiramate Class IIb, level C
Phenobarbital Class IIb, level C
12. PenelaahKritis
1.Neuro Critical Care (NCS)
2.Perdossi subdivisiepilepsi
13. IndikatorMedis
Bilakejangtetaptidakteratasiselama 30-60 menit (setelahpemberian OAE Phenytoin) atauterdapattandatandaancamangagalnafas, transfer pasienke ICU.
Adanyakeadaanbebaskejanghingga
12-24
kemudiandosisobatditurunkanperlahan.
jam
setelahbangkitanklinisatauelektografisterakhir,
14. Kepustakaan
-PedomanTatalaksanaEpilepsiEdisiKelimaTahun 2014
-StandarPelayananMedik (SPM) NeurologiPerdossi
-Neuro Critical Care
Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang
Palembang,
Ka. Divisi Status Epileptikus
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis Banding
7.Pemeriksaan Penunjang
8. Terapi
Tetanus lokal
Diagnosis ditegakkan dari anamnesa yaitu didapatkan riwayat kejang
rangsang tonik berulang dan juga dari pemeriksaan fisik didapatkan
hipertoni dan spasme otot, fokal infeksi ( baik karnna trauma atau karna
infeksi dari retrofaringeal, gigi dan telinga)
Kejang karena hipokalsemia
Reaksi distonia
Rabies
Meningitis
Abses retrofaringeal, abses gigi, subluksasi mandibula
Sindrom hiperventilasi/reaksi histeria
Epilepsi/kejang tonik klonik umum
Bila memungkinkan, periksa bakteriologik untuk menemukan C.
Tetani.
Pemeriksaan darah rutin, elektrolit, AGD.
EKG serial bila ada tanda-tanda gangguan jantung.
Foto toraks bila ada tanda-tanda komplikasi paru-paru.
Rontgen tulang jika ada trauma berat atau curiga patah tulang.
TATALAKSANA
IVFD dekstrose 5% : RL = 1 : 1 / 6 jam
Kausal :
o Antitoksin tetanus:
a Serum antitetanus (ATS) diberikan dengan dosis
100.000 IU//i.m. dengan dosis maksimal 40.000/hari.
TES KULIT SEBELUMNYA, atau
b Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG). Dosis 5003.000 IU/i.m. Diberikan SINGLE DOSE.
o Tetanus Toxoid diberikan pada pasien dengan riwayat
imunisasi booster terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu atau
riwayat imunisasi tidak diketahui dengan dosis
a. Usia 7 tahun: 0,5 ml (5IU) i.m
b. Usia < 7 tahun: gunakan DTP atau Dtap sebagai
pengganti Tt. Jika kontraindikasi terhadap pertusis,
berikan DT, dosis 0,5 ml i.m, atau
o TIG (Tetanus Immune Globuline)diberikan jika imunisasi
lebih dari 10 tahun dengan dosis
a. Profilaksis dewasa: 250-500 U i.m pada extremitas
kontralateral lokasi penyuntikan Tt.
b. Profilaksis anak: 250 U i.m pada extremitas
kontralateral lokasi penyuntikan Tt.
o Antibiotik :
a Metronidazole 500 mg/6 jam drips i.v.
b Penisilin 2 mega unit i.v/6 jam
Bila alergi terhadap Penisilin dapat diberikan:
Eritromisin 500 mg/6 jam/oral. ATAU
Tetrasiklin 500 mg/6 jam/oral.
o Penanganan luka :
Dilakukan cross incision dan irigasi menggunakan H2O2.
o Simtomatis dan supportif
o Kekakuan otot dan rigiditas/ spasme otot
Diazepam
Digunakan dengan dosis 0,5-10 mg/kgBB atau dengan dosis
a. Spasme ringan: 5-20 mg p.o/8 jam
b. Spasme sedang: 5-10 mg i.v. Bila perlu, tidak melebihi
dosis 80-120 mg dalam 24 jam atau dalam bentuk drip
c. Spasme berat: 50-100 mg dalam 500 ml larutan dextrose
5% dan diinfuskan dengan kecepatan 10-15 mg/jam
dalam 24 jam
MgSO4 dengan dosis 70 mg/kgBB dalam bentuk larutan
10. Prognosis
Class I
Level A
1.WHO
2.CDC
3.Perdossi: kelompok Studi Neuro Infeksi
o Anamnesis
Kejang rangsang tonik berulang
Fokal infeksi
o Pemeriksaan Fisik
Trismus
Perut papan
Opistotonus
15. Kepustakaan
Disfungsi otonom
o Pemeriksaan penunjang
Biakan C. Tetani (+)
Indikator infeksi meningkat.
1. Rhee P, Nunley M.K, Demetriades D, Velmahos G, Doucet JJ.
Tetanus and Trauma: A Review and Recomendations. J Trauma.
2005: 58: 1082-88.
2. Sofiati D. Tetanus. Guideline Infeksi Pada Sistem Saraf,
Kelompok Studi Neuro Infeksi, Perdossi. 2011: 131-150.
Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang
2. Anamnesa
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang
8. Terapi
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
B. Terapi Kausatif/Spesifik
1 Gangguan kesadaran dengan kaku kuduk dengan panas yang
mulai beberapa hari sebelumnya sangat mungkin primer infeksi
(meningitis, ensefalitis) di otak bila gangguan kesadaran tanpa
kaku kuduk sangat mungkin primer infeksi bukan di otak.
2 Gangguan kesadaran dengan kaku kuduk tanpa panas sangat
mungkin perdarahan subaraknoid
3 Gangguan kesadaran dengan didapatkan gangguan neurologis
fokal (hemiparesis, heminervikranial palsy) penyebabnya lesi
intrakranial.
4 Gangguan kesadaran disertai tanda-tanda tekanan intrakranial
meninggi: (muntah-muntah proyektil, parese N.III, kaku kuduk,
penglihatan kabur secepatnya diberi manitol, dexamethason,
dibuat hiperventilasi.
5 Gangguan kesadaran tanpa disertai kaku kuduk dan/atau gejala
neurologis fokal, bradikardi sangat mungkin penyebabnya
metabolik
6 Gangguan kesadaran dengan tanda herniasi intrakranial (anisokor,
isokor miosis/midriasis dengan tetraparesis) termasuk gawat
darurat secepatnya perlu tindakan.
7 Gangguan kesadaran dengan penyebab yang sudah jelas, dapat
diterapi spesifik untuk penyebab:
Hipoglikemi: glukosa
Overdosis opiat: nalokson
Overdosis benzodiazepin: flumazenil
Wernicke ensephalopaty: thiamin
Edukasi yang diberikan meliputi kondisi pasien, penyebab terjadinya
penurunan kesadaran, penatalaksanaan yang dilakukan, serta prognosis.
Penegakan prognosis didasarkan pada derajat penurunan kesadaran,
etiologi, kelainan organ-organ tubuh yang menyertai, serta penyulit atau
penyakit penyerta.
- Perbaikan jalan nafas termasuk pisa orofaring pada pasien tidak sadar :
level C
- Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia: level C
- CT scan kepala diperlukan untuk membedakan penyebab gejala
neurologis penurunan kesadaran: level B
- Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen
<95%: kelas IV
- Perbaikan jalan nafas termasuk pisa orofaring pada pasien tidak sadar :
kelas I
- Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia: kelas I
1 Kolegium Neurologi Indonesia
- Perawatan ICU: jika terjadi gagal nafas yang memerlukan perawatan
dengan menggunakan ventilator
- Perbaikan klinis: jika terjadi perbaikan nilai GCS dan tanda vital lain.
- Perburukan klinis: jika terjadi penurunan nilai GCS dan tanda vital lain
disertai dengan adanya gangguan organ-organ.
15 Kepustakaan
1
2
3
4
5
6
7
Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang
Palembang,
Ka. Divisi Kesadaran Menurun
Koma
dan
2. Anamnesa
3. Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis Banding
7. Pemeriksaan Penunjang
8. Terapi
9. Edukasi
10. Prognosis
14. Kepustakaan
1. Lindenbaum Y, Kissel JT, Mendell JR. Treatment
approaches for Guillain-Barr syndrome and chronic
inflammatory demyelinating poly radiculoneuropathy.
Neuro Clin.2001;19:187204.
2. Hahn AF. Guillain-Barr syndrome. Lancet. 1998;352:635
41.
3. Seneviratne U. Guillain-Barr syndrome. Postgrad Med J.
2000;76:77482.
4. Jiang GX, de Pedro-Cuesta J, Strigard K, Olsson T, Link H.
Pregnancy and Guillain-Barr syndrome: a nationwide
register cohort study. Neuroepidemiology. 1996;15:192
200.
5. The prognosis and main prognostic indicators of GuillainBarr syndrome: a multicentre prospective study of 297
patients. The Italian Guillain-Barr Study Group. Brain.
1996;119(pt 6):205361.
6. Fletcher DD, Lawn ND, Wolter TD, Wijdicks EF. Long-term
outcome in patients with Guillain-Barr syndrome
requiring mechanical ventilation. Neurology.
2000;54:23115.
7. Ropper AH. The Guillain-Barr syndrome. N Engl J Med.
1992;326:11306.
8. Ropper AH, Shahani BT. Pain in Guillain-Barr syndrome.
Arch Neurol. 1984;41:5114.
9. Asbury AK, Cornblath DR. Assessment of current
diagnostic criteria for Guillain-Barr syndrome. Ann
Neurol. 1990;27(suppl):S214.
10. Gordon PH, Wilbourn A J. Early electrodiagnostic findings
in Guillain-Barr syndrome. Arch Neurol. 2001;58:9137.
11. Jozefowicz RF. Neurologic diagnostic procedures. In:
Goldman L, Bennett C, eds. Cecil textbook of medicine.
21st ed. Philadelphia: W.B. Saunders, 2000:20106.
12. McKhann GM, Cornblath DR, Griffin JW, Ho TW, Li CY,
Jiang Z, et al. Acute motor axonal neuropathy: a
frequent cause of acute flaccid paralysis in China. Ann
Neurol. 1993;33:33342.
13. Ho TW, Li CY, Cornblath DR, Gao CY, Asbury AK, Griffin
JW, et al. Patterns of recovery in the Guillain-Barr
syndromes. Neurology. 1997;48:695700.
14. Griffin JW, Li CY, Ho TW, Tian M, Gao CY, Xue P, et al.
Pathology of the motor-sensory axonal Guillain-Barr
syndrome. Ann Neurol. 1996;39:1728.
15. Mori M, Kuwabara S, Fukutake T, Yuki N, Hattori T.
Clinical features and prognosis of Miller Fisher
syndrome. Neurology. 2001;56:11046.
16. Zochodne DW. Autonomic involvement in Guillain-Barr
syndrome: a review. Muscle Nerve. 1994;17:114555.
17. Rees JH, Soudain SE, Gregson NA, Hughes RA.
Campylobacter jejuni infection and Guillain-Barr
syndrome. N Engl J Med. 1995;333:13749.
Mengetahui/ Menyetujui
Ketua Bagian/Departemen Neurologi
FK. Unsri / RSUP Dr. M. Hoesin Palembang