Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
5. Jika seluruh anggota keluarga ikut serta dalam pelayanan, maka segala
keterangan tentang keluarga tersebut, baik keterangan kesehatan dan ataupun
keterangan keadaan sosial dapat dimanfaatkan dalam menangani masalah
kesehatan yang sedang dihadapi.
6. Akan dapat diperhitungkan berbagai faktor yang mempengaruhi timbulnya
penyakit, termasuk faktor sosial dan psikologis.
7. Akan dapat diselenggarakan penanganan kasus penyakit dengan tata cara yang
lebih sederhana dan tidak begitu mahal dan karena itu akan meringankan
biaya kesehatan.
8. Akan dapat dicegah pemakaian berbagai peralatan kedokteran canggih yang
memberatkan biaya kesehatan.
II.4. FUNGSI, TUGAS DAN KOMPETENSI DOKTER KELUARGA
Dokter keluarga memiliki 5 fungsi yang dimiliki, yaitu (Azrul Azwar, dkk. 2004) :
a. Care Provider (Penyelenggara Pelayanan Kesehatan)
Yang mempertimbangkan pasien secara holistik sebagai seorang individu dan
sebagai bagian integral (tak terpisahkan) dari keluarga, komunitas,
lingkungannya, dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang berkualitas
tinggi, komprehensif, kontinu, dan personal dalam jangka waktu panjang
dalam wujud hubungan profesional dokter-pasien yang saling menghargai dan
mempercayai. Juga sebagai pelayanan komprehensif yang manusiawi namun
tetap dapat dapat diaudit dan dipertangungjawabkan
b. Comunicator (Penghubung atau Penyampai Pesan)
Yang mampu memperkenalkan pola hidup sehat melalui penjelasan yang
efektif sehingga memberdayakan pasien dan keluarganya untuk meningkatkan
dan memelihara kesehatannya sendiri serta memicu perubahan cara berpikir
menuju sehat dan mandiri kepada pasien dan komunitasnya
c. Decision Maker (Pembuat Keputusan)
Yang melakukan pemeriksaan pasien, pengobatan, dan pemanfaatan
teknologi kedokteran berdasarkan kaidah ilmiah yang mapan dengan
mempertimbangkan harapan pasien, nilai etika, cost effectiveness untuk
kepentingan pasien sepenuhnya dan membuat keputusan klinis yang ilmiah
dan empatik
d. Manager
Yang dapat berkerja secara harmonis dengan individu dan organisasi di dalam
maupun di luar sistem kesehatan agar dapat memenuhi kebutuhan pasien dan
Indonesia. Jumlah anggota yang telah mendaftar sekitar 3000 orang. Semua
anggota PDKI adalah anggota IDI. PDKI merupakan organisasi profesi dokter
penyelenggara pelayanan kesehatan tingkat primer yang utama.
Ciri dokter layanan primer adalah (Danasari, 2008) :
1. Menjadi kontak pertama dengan pasien dan memberi pembinaan
berkelanjutan (continuing care)
2. Membuat diagnosis medis dan penangannnya
3. Membuat diagnosis psikologis dan penangannya
4. Memberi dukungan personal bagi setiap pasien dengan berbagai latar
belakang dan berbagai stadium penyakit
5. Mengkomunikasikan informasi tentang pencegahan, diagnosis, pengobatan,
dan prognosis
6. Melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit kronik dan kecacatan
melalui penilaian risiko, pendidikan kesehatan, deteksi dini penyakit, terapi
preventif, dan perubahan perilaku.
Setiap dokter yang menyelenggarakan pelayanan seperti di atas dapat
menjadi anggota PDKI. Anggota PDKI adalah semua dokter penyelenggara
pelayanan kesehatan tingkat primer baik yang baru lulus maupun yang telah
lama berpraktik sebagai Dokter Praktik Umum.
Dokter penyelenggara tingkat primer, yaitu :
1. Dokter praktik umum yang praktik pribadi
2. Dokter keluarga yang praktik pribadi
3. Dokter layanan primer lainnya seperti :
a. Dokter praktik umum yang bersama
b. Dokter perusahaan
c. Dokter bandara
d. Dokter pelabuhan
e. Dokter kampus
f. Dokter pesantren
g. Dokter haji
h. Dokter puskesmas
i. Dokter yang bekerja di unit gawat darurat
j. Dokter yang bekerja di poliklinik umum RS
k. Dokter praktik umum yang bekerja di bagian pelayanan khusus
Sejarah PDKI
PDKI pada awalnya merupakan sebuah kelompok studi yang bernama
Kelompok Studi Dokter Keluarga (KSDK, 1983), sebuah organisasi dokter
seminat di bawah IDI. Anggotanya beragam, terdiri atas dokter praktik umum
dan dokter spesialis. Pada tahun 1986, menjadi anggota organisasi dokter
keluarga sedunia (WONCA). Pada tahun 1990, setelah Kongres Nasional di
Bogor, yang bersamaan dengan Kongres Dokter Keluarga Asia-Pasifik di Bali,
namanya diubah menjadi Kolese Dokter Keluarga Indonesia (KDKI), namun
tetap sebagai organisasi dokter seminat. Pada tahun 2003, dalam Kongres
Nasional di Surabaya, ditasbihkan sebagai perhimpunan profesi, yang
anggotanya terdiri atas dokter praktik umum, dengan nama Perhimpunan
Dokter Keluarga Indonesia (PDKI), namun saat itu belum mempunyai kolegium
yang berfungsi.
Dalam Kongres Nasional di Makassar 2006 didirikan Kolegium Ilmu
Kedokteran Keluarga (KIKK) dan telah dilaporkan ke Ikatan Dokter Indonesia
(IDI) dan Masyarakat Kestabilan dan Kendali Indonesia (MKKI).
Continuing Professional Development (CPD) yang dilakukan oleh
Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) adalah :
1. Pelatihan Paket A : Pengenalan Konsep Dokter Keluarga
2. Pelatihan Paket B : Manajemen Pelayanan Dokter Keluarga
3. Pelatihan Paket C : Pengetahuan Medis Dasar dan Keterampilan Teknis
Medis
4. Pelatihan Paket D : Pengetahuan Mutakhir Kedokteran
5. Konversi DPU menjadi DK bagi dokter yang telah praktek 5 tahun atau lebih
dan masih punya izin praktek dengan mengisi borang yang telah disediakan
sampai tahun 2012, setelah itu bila ingin jadi dokter keluarga harus
mengikuti pendidikan formal baik S2 atau spesialis DK
6. Pengisian modul DK
7. Kerja sama dengan Australia dengan mengisi modul online
b. Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga Indonesia ( KIKKI )
Dipilih dalam Kongres Nasional VII di Makassar 30 Agustus 2006 2
September 2006, dan telah dilaporkan ke PB IDI Pusat dan MKKI. Kolegium
memang harus ada dalam sebuah organisasi profesi. Jadi PDKI harus mempunyai
kolegium yang akan memberikan pengakuan kompetensi keprofesian kepada
setiap anggotanya. Dalam PDKI lembaga ini yang diangkat oleh kongres dan
bertugas sebagai berikut :
1. Melaksanakan isi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta semua
keputusan yang ditetapkan kongres
2. Mempunyai kewenangan menetapkan, melaksanakan, dan mengevaluasi
kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan sistem pendidikan profesi bidang
kedokteran keluarga
3. Mengkoordinasikan kegiatan kolegium kedokteran
4. Mewakili PDKI dalam pendidikan profesi bidang kedokteran keluarga
5. Menetapkan program studi pendidikan profesi bidang kedokteran keluarga
beserta kurikulumnya
6. Menetapkan kebijakan dan pengendalian uji kompetensi nasional pendidikan
profesi kedokteran keluarga
7. Menetapkan pengakuan keahlian (sertfikasi dan resertifikasi)
8. Menetapkan kebijakan akreditasi pusat pendidikan dan rumah sakit pendidikan
untuk pendidikan dokter keluarga
DOKTER PRAKTEK
UMUM
DOKTER KELUARGA
Terbatas
Lebih Luas
Sifat Pelayanan
Sesuai Keluhan
Menyeluruh, Paripurna,
bukan sekedar yang
dikeluhkan
Cara Pelayanan
Jenis Pelayanan
Lebih kearah
pencegahan, tanpa
mengabaikan pengobatan
dan rehabilitasi
Peran keluarga
Kurang dipertimbangkan
Hubungan dokter-pasien
Dokter pasien
Awal pelayanan
Secara individual
Cakupan Pelayanan
DAFTAR PUSTAKA
1.
Azwar, Azrul. 1995. Pengantar Pelayanan Dokter Keluarga. IDI : Jakarta
2.
Azwar, Azrul ; Gan, Goh Lee ; Wonodirekso, Sugito. 2004. A Primer On Family
Medicine Practice. Singapore International Foundation : Singapore
3.
Danakusuma, Muhyidin. 1996. Pengantar Kesehatan Masyarakat dan
Kedokteran Komunitas. IDI : Jakarta
4.
Danasari. 2008. Standar Kompetensi Dokter Keluarga. PDKI : Jakarta
5.
Qomariah. 2000. Sekilas Kedokteran Keluarga. FK-Yarsi : Jakarta
Dokter Keluarga
3. IDI (1982)
a. Memandang pasien sebagai individu, bagian dari keluarga dan masyarakat
b. Pelayanan menyeluruh dan maksimal
c. Mengutamakan pencegahan, tingkatan taraf kesehatan
d. Menyesuaikan dengan kebutuhan pasien dan memenuhinya
e. Menyelenggarakan pelayanan primer dan bertanggung jawab atas
kelanjutannya
garis besar. Rincian memgenai kompetensi ini, yang dijabarkan dalam bentuk
tujuan pelatihan,
1. Menguasai dan mampu menerapkan konsep operasional kedokteran keluarga,
2. Menguasai pengetahuan dan mampu menerapkan ketrampilan klinik dalam
pelayanan kedokteran keluarga,
3. Menguasai ketrampilan berkomunikasi, menyelenggarakan hubungan
profesional dokter- pasien untuk :
a) Secara efektif berkomunikasi dengan pasien dan semua anggota keluarga
dengan perhatian khusus terhadap peran dan risiko kesehatan keluarga,
b) Secara efektif memanfaatkan kemampuan keluarga untuk berkerjasana
menyelesaikan masalah kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan dan
penyembuhan penyakit, serta pengawasan dan pemantauan risiko kesehatan
keluarga,
c) Dapat bekerjasama secara profesional secara harmonis dalam satu tim pada
penyelenggaraan pelayanan kedokteran/kesehatan.