Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
(CASE REPORT)
Preceptor:
dr. H. Yul Khaizar Sp.M
Oleh:
Anityo Nugroho
10180111...
Bobby Setiawan
1018011116
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul "ODS PTERIGIUM NASALIS DERAJAT 3-4
tepat pada waktunya. Adapun tujuan pembuatan laporan ini adalah sebagai salah satu syarat
dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepanitriaan Klinik Bagian Mata di Rumah Sakit Umum
Jenderal Ahmad Yani Metro.
Kamimengucapkan Terima kasih kepada dr. H. Yul Khaizar, Sp.M. yang telah
meluangkan waktunya sebagai pembimbing laporan kasus ini. Kamimenyadari banyak sekali
kekurangan dalam laporan ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bukan hanya untuk kami, tetapi juga bagi siapa
pun yang membacanya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
2
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular pada konjungtiva bulbi yang bersifat
degeneratif dan invasif.Secara klinis pterygium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada
konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra.Biasanya pada bagian nasal
tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal.
Pterigium banyak terdapat pada orang dewasa, tetapi dijumpai pula pada anak-anak, baik lakilaki maupun perempuan. Di Amerika Serikat, pasien pterigium lebih kurang 2%, diatas umur 40
tahun dan meningkat pada kalangan yang sering terpapar sinar ultraviolet tinggi. Laki-laki dua
kali lebih banyak terkena dibandingkan perempuan.
BAB II
LAPORAN KASUS
1. Identitas pasien
Nama
: Ny. M
Umur
: 65 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Alamat
: Seputih Banyak
Pekerjaan
: Petani
Tanggal pemeriksaan
: 18 Februari 2015
2. Anamnesis
Keluhan utama :Kedua mata perih dan kabur sejak 4 bulan yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poli RSAY dengan keluhan penglihatan kabur, nyeri, perih, terasa
mengganjal dan berair sejak 4 bulan yang lalu. Pasien awalnya menyadari ada yang
mengganjal pada mata sejak 2 tahun yang lalu dan bertambah berat sampai akhirnya
pandangan menjadi kabur namun pasien membiarkannya dan tidak pernah berobat.
Pandangan seperti melihat terowongan disangkal, keluhan sakit kepala disertai rasa sakit
pada mata dan mual muntah juga disangkal oleh pasien. Mata merah (-), gatal (-), kotoran
mata (-), Dan keluhan ini mengganggu aktivitas sehari-harinya.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat penyakit serupa (-) riwayat diabetes mellitus (-), riwayat hipertensi (+), riwayat
trauma pada mata (-)
Riwayat Penyakit Keluarga dan Sosial:
Pasien mengatakan tidak ada keluarga yang mengalami penyakit serupa .
Riwayat alergi:Riwayat alergi makanan (-), alergi obat-obatan (-), dan asma (-).
3. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
KU
: Baik
4
Keadaan sakit
Kesadaran/GCS
: Compos mentis/E4V5M6
Keadaan gizi
: Cukup
Sistem Kardiovaskuler
Sistem respirasi
Kulit
Ekstremitas
: 150/90 mmHg
: 96 kali/menit
Frekuensi Napas
: 22 kali/menit
Suhu
: 36,6oC
DEXTRA
SINISTRA
6/12
VISUS
6/30
Tidak dilakukan
Dalam batas
Koreksi
Tidak dilakukan
Supersilia
normal
Edema (-), spasme (-)
Palpebra superior
Palpebra inferior
Silia
eksoftalmus (-),
Bulbus oculi
strabismus (-)
tampak selaput
Conjungtiva bulbi
mencapai pupil
5
pupil
Sekret (-)
Hiperemis (-)
Conjungtiva fornices
Sikatrik (-)
Siliar injeksi (-)
Jernih
Pterigium (+)
Kedalaman cukup,
bening
Gambaran Kripta Baik,
warna coklat
Bulat, regular, sentral,
Conjungtiva palpebra
Sclera
Cornea
Camera oculi Anterior
Iris
Sekret (-)
Hiperemis (-)
Sikatrik (-)
Siliar injeksi (-)
Jernih
Pterigium (+)
Kedalaman cukup, bening
Gambaran Kripta Baik, warna
coklat
Bulat, regular, sentral,
Pupil
(+)
Jernih
Lensa
Jernih
Tidak diperiksa
Fundus refleks
Tidak diperiksa
Tidak diperiksa
Corpus vitreum
Tidak diperiksa
Tono dig N
Tensio oculi
Tono dig N
4. Resume
Pasien wanita usia 65 tahun datang ke poli RSAY dengan keluhan penglihatan kabur,
nyeri, perih, terasa mengganjal dan berair sejak 4 bulan yang lalu. Pasien awalnya menyadari
ada yang mengganjal pada mata sejak 2 tahun yang lalu dan bertambah berat sampai akhirnya
pandangan menjadi kabur namun pasien membiarkannya dan tidak pernah berobat. Riwayat
Hipertensi (+). Pada pemeriksaan Generalis, Keadaan umum baik, Kesadaran compos mentis,
Nadi :
Kardiovaskular dalam batas normal, sistem respirasi dalam batas normal, Kulit dalam batas
normal, ekstremitas dalam batas normal.
Pada pemeriksaan oftalmologi, VOD : 6/12, VOS 6/30. Pada mata kanan dan kiri
ditemukan selaput berbentuk segitiga dari arah nasal mencapai pupil berwarna putih
kemerahan, kornea jernih, lensa jernih dan tidak ditemukan adanya injeksi konjungtiva
ataupun injeksi siliar.
5.Diagnosis
ODS pterigium nasal grade 3-4
6. Terapi
Pembedahan (pterygium yang dapat mengganggu refraksi atau bisa dengan alasan
kosmetik) : Ekstervasi pterigium ( bare sklera )
7
Farmakologik
1. Gentamicin salep mata 1 x 1 ( tiap malam )
2. Cendo Lytrees ED 3 x 1 tetes ODS
3. Asam Mefenamat 500mg 3 x 1 tab
Non farmakologik
1. Menghindari pajanan matahari, menghindari debu
2. Menggunakan kacamata atau topi jika keluar
7. Prognosis
Quo ad vitam
: ad bonam
Quo ad functionam
: ad bonam
: ad bonam
BAB III
ANALISIS KASUS
IDENTIFIKASI MASALAH
Daftar masalah yang terjadi pada pasien adalah :
1. Nyeri dan perih pada mata ?
2. Penglihatan kabur pada mata ?
3. Mata seperti ada yang mengganjal ?
4. Ditemukan jaringan pada bagian ODS ?
5. Apakah diagnosa sudah tepat ?
8
2. Penglihatan kabur
Mata kabur dapat disebabkan oleh kelainan yang timbul mulai dari bagian mata anterior,
mata posterior, dan jaras visual neurologik. Jadi, harus dipertimbangkan terjadinya
pengeruhan atau gangguan pada media, perdarahan dalam vitreus, gangguan fungsi retina,
nervus optikus atau jaras visual intrakranial atau pembentukan fibrovaskular. Pada pasien
tidak ada ditemukan lensa yang keruh, TIO yg tinggi, perdarahan. Pada pasien hanya
ditemukan adanya pembentukan fibrovaskular. Disini dapat dilihat bahwa pasien ini
mengalami pterygium dimana penyakit ini bisa membuat penglihatan kabur apabila
pertumbuhan fibrovaskularnya sudah mencapai kornea (zona optik).
c. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatismus
d. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
A. KONJUNGTIVA
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan
anterior sklera (konjungtiva bulbaris).Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi
palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus.
Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola mata dan kelopak
mata.Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola mata baik dibagian atas
maupun bawah.Refleksi atau lipatan ini disebut dengan forniks superior dan
inferior.Forniks superior terletak 8-10 mm dari limbus sedangkan forniks inferior terletak 8
11
mm dari limbus.Lipatan tersebut membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus
konjungtiva, yang bermuara melalui fissura palpebra antara kelopak mata superior dan
inferior.Pada bagian medial konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan
karunkula dan plika semilunaris yang penting dalam sistem lakrimal.Pada bagian lateral,
forniks bersifat lebih dalam hingga 14 mm dari limbus.
Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:
1. Konjungtiva Palpebra
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior kelopak
mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi konjungtiva.Dari titik ini,
konjungtiva melapisi erat permukaan dalam kelopak mata.Konjungtiva palpebra dapat
dibagi lagi menjadi zona marginal, tarsal, dan orbital.Konjungtiva marginal dimulai
pada mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper.Punktum bermuara pada sisi
medial dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara
konjungtiva dengan sistem lakrimal.Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan
bagian dari konjungtiva palpebralis yang melekat erat pada tarsus.Zona ini bersifat
sangat vaskuler dan translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai dari
ujung perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan perlipatan
horisontal konjungtiva orbital, terutama jika mata terbuka.Secara fungsional,
konjungtiva palpebra merupakan daerah dimana reaksi patologis bisa ditemui.
2. Konjungtiva Bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya.Konjungtiva bulbi
dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat translusen sehingga sklera
dibawahnya dapat divisualisasikan.Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera
melalui
jaringan
alveolar,
yang
memungkinkan
mata
bergerak
ke
segala
arah.Konjungtiva bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh
kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu dengan kapsula
tenon dan sklera.
3. Konjungtiva Forniks
Merupkan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain
halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya
konjungtiva forniks ini melekat secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia
12
Gambar 3.Konjugtiva
Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis.Kedua
arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena konjungtiva yang
umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang
sangat banyak.Pembuluh limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial dan
profundus dan bergabung dengan pembuluh lemfe palpebra membentuk pleksus
limfatikus.Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu
nervus oftalmikus.Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.
Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma.Lapisan epitel
konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan
basal.Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di dekat
persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamous
bertingkat.Sel-sel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat dan oval yang mensekresi
mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk
dispersi lapisan air mata prakornea secara merata.
13
Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat
limbus dapat mengandung pigmen.Lapisan stroma di bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan
adenoid dan lapisan fibrosa.Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa
tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum.
Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3 bulan. Hal ini
menjelaskan konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat papilar bukan folikular dan
mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung
yang melekat pada lempeng tarsus.Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada
radang konjungtiva.
Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata.Kelenjar lakrimal aksesorius
(kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar lakrimal terletak di
dalam stroma.Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, sisanya di forniks
bawah.Kelenjar wolfring terletak di tepi tarsus atas.
B. PTERYGIUM
I.
DEFENISI
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif.Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal
ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.Pterygium berbentuk segitiga
dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan
bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah.
Pterygium berasal dari bahasa yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap.
Menurut Hamurwono pterygium merupakan Konjungtiva bulbi patologik yang
menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke
kornea dengan puncak segitiga di kornea.
14
Gambar 4. Pterygium
II.
EPIDEMIOLOGI
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan
kering.Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering
mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <37 0 lintang utara dan
selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada
daerah di atas lintang 400.
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk
daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36 o. Sebuah
hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan
ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan
angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang
bawah.Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterygium
meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan.Insiden tinggi pada umur
antara 20-49 tahun.Pterygium rekuren sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan
umur tua. Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan dengan
merokok, pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di luar rumah.
III.
15
Pterygium diduga disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, cahaya matahari, dan
udara yang panas.Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu
neoplasma, radang dan degenerasi.
Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterygium. Disebutkan
bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar UV-B merupakan
sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih
embrional di basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel),
perubahan pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan
pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis.
Perubahan patologis tersebut termasuk juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya
jaringan fibrovesikular, seringkali disertai dengan inflamasi.Lapisan epitel dapat saja
normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia.
Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi, bahan iritan
lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko pterygium.Orang yang banyak
menghabiskan waktunya dengan melakukan aktivitas di luar ruangan lebih sering
mengalami pterygium dan pinguekula dibandingkan dengan orang yang melakukan
aktivitas di dalam ruangan.Kelompok masyarakat yang sering terkena pterygium adalah
petani, nelayan atau olahragawan (golf) dan tukang kebun.Kebanyakan timbulnya
pterygium memang multifaktorial dan termasuk kemungkinan adanya keturunan (faktor
herediter).
Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal.Penyebab dominannya
pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui namun kemungkinan
disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra violet di area tersebut.Sebuah
penelitian menyebutkan bahwa kornea sendiri dapat bekerja seperti lensa menyamping
(side-on) yang dapat memfokuskan sinar ultra violet ke area nasal tersebut.
Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang menyerupai
tumor.Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan setelah dilakukannya
reseksi dan jenis terapi yang diikuti selanjutnya (radiasi, antimetabolit). Gen p53 yang
merupakan penanda neoplasia dan apoptosis ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini
merupakan kelainan pertumbuhan yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol
daripada kelainan degeneratif.
16
sinar
matahari
merupakan
faktor
yang
penting
dalam
5. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan.
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterygium.
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap
rokok pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterygium.
IV.
PATOFISIOLOGI
Terjadinya pterigium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar matahari,
walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan paparan terhadap
angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor mutagenik bagi tumor
supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di limbus.Ekspresi berlebihan sitokin
seperti TGF- dan VEGF (vascular endothelial growth factor) menyebabkan regulasi
kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibrovaskular.Jaringan
subkonjungtiva
mengalami
degenerasi
elastoid
(degenerasi
basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansi
propia yang akhirnya menembus kornea.Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran
Bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai
dengan inflamasi ringan. Kerusakan membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat
yang diperlukan untuk pertumbuhan pterigium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan
kadang terjadi displasia.
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea.Pada keadaan defisiensi
limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea.Gejala dari defisiensi
limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis,
kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga
ditemukan pada pterigium dan oleh karena itu banyak penelitian yang menunjukkan bahwa
pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral
limbal stem cell. Pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta
proliferasi fibrovaskuler yang ditutupi oleh epitel.Pada pemeriksaan histopatologi daerah
18
V.
KLASIFIKASI PTERYGIUM
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium,
progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera , yaitu:
Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea.
Stockers line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala
pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami inflamasi
ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih
cepat.
Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau ptrerigium rekuren
tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterigium sering nampak kapilerkapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau
rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan
astigmat.
Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik.
Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optik
membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea > 4 mm dan
mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat
berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan
biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan
19
20
Pterigium Duplex adalah lesi yang biasanya dijumpai pada sisi nasal dan temporal
pada satu mata pasien.
VII. GAMBARAN KLINIK
Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama
sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering berair dan tampak
merah, merasa seperti ada benda asing, dapat timbul astigmatisme akibat kornea tertarik,
pada pterigium lanjut stadium 3 dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga
tajam penglihatan menurun.
collum
corpus
i Bagian kepala atau cap (apex) , biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada
kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan
menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron
line/Stockers line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini juga
merupakan area kornea yang kering.
ii Bagain whitish(collum), Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah
lapisan vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.
iii Bagian badan atau ekor (corpus), merupakan bagian yang mobile (dapat
bergerak), lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan
merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi tanda khas yang paling
penting untuk dilakukannya koreksi pembedahan.
21
VIII. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan keluhan berupa mata sering berair dan tampak merah
dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan keluhan berupa gangguan
penglihatan. Pada kasus berat dapat didapatkan adanya diplopia, biasanya penderita
mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya
keganasan atau alasan kosmetik, keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, dan ada
yang mengganjal.Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang,
riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang
tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.
Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan
konjuntiva.Pterigium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada
juga pterigium yang avaskuler dan flat.Perigium paling sering ditemukan pada
konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterigium
pada daerah temporal.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah topografi
kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme
ireguler yang
IX.
PENATALAKSANAAN
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan
jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan pada pterygium
yang melebihi derajat 2.Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada pterigium derajat 1
atau 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan.Pengobatan tidak diperlukan karena
bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda.Bila pterigium meradang dapat
diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan.Lindungi mata yang terkena pterigium
dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda
radang beri air mata buatan bila perlu dapat diberikan steroid .Bila terdapat delen (lekukan
kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep.Bila diberi vasokonstriktor maka perlu
control dalam 2 minggu dan bila telah terdapat perbaikan pengobatan dihentikan.
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap termasuk
gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan yang progresif menuju
tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan pergerakan bola mata.Eksisi pterigium
bertujuan untuk mencapai keadaan normal yaitu gambaran permukaan bola mata yang
licin.Teknik bedah yang sering digunakan untuk mengangkat pterigium adalah dengan
menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium ke arah limbus. Walaupun
memisahkan pterigium dengan bare sclera ke arah bawah pada limbus lebih disukai,
namun tidak perlu memisahkan jaringan tenon secara berlebihan di daerah medial, karena
kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma tidak disengaja di daerah
jaringan otot. Setelah dieksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan.
Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik simple surgical
removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat menurunkan tingkat rekurensi
hingga 5% adalah conjunctival autograftDimana pterigium yang dibuang digantikan
dengan konjungtiva normal yang belum terpapar sinar UV (misalnya konjungtiva yang
secara normal berada di belakang kelopak mata atas). Konjungtiva normal ini biasaya akan
sembuh normal dan tidak memiliki kecenderungan unuk menyebabkan pterigium rekuren.
Pada
pterigium
derajat
3-4
dilakukan
tindakan
bedah
berupa
avulsi
pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva
bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan.Tujuan utama pengangkatan
pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi
seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah.Penggunaan Mitomycin C (MMC)
sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari
pemakaian MMC juga cukup berat.
Indikasi Operasi pterigium
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.
Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan
dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea.Banyak teknik bedah telah
digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan
yang variabel.Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah
pertama untuk perbaikan.Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung
pterigium dari kornea yang mendasarinya.Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih
cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.
membran
amnion
juga
telah
digunakan
untuk
mencegah
Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah, dan
terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan
pterygia.Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan
penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.
25
diberikan
bersamaan
dengan
salep
antibiotik
Chloramphenicol,
dan
steroidselama 1 minggu.
26
27
X.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding pterigium adalah pinguekula dan pseudopterigium.Pinguekula
merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan pada orangtua, terutama yang
matanya sering mendapatkan rangsangan sinar matahari, debu, dan angin panas.Yang
membedakan pterigium dengan pinguekula adalah bentuk nodul, terdiri atas jaringan
hyaline dan jaringan elastic kuning, jarang bertumbuh besar, tetapi sering meradang.
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat.
Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga
konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium juga sering dilaporkan sebagai dampak
sekunder penyakit peradangan pada kornea.Pseudopterigium dapat ditemukan dibagian
apapun pada kornea dan biasanya berbentuk oblieq. Sedangkan pterigium ditemukan
secara horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9.
XI.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat timbul pada pterygium, adalah :
-
Mata merah
Iritasi
Pada pasien yang belum exicisi, scar pada otot rectus medial dapat menyebabkan
terjadinya diplopia.
Infeksi, reaksi bahan jahitan (benang), diplopia, scar cornea, conjungtiva graft
longgar dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous
hemorrhage atau retinal detachment.
Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterygium adalah rekuren pterygium post
operasi.
XII.
PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan pasien
dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterigium rekuren dapat
dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran
amnion.
29
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada konjungtiva dan tumbuh
menginfiltrasipermukaan kornea, umumnya bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk
segitiga dengan kepala/apex menghadap kesentral kornea dan basis menghadap lipatan
semilunar pada cantus. Etiologi pterigium masih belum jelas namun terdapat beberapa
faktor resiko pterigium antara lain paparan ultraviolet, mikrotrauma kronis pada mata,
infeksi mikroba atau virus. Pterigium dibagi atas 4 stadium berdasarkan stadiumnya, mulai
dari hanya sebatas limbus hingga melewati pupil. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik, seperti pada kasus. Tatalaksana terbagi atas konservatif
dan pembedahan. Prognosis pterigium adalah baik.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2006.p.2-7,117.
2. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis Mata.
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2009.
3. Voughan & Asbury. Oftalmologi Umum edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal 119.
4. Anonymus. Anatomi Konjungtiva. [online] 2009. [cited 2011 Maret 08]. Available from :
http://PPM.pdf.com/info-pterigium-anatomi
5. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to Depositions and
Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In : External Disease and Cornea.
San Fransisco : American Academy of Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366.
Riordan, Paul dkk. 2010. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum, Jakarta; EGC
Perdami.2006. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum & Mahasiswa Kedokteran,Perdami
Iljas, S. 2007. Ilmu Penyakit Mata, Edisi ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
9.
31
32