Sie sind auf Seite 1von 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Trauma skelet dan pembedahan yang dilakukan pada tulang, otot dan sendi dapat
mengakibatkan nyeri. Perfusi jaringan harus dipantau karena edema dan perdarahan kedalam
jaringan dapat memperburuk peredaran darah dan mengakibatkan sindrom kompartmental.
Pengkajian dan pemantauan klien mengenai masalah resiko yang berkaitan dengan
pembedahan, seperti syok hipovolemik harus menjadi perhatian. Beberapa masalah
kolaborasi atau resiko komplikasi yang dapat terjadi pada klien pasca operasi orthopedi
adalah syiok hipovolemia, atelektasis, pneumonia, retensi urin, infeksi, dan trombosis vena
profunda. Trauma pascaoperasi meninggalkan bekas luka bedah berupa jahitan. Jadi
dibutuhkan perawatan yang intensif dalam melakukan proses perawatan. (Luqman, Ningsih,
2011).
Cedera dari trauma muskuloskeletal biasanya memberikan disfungsi struktuir disekitarnya
dan struktur pada bagian yang dilindungi atau disangganya. Gangguan muskuloskeletal yang
paling sering terjadi akibat suatu trauma adalah kontusio, strain, sprain, dislokasi dan
subluksasi. Pada umumnya fraktur akan menyebabkan kerusakan jaringan, organ disekitar
pembuluh darah dan syaraf disekitar . komplikasi lanjut yang mungkin terjadi antara lain
infeksi, non union, mal union dan delayed union. Untuk mencegah dan mengatasi komplikasi
ini perlu penanganan yang tepat dan cepat. Penanganan terhadap fraktur dapat dengan
pembedahan. (smeltzer & bare, 2002).
Pada pasien dengan gangguan muskuloskletal yang menjalani prosedur pembedahan
pengkajian post operasi adalah kesinambungan dari pengkajian pre operasi. Setelah
pembedahan ortopedi, perawat tetap melanjutkan rencana perawatan pre operasi, perawat
harus mengkaji ulang kebutuhan pasien berkaitan dengan nyeri, perfusi jaringan, promosi
kesehatan , nmobilitas dan konsep diri. Luka bedah diharapkan tidak berdarah atau mimimal
perdarahan dibawah balutan. Apabila terjadi rembesan darah pada balutan luka, maka harus
segera diganti,hal ini untuk meminimalisir port entri mikroba kedalam luka. Penggantian
balutan luka dilakukan untuk meminimalkan komplikasi infeksi. (Robinson, O Brien, 2006)

1.2. Rumusan masalah


1.2.1. Bagaimana cara melakukan perawatan luka?
1.2.2. Apa saja yang termasuk dalam penatalaksanaan perawatan luka post op?
1.2.3. Bagaimana peran perawat secara mandiri dalam melakukan perawatan luka?
1.2.4. Bagaimana kolaborasi perawatan saat melakukan perawatan luka post op?
1.2.5. Apa saja diagnosa yang mungkin muncul dan bagaiman invensinya?
1.3.

Tujuan
1.3.1 Mengetahui cara perawatan luka post op pada gangguan muskuloskeletal
1.3.2 Mengetahui penatalaksanaan pada luka post op
1.3.3 Menjelaskan peran perawat mandiri dalam perawatan luka post operasi
1.3.4 Menjelaskan peran perawat dalam perawatan luka secara kolaborasi
1.3.5 Mengetahui diagnosa yang muncul pada klien dengan post op gangguan

muskuloskeletal
1.4. Manfaat
Meningkatkan peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan yang profesional
dalam hal memberikan perawatan luka terhadap pasien post op gangguan
muskuloskeletal dengan dengan menggunakan teknik yang efektif.

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Perawatan luka post op


Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat proses patalogis
yang berasal dari internal dan eksternal dan mengenai organ tertentu.

(Potter & Perry,

2006). Luka adalah kerusakan kontinuitaskulit, mukosa membran dan tulang atau organ
tubuh lainnya. (Tamsuri,2006). Sedangkan perawatan luka adalah suatu tindakan yang
dilakukan untuk memastikan bahwa struktur dibawah kulit tidak rusak dan berfungsi dengan
tepat serta bertujuan untuk meminimalkan resiko infeksi. (Carolina &Geoff,2006).
Untuk memungkinkan luka bedah ORIF kering secepat mungkin, maka luka insisi akan
ditutupi oleh kasa penyerap steril yang memungkinlkan sirkulasi udara. Jika luka operasi
mengeluarkan banyak darah,m perawatan luka dan penggantian balutan dilakukan 24 jam
setelah operasi. Sebaliknya jika tidak, balutan dapat dibuka setidaknya selama 48 jam setelah
operasi ORIF. (Ryf&Arraf, 2007)
2.1.1. metode perawatan luka
Perawatan luka yang baik semestinya tidak hanya dengan menutupi luka sebagai
pelindung, tetapi juga membantu proses penyembuhan luka.
1. Inert/pasif
Selama bertahun-tahun jenis balutan yang digunakan adalah jenis pasif, yang memiliki
konsep hanya menutup luka termasuk kain kassa, serat antilengket dan tulle. Jenis ini
memiliki sifat balutan luka yang jauh dari ideal, dan sering digunakan untuk balutan
sekunder, bukan balutan primer.
2. Interactive/bioactive
Merupakan balutan yang mengubah lingkungan luka dan berinteraksi dengan permukaan
luka untuk mengoiptimalkan penyembuhan. Balutan ini mempunyai kemampuan untuk
menyediakan lingkungan yang lembab dan kondusif. Yang termasuk dalam balutan ini adalah
semi permiable films, foams/busa, alginates, hydrocolloids, dydroactives, dan hydrogels.
(Carolina &Geoff,2006).
3. Menggunakan teknologi terapan
Jaringan hingga tingkat seluler akan dimodifikasi sedemikian rupa dan penambahan
substansi kimia untuk merangsang pembentukan sel yang baru. Beberapa metode ini antara
3

lainnegative pressure therapy, wound matrix dressings, tissue engineered skin equivalents,
intradermal regeneration template, transcyte, growth factor dressing. (Carolina &Geoff,2006).
2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka:
Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks dan dinamis karena
merupakan suatu kegiatan bioseluler dan biokimia yang terjadi saling berkesinambungan.
Proses penyembuhan luka tidak hanya terbatas pada proses regenerasi yang bersifat lokal saja
pada luka, namun dipengaruhi pula oleh faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik
(InETNA,2004:13).
Faktor Instrinsik adalah faktor dari penderita yang dapat berpengaruh dalam proses
penyembuhan meliputi : usia, status nutrisi dan hidrasi, oksigenasi dan perfusi
jaringan, status imunologi, dan penyakit penyerta (hipertensi, DM, Arthereosclerosis).
Faktor Ekstrinsik adalah faktor yang didapat dari luar penderita yang dapat
berpengaruh dalam proses penyembuhan luka, meliputi : pengobatan, radiasi, stres
psikologis, infeksi, iskemia dan trauma jaringan (InETNA,2004:13)
2.2

Penatalaksanaan Nyeri Pos Op


Penatalaksanaan tergantung pada tipe dan fase dari gangguan muskuloskeletal

tersebut saat didiagnosis.


Penatalaksanaan meliputi :

Pembedahan
kemoterapi,
radioterapi atau terapi kombinasi.

Obat-obatan seperti fosfat,mitramisin,kalsitonin,atau kortikosteroid. Obat-obatan untuk


mengatasi nyerinya mungkin bisa digunakan analgesik sesuai order.untuk mengatasi resiko
infeksi bisa diberikan obat-obatan golongan

antibiotik gram (+) dan gram (-) untuk

pencegahan penyebaran infeksi lebih lanjut.pemberian obat-obatan anti emboli untuk


mencegah terjadinya emboli. (smeltzer.2001).

Dibawah ini adalah obat-obat yang tergolong AINS (anti inflamasi non steroid)
Asam mefenamat dan meklofenamat.

Asam mefenamat digunakan sebagai analgetika dan anti inflamasi. Asam mefenamat
kurang efektif dibandingkan dengan aspirin. Meklofenamat digunakan sebagai obat anti
inflamasi pada reumatoid dan osteoartritis.
Efek samping terhadap saluran cerna : dispepsia, diare sampai diare berdarah dan gejala
iritasi terhadap lambung.
Dosis asam mefenamat
: 2-3 kali 250-500 mg sehari.
Dosis asam meklofenamat
:240-400 mg sehari.
Obat ini tidak dianjurkan kepada anak dibawah 14 tahun dan ibu hamil.
Penatalaksanaan farmakologi
1) Analgesik opioid
Analgesik opioid terdiri dari berbagai derivat dari opium seperti morfin an kodein. Opioid
dapat menyebabkan penurunan nyeri dan memberi efek euforia (kegembiraan). Narkotik
tidak hanya menekan rangsang nyeri, tetapi juga menekan pusat pernafasan dan batuk
dimedula batang otak. Dampak dari obat narkotika adalah sedasi dan peningkatan toleransi
obat sehingga kebutuhan dosis obat akan meningkat.
2) Analgesik non opioid(non steroid anti inflammantoryb drugs/NSAIDs)
Contoh aspirin, asetaminofen, dan ibuprofen. Selain memiliki efek antinyeri juga
memiliki efek antiinflamasi dan antipiretik. Efek samping yang paling umum adalah
gangguan pencernaan seperti adanya ulkus gaster, dan perdarahan gaster. (Tamsuri,
2006)

Penatalaksanaan non farmakologi terhadap nyeri saat perawatan luka


Teknik distraksi adalah pengalihan dan fokus perhatian terhadapp nyeri kestimulus yang
lain. Teknik distraksi dapat mengatasi nyeri berdasarkan teori bahwa aktivasi retikuler
menghambat stimulus nyeri., stimulus yang menyenangkan dari luar juga dapat merangsang
skresi endorfin, sehingga stimulus nyeri yang dirasakan oleh klien bisa berkurang., distraksi
efektif untuk nyeri ringan sampai sedang. Keefektifan distraksi tergantung pada kemampuan
pasien untuk menerima dan membangkiutkan input sensori selain nyeri.
2.3 Diagnosa Pasca Operasi Gangguan Muskuloskeletal

Menurut Smeltzer dan Bare (2002) ditetapkan diagnosa keperawatan utama pasien setelah
pembedahan ortopedi sesuai urutan prioritas adalah:
a. Nyeri berhubungan dengan prosedur pembedahan, pembengkakan, dan immobilisasi
b. Potensial terhadap perubahan perfusi jaringan perifer yang berhubungan dengan
pembengkakan, alat yang mengikat, gangguan peredaran darah
c. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri, pembengkakan, prosedur
pembedahan, adanya alat fiksasi
d. Perubahan citra diri, harga diri, atau kinerja peran yang berhubungan dengan dampak
masalah muskuloskeletal
Intervensi
Tujuan utama pasien setelah pembedahan ortopedi dapat meliputi pengurangan nyeri,
perfusi jaringan yang adekuat, pemeliharaan kesehatan, peningkatan mobilitas, perbaikan
konsep diri, dan tidak adanya komplikasi (Smeltzer & Bare, 2002). Intervensi perawatan
sesuai dengan diagnose yang telah ditegakkan antara lain :
a. Meredakan nyeri
Setelah pembedahan ortopedi, nyeri mungkin sangat berat, edema, hematoma, dan
spasme otot merupakan penyebab nyeri yang dirasakan. Tingkat nyeri pasien dan respon
terhadap upaya terapeutik harus dipantau ketat. Nyeri yang terus bertambah dan tidak dapat
dikontrol perlu dilaporkan ke dokter ahli untuk dievaluasi. Harus diupayakan segala usaha
untuk mengurangi nyeri dan ketidaknyamanan. Bila pemberian analgesic per oral atau
intramuscular diberikan pada kondisi hanya jika diperlukan. Obat diberikan berdasarkan
pencegahan dalam interval yang ditentukan bila awitan nyeri dapat diramalkan (Smeltzer &
Bare, 2002).
Pendekatan farmakologi dan nonfarmakologi diperlukan untuk penatalaksanaan nyeri
(Perry & Potter, 2006). Peninggian ekstremitas yang dioperasi dan kompres dingin bisa
dilakukan untuk membantu mengontrol nyeri dan mengurangi edema (Smeltzer & bare,
2002). Perawat akan menyadari bahwa tehnik perubahan posisi, relaksasi, distraksi, guided
imagery, dan terapi modalitas lainnya diperlukan untuk membantu mengurang dan
mengontrol nyeri pada pasien.
b. Memelihara perfusi jaringan adekuat
Rencana perawatan pre operasi terus dilanjutkan. Perawat harus memantau status
neurovaskuler bagian badan yang dioperasi dan melaporkan segera kepada dokter bila
ditemukan adanya gangguan perfusi jaringan. Pasien diberi penyuluhan agar melakukan
latihan mobilisasi dan latihan pergelangan atau sendi (Black & Hawks, 2009). Perhatikan
6

juga indikasi adanya pressure ulcer, peningkatan nutrisi, pemenuhan kebersihan diri sebagai
upaya juga memperbaiki perfusi.
c. Memperbaiki mobilitas fisik
Mobilisasi merupakan keluhan yang paling banyak menyertai setelah nyeri, dan keluhan
takut untuk bergerak juga disertai keluhan nyeri pada pembedahan ortopedi (Australian Acute
Musculosceletal Pain Guidelines Group, 2004). Hubungan terapeutik dapat membantu pasien
berpartisipasi dalam aktivitas yang dirancang untuk memperbaiki tingkat mobilisasi.
d. Peningkatan konsep diri
Perawat dan pasien menyusun rencana yang akan dicapai. Peningkatan aktivitas
perawatan diri dalam batas program terapeutik dan pengembalian peran dapat membantu
mengenali kembali kemampuannya dan meningkatkan harga diri, identitas diri, dan kinerja
peran. Penerimaan perubahan citra tubuh dapat dibantu dengan dukungan yang diberikan oleh
perawat, keluarga dan orang lain (Smeltzer & Bare, 2002).
a. Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan tulang, trauma,
inisisi prosedur
Penanganan terhadap fraktur dapat dengan pembedahan atau tanpa pembedahan, meliputi
imobilisasi, reduksi dan rehabilitasi. Reduksi adalah prosedur yang sering dilakukan untuk
mengoreksi fraktur, salah satu cara dengan pemasangan fiksasi internal dan fiksasi eksternal
melalui proses operasi (Smeltzer & Bare, 2002). Tindakan pembedahan ini selain
menstabilkan fraktur juga membantu mengatasi cedera vascular seperti sindroma
kompartemen yang terjadi pada pasien fraktur. Respon nyeri pasien dilaporkan berada pada
level severe karena tindakan pembedahan ortopedi yang dilakukan (Niles, LeFevre, Mallon,
2009). Efek samping yang bisa ditimbulkan dari nyeri pasca pembedahan ortopedi adalah
waktu pemulihan yang memanjang, terhambatnya ambulasi dini, penurunan fungsi sistem,
terhambatnya discharge planning. Selain itu, efek samping analgesik akibat terus menerus
mengkonsumsi analgesik sebagai koping mengurangi nyeri, juga akan merugikan pasien dari
sisi ekonomi (Maher, Salmond & Pullino 2002). Peranan tim pemberi layanan kesehatan
sangat penting untuk meminimalkan efek-efek samping dari nyeri post operasi ortopedi.
Manejemen nyeri harus dilakukan secara bersama-sama antara perawat, klien dan keluarga
untuk mengidentifikasi intensitas nyeri dalam memaksimalkan fungsi klien sebagai individu
(Perry & Potter, 2005). Akan tetapi kolaborasi antar petugas kesehatan juga merupakan hal
sangat penting. Persepsi klien terhadap nyeri adalah hal yang penting dalam melakukan
intervensi, sebab persepsi terhadap nyeri sangat individual. Perawat harus menggunakan
proses keperawatan secara individual dalam membantu klien agar mampu mengontrol nyeri
7

(Potter & Perry, 2006). Perawat harus mampu membantu klien dalam mengontrol nyeri
dengan tindakan mandiri (nonfarmakologi). Manejemen nyeri nonfarmakologi yang dapat
dilakukan antara lain terapi music, cuteneous stimulation massage, relaxation, guided
imagery, dan distraction (Perry & Potter, 2005).
Tindakan nonfarmakologi yang digunakan adalah relaksasi dan distraksi. Klien dilatih
dan dibimbing dalam melakukan relaksasi dengan mengatur napas; menarik napas dalam dan
mengeluarkan secara perlahan-lahan dengan meniupkan, hal ini diminta dilakukan klien
secara teratur. Setiap periode klien diminta melakukan 10 x, khususnya jika nyeri timbul
misalnya saat perawatan luka, merubah posisi, dan ambulansi. Klien juga dilatih untuk
melakukan memfokuskan perhatian terhadap hal-hal yang dianggap klien menarik dan
menyenangkan. Klien mengatakan tindakan atau tekhnik tersebut sangat membantu dalam
mengurangi persepsi nyeri.
b. Risiko perluasan infeksi b.d. kerusakan pertahanan primer (adanya luka akibat
pembedahan).
Risiko infeksi terjadi akibat adanya infeksi (osteomyelitis). Diagnosa keperawatan ini
ditegakan dengan dukungan data antara lain pernyataan klien tentang luka yang pernah
bernanah pada pin, tanda sequester (+), LED 17

Intervensi yang dilakukan:


a. Mengobservasi tanda-tanda infeksi
Menurut Kozier dan Erb (1995) tanda-tanda infeksi meliputi rubor, calor, dollor,
tumor dan functio laesa. Selain itu dapat pula terjadi peningkatan drainage purulen.
Drainage purulen tejadi akibat proses penghancuran benda asing (termasuk
mikroorganisme) di dalam tubuh oleh sistem kekebalan tubuh. Selain itu peningkatan
nyeri juga menjadi indikator dari adanya infeksi/perluasan infeksi. Untuk itu pengkajian
nyeri juga dilakukan dalam merawat klien ini. Pada saat pengkajian didapatkan nyeri
sedang dengan skala 4-5.
b. Melakukan perawatan luka

Perawatan luka merupakan peran penting dari perawat, mengingat adanya luka
menyebabkan klien berrisiko terinfeksi yang akan berdampak pada peningkatan masa
rawat dan biaya. Menurut Kozier dan Erb (1995) untuk dapat melakukan perawatan luka
secara efektif setidaknya dua persyaratan yang dibutuhkan yaitu memahami fisiologi
luka

dan

memiliki

kemampuan

melakukan

tindakan-tindakan

khusus

untuk

penyembuhan luka. Selama melakukan perawatan luka pada Tn. TH, luka dibersihkan
dengan larutan NaCl 0.9% dengan menggunakan tehnik aseptik/antiseptik. Menggunakan
kasa steril, luka dikompres dengan NaCl 0.9% lalu dibalut.
2.4 Perawatan luka pada post operasi amputasi
Amputasi adalah pengangkatan organ yang berada di luar tubuh (misal paha) dan embel
embel tubuh (misal ekor), baik sebagian maupun keseluruhan (kedaruratan medik. 2000)
Amputasi adalah pengangkatan melalui pembedahan kaki karena trauma, penyakit,
tumor atau anomaly kongenital; terkelupasnya kulit secara umum diperbaiki kembali untuk
memudahkan penyembuhan dan penggunaan peralatan protetik (Standart Perawatan Pasien
Vol. 3. 1998)
Tindakan amputasi dapat dilakukan pada kondisi :
1. Fraktur multiple organ tubuh yang tidak mungkin dapat diperbaiki
2. Kehancuran jaringan kulit yang tidak mungkin diperbaiki
3. Gangguan vaskuler/sirkulasi pada ekstremitas yang berat
4. Infeksi yang berat atau beresiko tinggi menyebar ke anggota tubuh lainnya
5. Adanya tumor pada organ yang tidak mungkin diterapi secara konservatif
6. Deformitas organ
7. Trauma
Amputasi dilakukan sebagian kecil sampai dengan sebagian besar dari tubuh dengan
metode :
1) Metode terbuka (guillotine amputasi). Metode ini digunakan pada klien dengan infeksi
yang mengembang atau berat. Dimana pemotongan dilakukan pada tingkat yang sama.
Bentuknya benar-benar terbuka dan dipasang drainage agar luka bersih dan luka dapat
ditutup setelah tidak terinfeksi.
2) Metode tertutup. Dilakukan dalam kondisi yang lebih mungkin. Pada metode ini kulit tepi
ditarik atau dibuat skalf untuk menutupi luka, pada atas ujung tulang dan dijahit pada
daerah yang diamputasi.
Jenis Amputasi
Menurut Tempat Amputasi :
a. Amputasi pada superior
9

1. Jari tangan
2. Setinggi / sekitar pergelangan tangan (amputasi transkarpal)
3. Lengan bawah
- Bagian distal
- 1/3 proksimal
4. Lengan atas
- Daerah suprakondiler
- Daerah proksimal suprakondiler
5. Bahu
b. Amputasi pada ekstremitas inferior
1. Paha
2. Lutut
3. Kaki
Berdasarkan pelaksanaan amputasi, dibedakan menjadi :
1) Amputasi selektif / rencana
Amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit yang terdiagnosis dan mendapat
penanganan yang baik serta terpantau secra terus-menerus. Amputasi dilakukan sebagai
salah satu tindakan alternatif terakhir.

2) Amputasi akibat trauma


Merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat trauma dan tidak direncanakan.
Kegiatan tim kesehatan adalah memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta memperbaiki
kondisi umum klien.
3) Amputasi darurat
Kegiatan amputasi dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan. Biasanya merupakan
tindakan yang memerlukan kerja yang cepat seperti pada trauma dengan patah tulang
multiple dan kerusakan/kehilangan kulit yang luas.
. Penatalaksanaan Sisa Tungkai
Tujuan bedah utama adalah mencapai penyembuhan luka amputasi, menghasilkan sisa
tungkai (puntung) yang tidak nyeri tekan dengan kuli yang sehat untuk penggunaan prosteis.
Lansia mungkin mengalami kelambatan penyembuhan luka karena nutrisi yang buruk dan
masalah kesehatan lainnya. Penyembuhan dipercepat dengan penanganan lembut terhadap
10

sisa tungkai, pengontrolan edema sisa tungkai dengan balutan kompres lunak atau rigid dan
menggunakan teknik aseptik dalam perawatan luka unuk menghindari infeksi.
- Balutan rigid tertutup
Balutan rigid adalah balutan yang menggunakan plaster of paris yang dipasang waktu
dikamar operasi. Pada waktu memasang balutan ini harus direncanakan apakah penderita
harus imobilisasi atau tidak dan pemasangan dilengkapi tempat memasang ekstensi prosthesis
sementara (pylon) dan kaki buatan. Balutan ini sering digunakan untuk mendapatkan
kompresi yang merata, menyangga jaringan lunak dan mengontrol nyeri dan mencegah
kontraktur. Kaoskaki steril dipasang pada sisi steril dan bantalan dipasang pada daerah peka
tekanan. Sisa tungkai (punting) kemudian dibalut dengan gips elastic yang ketika mengeras
akan memberikan tekanan yang merata. Hati-hati jangan sampai menjerat pembuluh darah.
Gips diganti sekitar 10-14 hari. Bila terjadi peningkatan suhu tubuh, nyeri berat atau gips
mulai longgar harus segara diganti.
- Balutan lunak.
Balutan lunak dengan atau tanpakompresi dapat digunakan bila diperlukan inspeksi
berkala sisa tungkai (puntung) sesuai kebutuhan. Bidai imobilisasi dapat dibalutkan pada
balutan. Hematoma puntung dikontrol dengan alat drainase luka untuk meminimalkan
infeksi.
- Amputasi Bertahap
Amputasi bertahap dilakukan bila ada gangren atau infeksi. Pertama-tama dilakukan
amputasi guillotine untuk mengangkat semua jaringan nekrosis dan sepsis. Luka
didebridemen dan dibiarkan mengering. Jika dalam beberapa hari infeksi telah terkontrol
dank lien telah stabil, dilakukan amputasi definitife dengan penutupan kulit.
- Protesis.
Kadang diberikan pada hari pertama pasca bedah sehingga latihan segera dapat dimulai.
Keuntungan menggunakan protesis sementara adalah membiasakan klien menggunakan
protesis sedini mungkin. Kadang protesis darurat baru diberikan setelah satu minggu luka
sembuh. Pada amputasi, untuk penyakit pembuluh darah proteis sementara diberikan setelah
4 minggu. Protesis ini bertujuan untuk mengganti bagian ekstremitas yang hilang. Artinya
defek system musculoskeletal harus diatasi, temasuk defek faal. Pada ekstremitas bawah,
tujuan protesis ini sebagian besar dapat dicapai. Sebaliknya untuk ekstremitas atas tujuan itu
sulit dicapai, bahkan dengan tangan miolektrik canggih yang bekerja atas sinyal miolektrik
dari otot biseps dan triseps.
Pasien yang memerlukan amputasi biasanya mudah dengan trauma ekstremitas berat atau
manula dengan penyakit vaskuler perifer. Orang muda umumnya sehat, sembuh dengan
cepat, dan berpartisipasi dalam program rehabilitasi segera. Karena amputasi sering
merupakan akibat dari cedera, pasien memerlukan lebih banyak dukungan psikologis untuk
11

menerima perubahan mendadak citra diri dan menerima stres akibat hospitalisasi,rehabilitasi
jangka panjang dan penyesuaiaan gaya hidup. Pasien ini memerlukan waktu untuk mengatasi
perasaan mereka mengenai kehilangan permanen. Reaksi mereka susah diduga dan dapat
berupa kesedihan terbuka dan bermusuhan.
Sebaliknya, lansia dengan penyakit vascular perifer sering mengidap masalah kesehatan
lain, termasuk diabetes militus dan arterosklerosis. Amputasi terapeutik untuk kondisi yang
sudah berlangsung lama dapat membebaskan pasien dari nyeri, disabilitas dan
ketergantungan. Pasien ini biasanya sudah siap mengatasi perasaannya dan siap menerima
amputasi. Adapun pengaruh dari amputasi yaitu :
a. Kecepatan metabolisme
Jika seseorang dalam keadaan imobilisasi maka akan menyebabkan penekanan pada
fungsi simpatik serta penurunan katekolamin dalam darah sehingga sehingga menurunkan
kecepatan metabolismebasal.
b. System musculoskeletal
Terjadi penurunan kekuatan otot. Dengan adanya imobilisasi dan gangguan system
vaskuler memungkinkan supali O2 dan nutrisi sangat berkurang pada jaringan demikian pula
dengan pembuangan sisa metabolisme akan terganggu.
c. System integument
Tirah baring yang lama dapat mengakibatkan tubuh bagian bawah seperti punggung dan
bokong akan tertekan akibat tirah baring lama sehingga terjadi penurunan suplai darah dan
nutrisi kejaringan. Jika hal ini dibiarkan akan terjadi ischemia, hyperemis, dekubitus dan akan
normal kembali jika tekanan dihilangkan dan kulit dimasase untuk meningkatkan supali
darah.
Perawatan Pasca Amputasi
- Pasang balut steril, tonjolan tonjolan hilang di balut tekan. Pemasangan perban elastic
harus hati hati jangan sampai terjadi kontriksi puntung diproksimalnya sehingga
-

distalnya iskemik
Meninggikan puntung dengan mengangkat kaki jangan di tahan dengan bantal, sebab

dapat menjadikan fleksi kontraktur pada paha dan lutut


Luka ditutup, drain diangkat setelah 48 72 jam sedangkan puntung tetap dibalut tekan,

angkat jahitan hari ke 10 14


Amputasi bawah lutut tidak boleh menggantung di pinggir tempat tidur / berbaring /

duduk lama dengan fleksi lutut


Amputasi di atas lutut jangan diasang bantal diantara paha / membiarkan abduksi puntung
/ menggantungnya waktu jalan dengan kruk untuk mencegah kontraktur lutut dan paha
12

Latihan latihan, 1 hari pasca bedah atau sesegera mungkin berjalan dengan kruk,
puntung baru dilepas balutannya setelah benar benar sembuh

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Perawatan luka adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk memastikan bahwa struktur
dibawah kulit tidak rusak dan berfungsi dengan tepat serta bertujuan untuk meminimalkan
resiko infeksi. Perawatan luka post op pada sistem muskuloskeletal dibutuhkan karena untuk
menghindari resiko infeksi. Perawatan luka harus steril dan harus dilakukan pergantian
balutan apabila terdapat indikasi yang menyebabkan balutan diganti. Misalnya adanya
perdarahan. Post op disini termasuk post op ORIF juga termasuk post op amputasi.
Pada saat dilakukan perawatan luka, pasien akan merasakan nyeri. Mulai dari nyeri
ringan sampai nyeri berat. Ukuran skala nyeri tergantung dengan data subjektif yang
diperoleh dari pasien. Untuk mengatasi nyeri pasien, peran perawat adalah memberikan
penatalaksanaan secara mandiri maupun kolaborasi pemberian obat. Dalam peran mandiri
perawat, perawat dapat memberikan teknik distraksi. Dimana teknik ini dapat mengalihkan
perhatian pasien saat dilakukan perawatan luka. Sedangkan untuk peran perawat secara

13

kolaborasi yaitu dengan cara memberikan obat pereda nyeri kepada pasien, obat tersebut
yaitu golongan opioid dan non opioid.
3.2. Saran
Sebagai seorang peerawat kita haruslah memahamitentang perawatan luka pada pasien
post op, baik post op ORIF maupun amputasi . Karena sangat bermanfaat kita melakukan
asuhan keperawatan. Disamping dapat menambah ilmu dalam pengetahuan kita, kita juga
bisa menggunakan sebagai asuhan dalam keperawatan.
Demi kebaikan dan kesempurnaan makalah yang dibuat oleh penyusun diharapkan
adanya saran-saran yang membangun. Dikarenakan penyusun menyadari masih banyak
kekurangan dalam penyusunan makalah perawatan luka post op gangguan muskuloskeletal
ini.

14

Das könnte Ihnen auch gefallen