Sie sind auf Seite 1von 20

TUGAS TERSTRUKTUR

KIMIA PANGAN II
Hasil Ekstraksi Antosianin Yang Digunakan Sebagai Biosensor
Terhadap Kebusukan Daging Ayam

Disusun oleh:
Farah Hana Fadilah

A1M013026

Erin Yuli Isnawati

A1M013027

Mochammad Hadi

A1M013028

Ayunda Nurcandra

A1M013029

Reni Nuraini Alafiah

A1M013030

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2014

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Antosianin merupakan zat pewarna alami yang terdapat dalam tumbuhan.
Senyawa ini menyumbangkan warna merah, biru, violet dan biasa ditemukan ada
bunga, buah dan sayur. Selain sebagai pemberi warna, antosianin juga dapat
berfungsi sebagai biosensor PH. Biosensor PH ini merupakan salah satu cara
mendeteksi kebusukan dari suatu bahan. Sumber antosianin antara lain ubi jalarr
yang memiliki banyak varietas. Salah satu jenis ubi jalar adalah jenis
Ayamurasaki. Merupakan salah satu jenis ubi jalar yang semua bagian umbinya
berwarna ungu dan pertama kali dikembangkan di Jepang. Varietas introduksi
tersebut mempunyai banyak kelebihan dibandingkan baik dari aspek produktivitas
(varietas introduksi 20-25 ton/ha, sedang varietas lokal 15-20 ton/ha), maupun
warna ungunya yang lebih pekat dan merata keseluruh bagian umbinya mulai dari
kulit sampai dagingnya. Dengan demikian ubi jalar Ayamurasaki sangat potensial
untuk dijadikan bahan baku antosianin.
Daging ayam merupakan salah satu bahan pangan yang banyak
dikonsumsi oleh manusia. Daging ayam mengandung kadar protein, lemak dan air
yang tinggi sehingga sangat rentan terkena kontaminasi mikroba. Daging ayam
yang terkena kontaminasi biasanya warna permukaan kulit berubah dan timbul
lendir pada bagian daging. Sehingga saat dikonsumsi dapat menimbulkan
keracunan pada manusia. Untuk itu diperlukan alat pendeteksi alami yang dapat
mendeteksi kebusukan dari daging ayam.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai pemanfaatan ubi jalar sebagai
pendeteksi kebusukan dari daging ayam.

Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui proporsi ubi jalar yang tepat, sehingga dihasilkan biosensor pH yang
dapat mendeteksi kebusukan fillet daging ayam. Antosianin dapat digunakan
sebagai indikator pH alami. Pada media asam akan berwarna merah dan pada
media basa akan berwarna biru hingga kuning.
B. Tujuan
Mengetahui proporsi ubi jalar yang tepat untuk biosensor PH sebagai
pendeteksi kebusukan dari fillet daging ayam

BAB I
Antosianin Sebagai Biosensor Kebusukkan Daging Ayam
Protein merupakan salah satu mikronutrien yang memiliki peranan yang
sangat penting dalam tubuh manusia misalnya sebagai pengatur suhu tubuh dan
mempercepat reaksi biologis dalam tubuh. Oleh karenanya, asumsi protein
keseharian dalam tubuh perlu diperhatikan. Asupan protein ini dibedakan menjadi
protein nabati ( yang berasal dari tumbuhan ) dan protein hewani ( yang berasal
dari hewan ). Salah satu sumber protein hewani yang sering dikonsumsi oleh
manusia adalah daging ayam.
Setiap 100 gram daging ayam mengandung 74% air, 22% protein, dan dari
4% sisanya, terkandung 13 mg Kalsium, 190 mg Fosfor, dan 1,5 mg Zat Besi.
Daging ayam pun kaya vitamin A. Selain itu, daging ayam mengandung vitamin C
dan E. Kadar lemaknya rendah dan itupun termasuk asam lemak tidak jenuh.
Namun, tingginya kandungan nutrisi pada daging ayam inilah yang
menyebakan daging ayam mudah terkontaminasi oleh mikroba seperti
Campylobacter sp. sehingga daging ayam menjadi busuk. Banyak terjadi kasus
keracunan daging ayam yang terjadi akibat kontaminasi Campylobacter sp. yang
juga dikenal sebagai mikroba penyebab diare (Mateo, 2005) . Oleh karena itu
dibutuhkan adanya pendeteksi di dalam menentukan kelayakan konsumsi daging
ayam.
Salah satu cara untuk mendeteksi kebusukan daging ayam adalah dengan
memanfaatkan antosianin yang pada penelitian ini berasal dari ekstrak stroberi
dan klorofil dari daun suji sebagai biosensor pH. Dengan mengetahui proporsi
ekstrak stroberi dan daun suji yang tepat, diharapkan dapat menjadi biosensor pH
yang dapat mendeteksi kebusukan fillet daging ayam.
Analisis yang dilakukan dibagi menjadi 2, yaitu analisis yang dilakukan
pada biosensor pH dan analisis yang dilakukan pada setiap pengamatan. Analisis
yang dilakukan pada biosensor pH meliputi :
1. Analisis Warna

Berdasarkan hasil analisis pada peneltian ini dapat dilihat pada


Tabel 1. Bahwa nilai kecerahan (L), kemerahan (a), dan kekuningan pada
stroberi berturut turut 25.8, 18.7, dan 15.8. Sedangkan pada daun suji
diperoleh angka kecerahan (L), kemerahan (a) dan kekuningan (b) berturut
turut 28.27, 6.35, dan 24.87.
2. Total Antosianin Metode Spektrofotometer
Dengan menggunakan metode spektrofotometer didapatkan total
antosianin yang terkandung dalam buah stroberi yaitu 143.4 385.1 mg/L.
Total antosianin biasanya akan berubah seiring dengan tingkat
kematanannya.
3. Total Klorofil Metode Spektrofotometer
Dengan metode spektrofotometer ini didapat nilai total klorofil
pada daun suji sebesar 18.92 mg/g. Total klorofil pada daun suji
bergantung pada jenis dan umur daun suji yang digunakan.
Setelah diketahui total antosianin dan klorofil yang ada, diakukan
pencampuran keduanya dengan proporsi yang berbeda beda sehingga
terbentuklah biosensor pH yang memiliki angka kecerahan (L), kemerahan (a) dan
kekuningan (b) yang berbeda beda pula. Tingkat kecerahan warna dari biosensor
pH sangat dipengaruhi oleh factor penambahan ekstrak stroberi dan ekstrak daun
suji, semakin banyak penambahannya maka menghasilkan nilai kecerahan yang
rendah. Tingkat kemerahan pada biosensor sangat ditentukan oleh penambahan
ekstrak stroberi yang mengandung antosianin dan tingkat kekuningan pada
biosensor ditentukan oleh penambahan ekstrak daun suji yang mengandung
klorofil b yang berwarna hijau kekuningan. Nilai perbandingan biosensor pH
dapat dilihat pada Tabel 2.
Setelah itu, dilakukan

Analisis Perubahan Warna dimana analisis ini

didasarkan pada perubahan warna yang terjadi akibat biosensor pH yang


berinteraksi dengan fillet daging ayam. Dengan adanya basa volatile pada fillet
daging ayam yang berinteraksi dengan biosensor pH akan menyebabkan warnanya
berubah. Hal ini dikarenakan adanya reaksi hidrasi dari kation flavilium dan
reaksi transfer proton pada grup hidroksil asam menjadi senyawa basa quinoidal
yang berwarna biru, serta degradasi warna dari klorofil membentuk senyawa

klorofilin yang berwarna hijau terang.

Warna yang dihasilkan pun berbeda

bergantung pada proporsi ekstrak daun suji dan stroberi. Analisis perubahan warna
ini didasarkan pada :
1. Analisis pH
Daging ayam yang sudah tidak layak konsumsi biasanya memiliki pH
diatas 6.7, oleh karenanya pH bisa dijadikan tolok ukur tingkat kerusakan
dagin ayam. Tingkat kerusakan ayam bisa dilihat dari senyawa basa volatile
yang terjadi akibat adanya dekomposisi protein sehingga ketika berinteraksi
dengan biosensor pH akan menghasilkan perubahan warna. Nilai perubahan
warna biosensor meningkat seiring dengan meningkatnya pH fillet daging
ayam.
2. Analisis TVBN (Total Volatile Basic Nitrogen)
TVBN merupakan komponen gabungan dari beberapa komponen
volatile amin seperti trimetilamin (TMA), ammonia (NH3) dan dimetilamin
(DMA). Dengan banyaknya TVBN yang dihasilkan, maka pH fillet daging
ayam akan semakin tinggi karena TVBN itu sendiri bersifat basa. Oleh karena
itu, Grafik yang menunjukkan hubungan perubahan warna dengan perubahan
kadar TVBN daging ayam dengan nilai korelasi 0.9224 menujukan hubungan
yang erat dan menunjukkan korelasi yang linear.
3. Analisis TPC (Total Plate Count)
Kandungan mikroba pada daging ayam juga merupakan salah satu
indikator tingkat kerusakan pada daging. Pada umunya, mikroba yang tumbuh
pada daging ayam bersifat psikrofilik dan mampu menguraikan komponen
gizi menjadi senyawa yang berbau busuk. Semakin banyak jumlah mikroba
psikrofilik, maka nilai TBVN yang dihasilkan akan semakin besar. Oleha
karena itu, dapat kita lihat pada Gambar 9 yang menunjukkan koefisien
kolerasi antara perubahan warna dan nilai TPC masing masing biosensor
menujukkan hubungan yang erat. Dimana meningkatnya nilai TPC daging
ayam maka perubahan warna yang terjadi pada biosensor juga akan semakin
meningkat.
BAB II
Ekstraksi Antosianin Dari Ubi Jalar

Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L. var. Ayamurasaki) merupakan salah


satu jenis ubi jalar yang semua bagian umbinya berwarna ungu dan pertama kali
dikembangkan di Jepang. Varietas introduksi tersebut mempunyai banyak
kelebihan dibandingkan ubi jalar lokal seperti Gunung Kawi dan Samarinda baik
dari aspek produktivitas (varietas introduksi 20-25 ton/ha, sedang varietas lokal
15-20 ton/ha), maupun warna ungunya yang lebih pekat dan merata keseluruh
bagian umbinya mulai dari kulit sampai dagingnya. Dengan demikian ubi jalar
Ayamurasaki sangat potensial untuk dijadikan bahan baku antosianin.
Antosianin adalah bagian senyawa fenol yang tergolong flavonoid.
Antosianin bersifat polar sehingga dapat dilarutkan pada pelarut polar seperti
etanol, aceton, dan air. Dalam penelitian ini, untuk ekstraksi digunakan pelarut air
karena lebih aman, murah, dan ketersediaanya melimpah. Namun bila dilihat
tingkat polaritasnya antara antosianin sebagai zat terlarut dan air sebagai pelarut
tidak seimbang.
Untuk meningkatkan efisiensi ekstraksi antosianin polaritas air sebagai
pelarut harus diturunkan sampai mendekati polaritas antosianin. Menurut King
(2009), peningkatan suhu akan menurunkan polaritas air. Metode konvensional
untuk ekstraksi antioksidan alami (antosianin) dari tanaman umumnya dilakukan
dengan pelarut organik (metanol, aseton, etanol). Namun, penggunaan pelarut ini
kemungkinan akan menyebabkan masalah residu dan mempunyai pengaruh yang
merusak/buruk terhadap unsur pokok dalam pangan dan lingkungan.
Penelitian ini terkait efisiensi proses ekstraksi dalam mengekstrak
antosianin dari bahan baku ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki. Penggunaan
metode subcritical water dengan alasan rekayasa air sebagai pelarut tidak
menimbulkan efek negatif bagi kesehatan, limbah ramah bagi lingkungan, proses
ekstraksi cepat, murah, dan hasil ekstraksi (antosianin) sangat cocok untuk
diaplikasikan pada bahan pangan yang berlabel food grade dan untuk industri
farmasi.
Percobaan pada penelitian ini, adalah untuk mengkaji perbedaan pengaruh
perlakuan suhu ekstraksi terhadap jumlah antosianin terekstrak dengan pelarut air.
Variabel yang diamati adalah total antosianin dan viskositas larutan.

Penelitian ini menggunakan 5 percobaan, seperti :


1. Performansi metode subcritical dan non subcritical water dalam ekstraksi
antosianin ubi jalar Ayamurasaki pada berbagai suhu.

Pada Gambar diatas, dengan metode non-subcritical water terlihat


bahwa viskositas meningkat dengan meningkatnya suhu ekstraksi dan
viskositas larutan tertinggi terjadi pada suhu 95oC, viskositas implikasi dari
proses gelatinisasi. Pada kondisi ini sebagian besar granula pati membengkak
mencapai maksimal dan sebagian kecil granula pati pecah sehingga amilosa
keluar dari granula (leaching out). Pada Gambar 18b dengan metode
subcritical water terlihat viskositas larutan mengalami penurunan dengan
meningkatnya suhu. Hal ini disebabkan setelah pembengkakan maksimum,
dan granula pati pecah, kemudian pemanasan tetap dilanjutkan, maka akan
terjadi penurunan viskositas akibat proses degradasi molekul pati (amilosa
dan amilopektin) dalam kondisi demikian kemampuan mengikat air juga
melemah.

Pada Gambar 3, terlihat bahwa peningkatan efesiensi ekstraksi


antosianin terjadi pada suhu diatas 85oC dan selanjutnya 95oC efisiensi
ekstraksi antosianin mengalami penurunan. Pada Gambar 4, terlihat bahwa
peningkatan efesiensi ekstraksi antosianin terjadi pada suhu diatas 115 oC dan
selanjutnya pada suhu 125oC efisiensi ekstraksi antosianin mengalami
penurunan.

Hasil kromatogram dari HPLC (Gambar 5) terlihat untuk ekstraksi


antosianin dengan pelarut air pada suhu 75oC diperoleh peak yang dominan
pada retention time (Rt) antara 20,82 - 24,34 menit, sedang pada suhu
subcritical (115oC) pada (Gambar 6) diperoleh peak yang dominan pada
retention time (Rt) antara 20,81 menit - 24,57 menit, artinya perlakuan
subcritical (115oC) tidak menyebabkan perubahan struktur komponen
penyusun antosianin karena dilakukan dalam waktu ekstraksi yang cepat. Bila
dilihat dari tingginya peak pada perlakuan subcritical lebih tinggi dibanding

perlakuan suhu 85oC. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan subcritical


jumlah antosianin terekstrak lebih banyak. Pada Gambar 7, disajikan
kromatogram sampel ekstrak antosianin hasil ekstraksi subcritical (115oC)
pada pH pelarut 5, bila dibandingkan dengan Gambar 6 yaitu suhu ekstraksi
yang sama tapi pada pH 3 terlihat retention time (Rt) relatif tetap, demikian
juga dengan jumlah peak yang muncul.
2. Pengaruh pH pelarut terhadap viskositas larutan dan total antosianin
terekstrak.

Gambar 8, terlihat bahwa pada perlakuan pH 5 sampai 6 menghasilkan


viskositas larutan paling tinggi, sedang pada pH rendah yaitu pada pH 2 dan 3
menghasilkan viskositas terendah. Pada Gambar 9, terlihat bahwa pada

perlakuan pH 5 menghasilkan total antosianin paling rendah, sedang pada pH


2 dan 3 menghasilkan total antosianin tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
dalam kondisi sangat asam maka amilosa dan amilopektin yang telah keluar
dari granula pati akibat ekstraksi pada suhu subcritical akan terhidrolisis oleh
asam sehingga tidak terbentuk gel, hal tersebut membuat viskositas larutan
diluar sel rendah (encer).
3. Optimasi suhu, waktu, dan pH ekstraksi dengan teknik subcritical water.
Berdasarkan estimasi koefisien regresi pada model polynomial dan
analisis varian untuk percobaan orde II, maka didiapat hubungan antara uji
variabel bebas dan variabel respon seperti ditunjukkan dalam model
persamaan regresi kwadratik (model optimasi ). Pada Gambar 10 terlihat
bahwa kedua faktor suhu dan waktu ekstraksi mempunyai pengaruh positif
terhadap total antosianin. Pada suhu ekstraksi antara 110oC sampai 115oC dan
waktu ekstraksi antara 20 menit sampai 25 menit mengarah pada total
antosianin yang maksimum.

Pada Gambar 11 terlihat pada suhu ekstraksi 115oC sampai dengan


120oC dan pada pH semakin rendah (pH 2 dan 3) mengarah pada total
antosianin yang maksimum. Suhu ekstraksi menunjukkan pengaruh kuadratik
negatif sedang pH menunjukkan pengaruh kuadratik positif yang signifikan
pada total antosianin. Pada Gambar 12 menunjukan pada lama waktu
ekstraksi sekitar 20 menit dan pH dibawah 3 mengarah pada total antosianin
yang maksimum. Nilai maksimum antosianin adalah 0.59 mg/g bahan. Waktu

ekstraksi menunjukkan pengaruh kuadratik negatif sedang pH menunjukkan


pengaruh kuadratik positif yang signifikan pada total antosianin.
Hasil optimasi ini masih lebih tinggi dari total antosianin maksimal
percobaan aktual secara individual (perlakuan suhu atau pH) meskipun lebih
rendah dari hasil tertinggi pada percobaan simultansi 3 faktor (suhu, waktu,
dan pH), artinya kondisi optimum dari hasil percobaan masih dimungkinkan
ditingkatkan hasil antosianin terekstrak.
4. Analisis kuantitas dan kualitas antosianin pada pembesaran skala.

Dari data Tabel 2 pada skala ganda diperoleh hasil 0,4128/0,4298 x


100% = 96,04%. Hasil skala ganda dianggap sempurna jika hasil yang
diperoleh sama dengan skala laboratorium atau mencapai 100%. Dengan hasil
96,04%, ekstraksi pada skala ganda dapat direkomendasikan untuk ekstraksi
antosianin ubi jalar Ayamurasaki pada suhu subcritical water. Dari data Tabel
3 pada skala ganda diperoleh hasil 72,37/72,64 x 100% = 99,63%. Dengan
hasil 99,63%, maka ekstraksi pada skala ganda dapat direkomendasikan untuk
ekstraksi antosianin ubi jalar Ayamurasaki pada suhu subcritical water karena
kualitasnya (aktifitas antioksidannya) tidak mengalami perubahan yang
berarti.
5. Stabilitas antosianin dalam berbagai pH larutan.

Pada Gambar 13 terlihat bahwa pada pH 2 dan 3 menghasilkan


absorbansi tertinggi dan paling stabil selama waktu simpan 15 hari, sedang
pH>4-6 terutama pada pH=5 absorbansi antosianin terekstrak paling rendah
dan paling tidak stabil dan penurunan absorbansi yang paling tajam adalah
setelah penyimpanan hari ke-5. Hal ini disebabkan oleh perubahan struktur
kimia antosianin, karena senyawa antosianin merupakan senyawa turunan
dari kation flavilium dan inti kation flavilium ini kekurangan elektron
(Gambar 3) sehingga sangat reaktif termasuk akibat perubahan pH.

Dari Tabel 4 terlihat bahwa antosianin setelah disimpan selama


disimpan 15 hari pada pH 2 dan 3 relatif stabil dibanding perlakuan lain dan
yang paling stabil pada pH 2 dengan nilai rerata konstanta degradasi (k)
sebesar 2,9 x 10-2 hari-1 (terendah) dan nilai half-life time (t ) sebesar 23,44
hari (tertinggi).

Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa degradasi warna terendah (8,49%)


atau retensi warna tertinggi (91,51%) selama 15 hari adalah pada perlakuan
pH 2. Artinya perlakuan pH 2 adalah yang paling stabil. Sebaliknya degradasi
warna tertinggi (50,62%) atau retensi warna terendah (49,38%) selama 15
hari adalah pada perlakuan pH 5. Artinya perlakuan pH 5 adalah yang paling
tidak stabil. Antosianin adalah senyawa yang bersifat amfoter (hal ini
ditunjukkan dengan adanya gugus H+ dan OH- pada , sehingga memiliki
kemampuan untuk bereaksi, baik dengan asam maupun basa. Adanya ion +
(pada cincin ditengah) menyebabkan antosianin rentan terhadap serangan
senyawasenyawa asing dan perubahan faktor lingkungan (pH, suhu) dan hal
ini akan berpengaruh terhadap stabilitasnya.

BAB III
Hasil Ekstraksi Antosianin Yang Digunakan Sebagai Biosensor
Terhadap Kebusukan Daging Ayam

Penentuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada


beberapa faktor diantaranya cita rasa, warna, tekstur dan nilai gizinya. Disamping
itu, ada faktor lain, misalnya sifat mikrobiologis, tetapi sebelum faktor-faktor lain
dipertimbangkan, secara visual faktor warna tampil lebih dahulu dan kadang
kadang sangat menentukan. Sehingga warna dapat sebagai indikator dalam
menentukan mutu suatu bahan pangan (Winarno, 1997).
Salah satu pigmen alami yang digunakan untuk menentukan mutu bahan
pangan atau dapat disebut biosensor yakni antosianin. Antosianin dapat
mendeteksi ada tidaknya kebusukan pada daging ayam salah satunya. Untuk dapat
dimanfaatkan sebagai biosensor antosianin terlebih dahulu diekstrak dari bahan
yang mengandung antosianin.
Dapat digunakan metode subritical water yang tidak berpengaruh buruk
terhadap bahan pangan dan lingkungan dibandingkan dengan pelarut organik.
Metode ekstraksi Subcritical water adalah pengunaan air sebagai pelarut dengan
temperatur diantara titik didih (10o C) dan temperatur kritis air (37o C) dengan
tekanan di atas 1 atm. Selain itu keadaan lingkungan harus benar-benar diatur
agak mencapai hasil akhir ekstraksi yang maksimal seperti menurut Silva et al.,
(2007) dalam Chan, Lee, Yap, Wan Aida, and Ho., (2009) menyatakan temperatur,
waktu ekstraksi,dan pH mempengaruhi efisiensi ekstraksi. Antosianin merupakan
senyawa turunan dari flavillium cation dan intinya kekurangan elektron sehingga
sangat reaktif terhadap perubahan lingkungan termasuk perubahan pH dan suhu
(Stanciu et al., 2010). Suhu ekstraksi antosianin harus sangat diperhatikan karena
ekstraksi antosianin menggunakan suhu tinggi (subcritical) kemungkinan juga
berdampak terlarutnya/terikutnya senyawa organik seperti : karbohidrat, protein,
dan lemak. Tercampurnya senyawa ini dalam ekstrak antosianin diduga akan
berpengaruh terhadap stabilitas antosianin selama penyimpanan, disamping
ekstraknya nampak agak keruh. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi umumnya
bukan spesifik (tidak selektif) dalam ekstraksi antosianin, termasuk penggunaan
pelarut air. Hal ini dimungkinkan bahan-bahan lain seperti: gula, asam-asam
organik, senyawa fenolik lain (procyanidins) ikut terekstraksi namun masih harus
dilakuka penelitian lebih lanjut tentang ini. Sehingga perlu dilakukan penelitian

untuk menentukan kombinasi suhu, pH, dan waktu yang tepat untuk estraksi
antosianin dari bahan pangan tertentu.
Dalam percobaan antosianin sebagai biosensor kebusukkan daging ayam
antosianin yang digunakan dari dua bahan yakni dari strawberry dan daun suji.
Dalam penggunaannya dalam percobaan ini ekstrak antosianin dari dua sumber
tersebut dilakukan kombinasi konsentrasi keduanya dalam campuran antosianin
ekstrak strawberry dan ekstrak daun suji. Beberapa konsentrasi sumber antosianin
diaplikasikan pada daging ayam dan diamati perubahan warnanya pada 12 hari
pengamatan. Proporsi ekstrak stroberi dan daun suji berpengaruh terhadap
perubahan warna dari biosensor pH pada tiap hari pengamatan ditunjukkan pada
tabel 4.

Perubahan warna biosensor berubah dari hari ke hari hal ini disebabkan
karena meningkatnya pH pada daging ayam akibat adanya komponen basa-basa
volatil yang dihasilkan. Secara visual, pada hari ke-12 biosensor pH dengan
proporsi 25%:5% akan tampak berwarna hijau kekuningan. Perubahan warna ini
disebabkan karena terjadi reaksi hidrasi dari kation flavilium dan reaksi transfer
proton pada grup hidroksil asam menjadi senyawa basa quinoidal yang berwarna
biru, serta degradasi warna dari klorofil membentuk senyawa klorofilin yang
berwarna hijau terang. Pada pH basa, antosianin akan berwarna biru yang akan
berasosiasi dengan warna hijau dari klorofil dan menghasilkan warna akhir
kuning. Sedangkan pada biosensor pH dengan proporsi 10%:20% dan 15%:15%,
akan tampak berwarna hijau terang. Pada proporsi 20%:10%, biosensor pH
berwarna sedikit kekuningan.
Perubahan warna pada antosianin dikarenakan perubahan pada pH daging
ayam. pH pada percobaan ini digunakan sebagai tolak ukur tingkat kerusakan

daging ayam terkait adanya kemasan pintar. Daging ayam yang sudah tidak layak
konsumsi memiliki nilai pH > 6.7.
Perubahan pH salah satunya terjadi karena penambahan kadar TVBN
(total volatile basic nitrogen) pada daging ayam seiring berjalannya waktu.
Semakin tinggi kadar TVBN yang terdapat pada daging ayam maka akan semakin
tinggi pH daging ayam yang menyebabkan perubahan warna yang terjadi pada
biosensor juga semakin tinggi. Peningkatan nilai TVBN disebabkan karena terjadi
dekarboksilasi enzimatis dari asam amino yang berkaitan dengan aktivitas enzim
yang dihasilkan mikroba, pada kasus daging ayam yakni bakteri psikofilik.
Dekarboksilasi asam amino oleh mikroba akan menghasilkan senyawa-senyawa
volatil amin seperti trimetilamin (TMA), dimetilamin (DMA) dan amonia (NH3).
Sehingga dapat dikatakan semakin lama ayam disimpan maka semakin banyak
pula TVN yang terbentuk. Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai TVBN
berbanding lurus dengan TPC pada daging ayam.
Untuk mengetahui kesegaran dagng ayam kita dapat melihat dari TPC
yakni analisis jumlah mikroba. Semakin lama penyimpanan maka akan semakin
banyak total mikroba pada daging ayam. Sehingga jumlah TPC berkolerasi
dengan perubahan warna pada biosensor. Hal ini dikarenakan semakin tinngi
jumlah mikroba maka akan semakin tinggi pula jumlah TVBN pada daging ayam.
TVBN sangat mempengaru pH daging ayam, peningkatan pH dapat digunakan
sebagai indikasi kebusukkan pada daging ayam dengan biosensor yang warnanya
akan berubah sesuai pH lingkungannya.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Antosianin merupakan pigmen yang dapat di ekstrak secara maksimal dari
ubi jalar dengan metode subcritical water pada suhu 112 oC, waktu 20 menit, dan
pH 2. Antosianin dapat digunakan gebagai biosensor kebusakan daging ayam
dengaan ditandai perubahan warna dari hari ke hari akibat meningkatnya pH.
B. Saran
Dari hasil penelitian, antosianin dapat dimanfaatkan sebagai biosensor
kebusukan daging ayam karena mudah di ekstrak dari berbagai bahan seperti ubi
jalar maupun strawberry.

Daftar Pustaka
Chan,S.W., C.Y.Lee, C.F.Yap, W.M.Wan Aida, and C.W.Ho, 2009. Optimisation
of Extraction Condition for Phenolic Compounds from Limau Purut
(Citrus hystrix) Peels. International Food Research Journal 16: 203-213
Stanciu,Gabriela, Simona Lupsor, Constanta Sava and Sabina Zagan, 2010.
Spectrophotometric study on stability of anthocyanins extracts from black
grapes skins. Ovidius University Annals of Chemistry Volume 21, Number
1, pp. 101-104.

Das könnte Ihnen auch gefallen