Sie sind auf Seite 1von 16

Laporan Kasus

SEORANG PENDERITA GLOMERULONEFRITIS


HENOCH-SCHNLEIN PURPURA

Pendahuluan
Henoch-Schnlein Purpura (HSP) merupakan suatu kelainan inflamasi yang dicirikan
dengan vaskulitis menyeluruh yang meliputi pembuluh darah kulit, saluran cerna, ginjal,
sendi, dan yang jarang pada paru-paru dan sistem saraf pusat.

Menurut Consensus

Conference on Nomenclature of Systemic Vasculitides, HSP merupakan suatu vaskulitis


dengan deposit imun yang didominasi oleh IgA pada pembuluh darah kecil kulit, saluran
cerna serta glomerulus dan berhubungan dengan adanya atralgia atau arthritis (1). Ada
banyak bukti yang menyatakan bahwa HSP dan IgA Nephropaty (IgAN) merupakan suatu
spektrum klinis dari kelainan yang serupa dimana HSP merupakan bentuk sistemik dari
IgAN.
Sindroma ini dinamai dari nama dua orang dokter jerman. Pertama kali vaskulitis
sistemik dilaporkan oleh Heberden tahun 1806, kemudian pada tahun 1837, Johan Schnlein
pertama kali menemukan beberapa kasus peliosis rheumatica atau purpura yang berhubungan
dengan arthritis. Tiga puluh tahun kemudian, Edouard Henoch menemukan manifestasi
gastrointestinal seperti muntah, nyeri perut, dan melena. Hasil biopsi kulit memberikan
gambaran vaskulitis dengan nekrosis pembuluh darah disertai dengan deposit leukosit
dominan polimormonuklear serta mononuklear. Sehingga Henoch-Schnlein purpura juga
dikenal dengan istilah purpura rheumatica, leukocytoclastic vasculitis dan vaskulitis alergika.
Penyakit ini bisa muncul pada semua usia, tetapi umumnya ditemukan pada anak-anak.
Secara keseluruhan diperkirakan insidennya 10-20 kasus per 100.000 anak-anak per tahun.
Pada orang dewasa insidennya lebih rendah yaitu sekitar 1,3-1,4 per 100.000 orang per tahun.
Pada anak-anak rasio antara laki-laki dan wanita adalah 2:1 sedangkan pada usia dewasa
sekitar 1:1. Sekitar 75% gejala muncul pada usia 2-11 tahun dengan median 5 tahun. Usia
yang lebih dewasa berhubungan dengan kegagalan fungsi ginjal. Pada anak-anak, nefritis

HSP (HSN) termanifestasi a sekitar 2040% kasus sedangkan pada orang dewasa
diperkirakan antara 5085% kasus. Secara keseluruhan sekitar 1-3% akan berkembang
menjadi gagal ginjal kronik yang memerlukan terapi pengganti ginjal (4). Penyakit ini sering
mengalami remisi spontan, tetapi lebih seringnya keterlibatan ginjal yang ditemukan pada
penderita dewasa menyebabkan prognosis yang lebih buruk. Berikut ini dilaporkan sebuah
kasus HSP pada dewasa muda yang berkembang secara progresif dan akhirnya mengalami
penyakit ginjal kronik.
Kasus
Seorang laki-laki usia 18 tahun, suku Bali datang dengan keluhan nyeri perut sejak 3
hari SMRS, nyeri dirasakan seluruh bagian perut dan terasa seperti ditusuk-tusuk dan kadang
kadang sedikit membaik dengan obat antinyeri. Nyeri terasa cukup berat dan berlangsung
hampir sepanjang waktu sehingga penderita kadang-kadang gelisah. Penderita juga mengeluh
buang air besar berwarna coklat kehitaman sejak 2 hari sebelumnya disertai muntah berwarna
kecokelatan. Bengkak pada kedua kaki dirasakan sejak sekitar 12 hari disertai dengan bintikbintik kemerahan pada kulit disertai nyeri sendi pergelangan kaki. Keluhan bintik-bintik
kemerahan yang disertai nyeri sendi berawal saat penderita usia anak-anak sekitar 8 tahun
yang lalu pernah mengalami keluhan serupa dan dikatakan menderita semacam alergi dan
mendapat obat berupa prednison selama sekitar 2 minggu dan penderita tidak pernah kontrol
lagi karena merasa mengalami perbaikan.
Keluhan bintik-bintik merah kemudian kadang-kadang muncul dan disertai nyeri dan
paling sering muncul pada kaki dan tetapi biasanya membaik dengan sendirinya tanpa
pengobatan dalam 3-7 hari. Keluhan ini dirasakan ringan sehingga penderita tidak
memeriksakan diri. Penderita mengeluh nyeri perut 12 hari yang sebelumnya disertai dengan
kedua kaki bengkak dan bintik kemerahan pada tungkai dan saat itu penderita di diagnosis
mengalami apendisitis akut dan menjalani operasi. Riwayat penyakit ginjal maupun penyakit
jantung tidak diketahui sebelumnya. Tidak ada riwayat keluarga menderita keluhan yang
sama, menderita penyakit alergi, penyakit ginjal maupun penyakit autoimun.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan kesadaran kompos mentis, tekanan darah 160/90
mmHg, nadi 96 x/menit dan respirasi 20 x/menit. Pada kelopak mata didapatkan odema
palpebra, pada pemeriksaan thorax masih dalam batas normal, pada pemeriksaan abdomen
didapatkan distensi, bising usus dalam batas normal, nyeri tekan diseluruh abdomen dan
asites. Pemeriksaan kedua eksterimitas bawah didapatkan odema dan purpura kemerahan
multipel berbentuk bulat, sebagaian konfluen, tidak hilang dengan penekanan serta berbatas

tegas dengan ukuran bervariasi di kedua kaki. Pada hari kelima perawatan bintik kemerahan
di kaki membaik tetapi muncul lesi baru yang serupa pada kedua lengan bawah penderita.
Pemeriksaan darah rutin saat awal didapatkan WBC 14,5 K/uL, netrofil 11,4x 10 3,
limfosit 1.57 x 103, Hb 11.0 g/dL PLT 538 K/uL, dan dalam 2 hari menjadi WBC 29,9 K/uL,
Hb 10.3 g/dL, PLT 655 K/uL. Pemeriksaan AST 11.77 U/L, BUN 122.5 mg/dL, serum
kreatinin 3.3 mg/dL, asam urat 15,4 mg/dL, Na 133,0 mmol/L, kalium 4,71 mmol/L.
Pemeriksaan darah lengkap serial menunjukkan penurunan hemoglobin seiring dengan
adanya perdaran saluran cerna dengan hasil leukosit 35.3 K/uL, netrofil 32,2 x10 4, limfosit
1.9 x103, Hb 10.9 g/dL, trombosit 741 K/uL pada hari keempat. Pada pemeriksaan urinalisis
didapatkan pH 5,0, BJ 1,02, protein 500 mg/dL (+4), eritrosit 250 /l (+5) sedimen leukosit
1-2/lp, sedimen eritrosit 7-8/lp, dan kristal amorph. Kadar phosfat anorganik 10.9 mg/dL,
albumin 2.0 g/dL turun menjadi 1,7 g/dL dalam 1 minggu dan proteinuri kuantitatif
ditemukan secara bermakna 3.8 gram/24 jam. Pemeriksaan lipid profile, total cholesterol
122,7 mg/dl, HDl 24.64 mg/dl, LDL 64,7 mg/dl dan trigliserida 166,9 mg/dl. BUN dan
kreatinin serum mengalami peningkatan masing masing 138.7 mg/dL dan 4.43 mg/dL pada
hari ketiga dan BUN 140,7 mg/dl, SC 6,65 mg/dL pada hari keempat. Terjadi hiperkalemia
pada hari kelima (6,6 mmol/L) dan peningkatan serum kreatinin dengan progresif
menyebabkan penderita menjalani hemodialisis. Foto polos abdomen hanya mengesankan
gambaran asites, Thorax foto memberikan gambaran kardiomegali sedangkan ekokardiografi
menggambarkan efusi pericardium ringan sedangkan dimensi ruang jantung masih dalam
batas normal. Ultrasonografi abdomen memberikan gambaran peningkatan echocortex pada
kedua ginjal, hidronefrosis grade II bilateral dan asites.
Pemeriksaan imunologi ANA test dan antidsDNA memberikan hasil negatif. Biopsi
kulit sesuai dengan gambaran leukocytoclastic vasculitis. Keseluruhan data mendukung
diagnosis Henoch Schonlein Purpura yang termanifestasi dengan purpura, nyeri sendi, nyeri
abdomen, perdarahan saluran cerna serta gangguan ginjal akibat terjadinya vaskulitis
sistemik. Dengan temuan tersebut penderita mendapatkan terapi metilprednisolon intravena
dimulai pada hari keenam perawatan awalnya dengan dosis 2 x 62,5 mg setelah perdarahan
saluran cerna membaik. Secara klinis terjadi perbaikan pada keluhan nyeri abdomen dan
purpura setelah hari kedua pemberian steroid. Perburukan fungsi ginjal dengan peningkatan
kada BUN, kreatinin serum serta penurunan produksi urine menjadi oliguria dan
hiperkalemia pada hari kelima menyebabkan hemodialisis dilakukan dengan segera.

Pemeriksaan fungsi ginjal setelah dialisis BUN 116,1 mg/dL, SC 5.78 mg/dL dan naik
kembali pada hari-hari berikutnya dan tidak menunjukkan perbaikan signifikan setelah
dialisis ulangan (BUN 130.0 mg/dL, SC 6,14 mg/dL setelah 2 minggu perawatan dan
meningkat pada hari ke-15 yaitu BUN 164,3 g/dL, SC 7,36 mg/dL, Na 131,6 mmol/L, K 6,32
mmol/L). Dosis metilprednisolon kemudian ditingkatkan menjadi 2 x 250 mg setelah 5 hari
pemberian dosis awal karena kurang baiknya respon fungsi ginjal dan hemodialisis kembali
dilakukan. Terapi lainnya yang diberikan adalah asam folat 2 x 2 mg, captopril 2 x 25 mg,
furosemid 1 x 20 mg iv, allopurinol 1 x 100 mg, serta obat-obat saluran cerna seperti
omeperazole 2 x 40 mg i.v, antasida 3x CI dan sucralfat 3 x CI. Penderita akhirnya pulang
paksa setelah 15 hari dirawat untuk menjalani terapi tradisional setelah sebelumnya
mendapatkan penjelasan mengenai penyakit, manajemen serta kemungkinan prognosis
jangka panjang.
Pembahasan
HSP sering muncul dengan gejala palpable purpura, odema, nyeri abdomen, nyeri sendi
dan gangguan ginjal. Prognosis biasanya baik apabila belum terdapat gejala gangguan ginjal.
Gejala gangguan ginjal bervariasi mulai dari hematuria and proteinuria intermiten sampai
rapid progressive glomerulonephritis. Henoch-Schnlein nephritis (HSN) merupakan
penyakit yang lebih sering memiliki prognosis baik tetapi 1-3% penderita akan mengalami
end stage renal disease (ESRD)

dan 20-35% menjadi penyakit ginjal kronik menurut

penelitian jangka panjang (4).


Penyebab penyakit belum diketahui dengan pasti tetapi beberapa faktor diketahui
menjadi pencetusnya, diperkirakan sebanyak 70-80% penderita HSP mengalami infeksi
saluran nafas saat mulainya perjalanan penyakit. Beberapa faktor pencetus, khususnya infeksi
streptokokus dibuktikan dengan kultur hapusan tenggorokan dilaporkan menjadi pencetus
yang paling sering yaitu dalam 20-36% kasus. Di beberapa negara musim memiliki pengaruh
dimana puncak musim dingin merupakan waktu puncak terjadinya infeksi, sedangkan obatobatan (antibiotika, ACE inhibitors, NSAIDs) dan beberapa toksin (gigitan serangga,
vaksinasi dan alergi makanan) juga dikatakan memiliki peranan. Beberapa faktor-faktor
pencetus antara lain:
a

Bakteri: streptococcus pyogenes, staphylococcus aureus, mycoplasma, shigella,


yersinia, legionella, salmonella, helicobacter pylori, campylobacter

Virus: adenovirus, parvovirus, hepatitis B, varicella zoster, Ebstein-Barr, coxsackie,


herpes simplex, HIV

Obat: thiazides, antibiotika, ACE-inhibitors, NSAID

Lain-lain: gigitan serangga, alergi makanan, toxocara canis

Vaksinasi: tuberkulosis, measles, kolera, yellow fever, hepatitis B, influenza,


pneumokokus, meningokokus.
Faktor-faktor pencetus terjadinya HSP kadang-kadang sulit untuk diketahui karena

penderita kadang-kadang datang dalam kondisi dimana gejala sudah demikian jelas dan
faktor-faktor pencetus sulit diidentifikasi.
Mekanisme patogenesis HSP belum sepenuhnya diketahui. Tetapi ada bukti yang jelas
mengenai peranan IgA dalam imunopatogenensis penyakit ini dimana ditemukan peningkatan
konsentrasi serum IgA1 bersama dengan peningkatan circulating immunocomplexes yang
mengandung IgA pada penderita HSP. Pembentukan IgA seperti pada respon imun humoral
lainnya dikontrol oleh limfosit B dan T dan terjadinya gangguan regulasi ini menyebabkan
peningkatan IgA. Gangguan O-glycosylation dari IgA1 karena hinge region yang abnormal
pada molekul IgA1 dilaporkan pada penderita HSP yang mengalami nefritis dan IgA
nefropati, tetapi tidak pada penderita HSP yang hanya memiliki gejala ekstrarenal. Terdapat
beberapa alasan bagaimana terjadinya abnormalitas dari O-glycosylation sehingga menjadi
patogenik dalam IgAN dan HSN. Hal ini mungkin terjadi akibat menurunnya pembersihan
molekul IgA1 sehingga menghasilkan peningkatan IgA dalam sirkulasi atau dengan cara
peningkatan kemampuan ikatan IgA1 untuk membentuk immunokompleks IgA.
Peranan IgA dalam patogenesis HSP didukukung oleh fakta bahwa IgA sekretori
memainkan peranan utama dalam pertahanan terhadap atigen luar pada daerah mukosa dan
dalam pengamatan diketahui bahwa infeksi saluran nafas mengawali onset penyakit pada 7080% kasus. Peningkatan pembentukan IgA oleh sel B mukosa distimulasi oleh penetrasi
transmukosa oleh antigen asing.
Vaskulitis Leukositoklastik merupakan hasil akhir imunopatologis ketika kompleks
imun IgA yang bersirkulasi mengalami deposisi pada organ yang terlibat dan menimbulkan
lesi inflamasi, aktivasi sistem komplemen dan aktivasi sel secara langsung. Hal yang penting
terjadi adalah kemungkinan adanya kerusakan endotel akibat invasi oleh leukosit pada sel
endotel kemudian diikuti oleh migrasi ke jaringan. Produk penguraian komplemen bersifat
kemoatraktan dan menarik leukosit polimorfonuklear yang terlihat pada didinding pembuluh
darah kecil. Aktivasi jalur alternatif pada sistem komplemen juga diperkirakan terjadi pada

HSP fase akut karena hasil produk degradasi kaskade komplemen tersebut juga ditemukan
pada plasma dan glomerulus, tetapi penelitian lain belum mendukung peranan komplemen
dalam patogenesis HSP. Sitokin proinflamasi seperti endothelin, TNF, dan interleukin juga
ditemukan pada penderita HSP dan kadar sitokin-sitokin ini lebih tinggi daripada kontrol
terutama pada fase akut. Sitokin dicurigai memainkan peranan penting dalam proses
inflamasi pada penderita HSP
Faktor genetika juga dicurigai berperanan dalam patogenesis HSP. Lofters et al.
melaporkan kejadian HSP pada tiga anggota keluarga yang sama yang menunjukkan
predisposisi keluarga dalam perkembangan penyakit ini. Kemudian kemunculan familial
penyakit ini ditemukan pada kasus kembar dan saudara kandungnya. Kasus IgA nephropathy
(IgAN) primer familial yang dihubungkan dengan HSP juga pernah dilaporkan tetapi usaha
untuk mengidentifikasi gen yang bertanggungjawab terhadap faktor familial ini belum
membuahkan hasil.
Temuan terhadap 30 keluarga yang anggota keluarganya terkena penyakit ini
mendukung hipotesis bahwa IgAN merupakan penyakit kompleks yang bersifat
multifaktorial yang melibatkan lebih dari satu gen dan kemungkinan berkombinasi dengan
beberapa faktor lingkungan. Demikian pula penelitian yang bertujuan untuk mencari
kemungkinan predisposisi diturunkan pada penyakit ini belum membuahkan kesimpulan
adanya satu faktor tunggal sebagai penyebab penyakit ini walaupun ditemukan adanya
peningkatan frekuensi homozygous null C4 phenotypes (sebuah gen yang menghasilkan
produk gen yang tak teridentifikasi) pada penderita HSP dan IgAN, menyebabkan defisiensi
pada C4. Kepentingan klinis dari temuan ini masih belum jelas, walaupun diasumsikan
bahwa defisiensi C4 mungkin mencerminkan ketidakcukupan aktivitas komplemen.
Ada beberapa laporan HSN dan IgAN yang mengenai anggota dalam satu keluarga,
keluarga dekat atau bahkan kembar baik secara simultan ataupun dalam periode waktu
tertentu, juga dilaporkan penderita yang sebelumnya terdiagnosa IgAN kemudian
berkembang menjadi HSP. Beberapa kasus yang diterapi sebagai IgAN ketika dewasa tetapi
menunjukkan gejala tipikal pada HSP ketika masa kanak-kanak dan perbedaan pendapat
masih tetap ada karena adanya kesamaan mekanisme patogenesis keduanya.
Diagnosis HSP berdasarkan tanda klinis yang khas dan tidak ada tes laboratorium yang
spesifik. Trombosit dalam batas normal walaupun ditemukan purpura yang luas, anemia bisa
terjadi apabila penderita mengalami perdarahan gastrointestinal atau hematuria yang berat
dan dapat pula disertai dengan leukositosis. Sebanyak 64% pasien mengalami kenaikan LED,

dan IgA serum meningkat dalam 2257 % kasus. Imunoglobulin E dan eosinophil cationic
protein (ECP) dapat meningkat sedangkan komplemen 3 (C3) dan komplemen 4 (C4)
menurun pada 4,2-20% kasus. Rasio IgA/C3 dikatakan sebagai penanda prognostik pada
HSP. Peningkatan antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA) yang merupakan isotop
IgA dilaporkan terdapat pada pasien HSP, dan peningkatan serum antistreptolysin (AST) juga
ditemukan pada 30-35% kasus. C-reactive protein (CRP) dapat meningkat khususnya pada
penderita yang memperlihatkan gejala infeksi saluran nafas atas. Albumin dapat menurun
karena proteinuria, walaupun serum albumin subnormal juga ditemukan pada pasien tanpa
proteinuria yang mencerminkan kehilangan protein melalui enteropati. Proteinuria serta
hematuria menggambarkan telah terjadinya keterlibatan ginjal apalagi jika ditemukan
kenaikan kadar BUN dan kreatinin. Perdarahan samar pada feses dapat ditemukan pada 25%
pasien HSP. Aktivasi sistem koagulasi terjadi sekunder karena kerusakan endotel juga
dilaporkan. Konsentrasi D-dimer dan antigen faktor Von Willebrand dapat mengalami
peningkatan dan aktivitas faktor koagulasi XIII menurun, tetapi waktu koagulasi (APTT,
PTT) biasanya normal. Pada kasus nyeri perut yang berat sebelum munculnya purpura
dimana diagnosis menjadi sulit, maka faktor XIII disarankan sebagai penanda yang berguna.
Pada penderita ini didapatkan leukositosis yang semakin berat seiring dengan anemia akibat
perdarahan saluran cerna, selain itu didapatkan pula proteinuria, hipoalbumin, hematuria serta
kenaikan BUN dan kreatinin yang menunjukkan telah terjadinya gangguan ginjal.
Biopsi kulit merupakan kriteria diagnosis HSP dimana temuan yang khas adalah
leucocytoclastic vasculitis dengan nekrosis dinding pembuluh darah dan akumulasi sel
inflamasi perivaskular di sekitar kapiler dan venula poskapiler dermis serta deposit IgA, C3
dan IgM pada dinding pembuluh darah (1,2,3). Keadaan ini diakibatkan oleh adanya deposisi
kompleks imun dengan aktivasi komplemen dengan leukotaksis. Juga dapat ditemukan
proliferasi sel endotel, deposit fibrin mural, dan pada kasus yang berat nekrosis fibrinoid.
Deposit IgA juga dapat ditemukan pada kulit yang tidak mengalami purpura dan gambaran
yang sama juga dapat ditemukan pada biopsi mukosa usus. Duodenum dan usus halus
merupakan tempat yang paling sering terlibat pada penderita dengan nyeri abdomen. Pada
penderita ini ditemukan gambaran biopsi kulit vaskulitis leukositoklastik yang mendukung
gambaran klinis dan laboratorium lainnya untuk diagnosis HSP.
Temuan Immunofluoresensi dari biopsi ginjal menunjukkan deposit IgA saja atau
dengan sedikit deposit C3 dan IgG pada daerah mesangial dan dan dinding kapiler pada
nefritis HSP (HSN). Deposit ini terdistribusi secara difus pada glomerulus, walaupun

perubahan mikroskopis bisa bersifat fokal. Lesi histologis pada HSN bervariasi dan tidak ada
lesi patognomonik yang tunggal walaupun hiperselularitas mesangial fokal dan lokal dapat
bersamaan dengan matrik mesangial merupakan lesi paling sering. Sebanyak 37-58% HSN
muncul dengan perubahan minimal atau proliferasi mesangial, 23-36% dengan crescents pada
<50% glomerulus dan 2-45% dengan crescents pada >50% glomerulus.
Abnormalitas pada HSN diamati dengan mikroskop elektron bervariasi dari open
capillary loops dengan penebalan minimal membran basal dan penyatuan prosesus sampai
glomerulus yang hampir mengalami sklerosis dengan loops yang telah mengalami oklusi.
Sistem klasifikasi histologi ISKDC (International Study of Kidney Diseases in Children)
digunakan secara luas untuk mengklasifikasikan beratnya temuan biopsi pada HSN.
Klasifikasi ini berdasarkan atas adanya formasi crescent, tanpa memperhitungkan
maturitasnya (4,6). Dikenal sistem penilaian semikuantitatif yang membagi beratnya
perubahan akut dan kronik berdasarkan abnormalitas pada glomerulus, tubulointerstitium dan
pembuluh darah pada temuan biopsi.
Klasifikasi biopsi ginjal menurut ISKDC pada Henoch-Schnlein purpura:
a

Grade I. Perubahan minimal

Grade II. Proliferasi mesangial

Grade III A. Proliferasi fokal atau sklerosis dengan < 50% crescent

Grade III B. Proliferasi difus atau sklerosis dengan < 50% crescent

Grade IV A. Proliferasi fokal atau sklerosis dengan50 75% crescent

Grade IV B. Proliferasi difus atau sklerosis dengan 50 75% crescent

Grade V A. Proliferasi fokal atau sklerosis dengan > 75% crescent

Grade V B. Proliferasi difus atau sklerosis dengan > 75% crescent

Grade VI. Glomerulonefritis membranoproliferatif

Klasifikasi temuan biopsi lainnya berdasarkan atas derajat hiperselularitas mesangial (6).
Klasifikasi ini membagi dalam lima derajat sebagai berikut:
a

Grade I. Dengan perubahan minimal, merupakan yang paling ringan meliputi 2%


biopsi.

Grade II. Mesangial proliferative atau mesangiopathic glomerulonephritis, dengan


karakteristik peningkatan ringan dalam selularitas mesangial dengan atau tanpa

leukosit yang bersirkulasi dan umumnya tanpa pembentukan crescent dan terdapat
pada 10 sampai 32% biopsi.
c

Grade III. Fokal dan segmental glomerulonephritis, juga disebut sebagai focal
segmental endocapillary proliferation, merupakan kelainan tersering dan di jumpai
pada 20 sampai 45% pasien. Lesi yang ditemukan adalah hiperselularitas fokal dan
segmental sedang pada mesangial dan sering disertai dengan lekosit pada lumen
kapiler secara segmental dengan scattered capillary wall fuchsinophilic deposits.

Grade IV. Diffuse proliferative glomerulonephritis, juga disebut dengan diffuse


endocapillary proliferation, dengan karakteristik proliferasi mesangial yang luas,
leukosit intraluminal yang bervariasi dengan lebih dari 50% crescent.

Grade V. Proliferasi yang lebih luas dan difus dengan formasi crescent lebih dari 50%.
Beberapa tipe vaskulitis seperti Wegeners granulomatosis, polyarteritis nodosa,

sistemic lupus erythematosus, vasculitis urtikaria serta vaskulitis hipersensitivitas mempunyai


gejala mirip dengan HSP. Parameter immunoserologi (seperti ANCA dan antibodi
antifosfolipid) dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk membedakan beberapa dari
penyakit tersebut. Menurut American College of Rheumatology (ACR, 1990), munculnya dua
atau lebih dari gejala berikut akan membedakan HSP dengan vaskulitis tipe lainnya yaitu,
usia dibawah 20 tahun, palpable purpura, nyeri perut yang bersifat akut, atau biopsi yang
memberikan gambaran granulosit pada dinding arteriol atau venula dan munculnya minimal
dua kriteria tersebut memiliki sensitivitas 87,1% dan spesifitas

87,7%. Pada kasus ini

penderita masih berusia muda, dengan gejala klinis nyeri perut yang akut, ada purpura pada
kulit dan disertai oleh gambaran lesi patologik yang khas telah sesuai dengan kriteria HSP.
HSP muncul paling sering pada anak-anak dan muncul dengan lesi kulit yang klasik
pada ekstremitas bawah dan daerah bokong. Tetapi gambaran lesi kulit tidak selalu
terdisdribusi secara klasik pada orang dewasa atau anak-anak yang lebih muda sehingga
biopsi kulit sangat penting dilakukan. Kondisi sepsis, leukemia dan idiopathic
thrombocytopenic purpura dapat menyebabkan purpura tetapi kondisi klinis penderita
tersebut biasanya lebih berat dari HSP. Glomerulonefritis akut pasca streptokokus yang
biasanya menunjukkan gejala oedema dan lesi kulit dengan infeksi saluran nafas atas, mirip
dengan HSP tetapi rendahnya kadar serum C3 dan tanpa nyeri perut dan nyeri sendi dapat
menyisihkan penyakit tersebut. Gejala klinis pada penderita ini sesuai dengan kriteria ACR
sedangkan kecurigaan SLE disisihkan oleh pemeriksaan ANA dan anti dsDNA yang negatif.

Istilah IgA nefropati pertama diperkenalkan oleh Berger, merupakan salah satu bentuk
glomerulonefritis yang tersering dan menjadi kausa gagal ginjal terminal yang penting.
Diagnosis IgAN berdasarkan atas temuan immunofluoresensi deposit IgA pada daerah
mesangial glomerulus. Hal tersebut ditemukan sekunder pada nefritis HSP (HSN) dan
beberapa penyakit lain. Pada HSN dan IgAN ditemukan beberapa gambaran khas tetapi IgAN
dikatakan sebagai HSN tanpa purpura. Apakah keduanya merupakan dua fenotif penyakit
penyakit yang berdiri sendiri masih menjadi kontroversi sampai saat ini. Perbedaan keduanya
adalah pada usia saat diagnosis dan gejala yang nampak, dimana HSN lebih banyak
ditemukan pada anak-anak dan selalu meliputi gejala ekstra-renal sedangkan IgA nephritis
biasanya terdiagnosis pada dewasa muda dengan hanya gejala gangguan ginjal. Demikian
juga elemen hipersensitivitas seperti peningkatan IgE dan ECP (eosinophil cationic protein)
yang sering ditemukan pada HSP tidak ditemukan pada IgAN. Temuan histologi pada biopsi
ginjal menunjukkan lesi yang lebih akut pada pasien HSN, dan sindroma nefritik-nefrotik
lebih sering ditemukan. Pada IgAN ditemukan adanya deposit IgA secara difus pada sel
mesangial disertai dengan hiperselularitas mesangial. IgM, IgG, C3, atau rantai halus mungkin
bersamaan dengan IgA. Sangat penting untuk memutuskan kapan onset IgA nephritis dimulai

karena pada kebanyakan kasus dimana mungkin hanya terdapat silent microscopic
haematuria selama beberapa tahun sebelum biopsi dilakukan, sedangkan onset gejala lebih
jelas pada HSP oleh karena adanya gejala ekstrarenal (purpura, nyeri abdomen dan nyeri
sendi). Pemeriksaan imunofluoresensi pada pasien HSP dengan gejala gangguan ginjal sama
dengan IgAN dan masih tetap terdapat deposit IgA pada 2/3 pasien setelah 2-9 tahun fase
akut nefritis HSP. Dalam pengamatan jangka panjang penyakit ginjal pada HSP identik
dengan nefritis IgA setelah gejala ekstrarenal akut teratasi. HSN dan nefritis IgA umumnya
disebut dengan nefropati IgA.
Beberapa terapi imunosupresan dan imunomodulator digunakan pada penderita nefritis
karena HSP (HSN), tetapi belum ada terapi spesifik yang bisa merubah perjalanan penyakit.
Terapi antikoagulan dan fibrinolitik dikombinasikan dengan agen imunosupresan untuk
mencegah terjadinya trombosis atau keadaan hiperkoagulasi dan pemberian faktor XIII juga
digunakan sebagai konsekuensi dari temuan bahwa adanya penurunan faktor XIII pada kasus
dengan gejala klinis yang lebih berat termasuk nefritis. ACE inhibitor digunakan untuk
mengurangi proteinuria dan memberikan proteksi terhadap penurunan fungsi ginjal dan dapat
digunakan bersama preparat imunosupresan. Hasil yang lebih baik dilaporkan apabila terapi
agresif dimulai lebih awal tetapi tidak ada rekomendasi yang baku untuk penanganan HSN.

Beberapa penelitian melaporkan tidak ada keuntungan pemberian steroid oral pada
HSN. Counahan dkk. menemukan tidak ada perbedaan pada hasil akhir antara pasien yang
mendapat kortikosteroid, imunosupresan atau keduanya dan pasien yang tidak mendapat
terapi, sedangkan Tarshish dkk. (2004) menemukan dalam penelitian prospektif bahwa pasien
yang hanya mendapat terapi suportif memiliki hasil yang sama dengan subjek yang
mendapatkan siklofosfamid. Tetapi Foster dkk. (2000) melaporkan dalam analisis studi
prospektif bahwa pasien tanpa terapi memiliki 5,9 kali risiko relatif untuk hasil yang buruk
daripada mereka yang mendapat terapi prednison dan azathioprine. Banyak penelitian yang
non-randomized menekankan keuntungan pemberian terapi imunosupresan, terutama yang
ditangani secara agresif. Metilprednisolon pulses (MP) dikombinasikan dengan prednisolon
oral saja atau dengan tambahan agen imunosupresan seperti siklofosfamid dan azathioprine
dikatakan efektif pada HSN, dan beberapa obat-obatan fibrinolitik dan antikoagulan seperti
urokinase, heparin dan dipridamol juga dapat dikombinasi dengan agen immunosupresan.
Penderita ini mendapatkan kortikosteroid dosis tinggi tetapi tidak memberikan respon yang
baik terhadap pengobatan terutama adanya penurunan fungsi ginjal yang progresif namun
masih terjadi perbaikan dalam gejala nyeri abdomen dan menghilangnya purpura.
Cyclosporine A (CyA) merupakan calcineurin inhibitor yang mencegah produksi
interleukin-2 (IL-2), yang memainkan peran penting dalam proliferasi limfosit T yang
mengatur produksi IgA. Cyclosporine A digunakan pada HSP pertama kali pada dua kasus
dewasa yang dilaporkan tahun 1997 dan 1998. Pada tahun 2003 Huang dkk. melaporkan dua
kasus usia 4 dan 5 tahun yang mengalami remisi dari gejala HSP yang berat dimana terapi
steroid tidak efektif. Gangguan ginjal berlangsung selama 4 bulan dan diterapi dengan baik
pada satu kasus setelah dua minggu pemberian CyA. Belakangan, Someya dkk. melaporkan
kasus laki-laki usia 7 tahun yang mengalami sindroma nefritik tetapi tidak berespon dengan
MP pulses dan prednisolon oral. CyA diberikan dan proteinuria membaik dalam dua minggu.
Shin dkk. melaporkan serial 7 pasien dengan nephrotic-range proteinuria yang mendapat
CyA, enam diantaranya mengalami remisi lengkap dalam pengamatan rata-rata 5,5 tahun (2
9 tahun) dan satu mengalami penyakit ginjal menetap.
Imunosupresan lain seperti mycophenolate mofetil (MMF) bekerja dengan menekan
produksi sel B sehingga akan menurunkan kompleks imun IgA yang bersirkulasi. Obat ini
juga memiliki keuntungan dengan mempengaruhi adhesi dan migrasi limfosit yang hasil
akhirnya mempengaruhi gejala klinis HSP. Hasil dari beberapa randomized controlled trials

belum memberikan hasil yang pasti akan keuntungan pemberian MMF. Belum ada penelitian
prospektif mengenai pemberian MMF pada nefritis HSP (7).
Immunoglobulin digunakan pada IgAN untuk menurunkan produksi IgA dan
menghambat deferensiasi sel B dan produksi immunoglobulin. Rostoker dkk. memberikan
immunoglobulin pada 5 orang penderita HSP dewasa dan menemukan gejala ekstrarenal
menghilang saat pengobatan dan terjadi penurunan proteinuria tetapi penghentian terapi akan
diikuti oleh kekambuhan. Efek samping pada ginjal dilaporkan setelah pemberian
immunoglobulin dosis tinggi sehingga penggunaannya masih kontroversial. Sampai sejauh
ini belum ada laporan penggunaan immunoglobulin pada anak-anak dengan HSP. Hattori
dkk. menggunakan plasmafaresis sebagai terapi tunggal pada 9 kasus HSN berat dengan
nephrotic-range proteinuria pada awitan penyakit, dengan hasil 6 pasien (67%) menunjukkan
hasil yang baik setelah 5,4 tahun pengamatan dan semuanya berespon terhadap terapi pada
fase akut yang ditandai dengan penurunan proteinuria. Schrer dkk. dan Gianviti dkk. juga
melaporkan perbaikan segera dalam gejala penyakit tetapi tidak ada efek jangka panjang
khususnya apabila terapi dimulai lambat setelah mulainya gangguan ginjal.
Pengelolaan HSP yang baik dapat memperbaiki prognosis HSP, dimana hasil jangka
panjang sangat tergantung pada gejala gangguan ginjal. Laporan mengenai penggunaan
kortikosteroid untuk terapi HSP muncul dalam literatur sekitar tahun 1950. Beberapa
penelitian retrospektif tanpa kontrol menunjukkan bahwa steroid mungkin memberikan efek
perbaikan nyeri abdomen dan dikatakan pemberian kortikosteroid lebih awal dapat mencegah
perkembangan menjadi nephritis. Penelitian retrospektif tanpa kontrol lain memberikan hasil
yang kontroversial terhadap efek kortikosteroid dalam mencegah keterlibatan ginjal. Pada
studi prospektif pertama, Mollica dkk. melaporkan tidak ada satupun dari 84 pasien yang
mendapat prednison dan 10 dari 84 tanpa terapi berkembang menjadi nefritis setelah 6
minggu dari episode akut. Saulsbury melaporkan data retrospektif dari 50 pasien dimana 20
diantaranya mendapatkan kortikosteroid pada fase akut dan 30 tidak mendapat kortikosteroid.
Nefritis lambat muncul pada 4 dari kelompok pertama dan 6 dari kelompok kedua
memberikan kesimpulan bahwa pemeberian kortikosteroid lebih awal juga tidak memberikan
hasil yang berbeda. Penelitian pertama yang bersifat randomized, placebo-controlled
terhadap efek kortikosteroid dipublikasikan oleh Huber dkk. pada tahun 2004. Sebanyak 40
anak-anak pada pusat perawatan pediatri tersier dirandomisasi untuk mendapatkan prednison
(21 orang) atau plasebo (19 orang), dengan dosis 2 mg/kg/hari pada minggu pertama dengan

penurunan pada minggu kedua. Setelah satu tahun pengamatan 3 dari 21 penderita pada
kelompok yang mendapat prednison dan 2 orang dari kelompok plasebo mengalami
keterlibatan ginjal sehingga disimpulkan bahwa pemberian prednison tidak efektif dalam
pencegahan HSN. Tetapi keterbatasan dari penelitian ini adalah pada sedikitnya jumlah
sampel dimana penghitungan post hoc asumsi insiden keterlibatan ginjal pada satu tahun
adalah sebesar 10.5% dan sama dengan kelompok plasebo.
Prognosis HSP biasanya baik karena sebagian besar pasien mengalami perbaikan
spontan dalam beberapa minggu. Komplikasi jarang berupa pada paru-paru atau perdarahan
gastrointestinal dapat menyebabkan morbiditas dan bahkan kematian pada fase akut, tetapi
outcome jangka panjang sebagian besar berhubungan dengan durasi dan beratnya keterlibatan
ginjal. Terdapat predominan ringan jenis kelamin laki-laki pada penderita, tetapi risiko
keterlibatan ginjal sama pada kedua jenis kelamin. Risikonya juga lebih tinggi pada pasien
diatas usia 4-7 tahun saat onset gejala dan juga pada kasus dengan nyeri abdomen akut yang
berat dan purpura persisten saat awal gejala. Peningkatan risiko keterlibatan ginjal meningkat
7,5 kali pada penderita yang mengalami perdarahan saluran cerna. Penderita usia dewasa
lebih sering mengalami gangguan ginjal dengan gejala yang lebih berat dan prognosis yang
lebih buruk dibandingkan dengan anak-anak.
Sekitar 20-54% penderita HSP mengalami keterlibatan ginjal pada fase akut, dimana
mayoritas (85%) terjadi dalam 4 minggu pertama dan 97% dalam 6 bulan. Hematuria
mikroskopik atau bersama-sama proteinuria merupakan manifestasi tersering pada HSP
dengan keterlibatan ginjal. Sekitar 10-30% penderita HSP akan mengalami sindroma nefritik
atau nefrotik, sumber lain mengatakan ESRD terjadi pada 1,1-1,5% dan mortalitas kurang
dari 1%. Risiko penyakit ginjal menetap dihubungkan dengan proteinuria yang serius dan
sindroma nefritik-nefrotik dimana sebagian besar pasien yang menunjukkan hematuria
dengan atau tanpa proteinuria ringan akan mengalami remisi dengan baik. Sekitar 8-17%
pasien muncul dengan gejala gangguan ginjal ringan pada saat onset misalnya hematuria
dengan atau tanpa proteinuria ringan (<1g/hari), sedangkan sekitar 44% - 47% pasien dengan
gangguan ginjal yang berat saat onset misalnya telah mengalami sindroma nefritik atau
nefrotik, proteinuria >1g/hari atau dengan biopsi ginjal ditemukan >50% crescents akan
memiliki prognosis yang buruk. Faktor yang mempengaruhi prognosis yang buruk terutama
pada orang dewasa adalah proteinuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal saat awitan
gejala. Pada kasus ini telah terjadi gangguan fungsi ginjal yang ditandai dengan adanya

proteinuria, hematuria, hipertensi, kenaikan BUN dan kreatinin sehingga respon terhadap
terapi steroid tidak menunjukkan hasil yang baik walaupun secara klinis ada perbaikan pada
gejala ekstrarenal yaitu perbaikan pada nyeri perut dan lesi kulit.

Ringkasan
Telah dilaporkan sebuah kasus penderita HSP yang dalam perjalanan mengalami
glomerulonefritis. HSP merupakan penyakit yang umumnya muncul pada anak-anak dan bisa
mengalami remisi spontan, namun prognosis yang lebih buruk bisa terjadi apabila ditemukan
pada usia dewasa, gejala yang disertai dengan proteinuria, hematuria, hipertensi serta biopsi
ginjal yang menunjukkan > 50% crescent. Dari keseluruhan data yang ada maka dapat
disimpulkan bahwa kasus ini merupakan penyakit HSP yang baru terdiagnosis saat dewasa
dengan manifestasi vaskulitis pada kulit, atralgia, nyeri abdomen, perdarahan saluran cerna
serta gangguan ginjal yang progresif sehingga memberikan prognosis jangka panjang yang
lebih buruk. Perjalanan penyakit ini telah berlangsung tanpa pengawasan dan penanganan
yang baik sehingga berlangsung progresif dan memberikan hasil akhir manifestasi sistemik.
Belum adanya standar terapi yang baku untuk penanganan HSP terutama yang telah
mengalami gangguan ginjal menyebabkan penanganan menjadi sulit walaupun terapi steroid
memberikan perbaikan pada gejala ekstrarenal tetapi belum memberikan perbaikan pada
fungsi ginjal. Pendekatan yang komperhensif harus dilakukan meliputi edukasi, perencanaan
diet, obat-obatan serta dialisis untuk mempertahankan kualitas hidup dan prognosis penderita.

Kepustakaan
1

Lerma E V et al, Immunoglobulin A Nephropathy & HenochSchnlein Purpura, in:


Current Diagnosis and Treatment of Nephrology and Hypertension, The McGraw-Hill,
2009.

Faull RJ, Clarkson A R, IgA Nephropathy & HenochSchnlein Purpura, in: Disease in
Kidney and Urinary Tract, 8th edition, Lipincott Williams and Willkins, USA, 2007.

Vesna GP et al, HenochSchnlein Purpura in Adult Patient: Extragastric, Cutaneous


Manifestation of H Pylory Infection, Contributions, Sec. Biol. Med. Sci., XXIX/1 (2008),
291301.

Ronkainen J, HenochSchnlein Purpura in Children: Longterm Outcome and Treatment,


University of Oulu, Finland, 2005.

Bossart P, Henoch Schonlein Purpura. Available in: www.eMedicine.com, updated April


15, 2010.

Rai A, Nast C et al, Henoch-Schonlein Purpura Nephritis, J Am Soc Nephrol 10: 2637
2644, 1999.

Goel SS, Langford C A, Case Report: A 72 Years Old Man With a Purpuric Rash.
Cleveland Clinic Journal of Medicine, No 6. Vol 76, 2009.

Knoll BM et al, Case Report: 56 Year Old Man With Rash, Abdominal pain, and
Atralgias. Mayo Clinic Foundation for Medical Education and Research, June
2007;82(6):745-748. Available at www.mayoclinicproceedings.com.

Shresta S et al, Henoch Schonlein Purpura With Nephritis in Adults: Adverse Prognostic
Indicators in a UK Population. Q J Med 2006; 99:253265, revised January 2006.

10 Glomerular Disease, in: Harrissons Principles of Internal Medicine, 17th edition,


McGraw-Hill Inc., USA, 2008.
11 Mills JA, Michel BA, Bloch DA, et al.: The American College of Rheumatology 1990
criteria for the classification of Henoch-Schnlein purpura. Arthritis Rheum, 33:1114
1121, 1990.
12 Pillebout E, Thervet E et al, Henoch-Schonlein Purpura in Adults: Outcome and
Prognostic Factors, J Am Soc Nephrol 13: 12711278, 2002.

Das könnte Ihnen auch gefallen