Sie sind auf Seite 1von 37

1

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk,

salah satu indikasi keberhasilan tercapainya program Indonesia sehat tahun 2010 adalah
menurunnya angka kesakitan dan menambah usia harapan hidup manusia (Depkes RI,89).
Dalam upaya pembangunan yang sedang dilaksanakan selama ini, pada dasarnya
mempercepat tercapainya tingkat kesejahteraan masyarakat, dimana kesehatan merupakan
salah satu komponen penting kesejahteraan lainnya. Dan kesehatan merupakan salah satu segi
dari kualitas hidup yang tercermin pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia, yang
sesungguhnya merupakan tujuan dan sarana pokok pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya. Dalam hal ini pelayanan kesehatan sendiri menjadi tanggung jawab untuk sektor
diluar kesehatan yang berperan dalam menciptakan lingkungan dan perilaku masyarakat yang
lebih menguntungkan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas salah satu faktor yang menghambat tercapainya
derajat kesehatan yang optimal adalah penyakit gangguan sistem perkemihan, dalam hal ini
salah satunya adalah gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik adalah suatu sindrom klinis
yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan
cukup lanjut. Gagal ginjal tahap akhir adalah tingkat gagal ginjal yang dapat mengakibatkan
kematian kecuali jika dilakukan terapi pengganti.
Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic non-communicable diseases)
terutama penyakit kardiovaskuler, hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit ginjal kronik,
sudah menggantikan penyakit menular (communicable diseases) sebagai masalah kesehatan
masyarakat utama. Di Amerika Serikat misalnya, angka kejadian gagal ginjal meningkat
dalam 10 tahun. Pada 1990, terjadi 166 ribu kasus GGT (gagal ginjal tahap akhir) dan pada
2000 menjadi 372 ribu kasus. Angka tersebut diperkirakan terus naik. Pada 2010, jumlahnya
diestimasi lebih dari 650 ribu.Selain data tersebut, 6 juta-20 juta individu di AS diperkirakan
mengalami GGK (gagal ginjal kronis) fase awal (Djoko, 2008).

Hal yang sama terjadi di Jepang. Di Negeri Sakura itu, pada akhir 1996, ada 167 ribu
penderita yang menerima terapi pengganti ginjal. Menurut data 2000, terjadi peningkatan
menjadi lebih dari 200 ribu penderita. Berkat fasilitas yang tersedia dan berkat kepedulian
pemerintah yang sangat tinggi, usia harapan hidup pasien dengan GGK di Jepang bisa
bertahan hingga bertahun-tahun.Bahkan, dalam beberapa kasus, pasien bisa bertahan hingga
umur lebih dari 80 tahun. Angka kematian akibat GGK pun bisa ditekan menjadi 10 per
1.000 penderita. Hal tersebut sangat tidak mengejutkan karena para penderita di Jepang
mendapatkan pelayanan cuci darah yang baik serta memadai (Djoko, 2008).
Di indonesia GGK menjadi penyumbang terbesar untuk kematian, sehingga penyakit
GGK pada 1997 berada di posisi kedelapan. Data terbaru dari US NCHS 2007 menunjukkan,
penyakit ginjal masih menduduki peringkat 10 besar sebagai penyebab kematian terbanyak.
Faktor penyulit lainnya di Indonesia bagi pasien ginjal, terutama GGK, adalah terbatasnya
dokter spesialis ginjal. Sampai saat ini, jumlah ahli ginjal di Indonesia tak lebih dari 80 orang.
Itu pun sebagian besar hanya terdapat di kota-kota besar yang memiliki fakultas
kedokteran.Maka, tidaklah mengherankan jika dalam pengobatan kerap faktor penyulit GGK
terabaikan. Rahardjo (1996) mengatakan bahwa jumlah penderita CRF atau gagal ginjal
kronik terus meningkat dan diperkirakan pertumbuhannya sekitar 10% setiap tahun. Saat ini
belum

ada

penelitian

epidemiologi

tentang prevalensi

penyakit

ginjal

kronik

di

Indonesia. Dari data di beberapa pusat nefrologi di Indonesia diperkirakan insidens dan
prevalensi penyakit ginjal kronik masing-masing berkisar 100-150/ 1 juta penduduk dan 200250/ 1 juta penduduk.
Penatalaksanaan yang tidak baik pada klien dengan gagal ginjal kronik akan
mengarah pada komplikasi pada sistem tubuh lain yaitu gagal jantung, hipertensi, anemia,
ulserasi lambung, asidosis metabolik, gangguan pernapasan sampai akhirnya menyebabkan
kematian. Perawat sebagai tenaga kesehatan profesional mempunyaikesempatan paling besar
untuk memberikan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan/asuhan keperawatan yang
komprehensif meliputi bio-psiko-sosio-spiritual. Dengan melihat permasalahan diatas,penulis
tertarik untuk mengangkat kasus tersebut sebagai judul makalah yaitu Asuhan Keperawatan
pada Pasien dengan Gagal Ginjal Kronik.

B.

Tujuan penulisan
1.

Tujuan umum
Makalah ini dibuat agar mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan

kepada pasien dengan GGK


2.

Tujuan khusus
a.

Mampu melakukan pengkajian pada pasien GGK

b.

Mampu

memprioritaskan

masalah

dan

menegakkan

diagnosa

keperawatan pada pasien GGK


c.

Mampu menyusun rencana rencana tindakan keperawatan pada pasien

dengan GGK
d.

Mampu menerapkan rencana tindakan keperawatan dalam tindakan

nyata yang sesuai dengan masalah yang diprioritaskan


e.

C.

Mampu melakukan evaluasi keperawatan

Metode Penulisan
Dalam

penulisan

makalah ini

penulis

melakukan

studi

kepustakaan

yang

menggambarkan tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal kronis, dan
menggunakan beberapa sumber buku keperawatan sebagai referensi serta menggunakan
media internet.

D.

Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari 3 BAB, untuk memudahkan proses membaca dan

memahaminya,kelompok menyusun dengan sistematika sebagai berikut:


1. Bab I : Pendahuluan, yang memuat latar belakang, tujuan, metode penulisan, dan
sistematikia penulisan.
2. Bab II : Tinjauan teori, yang memuat Konsep dasar medik ( pengertian, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, pemeriksaan penunjang, pemeriksaan

diagnostik ) dan Konsep dasar keperawatan ( pengkajian, diagnosea, intervensi,


implementasi dan evaluasi ).
3. Bab III : Penutup, yang memuat kesimpulan, saran dan daftar pustaka.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.

Konsep Dasar Medik


1.

Definisi
Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan

fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, hal ini
terjadi bila laju filtrasi glomerular kurang dari 50 mL/min. (Suyono, et al, 2001).
Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel
dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia. (Smeltzer & Bare, 2001).
Gagal Ginjal Kronik (CRF) atau penyakit ginjal tahap akhir adalah gangguan fungsi
ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversibel. Dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) ( KMB, Vol
2 hal 1448).
Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten dan
irreversible. Gangguan funsi ginjal adalah penurunan laju filtrasi glomerulus yang
dapat digolongkan ringan, sedang, berat. Azotemia adalah peningkatan BUN dan
ditegakkan bila konsentrasi ureum plasma meningkat. Uremia adalah sindrom akibat
gagal ginjal yang berat. Gagal ginjal terminal adalah ketidakmampuan renal berfungsi
dengan adekuat untuk keperluan tubuh (harus dibantu dialysis atau transplantasi).
(Kapita Selekta, Jilid 1 Edisi Ketiga).
Gagal ginjal kronik merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) yang
berlangsung perlahan-lahan, karena penyebab yang berlangsung lama dan menetap,
yang mengakibatkan penumpukan sisa metabolit (Toksik uremik) sehingga ginjal
tidak dapat memenuhi kebutuhan biasa lagi dan menimbulkan gejala sakit.
Toksik uremik adalah bahan yang dituduh sebagai penyebab sindrom klinik
uremia. Toksik uremik yang telah diterima adalah : H2O, Na, K, H, P anorganik dan
PTH Renin. Sedangkan yang belum diterima adalah : BUN, Kreatinin, asam Urat,

Guanidin, midlle molecule dan sebagainya. Pada umumnya CRF tidak reversibel lagi,
dimana ginjal kehilangan kemampuan untuk mempertahankan volume dan komposisi
cairan tubuh dalam keadaan diet makanan dan minuman untuk orang normal.

Gambar 1. Gagal Ginjal Kronik

Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3
bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik
ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m, seperti
pada tabel 1.1 berikut:

Tabel 1.1 Batasan penyakit ginjal kronik


1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa
penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
- Kelainan patologik
- Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal
(Sumber:

Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju fil

yaitu stadium yang lebig tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Kl

membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fu
masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3

dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat f
stadium 5 adalah gagal ginjal (Perazella, 2005). Hal ini dapat dilihat pada table 1.2 berikut :

Tabel 1.2 Laju filtrasi glomerulus (LFG) dan stadium penyakit ginjal kronik
Stadium

LFG (mL/menit/1.73 m2 )

Deskripsi

Resiko meningkat

90 dengan factor resiko

Kerusakan ginjal disertai LFG normal atau 90


meninggi

Penurunan ringan LFG

60-89

Penurunan moderat LFG

30-59

Penurunan berat LFG

15-29

Gagal ginjal

< 15 atau dialisis

(Sumber

Tugas
mempengaruhi

yang

diemban

(berpengaruh)

ginjal

sangat

terhadap

banyak,

organ-organ

kompleks
tubuh

dan

lainnya.

saling
Bila

dikelompokkan, terdapat 3 fungsi utama ginjal yaitu:


a. Pengaturan lingkungan dalam (internal environment) adalah upaya ginjal untuk
mempertahankan keadaan lingkungan dalam agar kondisinya selalu stabil
(disebut juga extracellular homeostasis). Dalam hal ini ginjal bertanggung
jawab dalam pengaturan keseimbangan kebanyakan ion/elektrolit dalam cairan
tubuh/extracellular fluid (misal Natrium, Kalium, dll), mengatur keseimbangan
volume cairan dengan cara mengatur masuk-keluarnya (input dan output)
cairan dalam tubuh, menjaga keseimbangan asam-basa (pH) darah, dst.

b. Membuang kelebihan air dan produk akhir dari hasil metabolisme protein
seperti: ureum, kalium, fosfat, sulfat anorganik dan asam urat.
c. Menjalankan fungsi endokrin yaitu fungsi ginjal sebagai organ pembentuk
(sekresi) berbagai substansi dan hormon diantaranya: erythropoietin (suatu
hormon yang mengatur pembentukan sel darah merah); renin (suatu hormon
yang menjadi bagian dari Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron atau ReninAngiotensi-Aldosterone system = RAAS yang mengatur tekanan darah dan
keseimbangan cairan); bentuk aktif Vitamin D (Kalsitriol) yang mengatur
penyerapan kalsium dari makanan untuk pembentukan tulang dan metabolisme
tubuh lainnya; serta prostaglandin (suatu hormon yang mempunyai banyak
peran antara lain untuk: pengaturan pengerutan dan pelebaran pembuluh darah,
pembekuan darah, pengaturan pergerakan kalsium, pengaturan pertumbuhan
sel, pengaturan rasa sakit, menurunkan tekanan bola mata, dll).

Gambar 2. Renin Angiotensin Aldostrenore System (RAAS)


2.

Etiologi
Penyebab dari gagal ginjal kronis yaitu diabetes mellitus, glomeronefritis,

hipertensi, yang tidak terkontrol, pielonefritis, obstruksi traktus urinarius, lesi


herediter seperi penyakit ginjal polikistik, gangguan faskuler, infeksi, medikasi atau

agen toksi. Lingkungan dan agen berbahaya yang mempengaruhi gagl ginjal kronis
mencakup timah kadar natrium, merkuri dan kromium. Dari data yang sampai saat ini
dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008
didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagi berikut glomerulonefritis (25%), diabetes
mellitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%). (Roesli, 2008)
a.

Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbsgsi penyakit ginjal

yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopalogi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber
terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder.
Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri
sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat
penyakit sistemik lain seperti diabetes mellitus, lupus eritematosus sistemik
(LES), myeloma multiple, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006). Gambaran
klinik glomerulonefrits mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara
kebetulan dari pemeriksaan urine rutin atau keluhan ringan atau keadaan
darurat medic yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialysis
(Sukandar, 2006)
b.

Diabetes mellitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo

(2005) diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolic


dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua duanya. Diabetes mellitus sering disebut
sebagai the great imitator,karena penyakit ini dapat mengenai semua organ
tubuh dan mengakibatkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat
bervariasi. Diabetes mellitus dapat timbul secara perlahan lahan sehingga
pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi
lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun.
Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian
orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya
(Waspadji, 1996).

10

c.

Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan

darah diastolic 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi


(Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua
golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak dapat
diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertnsi sekunder atau disebut juga
hipertensi renal (Sidabutar, 1998).
d.

Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau

material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini
dapat ditemukan kista kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks
maupun di medulla. Selain oleh karena kelainan genetic, kista dapat
disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjalpolkistik
merupakan kelainan genetic yang paling sering didapatkan. Nama lain yanh
lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic
kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia
diatas 30 tahun.ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayidan anak
kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah
penyakit ginjal polikistik dewasa (Suhardjono, 1998).
Adapun

penyebab

lain

dari

gagal

ginjal

kronis

antara

lain

a.

Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronis)

b.

Penyakit peradangan (glomerulonefritis)

c.

Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis)

d.

Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliarteritis nodusa, sklerosis

sitemik)
e.

Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis

tubulus ginjal)

3.

f.

Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroidisme)

g.

Nefropati toksik

h.

Nefropati obstruktif (batu saluran kemih) (Price & Wilson, 1994)

Patofisiologi

11

Gagal ginjal kronik terjadi setelah sejumlah keadaan yang menghancurkan


masa nefron ginjal. Keadaan ini mencakup penyakit parenkim ginjal difus bilateral,
juga lesi obstruksi pada traktus urinarius. Mula-mula terjadi beberapa serangan
penyakit ginjal terutama menyerang glomerulus (Glumerolunepritis), yang menyerang
tubulus gijal (Pyelonepritis atau penakit polikistik) dan yang mengganggu perfusi
fungsi darah pada parenkim ginjal (nefrosklerosis). Kegagalan ginjal ini bisa terjadi
karena serangan penyakit dengan stadium yang berbeda-beda.
a.

Penurunan cadangan ginjal; Yang terjadi bila GFR turun 50% dari normal
(penurunan fungsi ginjal), tetapi tidak ada akumulasi sisa metabolic. Nefron
yang sehat mengkompensasi nefron yang sudah rusak, dan penurunan
kemampuan mengkonsentrasi urin, menyebabkan nocturia dan poliuri.
Pemeriksaan CCT 24 jam diperlukan untuk mendeteksi penurunan fungsi
ginjal.

b.

Insufisiensi ginjal; Terjadi apabila GFR turun menjadi 20 35% dari normal.
Nefron-nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena
beratnya beban yang diterima. Mulai terjadi akumulai sisa metabolic dalam
darah karena nefron yang sehat tidak mampu lagi mengkompensasi.
Penurunan respon terhadap diuretic, menyebabkan oliguri, edema. Derajat
insufisiensi dibagi menjadi ringan, sedang dan berat, tergantung dari GFR,
sehingga perlu pengobatan medis.

c.

Gagal ginjal; yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal.

d.

Penyakit gagal ginjal stadium akhir; Terjadi bila GFR menjadi kurang dari 5%
dari normal. Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Di seluruh ginjal
ditemukan jaringan parut dan atrofi tubuluS. Akumulasi sisa metabolic dalam
jumlah banyak seperti ureum dan kreatinin dalam darah. Ginjal sudah tidak
mampu mempertahankan homeostatis dan pengobatannya dengan dialisa atau
penggantian ginjal. (Corwin, 1994)

12

Gambar 3. Stadium Gagal Ginjal Kronik


Permasalahan fisiologis yang disebabkan oleh CRF
a. Ketidakseimbangan cairan
Mula-mula ginjal kehilangan fungsinya sehingga tidak mampu
memekatkan urine (hipothenuria) dan kehilangan cairan yang berlebihan
(poliuria). Hipothenuria tidak disebabkan atau berhubungan dengan penurunan
jumlah nefron, tetapi oleh peningkatan beban zat tiap nefron. Hal ini terjadi
karena keutuhan nefron yang membawa zat tersebut dan kelebihan air untuk
nefron-nefron tersebut tidak dapat berfungsi lama. Terjadi osmotik diuretik,
menyebabkan seseorang menjadi dehidrasi. Jika jumlah nefron yang tidak
berfungsi meningkat maka ginjal tidak mampu menyaring urine (isothenuria).
Pada tahap ini glomerulus menjadi kaku dan plasma tidak dapat difilter
dengan mudah melalui tubulus. Maka akan terjadi kelebihan cairan dengan
retensi air dan natrium.
b. Ketidaseimbangan Natrium

13

Ketidaseimbangan natrium merupakan masalah yang serium dimana


ginjal dapat mengeluarkan sedikitnya 20-30 mEq natrium setiap hari atau
dapat meningkat sampai 200 mEq perhari. Variasi kehilangan natrium
berhubungan dengan intact nephron theory. Dengan kata lain, bila terjadi
kerusakan nefron maka tidak terjadi pertukaran natrium. Nefron menerima
kelebihan natrium sehingga menyebabkan GFR menurun dan dehidrasi.
Kehilangan natrium lebih meningkat pada gangguan gastrointstinal, terutama
muntah dan diare. Keadaan ini memperburuk hiponatremia dan dehidrasi.
Pada CRF yang berat keseimbangan natrium dapat dipertahankan meskipun
terjadi kehilangan yang fleksibel nilai natrium. Orang sehat dapat pula
meningkat di atas 500 mEq/hari. Bila GFR menurun di bawah 25-30 ml/menit,
maka ekskresi natrium kurang lebih 25 mEq/hari, maksimal ekskresinya 150200 mEq/hari. Pada keadaan ini natrium dalam diet dibatasi 1-1,5 gram/hari.
c. Ketidakseimbangan Kalium
Jika keseimbangan cairan dan asidosis metabolik terkontrol maka
hiperkalemia jarang terjadi sebelum stadium IV. Keseimbangan kalium
berhubungan dengan sekresi aldosteron. Selama output urine dipertahankan
kadar kalium biasanya terpelihara. Hiperkaliemia terjadi karena pemasukan
kalium yang berlebihan, dampak pengobatan, hiperkatabolik (infeksi), atau
hiponatremia. Hiperkalemia juga merupakan karakteristik dari tahap uremia.
Hipokalemia terjadi pada keadaan muntah atau diare berat, pada penyakit
tubuler ginjal, nefron ginjal, meresorbsi kalium sehingga ekskresi kalium
meningkat. Jika hipokalemia persisten, kemungkinan GFR menurun dan
produksi NH3 meningkat. HCO3 menurun dan natrium bertahan.
d. Ketidaseimbangan asam basa
Asidosis

metabolik

terjadi

karena

ginjal

tidak

mampu

mengekskresikan ion Hirdogen untuk menjaga pH darah normal. Disfungsi


renal tubuler mengakibatkan ketidamampuan pengeluaran ioh H. Dan pada
umumnya penurunan ekskresi H + sebanding dengan penurunan GFR. Asam
yang secara terus-menerus dibentuk oleh metabolisme dalam tubuh tidak
difiltrasi secara efektif melewati GBM, NH3 menurun dan sel tubuler tidak
berfungsi.

Kegagalan

pembentukan

bikarbonat

memperberat

14

ketidakseimbangan. Sebagian kelebihan hidrogen dibuffer oleh mineral tulang.


Akibatnya asidosis metabolik memungkinkan terjadinya osteodistrophy.
e. Ketidakseimbangan Magnesium
Magnesium pada tahap awal CRF adalah normal, tetapi menurun
secara progresif dalam ekskresi urine menyebabkan akumulasi. Kombinasi
penurunan ekskresi dan intake yang berlebihan mengakibatkan henti napas
dan jantung.
f. Ketidakseimbangan Calsium dan Fospor
Secara normal calsium dan pospor dipertahankan oleh parathyroid
hormon yang menyebabkan ginjal mereabsorbsi kalsium, mobilisasi calsium
dari tulang dan depresi resorbsi tubuler dari pospor. Bila fungsi ginjal menurun
20-25 % dari normal, hiperpospatemia dan hipocalsemia terjadi sehingga
timbul hiperparathyroidisme sekunder. Metabolisme vitamin D terganggu.
Dan bila hiperparathyroidisme berlangsung dalam waktu lama dapat
mengakibatkan osteorenaldystrophy.
g.

Anemia
Penurunan Hb disebabkan oleh:

1) Masa hidup sel darah merah pendek karena perubahan plasma.


2) Peningkatan

kehilangan

sel

darah

merah

karena

ulserasi

gastrointestinal, dialisis, dan pengambilan darah untuk pemeriksaan


laboratorium.
3) Defisiensi folat
4) Defisiensi iron/zat besi
5) Peningkatan hormon paratiroid merangsang jaringan fibrosa atau
osteitis fibrosis, mengambil produksi sum-sum menurun.

h.

Ureum kreatinin
Urea

yang

merupakan

hasil

metabolik

protein

meningkat

(terakumulasi). Kadar BUN bukan indikator yang tepat dari penyakit ginjal
sebab peningkatan BUN dapat terjadi pada penurunan GFR dan peningkatan

15

intake protein. Tetapi kreatinin serum adalah indikator yang lebih baik pada
gagal ginjal sebab kreatinin diekskresikan sama dengan jumlah yang
diproduksi tubuh.

Gambar 3. Akibat Gagal Ginjal

4.

Pathways

Glormeruloneftritis, Pielonefritis, Hidronefrosis


Sindroma Nefrotik, Tumor Ginjal

16

GRF Menurun
GGK

Retensi Urine

Sekresi Protein
terganggu

CES
Meningkat
Tekanan Kapiler
Meningkat

Sindrom Uremik

Volume Interstisial
Meningkat

Sekresi Eritroprotein
menurun

Produksi HB
turun
Suply O2 ke
Jaringan
Menurun

Edema

Kelebihan Volume Cairan

Hiperphospatemia

Gangguan Keseimbangan asam


Basa

Pruritus

Produksi Asam
Meningkat

Gangguan Integritas Kulit

5.

Gangguan
Ferfusi
Jaringan

Urokrom
Tertimbun di
Kulit

Perubahan
Warna

Asidosis Metabolik

Perjalanan Klinis
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3 stadium :

17

a. Stadium I
Penurunan cadangan ginjal (faal ginjal antar 40 % 75 %). Tahap
inilah yang paling ringan, dimana faal ginjal masih baik. Pada tahap ini
penderita ini belum merasasakan gejala gejala dan pemeriksaan laboratorium
faal ginjal masih dalam batas normal. Selama tahap ini kreatinin serum dan
kadar BUN (Blood Urea Nitrogen) dalam batas normal dan penderita
asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan
memberikan beban kerja yang berat, sepersti tes pemekatan kemih yang lama
atau dengan mengadakan test GFR yang teliti.
b. Stadium II
Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20 % 50 %). Pada tahap ini
penderita dapat melakukan tugas tugas seperti biasa padahal daya dan
konsentrasi ginjal menurun. Pada stadium ini pengobatan harus cepat dalam
hal mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam, gangguan jantung dan
pencegahan pemberian obat - obatan yang bersifat mengganggu faal ginjal.
Bila langkah - langkah ini dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah
penderita masuk ketahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75 %
jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas
batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda beda, tergantung dari
kadar protein dalam diit pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai
meningkat melebihi kadar normal. Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih
besar pada penyakit yang terutama menyerang tubulus, meskipun poliuria
bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter / hari. Biasanya ditemukan anemia
pada gagal ginjal dengan faal ginjal diantara 5 % 25 % . faal ginjal jelas
sangat menurun dan timbul gejala gejala kekurangan darah, tekanan darah
akan naik, , aktifitas penderita mulai terganggu.

c. Stadium III
Uremi gagal ginjal (faal ginjal kurang dari 10 %). Semua gejala sudah
jelas dan penderita masuk dalam keadaan dimana tak dapat melakukan tugas
sehari - hari sebagaimana mestinya. Gejala - gejala yang timbul antara lain

18

mual, muntah, nafsu makan berkurang., sesak nafas, pusing, sakit kepala, air
kemih berkurang, kurang tidur, kejang - kejang dan akhirnya terjadi penurunan
kesadaran sampai koma. Stadium akhir timbul pada sekitar 90 % dari massa
nefron telah hancur. Nilai GFR nya 10 % dari keadaan normal dan kadar
kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml / menit atau kurang. Pada keadaan ini
kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat mencolok
sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai
merasakan gejala yang cukup parah karena ginjal tidak sanggup lagi
mempertahankan homeostatis caiaran dan elektrolit dalam tubuh. Penderita
biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500/ hari karena
kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula mula menyerang
tubulus ginjal, kompleks menyerang tubulus gijal, kompleks perubahan
biokimia dan gejala - gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi
setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti
akan meninggal kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi
ginjal atau dialisis.
6.

Manifestasi Klinik
a.

Kardiovaskuler : Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner,

perikarditis, Pitting edema (kaki, tangan, sacrum), Edema periorbital, Friction


rub pericardial, Pembesaran vena leher.
b.

Dermatologi : Warna kulit abu-abu mengkilat, Kulit kering bersisik,

Pruritus, Ekimosis, Kuku tipis dan rapuh, Rambut tipis dan kasar.
c.

Pulmoner : Krekels, Sputum kental dan liat, Nafas dangkal, Pernafasan

kussmaul.
d. Gastrointestinal : Anoreksia, mual, muntah, cegukan, Nafas berbau ammonia,
Ulserasi dan perdarahan mulut, Konstipasi dan diare, Perdarahan saluran
cerna.

19

e. Neurologi : Tidak mampu konsentrasi, Kelemahan dan keletihan, Konfusi/


perubahan tingkat kesadaran, Disorientasi, Kejang, Rasa panas pada telapak
kaki, Perubahan perilaku.
f. Muskuloskeletal : Kram otot, Kekuatan otot hilang, Kelemahan pada tungkai,
Fraktur tulang, Foot drop.
g. Reproduktif : Amenore, Atrofi testekuler. (Smeltzer & Bare, 2001)
7.

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Laboratorium darah : BUN, Kreatinin, elektrolit (Na, K, Ca, Phospat),
Hematologi

(Hb,

trombosit,

Ht,

Leukosit),

protein,

antibody

(kehilangan protein dan immunoglobulin).


2) Pemeriksaan Urin : Warna, PH, BJ, kekeruhan, volume, glukosa,
protein, sedimen, SDM, KETON, SDP, TKK/CCT.
b. Pemeriksaan EKG : Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda
perikarditis, aritmia, dan gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia).
c. Pemeriksaan USG : Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal,
kepadatan parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal,
kandung kemih serta prostate.
d. Pemeriksaan Radiologi : Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde
Pyelography, Renal Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi,
pemeriksaan rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen.
e. Pielografi intravena : Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter.
f. Pielografi retrograde : Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversible.
g. Arteriogram ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular, massa.
h. Sistouretrogram berkemih : Menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks
kedalam ureter, retensi.

20

i. Ultrasono ginjal : Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya massa,


kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
j. Biopsi ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histologist.
k. Endoskopi ginjal nefroskopi : Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal ;
keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif
8.

Pengobatan
Tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan gejala, meminimalkan

komplikasi dan memperlambat perkembangan penyakit. Penyebab dan berbagai


keadaan yang memperburuk gagal ginjal harus segera dikoreksi. Diet rendah protein
(0,4-0,8 gram/kg BB) bisa memperlambat perkembangan gagal ginjal kronis.
Tambahan vitamin B dan C diberikan jika penderita menjalani diet ketat atau
menjalani dialisa.
Pada penderita gagal ginjal kronis biasanya kadar trigliserida dalam darah
tinggi. Hal ini akan meningkatkan resiko terjadinya komplikasi, seperti stroke dan
serangan jantung. Untuk menurunkan kadar trigliserida, diberikan gemfibrozil.
Kadang asupan cairan dibatasi untuk mencegah terlalu rendahnya kadar garam
(natrium) dalam darah. Asupan garam biasanya tidak dibatasi kecuali jika terjadi
edema (penimbunan cairan di dalam jaringan) atau hipertensi.
Makanan kaya kalium harus dihindari. Hiperkalemia (tingginya kadar kalium
dalam darah) sangat berbahaya karena meningkatkan resiko terjadinya gangguan
irama jantung dan cardiac arrest. Jika kadar kalium terlalu tinggi, maka diberikan
natrium polisteren sulfonat untuk mengikat kalium, sehingga kalium dapat dibuang
bersama tinja. Kadar fosfat dalam darah dikendalikan dengan membatasi asupan
makanan kaya fosfat (misalnya produk olahan susu, hati, polong, kacang-kacangan
dan minuman ringan). Bisa diberikan obat-obatan yang bisa mengikat fosfat, seperti
kalsium karbonat, kalsium asetat dan alumunium hidroksida.

21

Anemia terjadi karena ginjal gagal menghasilkan eritropoeitin dalam jumlah


yang mencukupi. Eritropoietin adalah hormon yang merangsang pembentukan sel
darah merah. Respon terhadap penyuntikan poietin sangat lambat. Transfusi darah
hanya diberikan jika anemianya berat atau menimbulkan gejala. Kecenderungan
mudahnya terjadi perdarahan untuk sementara waktu bisa diatasi dengan transfusi sel
darah merah atau platelet atau dengan obat-obatan (misalnya desmopresin atau
estrogen).mTindakan tersebut mungkin perlu dilakukan setelah penderita mengalami
cedera atau sebelum menjalani prosedur pembedahan maupun pencabutan gigi.
Gejala gagal jantung biasanya terjadi akibat penimbunan cairan dan natrium.
Pada keadaan ini dilakukan pembatasan asupan natrium atau diberikan diuretik
(misalnya furosemid, bumetanid dan torsemid). Hipertensi sedang maupun hipertensi
berat diatasi dengan obat hipertensi standar. Jika pengobatan awal untuk gagal ginjal
tersebut tidak lagi efektif, maka dilakukan dialisa jangka panjang atau pencangkokan
ginjal.
a.

Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal

ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin


azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
1)

Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk

mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama


dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2)

Kebutuhan jumlah kalori


Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus

adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan


positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
3)

Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat

supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. Penatalaksanaan

22

keseimbangan cairan didasarkan pada berat badan harian, pengukuran


tekanan vena sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang hilang,
tekanan darah dan status klinis pasien. Masukkan dan haluaran oral
dan parentral dari urine, drainase lambung, feses, drainase luka dan
perspirasi dihitung dan digunakan sebagai dasar untuk terapi
penggantian cairan.
b.

Terapi simtomatik
1)

Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum

kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis


metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium
bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum
bikarbonat 20 mEq/L. Hiperkalemia merupakan kondisi yang paling
mengancam jiwa pada gangguan ini. Oleh karena itu pasien dipantau
akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan kadar
elektrolit serum ( nilai kalium > 5.5 mEq/L ; SI : 5.5 mmol/L),
perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat
tinggi), dan perubahan status klinis. Peningkatan kadar kalium dapat
dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (Natrium polistriren
sulfonat [kayexalatel]), secara oral atau melalui retensi enema.
2)

Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan

salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi


pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan
kematian mendadak.
3)

Keluhan Gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang

sering dijumpai pada GGK. Keluhan Gastrointestinal ini merupakan


keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal
yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus.
Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat
dan obat-obatan simtomatik.

23

4)

Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan

kulit.
5)

Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi

hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi


subtotal paratiroidektomi.
6)

Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.

7)

Kelainan sistem kardiovaskular


Tindakan

yang

diberikan

tergantung

dari

kelainan

kardiovaskular yang diderita.


c.

Terapi pengganti ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium

5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
1)

Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah

gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh
terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan
memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu
indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam
indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik,
bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan
diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic
Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif,
yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah,
dan astenia berat (Sukandar, 2006).

24

Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai


sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya
dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah
kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas
hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi
sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal
(Rahardjo, 2006).
2)

Dialisis peritoneal (DP)


Akhir-akhir

ini

sudah

populer Continuous

Ambulatory

Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di


Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang
tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita
penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan
mengalami

perdarahan

bila

dilakukan

hemodialisis,

kesulitan

pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal


ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati
diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik,
yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk
melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal
(Sukandar, 2006).
3)

Transplantasi ginjal
Transplantasi

ginjal

merupakan

terapi

pengganti

ginjal

(anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:


a)

Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil

alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya


mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
b)

Kualitas hidup normal kembali

c)

Masa hidup (survival rate) lebih lama

d)

Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama

berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah


reaksi penolakan

25

e)
9.

Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain :

B.

a.

Hiperkalemia

b.

Perikarditis

c.

Hipertensi

d.

Anemia

e.

Penyakit tulang. (Smeltzer & Bare, 2001)

Konsep Dasar Keperawatan


1.

Pengkajian

a.

Aktifitas dan Istirahat : Kelelahan, kelemahan, malaise, gangguan tidur,


Kelemahan otot dan tonus, penurunan ROM.

b.

Sirkulasi : Riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi, nyeri dada,


Peningkatan JVP, tachycardia, hipotensi orthostatic, friction rub.

c.

Integritas Ego : Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada kekuatan,
Menolak, cemas, takut, marah, irritable.

d.

Eliminasi : Penurunan frekuensi urin, oliguri, anuri, perubahan warna urin,


urin pekat warna merah/coklat, berawan, diare, konstipasi, abdomen kembung.

e.

Makanan/Cairan : Peningkatan BB karena edema, penurunan BB karena


malnutrisi, anoreksia, mual, muntah, rasa logam pada mulut, asites, Penurunan
otot, penurunan lemak subkutan.

f.

Neurosensori : Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot, kejang, kebas,


kesemutan.

Gangguan

status

mental,

penurunan

lapang

perhatian,

ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan


tingkat kesadaran, koma.

26

g.

Nyeri/Kenyamanan : Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki,


Distraksi, gelisah.

h.

Pernafasan : Pernafasan Kussmaul (cepat dan dangkal), Paroksismal


Nokturnal, Dyspnea (+), Batuk produkrif dengan frotty sputum bila terjadi
edema pulmonal

i.

Keamanan : Kulit gatal, infeksi berulang, pruritus, demam (sepsis dan


dehidrasi), petekie, ekimosis, fraktur tulang, defosit fosfat kalsieum pada kulit,
ROM terbatas.

j.

Seksualitas : Penurunan libido, amenore, infertilitas

k.

Interaksi Sosial : Tidak mampu bekerja, tidak mampu menjalankan peran


seperti biasanya. (Doengoes, 2000)

2.

Diagnosa Keperawatan
a.

Resiko tinggi Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan

tubuh berhubungan dengan Gangguan metabolisme protein.


b.

Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran

urine, diet berlebih, dan retensi cairan dan natrium.


c.

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi

produk sampah dan prosedur dialisis


d.

Cemas

berhubungan

dengan

kurangnya

pengetahuan

tentang

penyakitnya.
e.

Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan, dan

pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.


3.

Implementasi Keperawatan
Fokus tahap pelaksanaan tindakan keperawatan adalah kegiatan pelaksanaan

tindakan

dari

perencanaan

untuk

memenuhi

kebutuhan

fisik

dan

27

emosional.Pendekatan

tindakan

keperawatan

meliputi

tindakan

independen,

dependen, dan interdependen.


a.

Independen (mandiri)
Tindakan keperawatan independen adalah suatu kegiatan yang

dilaksanakan oleh perawat tanpa petunjuk dan perintah dari dokter atau tenaga
kesehatan lain.
b.

Dependen
Tindakan dependen berhubungan dengan pelaksanaan rencana

tindakan medis. Tindakan tersebut menandakan suatu cara dimana tindakan


medis dilaksanakan.
c.

Interdependen
Interdependen merupakan tindakan keperawatan yang menjelaskan

suatu kegiatan yang memerlukan suatu kerjasama dengan tenaga kesehatan


lainnya, misalnya dokter, ahli gizi, fisioterapi, dan tenaga sosial.

28

4.

Intervensi

5.
6.
N

7. DIAGNOSA
KEPERAWAT

8. TUJUAN

11.

AN
12. Resiko tinggi

Gangguan

Mempertahankan

pemenuhan

pemenuhan

nutrisi kurang

kebutuhan.
14.
Kriteria :
15.
- Klien

dari
kebutuhan
tubuh
berhubungan
dengan
Gangguan
metabolisme
protein.

13.

9. RENCANA TINDAKAN

Tujuan:

10. RASIONAL

28. 1. Kaji / catat pemasukan diet1. Untuk mengetahui tentang keadaan


nutrisi

status
sesuai

nutrisi

dan

kebiasaan

dan kebutuhan nutrisi pasien sehingga

makan.
29.
30.

dapat

diberikan

tindakan

dan

saat akan tidur.

menyenangkan karena uremia dan

pengaturan diet yang adekuat.


2. Mengetahui
apakah
pasien
telah
tidak 2.Identifikasi perubahan pola makan.
melaksanakan program diet yang
31.
mengalami kehilangan BB
3.Berikan makanan sedikit dan
ditetapkan.
lebih lanjut.
3. Meminimalkan anoreksia dan mual.
sering
16.
- Masukan
makanan
4. Kepatuhan
terhadap
diet
dapat
4.Anjurkan pasien untuk mematuhi
dan cairan meningkat
mencegah
komplikasi
terjadinya
diet yang telah diprogramkan.
17.
- Pasien
mematuhi
32.
hipertensi yang lebih berat.
dietnya.
perkembangan
berat
5.Timbang
berat
badan
setiap5. Mengetahui
18.
- Mual berkurang dan
seminggu sekali.
badan
pasien
(berat
badan
muntah tidak ada.
33.
merupakan salah satu indikasi untuk
19.
- Urine tidak pekat.
6.Inspeksi rongga mulut, perhatikan
20.
- Output
urine
menentukan diet).
kelembaban,
karakter
saliva
6. Deteksi untuk mencegah infeksi.
meningkat (1500 ml/24 jam).
adanya inflamasi dan ulserasi.
21.
- Membran
mukosa
35.
7.Berikan cairan peroral sepanjang
36.
lembab.
24 jam dalam abatas yang
22.
- Mulut
dan
7. Mencegah kekeringan mulut.
37.
ditentukan.
kerongkongan tak kering.
8.Anjurkan oral hygiene (perawatan8. Perawatan
mulut
menyejukan,
23.
- Inflamasi,
ulserasi
melumasi,
dan
membantu
mulut) dengan menyikat gigi
tidak ada
24.
- Bau
amonia
minimal 2 x / setelah makan dan
menyegarkan
mulut
yang
tidak
berkurang/hilang.

29
25.
26.
27.

34.
9.Anjurkan

klien

menurunkan pertumbuhan bakteri.


untuk9. Asap rokok dapat mengiritasi mukosa

menghentikan merokok.
10. Kolaborasi: konsul dengan dokter

dan efeknya mengeringkan rongga

mulut.
untuk pemberikan obat sesuai10. CaCo3 untuk
dengan indikasi; CaCo3 Nabic dan

Anti emetik.
11. Kolaborasi: konsul dengan ahli
gizi untuk pemberian diet tinggi
kalori,

rendah

protein,

mengoreksi

hiperkalemia.

Nabic

mengatasi /memperbaiki asidosis dan


anti emitik akan mencegah mua l/

muntah.
rendah11. Tinggi
Kalori

garam (TKRPRG).

dapat

diperlukan

untuk

memenuhi kebutuhan energi, Rendah


Protein

disesuaikan

dengan

fungsi

ginjal yang menurun. Rendah Garam


dapat

mempercepat

tekanan

darah

dan

penurunan
mencegah

komplikasi.
39.
2

40. Kelebihan

41.

38.
Mempertahankan berat 1. Kaji status cairan : Timbang berat1. Pengkajian merupakan dasar dan data

volume cairan

tubuh ideal tanpa kelebihan

badan

berhubungan

cairan
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.
51.
52.

masukan dan haluaran, turgor

dengan
penurunan
haluaran
urine,

diet

berlebih,

dan

retensi cairan
dan natrium

harian,

keseimbangan

dasar berkelanjutan untuk memantau


perubahan

dan

mengevaluasi

kulit dan adanya edema, tekanan


intervensi.
2. Pembatasan cairan akan menentukan
darah, denyut dan irama nadi dan
berat tubuh ideal, haluaran urine dan
batasi masukan cairan
53.
respon terhadap terapi.
2. Identifikasi
sumber
potensial3. Sumber kelebihan cairan yang tidak
cairan :

diketahui dapat diidentifikasi.


55.
54. Medikasi dan cairan yang
4. Pemahaman meningkatkan kerjasama
digunakan untuk pengobatan oral

30
dan intravena

pasien

3. Makanan : Jelaskan pada pasien


dan

keluarga

rasional

berhubungan

ditoleransi

ketidakseimbangan

terhadap

dan

membran mukosa mulut


57.

anemia,
cairan

dan

tingkat keletihan.
62.
63.

elektrolit, retensi produk sampah


2. Meningkatkan aktivitas ringan atau
dan depresi
2. Tingkatkan kemandirian dalam sedang dan memperbaiki harga diri.

anemia,

aktivitas

retensi produk

dapat

dan

dialisis

ditoleransi

istirahat.
66. Cemas
berhubungan
dengan
kurangnya
pengetahuan

perawatan
;

diri

yang

bantu

67. Tujuan : rasa cemas


berkurang/hilang.
68.
Kriteria Hasil :
69.
- Klien
mengungkapkan
bahwa ia tidak cemas.

Anjurkan

Mendorong latihan dan aktivitas dalam

jika batas-batas yang dapat ditoleransi.


3. Istirahat yang adekuat dianjurkan

keletihan terjadi.
61.
3. Anjurkan aktivitas alternatif sambil

prosedur

kepatuhan

oral dengan sering


1. Kaji faktor yang menimbulkan
1. Menyediakan informasi tentang indikasi
keletihan

keletihan,

65.

pasien

5. Higiene oral mengurangi kekeringan

cairan

aktivitas yang dapat

sampah

Kenyamanan

pembatasan diet

aktivitas
dengan

56.

menghadapi

tingkatkan dan dorong higiene


60. Berpartisipasi dalam

dalam

pembatasan cairan.
meningkatkan

pembatasan

59. Intoleransi

keluarga

pembatasan, bantu pasien dalam


ketidaknyamanan akibat

58.

dan

untuk

setelah

dialisis,

yang

bagi

banyak

pasien sangat melelahkan.

64.
beristirahat setelah dialisis
77. 1. Kaji tingkat kecemasan
1. Untuk menentukan tingkat kecemasan
yang dialami oleh pasien.
78. 2. Beri kesempatan pada
pasien

untuk

yang dialami pasien sehingga perawat

bisa
mengungkapkan
2. memberikan intervensi yang cepat dan

rasa cemasnya.
79. 3.
Lakukan

tepat.
pendekatan
3. Dapat

meringankan

beban

pikiran

31
tentang

70.

- Ekspresi

kepada klien dengan tenang dan

penyakitnya.

wajah rileks.
71.
- RR : 12 24
X / menit.
72.
- N : 60 - 100
X / menit
73.
74.
75.
76.

92.
5

93. Kurangnya
pengetahuan

pasien.
86.
meyakinkan
dan
hindari
87.
pemberian
informasi
atau 88.
89.
instruksi yang bertele-tele dan
4. Penjelasan
yang
sederhana
dan
terus menerus.
singkat tentang tujuan intervensi dan
80. 4. Berikan penjelasan yang
pemeriksaan diagnostik serta anjurkan
sederhana dan singkat tentang
kepada klien untuk ikut serta dalam
tujuan
intervensi
dan
tindakan
keperawatan
dapat
pemeriksaan diagnostik serta
mengurangi beban pikiran pasien.
anjurkan kepada klien untuk ikut
5. Agar terbina rasa saling percaya antar
serta
dalam
tindakan
perawat-pasien
sehingga
pasien
keperawatan.
kooperatif
dalam
tindakan
81. 5.
Berikan keyakinan
keperawatan. Sikap positif dari tim
pada pasien bahwa perawat,
kesehatan
akan
membantu
dokter, dan tim kesehatan lain
menurunkan
kecemasan
yang
selalu
berusaha
memberikan
dirasakan pasien.
pertolongan yang terbaik dan
6. Pasien akan merasa lebih tenang bila
seoptimal mungkin.
ada anggota keluarga yang menunggu.
82.
90.
83. 6.
Berikan
kesempatan
7. Lingkungan yang tenang dan nyaman
pada
keluarga
untuk
dapat membantu mengurangi rasa
mendampingi
pasien
secara
cemas pasien.
bergantian.
91.
84. 7.
Ciptakan lingkungan

Klien

yang tenang dan nyaman.


85.
98. 1. Kaji tingkat pengetahuan

108.

memperoleh informasi yang

pasien /keluarga tentang penyakit

pada pasien/keluarga, perawat perlu

94.

Tujuan

1. Untuk memberikan informasi

32
tentang

jelas

proses

penyakitnya.
95.
Kriteria Hasil :
96.
- Klien
mengetahui

penyakit, diet,
perawatan,
dan
pengobatan
yang
berhubungan

dan

benar

tentang

tentang proses penyakit, diet,


perawatan

dan

pengobatannya
menjelaskan

dengan

ditanya.
97.
- Klien

kurangnya

melakukan

informasi.

sendiri

dan
kembali

dapat
bila

gagal ginjal kronik dan Hipertensi.


99.
100. 2.
Kaji latar belakang
pendidikan pasien.
101.
102.
103.
104. 3. Jelaskan tentang proses
penyakit,

diet,

perawatan

dan

pengobatan pada pasien dengan


dapat
perawatan

diri

berdasarkan

pengetahuan yang diperoleh.

bahasa

dan

kata-kata

yang

mudah dimengerti.
105. 4. Jelasakan prosedur yang
akan di lakukan, manfaatnya bagi
pasien

dan

libatkan

mengetahui sejauh mana informasi


atau

pengetahuan

pasien/keluarga.
109. 2.
Agar
memberikan

yang

diketahui

perawat

penjelasan

dapat
dengan

menggunakan kata-kata dan kalimat


yang dapat dimengerti pasien sesuai
tingkat pendidikan pasien.
110. 3.
Supaya semua informasi
dapat diterima dengan mudah dan
tepat

sehingga

tidak

menimbulkan

kesalahpahaman.
111.

pasien
4. Dengan penjelasdan yang ada dan ikut

didalamnya.
106.
107. 5. Gunakan gambar-gambar

secra langsung dalam tindakan yang


dilakukan, pasien akan lebih kooperatif

penjelasan dan cemasnya berkurang.


5. Gambar-gambar
dapat
membantu
(jika ada / memungkinkan).
mengingat penjelasan yang telah
dalam

memberikan

diberikan.
112.

113.
114.
115.
116.
117.
118.
119.

33

120.
121.

34
122.

5.

Evaluasi

123.
124.

Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang

bertujuan melihat sejauh mana diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan dan


mengevaluasi kesalahan yang terjadi selama pengkajian, analisa, intervensi,
mengimplementasi keperawatan.Ada dua komponen untuk megevaluasi kualitas
tindakan keperawatan, yaitu:
125.
126.

a.

Evaluasi Formatif (proses)

127.

Fokus tipe evaluasi ini adalah aktifitas dari proses keperawatan

dan hasil kualitas pelayanan tindakan keperawatan. Evaluasi proses harus


dilaksanakan segera setelah perencanaan keperawatan dilaksanakan untuk
membantu keefektifan terhadap tindakan evaluasi formatif dan dilakukan
secara terus-menerus dilaksanakan sampai tujuan yang telah ditentukan
tercapai.
128.
129.

b.

Evaluasi Sumatif (hasil)

130.

Fokus evaluasi ini adalah perubahan perilaku atau status

kesehatan pasien pada akhir tindakan keperawatan pasien.Tipe evaluasi ini


dilaksanakan pada akhir tindakan keperawatan secara paripurna.
131.
132.
133.
134.
135.
136.
137.
138.
139.
140.
141.
142.
143.
144.

35

145.
146.

BAB III
PENUTUP

147.
A. Kesimpulan
148.
149.

1.

Ginjal merupakan organ vital yang berperan sangat penting untuk

mempertahankan keseimbangan lingkungan dalam tubuh. Gagal ginjal kronis (chronic


ranal failure) didefinisikan sebagai nilai laju filtrasi glomerulus (GFR) yang berada di
bawah batas normal selama > 3 bulan. Komplikasi gagal ginjal kronik adalah
hipertensi, anemia, gagal jantung, asidosis metabolik, perikarditis dan osteodistrofi
renal. Pasien datang dengan keluhan, pusing cekot-cekot, tengkuk terasa tegang dan
kaku, sesak napas, mual dan muntah serta badan terasa lemas. Pasien adalah penderita
gagal ginjal dan rutin melakukan hemodialisa seminggu 2 kali.
150.
2.

Penatalaksanaan pada pasien ini lebih ditekankan pada terapi terhadap

komplikasi seperti pemberian clonidin dan nifedipine untuk menurunkan tekanan


darahnya, CaCO3 untuk menghindari hiperfosfatemia yang dapat mengakibatkan
terjadinya osteodistrofi renal, furosemide untuk mengurangi edema pulmo dan edema
pada kedua tungkai yang merupakan manifestasi dari CHF (Chronic Heart Failure).
Prinsip penatalaksanaan pada pasien ini telah sesuai dengan prinsip penatalaksanaan
pasien dengan gagal ginjal kronik yang disertai komplikasi, hanya saja terapi untuk
anemianya belum diberikan. Salah satu cara menegakkan diagnosis gagal ginjal
adalah dengan menilai kadar ureum dan kreatinin serum, karena kedua senyawa ini
hanya dapat diekskresi oleh ginjal.
151.

152.

B.

Saran

153.
1. Penderita GGK dengan laju filtrasi glomerulus sekitar 50 ml/menit harus mewaspadai

adanya kecenderungan untuk terjadinya kegagalan fungsi ginjal lebih lanjut.


154.
2. Dalam usaha memperlambat progresi gagal ginjal maka penting dilakukan

pengobatan terhadap hipertensi. Selain itu pembatasan asupan protein,retriksi fosfor,


pengurangan proteinuria dan pengendalian hiperlipidemia adalah tahap lainnya dalam
memperlambat progresi gagal ginjal. Pencegahan kerusakan gagal ginjal lebih lanjut

36

dapat dilakukan dengan penambahan cairan fisiologis (rehidrasi), dan penanganan


sepsis. Pengelolaan uremia dan komplikasinya dilakukan dengan penyeimbangan
cairan dan elektrolit serta penanganan asidosis metabolik, hiperkalemia, diet rendah
protein, dan anemia.

34

155.

156.

190.

157.
158.
159.
160.
161.
162.
163.
164.
165.
166.
167.
168.
169.
170.
171.
172.
173.
174.
175.
176.
177.
178.
179.
180.
181.
182.
183.
184.
185.
186.
187.
188.
189.
DAFTAR PUSTAKA

37

191.
192.
1.

Doenges Marilynn E, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC


193.

2.

Kowalak, dkk. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta:EGC.


194.

3.

Smeltzer Suzanne C dan Brenda G Bare. 2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal


Bedah Brunner & Sudarth edisi 8 vol 2. Jakarta: EGC.
195.

4.

Sudoyo, Aru W, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, dkk.2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid 1 Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI.
196.

5.

Suharyanto Toto dan Abdul Madjid.2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta. TIM.
197.

6.

Syaifuddin. 2009. Fisiologi Tubuh Manusia edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.


198.
199.
200.
201.
202.
203.
204.
205.
206.
207.
208.
209.
210.

Das könnte Ihnen auch gefallen