Sie sind auf Seite 1von 21

LAPORAN KASUS

IMPETIGO KRUSTOSA
Diajukan untuk memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Dokter
SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Peserta :
Agung kurniawan
2010730120
Pembimbing :
dr. Mahdar Johan, Sp.KK

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

RUMAH SAKIT SYAMSUDIN, SH


SUKABUMI
2015

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas segala limpahan rahmatnya
serta karunianya, sehingga syukur Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
dengan judul IMPETIGO KRUSTOSA. Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu syarat
untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin di RS Syamsudin,
SH Sukabumi.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari
berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada yang terhormat dr. Mahdar Johan, Sp.KK, atas keluangan waktu dan bimbingan
yang telah diberikan, serta kepada teman sesama kepaniteraan klinik ilmu kesehatan kulit dan
kelamin dan perawat yang selalu mendukung, memberi saran, motivasi, bimbingan dan
kerjasama yang baik sehingga dapat terselesaikannya laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun laporan kasus ini masih memiliki banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka untuk menerima segala kritik dan saran yang
diberikan demi kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
banyak pihak dan setiap pembaca pada umumnya. Amin...
Wassalamu`alaikum Wr. Wb.

Sukabumi, 2 April 2015

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................4
BAB II.............................................................................................................................................5
STATUS PASIEN............................................................................................................................5
2.1 IDENTIFIKASI.....................................................................................................................5
2.2 ANAMNESIS........................................................................................................................5
2.3 PEMERIKSAAN FISIK........................................................................................................6
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG LAINNYA........................................................................8
2.5 RESUME...............................................................................................................................9
2.6 DIAGNOSIS BANDING....................................................................................................10
2.7 DIAGNOSIS........................................................................................................................10
2.8 PENATALAKSANAAN.....................................................................................................10
BAB III..........................................................................................................................................11
ANALISIS MASALAH................................................................................................................11
BAB IV..........................................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................21

BAB I
PENDAHULUAN
Kulit adalah organ tubuh yang paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup
manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15% dari berat badan. Kulit
merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit
juga sangat kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan
juga bergantung pada lokasi tubuh. Bakteri,

jamur dan virus, dapat menyebabkan banyak

penyakit kulit. Manifestasi morfologik penyakit-penyakit infeksi bakteri pada kulit sangat
bervariasi. Infeksi pada kulit oleh bakteri piogenik biasanya berasal dari luar tubuh.
Pioderma merupakan penyakit yang sering dijumpai. Pioderma juga merupakan infeksi
purulen pada kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus dan Streptococcus atau keduanya.
Pioderma memiliki banyak bentuk diantaranya impetigo, folikulitis, furunkel, eritrasma,
erysipelas, selulitis, abses, dan lain-lain. Bakteri yang menyerang epidermis dapat menyebabkan
impetigo.
Dinamakan impetigo menurut bahsa Perancis dan Latin yang berarti erupsi keropeng
yang menyerang. Impetigo adalah penyakit kulit superfisial yang disebabkan infeksi piogenik
oleh bakteri Gram positif. Impetigo lebih sering terjadi pada usia anak-anak walaupun pada
orang dewasa dapat terjadi. Penularan impetigo tergolong tinggi, terutama melalui kontak
langsung. Individu yang terinfeksi dapat menginfeksi dirinya sendiri atau orang lain setelah
menggaruk lesi. Infeksi seringkali menyebar dengan cepat di sekolah, tempat penitipan anak atau
pada tempat dengan hygiene buruk atau juga tempat tinggal yang padat penduduk.
Impetigo krustosa merupakan jenis infeksi piogenik yang paling banyak ditemukan di
dunia (70% dari kasus impetigo).2,3,4 Impetigo krustosa harus diobati secara cepat dan tepat
karena dapat menyebabkan beberapa komplikasi terutama glomerulonefritis akut.5 Terapi
antibiotik topikal merupakan pilihan pertama impetigo terutama bila lesi yang terbatas, tanpa
gejala sistemik atau komplikasi sementara terapi sistemik dipertimbangkan bila diperlukan.

BAB II
STATUS PASIEN
2.1 IDENTIFIKASI

Nama
Usia
Jenis Kelamin
Agama
Pekerjaan
Alamat
Nomer Rekam Medik
Tanggal Masuk Rumah Sakit

: An. AB
: 1 Tahun 9 Bulan 21 Hari
: Laki-laki
: Islam
:: KP Panjalu, RT/RW 013/03, Warnasari, Sukabumi
: A222386
: 30-03-2015 Pukul 07:45:02

2.2 ANAMNESIS
(Alloanamnesis tanggal 30/03/2015, Pukul 10.05)
a. Keluhan Utama
Kaki dan ketiak gatal
b. Keluhan Tambahan
Kaki dan ketiak terdapat luka, terasa perih dan gatal.
c. Riwayat Perjalanan Penyakit
Ibu Os menceritakan bahwa anaknya mengeluhkan gatal pada kaki dan ketiaknya
sudah sejak 1 minggu yang lalu. Ibunya menceritakan bahwa awalnya Os sempat terjatuh
ketika bermain dan lutut Os menjadi lecet. Dan setelah itu luka pada lutut Os tidak
sembuh-sembuh dan Os juga mengeluhkan gatal pada daerah lukanya tersebut. 2 hari
kemudian pada lukanya terdapat cairan putih bening yang keluar dari bekas lukanya.
kemudian menurut ibunya Os sering menggaruk lukanya tersebut karena terasa gatal. 4
hari kemudian menurut ibunya timbul luka baru pada daerah ketiak seperti luka yang
terdapat pada lutut Os dan juga terasa gatal sehingga Os selalu menggaruk bagian ketiak
dan juga kakinya.
d. Riwayat Penyakit Lampau
- Os belum pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya
5

Os belum pernah dirawat di Rumah Sakit.


Riwayat infeksi saluran pernafasan disangkal
Kelainan kulit di ekstremitas, muka maupun di badan sebelumnya disangkal

e. Riwayat pada Keluarga


Keluhan yang sama dikeluarga disangkal
f. Riwayat Atopi
Riwayat alergi makanan dan obat-obatan disangkal

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalikus
a. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran
: Composmentis
c. Tanda Vital
:
i. Tekanan Darah
:ii. Nadi
: 84 x/m
iii. Suhu
: 36 0C
iv. Respiratori Rate
: 22 x/m
d. Anemis
: -/e. Edema
: Ekstremitas atas
-/Ekstremitas bawah -/f. Sianosis
: -/g. Ikterus
: -/-

Status Lokalis
o Ad Regio
o Efloresensi
o Sifat efloresensi

: ekstremitas inferior sinistra dan axilla dextra.


: makula eritema, vesikel dan krusta
: ukuran: plakat, gambaran: linear, bentuk: bundar, lokalisasi:

multiple

Status Dermatologikus/ Venereologikus


a. Regio/ letak lesi : ekstremitas inferior sinistra dan axilla dextra
b. Efloresensi/ Ruam/ Ujud Kelainan Kulit
i.
UKK Primer :

Eritema

Bula

:
-

Hipopion
6


ii.

iii.

Skuama
Likenitikasi
Fisura
Rhagaden

Kanalikuli
Vegetasi
Tuber
Infiltrat
Purpura
Purpura Palpabel

Sifat-sifat UKK
i.
Besar
ii.
Susunan
iii.
Bentuk lesi
iv. Letak

Planus
Urtika
Tumor
Kista

Laserasi
Erosi
Krusta
Eskoriasi

Eksfoliasi
Plak
Granulasi
Fistula

Angio Edema
Flushing
Sikatriks
Keloid
Cafe au lait
Ulkus

Roseolae
Talengiektasis
Ptekiae
Ekimosis
Spider Neavy
Eksantema

: Plakat
: Linear
: Bundar
: Ekstremitas inferior sinistra dan axilla dextra

Duh Tubuh
i.
Eksudat uretra
ii.
Discharge Vagina

Pembengkakan Kelenjar
Tidak ada keluhan

Tes-tes Yang Dilakukan


-

Pustula
Bula Purulen
Bula Hemoragik
Scrath Mark

UKK Spesifik/ Khusus :

UKK Sekunder :

Hipopigmentasi
Hiperpigmentasi
Papula
Nodula
Vesikula

Diaskopi
Dermografi Putih
Goresan lilin
Koebner Phenomen
Auspitz Sign
Pits Sign

::-

Nikolsky Sign
Button-hole Sign
Sondage tumpul
Woods Light
Pensil Gunawan
Urine 2 gelas

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG LAINNYA


7

a.
b.
c.
d.
e.
f.

Pemeriksaan Laboratorik:Dilakukan Biopsi Tanggal :


Pemeriksaan Radiologik : Tes Imunofluoresens/ Pemeriksaan Imunologik: Biakan Duh tubuh/ Jaringan Lesi : Hasil Tes Sensitivitas : -

2.5 RESUME
Pasien anak 1 tahun datang ke UGD RS Syamsudin, SH dengan keluhan gatal
pada kaki dan ketiaknya yang dirasakan sudah 1 minggu. Awalnya Os sempat terjatuh
ketika bermain dan mendapatkan lecet pada daerah lututnya. 2 hari kemudian terdapat
cairah putih bening yang keluar dari bekas luka tersebut dan kemudian Os merasakan
gatal dan Os selalu menggaruk luka tersebut. 4 hari kemudian timbul luka baru pada
daerah ketiak Os yang sama seperti pada lutut Os dan juga terasa gatal.Os selalu
menggaruk luka pada kaki dan ketiaknya karena gatal. Riwayat penyakit sebelumya
disangkal, riwayat penyakit yang sama disangkal dan riwayat atopi disangkal. Status
dermatologis didapatkan :
o Ad Regio
: ekstremitas inferior sinistra dan axilla dextra.
o Efloresensi
: eritema, vesikel dan krusta
o Sifat efloresensi : ukuran: plakat, gambaran: linear, bentuk: bundar

2.6 DIAGNOSIS BANDING


1) Impetigo Krustosa
2) Ektima
3) Dermatitis Atopik

2.7 DIAGNOSIS
Impetigo Krustosa

2.8 USULAN PEMERIKSAAN SELANJUTNYA

Dilakukan pemeriksaan laboratorium, biasanya pada kasus seperti ini didapatkan hasil

leukositosis.
Pewarnaan gram, dikarenakan ada kemungkinan penyebabnya bukan streptococcus atau
stafilococcus melainkan kuman gram-negatif.

2.9 PENATALAKSANAAN
1. Umum :

Memberikan penjelasan pada orang tua pasien untuk menjaga kebersihan kulit dan
mandi memakai sabun 2x1 hari.

Mencuci kaki dan tangan setelah selesai bermain

2. Khusus :
Sistemik
o Amoksan 3 x cth
o Bufect 3 x cth
o Sanvita-B 2 x cth
Topikal
o Cream Salticin

BAB III
ANALISIS MASALAH
Impetigo merupakan pioderma superfisialis yang terbatas pada epidermis. Impetigo
terbagi atas 2 bentuk yaitu impetigo krustosa dan impetigo bulosa. Impetigo krustosa merupakan
bentuk pioderma yang paling sederhana, menyerang epidermis dengan gambaran yang dominan
ialah krusta. Organisme penyebab dari penyakit ini adalah Staphylococcus aureus dan
Streptococcus beta hemolyticus. Tanda khas dari impetigo krustosa ini adalah lesi awal yang
berbentuk macula eritem pada wajah, telinga maupun tangan yang berubah dengan cepat menjadi
vesikel berisi cairan bening atau pustule yang cepat memecah dan membentuk krusta berwarna
kuning madu dan umumnya terjadi pada anak-anak. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan
gambaran klini dari lesi. Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan melakukan perawatan diri,
pengobatan sistemik dan topical.
Pengenalan klinis dari impetigo krustosa tidaklah sulit karena biasanya memberikan
gambaran yang khas dan umumnya terjadi pada anak. Pemeriksaan penunjang tidak perlu
dilakukan untuk menegakkan diagnosa, akan tetapi dapat dilakukan pada pasien yang tidak
respon setelah mendapat pengobatan, sehingga dapat dilakukan kultur dan tes sensitivitas. Pada
pasien ini kami menjumpai adanya vesikel di daerah dada kiri dan kanan, pada daerah aksila juga
dijumpai adanya krusta-krusta tebal yang berwarna agak kecoklatan serta erosi. Warna krusta
pada pasien ini agak kecoklatan kemungkinan akibat pemberian minyak kelapa. Tempat
predileksi dari impetigo umumnya dijumpai pada daeah mulut dan sekitar lubang hidung, akan
tetapi pada pasien ini kita dapati daerah yang terkena terutama adalah daerah aksila. Berdasarkan
beberapa literatur disebutkan bawha tempat predileksi dari impetigo krustosa adalah di daerah
sekitar mulut dan lubang hidung, tetapi tidak menutup kemungkinan dijumpai ditempat lain,
karena pada dasarnya penyakit ini bisa ditularkan ke seluruh daerah tubuh yang sering
mengalami trauma sehingga fungsi perlindungan kulit terganggu.
Diagnosa ektima pada pasien ini disingkirkan karena pada ektima, krustanya menutupi
ulkus dan biasanya dijumpai di tungkai bawah, sedangkan pada pasien ini tidak dijumpai adanya
ulkus. Diagnosa dermatitis atopi juga disingkirkan karena pada kasus ini tidak ditemukan adanya
riwayat alergi dari makanan, minuman, obat yang sebagai factor pencetus dari terjadinya
10

dermatitis atopi. Dari anamnesis yang dilakukan kepada orang tuanya juga menyatakan bahwa
pada keluarga Os tidak ada yang mempunyai riwayat dari alergi makanan, debu dll.
Pengobatan utama pada impetigo krustosa adalah pemberian antibiotik topikal.
Pemberian antibiotik sistemik umumnya tidak dianjurkan kecuali lesi luas. Dari beberapa
literatur dikatakan antibiotik topikal yang paling baik diberikan pada impetigo krustosa adalah
mupirocin 2% dan asam fusidat 2% selama tiga sampai lima hari. Pemberian basitrasin dan
neomisin kurang efektif pada impetigo krustosa. Antibiotik sistemik yang dapat diberikan adalah
amoksisilin/clavulanate (augmentin) 3 x 250-500 mg sehari selama 10 hari.
3.1 DEFINISI
Impetigo krustosa merupakan penyakit infeksi piogenik kulit superfisial yang
disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Streptococcus group A beta-hemolitikus (GABHS), atau
kombinasi keduanya dan digambarkan dengan perubahan vesikel berdinding tipis, diskret,
menjadi pustul dan ruptur serta mengering membentuk krusta Honey-colored. dengan tepi yang
mudah dilepaskan.
Pada negara maju, impetigo krustosa banyak disebabkan oleh Staphylococcus aureus
dan sedikit oleh Streptococcus group A beta-hemolitikus (Streptococcus pyogenes). Banyak
penelitian

yang

menemukan

50-60%

kasus

impetigo

krustosa

penyebabnya

adalah

Staphylococcus aureus dan 20-45% kasus merupakan kombinasi Staphylococcus aureus dengan
Streptococcus pyogenes. Namun di negara berkembang, yang menjadi penyebab utama impetigo
krustosa adalah Streptococcus pyogenes. Staphylococcus aureus banyak terdapat pada faring,
hidung, aksila dan perineal merupakan tempat berkembangnya penyakit impetigo krustosa.
3.2 EPIDEMIOLOGI
Terjadinya penyakit impetigo krustosa di seluruh dunia tergolong relatif sering. Penyakit
ini banyak terjadi pada anak - anak kisaran usia 2-5 tahun dengan rasio yang sama antara lakilaki dan perempuan. Di Amerika, impetigo merupakan 10% dari penyakit kulit anak yang
menjadi penyakit infeksi kulit bakteri utama dan penyakit kulit peringkat tiga terbesar pada anak.
Di Inggris kejadian impetigo pada anak sampai usia 4 tahun sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6%
pada anak usia 5-15 tahun.
11

Impetigo krustosa banyak terjadi pada musim panas dan daerah lembab, seperti
Amerika Selatan yang merupakan daerah endemik dan predominan, dengan puncak insiden di
akhir musim panas. Anak-anak prasekolah dan sekolah paling sering terinfeksi. Pada usia
dewasa, laki-laki lebih banyak dibanding perempuan. Disamping itu, ada beberapa faktor yang
dapat mendukung terjadinya impetigo krustosa seperti:
-

hunian padat

higiene buruk

hewan peliharaan
-

keadaan yang mengganggu integritas epidermis kulit seperti gigitan serangga, herpes
simpleks, varisela, abrasi, atau luka bakar.

3.3 PATOGENESIS

Gambar 1. Struktur Stretoccocus Pyogenes dan substansinya

Impetigo krustosa dimulai ketika trauma kecil terjadi pada kulit normal sebagai portal of
entry yang terpapar oleh kuman melalui kontak langsung dengan pasien atau dengan seseorang

12

yang menjadi carrier. Kuman tersebut berkembang biak dikulit dan akan menyebabkan
terbentuknya lesi dalam satu sampai dua minggu.
Cara infeksi pada impetigo krustosa ada 2, yaitu infeksi primer dan infeksi sekunder.
Infeksi Primer
Infeksi primer, biasanya terjadi pada anak-anak. Awalnya, kuman menyebar dari hidung
ke kulit normal (kira-kira 11 hari), kemudian berkembang menjadi lesi pada kulit. Lesi
biasanya timbul di atas kulit wajah (terutama sekitar lubang hidung) atau ekstremitas
setelah trauma.
Infeksi sekunder
Infeksi sekunder terjadi bila telah ada penyakit kulit lain sebelumnya (impetiginisasi)
seperti dermatitis atopik, dermatitis statis, psoariasis vulgaris, SLE kronik, pioderma
gangrenosum, herpes simpleks, varisela, herpes zoster, pedikulosis, skabies, infeksi jamur
dermatofita, gigitan serangga, luka lecet, luka goresan, dan luka bakar, dapat terjadi pada
semua umur.
Impetigo krustosa biasanya terjadi akibat trauma superfisialis dan robekan pada
epidermis, akibatnya kulit yang mengalami trauma tersebut menghasilkan suatu protein yang
mengakibatkan bakteri dapat melekat dan membentuk suatu infeksi impetigo krustosa. Keluhan
biasanya gatal dan nyeri.
Impetigo krustosa sangat menular, berkembang dengan cepat melalui kontak langsung
dari orang ke orang. Impetigo banyak terjadi pada musim panas dan cuaca yang lembab. Pada
anak-anak sumber infeksinya yaitu binatang peliharaan, kuku tangan yang kotor, anak-anak
lainnya di sekolah, daerah rumah kumuh, sedangkan pada dewasa sumbernya yaitu tukang cukur,
salon kecantikan, kolam renang, dan dari anak-anak yang telah terinfeksi.
3.4 HISTOPATOLOGI
Terjadinya inflamasi superfisialis pada folikel pilosebaseus bagian atas. Terdapat
vesikopustul di subkorneum yang berisi coccus serta debris berupa leukosit dan sel epidermis.
Pada dermis terjadi inflamasi ringan yang ditandai dengan dilatasi pembuluh darah, edema, dan
13

infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Seringkali terjadi spongiosis yang mendasari pustula. Pada
lesi terdapat kokus Gram positif.
3.5 MANIFESTASI KLINIS
Impetigo krustosa dapat terjadi di mana saja pada tubuh, tetapi biasanya pada bagian
tubuh yang sering terpapar dari luar misalnya wajah, leher, dan ekstremitas. Impetigo Krustosa
diawali dengan munculnya eritema berukuran kurang lebih 2 mm yang dengan cepat membentuk
vesikel, bula atau pustul berdinding tipis. Kemudian vesikel, bula atau pustul tersebut ruptur
menjadi erosi kemudian eksudat seropurulen mengering dan menjadi krusta yang berwarna
kuning keemasan (honey-colored) dan dapat meluas lebih dari 2 cm. Lesi biasanya berkelompok
dan sering konfluen meluas secara irreguler. Pada kulit dengan banyak pigmen, lesi dapat disertai
hipopigmentasi atau hiperpigmentasi. Krusta pada akhirnya mengering dan lepas dari dasar yang
eritema tanpa pembentukan jaringan scar.
Lesi dapat membesar dan meluas mengenai lokasi baru dalam waktu beberapa minggu
apabila tidak diobati. Pada beberapa orang lesi dapat remisi spontan dalam 2-3 minggu atau lebih
lama terutama bila terdapat penyakit akibat parasit atau pada iklim panas dan lembab, namun lesi
juga dapat meluas ke dermis membentuk ulkus (ektima).
Kelenjar limfe regional dapat mengalami pembesaran pada 90% pasien tanpa pengobatan
(terutama pada infeksi Streptococcus) dan dapat disertai demam. Membran mukosa jarang
terlibat.

Gambar 2. impetigo krustosa di ekstremitas superior pada anak-anak

14

3.6 DIAGNOSIS
Diagnosis impetigo krustosa ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan
mengidentifikasi tanda dan gejala yang ada dan dapat dibantu dengan pemeriksaan penunjang
seperti pewarnaan Gram, biakan kuman, dan tes serologi serta histopatologi.
Pada pulasan gram, ditemukan coccus Gram positif yang lebih terlihat bila pemeriksaan
dilakukan saat lesi masih berupa vesikel. Biasanya diperlukan pemeriksaan biakan kuman dan
sensitivitas bila terapi tidak menghasilkan respon baik yang menunjukkan sudah terjadi resistensi
kuman. Pada pemeriksaan serologi didapatkan ASO titer positif lemah pada pioderma
streptococcus. Leukositosis ditemukan pada sebagian penderita impetigo krustosa.
3.7 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding Impetigo krustosa terdiri dari:
a. Dermatitis Atopik
Terdapat riwayat atopik seperti asma, rhinitis alergika. Lesi pruritus kronik dan kulit
kering abnormal dapat disertai likenifikasi.
b. Herpes Simpleks
Vesikel dengan dasar eritema yang ruptur menjadi erosi ditutupi krusta. Umumnya
terdapat demam, malaise, disertai limfadenopati.
c. Varisela
Terdapat gejala prodomal seperti demam, malaise, anoreksia. Vesikel dinding tipis
dengan dasar eritema (bermula di trunkus dan menyebar ke wajah dan ekstremitas) yang
kemudian ruptur membentuk krusta (lesi berbagai stadium).
d. Kandidiasis
Kandidiasis (infeksi jamur candida): papul eritem, basah, umumnya di daerah selaput
lendir atau daerah lipatan.
e. Ektima
15

Lesi berkrusta yang menutupi daerah ulkus yang menetap selama beberapa minggu dan
sembuh dengan jaringan parut bila menginfeksi dermis.
f. Skabies
Papul yang kecil dan menyebar, terdapat terowongan pada sela-sela jari, gatal pada
malam hari.
3.8 KOMPLIKASI
1. Ektima
Impetigo yang tidak diobati dapat meluas lebih dalam dan penetrasi ke epidermis menjadi
ektima. Ektima merupakan pioderma pada jaringan kutan yang ditandai dengan adanya
ulkus dan krusta tebal.
2. Selulitis dan Erisepelas
Impetigo krustosa dapat menjadi infeksi invasif menyebabkan terjadinya selulitis dan
erisepelas, meskipun jarang terjadi. Selulitis merupakan peradangan akut kulit yang
mengenai jaringan subkutan (jaringan ikat longgar) yang ditandai dengan eritema
setempat, ketegangan kulit disertai malaise, menggigil dan demam. Sedangkan erisepelas
merupakan peradangan kulit yang melibatkan pembuluh limfe superfisial ditandai dengan
eritema dan tepi meninggi, panas, bengkak, dan biasanya disertai gejala prodromal.
3. Glomerulonefritis Post Streptococcal
Komplikasi utama dan serius dari impetigo krustosa yang umumnya disebabkan oleh
Streptococcus group A beta-hemolitikus ini yaitu glomerulonefritis akut (2%-5%).
Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak usia kurang dari 6 tahun. Tidak ada bukti
yang menyatakan glomerulonefritis terjadi pada impetigo yang disebabkan oleh
Staphylococcus. Insiden glomerulonefritis (GNA) berbeda pada setiap individu,
tergantung dari strain potensial yang menginfeksi nefritogenik. Faktor yang berperan
penting atas terjadinya GNAPS yaitu serotipe Streptococcus strain 49, 55, 57,dan 60 serta
strain M-tipe 2. Periode laten berkembangnya nefritis setelah pioderma streptococcal
sekitar 18-21 hari. Kriteria diagnosis GNAPS ini terdiri dari hematuria makroskopik atau
mikroskopik, edema yang diawali dari regio wajah, dan hipertensi.

16

3.9 PENATALAKSANAAN
A. Umum
Menjaga kebersihan agar tetap sehat dan terhindar dari infeksi kulit.
Menindaklanjuti luka akibat gigitan serangga dengan mencuci area kulit yang terkena
untuk mencegah infeksi.
Mengurangi kontak dekat dengan penderita
Bila diantara anggota keluarga ada yang mengalami impetigo diharapkan dapat
melakukan beberapa tindakan pencegahan berupa:
-

Mencuci bersih area lesi (membersihkan krusta) dengan sabun dan air mengalir
serta membalut lesi.

Mencuci pakaian, kain, atau handuk penderita setiap hari dan tidak menggunakan
peralatan harian bersama-sama.

Menggunakan sarung tangan ketika mengolesi obat topikal dan setelah itu
mencuci tangan sampai bersih.

Memotong kuku untuk menghindari penggarukan yang memperberat lesi.

Memotivasi penderita untuk sering mencuci tangan.

B. Khusus
Pada

prinsipnya,

pengobatan

impetigo

krustosa

bertujuan

untuk

memberikan

kenyamanan dan perbaikan pada lesi serta mencegah penularan infeksi dan kekambuhan.
1. Terapi Sistemik
Pemberian antibiotik sistemik pada impetigo diindikasikan bila terdapat lesi yang luas
atau berat, limfadenopati, atau gejala sistemik.
a. Pilihan Pertama (Golongan Lactam)
Golongan Penicilin (bakterisid)
o Amoksisilin+ Asam klavulanat
Dosis 2x 250-500 mg/hari (25 mg/kgBB) selama 10 hari.
17

Golongan Sefalosporin generasi-ke1 (bakterisid)

o Sefaleksin
Dosis 4x 250-500 mg/hari (40-50 mg/kgBB/hari) selama 10 hari.
o Kloksasilin
Dosis 4x 250-500 mg/hari selama 10 hari.
b. Pilihan Kedua
Golongan Makrolida (bakteriostatik)
o Eritromisin
Dosis 30-50mg/kgBB/hari.
o Azitromisin
Dosis 500 mg/hari untuk hari ke-1 dan dosis 250 mg/hari untuk hari ke-2
sampai hari ke-4.
2.Terapi Topikal
Penderita diberikan antibiotik topikal bila lesi terbatas, terutama pada wajah dan
penderita sehat secara fisik. Pemberian obat topikal ini dapat sebagai profilaksis
terhadap penularan infeksi pada saat anak melakukan aktivitas disekolah atau tempat
lainnya. Antibiotik topikal diberikan 2-3 kali sehari selama 7-10 hari.
o Mupirocin
Mupirocin (pseudomonic acid) merupakan antibiotik yang berasal dari
Pseudomonas fluorescent .Mekanisme kerja mupirocin yaitu menghambat sintesis
protein (asam amino) dengan mengikat isoleusil-tRNA sintetase sehingga
menghambat aktivitas coccus Gram positif seperti Staphylococcus dan sebagian
besar Streptococcus. Salap mupirocin 2% diindikasikan untuk pengobatan
impetigo yang disebabkan Staphylococcus dan Streptococcus pyogenes.
o Asam Fusidat
18

Asam Fusidat merupakan antibiotik yang berasal dari Fusidium coccineum.


Mekanisme kerja asam fusidat yaitu menghambat sintesis protein. Salap atau krim
asam fusidat 2% aktif melawan kuman gram positif dan telah teruji sama efektif
dengan mupirocin topikal.
o Bacitracin
Baciracin merupakan antibiotik polipeptida siklik yang berasal dari Strain
Bacillus Subtilis. Mekanisme kerja bacitracin yaitu menghambat sintesis dinding
sel bakteri dengan menghambat defosforilasi ikatan membran lipid pirofosfat
sehingga aktif melawan coccus Gram positif seperti Staphylococcus dan
Streptococcus. Bacitracin topikal efektif untuk pengobatan infeksi bakteri
superfisial kulit seperti impetigo.
3.10 PROGNOSIS
Pada beberapa individu, bila tidak ada penyakit lain sebelumnya impetigo krustosa dapat
membaik spontan dalam 2-3 minggu. Namun, bila tidak diobati impetigo krustosa dapat bertahan
dan menyebabkan lesi pada tempat baru serta menyebabkan komplikasi berupa ektima, dan dapat
menjadi erisepelas, selulitis, atau bakteriemi.4,7 Dapat pula terjadi Staphylococcal Scalded Skin
Syndrome (SSSS) pada bayi dan dewasa yang mengalami immunocompromised atau gangguan
fungsi ginjal. Bila terjadi komplikasi glomerulonefritis akut, prognosis anak- anak lebih baik
daripada dewasa.

19

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1

Hay R.J, B.M Adriaans. Bacterial Infection. In: Burns T, Brethnach S, Cox N, Griffiths C
(eds). Rooks Text Book of Dermatology. 7th ed. Turin: Blackwell. 2004. p.27.13-15.

Heyman W.R, Halpern V. Bacterial Infection. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP (eds).
Dermatology. 2nd ed. Spain: Mosby Elsevier. 2008. p.1075-77.

Cole C, Gazewood J. Diagnosis and Treatment of Impetigo. American Academy of


Family

Physician.

Vol.75.

No.6.

2007.

p.859-864.

Diunduh

dari:

http://www.sepeap.org/archivos/pdf/10524.pdf
4

Craft N, Peter K.L, Matthew Z.W, Morton N.S, Richard S.J. Superficial Cutaneous
Infection and Pyodermas. In: Wolff K et all (eds). Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine. Vol 2. 7th Ed. New York: McGraw Hill. 2008. p.1695-1705.

Arnold, Odom, James. Bacterial Infection. In: James W.D, Berger T.G, Elston D.M (eds).
Andrews Disease of the Skin Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada: Saunders Elsevier.
2006. p.255-6.

Amini Sadegh. Impetigo. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/1109204treatment. Last update: May 20, 2010.

Norrby A, Teglund, Kotb M. Host Microbe Interactions in The Pathogenesis of Invasive


Group A Streptococcal Infections. Journal Medical Microbiology. Vol.49. 2000. p.84952.

Trozak D.J, Tennenhouse D.J, Russel D.J. Impetigo (Impetigo Crustosa). In: Skolnik N.S
(eds). Dermatology Skills For Primary Care: An Ilustrated Guide. New Jersey: Humana
Press. 2006. p.317-23.

Wolff K, Richard Allen Johnson. Color Atlas and Sypnosis Of Clinical Dermatology.
Part 3rd. 9th Ed. New york: McGraw Hill. 2009. p.597-604.

10 Bonner M.W, Benson P.M, James W.D. Topical Antiboiotics. In: Wolff K et all (eds).
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. Vol 2. 7th Ed. New York: McGraw Hill.
2008. p.2113-15.

20

11 Koning S at all. Fusidic Acid Cream in The Treatment of Impetigo in General Practice:
Double Blind Randomised Placebo Controlled Trial. British Medical Journal. 2002.
Vol.324. p.203. Diunduh dari: http://www.bmj.com/cgi/content/full/324/7331/203

21

Das könnte Ihnen auch gefallen