Sie sind auf Seite 1von 27

BAB I

PENDAHULUAN
Kusta merupakan penyakit tertua yang sampai sekarang masih ada. Kusta
merupakan penyakit yang sangat ditakuti oleh masyarakat karena dapat menyebabkan
ulserasi, mutilasi dan deformitas. Kusta (lepra atau penyakit Hansen) adalah infeksi
menahun yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, bakteri ini menyerang saraf
perifer, kulit, mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian organ lainnya
kecuali susunan saraf pusat. Penyakit yang terjadi bisa ringan (lepra tuberkuloid) atau
berat (lepra lepromatosa). Penderita lepra ringan tidak dapat menularkan penyakitnya
kepada orang lain.1
Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan ASI,
namun jarang di urin. Mycobacterium leprae masih belum dapat dibiakkan dalam
medium buatan sehingga diagnosis yang tepat dalam waktu pendek masih belum
memungkinkan. Pada sebagian besar orang yang terinfeksi, penyakit bersifat
asimptomatik. Sebagian kecil terlambat didiagnosis dan terlambat diobati,
memperlihatkan gejala klinis dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat.
Tetapi diagnosis dapat dibuat berdasarkan gejala-gejala klinis yang spesifik pada
pasien. Pengobatan pada pasien lepra meliputi terapi dengan satu obat atau dengan
kombinasi (Multi Drug Therapy).1
Oleh karena itu, mengingat kompleksnya masalah penyakit lepra, maka
diperlukan program pengendalian secara terpadu dan menyuluruh melalui strategi
yang sesuai dengan endemisitas penyakit lepra. Selain itu, perlu juga diperhatikan
rehabilitas medis dan rehabilitas sosial ekonomi untuk meningkatkan kualitas hidup
penderitanya.1

BAB II
ISI
2.1. DEFINISI
Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan gejalagejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan
nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874
sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen. Kusta yang juga disebut lepra
merupakan

penyakit

infeksi

granulomatous

kronik

yang

disebabkan

oleh

Mycobacterium leprae, terutama mengenai sistem saraf perifer, kulit, namun dapat
juga terjadi mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain
kecuali susunan saraf pusat 1,2
2.2 ETIOLOGI
Penyebab
Kuman penyebab lepra adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat obligat
intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil Gram positif
dengan ukuran 3 8 m x 0,5 m, bersifat tahan asam dan alkohol 2. Waktu
pembelahan Mycobacterium leprae sangat lama, yaitu 2-3 minggu, kuman ini dapat
bereproduksi optimal pada suhu 27C 30C secara in vivo, tumbuh dengan baik
pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer, hidung, cuping telinga,
anterior chamber of eye, saluran napas atas, kaki dan testis), dan tidak mengenai area
yang hangat (aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung.1

Gambar 2.1 Mycobacterium leprae

Sumber penularan

Manusia adalah satu-satunya sumber penularan.2


Cara penularan
Mycobacterium leprae mempunyai masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun, akan
tetapi dapat juga berlangsung hingga 40 tahun. Penularan dapat terjadi apabila M.
leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh pasien dan masuk ke dalam tubuh orang
lain. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama dengan
pasien, akan tetapi pasien yang sudah mengkonsumsi MDT tidak menjadi sumber
penularan.1,2
Cara masuk ke dalam pejamu
Cara masuk M. leprae adalah melalui saluran pernafasan bagian atas atau
melalui kontak kulit.1,2
Pejamu
Hanya sedikit orang yang terjangkit lepra setelah kontak dengan pasien lepra,
hal ini disebabkan oleh adanya kekebalan tubuh seluler. Faktor fisiologik seperti
pubertas, menopause, kehamilan serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat
meningkatkan perubahan klinis penyakit lepra.1
2.3. EPIDEMIOLOGI
Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan
perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau
keganasan Microbacterium leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu
faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah:1
- Usia: anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa
- Jenis kelamin: laki-laki lebih banyak dijangkiti
- Ras: bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti
- Kesadaran sosial: umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan
tingkat sosial ekonomi rendah
- Lingkungan: fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat.
Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun didapatkan 13 %,
tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada
kelompok umur antara 25-35 tahun. Kusta terdapat dimana-mana, tertama di Asia,

Afrika, Amerika latin, daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial
ekonominya rendah.1
Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbedabeda. Diantara 11 negara penyumbang penderita kusta di dunia, Indonesia menduduki
urutan ke 4. Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat di seluruh dunia, tampaknya
disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Di seluruh
dunia, dua hingga tiga juta orang diperkirakan menderita kusta. India adalah negara
dengan jumlah penderita terbesar, diikuti oleh Brasil dan Myanmar. Distribusi angka
penemuan kasus baru kusta di dunia yang terlapor di WHO, diketahui jumlah kasus
baru kusta pada tahun 2011 adalah sekitar 219.075 dengan jumlah terbanyak di Asia
Tenggara yaitu sebanyak 160.132 kasus.1
Kelompok berisiko
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah
endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air
yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain
seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua
kali lebih tinggi dari wanita.1
2.4 KLASIFIKASI DAN MANIFESTASI KLINIS
Menurut WHO, kusta dibagi menjadi 2 bentuk yaitu pausi basiler (indeterminate
dan tuberculoid) dan multi basiler (borderline dan lepromatous).
Tabel 2.1 Bagan Diagnosis Klinis menurut WHO2
Lesi kulit (makula yang

PB (Pausibasilar)
1-5 lesi

MB (Multibasilar)
>5 lesi

datar, papul yang

Hipopigmentasi/eritema

Distribusi lebih simetris

meninggi, infiltrate,

Distribusi tidak simetris

plak eritem, nocus)


Kerusakan saraf

Hilangnya sensasi yang

Hilangnya sensasi

(menyebabkan

jelas

kurang jelas

Hanya satu cabang saraf

Banyak cabang saraf

hilangnya
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena

BTA
Tipe

Negatif
Indeterminate (I),

Positif
Lepromatosa (LL),

Tuberkuloid (T),

Borderline lepromatous

Borderline tuberkuloid

(BL), Mid borderline

(BT)

(BB)

Berdasarkan klasifikasi Ridley and Jopling, penyakit kusta dibagi menjadi:3


a. Indeterminate leprosy (I): makula hipopigmentasi, terkadang makula eritema.
Kehilangan rasa sensoris belum ada. Sekitar 75% penderita mengalami
kesembuhan spontan, sedangkan pada yang lainnya akan tetap pada bentuk ini
sampai ketika imunitas menurun, maka akan berubah menjadi bentuk yang
lain.
b. Tuberculoid leprosy (TT): lesi kulit minimal. Biasanya hanya berupa satu plak
eritem dengan bagian tepi yang meninggi. Predileksi pada wajah, ekstremitas,
intertriginosa, dan kepala. Lesi kering, skuama, hipohidrotik, dan tanpa
rambut. Pada bentuk ini, lesi pada kulit sudah mengalami anestesi.
c. Bordeline tuberculoid leprosy (BT): lesi sama dengan tipe tuberculoid, namun
lesi lebih kecil dan banyak. Berupa makula anestesi atau plak yang disertai lesi
satelit di pinggirnya. Gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit dan skuama
tidak jelas. Saraf tidak terlalu membesar dan tidak terlalu menyebabkan
alopesia dibandingkan tipe tuberculoid. Bentuk ini biasanya bertahan/tetap,
namun dapat kembali pada tipe tuberkuloid atau progresif menuju bentuk
lepromatosa.
d. Borderline borderline leprosy (BB): tipe yang paling tidak stabil, disebut juga
dimorfik dan jarang dijumpai. Lesi kulit banyak, merah, berupa plak ireguler.
Lesi sangat bervariasi baik ukuran, bentuk, maupun distribusinya. Bisa
didapatkan lesi punched out yaitu hipopigmentasi yang oval pada bagian
tengah. Distribusi menyerupai bentuk lepromatosa, namun asimetris. Dapat
terjadi adenopati regional.
e. Borderline lepromatous leprosy(BL): lesi banyak dan terdiri atas makula,
papula, plak dan nodul. Terdapat lesi punched-out annular. Anestesi tidak
terjadi.
f. Lepromatous leprosy(LL): lesi awal berupa makula yang pucat. Makula kecil,
difus dan simetris. Anetesi tidak terjadi pada bentuk ini, saraf tidak menebal,
dan hidrotik. Hilangnya rangsang saraf lambat dan progresif.

Tabel 2.2 Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta PB2


Karakteristik

Tuberkuloid

Borderline

Indeterminate

(TT)

Tuberkuloid (BT)

(I)

Makula atau

Makula dibatasi

Hanya infiltrat

makula dibatasi

infiltrat; infiltrat

infiltrat
Satu atau

saja
Satu dengan lesi

Satu atau

Distribusi

beberapa
Terlokasi dan

satelit
Asimetris

beberapa
Bervariasi

Permukaan

asimetris
Kering,skuama

Kering, skuama

Halus agak

Jelas

Jelas

berkilat
Tidak ada sampai

Jelas

tidak jelas
Dapat jelas atau

Lesi
Bentuk

Jumlah

Anestesia
Batas

Jelas

tidak jelas
BTA
Pada lesi kulit
Tes Lepromin

Negatif
Positif kuat (3+)

Negatif, atau 1+
Positif lemah

Biasanya negatif
Dapat positif

lemah atau negatif


*Tes Lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat
diketahui setelah 3minggu
Tabel 2.3 Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta MB2
Karakteristik

Lepromatosa

Borderline

Mid-borderline

(LL)

Lepromatosa

(BB)

(BL)
Lesi
Bentuk

Makula, infiltrat

Makula, plak,

Plak, lesi bentuk

difus, papul,

papul

kubah, lesi punched

nodus
Banyak distribusi

Banyak tapi kulit

out
Beberapa, kulit

luas, praktis tidak

sehat masih ada

sehat (+)

Distribusi

ada kulit sehat


Simetris

Cenderung

Asimetris

Permukaan

Halus berkilat

simetris
Halus berkilat

Sedikit berkilap,

Jumlah

Tidak jelas
Tidak jelas

Tidak jelas
Agak jelas

beberapa lesi kering


Lebih jelas
Agak jelas

Banyak

Banyak

Agak banyak

kulit
Sekret

Banyak

Biasanya tidak

Tidak ada

hidung
Tes

Negatif

ada
Negatif

Biasanya negatif

Anestesia
Batas
BTA
Pada
lesi

Lepromin

TT

BT

LL

BL

BB

Gambar 2.2 Tipe Kusta

Gambar 2.3 Foto Manifestasi Tuberculoid Lepra di Punggung

Gambar 2.4 Foto Manifestasi Tuberculoid Lepra di Wajah


2.5. PATOGENESIS

M. leprae berpredileksi di daerah-daerah tubuh yang relatif lebih dingin.


Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan derajat penyakit disebabkan oleh respon
imun yang berbeda yang menyebabkan timbulnya reaksi granuloma setempat atau
menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta
dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan
tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya. Meskipun cara masuk M.
leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah
memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian
tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh, M. leprae terhadap
kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae pada
suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang
avirulens dan nontoksis.3
Masuknya M. leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen
Presenting Cell) dan melalui dua sinyal yaitu sinyal pertama dan sinyal kedua. Sinyal
pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang
dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan sinyal kedua
adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator
APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua sinyal ini
akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2.
Adanya TNF dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1.3
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN yang akan meningkatkan fagositosis
makrofag (fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M. leprae akan berikatan
dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan
difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu
CD8+. Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari
penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat
menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan
growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag
akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan
membesar, sekarang makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel
epitelioid ini akan membentuk granuloma.3
Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari
eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4 akan mengaktifasi sel

B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel
mast.3
Sinyal I tanpa adanya sinyal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan
tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada
Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan
dengan Th2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi
dibandingkan dengan Th1.3
2.6. DIAGNOSIS
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan
histopatologis, dan serologis. Diantara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang
terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling
sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik 10-14 hari. Kalau memungkinkan
dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang
hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu. Kelainan kulit pada penyakit kusta
tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat, saja atau keduanya.
Secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak membantu
penentuan diagnosis, meskipun tidak terlalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan
dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba, dan dapat
juga dengan rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan tabung reaksi. Perhatikan pula
ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat dipertegas dengan menggunakan
pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit
normal. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi.2,4
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi,
dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa,
yaitu N. fasialis, N. aurikuralis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N.
poplitea lateralis, dan N. tibialis posterior. Untuk tipe lepramatosa kelainan saraf
biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang untuk tipe tuberkuloid kelainan sarafnya
lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.2,4
Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam
deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh
granuloma yang terbentuk sebgai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan
merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulangtulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf,

umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.


Gejala-gejala kerusakan saraf:2,4
1. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis,
clawing kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan otot interoseus serta
kedua otot lumbrikalis medial.
2. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan
jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah, ibu jari kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
3. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk,
tangan gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan
tangan.
4. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis,
kaki gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.
5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik
kaki dan kolaps arkus pedis.
6. N. fasialis: lagoftalmus (cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal, mandibular dan
servikal).
7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.
Pemeriksaan Fungsi Saraf 5
a. Tes sensorik
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
- Rasa raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya, disinggungkan ke kulit
pasien. Kapas disinggungkan ke kulit yang lesi dan yang sehat,
kemudian pasien disuruh menunjuk kulit yang disinggung dengan
mata terbuka. Jika hal ini telah dimengerti, tes kembali dilakukan
-

dengan mata pasien tertutup.5


Rasa tajam
Menggunakan jarum yang disentuhkan ke kulit pasien. Setelah
disentuhkan bagian tajamnya, lalu disentuhkan bagian tumpulnya,
kemudia pasien diminta menentukan tajam atau tumpul. Tes

dilakukan seperti pemeriksaan rasa raba.5


Suhu
Menggunakan dua buah tabung reaksi yang berisi air panas dan air
dingin. Tabung reaksi disentuhkan ke kulit yang lesi dan sehat

secara acak, dan pasien diminta menentukan panas atau dingin.5


b. Tes Otonom

Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada


penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes
anhidrosis, yaitu:5
1. Tes keringat dengan tinta ( tes Gunawan)
2. Tes Pilokarpin
3. Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus,
n.radialis, dan n. peroneus
2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG2,4
1. Pemeriksaaan bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat.
Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai
dengan pewarnaan Ziehl Neelson. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita,
bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil M. leprae. Pertama tama harus
ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu
menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan
untuk rutin sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah
dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling
infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di
tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae.2
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri (I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0
bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP
5+ Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP
6+ Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah
solid dan non solid.
IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak
perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000
sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.2

2. Pemeriksaan histopatologi
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS nya tinggi,
makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman
disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau
datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah
bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat
berubah menjadi sel datia Langhans.2,3
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita
dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang
sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai
sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut
penyebarluasan.2,3
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf
yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa
terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah
langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel
virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur unsur
tersebut.2,3
3. Pemeriksaan serologik
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.
leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu
antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta
35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi antilipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.2,3
Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta yang
meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.Pemeriksaan serologik
adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme
Linked Immuno-Sorbent Assay) dan ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick).2,3
4. Tes lepromin

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi
tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita
terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme,
disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi Fernandez)
atau 3 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi
dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. leprae, yaitu
respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberkolosis.3
2.8 DIAGNOSIS BANDING
Pitiriasis vesikolor2
Disebabkan Malassezia furfur Robin adalah penyakit jamur superfisial yang
kronik, biasanya tidak memberikan keluhan subyektif, berupa bercak berskuama halus
yang berwarna putih sampai coklat hitam, terutama meliputi badan dan kadangkadang dapat menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka dan kulit
kepala yang berambut. Kelainan kulit pitiriasis versikolor sangat superfisialis dan
ditemukan terutama di badan. Kelainan ini terlihat sebagai bercak-bercak berwarnawarni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus. Bercak-bercak
tersebut berfluoresensi bila dilihat dengan lampu Wood. Bentuk papulo-vesikuler
dapat terlihat walaupun jarang. Kelainan biasanya asimtomatik sehingga ada kalanya
penderita tidak mengetahui bahwa ia berpenyakit tersebut. Kadang-kadang penderita
dapat merasakan gatal ringan, yang merupakan alasan berobat.2
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi infeksi, yaitu faktor herediter,
penderita yang sakit kronik atau yang mendapatkan pengobatan steroid dan
malnutrisi.2
Diagnosis ditegakkan atas dasar gambaran klinis, pemeriksaan fluoresensi, lesi
kulit dengan lampu Wood dan sediaan langsung. Pada pemeriksaan lampu Wood,
berwarna kuning keemasan dan pada sediaan langsung kerokan kulit dengan larutan
KOH 20% terlihat campuran hifa pendek dan spora-spora bulat yang dapat
berkelompok.2
Obat-obatan yang dapat dipakai untuk penyakit ini misalnya suspensi selenium
sulfide (selsun), salisil spiritus 10%, derivat-derivat azol seperti mikonazol,
klotrimazol, isokonazol dan ekonazol, selain itu juga dapat menggunakansulfur
presipitatum dalam bedak kocok 4-20%, tolsiklat, tolnaftat, dan haloprogin.2

Vitiligo2
Vitiligo adalah hipomelanosis idiopatik didapat yang ditandai dengan adanya
makula putih yang dapat meluas. Penyebab pastinya belum diketahui akan tetapi
berbagai faktor pencetus seperti krisis emosi dan trauma fisik sering dilaporkan.
Vitiligo dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung melanosit, misalnya
rambut dan mata.2
Gejala klinisnya berupa makula berwarna putih dengan diameter beberapa
milimeter sampai beberapa sentimeter, bulat atau lonjong dengan batas tegas, tanpa
perubahan epidermis yang lain. Kadang-kadang terlihat makula hipomelanotik selain
makula apigmentasi. Di dalam makula vitiligo dapat ditemukan makula dengan
pigmentasi normal atau hiperpigmentasi disebut repigmentasi perifolikular. Kadangkadnag ditemukan tepi lesi yang meninggi, eritema dan gatal, disebut inflamator.2
Daerah yang sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama di atas
jari, periorifisial sekitar mata, mulut dan hidung, tibialis anterior, dan pergelangan
tangan bagian fleksor. Lesi bilateral dapat simetris atau asimetris. Pada area yang
terkena trauma dapat timnul vitiligo. Mukosa jarang terkena, kadang-kadang
mengenai genital eksterna, puting susu, bibir dan ginggiva.2
Diagnosis vitiligo didasarkan atas anamnesis (riwayat timbulnya lesi dan uban
yang timbul dini di keluarga, riwayat penyakit kelainan tiroid, alopesia areata,
diabetes melitus, dan anemia pernisiosa, kemungkinan faktor pencetus, dan riwayat
inflamasi, iritasi atau ruam kulit sebelum bercak putih), gambaran klinis, pemeriksaan
histopatologi dengan hematoksilin eosin (HE) dan dengan pemeriksaan biokimia.2
Penderita vitiligo dianjurkan untuk menggunakan kamuflase agar kelainan
tersebut tertutup dengan cover mask. Pengobatan sistemik adalah dengan
trimetilpsoralen atau metoksi-psoralen dengan gabungan sinar matahari atau sumber
sinar yang mengandung ultraviolet gelombang panjang (ultraviolet A).2
2.9 PENATALAKSANAAN2,5
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan
insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya
penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yg dilakukan didasarkan atas
deteksi dini dan pengobatan penderita.2
Pengobatan kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT)
dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS, direkomendasikan oleh WHO

sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah: mengatasi resistensi dapson yang
semakin meningkat, menurunkan angka putus obat (drop-out rate) dan ketidaktaatan
penderita.2,5
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS,
klofazimin dan rifampicin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotik
lain untuk pengobatan alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin.2,5
DDS (Dapsone)
Merupakan singkatan dari Diamino Diphenyl Sulfon. Dapson bersifat
bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Dapson bekerja
sebagai anti metabolit PABA. Indeks morfologi kuman penderita LL yang diobati
dengan Dapson biasanya menjadi nol setelah 5 sampai 6 bulan.2
Dosis: dosis tunggal yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat badan
untuk anak-anak.2
Efek samping: erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia,
nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Efek samping tersebut
jarang dijumpai pada dosis lazim.2
Rifampisin
Rifampisin merupakan bakterisidal kuat pada dosis lazim dan merupakan obat
paling ampuh untuk kusta saat ini. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase
RNA yang berikatan secara irreversibel. Namun obat ini harganya mahal dan telah
dilaporkan adanya resistensi.2
Dosis: dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgBB) mampu membunuh kuman
kira-kira 99.9% dalam waktu beberapa hari.5
Efek samping: hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan erupsi kulit.5
Klofazimin
Obat ini bersifat bakteriostatik setara dengan dapson. Diduga bekerja melalui
gangguan metabolisme radikal oksigen. Obat ini juga mempunyai efek anti inflamasi
sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta.2
Dosis: 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1
mg/kgBB/hari. Selain itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk
mengurangi reaksi tipe I dan II.5
Efek samping: hanya terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan gastrointestinal (nyeri
abdomen, diare, anoreksia dan vomitus).5

Obat alternatif
Ofloksasin
Merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap M. leprae in
vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22
dosis akan membunuh kuman M. leprae hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya
adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan susunan
saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi.2
Minoksiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi
daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar harian
adalah 100 mg. Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadangkadang menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simtom
saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness.2
Klaritromisin
Merupakan

kelompok

antibiotik

makrolid

dan

mempunyai

aktivitas

bakterisidal terhadap M. leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta
lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari
dan lebih dari 99% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan
diare.2
Penatalaksanaan kusta menggunakan Multi Drug Therapy (MDT) menurut
WHO tahun 1998 adalah sebagai berikut:6
Skema Regimen MDT WHO
Tabel 2.4 Obat dan dosis regimen MDT-PB6
OBAT
Rifampisin
Dapson swakelola

DEWASA
BB<35 kg
BB>35 kg
450 mg/bln (diawasi)
600 mg/bln (diawasi)
50mg/hari(1-2mg/kgBB/hari)

100 mg/hari

Tabel 2.5 Obat dan dosis regimen MDT-MB6


OBAT

DEWASA

Rifampisin

BB<35 kg
450 mg/bln (diawasi)

Klofazimin

300 mg/bln diawasi dan


diteruskan 50 mg/hari

BB>35 kg
600 mg/bln (diawasi)

Dapson swakelola

swakelola

100 mg/hari

50mg/hari(1-2mg/kgBB/hari)
Tabel 2.6 Obat dan dosis regimen MDT WHO untuk anak6
OBAT

< 10 tahun

PB
10 th 14 th

MB
< 10 th

10 th -14 th
450 mg/bln

Rifampisin

BB < 50kg
300 mg/bln

450 mg/bln

BB < 50 kg
300 mg/bln

Klofazimin

100 mg/bln

150 mg/bln

dilanjutkan 50 mg,

dilanjutkan 50

2x/mgg

mg/hr

25 mg/hr

50 mg/hr

25 mg/hr

50 mg/hr

Obat morbus hansen dari WHO

Lamanya pengobatan morbus hansen tipe PB adalah 6 dosis diselesaikan dalam 6-

9 bulan.
Pengobatan morbus hansen tipe MB adalah sudah sebesar 24 dosis diselesaikan

dalam waktu maksimal 36 bulan.


Minimum 6 bulan untuk PB dan minimum 24 bulan untuk MB maka dinyatakan

RFT (Release From Treatment).


WHO Expert Committee:2,5
o MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus
PB dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan.
o Bagi kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah Rifampisin 600 mg
ditambah dengan Ofloksasin 400 mg dan Minosiklin 100 mg (ROM) dosis
tunggal.

Penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula


dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Untuk itu pengobatannya
dengan klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg setiap hari
selama 6 bulan, diteruskan klofazimin 50 mg ditambah ofkloksasin 400 mg atau

minosiklin 100 mg setiap hari selama 18 bulan.2


Bagi penderita MB yang menolak klofazimin, diberikan rifampisin 600 mg
ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap

bulan selama 24 bulan.2


Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT).
Setelah RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan
bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Bila bakterioskopis tetap
negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari
pengamatan atau disebut Release From Control (RFC).2

Reaksi kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik.1 Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi
kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibody (humoral response). Reaksi
ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah
pengobatan. Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan
tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS),
sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral. 3
a. Reaksi tipe I
Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity
reaction yang disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal
upgrading) seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal
dari kuman yang telah mati (breaking down leprosy bacilli) akan bereaksi
dengan limfosit T disertai perubahan sistem imun selular yang cepat. Jadi pada
dasarnya reaksi tipe I terjadi akibat perubahan keseimbangan antara imunitas
dan basil. Dengan demikian, sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi
upgrading/reversal. Pada kenyataannya reaksi tipe I ini diartikan dengan
reaksi reversal oleh karena paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus
yang mendapatkan pengobatan, sedangkan down grading reaction lebih jarang
dijumpai oleh karena berjalan lebih lambat dan umumnya dijumpai pada
kasus-kasus yang tidak mendapat pengobatan.

Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua bentuk
kusta yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi daripada
bentuk yang lain sehingga disebut reaksi borderline.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi
yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang
relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema
menjadi lebih eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin
infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah lesi luas. Tidak perlu seluruh gejala
harus ada, satu saja sudah cukup.3
b. Reaksi tipe II
Reaksi tipe II disebabkan oleh hipersensitivitas humoral , yaitu reaksi
hipersnsitivitas tipe III karena adanya reaksi kompleks antigen-antibodi yang
melibatkan komplemen. Terjadi lebih banyak pada tipe lepromatous juga
tampak pada BL. Reaksi tipe II sering disebut sebagai Erithema Nodosum
Leprosum (ENL) dengan gambaran lesi lebih eritematus, mengkilap, tampak
nodul atau plakat, ukuran bernacam-macam, pada umunnya kecil, terdistribusi
bilateral dan simetris, terutama di daerah tungkai bawah, wajah, lengan, dan
paha, serta dapat pula muncul di hampir seluruh bagian tubuh kecuali daerah
kepala yang berambut, aksila, lipatan paha, dan daerah perineum. Selain itu
didapatkan nyeri, pustulasi dan ulserasi, juga disertai gejala sistematik seperti
demam dan malaise. Perlu juga memperhatikan keterlibatan organ lain seperti
saraf, mata, ginjal, sendi, testis, dan limfe.3
Tabel 2.7 Perbedaan Reaksi Kusta Tipe 1 dan Tipe 2 3
No.
Gejala/tanda
1
Kondisi umum
2

Tipe I (reversal)
Baik atau demam ringan

Tipe II (ENL)
Buruk, disertai malaise

Peradangan di

Bercak kulit lama menjadi

dan febris
Timbul nodul kemerahan,

kulit

lebih meradang (merah),

lunak, dan nyeri tekan.

dapat timbul bercak baru

Biasanya pada lengan dan


tungkai. Nodul dapat

Waktu terjadi

Awal pengobatan MDT

pecah (ulserasi)
Setelah pengobatan yang
lama, umumnya lebih dari

4
5

Tipe kusta
Saraf

6 bulan
MB
Dapat terjadi

PB atau MB
Sering terjadi
Umumnya berupa nyeri
tekan saraf dan atau

Keterkaitan

organ lain
Faktor pencetus

gangguan fungsi saraf


Hampr tidak ada

Terjadi pada mata, KGB,


sendi, ginjal, testis, dll
Emosi
Kelelahan dan
stress fisik lainnya
kehamilan

Melahirkan
Obat-obat yang
meningkatkan
kekebalan tubuh

Tabel 2.8 Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2 3
No Gejala/tanda
1.

Kulit

Tipe I
Ringan
Bercak :

Berat
Bercak :

Tipe II
Ringan
Nodul :

merah,

merah,

merah,panas,nyeri panas, nyeri yang

tebal,

tebal,

Berat
Nodul : merah,
bertambah parah

panas, nyeri panas,

sampai pecah

nyeri
yang
bertambah
parah
sampai
2

Saraf tepi

Nyeri pada

pecah
Nyeri

Nyeri pada

Nyeri pada perabaan

perbaan (-)

pada

perabaan (-)

(+)

perabaan
3

Keadaan

umum
Keterlibatan
organ lain

Demam (-)

(+)
Demam

Demam (+)

Demam (+)

(+)
-

+
Terjadi peradangan
pada :
mata :
iridocyclitis
testis :
epididimoorchiti
s

ginjal : nefritis
kelenjar limpa :
limfadenitis
gangguan pada
tulang, hidung,
dan tenggorokan
*bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan
sebagai reaksi berat
Fenomena Lucio2
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada
kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat
difus, bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di
ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih
eritematous disertai purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta
ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut.2
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan
nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh
darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun
tidak ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi
tampak deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah.2
Pengobatan ENL2
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, antara lain
prednisone. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya 15-30 mg/hari
dan dosisnya diturunkan bertahap.2
Klofazimin juga dapat dipakai sebagai anti ENL, tetapi dengan dosis yang
lebih tinggi. Dosisnya antara 200-300mg/hari. Khasiatnya lebih lambat daripada
kortikosteroid dan dapat dipakai untuk melepaskan ketergantungan kortikosteroid.2
Pengobatan Reaksi Reversal2
Bila reaksi ini tidak disertai neuritis akut, maka tidak perlu diberi obat
tambahan. Bila ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang
dosisnya disesuaikan dengan berat ringannya neuritis. Biasanya diberikan prednisone
40-60 mg/hari yang dosisnya diturunkan secara bertahap. Anggota gerak yang terkena
neuritis akut harus diistirahatkan. Analgesik dan sedatif kalau diperlukan dapat
diberikan.2

Pada pasien ini diberikan terapi morbus hansen sesuai dengan regimen MDTMB dari WHO dan diberikan kortikosteroid oral untuk mengatasi reaksi ENL yang
terdapat pada pasien ini. Pada pasien ini juga diberikan antihistamin. Antihistamin
yang dipilih disini adalah antihistamin golongan sedatif misalnya Klorfeniramin
maleat 2 x 4 mg. Obat ini dipilih karena murah serta mudah didapat, namun dapat
menyebabkan kantuk karena memiliki efek sedatif.2
2.10 KOMPLIKASI
Komplikasi pada kusta, berlawanan dengan luka akibat dari respon imun
terhadap kuman, berasal dari kerusakan saraf tepi atau dari insufisiensi vena. Sekitar
seperempat atau sepertiga dari pasien yang didiagnosa dengan kusta memiliki, atau
akan nanti, memiliki penyakit kronis merupakan akibat dari kerusakan saraf yang
ireversibel, biasanya pada tangan atau kaki, atau juga keterlibatan pada mata.
Hancurnya septum nasi pada tipe LL adalah akibat pembentukan jaringan sikatriks
yang mengganti tulang dan kartilago.7
Disabilitas okular
Keratitis bisa muncul akibat dari berbagai faktor termasuk mata kering,
insensitivitas kornea, dan lagoftalmus. Keratitis dan lesi pada bilik mata depan, dapat
menyebabkan kebutaan.7
Ekstremitas
Kelemahan akibat rusaknya persarafan pada otot adalah bukti yang nyata pada
disabilitas yang terjadi. Pada kulit, hilangnya sensitifitas nyata terjadi. Ketika benda
tajam atau temperatur tinggi tidak bisa diintepretasikan, maka dapat terjadi luka yang
menyebabkan infeksi. Hal ini terjadi berulang dan dberakibat destruksi berat pada
jaringan-jaringan tubuh.7
Insufisiensi vena
Akibat keterlibatan endoteliat dari katup vena dalam, yang dapat
menyebabkan dermatitis stasis dan ulkus pada tungkai.7
2.11 PENCEGAHAN CACAT2
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT
mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita
dengan reaksi kusta, terutama reaksi reversal, lesi kulit multipel dan dengan saraf
yang membesar atau nyeri juga memiliki resiko tersebut.2

Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan


berkurangnya kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula menyadari adanya
perubahan sensibilitas atau kekuatan otot. Keluhan berbentuk nyeri saraf atau luka
yang tidak sakit, lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang kehilangan
sensibilitasnya saja. Juga ditemukan keluhan sukarnya melakukan aktivitas seharihari, misalnya memasang kancing baju, memegang pulpen atau mengambil benda
kecil, atau kesukaran berjalan. Keluhan tersebut harus diperiksa dengan teliti dengan
anamnesis yang baik tentang bentuk dan lamanya keluhan, sebab pengobatan dini
dapat mengobati, sekurangnya mencegah kerusakan berlanjut.2
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities
(POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan
MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi
kusta yang disertai gangguan syaraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid
sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk
sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena,
memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas, dan
memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara
perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar,
luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar
tidak kering dan pecah.2
WHO Expert Committee on Leprosy membuat klasifikasi cacat pada tangan,
kaki dan mata bagi penderita kusta. Berikut adalah klasifikasi cacat pada penderita
kusta:2
Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas
yang terlihat.
Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat.
Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas.
Cacat pada mata
Tingkat 0 : tidak ada kelainan atau kerusakan pada mata (termasuk visus).
Tingkat 1 : ada kelainan atau kerusakan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit
berkurang.

Tingkat 2

: ada kelainan mata yang terlihat (misalnya lagoftalmos, iritis, kekeruhan


kornea) dan atau visus sangat terganggu.

Rehabilitasi2
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara
lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali
ke asal, tetapi fungsinya secara kosmetik dapat diperbaiki.2
Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang
sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa
percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).2
2.11 PROGNOSIS
Prognosis pada pasien ini, Quo ad vitam adalah ad bonam karena MH tidak
mengancam nyawa walaupun bersifat kronik dan membutuhkan pengobatan jangka
panjang. Quo ad fungsionam adalah dubia ad bonam karena MH juga tidak
mengakibatkan gangguan fungsi organ-organ tubuh pada pasien ini, walaupun dapat
menyebabkan deformitas pada beberapa kasus yang terlambat mendapatkan
pengobatan. Quo ad sanationam pada pasien ini adalah dubia ad bonam karena pasien
memiliki pendidikan yang cukup dan mampu memahami pentingnya pengobatan
jangka panjang terhadap penyakitnya. 5

BAB III
KESIMPULAN
Kusta adalah penyakit kronis yang sebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae
yang bersifat intraseluler obligat dan menyerang kulit, saraf tepi. Manifestasi klinis
dari penyakit ini sangat bervariasi dengan spektrum yang berada diantara dua bentuk
klinis dari lepra yaitu bentuk lepromatosa dan tuberkuloid.
Diagnosa pada kusta didasarkan pada diagnostik secara klinis dimana terdapat
tiga tanda kardinal yang khas yaitu lesi kulit yang mati rasa (hipopigmentasi atau
eritema yang mati rasa atau anestesi), penebalan saraf perifer dan ditemukan M.
leprae (bakteriologis positif). Pemeriksaan penunjang dengan pemeriksaan BTA dan
menentukan indeks bakteri membantu membedakan jenis kusta yang diderita.
Pengobatan lepra disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT),
yang direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah
mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus obat
(drop-out rate) dan ketidaktaatan penderita. Komplikasi utama yang ditakutkan adalah
kecacatan bagian tubuh akibat hilangnya sensitifitas terutama pada kulit. Prognosis
penyakit ini dengan adanya obat-obat kombinasi, menjadi lebih baik, dan
pengobatannya menjadi lebih sederhana.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman nasional program pengendalian penyakit
kusta. Jakarta: Bakti Husada; 2012.
2. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe Dili, Sri Linuwih Menaldi.
Kusta. Dalam: Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.h. 73-88.
3.

Lewis

S.

Leprosy.

Update

Februari

2010.

Diunduh

dari:

http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall, 31 Mei
2015.
4. Siregar. Saripati penyakit kulit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2003.h. 124-6.
5. Pramesemara. Pelaksanaan kusta di Indonesia. Update 2009. Diunduh dari:
http://pramareola14.wordpress.com/2009/12/09/penatalaksanaan-kusta-diindonesia, 31 Mei 2015.
6. World Health Organization. WHO model prescribing information: drug used
in

leprosy.

Diunduh

dari:

http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html, 31 Mei 2015.


7. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Fritzpatricks Dermatology in General
Medicine. 7th Edition. Mc Graw Hill; 2008.h. 1787-96.

Das könnte Ihnen auch gefallen