Sie sind auf Seite 1von 210

ii

vi

viii

xii

2. Cara Penularan TB.


a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak yang
dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil pemeriksaan
BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi
oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji dari 5.000 kuman/cc
dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung.
b. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan menularkan
penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA
negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil
kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.
c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percik renik
dahak yang infeksius tersebut.
d. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar
3000 percikan dahak.
3. Perjalanan Alamiah TB Pada Manusia.
Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah penyakit. Tahapan tersebut meliputi tahap
paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Perjalanan alamiah TB
a. Paparan
Peluang
peningkatan
paparan
terkait dengan:

Jumlah kasus menular di masyarakat


Peluang kontak dengan kasus menular
Tingkat daya tular dahak sumber penularan
Intensitas batuk sumber penularan
Kedekatan kontak dengan sumber penularan
Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan
Faktor lingkungan: konsentrasi kuman diudara (ventilasi, sinar ultra
violet, penyaringan adalah faktor yang dapat menurunkan
konsentrasi)
Catatan: Paparan kepada pasien TB menular merupakan syarat untuk terinfeksi. Setelah
terinfeksi, ada beberapa faktor yang menentukan seseorang akan terinfeksi saja,
menjadi sakit dan kemungkinan meninggal dunia karena TB.
b. Infeksi
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6 14 minggu setelah infeksi
Reaksi immunologi (lokal)
Kuman TB memasuki alveoli dan ditangkap oleh makrofag dan kemudian berlangsung
reaksi antigen antibody.
Reaksi immunologi (umum)
Delayed hypersensitivity (hasil Tuberkulin tes menjadi positif)

Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam lesi tersebut
(dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali.
Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum
penyembuhan lesi

BAB I
PENDAHULUAN

3 3

c. Sakit TB
Faktor risiko
untuk menjadi
sakit TB adalah
tergantung dari :

Konsentrasi / jumlah kuman yang terhirup


Lamanya waktu sejak terinfeksi
Usia seseorang yang terinfeksi
Tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang dengan daya
tahan tubuh yang rendah diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan berkembangnya TB
aktif (sakit TB). Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan
TB di masyarakat akan meningkat pula.
Catatan: Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Namun bila
seorang dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB melalui proses reaktifasi. TB
umumnya terjadi pada paru (TB Paru). Namun, penyebaran melalui aliran darah atau
getah bening dapat menyebabkan terjadinya TB diluar organ paru (TB Ekstra Paru).
Apabila penyebaran secara masif melalui aliran darah dapat menyebabkan semua organ
tubuh terkena (TB milier).
d. Meninggal dunia
Faktor risiko
Akibat dari keterlambatan diagnosis
kematian karena
Pengobatan tidak adekuat
TB:
Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit
penyerta
Catatan: Pasien TB tanpa pengobatan, 50% akan meninggal dan risiko ini meningkat
pada pasien dengan HIV positif.

C. Upaya Pengendalian TB
Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD
mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu:
1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.
2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien.
4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.
5) Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam pengendalian TB
sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi
kesehatan yang secara ekonomis sangat efektif (cost-effective). Integrasi ke dalam
pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi
cost benefit yang dilakukan di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan
strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program pengendalian TB,
akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun.
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada
pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dan dengan
demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien
merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.

BAB I
PENDAHULUAN

Dengan semakin berkembangnya tantangan yang dihadapi program dibanyak negara. Pada
tahun 2005 strategi DOTS di atas oleh Global stop TB partnership strategi DOTS tersebut
diperluas menjadi Strategi Stop TB, yaitu:
1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS
2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya
3. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan
4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
5. Memberdayakan pasien dan masyarakat
6. Melaksanakan dan mengembangkan penelitian
Pada tahun 2013 muncul usulan dari beberapa negara anggota WHO yang mengusulkan
adanya strategi baru untuk mengendalikan TB yang mampu menahan laju infeksi baru,
mencegah kematian akibat TB, mengurangi dampak ekonomi akibat TB dan mampu
meletakkan landasan ke arah eliminasi TB.
Eliminasi TB akan tercapai bila angka insidensi TB berhasil diturunkan mencapai 1 kasus
TB per 1 juta penduduk, sedangkan kondisi yang memungkinkan pencapaian eliminasi TB
(pra eliminasi) adalah bila angka insidensi mampu dikurangi menjadi 10 per 100.000
penduduk. Dengan angka insidensi global tahun 2012 mencapai 122 per 100.000 penduduk
dan penurunan angka insidensi sebesar 1-2% setahun maka TB akan memasuki kondisi pra
eliminasi pada tahun 2160. Untuk itu perlu ditetapkan strategi baru yang lebih komprehensif
bagi pengendalian TB secara global.
Pada sidang WHA ke 67 tahun 2014 ditetapkan resolusi mengenai strategi pengendalian TB
global pasca 2015 yang bertujuan untuk menghentikan epidemi global TB pada tahun 2035
yang ditandai dengan:
1. Penurunan angka kematian akibat TB sebesar 95% dari angka tahun 2015.
2. Penurunan angka insidensi TB sebesar 90% (menjadi 10/100.000 penduduk)
Strategi tersebut dituangkan dalam 3 pilar strategi utama dan komponen-komponenya yaitu:
1. Integrasi layanan TB berpusat pada pasien dan upaya pencegahan TB
a. Diagnosis TB sedini mungkin, termasuk uji kepekaan OAT bagi semua dan penapisan TB
secara sistematis bagi kontak dan kelompok populasi beresiko tinggi.
b. Pengobatan untuk semua pasien TB, termasuk untuk penderita resistan obat dengan
disertai dukungan yang berpusat pada kebutuhan pasien (patient-centred support)
c. Kegiatan kolaborasi TB/HIV dan tata laksana komorbid TB yang lain.
d. Upaya pemberian pengobatan pencegahan pada kelompok rentan dan beresiko tinggi
serta pemberian vaksinasi untuk mencegah TB.
2. Kebijakan dan sistem pendukung yang berani dan jelas.
a. Komitmen politis yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan layanan dan pencegahan
TB.
b. Keterlibatan aktif masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan pemberi layanan
kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
c. Penerapan layanan kesehatan semesta (universal health coverage) dan kerangka
kebijakan lain yang mendukung pengendalian TB seperti wajib lapor, registrasi vital, tata
kelola dan penggunaan obat rasional serta pengendalian infeksi.
d. Jaminan sosial, pengentasan kemiskinan dan kegiatan lain untuk mengurangi dampak
determinan sosial terhadap TB.
3. Intensifikasi riset dan inovasi
a. Penemuan, pengembangan dan penerapan secara cepat alat, metode intervensi dan
strategi baru pengendalian TB.
b. Pengembangan riset untuk optimalisasi pelaksanaan kegiatan dan merangsang inovasiinovasi baru untuk mempercepat pengembangan program pengendalian TB.

BAB I

PENDAHULUAN

5 5

sistem informasi TB elektronik, AKMS (Advokasi, Komnikasi dan Mobilisasi Sosial),


manajemen logistik.

3. OAT

Pemenuhan kebutuhan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) merupakan tanggung jawab


pemerintah pusat. Kendala yang masih harus dihadapi adalah masih belum optimalnya
sistem manajemen mulai dari perencanaan, pengadaan, distribusi sampai kepada
dispensing obat kepada pasien dan pencatatan pelaporan. Kemampuan SDM dan sistem
manajemen OAT ditingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota harus ditingkatkan secara
terus menerus agar tidak terjadi kekurangan cadangan obat.

4. Pembiayaan

Dalam era desentralisasi, pembiayaan program kesehatan termasuk pengendalian TB


sangat bergantung pada alokasi dari pemerintah pusat dan daerah. Alokasi APBD untuk
pengendalian TB secara umum rendah dikarenakan masih tingginya ketergantungan
terhadap pendanaan dari donor internasional dan banyaknya masalah kesehatan
masyarakat lainnya yang juga perlu didanai. Rendahnya komitmen politis untuk
pengendalian TB merupakan ancaman bagi kesinambungan program pengendalian TB.
Program pengendalian TB nasional semakin perlu penguatan kapasitas untuk melakukan
advokasi dalam meningkatkan pembiayaan dari pusat maupun daerah baik untuk
pembiayaan program maupun biaya operasional lainnya sesuai kebutuhan daerah. Saat
ini struktur pembiayaan yang tersedia lebih banyak terpusat kepada aspek kuratif
sedangkan pembiayaan untuk aspek promotif, preventif dan rehabilitatif masih sangat
kecil. Tantangan baru seberti TB resisten obat, epidemi ganda TB-HIV dan TB-DM juga
memerlukan dukungan pendanaan yang lebih besar.

5. Kepatuhan Penyedia Pelayanan Kesehatan Pemerintah dan Swasta Terhadap

Pedoman Nasional Pengendalian TB.


Banyak kemajuan telah dicapai dalam perluasan program pengendalian TB nasional,
namun penatalaksanaan TB di sebagian besar rumah sakit dan praktik swasta belum
sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan program. Pengalaman yang diambil
dari upaya menerapkan standar pelayanan berdasar International Standards for
Tuberculosis Care (ISTC) masih menemui banyak kendala antara lain karena tidak
adanya kerangka aturan yang menjadi payung hukumnya. Untuk itu perlu dilakukan
upaya untuk mentransformasikan setandar pelayanan seperti ISTC kedalam bentuk
aturan yang memiliki payung hukum yang kuat yaitu menjadi suatu Pedoman Nasional
Praktek Kedokteran Tatalaksana TB (PNPK-TB). PNPK TB akan menjadi acuan
penyusunan panduan praktek klinis (PPK), standar pelayanan dan clinical pathway di
faskes baik FKTP maupun FKRTL.Upaya lain untuk meningkatkan kepatuhan penyedia
layanan terhadap pedoman nasional adalah dengan mengembangkan sistem akreditasi
dan sertifikasi yang memasukkan layanan TB yang berkualitas. Dengan dua upaya
tersebut diharapkan mampu menjamin kepatuhan penyedia layanan sehingga pasien
tidak akan dirugikan oleh layanan yang tidak sesuai standar.

Selain tantangan yang bersifat internal maka program pengendalian TB juga menghadapi
kendala di luar program yang apabila tidak ditanggulangi secara bersamaan akan
mengakibatkan pencapaian program akan terhambat. Tantangan tersebut antara lain:

BAB II
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA

1. Sistem Jaminan Kesehatan


Belum meratanya akses terhadap layanan yang bermutu karena kendala finansial.
Sehingga tanpa tersedianya suatu jaminan kesehatan yang bisa mencakup seluruh
warga negara akan mengakibatkan capaian semua program kesehatan termasuk TB
menjadi tidak optimal.
2. Pertumbuhan ekonomi tanpa disparitas.
Disparitas pembangunan dan hasil-hasilnya akan mengakibatkan tingginya beban
permasalahan determinan sosial seperti sandang, pangan, papan, pendidikan,
pekerjaan. Hal tersebut akan meningkatkan kerentanan bagi populasi yang tidak
memperoleh manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan oleh mudahnya
penularan TB. Beban TB yang tinggi akan mengakibatkan beban sosial yang besar yang
akan mengancam tercapainya target pemerataan pembangunan.
3. Meningkatnya kerentanan terhadap TB akibat masalah kesehatan lain.
Beberapa masalah kesehatan akan memberi dampak negatif terhadap capaian program
TB di Indonesia seperti: meningkatnya laju epidemi HIV, besarnya populasi merokok,
angka prevalensi diabetes yang tinggi, permasalahan gizi buruk/ malnutrisi. Selain itu
beban TB yang tinggi juga menjadi penghambat tercapainya target kesehatan seperti
penurunan angka kematian ibu/ wanita hamil dan anak.
C. Kebijakan Pengendalian TB di Indonesia.
1. Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi dalam
kerangka otonomi dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program, yang
meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin
ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).
2. Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS sebagai kerangka
dasar dan memperhatikan strategi global untuk mengendalikan TB (Global Stop TB
Strategy).
3. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program
pengendalian TB.
4. Penguatan pengendalian TB dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan
mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu
memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya TB resistan obat.
5. Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan oleh seluruh
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat
Lanjut (FKRTL), meliputi: Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta, Rumah
Sakit Paru (RSP), Balai Besar/Balai Kesehatan Paru Masyarakat (B/BKPM), Klinik
Pengobatan serta Dokter Praktek Mandiri (DPM).
6. Pengobatan untuk TB tanpa penyulit dilaksanakan di FKTP. Pengobatan TB dengan
tingkat kesulitan yang tidak dapat ditatalaksana di FKTP akan dilakukan di FKRTL
dengan mekanisme rujuk balik apabila faktor penyulit telah dapat ditangani.
7. Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan kemitraan diantara
sektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan masyarakat dalam wujud Gerakan
Terpadu Nasional Pengendalian TB (Gerdunas TB).
8. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan untuk
peningkatan mutu dan akses layanan.
9. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara cuma-cuma dan
dikelola dengan manajemen logistk yang efektif demi menjamin ketersediaannya.
10

BAB II
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA

10. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan
dan mempertahankan kinerja program.
11. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan
lainnya terhadap TB.
12. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.
13. Memperhatikan komitmen terhadap pencapaian target strategi global pengendalian TB.
D. Visi dan Misi
Visi
Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan berkeadilan
Misi
1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani
dalam pengendalian TB.
2. Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan.
3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya pengendalian TB.
4. Menciptakan tata kelola program TB yang baik.
E. Tujuan dan target
Tujuan
Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian tujuan
pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Target
Merujuk pada target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang
ditetapkan pemerintah setiap 5 tahun.
Pada RPJMN 2010-2014 maka diharapkan penurunan jumlah kasus TB per 100,000
penduduk dari 235 menjadi 224, Persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang
ditemukan dari 73% menjadi 90% dan Persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang
disembuhkan dari 85% menjadi 88%..Keberhasilan yang dicapai pada RPJMN 2010-2014
akan menjadi landasan bagi RPJMN berikutnya.
Pada tahun 2015-2019 target program pengendalian TB akan disesuaikan dengan target
pada RPJMN II dan harus disinkronkan pula dengan target Global TB Strategy pasca 2015
dan target SDGs (Sustainable Development Goals). Target utama pengendalian TB pada
tahun 2015-2019 adalah penurunan insidensi TB yang lebih cepat dari hanya sekitar 1-2%
per tahun menjadi 3-4% per tahun dan penurunan angka mortalitas > dari 4-5% pertahun.
Diharapkan pada tahun 2020 Indonesia bisa mencapai target penurunan insidensi sebesar
20% dan angka mortalitas sebesar 25% dari angka insidensi tahun 2015.
F. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010 2014 ( )
Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi:
1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu.
2. Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan masyarakat miskin
serta rentan lainnya.
3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela), perusahaan
dan swasta melalui pendekatan Pelayanan TB Terpadu Pemerintah dan Swasta (Public-

10

11

BAB II
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA

4.
5.
6.
7.

Private Mix) dan menjamin kepatuhan terhadap Standar Internasional Penatalaksanaan


TB (International Standards for TB Care).
Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.
Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen program
pengendalian TB.
Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB
Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis.

Strategi Nasional Program Pengendalian TB Nasional tahun 2015-2019 merupakan


pengembangan strategi nasional sebelumnya dengan beberapa pengembangan strategi
baru untuk menghadapi target dan tantangan yang lebih besar.
G. Kegiatan
1. Tatalaksana TB Paripurna
a. Promosi Tuberkulosis
b. Pencegahan Tuberkulosis
c. Penemuan pasien Tuberkulosis
d. Pengobatan pasien Tuberkulosis
e. Rehabilitasi pasien Tuberkulosis
2. Manajemen Program TB
a. Perencanaan program pengendalian Tuberkulosis
b. Monitoring dan evaluasi program pengendalian Tuberkulosis
c. Pengelolaan logistik program pengendalian Tuberkulosis
d. Pengembangan ketenagaan program pengendalian Tuberkulosis
e. Promosi program pengendalian Tuberkulosis.
3. Pengendalian TB Komprehensif
a. Penguatan layanan Laboratorium Tuberkulosis;
b. Public-Private Mix Tuberkulosis;
c. Kelompok rentan: pasien Diabetes Melitus (DM), ibu hamil, gizi buruk;
d. Kolaborasi TB-HIV;
e. TB Anak;
f. Pemberdayaan Masyarakat dan Pasien TB;
g. Pendekatan praktis kesehatan paru (Practicle Aproach to Lung Health = PAL);
h. Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat (MTPTRO)
i. Penelitian tuberkulosis.
H. Organisasi Pelaksana
1. Aspek Manajemen Program TB
a. Tingkat Pusat
Upaya pengendalian TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian
Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan forum kemitraan lintas sektor dibawah
koordinasi Menko Kesra. Menteri Kesehatan R.I. sebagai penanggung jawab teknis
upaya pengendalian TB.

12

BAB II
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA

11

Dalam pelaksanaannya program TB secara Nasional dilaksanakan oleh Direktorat


Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, cq. Sub Direktorat
Tuberkulosis.
b. Tingkat Propinsi
Di tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi yang terdiri dari Tim Pengarah dan
Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan daerah.
Dalam pelaksanaan program TB di tingkat propinsi dilaksanakan Dinas Kesehatan
Propinsi.
c. Tingkat Kabupaten/Kota
Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Gerdunas-TB kabupaten / kota yang terdiri dari
Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan
kebutuhan kabupaten / kota.
Dalam pelaksanaan program TB di tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh
DinasKesehatan Kabupaten/Kota.\
2. Aspek Tatalaksana pasien TB
Dilaksanakan oleh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan
Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL).
a. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
FKTP dalam hal ini adalah fasilitas kesehatan tingkat pertama yang mampu
memberikan layanan TB secara menyeluruh mulai dari promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif. Fasilitas kesehatan yang termasuk dalam FKTP adalah Puskesmas,
DPM, Klinik Pratama, RS Tipe D dan BKPM.
Dalam layanan tatalaksana TB, fasilitas kesehatan yang mampu melakukan
pemeriksaan mikroskopis disebut FKTP Rujukan Mikroskopis (FKTP-RM).
FKTP Rujukan Mikroskopis (FKTP-RM) menerima rujukan pemeriksaan mikroskopis
dari FKTP yang tidak mempunyai fasilitas pemeriksaan mikroskopis yang disebut
sebagai FKTP Satelit (FKTP-S).
b. Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL)
FKRTL dalam hal ini adalah fasilitas kesehatan RTL yang mampu memberikan
layanan TB secara menyeluruh mulai dari promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif dan
paliatif untuk kasus-kasus TB dengan penyulit dan kasus TB yang tidak bisa
ditegakkan diagnosisnya di FKTP.
Fasilitas kesehatan yang termasuk dalam FKRTL adalah RS Tipe C, B dan A, RS
Rujukan Khusus Tingkat Regional dan Nasional, Balai Besar Kesehatan Paru
Masyarakat (BBKPM) dan klinik utama.
Untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien TB secara berkualitas dan
terjangkau, semua fasilitas kesehatan tersebut diatas perlu bekerja sama dalam
kerangka jejaring pelayanan kesehatan baik secara internal didalam gedung maupun
eksternal bersama lembaga terkait disemua wilayah.

12

13

BAB II
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS DI INDONESIA

malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari
satu bulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB,
seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat
prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke
fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang terduga
pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
2. Pemeriksaan dahak
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3
contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa
dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung
pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah
pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.
P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.
S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.
b. Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb)
dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal:
Pasien TB ekstra paru.
Pasien TB anak.
Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif.
Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya.
Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang
direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk
memanfaatkan tes cepat tersebut.
3. Pemeriksaan uji kepekaan obat
Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M.tb terhadap
OAT.
Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan
oleh laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji pemantapan mutu/Quality
Assurance (QA). Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil kesalahan dalam menetapkan
jenis resistensi OAT dan pengambilan keputusan paduan pengobatan pasien dengan
resistan obat.
Untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien TB dengan resistensi OAT,
Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat yaitu GeneXpert ke fasilitas kesehatan
(laboratorium dan RS) diseluruh provinsi.

14

16

BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

1. Definisi Pasien TB:


Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan Bakteriologis:
Adalah seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasar hasil pemeriksaan contoh uji
biologinya dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik cepat
yang direkomendasi oleh Kemenkes RI (misalnya: GeneXpert).
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA positif
b. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA, biakan
maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut diatas harus dicatat tanpa
memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai ataukah belum.
Pasien TB terdiagnosis secara Klinis:
Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi
didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan
pengobatan TB.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks mendukung TB.
b. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan
histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
c. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.
Catatan: Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi
bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus
diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.
2. Klasifikasi pasien TB:
Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut datas, pasien juga
diklasifikasikan menurut :
a. Lokasi anatomi dari penyakit
b. Riwayat pengobatan sebelumnya
c. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
d. Status HIV

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:

Tuberkulosis paru:
Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB
paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa
terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB
ekstra paru.
Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru,
diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
20

18

BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

Tuberkulosis ekstra paru:


Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe,
abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang.
Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan berdasarkan
penemuan Mycobacterium tuberculosis.
Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan
sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:


1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan ( dari
28 dosis).

2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan

OAT selama 1 bulan atau lebih ( dari 28 dosis).


Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir,
yaitu:
Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena
reinfeksi).
Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):
adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini
sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default).
Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan
sebelumnya tidak diketahui.

3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja
Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
secara bersamaan
Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT
lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)
Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes
21
cepat) atau metode fenotip (konvensional).

d. Klasifikasi
BAB III pasien TB berdasarkan status HIV
1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien
ko-infeksiPASIEN
TB/HIV):
adalah pasien19TB
TATALAKSANA
TUBERKULOSIS
dengan:
Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART,
atau
Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.

Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi
dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat
dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas
dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada
pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.
Paduan OAT Kategori Anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap
(OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket
untuk satu pasien.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan
untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa
pengobatan.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket KDT mempunyai beberapa
keuntungan dalam pengobatan TB, yaitu:
a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat
dan mengurangi efek samping.
b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi
obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

6. Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya.


a. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
Pasien TB paru terdiagnosis klinis
Pasien TB ekstra paru

Tabel 5. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3


Berat Badan
30 37 kg
38 54 kg
55 70 kg
71 kg

24

Tahap Intensif
tiap hari selama 56 hari
RHZE (150/75/400/275)
2 tablet 4KDT
3 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT

Tahap Lanjutan
3 kali seminggu selama 16 minggu
RH (150/150)
2 tablet 2KDT
3 tablet 2KDT
4 tablet 2KDT
5 tablet 2KDT
26

BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

Tabel 6. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/4H3R3

Tahap
Pengobatan

Dosis per hari / kali

Lama
Pengobatan

Tablet
Isoniasid
@ 300 mgr

Kaplet
Rifampisin
@ 450 mgr

Tablet
Pirazinamid
@ 500 mgr

Tablet
Etambutol
@ 250 mgr

2 Bulan
4 Bulan

1
2

1
1

3
-

3
-

Intensif
Lanjutan

Jumlah
hari/
kali
menelan
obat

56
48

b. Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya
(pengobatan ulang):
Pasien kambuh
Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya
Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)
Tabel 7. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Berat
Badan
30-37 kg
38-54 kg
55-70 kg
71 kg

Tahap Intensif
tiap hari
RHZE (150/75/400/275) + S
Selama 56 hari
Selama 28 hari
2 tab 4KDT
2 tab 4KDT
+ 500 mg Streptomisin inj.
3 tab 4KDT
3 tab 4KDT
+ 750 mg Streptomisin inj.
4 tab 4KDT
4 tab 4KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj.
5 tab 4KDT
5 tab 4KDT
+ 1000mg Streptomisin inj.
( > do maks )

Tahap Lanjutan
3 kali seminggu
RH (150/150) + E(400)
selama 20 minggu
2 tab 2KDT
+ 2 tab Etambutol
3 tab 2KDT
+ 3 tab Etambutol
4 tab 2KDT
+ 4 tab Etambutol
5 tab 2KDT
+ 5 tab Etambutol

Tabel 8. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/HRZE/ 5H3R3E3


Tahap
Pengobatan

Tahap
Awal
(dosis
harian)
Tahap
Lanjutan
(dosis 3x
semggu)

Lama
Pengobatan

Tablet
Isoniasid
@ 300 mgr

Kaplet
Rifampisin
@ 450 mgr

Tablet
Pirazinamid
@ 500 mgr

Etambutol
Tablet @
250 mgr

Tablet @
400 mgr

Jumlah
Streptomi hari/kali
sin injeksi menelan
obat

2 bulan
1 bulan

1
1

1
1

3
3

3
3

0,75 gr
-

56
28

5 bulan

60

27

BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

25

Catatan:
Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan khusus.
Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus disesuaikan
apabila terjadi perubahan berat badan. ( )
Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan
golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang
jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama.
Disamping itu dapat juga meningkatkan risiko terjadinya resistensi pada OAT lini kedua.
OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk guna memberikan pelayanan
pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat.

7. Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan TB ( )

a. Pemantauan kemajuan pengobatan TB


Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan
dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara
mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau
kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau
kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh uji dahak
(sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 contoh uji dahak
tersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau keduanya positif, hasil
pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.
Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai pengobatan
harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif merupakan suatu cara
terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan. Setelah pengobatan tahap awal,
tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif
atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan
(tanpa pemberian OAT sisipan apabila tidak mengalami konversi). Pada semua pasien
TB BTA positif, pemeriksaan ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5.
Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan
selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan.
Ringkasan tindak lanjut berdasarkan hasil pemeriksaan ulang dahak untuk
memantau kemajuan hasil pengobatan:
1) Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal negatif :
Pada pasien baru maupun pengobatan ulang, segera diberikan dosis
pengobatan tahap lanjutan
Selanjutnya lakukan pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal (pada bulan ke 5
dan Akhir Pengobatan)
2) Apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap awal positif :
Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1) :
Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak teratur,
diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.

26

28

BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

Segera diberikan dosis tahap lanjutan (tanpa memberikan OAT sisipan).


Lakukan pemeriksaan ulang dahak kembali setelah pemberian OAT tahap
lanjutan satu bulan. Apabila hasil pemeriksaan dahak ulang tetap positif, lakukan
pemeriksaan uji kepekaan obat.
Apabila tidak memungkinkan pemeriksaan uji kepekaan obat, lanjutkan
pengobatan dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke 5
(menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ).
Pada pasien dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan paduan
OAT kategori 2):
Lakukan penilaian apakah pengobatan tidak teratur?. Apabila tidak teratur,
diskusikan dengan pasien tentang pentingnya berobat teratur.
Pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR
Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB
MDR
Apabila tidak bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS
Pusat Rujukan TB MDR, segera diberikan dosis OAT tahap lanjutan (tanpa
pemberian OAT sisipan) dan diperiksa ulang dahak kembali pada akhir bulan ke
5 (menyelesaikan dosis OAT bulan ke 5 ).
3) Pada bulan ke 5 atau lebih :
Baik pada pengobatan pasien baru atau pengobatan ulang apabila hasil
pemeriksaan ulang dahak hasilnya negatif, lanjutkan pengobatan sampai
seluruh dosis pengobatan selesai diberikan
Apabila hasil pemeriksaan ulang dahak hasilnya positif, pengobatan dinyatakan
gagal dan pasien dinyatakan sebagai terduga pasien TB MDR .
Lakukan pemeriksaan uji kepekaan obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB
MDR
Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan paduan OAT kategori 1),
pengobatan dinyatakan gagal. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa
dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR,
berikan pengobatan paduan OAT kategori 2 dari awal.
Pada pasien TB dengan pengobatan ulang (mendapat pengobatan dengan
paduan OAT kategori 2), pengobatan dinyatakan gagal. Harus diupayakan
semaksimal mungkin agar bisa dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk
ke RS Pussat Rujukan TB MDR. Apabila oleh karena suatu sebab belum bisa
dilakukan pemeriksaan uji kepekaan atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR,
berikan penjelasan, pengetahuan dan selalu dipantau kepatuhannya terhadap
upaya PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi).
Tindak lanjut atas dasar hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat
pada tabel di bawah ini. ( )

29

BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

27

28

BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

29

** Sementara menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan pasien dapat diberikan


pengobatan paduan OAT kategori 2.
*** Sementara menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan pasien tidak diberikan
pengobatan paduan OAT.
c. Hasil Pengobatan Pasien TB ( )
Hasil
pengobatan
Sembuh

Pengobatan
lengkap

Gagal
Meninggal
Putus
berobat
(loss to
follow-up)

Tidak
dievaluasi

Definisi
Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif pada
awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir
pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan
sebelumnya.
Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap
dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan
hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan
bakteriologis pada akhir pengobatan.
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan
atau kapan saja apabila selama dalam pengobatan diperoleh hasil
laboratorium yang menunjukkan adanya resistensi OAT
Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai
atau sedang dalam pengobatan.
Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang
pengobatannya terputus selama 2 bulan terus menerus atau lebih.

Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya.


Termasuk dalam kriteria ini adalah pasien pindah (transfer out) ke
kabupaten/kota lain dimana hasil akhir pengobatannya tidak
diketahui oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.

d. Pengawasan langsung menelan obat (DOT = Directly Observed Treatment) ( )


Paduan pengobatan yang dianjurkan dalam buku pedoman ini akan menyembuhkan
sebagian besar pasien TB baru tanpa memicu munculnya kuman resistan obat. Untuk
tercapainya hal tersebut, sangat penting dipastikan bahwa pasien menelan seluruh
obat yang diberikan sesuai anjuran dengan cara pengawasan langsung oleh seorang
PMO (Pengawas Menelan Obat) agar mencegah terjadinya resistensi obat. Pilihan
tempat pemberian pengobatan sebaiknya disepakati bersama pasien agar dapat
memberikan kenyamanan.Pasien bisa memilih datang ke fasyankes terdekat dengan
kediaman pasien atau PMO datang berkunjung kerumah pasien. Apabila tidak ada
faktor penyulit, pengobatan dapat diberikan secara rawat jalan.
33
1) Persyaratan PMO
a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien

30

2) Siapa yang bisa jadi PMO


Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,
Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas
BABkesehatan
III
yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru,
TUBERKULOSIS
anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat TATALAKSANA
lainnya atau PASIEN
anggota
keluarga.
3) Tugas seorang PMO
a) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.

kediaman pasien atau PMO datang berkunjung kerumah pasien. Apabila tidak ada
faktor penyulit, pengobatan dapat diberikan secara rawat jalan.
1) Persyaratan PMO
a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien
2) Siapa yang bisa jadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,
Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas
kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru,
anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
3) Tugas seorang PMO
a) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
b) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
c) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan.
d) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai
gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit
Pelayanan Kesehatan.
Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil
obat dari unit pelayanan kesehatan.
4) Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada
pasien dan keluarganya:
a) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
b) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
c) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya
d) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
e) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
f) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke fasyankes.
e. Pengobatan TB pada keadaan khusus
1) Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk
kehamilan, kecuali golongan Aminoglikosida seperti streptomisin atau kanamisin
karena dapat menimbulkan ototoksik pada bayi (permanent ototoxic) dan dapat
menembus barier placenta.
Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan
dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya
34

BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

31

sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang
akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. Pemberian Piridoksin 50
mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang mendapatkan pengobatan TB, sedangkan
pemberian vitamin K 10mg/hari juga dianjurkan apabila Rifampisin digunakan pada
trimester 3 kehamilan menjelang partus. ( )
2) Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang
ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat.
Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan
kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut
dapat terus diberikan ASI. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada
bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
3) Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk
KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien
TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal.
4) Pasien TB dengan kelainan hati ( )
a) Pasien TB dengan Hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik,
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Sebaiknya dirujuk
ke fasyankes rujukan untuk penatalaksanaan spesialistik.

b) Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan paduan pengobatan OAT yang

biasa digunakan apabila tidak ada kondisi kronis :


Pembawa virus hepatitis
Riwayat penyakit hepatitis akut
Saat ini masih sebagai pecandu alkohol
Reaksi hepatotoksis terhadap OAT umumnya terjadi pada pasien dengan
kondisi tersebut diatas sehingga harus diwaspadai.

c) Hepatitis Kronis

Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis, pemeriksaan


fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. Apabila hasil
pemeriksaan fungsi hati >3 x normal sebelum memulai pengobatan, paduan
OAT berikut ini dapat dipertimbangkan:
2 obat yang hepatotoksik
2 HRSE / 6 HR
9 HRE
1 obat yang hepatotoksik
2 HES / 10 HE
Tanpa obat yang hepatotoksik
18-24 SE ditambah salah satu golongan fluorokuinolon (ciprofloxasin tidak
direkomendasikan karena potensimya sangat lemah).

32

35

BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

Semakin berat atau tidak stabil penyakit hati yang diderita pasien TB,
harus menggunakan semakin sedikit OAT yang hepatotoksik.
Konsultasi dengan seorang dokter spesialis sangat dianjurkan,
Pemantauan klinis dan LFT harus selalu dilakukan dengan seksama,
Pada panduan OAT dengan penggunaan etambutol lebih dari 2 bulan
diperlukan evaluasi gangguan penglihatan.
5) Pasien TB dengan gangguan fungsi ginjal
Paduan OAT yang dianjurkan adalah pada pasien TB dengan gagal ginjal atau
gangguan fungsi ginjal yang berat: 2 HRZE/4 HR.
H dan R diekskresi melalui empedu sehingga tidak perlu dilakukan perubahan
dosis. Dosis Z dan E harus disesuaikan karena diekskresi melalui ginjal. Dosis
pemberian 3 x /minggu bagi Z : 25 mg/kg BB dan E : 15 mg/kg BB.
Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal ginjal, perlu diberikan
tambahan Piridoksin (vit. B6) untuk mencegah terjadinya neuropati perifer. Hindari
penggunaan Streptomisin dan apabila harus diberikan, dosis yang digunakan: 15
mg/kgBB, 2 atau 3 x /minggu dengan maksimum dosis 1 gr untuk setiap kali
pemberian dan kadar dalam darah harus selalu dipantau. ( )
Pasien dengan penyakit ginjal sangat berisiko untuk terkena TB khususnya pada
pasien dengan penyakit ginjal kronis. Secara umum, risiko untuk mengalami efek
samping obat pada pengobatan pasien TB dengan gagal kronis lebih besar
dibanding pada pasien TB dengan fungsi ginjal yang masih normal. Kerjasama
dengan dokter yang ahli dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan fungsi
ginjal sangat diperlukan. Sebagai acuan, tingkat kegagalan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronis dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 11: Acuan penilaian tingkat kegagalan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronis.
Tingkat
1
2
3
4
5

Hasil pemeriksaan klirens kreatinin (KK)


KK (normal) dan fungsi ginjal normal namun terdapat kelainan saluran
kencing, misalnya: ginjal polikistik, kelainan struktur
KK (60 90 ml/menit)
KK (30 60 ml/menit)
KK (15 30 ml/menit)
KK (< 15 ml/menit) dengan atau tanpa dialisis

Tabel 12: Dosis yang dianjurkan pada pengobatan pasien TB dengan


penyakit ginjal kronis.
OAT
Isoniasid
Rifampisin
Pirasinamid
Etambutol

Stadium 1-3
300 mg/hari
<50 kg: 450 mg/hari
50 kg: 600 mg/hari
<50 kg: 1,5 g/hari
50 kg: 2 g/hari
15 mg/kgBB/hari

Stadium 4-5
Diberikan 3x/minggu
Dosis 300 mg/setiap pemberian
<50 kg: 450 mg/hari
50 kg: 600 mg/hari
25-30 mg/kgBB/hari,
Diberikan 3x/minggu
15-25 mg/kgBB/hari,
Diberikan 3x/minggu

36

BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

33

6) Pasien TB dengan Diabetes Melitus (DM) ( )


TB merupakan salah satu faktor risiko tersering pada seseorang dengan Diabetes
mellitus.
Anjuran pengobatan TB pada pasien dengan Diabetes melitus:
a) Paduan OAT yang diberikan pada prinsipnya sama dengan paduan OAT bagi
pasien TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah terkontrol
b) Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat
dilanjutkan sampai 9 bulan
c) Hati hati efek samping dengan penggunaan Etambutol karena pasien DM sering
mengalami komplikasi kelainan pada mata
d) Perlu diperhatikan penggunaan Rifampisin karena akan mengurangi efektifitas
obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
e) Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesai untuk mendeteksi dini bila
terjadi kekambuhan
7) Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa
pasien seperti:
a) Meningitis TB dengan gangguan kesadaran dan dampak neurologis
b) TB milier dengan atau tanpa meningitis
c) Efusi pleura dengan gangguan pernafasan berat atau efusi pericardial
d) Laringitis dengan obstruksi saluran nafas bagian atas, TB saluran kencing
(untuk mencegah penyempitan ureter ), pembesaran kelenjar getah bening
dengan penekanan pada bronkus atau pembuluh darah.
e) Hipersensitivitas berat terhadap OAT.
f) IRIS ( Immune Response Inflammatory Syndrome )
Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid tergantung dari berat dan ringannya
keluhan serta respon klinis.
Predinisolon (per oral):
Anak: 2 mg / kg BB, sekali sehari pada pagi hari
Dewasa: 30 60 mg, sekali sehari pada pagi hari
Apabila pengobatan diberikan sampai atau lebih dari 4 minggu, dosis harus
diturunkan secara bertahap (tappering off).
8) Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (misalnya reseksi paru),
adalah:
a) Untuk TB paru:
Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif.
Pasien TB MDR dengan kelainan paru yang terlokalisir.
b) Untuk TB ekstra paru:
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien
TB tulang yang disertai kelainan neurologik.
37

34

BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

8. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya ( )

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa mengalami efek


samping OAT yang berarti. Namun, beberapa pasien dapat saja mengalami efek
samping yang merugikan atau berat.
Guna mengetahui terjadinya efek samping OAT, sangat penting untuk memantau kondisi
klinis pasien selama masa pengobatan sehingga efek samping berat dapat segera
diketahui dan ditatalaksana secara tepat. Pemeriksaan laboratorium secara rutin tidak
diperlukan.
Petugas kesehatan dapat memantau terjadinya efek samping dengan cara mengajarkan
kepada pasien unuk mengenal keluhan dan gejala umum efek samping serta
menganjurkan mereka segera melaporkan kondisinya kepada petugas kesehatan. Selain
daripada hal tersebut, petugas kesehatan harus selalu melakukan pemeriksaan dan aktif
menanyakan keluhan pasien pada saat mereka datang ke fasyankes untuk mengambil
obat.
Efek samping yang terjadi pada pasien dan tindak lanjut yang diberikan harus dicatat
pada kartu pengobatannya.
Secara umum, seorang pasien yang mengalami efek samping ringan sebaiknya tetap
melanjutkan pengobatannya dan diberikan petunjuk cara mengatasinya atau pengobatan
tambahan untuk menghilangkan keluhannya.
Apabia pasien mengalami efek samping berat, pengobatan harus dihentikan sementara
dan pasien dirujuk kepada dokter atau fasyankes rujukan guna penatalaksanaan lebih
lanjut. Pasien yang mengalami efek samping berat sebaiknya dirawat di rumah sakit.

Tabel
berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan
pendekatan keluhan dan gejala.
Tabel 13. Efek samping ringan OAT
Efek Samping

Tidak ada nafsu makan,


mual, sakit perut

Penyebab

H, R, Z

Penatalaksanaan
OAT ditelan malam sebelum tidur. Apabila
keluhan tetap ada, OAT ditelan dengan
sedikit makanan
Apabila keluhan semakin hebat disertai
muntah, waspada efek samping berat dan
segera rujuk ke dokter.
Beri Aspirin, Parasetamol atau obat anti
radang non steroid

Nyeri Sendi

Kesemutan s/d rasa terbakar di telapak kaki


atau tangan

Beri vitamin B6 (piridoxin) 50 75 mg per


hari

Warna kemerahan pada


air seni (urine)

Tidak membahayakan dan tidak perlu diberi


obat penawar tapi perlu penjelasan kepada
pasien.

R dosis
intermiten

Pemberian R dirubah dari intermiten menjadi


setiap hari

Flu sindrom (demam,


menggigil, lemas, sakit
kepala, nyeri tulang)

38

BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

35

Tabel 14. Efek samping berat OAT


Efek Samping
Bercak kemerahan kulit (rash)
dengan atau tanpa rasa gatal
Gangguan pendengaran (tanpa
diketemukan serumen)
Gangguan keseimbangan
Ikterus tanpa penyebab lain
Bingung, mual muntah
(dicurigai terjadi gangguan fungsi
hati apabia disertai ikterus)
Gangguan penglihatan
Purpura, renjatan (syok), gagal
ginjal akut
Penurunan produksi urine

Penyebab
H, R, Z, S

Penatalaksanaan
Ikuti petunjuk
penatalaksanaan dibawah*

S dihentikan

S dihentikan
Semua OAT dihentikan
sampai ikterus menghilang.
Semua OAT dihentikan,
segera lakukan pemeriksaan
fungsi hati.
E dihentikan.

R dihentikan.

S dihentikan.

H, R, Z
Semua jenis
OAT

* Penatalaksanaan pasien dengan efek samping pada kulit ( )


Apabila pasien mengeluh gatal tanpa rash dan tidak ada penyebab lain, dianjurkan untuk
memberikan pengobatan simtomatis dengan antihistamin serta pelembab kulit.
Pengobatan TB tetap dapat dilanjutkan dengan pengawasan ketat. Apabila kemudian
terjadi rash, semua OAT harus dihentikan dan segera rujuk kepada dokter atau fasyankes
rujukan. Mengingat perlunya melanjutkan pengobatan TB hingga selesai, di fasyankes
rujukan dapat dilakukan upaya mengetahui OAT mana yang menyebabkan terjadinya
reaksi dikulit dengan cara Drug Challengin :
Setelah reaksi dapat diatasi, OAT diberikan kembali secara bertahap satu persatu
dimulai dengan OAT yang kecil kemungkinannya dapat menimbulkan reaksi ( H atau R
) pada dosis rendah misal 50 mg Isoniazid.
Dosis OAT tersebut ditingkatkan secara bertahap dalam waktu 3 hari. Apabila tidak
timbul reaksi, prosedur ini dilakukan kembali dengan menambahkan 1 macam OAT
lagi.
Jika muncul reaksi setelah pemberian OAT tertentu, menunjukkan bahwa OAT yang
diberikan tersebut adalah penyebab terjadinya reaksi pada kulit tersebut.
Apabila telah diketahui OAT penyebab reaksi dikulit tersebut, pengobatan dapat
dilanjutkan tanpa OAT penyebab tersebut.
** Penatalaksanaan pasien dengan drugs induced hepatitis ( )
Dalam uraian ini hanya akan disampaikan tatalaksana pasien yang mengalami keluhan
gangguan fungsi hati karena pemberian obat (drugs induced hepatitis). Penatalaksanaan
pasien dengan gangguan fungsi hati karena penyakit penyerta pada hati, diuraikan dalam
uraian Pengobatan pasien dalam keadaan khusus.
OAT lini pertama yang dapat memberikan gangguan fungsi hati adalah : H, R dan Z.
Sebagai tambahan, Rifampisin dapat menimbulkan ikterus tanpa ada bukti gangguan
fungsi hati. Penting untuk memastikan kemungkinan adanya faktor penyebab lain
sebelum menyatakan gangguan fungsi hati yang terjadi disebabkan oleh karena paduan
OAT.
39

36

BAB III

TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

Penatalaksanaan gangguan fungsi hati yang terjadi oleh karena pengobatan TB


tergantung dari:
Apakah pasien sedang dalam pengobatan tahap awal atau tahap lanjutan
Berat ringannya gangguan fungsi hati
Berat ringannya TB
Kemampuan fasyankes untuk menatalaksana efek samping obat
Langkah langkah tindak lanjut adalah sebagai berikut, sesuai kondisi:
1. Apabila diperkirakan bahwa gangguan fungsi hati disebabkan oleh karena OAT,
pemberian semua OAT yang bersifat hepatotoksik harus dihentikan. Pengobatan yang
diberikan Streptomisin dan Etambutol sambil menunggu fungsi hati membaik. Bila
fungsi hati normal atau mendekati normal, berikan Rifampisin dengan dosis bertahap,
selanjutnya Isoniasid secara bertahap.
2. TB berat dan dipandang menghentikan pengobatan akan merugikan pasien, dapat
diberikan paduan pengobatan non hepatatotoksik terdiri dari S, E dan salah satu OAT
dari golongan fluorokuinolon.
3. Menghentikan pengobatan dengan OAT sampai hasil pemeriksaan fungsi hati kembali
normal dan keluhan (mual, sakit perut dsb.) telah hilang sebelum memulai pengobatan
kembali.
4. Apabila tidak bisa melakukan pemeriksaan fungsi hati, dianjurkan untuk menunggu
sampai 2 minggu setelah ikterus atau mual dan lemas serta pemeriksaan palpasi hati
sudah tidak teraba sebelum memulai kembali pengobatan.
5. Jika keluhan dan gejala tidak hilang serta ada gangguan fungsi hati berat, paduan
pengobatan non hepatotoksik terdiri dari: S, E dan salah satu golongan kuinolon dapat
diberikan (atau dilanjutkan) sampai 18-24 bulan.
6. Setelah gangguan fungsi hati teratasi, paduan pengobatan OAT semula dapat dimulai
kembali satu persatu. Jika kemudian keluhan dan gejala gangguan fungsi hati kembali
muncul atau hasil pemeriksaan fungsi hati kembali tidak normal, OAT yang
ditambahkan terakhir harus dihentikan. Beberapa anjuran untuk memulai pengobatan
dengan Rifampisin. Setelah 3-7 hari, Isoniazid dapat ditambahkan. Pada pasien yang
pernah mengalami ikterus akan tetapi dapat menerima kembali pengobatan dengan H
dan R, sangat dianjurkan untuk menghindari penggunaan Pirazinamid.
7. Paduan pengganti tergantung OAT apa yang telah menimbulkan gangguan fungsi hati.
Apabila R sebagai penyebab, dianjurkan pemberian: 2HES/10HE.
Apabila H sebagai penyebab, dapat diberikan : 6-9 RZE.
Apabila Z dihentikan sebelum pasien menyelesaikan pengobatan tahap awal, total
lama pengobatan dengan H dan R dapat diberikan sampai 9 bulan.
Apabila H maupun R tidak dapat diberikan, paduan pengobatan OAT non hepatotoksik
terdiri dari : S, E dan salah satu dari golongan kuinolon harus dilanjutkan sampai 18-24
bulan.
8. Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap awal
dengan H,R,Z,E (paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi,
berikan kembali pengobatan yang sama namun Z digantikan dengan S untuk
menyelesaikan 2 bulan tahap awal diikuti dengan pemberian H dan R selama 6 bulan
tahap lanjutan.
9. Apabila gangguan fungsi hati dan ikterus terjadi pada saat pengobatan tahap lanjutan
(paduan Kategori 1), setelah gangguan fungsi hati dapat diatasi, mulailah kembali
pemberian H dan R selama 4 bulan lengkap tahap lanjutan.
40

BAB III
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

37

nak

an,
iko

akit
an
oto

ng

ng
an

sus
2%
ari
gat
0-4
ng
nya
14
TB

ng
TB
TB
am

sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas,
karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.
2. Gejala TB pada anak
Gejala sistemik/umum adalah sebagai berikut:
a. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat
atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.
b. Demam lama (2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam
tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi.
Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak
disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
c. Batuk lama 3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas
semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.
d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to
thrive).
e. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
f. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku
diare.
Gejala klinis spesifik terkait organ
Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung pada jenis organ yang terkena,
misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang dan kulit, adalah sebagai
berikut:
a. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):
Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter 1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri,
dan kadang saling melekat atau konfluens.
b. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat
keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
c. Tuberkulosis sistem skeletal:
Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di
daerah panggul.
Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas.
Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
d. Skrofuloderma:
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge).
e. Tuberkulosis mata:
Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
f. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila
ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan
disertai kecurigaan adanya infeksi TB.

ng
au

41

42

BAB IV
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

39

C. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak


Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang
cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang lain
adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis
pada pemeriksaan dahak, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi
jaringan.
Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang terdiri dari
beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung atau biopsi jaringan untuk
menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala TB,
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi tidak
direkomendasikan untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan Direktur Jenderal
BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang larangan
penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik
sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan contoh uji. Contoh uji dapat diambil
berupa dahak, induksi dahak atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut,
apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan gambaran yang
khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan
di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.
1. Perkembangan terkini Diagnosis TB
Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk meningkatkan
ketepatan diagnosis TB Anak, diantaranya pemeriksaan biakan dengan metode cepat
yaitu penggunaan metode cair, molekular (LPA=Line Probe Assay dan NAAT=Nucleic
Acid Amplification Test, misalnya Xpert MTB/RIF). Metode ini tersedia di beberapa
laboratorium di seluruh provinsi di Indonesia.
WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah mengeluarkan rekomendasi
pada tahun 2011 untuk menggunakan GenXpert MTB/RIF. Rekomendasi WHO tahun
2014 menyatakan pemeriksaan GenXpert MTB/RIF dapat digunakan untuk mendiagnosis
TB MDR dan HIV suspek TB pada anak. Hasil Xpert MTB/RIF yang negatif tidak selalu
menunjukkan anak tidak sakit TB.
Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB pada anak penegakan
diagnosis TB pada anak dapat dilakukan dengan memadukan gejala klinis dan
pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat kontak erat dengan pasien TB
menular merupakan salah satu informasi penting untuk mengetahui adanya sumber
penularan. Selanjutnya, perlu dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB
dengan melakukan uji tuberkulin. Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi
hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak
langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam tubuh anak atau
anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin positif) belum tentu menderita
TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup untuk
melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien tersebut secara
klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai infeksi TB laten. Namun
apabila daya tahan tubuh anak lemah dan tidak mampu mengendalikan kuman, maka
anak akan menjadi menderita TB serta menunjukkan gejala klinis maupun radiologis.
Gejala klinis dan radiologis TB pada anak sangat tidak spesifik, karena gambarannya

40

43

BAB IV
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

ng
ain
sis
psi

ari
tuk
TB,
dak
ral
an
gik
mbil
ut,
ah
ng
an
.

an
pat
eic
pa

asi
un
sis
alu

dapat menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan ketelitian
dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto toraks.
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak
adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji tuberkulin/mantoux test.
Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU. Namun uji
tuberkulin belum tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan.
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun
gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain.
Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier.
2. Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring
Dalam menegakkan diagnosis TB pada anak, semua prosedur diagnostik dapat
dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat
menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring. Sistem
skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh para ahli
yang berasal dari IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah
satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB pada anak terutama di fasilitas
kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat
dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga
diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.
Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:
Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai nilai
tertinggi yaitu 3.
Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB
pada anak dengan menggunakan sistem skoring.

an
an
TB
ber
TB
ksi
dak
au
rita
tuk
ara
un
aka
gis.
nya

43

44

BAB IV
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

41

45

Gambar 2: Algoritma Tatalaksana TB Anak

Anak 0 14 th
Terdapat 1 atau lebih gejala TB anak (*)
Suspek TB Anak

Sistem Skoring

Skor< 6

Skor = 6

Skor> 6

Didapat dari
parameter uji
tuberkulin (+)
atau kontak
dengan gejala
klinis lain

Infeksi laten TB
Didapat dari
parameter uji
tuberkulin (+)
dan kontak;
tanpa gejala
klinis lain

Bukan
TB

Pertimbangan
dokter (**)

TB ANAK
Evaluasi 2 bulan terapi

Perbaikan

Umur 5
th

Tidak ada
perbaikan

PP INH
HIV pos

Lanjutkan
terapi

Umur< 5 th

Evaluasi, rujuk
bila perlu

HIV neg

PP INH

Observasi

Keterangan :
(*)
Gejala TB anak sesuai dengan parameter sistem skoring
(**)
Pertimbangan dokter untuk mendapatkan terapi TB anak pada skor < 6 bila
ditemukan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif disertai dengan 2 gejala klinis
lainnya pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin

BAB IV
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

46

43

Tabel 16: OAT Anak yang biasa dipakai dan dosisnya


Dosis harian
Dosis
(mg/kgBB/hari)
maksimal
Efek samping
Nama Obat
(mg /hari)
Isoniazid (H)
10 (7-15)
300
Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitis
Rifampisin (R)
15 (10-20)
600
Gastrointestinal, reaksi kulit,
hepatitis, trombositopenia,
peningkatan enzim hati, cairan
tubuh berwarna oranye kemerahan
Pirazinamid (Z)
35 (30-40)
Toksisitas hepar, artralgia,
gastrointestinal
Etambutol (E)
20 (1525)
Neuritis optik, ketajaman mata
berkurang, buta warna merah
hijau, hipersensitivitas,
gastrointestinal
Streptomisin (S)
15 40
1000
Ototoksik, nefrotoksik
j. Paduan OAT Kategori Anak dan peruntukannya secara lebih lengkap sesuai dengan
tabel berikut ini:
Tabel 17: OAT Kategori Anak dan Peruntukannya
Jenis TB
TB Ringan
Efusi Pleura TB
TB BTA positif
TB paru dengan tandatanda kerusakan luas:
TB milier
TB+destroyed
lung
Meningitis TB
Peritonitis TB
Perikardistis TB
Skeletal TB

46

OAT Tahap
Awal

OAT Tahap
Lanjutan

2HRZ

4HR

2HRZE

4HR
7-10HR

2HRZ+E atau
S
10HR

Prednison
2 mgg dosis penuh,
kemudian tappering
off.
4 mgg dosis penuh,
kemudian tappering
off.
4 mgg dosis penuh,
kemudian tappering
off.
2 mgg dosis penuh,
kemudian tappering
off.
2 mgg dosis penuh,
kemudian tappering
off.
-

Lama
Pengobatan
6 bulan

9-12 bulan

12 bulan

49

BAB IV
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

2. OAT Kategori Anak kemasan Kombinasi dosis tetap (KDT) OAT (FDC=Fixed Dose
2. Combination)
OAT Kategori Anak kemasan Kombinasi dosis tetap (KDT) OAT (FDC=Fixed Dose
Untuk
mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat,
Combination)
OAT disediakan
dalam Kombinasi
bentuk
paket
KDT/
FDC.(KDT)
Satu keteraturan
paket(FDC=Fixed
dibuatminum
untukDose
satu
2. paduan
OAT
Kategori
Anak kemasan
dosis
tetap
OAT
Untuk mempermudah
pemberian
OAT sehingga
meningkatkan
obat,
pasien
untuk
satu
masa
pengobatan.
Paket
KDT
untuk
anak
berisi
obat
fase
intensif,
Combination)
paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu
yaitu
(R) masa
75mg,
INH (H)OAT
50 mg,
dan
pirazinamid
(Z) berisi
150 mg,
serta
obat
fase
Untuk
mempermudah
pemberian
sehingga
meningkatkan
keteraturan
minum
obat,
pasienrifampisin
untuk satu
pengobatan.
Paket
KDT
untuk anak
obat
fase
intensif,
lanjutan,
yaitu
R
75
mg
dan
H
50
mg
dalam
satu
paket.
Dosis
yang
dianjurkan
dapat
paduan
OAT disediakan
bentuk
paket
FDC. Satu
paket
dibuat
satu
yaitu rifampisin
(R) 75mg,dalam
INH (H)
50 mg,
danKDT/
pirazinamid
(Z) 150
mg,
sertauntuk
obat fase
dilihat
pada
tabel
pasien
untuk
satu
pengobatan.
fase intensif,
lanjutan,
yaitu
R berikut.
75masa
mg dan
H 50 mg Paket
dalamKDT
satu untuk
paket.anak
Dosisberisi
yangobat
dianjurkan
dapat
yaitu
75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase
dilihatrifampisin
pada tabel(R)
berikut.
Tabel
18:yaitu
Dosis
pada
anak
lanjutan,
R kombinasi
75 mg danOAT
H 50TBmg
dalam
satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat
Berat
badan
2
bulan
4 bulan
dilihat
pada
tabel
berikut.
Tabel 18: Dosis kombinasi OAT TB pada anak
(kg)
RHZ
(75/50/150)
(RH
(75/50)
Berat badan
2 bulan
4 bulan
5-7
1
tablet
1
tablet
Tabel 18: Dosis
kombinasi
OAT
TB
pada
anak
(kg)
RHZ (75/50/150)
(RH (75/50)
8-11
2
2
Berat
badan
bulan
4
bulan
5-7
1 tablet
tablet
1 tablet
tablet
12-16
3
tablet
3
tablet
(kg)
RHZ
(75/50/150)
(RH
(75/50)
8-11
2 tablet
2 tablet
17-22
4
tablet
4
tablet
5-7
1
1
12-16
3 tablet
3 tablet
23-30
5
5
8-11
2
2
17-22
4 tablet
tablet
4 tablet
tablet
Keterangan:
BB
>30
kg
diberikan
6
tablet
atau
menggunakan
KDT
dewasa.
12-16
3
tablet
3
23-30
5 tablet
5 tablet
tablet
17-22
4 tablet
4 tablet
Keterangan:
BB >30 kg diberikan 6 tablet
atau menggunakan KDT dewasa.
Keterangan:
R = Rifampisin; H = Isoniasid;
Z = Pirazinamid
23-30
5 tablet
5 tablet
Keterangan:
Bayi
di
bawah
5
kg
pemberian
OAT
secara
terpisah, tidak
dalam
bentuk kombinasi
kg diberikan
tablet atau
KDT
dewasa.
Keterangan:BB
R =>30
Rifampisin;
H = 6Isoniasid;
Z =menggunakan
Pirazinamid
dosis
tetap,
dan
sebaiknya
dirujuk
ke
RS
rujukan
Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi
Apabila
ada
BBH
maka
dosis/jumlah
tablet yang diberikan, menyesuaikan
Keterangan:
Rdan
=kenaikan
Rifampisin;
= Isoniasid;
= Pirazinamid
dosis tetap,
sebaiknya
dirujuk
ke
RS Z
rujukan
berat
badan
saat
itu
Bayi
di bawah
5 kg pemberian
secara terpisah,
tidak diberikan,
dalam bentuk
kombinasi
Apabila
ada kenaikan
BB makaOAT
dosis/jumlah
tablet yang
menyesuaikan
Untuk
anak dan
obesitas,
dosis
KDT ke
menggunakan
dosis
tetap,
sebaiknya
dirujuk
RS rujukan Berat Badan ideal (sesuai umur).
berat badan
saat
itu
berdasarkan
umur
dapat dilihat
di
lampiran
Tabel
Apabila
adaBadan
kenaikan
BB maka
dosis/jumlah
tablet
yang
diberikan,
menyesuaikan
Untuk Berat
anak
obesitas,
dosis
KDT
menggunakan
Berat
Badan
ideal (sesuai
umur).
OAT
KDT
harus
diberikan
secara
utuh
(tidak
boleh
dibelah,
dan tidak boleh digerus)
berat
badan
saat
itu
Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran
Obat
dapat
diberikan
dengan
cara
ditelan
atau
Untuk
anak
obesitas,
dosis
KDT
menggunakan
Berat Badan
ideal(chewable),
(sesuai
umur).
OAT KDT
harus
diberikan
secara
utuh
(tidak utuh,
boleh dikunyah/dikulum
dibelah,
dan tidak
boleh
digerus)
dimasukkan
air
dalam
sendok
(dispersable).
Tabel
Berat
Badan
berdasarkan
umur
dapat
dilihat
di
lampiran
Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau
Obat
diberikan
saat
perut
kosong,
atau boleh
palingdibelah,
cepat 1 dan
jam tidak
setelah
makan
OAT
KDT
harus
diberikan
secara
utuh (tidak
boleh
digerus)
dimasukkan
air pada
dalam
sendok
(dispersable).
Apabila
OAT
lepas
diberikan
dalam
bentuk
puyer,
maka
semua
obat
tidak
Obat
dapat
diberikan
dengan
cara
ditelan
utuh,
dikunyah/dikulum
(chewable),
atau
Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan boleh
digerus
bersama
dan
dicampur
dalam
satu
puyer
dimasukkan
air
dalam
sendok
(dispersable).
Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh
Obat
diberikan
pada
perut kosong,
atau
paling cepat 1 jam setelah makan
digerus
bersama
dansaat
dicampur
dalam satu
puyer
Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh
3. Pengobatan
ulang TB
anakdalam satu puyer
digerus bersama
danpada
dicampur
Anak
yang
pernah
mendapat
pengobatan TB, apabila datang kembali dengan keluhan
3. Pengobatan ulang TB pada anak
gejala
TB,
perlu
dievaluasi
apakah
anak tersebut
benar-benar
menderita
TB. Evaluasi
Anak yang pernah mendapat pengobatan
TB, apabila
datang kembali
dengan
keluhan
dapat
dilakukan
dengan
cara
pemeriksaan
dahak
atau
sistem
skoring.
Evaluasi
dengan
3. gejala
Pengobatan
ulang
TB padaapakah
anak anak tersebut benar-benar menderita TB. Evaluasi
TB, perlu
dievaluasi
sistem
skoring
harus
lebih
cermat
dan
dilakukan
di
fasilitas
rujukan.
Apabila
hasil
Anak
yang
pernah
mendapat
pengobatan
TB,
apabila
datang
kembali
dengan
keluhan
dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan
pemeriksaan
dahak
menunjukkan
hasil
positif,
maka
anak
diklasifikasikan
sebagai
kasus
gejala
TB,
perlu
dievaluasi
apakah
anak
tersebut
benar-benar
menderita
TB.
Evaluasi
sistem skoring harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil
Kambuh.
Pada
pasien
TBcara
anak
yang
pernah
mendapat
pengobatan
TB,Evaluasi
tidak
dianjurkan
dapat dilakukan
dengan
pemeriksaan
dahak
atau
sistem
skoring.
dengan
pemeriksaan
dahak
menunjukkan
hasil
positif,
maka
anak
diklasifikasikan
sebagai
kasus
untuk
dilakukan
uji
tuberkulin
ulang.
sistem skoring
harus TB
lebih
cermat
dan dilakukan
di pengobatan
fasilitas rujukan.
Apabila
hasil
Kambuh.
Pada pasien
anak
yang pernah
mendapat
TB, tidak
dianjurkan
pemeriksaan
dahak
menunjukkan
untuk
dilakukan
uji tuberkulin
ulang.hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus
Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan
untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.

50

BAB IV
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

50

47

50

Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA dahak
positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan mengalami sakit TB.
Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB berat (misalnya TB meningitis atau TB
milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB.
Cara pemberian Isoniazid untuk Pencegahan sesuai dengan tabel berikut:
Tabel 19: Cara Pemberian Isoniazid untuk Pencegahan TB pada Anak
Umur

HIV

Balita
Balita
> 5 th
> 5 th
> 5 th
> 5 th

(+)/(-)
(+)/(-)
(+)
(+)
(-)
(-)

Hasil pemeriksaan
Infeksi laten TB
Sehat, Kontak (+), Uji tuberkulin (-)
Infeksi laten TB
Sehat
Infeksi laten TB
Sehat

Tata laksana
INH profilaksis
INH profilaksis
INH profilaksis
INH profilaksis
Observasi
Observasi

Pa
tah
me

Keterangan
Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg)
setiap hari selama 6 bulan.
Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya
gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka
harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus
segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal
Jika PP-INH selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan pemberian), maka
pemberian INH dapat dihentikan.
Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah
PP- INH selesai diberikan.

Ind
ber
pen
Be
13/
Pe
A.

52

B.

50

BAB IV
TATALAKSANA TB PADA ANAK (16)

na
ng

egi
TB

utu
pu

ng
ara
ap

asi
utu
nya

tuk

dai

an

tor

ari
nal,
TB

ab
TB

54

BAB V
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)

53

D. Diagnosis TB Resistan Obat


a.

b. Alur Diagnosis TB Resistan Obat

Keterangan dan Tindak lanjut setelah penegakan diagnosis:


a. Pasien terduga TB resistan obat akan mengumpulkan 3 spesimen dahak, 1 (satu)
spesimen dahak untuk pemeriksaan GeneXpert (sewaktu pertama atau pagi) dan 2
spesimen dahak (sewaktu-pagi/pagi-sewaktu) untuk pemeriksaan sediaan apus sputum
BTA, pemeriksaan biakan dan uji kepekaan.
b. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb negatif, lakukan investigasi terhadap kemungkinan
lain. Bila pasien sedang dalam pengobatan TB, lanjutkan pengobatan TB sampai selesai.
Pada pasien dengan hasil Mtb negatif, tetapi secara klinis terdapat kecurigaan kuat
terhadap TB MDR (misalnya pasien gagal pengobatan kategori-2), ulangi pemeriksaan
GeneXpert 1 (satu) kali dengan menggunakan spesi mendahak yang memenuhi kualitas
pemeriksaan. Jika terdapat perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan yang terakhir yang
menjadi acuan tindakan selanjutnya.
c. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Sensitif Rifampisin, mulai atau lanjutkan tatalaksana
pengobatan TB kategori-1 atau kategori-2, sesuai dengan riwayat pengobatan sebelumnya.
d. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Resistan Rifampisin, mulai pengobatan standar TB
MDR. Pasien akan dicatat sebagai pasien TB RR. Lanjutkan dengan pemeriksaan biakan
dan identifikasi kuman Mtb.
e. Jika hasil pemeriksaan biakan teridentifikasi kuman positif Mycobacterium tuberculosis (Mtb
tumbuh), lanjutkan dengan pemeriksaan uji kepekaan lini pertama dan lini kedua sekaligus.
Jika laboratorium rujukan mempunyai fasilitas pemeriksaan uji kepekaan lini-1 dan lini-2,
maka lakukan uji kepekaan lini-1 dan lini-2 sekaligus (bersamaan). Jika laboratorium
rujukan hanya mempunyai kemampuan untuk melakukan uji kepekaan lini-1 saja, maka uji
kepekaan dilakukan secara bertahap. Uji kepekaan tidak bertujuan untuk mengkonfirmasi
hasil pemeriksaan GeneXpert, tetapi untuk mengetahui pola resistensi kuman TB lainnya.
f. Jika terdapat perbedaan hasil antara pemeriksaan GeneXpert dengan hasil pemeriksaan uji
kepekaan, maka hasil pemeriksaan dengan GeneXpert menjadi dasar penegakan
diagnosis.
g. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan TB MDR (hasil uji kepekaan menunjukkan
adanya tambahan resistan terhadap INH), catat sebagai pasien TB MDR, dan lanjutkan
pengobatan TB MDR-nya.
h. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan hasil XDR (hasil uji kepekaan
menunjukkan adanya resistan terhadap ofloksasin dan Kanamisin/Amikasin), sesuaikan
paduan pengobatan pasien (ganti paduan pengobatan TB MDR standar menjadi paduan
pengobatan TB XDR), dan catat sebagai pasien TB XDR.
Catatan:
Untuk pasien yang mempunyai risiko TB MDR rendah (diluar 9 kriteria terduga TB
Resistanobat), jika pemeriksaan GeneXpert memberikan hasil Rifampisin Resistan, ulangi
pemeriksaan GeneXpert 1 (satu) kali lagi dengan spesi mendahak yang baru. Jika terdapat
perbedaan hasil pemeriksaan, maka hasil pemeriksaan yang terakhir yang dijadikan acuan
untuk tindak lanjut berikutnya.

56

BAB V
MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)

c.
d.
e.
f.
g.
h.

Serum elektrolit (Kalium, Natrium, Chlorida)


Asam Urat
Gula Darah (Sewaktu dan 2 jam sesudah makan)
Pemeriksaan Thyroid stimulating hormon (TSH)
Tes kehamilan untuk perempuan usia subur
Foto toraks.
Tes pendengaran (pemeriksanaan audiometri)
Pemeriksaan EKG
Tes HIV (bila status HIV belum diketahui)

59
2. Paduan OAT MDR di Indonesia
Pilihan paduan OAT MDR saat ini adalah paduan standar (standardized treatment), yang
pada permulaan pengobatan akan diberikan kepada semua pasien TB RR/TB MDR.
a. Paduan standar OAT MDR yang diberikan adalah:
Km Lfx Eto Cs Z (E) / Lfx Eto Cs Z (E)
Alternatif pengobatan standar pada kondisi khusus adalah sebagai berikut:
1) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar adalah
sebagai berikut:
Cm Lfx Eto Cs Z - (E) / Lfx Eto Cs Z (E)
2) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon maka paduan standar
adalah sebagai berikut:
Km-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)
3) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan fluorokuinolon (TB XDR)
maka paduan standar adalah sebagai berikut:
Cm-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)
b. Paduan standar ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB RR/MDR
secara laboratoris.
c. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap
lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian obat oral dan suntikan dengan lama
paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Tahap lanjutan
adalah pemberian paduan OAT oral tanpa suntikan.
d. Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan setelah terjadi konversi biakan.
Lama pengobatan berkisar 19-24 bulan.
Informasi lengkap mengenai pengobatan pasien TB MDR dibahas pada di Juknis
MTPTRO (Permenkes 13/2013).
3. Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB MDR
Selama menjalani pengobatan, pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons
pengobatan dan mengidentifikasi efek samping sejak dini. Gejala TB (batuk, berdahak,
demam dan BB menurun) pada umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama
pengobatan. Konversi dahak dan biakan merupakan indikator respons pengobatan.
Definisi konversi biakan adalah pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak
pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif.
Pemantauan yang dilakukan selama pengobatan meliputi pemantauan secara klinis dan
pemantauan laboratorium seperti pada tabel berikut.

58

BAB V

MANAJEMEN TERPADU PENGENDALIAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (MTPTRO)

60

F.

HIV
an
TB.
bal

on,
kes
an
but
tas
au
sis
ksi
akit
ua

an

B. Menurunkan beban TB pada ODHA dan inisiasi ART secara dini


B.1. Intensifikasi penemuan kasus TB pada ODHA termasuk pada populasi
kunci HIV dan memastikan pengobatan TB yang berkualitas
B.2. Inisiasi Pengobatan Pencegahan dengan INH dan inisiasi dini ART
B.3. Penguatan PPI TB di faskes yang memberikan layanan HIV, termasuk
Tempat Orang Berkumpul (Lapas/Rutan, Panti Rehabilitasi untuk
Pengguna NAPZA)
C. Menurunkan beban HIV pada pasien TB
C.1 Menyediakan tes dan konseling HIV pada pasien TB
C.2

Meningkatkan Pencegahan HIV untuk pasien TB

C.3

Menyediakan Pemberian PPK pada Pasien TB-HIV

C.4

Memastikan perawatan, dukungan dan pengobatan serta pencegahan


HIV pada pasien ko-infeksi TB-HIV

C.5

Menyediakan ART bagi pasien ko-infeksi TB-HIV

Kebijakan:
1. Kegiatan kolaborasi TB-HIV di Indonesia dilaksanakan sesuai tatalaksana pengendalian
TB dan HIV yang berlaku saat ini dengan mengutamakan berfungsinya jejaring diantara
fasilitas pelayanan kesehatan.
2.

Kelompok kerja atau forum komunikasi dibentuk pada tingkat Nasional, Provinsi dan
Kabupaten/Kota untuk mengkoordinasikan kegiatan kolaborasi TB-HIV dengan
melibatkan lintas sektoral.

3.

Diperlukan keterlibatan lebih banyak komunitas dan LSM dalam program TB dan
HIV/AIDS guna meningkatkan jangkauan dan cakupan penemuan kasus TB-HIV secara
signifikan.

4.

Perencanaan bersama antara program TB dan HIV dibutuhkan untuk melaksanaan


kolaborasi TB-HIV yang optimal dalam menetapkan peran dan tanggung jawab masingmasing program meliputi pelaksanaan, perluasan layanan, serta monitoring dan
evaluasi aktivitas kolaborasi TB-HIV di setiap tingkatan
Surveilans TB-HIV di Indonesia saat ini dilakukan dengan menggunakan data rutin yang
dikumpulkan dari layanan yang sudah melaksanakan kegiatan kolaborasi TB-HIV baik
dari layanan TB dan HIV dengan menggunakan SITT untuk program TB dan SIHA
untuk program HIV. Survei periodik dan survei sentinel dapat dilakukan bila diperlukan.

5.

6.

Semua pasien TB ditawarkan untuk melakukan pemeriksaan diagnosis HIV tanpa


melihat faktor resiko.

7.

Semua pasien koinfeksi TB-HIV sesegera mungkin dilakukan inisiasi ART tanpa menilai
jumlah CD4, setelah pengobatan TB dapat ditoleransi.

8.

Semua pasien koinfeksi TB-HIV diberikan


kotrimoksasol (PPK) tanpa menilai jumlah CD4.

pengobatan

pencegahan

BAB VI
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)

dengan

63

tes

ekstraparu sesuai dengan organ yang terkena misalnya TB pleura, TB perikard, TB milier,
TB susunan saraf pusat dan TB abdomen.

kaji

Diagnosis TB pada ODHA


Penegakkan diagnosis TB paru pada ODHA tidak terlalu berbeda dengan orang dengan HIV
negatif. Penegakan diagnosis TB pada umumnya didasarkan pada pemeriksaan
mikroskopis dahak namun pada ODHA dengan TB seringkali diperoleh hasil dahak BTA
negatif. Di samping itu, pada ODHA sering dijumpai TB ekstraparu di mana diagnosisnya
sulit ditegakkan karena harus didasarkan pada hasil pemeriksaan klinis, bakteriologi dan
atau histologi yang didapat dari tempat lesi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada
alur diagnosis TB pada ODHA, antara lain:

ini

ng

an

em
an
ma
em

tar
kat
asi
bih
min
pa

atu
HIV
atu

del
an

Pemeriksaan mikroskopis langsung


Pemeriksaan mikroskopik dahak dilakukan melalui pemeriksaan dahak Sewaktu Pagi
Sewaktu (SPS). Apabila minimal satu dari pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya
positif maka ditetapkan sebagai pasien TB.
Pemeriksaan tes cepat Xpert MTB/Rif
Pemeriksaan mikroskopis dahak pada ODHA sering memberikan hasil negatif, sehingga
penegakkan diagnosis TB dengan menggunakan tes cepat dengan Xpert MTB/Rif perlu
dilakukan. Pemeriksaan tes cepat dengan Xpert MTB/Rif juga dapat mengetahui adanya
resistensi terhadap rifampisin, sehingga penatalaksanaan TB pada ODHA tersebut bisa
lebih tepat. Jika fasilitas memungkinkan, pemeriksaan tes cepat dilakukan dalam waktu
yang bersamaan (paralel) dengan pemeriksaan mikroskopis.
Pemeriksaan biakan dahak
Jika sarana pemeriksaan biakan dahak tersedia maka ODHA yang BTA negatif, sangat
dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat membantu
untuk konfirmasi diagnosis TB.
Pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi
Penggunaan antibiotik dengan maksud sebagai alat bantu diagnosis seperti alur
diagnosis TB pada orang dewasa dapat menyebabkan diagnosis dan pengobatan TB
terlambat sehingga dapat meningkatkan risiko kematian ODHA. Oleh karena itu,
pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi.
Namun antibiotik perlu diberikan pada ODHA dengan IO yang mungkin disebabkan oleh
infeksi bakteri lain bersama atau tanpa M.tuberculosis. Jadi, maksud pemberian antibiotik
tersebut bukanlah sebagai alat bantu diagnosis TB tetapi sebagai pengobatan infeksi
bakteri lain. Jangan menggunakan antibiotik golongan fluorokuinolon karena memberikan
respons terhadap M.tuberculosis dan dapat memicu terjadinya resistensi terhadap obat
tersebut.
Pemeriksaan foto toraks
Pemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam membantu diagnosis TB
pada ODHA dengan BTA negatif. Namun perlu diperhatikan bahwa gambaran foto toraks
pada ODHA umumnya tidak spesifik terutama pada stadium lanjut.

an
ala

BAB VI
KEGIATAN KOLABORASI TB/HIV (15)

65

E.

F.

G.

H.

I.

BAB VII
VII
BAB
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS
Penularan utama TB adalah melalui cara dimana kuman TB (Mycobacterium tuberculosis)
tersebar melalui diudara melalui percik renik dahak saat pasien TB paru atau TB laring batuk,
berbicara, menyanyi maupun bersin. Percik renik tersebut berukuran antara 1-5 mikron
sehingga aliran udara memungkinkan percik renik tetap melayang diudara untuk waktu yang
cukup lama dan menyebar keseluruh ruangan. Kuman TB pada umumnya hanya ditularkan
melalui udara, bukan melalui kontak permukaan.
Infeksi terjadi apabila seseorang yang rentan menghirup percik renik yang mengandung kuman
TB melalui mulut atau hidung, saluran pernafasan atas, bronchus hingga mencapai alveoli.
Mencegah penularan tuberkulosis pada semua orang yang terlibat dalam pemberian pelayanan
pada pasien TB harus menjadi perhatian utama. Penatalaksanaan Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi (PPI) TB bagi petugas kesehatan sangatlah penting peranannya untuk
mencegah tersebarnya kuman TB ini.
A. Prinsip Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.
Salah satu risiko utama terkait dengan penularan TB di tempat pelayanan kesehatan adalah
yang berasal dari pasien TB yang belum teridentifikasi. Akibatnya pasien tersebut belum
sempat dengan segera diperlakukan sesuai kaidah PPI TB yang tepat.
Semua tempat pelayanan kesehatan perlu menerapkan upaya PPI TB untuk memastikan
berlangsungnya deteksi segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang yang
dicurigai atau dipastikan menderita TB. Upaya tersebut berupa pengendalian infeksi
dengan 4 pilar yaitu :
1. Pengendalian Manajerial
2. Pengendalian administratif
3. Pengendalian lingkungan
4. Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri
PPI TB pada kondisi/situasi khusus adalah pelaksanaan pengendalian infeksi pada
rutan/lapas, rumah penampungan sementara, barak-barak militer, tempat-tempat
pengungsi, asrama dan sebagainya. Misalnya di rutan/lapas skrining TB harus dilakukan
ada saat WBP baru, dan kontak sekamar.
1. Pengendalian Manajerial.
Pihak manajerial adalah pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Kepala Dinas
Kesehatan Propinsi dan Kabupaten /Kota dan/atau atasan dari institusi terkait.
Komitmen, kepemimipinan dan dukungan manajemen yang efektif berupa penguatan dari
upaya manajerial bagi program PPI TB yang meliputi:
a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB
b. Membuat SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan
surveilans
c. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif

72

74

BAB VII
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS

Langkah- Langkah Strategi TEMPO sebagai berikut:


a. Temukan pasien secepatnya.
Strategi TEMPO secara khusus memanfaatkan petugas surveilans batuk untuk
mengidentifikasi terduga TB segera mencatat di TB 06 dan mengisi TB 05 dan dirujuk
ke laboratorium.

b. Pisahkan secara aman.

Petugas surveilans batuk segera mengarahkan pasien yang batuk ke tempat khusus
dengan area ventilasi yang baik, yang terpisah dari pasien lain,serta diberikan masker.
Untuk alasan kesehatan masyarakat, pasien yang batuk harus didahulukan dalam
antrian (prioritas).

c. Obati secara tepat.

Pengobatan merupakan tindakan paling penting dalam mencegah penularan TB


kepada orang lain. Pasien TB dengan terkonfirmasi bakteriologis, segera diobati
sesuai dengan panduan nasional sehingga menjadi tidak infeksius

3. Pengendalian Lingkungan.
Adalah upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi dengan menggunakan
teknologi untuk mencegah penyebaran dan mengurangi/ menurunkan kadar percik renik
di udara. Upaya pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik kearah
tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi ultraviolet sebagai
germisida.
Sistem ventilasi ada 2 jenis, yaitu:
a. Ventilasi Alamiah
b. Ventilasi Mekanik
c. Ventilasi campuran
Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan setempat.
Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi suatu fasyankes berdasarkan kondisi lokal yaitu
struktur bangunan, iklim-cuaca, peraturan bangunan, budaya, dana dan kualitas udara
luar ruangan serta perlu dilakukan monitoring dan pemeliharaan secara periodik.
4. Pengendalian Dengan Alat Pelindung Diri.
Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas kesehatan di tempat pelayanan
sangat penting untuk menurunkan risiko terpajan, sebab kadar percik renik tidak dapat
dihilangkan dengan upaya administratif dan lingkungan.
Petugas kesehatan menggunakan respirator dan pasien menggunakan masker bedah.
Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator particulat (respirator) pada saat
melakukan prosedur yang berisiko tinggi, misalnya bronkoskopi, intubasi, induksi sputum,
aspirasi sekret saluran napas, dan pembedahan paru. Selain itu, respirator ini juga perlu
digunakan
saat
memberikan
perawatan
kepada
pasien
atau
saat
menghadapi/menangani pasien tersangka MDR-TB dan XDR-TB di poliklinik.

74

76

BAB VII
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS

Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika berada bersama
pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak perlu menggunakan
respirator tetapi cukup menggunakan masker bedah untuk melindungi lingkungan
sekitarnya dari droplet.
Gambar 6: Jenis respirator untuk petugas kesehatan

Respirator partikulat untuk pelayanan kesehatan N95 atau FFP2 (health care particular
respirator), merupakan masker khusus dengan efisiensi tinggi untuk melindungi
seseorang dari partikel berukuran < 5 mikron yang dibawa melalui udara. Pelindung ini
terdiri dari beberapa lapisan penyaring dan harus dipakai menempel erat pada wajah
tanpa ada kebocoran. Masker ini membuat pernapasan pemakai menjadi lebih berat.
Harganya lebih mahal daripada masker bedah. Bila cara pemeliharaan dan penyimpanan
dilakukan dengan baik, maka respirator ini dapat digunakan kembali (maksimal 3 hari).
Sebelum memakai masker ini, petugas kesehatan perlu melakukan fit test.

77

BAB VII
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TUBERKULOSIS

75

BAB VIII
BAB
VIII
PUBLIC PRIVATE
MIX
DOTS PENGENDALIAN
DALAM
PUBLIC PRIVATE
MIX DOTS
DALAM
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
TUBERKULOSIS
Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses universal terhadap
layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang sistematis melibatkan secara
aktif seluruh penyedia layanan kesehatan oleh karena itu perlu pelibatan semua fasilitas
layanan kesehatan.
Public Private Mix (bauran layanan pemerintah-swasta), adalah pelibatan semua fasilitas
layanan kesehatan dalam upaya ekspansi layanan pasien TB dan kesinambungan program
pengendalian TB dengan pendekatan secara komperhensif.
PPM (Public Private Mix) meliputi:
Hubungan kerjasama pemerintah-swasta, seperti: kerjasama program pengendalian TB
dengan faskes milik swasta, kerjasama dengan sektor industri/perusahaan/tempat kerja,
kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Hubungan kerjasama pemerintah-pemerintah, seperti: kerjasama program pengendalian TB
dengan institusi pemerintah Lintas Program/Lintas Sektor, kerjasama dengan faskes milik
pemerintah termasuk faskes yang ada di BUMN, TNI, POLRI dan lapas/rutan.
Hubungan kerjasama swasta-swasta, seperti: kerjasama antara organisasi profesi dengan
LSM, kerjasama RS swasta dengan DPM, kerjasama DPM dengan laboratorium swasta dan
apotik swasta.
Sehubungan dengan berlakunya Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) yang dimulai
Januari tahun 2014, maka pemberian layanan TB tanpa penyulit dilakukan di FKTP,
sedangkan untuk TB dengan penyulit atau yang memerlukan pemeriksaan diagnosis lanjutan
dilakukan di FKRTL.
A. Tujuan
Tujuan PPM adalah menjamin ketersediaan akses layanan TB yang merata, bermutu dan
berkesinambungan bagi masyarakat terdampak TB untuk menjamin kesembuhan.
B. Prinsip dan Strategi PPM.
1. Prinsip PPM
Dalam melaksanakan kegiatan PPM harus menerapkan prinsip sebagai berikut:
a. Kegiatan dilaksanakan dengan prinsip kemitraan dan saling menguntungkan.
b. Kegiatan PPM diselenggarakan sebesar-besarnya untuk kebaikan pasien dengan
menerapkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK).
c. Kegiatan PPM diselenggarakan melalui sistim jejaring yang dikoordinir oleh program
pengendalian TB di setiap tingkat.

76

78

BAB VIII
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

2. Strategi PPM
Program Pengendalian TB dalam strategi nasional diarahkan menuju akses universal
terhadap layanan TB yang berkualitas, dapat dicapai dengan upaya yang sistematis
melibatkan secara aktif seluruh penyedia layanan kesehatan, sehingga diharapkan
peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan DOTS yang lebih luas dengan penekanan
pada pendekatan penguatan sistem yang dicerminkan dalam 6 pilar Public Private Mix
(PPM), yaitu :
a. Pilar 1 : Pelayanan DOTS Dasar di Puskesmas,
b. Pilar 2 : Pelayanan DOTS di RS publik/swasta,
c. Pilar 3 : Pelayanan DOTS oleh DP mandiri dan spesialis,
d. Pilar 4 : Diagnosis TB yang berkualitas,
e. Pilar 5 : OAT dan penggunaan secara rasional,
f. Pilar 6 : Penguatan sistim komunitas.
C. Penerapan PPM
Penerapan PPM dilaksanakan di setiap tingkat, yaitu:
1. Tingkat Nasional
2. Tingkat Provinsi
3. Tingkat Kabupaten/Kota
1. Tingkat Nasional
Di tingkat nasional, strategi PPM diarahkan untuk mengembangkan kebijakan, peraturan,
pedoman, standar, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang menjadi pegangan
bagi penerapan PPM di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pelaksana PPM di tingkat
nasional terdiri dari jajaran Kementerian Kesehatan RI dan kementerian terkait lainnya,
pemangku kepentingan di tingkat nasional: forum stop TB partnership Indonesia (FSTPI),
organisasi profesi, asosiasi penyelenggara kesehatan, LSM serta mitra internasional.
2. Tingkat Provinsi
Di tingkat provinsi dibentuk tim PPM yang terdiri dari dinas kesehatan, perhimpunan
profesi, serta pemangku kepentingan lain, yaitu: LSM, organisasi keagamaan, tempat
kerja, lapas/rutan. Pembentukan Tim PPM tingkat provinsi dimaksudkan agar dapat
melakukan pembinaan aspek program/kesehatan masyarakat maupun aspek profesi di
tingkat kabupaten/kota.
3. Tingkat kabupaten/kota
Penerapan strategi PPM kabupaten/kota melalui peningkatan jejaring kemitraan antar
pemangku kepantingan dan jejaring rujukan antar fasyankes.Tahapan pelaksanaan
dimulai dengan pembentukan tim, menyusun rencana kerja berdasarkan hasil pemetaan
dan evaluasi kebutuhan. Tim PPM Kab/kota mendukung dinas kesehatan kabupaten/kota
untuk berfungsinya jejaring kemitraan dan jejaring rujukan.
Uraian berikut menjelaskan rincian dari strategi PPM.
a. Pilar 1: Pelayanan DOTS Dasar di Puskesmas .
Subdit Tuberkulosis, Direktorat Pengendalian Penyakit Menular langsung, Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan menetapkan NSPK
berkaitan dengan Pilar ini antara lain:
79

BAB VIII
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

77

1) Penguatan sistem surveilans dan Management Information for Action (MIFA),


misalnya Pengembangan Sistim Informasi TB Terpadu (SITT) berbasis web yang
bekerjasama dengan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin).
2) Peningkatan Kualitas layanan DOTS paripurna.
3) Pendekatan praktis kesehatan paru (Practical Approach to Lung Health/PAL) yaitu
pendekatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer terhadap pasien yang
mengalami gangguan saluran pernafasan dengan keluhan utama batuk kronis dan
sesak.
4) Meningkatkan cakupan TBHIV yaitu melalui:
Pelaksanaan Kegiatan kolaborasi TB-HIV
Pencatatan & Pelaporan Kegiatan kolaborasi TB-HIV
5) Penyusunan Regulasi dari Kementerian Pertahanan dalam upaya pengendalian TB
di wilayah Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) melalui faskes
TNI dan pengembangan jejaring melalui Mobilisasi Sosial TNI.
6) Membentuk jejaring antara Pilar pelayanan DOTS dasar dengan pilar-pilar yang
lain, contohnya:
Memperluas Pelayanan untuk pasien TB Resistan Obat.
Pelibatan Rutan/Lapas dalam pelayanan untuk warga binaan pemasyarakatan
(WBP) yang terdampak dan rentan terhadap TB.
Pelibatan tempat kerja, swasta dan dunia usaha untuk membangun kepedulian
perusahan terhadap pengendalian TB melalui CSR (Corporate Social
Responsibility).
Integrasi layanan TB di FKTP kedalam skema JKN yang dikelola oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Bekerjasama dengan organisasi profesi dalam hal peningkatan rujukan kasus
TB ke faskes DOTS dasar.
7) Peningkatan pelacakan kasus dan upaya promotif preventif.
b. Pilar 2: Pelayanan DOTS di RS publik/swasta
Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan akan menetapkan NSPK sesuai
pendekatan-pendekatan sebagai berikut:
1) Integrasi penerapan layanan TB dengan Strategi DOTS ke dalam Akreditasi
Rumah Sakit 2012.
2) Penerapan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tatalaksana TB.
3) Membentuk jejaring antara Pilar pelayanan DOTS di RS dengan pilar yang lain,
contohnya:
Memperkuat jejaring rujukan dengan pelayanan DOTS dasar.
Memperluas layanan rujukan TB resistan obat di RS-RS yang ditunjuk.
Mendorong terbentuknya Center of Excellent (COE) untuk layanan TB.
Meningkatkan kualitas layanan TB-HIV yaitu melalui:
Pelaksanaan Kegiatan kolaborasi TB-HIV,
Pencatatan & Pelaporan Kegiatan kolaborasi TB-HIV,
Pengobatan pencegahan dengan INH (PP-INH).
c. Pilar 3: Pelayanan DOTS oleh Dokter Praktek Mandiri dan Spesialis
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengkoordinir penerapan pilar ke 3 melalui pendekatanpendekatan sebagai berikut:

78

80

BAB VIII
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

1) Penerapan International Standards for TB Care (ISTC) yang telah diwujudkan


dalam bentuk PNPK yang merupakan standar pelayanan TB bagi dokter di seluruh
Indonesia.
2) Sertifikasi DPM untuk mengobati pasien TB melalui terbitnya Surat Keputusan PB
IDI No.680.1/PB/A/09/2013 tentang penatalaksanaan pasien tuberkulosis. Dokter
yang tersertifikasi TB memiliki kewenangan mengobati pasien TB, sedangkan
dokter yang belum tersertifikasi hanya diperkenankan menjaring terduga TB dan
merujuk kepada fasilitas layanan TB dengan strategi DOTS. Dokter yang
mengobati pasien TB akan mendapatkan penghargaan dalam bentuk SKP dari PB
IDI.
3) Penetapan Panduan Praktik Klinis Dokter di Layanan Primer melalui Surat
Keputusan PB IDI no.561/PB/A.4/08/2013 dan diperkuat dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia no.5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis
bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer.
Selain IDI, pilar 3 ini juga meliputi pendekatan lain yang dikoordinir oleh Kemenkes
berupa kerjasama dengan Kementerian Pendidikan Nasional menerbitkan Pedoman
Nasional Penyusunan Modul TB di Kurikulum Fakultas Kedokteran dan telah
disosialisasikan kepada 70 Fakultas Kedokteran di Indonesia.
d. Pilar 4: Diagnosis TB yang berkualitas.
Pilar ini dikoordinir oleh Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik (BPPM) dan
Sarana Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Upaya Rujukan, melalui pendekatan:
1) Penguatan Jejaring dan Quality Assurance (QA) laboratory
dengan
mengembangkan sistim Pemantauan Mutu Eksternal pemeriksaan diagnostik TB
(Mikroskopis, kultur, DST dan molekuler).
2) Menjamin kualitas laboratorium di fasyankes melalui pengembangan Jejaring Lab
TB dengan mengatur dan mendorong adanya Laboratorium Rujukan TB Provinsi
dan Laboratorium rujukan intermediate.
3) Menentukan laboratorium yang bersertifikat untuk pemeriksaan biakan dan uji
kepekaan OAT lini 1 dan 2.
4) Pemanfaatan teknologi tes diagnostik TB dengan tes cepat (GeneXpert dan LPA).
5) Meningkatkan keterlibatan lab swasta dalam jejaring DOTS serta meningkatkan
mutunya.
e. Pilar 5: Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara Rasional.
Pilar ini dilaksanakan oleh Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan Dirjen
Bina Kefarmasian Alat Kesehatan dengan melibatkan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Pendekatan pilar ini lebih pada penetapan regulasi dan penegakan hukum, yaitu:
1) Mendukung dan memfasilitasi pelaksanaan kebijakan One Gate Policy.
2) Pelaksanaan post market surveillance untuk OAT lini-1.
3) Penyusunan SOP pengelolaan logistik TB OAT dalamnya termasuk SOP uji
kualitas OAT.
4) Memfaslitasi proses prakualifikasi WHO untuk OAT.
5) Mendorong regulasi penggunaan OAT secara rasional.
f. Pilar 6: Penguatan Sistem Komunitas.
Pilar ini melibatkan secara aktif lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
Organisasi Masyarakat dan organisasi terdampak TB, melalui pendekatan:
81

BAB VIII
PUBLIC PRIVATE MIX DOTS DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

79

BAB IX
BAB
IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

Diagnosis TB melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak merupakan metode baku emas
(gold standard). Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu lebih lama (paling cepat sekitar
6 minggu) dan memerlukan fasilitas sumber daya laboratorium yang memenuhi standar .
Pemeriksaan 3 contoh uji (SPS) dahak secara mikroskopis nilainya identik dengan
pemeriksaan dahak secara kultur atau biakan. Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan
pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, bersifat spesifik, sensitif dan hanya dapat
dilaksanakan di semua unit laboratorium. Untuk mendukung kinerja penanggulangan TB,
diperlukan manajemen yang baik agar terjamin mutu laboratorium tersebut.
Manajemen laboratorium TB meliputi beberapa aspek yaitu; organisasi pelayanan laboratorium
TB, sumber daya laboratorium, kegiatan laboratorium, pemantapan mutu laboratorium TB,
keamanan dan kebersihan laboratorium, dan monitoring (pemantauan) dan evaluasi.
A. Organisasi Pelayanan Laboratorium TB.
Laboratorium TB tersebar luas dan berada di setiap wilayah, mulai dari tingkat Kecamatan,
Kab/Kota, Provinsi, dan Nasional, yang berfungsi sebagai laboratorium pelayanan
kesehatan dasar, rujukan maupun laboratorium pendidikan/penelitian. Setiap laboratorium
yang memberikan pelayanan pemeriksaan TB mulai dari yang paling sederhana, yaitu
pemeriksaan apusan secara mikroskopis sampai dengan pemeriksaan paling mutakhir
seperti PCR, harus mengikuti acuan/standar.
Untuk menjamin pelaksanaan pemeriksaan yang sesuai standar, maka diperlukan jejaring
laboratorium TB. Masing-masing laboratorium di dalam jejaring TB memiliki fungsi, peran,
tugas dan tanggung jawab yang saling berkaitan.
Masing-masing tingkat laboratorium memiliki fungsi sesuai dengan pelayanan laboratorium
mikroskopis, biakan, uji kepekaan dan molekuler.
1. Jejaring Pelayanan Laboratorium Mikroskopis TB.
a. Laboratorium mikroskopis TB di faskes
Dalam layanan pemeriksaan mikroskopis, fasilitas kesehatan dibagi berdasarkan
kemampuannya melakukan pemeriksaan mikroskopis TB menjadi:
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Rujukan Mikroskopis TB (FKTP-RM), adalah
FKPT dengan laboratorium yang mampu membuat sediaan contoh uji , pewarnaan
dan pemeriksaan mikroskopis dahak, menerima rujukan dan melakukan pembinaan
teknis kepada laboratorium FKTP Satelit (FKPT-PS). FKTP-RM harus mengikuti
pemantapan mutu eksternal melalui uji silang berkala oleh laboratorium RUS-1 di
wilayahnya atau lintas kabupaten/kota.
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Satelit (FKTP-S), adalah FKTP dengan
laboratorium yang melayani pengumpulan dahak, pembuatan contoh uji, fiksasi dan
kemudian merujuk ke FKTP-RM.
Dalam jejaring laboratorium mikroskopis TB semua fasiltas laboratorium kesehatan
termasuk laboratorium Rumah Sakit dan laboratorium swasta yang melakukan
pemeriksaan laboratorium mikroskopis TB dapat mengambil peran sebagai FKTP-RM
dan FKTP-S sesuai dengan kemampuan pemeriksaan yang dilaksanakannya.

82

BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

b. Laboratorium Rujukan Uji Silang Pertama /Lab Intermediate/ RUS 1


Laboratorium RUS 1 ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
setelah memenuhi kriteria yang telah ditentukan dan berada di tingkat Kabupaten/Kota
dengan wilayah kerja yang ditetapkan oleh Dinas Kabupaten/Kota terkait atau lintas
kabupaten/kota atas kesepakatan antara Dinas Kabupaten /Kota. Pada Lab RUS 1
dengan wilayah kerja lebih dari 1 kabupaten/kota, penetapan laboratorium oleh Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi.
Laboratorium RUS 1 memiliki tugas dan fungsi:
1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan mikroskopis BTA.
2) Melaksanakan uji silang sediaan dahak dari laboratorium fasyankes di wilayah
kerjanya.
3) Melakukan pembinaan teknis laboratorium mikroskopis di wilayah kerjanya.
4) Melakukan pemantauan pemantapan mutu pemeriksaan laboratorium TB di wilayah
kerjanya (uji mutu reagensia dan kinerja pemeriksaan).
5) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk pengelolaan
jejaring laboratorium TB di wilayahnya.
c. Laboratorium Rujukan Uji Silang Kedua/ RUS 2
Laboratorium RUS 2 terdapat di provinsi yang memiliki laboratorium RUS 1. Apabila
provinsi yang tidak memiliki laboratorium RUS 1, maka laboratorium rujukan provinsi
berperan sebagai lab RUS.
Laboratorium RUS 2 ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi setelah memenuhi
kriteria yang telah ditentukan dengan peran dan fungsi:
1) Melakukan uji silang ke-2 jika terdapat perbedaan hasil pemeriksaan (diskordance)
mikroskopis laboratorium fasyankes dan laboratorium RUS 1
2) Melakukan pembinaan teknis laboratorium RUS 1 di wilayahnya
3) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi untuk pengelolaan jejaring
laboratorium TB di wilayahnya
4) Melakukan pemantauan pemantapan mutu pemeriksaan laboratorium TB di wilayah
kerjanya (uji mutu reagensia dan kinerja pemeriksaan).
5) Mengikuti PME tingkat nasional (uji silang sediaan dahak dengan metode LQAS,
supervisi, tes panel) dari Laboratorium Rujukan Nasional.
d. Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 1909/MENKES/SK/IX/2011
tentang Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional telah ditunjuk BLK Provinsi
Jawa Barat sebagai Laboratorium Rujukan TB Nasional untuk Pemeriksaan
Mikroskopis TB yang pembinaannya berada dibawah Kementerian Kesehatan cq
Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas
pokok sebagai berikut:
1) Peran:
a) Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan mikroskopis TB
b) Laboratorium pembina mutu dan pengembangan jejaring untuk pemeriksaan
mikroskopis TB
2) TanggungJawab:
Memastikan semua kegiatan laboratorium mikroskopis dalam jejaring laboratorium
mikroskopisTB berjalan sesuai peran dan tugas pokoknya.

BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

83

c. Laboratorium biakan
Laboratorium biakan adalah laboratorium yang melaksanakan pemeriksaan biakan M.
tuberculosis sesuai standar dan memenuhi indikator kinerja laboratorium biakan TB.
Pencatatan pelaporan wajib dilaksanakan oleh laboratorium biakan TB dan indikator
kinerja laboratorium ini dilaporkan kepada Laboratorium Rujukan Regional dan LRN.
Laboratorium ini memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:
1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan biakan dan identifikasi parsial NTM
2) Mengirimkan isolat biakan ke Laboratorium Rujukan Regional
3) Mengikuti pemantapan mutu oleh LRN
4) Berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi terkait dengan tugasnya sebagai
Laboratorium rujukan biakan provinsi
d. Laboratorium biakan dan uji kepekaan
Melakukan pemeriksaan pemeriksaan biakan M. tuberculosis dan uji kepekaan OAT
sesuai standard dan tersertifikasi melalui mekanisme pemantapan mutu oleh LRN.
Laboratorium ini memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:
1) Melaksanakan pelayanan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan OAT lini 1 dan/
atau 2
2) Melakukan pembinaan dan menerima rujukan dari laboratorium yang melakukan
pemeriksaan biakan TB di wilayah kerjanya. Fungsi ini merupakan fungsi sebagai
laboratorium rujukan regional. Laboratorium dengan fungsi regional adalah
laboratorium rujukan provinsi yang ditetapkan oleh LRN berkoordinasi dengan
Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan
3) Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk pengelolaan
jejaring laboratorium TB di wilayah kerjanya.
4) Mengikuti pemantapan mutu oleh LRN.
e. Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 1909/MENKES/SK/IX/2011
tentang Laboratorium Rujukan Tuberkulosis Nasional telah ditunjuk BBLK Surabaya
sebagai Laboratorium Rujukan TB Nasional untuk Pemeriksaan Mikroskopis TB yang
pembinaannya berada dibawah Kementerian Kesehatan cq Direktorat Jenderal Bina
Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas pokok sebagai berikut:
1) Peran
a) Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan TB.
b) Laboratorium pembina mutu dan pengembangan jejaring untuk pemeriksaan
isolasi, identifikasi, dan uji kepekaan TB.
2) Tugas Pokok
a) Pemetaan distribusi, jumlah dan kinerja laboratorium biakan dan uji kepekaan
TB
b) Memfungsikan jejaring laboratorium biakan dan uji kepekaan TB
c) Menentukan spesifikasi alat dan bahan habis pakai untuk laboratorium biakan
dan uji kepekaan TB
d) Mengembangkan pedoman teknis, prosedur tetap, pemantapan mutu eksternal
(PME) dan pedoman pelatihan biakan dan uji kepekaan TB
e) Menyelenggarakan PME dalam jejaring laboratorium biakan dan uji kepekaan
TB
f) Melaksanakan pelayanan rujukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan TB

BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

85

Jenderal Bina Upaya Kesehatan dengan peran, tanggung jawab dan tugas pokok
sebagai berikut:
1) Peran
a) Sebagai Laboratorium rujukan nasional untuk penelitian operasional TB,
b) Sebagai Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan molekuler, serologi
dan MOTT.
2) Tugas Pokok
a) Melaksanakan penelitian operasional TB
b) Melaksanakan pemeriksaan molekuler, serologi dan MOTT.
c) Melaksanakan evaluasi/validasi teknologi baru.
d) Melaksanakan pelatihan dan evaluasi pasca pelatihan teknologi baru
e) Melaksanakan PME untuk teknologi baru
f) Bekerjasama dalam jejaring laboratorium TB internasional.
3) Tanggungjawab
Memastikan semua kegiatan laboratorium rujukan TB nasional sebagai penelitian
operasional TB, pemeriksaan molekuler, serologi dan MOTT berjalan sesuai peran
dan tugas pokok.
B. Manajemen Laboratorium TB.
1. Manajemen Logistik Laboratorium TB.
Perencanaan, pengadaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan dan penggunaan
logistik laboratorium TB diatur melalui mekanisme logistik Program Pengendalian TB
2. Manajemen Pemantapan Mutu Laboratorium TB.
Pemantapan mutu laboratorium TB dilakukan secara berjenjang sesuai dengan jejaring
laboratorium mikroskopis, biakan/uji kepekaan dan uji cepat biomolekuler.
Komponen pemantapan mutu terdiri dari 3 hal utama yaitu:
a. Pemantapan Mutu Internal (PMI)
b. Pemantapan Mutu Eksternal (PME)
c. Peningkatan Mutu (Quality Improvement)
a. Pemantapan Mutu Internal (PMI)
PMI adalah kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan laboratorium TB untuk
mencegah kesalahan pemeriksaan laboratorium dan mengawasi proses pemeriksaan
laboratorium agar hasil pemeriksaan tepat dan benar.
Tujuan PMI:
1) Memastikan bahwa semua proses sejak persiapan pasien, pengambilan,
penyimpanan, pengiriman, pengolahan contoh uji, pemeriksaan contoh uji,
pencatatan dan pelaporan hasil dilakukan dengan benar.
2) Mendeteksi kesalahan, mengetahui sumber/penyebab dan mengoreksi dengan
cepat dan tepat.
3) Membantu peningkatan pelayanan pasien.
Kegiatan PMI harus meliputi setiap tahap pemeriksaan laboratorium yaitu tahap praanalisis, analisis, pasca-analisis, dan harus dilakukan terus menerus.

BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

87

Beberapa hal yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan PMI yaitu:


1) Tersedianya Prosedur Tetap (Protap) untuk seluruh proses kegiatan pemeriksaan
laboratorium, misalnya :
a) Protap pengambilan dahak
b) Protap pembuatan contoh uji dahak
c) Protap pewarnaan Ziehl Neelsen
d) Protap pemeriksaan Mikroskopis
e) Protap pembuatan media
f) Protap inokulasi
g) Protap identifikasi
h) Protap pengelolaan limbah, dan sebagainya.
2) Tersedianya Formulir /buku untuk pencatatan dan pelaporan kegiatan pemeriksaan
laboratorium TB
3) Tersedianya jadwal pemeliharaan/kalibrasi alat, audit internal, pelatihan petugas
4) Tersedianya contoh uji kontrol (positip dan negatip) dan kuman kontrol.
b. Pemantapan Mutu Eksternal (PME)
PME laboratorium TB dilakukan secara berjenjang, karena itu penting sekali
membentuk jejaring dan tim laboratorium TB di laboratorium rujukan. Pelaksanaan
PME dalam jejaring ini harus berlangsung teratur/berkala dan berkesinambungan.
Koordinasi PME harus dilakukan oleh laboratorium penyelenggara yaitu laboratorium
rujukan bersama dengan Dinas Kesehatan setempat agar dapat melakukan evaluasi
secara baik, berkala dan berkesinambungan.
1) Perencanaan PME
a) Melakukan koordinasi diantara komponen pelaksana Program TB berdasarkan
wilayah kerja jejaring laboratorium TB
b) Menentukan kriteria laboratorium penyelenggara
c) Menentukan jenis kegiatan PME
d) Penjadwalan pelaksanaan PME dengan mempertimbangkan beban kerja
laboratorium penyelenggara.
e) Menentukan kriteria petugas yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan PME
f) Penilaian dan umpan balik.
2) Kegiatan PME
Kegiatan PME laboratorium TB dilakukan melalui:
a) PME Mikroskopis
Uji silang sediaan dahak mikroskopis
Dilaksanakan secara berkala dan berkesinambungan dengan melakukan
pemeriksaan ulang sediaan dahak dari unit laboratorium mikroskopis TB di
fasyankes. Pengambilan sediaan dahak untuk uji silang dilakukan dengan
metode Lot Quality Assurance Sampling (LQAS). Metoda ini diterapkan
diseluruh Indonesia namun dengan mempertimbangkan kondisi geografis
dan sumber daya laboratorium metoda LQAS dapat dimodifikasi sehingga
alur dan peran komponen PME dapat berubah.

88

BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

3. Manajemen Sistim Informasi Laboratorium TB


Untuk menjamin data kegiatan laboratorium dapat termonitor dengan baik, maka seluruh
kegiatan laboratorium TB akan terintegrasi dengan Sistem Informasi Terpadu
Tuberkulosis (SITT) untuk pelayanan pemeriksaan mikrokopis (Laporan TB.12) dan eTB
Manager untuk pelayanan pemeriksaan biakan, uji kepekaan dan uji cepat biomolekuler.
C. Keamanan dan Keselamatan Kerja di Laboratorium TB
Manajemen laboratorium harus menjamin adanya sistem dan perangkat keamanan dan
keselamatan kerja serta pelaksanaannya oleh setiap petugas di laboratorium dengan
pemantauan dan evaluasi secara berkala, yang diikuti dengan tindakan koreksi yang
memadai. Komponen yang berperan pada keselamatan dan keamanan laboratorium TB
yaitu: infrastruktur laboratorium, peralatan, bahan yang dipakai, proses dan keterampilan
kerja dan pengelolaan limbah laboratorium TB. Komponen-komponen tersebut harus
diselaraskan baik dari aspek pengelolaan (manajemen) dan teknis laboratorium agar
terjamin keselamatan dan keamanan petugas dan lingkungan. Keselamatan dan Keamanan
Laboratorium TB bertujuan untuk mencegah dan menangani infeksi dan kecelakaan kerja di
laboratorium TB.

90

BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS

BAB X
X
BAB
PENGELOLAAN
LOGISTIK
PROGRAM
PENGELOLAAN
LOGISTIK
PROGRAM
PENGENDALIAN
PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
TUBERKULOSIS
Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis (P2TB) merupakan komponen yang
penting dalam program pengendalian TB agar kegiatan program dapat dilaksanakan,
baik di Pusat dan Dinas Kesehatan maupun di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
(Fasyankes).
Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan logistik P2TB dengan baik sehingga
ketersediaan dan kualitasnya terjamin.
A. Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis.
1. Pengertian Logistik P2TB.
Logistik P2TB adalah seluruh rangkaian proses pengelolaan logistik P2TB mulai
dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan penggunaan
bahan dan alat kesehatan untuk menunjang kegiatan P2TB, mulai dari proses
penegakan diagnosis sampai dengan pasien menyelesaikan pengobatannya.
Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah semua jenis OAT yang digunakan
untuk mengobati pasien TB dan TB resistan obat.
Logistik Non OAT adalah semua jenis bahan dan alat kesehatan selain OAT yang
digunakan untuk mendukung tatalaksana pasien TB dan TB resistan obat.
2. Jenis-jenis Logistik P2TB.
Jenis-jenis logistik P2TB dibagi dalam 2 jenis, yaitu: Obat Anti TB (OAT) dan Non
OAT.
a. Jenis-jenis Logistik Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Jenis-jenis logistik OAT yang digunakan Program Pengendalian TB (P2TB di
Indonesia adalah seluruh jenis OAT ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan
R.I. berdasarkan rekomendasi dari Komite Ahli (KOMLI) dengan
memperhatikan beberapa paduan OAT yang direkomendasikan oleh WHO.
Jenis-jenis OAT yang digunakan P2TB adalah:
Lini pertama: Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E)
dan Streptomisin (S).
Lini kedua: Kanamycin (Km), Capreomycin (Cm), Levofloxacin (Lfx),
Moxifloxacin (Mfx), Ethionamide (Eto), Cycloserin (Cs) dan Para Amino
Salicylic (PAS).
1) Obat Anti TB (OAT) Non Resistan
Dalam pelayanan pengobatan pasien TB, Program Nasional Pengendalian
TB (Kemenkes R.I) menyediakan paduan OAT dalam bentuk paket
individual untuk setiap pasien. Paket OAT ini dikemas dalam dua jenis
94

BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

91

kemasan, yaitu: kemasan Kombinasi Dosis Tetap (KDT)/Fix Dose


Combination (FDC) dan kemasan Kombipak.
Paket OAT KDT/FDC adalah paket OAT yang dalam setiap tablet OAT-nya
telah ada seluruh/beberapa jenis OAT yang digunakan untuk paduan
pengobatan TB. Dimana P2TB pada paket OAT KDT-nya menggunakan
4KDT/4FDC dan 2KDT/2FDC.
Paket Kombipak adalah paket OAT dimana tablet OAT-nya masih lepasan
dari setiap jenis OAT yang digunakan untuk paduan pengobatan TB.
Baik paket OAT KDT/FDC maupun paket OAT Kombipak, tablet OAT-nya
dikemas dalam bentuk blister.
Paduan paket OAT yang saat ini disediakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis adalah:
Paket KDT OAT Kategori 1
: 2(HRZE)/4(HR)3
Paket KDT OAT Kategori 2
: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Paket KDT OAT Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR)
Paket Kombipak Kategori 1
: 2HRZE/4H3R3
Paket Kombipak Kategori Anak : 2HRZ/4HR
2) Obat Anti TB (OAT) RR/MDR
Dalam pelayanan pengobatan pasien TB resistan obat, Program Nasional
Pengendalian TB (Kemenkes R.I) menyediakan paduan OAT dalam bentuk
paduan individual yang terdiri dari beberapa OAT lini kedua ditambah OAT
lini pertama yang masih sensitif.
Paduan pengobatan pasien TB RR/MDR yang digunakan Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis adalah:
Km Lfx Eto Cs Z - (E) / Lfx Eto Cs Z (E)
Sediaan dari OAT lini kedua dan lini pertama yang digunakan untuk paduan
OAT RR/MDR yang disediakan adalah:
Nama OAT
Kanamycin (Km)
Capreomycin (Cm)
Levofloxacin (Lfx)
Moxifloxacin (Mfx)
Ethionamide (Eto)
Cycloserin (Cs)
Para Amino Salicylic (PAS)
Pirasinamid (Z)
Etambutol (E)

92

Dosis

Bentuk

1000 mg
1000 mg
250 mg
400 mg
400 mg
250 mg
2g
500 mg
400 mg

vial
vial
tablet
tablet
tablet
kapsul
sachet
tablet
tablet

95

BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

b. Logistik Non OAT


Logistik Non OAT yang digunakan dalam P2TB adalah seluruh jenis logistik
Non OAT yang digunakan P2TB baik dalam pelayanan pasien TB maupun
pasien TB resistan obat.
1) Logistik Non OAT Non Resistan
Logistik Non OAT yang digunakan P2TB dibagi dalam dua kelompok, yaitu
barang habis pakai dan tidak habis pakai.
a) Logistik Non OAT habis pakai antara lain adalah:
Bahan-bahan laboratorium TB, seperti: Reagensia, Pot Dahak, Kaca
sediaan, Oli Emersi, Ether Alkohol, Tisu, Sarung tangan, Lysol, Lidi,
Kertas saring, Kertas lensa, dll.
Formulir pencatatan dan pelaporan TB, seperti: TB.01 s/d TB.13
b) Logistik Non OAT tidak habis pakai antara lain adalah:
Alat-alat laboratorium TB, seperti: mikroskop binokuler, Ose, Lampu
spiritus/bunsen, Rak pengering kaca sediaan (slide), Kotak
penyimpanan kaca sediaan (box slide), Safety cabinet, Lemari/rak
penyimpanan OAT, dll
Barang cetakan lainnya seperti buku pedoman, buku panduan, buku
petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster, lembar balik, stiker, dan lainlain.
2) Logistik Non OAT Resistan Obat
Logistik Non OAT resistan obat yang digunakan P2TB dibagi dalam dua
kelompok, yaitu barang habis pakai dan tidak habis pakai.
a) Logistik Non OAT resistan obat habis pakai antara lain adalah:
Cartridge GeneXpert
Masker bedah
Respirator N95
Formulir Pencatatan dan Pelaporan TB & MDR
b) Logistik Non OAT resistan obat tidak habis pakai antara lain adalah:
Alat-alat laboratorium TB resistan obat, seperti: mikroskop binokuler,
Ose, Lampu spiritus/bunsen, Rak pengering kaca sediaan (slide),
Kotak penyimpanan kaca sediaan (box slide), Safety cabinet,
Lemari/rak penyimpanan OAT, dll
Barang cetakan lainnya seperti buku pedoman, buku panduan, buku
petunjuk teknis, leaflet, brosur, poster, lembar balik, stiker, dan lainlain.
3. Jejaring Pengelolaan Logistik P2TB.
Pengelolaan logistik P2TB dilakukan pada setiap tingkat pelaksana program
pengendalian TB, yaitu mulai dari tingkat Pusat, Dinkes Provinsi, Dinkes Kab/Kota
sampai dengan di Fasyankes, baik rumah sakit, puskesmas maupun fasyankes
lainnya yang melaksanakan pelayanan pasien TB dengan strategi DOTS.
96

BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

93

Jejaring pengelolaan logistik TB di fasyankes, baik OAT maupun Non OAT adalah
seperti gambar dibawah ini:
Gambar 10: Jejaring Pengelolaan Logistik TB.
Instalasi Farmasi Provinsi
(IFP)

Dinkes Provinsi
distribusi

permintaan

Dinkes Kab/kota

permintaan

Instalasi Farmasi
Kab/Kota(IFK)

distribusi

Fasyankes

Dokter Praktik Mandiri


(DPM)

Keterangan:

Klinik Swasta

Alur distribusi OAT


Alur permintaan dan pelaporan OAT

Keterangan:
Untuk Dokter Praktek Mandiri (DPM) dan klinik akan memperoleh logistik melalui
Puskesmas yang membina wilayah dimana DPS/Klinik tersebut berada.
Jejaring pengelolaan logistik TB Resisten Obat di fasyankes, baik OAT maupun
Non OAT Resistan Obat adalah seperti gambar dibawah ini:

94

97

BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

Gambar 11: Jejaring Pengelolaan Logistik P2TB Resistan Obat


Pusat

Instalasi Farmasi
Nasional

Dinkes Provinsi

Instalasi Farmasi
Provinsi (IFP)

Faskes Rujukan

Instalasi Farmasi
Faskes Rujukan

Faskes Sub Rujukan

Faskes Satelit

Keterangan:
Alur Distribusi OAT
Alur Permintaan dan Pelaporan OAT

Keterangan:
Fasyankes Rujukan TB MDR memperoleh logistik TB Resistan Obat, baik obat
maupun non obat dari Dinas Kesehatan Provinsi. Sedangkan untuk fasyankes
satelit memperoleh logistik dari fasyankes rujukannya.
B. Pengelolaan Logistik Program Pengendalian Tuberkulosis.
Pengelolan logistik P2TB merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
menjamin agar logistik P2TB tersedia di setiap layanan pada saat dibutuhkan
dengan jumlah yang cukup dan kualitas yang baik. Kegiatan pengelolaan logistik
P2TB dilakukan mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian,
sampai dengan penggunaan, serta adanya sistim manajemen pendukung. Hal ini
dapat dilihat pada siklus pengelolaan logistik dibawah ini.

98

BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

95

f. Pelaksanaan perencanaan kebutuhan logistik disesuaikan dengan jadwal


penyusunan anggaran disetiap tingkat pemerintahan di Kabupaten/Kota,
Provinsi dan Pusat.
a. Perencanaan OAT
Perencanaan kebutuhan OAT menggunakan dua pendekatan yaitu metode
konsumsi dan metode morbiditas. Metode konsumsi adalah proses
penyusunan kebutuhan berdasarkan pemakaian tahun sebelumnya,
sedangkan metode morbiditas adalah proses penyusunan kebutuhan
berdasarkan perkiraan jumlah pasien yang akan diobati (insidensi) sesuai
dengan target yang direncanakan.
Perencanaan OAT P2TB yang digunakan merupakan gabungan dari kedua
pendekatan metode konsumsi dan morbiditas. Perencanaan kebutuhan setiap
jenis/kategori OAT didasarkan target penemuan kasus, dengan
memperhitungkan proporsi tipe penemuan pasien tahun lalu, jumlah stok yang
ada dan masa tunggu (lead time).
1) Perencanaan OAT Tidak Resistan
Perencanaan OAT Non Resistan dilakukan secara bottom up planning
mulai dari Kabupaten/Kota kemudian diusulkan ke Provinsi dan rekapnya
diusulkan ke Program Nasional Pengendalian TB setiap tahunnya.
2) Perencanaan OAT Resistan Obat
Mengingat data kondisi epidemilogis resistan obat disetiap wilayah belum
tersedia, maka perencanaan OAT resistan obat saat ini dilakukan secara
terpusat di Program Nasional Pengendalian TB setiap tahunnya sesuai
dengan target penemuan kasus.
b. Perencanaan Non OAT
Perencanaan logistik Non OAT dilaksanakan disetiap tingkatan dengan
memperhatikan:
1) Jenis logistik
2) Spesifikasi
3) Jumlah kebutuhannya.
4) Stok yang tersedia dan masih dapat dipergunakan
5) Unit pengguna
Perencanaan logistik Non OAT dilakukan oleh Program Nasional Pengendalian
TB bersama dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan
memperhatikan target penemuan kasus dan pengembangan cakupan program.

100

BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

97

2. Pengadaan Logistik P2TB.


Pengadaan logistik merupakan proses untuk penyediaan logistik yang dibutuhkan
pada institusi maupun layanan kesehatan. Pengadaan yang baik harus dapat
memastikan logistik yang diadakan sesuai dengan jenis, jumlah, tepat waktu
sesuai dengan kontrak kerja dan harga yang kompetitif. Proses pengadaan harus
mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tujuan Pengadaan logistic P2TB adalah:
a. Tersedianya logistik P2TB dalam jumlah, jenis, spesifikasi dan waktu yang
tepat.
b. Didapatkannya logistik P2TB dengan kualitas yang baik dengan harga yang
wajar.
Kebijakan Pengadaan Logistik P2TB adalah:
a. Pengadaan logistik bisa berasal dari APBN, APBD Provinsi, APBD
Kabupaten/Kota dan Bantuan Luar Negeri.
b. Pelaksanaan pengadaan logistik berdasarkan peraturan dan perundangan
yang berlaku dengan mengacu ke Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
c. Pengadaan yang sumber dana dari Bantuan Luar Negeri selain mengikuti
Perpres juga mengikuti persyaratan dari donor.
d. Pengadaan logistik yang berasal dari APBN dilaksanakan oleh Kemenkes RI,
Ditjen Binfar & Alkes, Ditjen PP&PL maupun Ditjen lainnya.
e. Pengadaan yang berasal dari APBD Provinsi dilaksanakan oleh Dinas
Kesehatan Provinsi dengan usulan dari Dinas Kesehatan Provinsi yang
bersangkutan.
f. Pengadaan yang berasal dari APBD Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.
a. Pengadaan OAT
OAT merupakan obat dengan kategori Sangat Sangat Esensial (SSE)
sehingga Pemerintah wajib menyediakannya, baik pemerintah Pusat maupun
Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota).
Saat ini kebutuhan OAT masih dipenuhi dari pengadaan Pusat dengan dana
APBN. Sedangkan untuk OAT resistan obat masih menggunakan dana
bantuan (donor). Pengadaan OAT dengan dana APBN setiap tahunnya
dilakukan oleh Ditjen. Binfar dan Alkse Kemenkes R.I. Sedangkan OAT
resistan obat dengan dana bantuan dilakukan oleh Subdit. TB.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengadaan logistik OAT adalah:
1) Paduan OAT yang diadakan sesuai dengan kebutuhan Program Nasional
Pengendalian TB.
2) Batas kadaluarsa OAT pada saat diterima oleh panitia penerima barang
minimal 24 (dua puluh empat) bulan.

98

101

BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

3) Persyaratan mutu OAT harus sesuai dengan persyaratan mutu yang


tercantum dalam Farmakope Indonesia edisi terakhir.
4) Industri Farmasi yang memproduksi OAT bertanggung jawab terhadap mutu
OAT melalui pemastian dan pemeriksaan mutu (Quality Control) oleh
industri farmasi dengan mengimplementasikan CPOB secara konsisten.
5) OAT memiliki sertifikat analisa dan uji mutu yang sesuai dengan nomor bets
masing-masing produk.
6) OAT diproduksi oleh industri farmasi yang memiliki sertifikat CPOB.
b. Pengadaan Non OAT
Logistik Non OAT P2TB juga merupakan komponen yang penting dalam
mendukung terlaksananya kegiatan P2TB. Untuk itu pengadaan logistik Non
OAT P2TB juga menjadi tanggung jawab Pemerintah khususnya Pemerintah
Kabupaten/Kota sesuai dengan kebijakan Desentralisasi, baik logistic Non OAT
untuk TB regular maupun TB resistan obat.
Saat ini, pengadaan logistik Non OAT P2TB masih mendapat dukungan dari
Pemerintah Pusat, baik dari dana APBN maupun dana bantuan donor. Namun
alokasi dana yang ada tidak dapat memenuhi/mengadakan 100% kebutuhan
Nasional. Sehingga kontribusi pengadaan dari Kabupaten/Kota maupun
Provinsi sangat dibutuhkan untuk menutupi kekurangan yang ada.
Hal-Hal yang harus diperhatikan dalam pengadaan logistik Non OAT adalah:
1) Logistik Non OAT yang diadakan sesuai dengan kebutuhan Program
Nasional Pengendalian TB.
2) Mutu logistik yang diadakan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan
untuk setiap jenis logistik.

3. Penyimpanan Logistik P2TB.


Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan logistik termasuk memelihara
yang mencakup aspek tempat penyimpanan (Instalatasi Farmasi atau gudang),
barang dan administrasinya. Dengan dilaksanakannya penyimpanan yang baik
dan benar, maka logistik P2TB akan terjaga mutu/kualitasnya, menghindari
penggunaan yang tidak bertanggung jawab (irasional) dan menjamin
ketersediaannya serta memudahkan pencarian dan pengawasan.
Dalam penyimpanan logistic P2TB baik OAT maupun Non OAT, Program
Nasional Pengendalian TB mengikuti kebijakan Ditjen. Binfar dan Alkes
Kemenkes R.I., yaitu: One Gate Policy, dimana seluruh OAT maupun Non OAT
disimpan di dalam Instalasi Farmasi baik di Pusat, Provinsi maupun Kabupaten
Kota dan Fasyankes.

102

BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

99

Ketentuan-ketentuan dalam penyimpanan logistic P2TB agar terkelola dengan


baik dapat merujuk pada Buku Panduan Pengelolaan Logistik P2TB.
4. Distribusi Logistik P2TB.
Distribusi logistic P2TB adalah kegiatan yang dilakukan dalam pengeluaran dan
pengiriman logistik P2TB dari tempat penyimpanan (Istalasi Farmasi/IF) ke
tempat lain (IFP/IFK/IFF) dengan memenuhi persyaratan baik administratif
maupun teknis untuk memenuhi ketersediaan jenis dan jumlah logistik dan terjaga
kualitasnya sampai di tempat tujuan. Proses distribusi ini harus memperhatikan
aspek keamanan, mutu dan manfaat.
Tujuan distribusi logistik P2TB adalah:
a. Terlaksananya pengiriman logistik P2TB seseuai kebutuhan dan terencana
(jadwal) sehingga dapat diperoleh pada saat dibutuhkan dengan jumlah yang
cukup.
b. Terjaminnya ketersediaan logistik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
c. Terjaminnya mutu logistik pada saat pendistribusian
Distribusi dilaksanakan berdasarkan permintaan secara berjenjang untuk
memenuhi kebutuhan logistik di setiap jenjang penyelenggara program
penanggulangan TB.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses distribusi adalah:
a. Distribusi dari Pusat dilaksanakan atas permintaan dari Dinas Kesehatan
Provinsi. Distribusi dari Provinsi kepada Kabupaten/ Kota atas permintaan
Kabupaten/ Kota. Distribusi dari Kabupaten/Kota berdasarkan permintaan
Fasyankes.
b. Setelah ada kepastian jumlah logistik yang akan didistribusikan, maka tingkat
yang lebih tinggi mengirimkan surat pemberitahuan kepada tingkat yang
dibawahnya mengenai jumlah, jenis dan waktu pengiriman logistik.
c. Membuat Surat Bukti Barang Keluar (SBBK) dan Berita Acara Serah Terima
(BAST).
d. Apabila terjadi kelebihan atau kekurangan logistik maka Institusi yang
bersangkutan menginformasikan ke Institusi diatasnya untuk dilakukan relokasi
atau pengiriman logistik tersebut.
e. Proses distribusi ke tempat tujuan harus memperhatikan sarana/transportasi
pengiriman yang memenuhi syarat sesuai ketentuan obat atau logistik lainnya
yang dikirim.
f. Penerimaan logistik dilaksanakan pada jam kerja.
g. Penetapan frekuensi pengiriman logistik haruslah memperhatikan antara lain
anggaran yang tersedia, jarak dan kondisi geografis, fasilitas gudang dan
sarana yang ada.

100

103

BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

b. Pembiayaan Logistik P2TB


Pembiayaan dalam pengelolaan logistik program TB sangat diperlukan.
Pembiayaan ini dapat bersumber dari dana APBN, APBD maupun sumber
lainnya yang sah sesuai kebutuhan.
Penyusunan kebutuhan anggaran harus dibuat secara lengkap, dengan
memperhatikan prinsip-prinsip penyusunan program dan anggaran terpadu.
Pembiayaan dapat diidentifikasi dari berbagai sumber mulai dari anggaran
pemerintah dan berbagai sumber lainnya, sehingga semua potensi sumber
dana dapat dimobilisasi.
c. Sistim Informasi Logistik P2TB
Saat ini Program Nasional Pengendalian TB telah menggunakan 2 sistem
informasi untuk pencatatan dan pelaporan Program TB dan TB resistan obat,
dimana didalamnya sudah termasuk sistim informasi tentang pengelolaan
logistik P2TB yaitu:
1) Untuk pelaporan TB.13 OAT menggunakan Sistem Informasi TB Terpadu
(SITT), yang mulai dipergunakan sebagai sistem informasi TB sejak tahun
2011.
2) Untuk pelaporan TB.13 OAT resistan obat menggunakan e-TB Manajer,
yang mulai dipergunakan untuk sistem informasi TB MDR sejak tahun 2009.
d. Sumber Daya Manusia Logistik P2TB
Dalam Pengelolaan Logistik Program TB, dukungan manajemen dari segi
Sumber Daya Manusia (SDM) memegang peranan yang sangat penting untuk
terciptanya pengelolaan logistik yang baik. SDM TB untuk mengelola logistik di
setiap tingkat pelaksana sangat dibutuhkan, baik jumlah maupun kompetensinya, sehingga perlu adanya suatu standar ketenagaan, pelatihan dan supervisi
sesuai tupoksi dan beban kerjanya.
Tujuan pengembangan SDM dalam program TB adalah tersedianya tenaga
pelaksana yang memiliki keterampilan, pengetahuan dan sikap (dengan kata
lain kompeten) yang diperlukan dalam pengelolaan logistik program TB,
dengan jumlah yang cukup sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan
program TB nasional. Pengembangan SDM tidak hanya berkaitan dengan
pelatihan tetapi meliputi keseluruhan manajemen pelatihan dan kegiatan lain
yang diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang pengembangan SDM
yaitu tersedianya tenaga yang kompeten dan profesional dalam
penanggulangan TB.
e. Pengawasan Mutu Logistik P2TB
Pengawasan atau jaga mutu logaitik P2TB adalah kegiatan yang dilakukan
untuk memastikan bahwa logistic P2TB yang ada terjamin/terjaga kualitasnya
baik mulai dari produksi, distribusi, penyimpanan sampai dengan saat
digunakan.

102

105

BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

1) Pengawasan Mutu OAT


Pengawasan/jaga mutu OAT adalah kegiatan/proses standardisasi produk
OAT dan sarana yang digunakan mulai dari pre sampai dengan post market,
yaitu:
a) Pre-market: pemberian nomor ijin edar, sertifikasi CPOB.
b) Post-market: pemeriksaan setempat, sampling dan pengujian, monitoring
efek samping.
Logistik terutama OAT yang diterima atau disimpan di gudang perbekalan
kesehatan secara rutin harus dilakukan uji mutu. Uji mutu ini dapat dilakukan
secara organoleptik dan laboratorium.
2) Pengawasan Mutu Logistik Non OAT
Pengawasan/jaga mutu logistik Non OAT pada prinsipnya sama dengan
jaga mutu OAT, hanya disesuaikan dengan jenis dan karakteristiknya.
Pengawasan/jaga mutu logistic Non OAT dilakukan pada saat produksi
dan distribusi sehingga kualitas logistic Non OAT dapat terjamin mutunya.
Contoh:
Reagensia, selain dilakukan uji secara organoleptik juga dilakukan uji secara
laboratorium.

106

BAB X
PENGELOLAAN LOGISTIK PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

103

BAB XI
BAB
XI
PENGEMBANGAN
SUMBER
DAYA
MANUSIA PROGRAM
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
PROGRAM
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Pencapaian target global TB menjadi lebih menantang sehubungan dengan isu-isu seperti
HIV/AIDS, TB-MDR, TB-Infection Control (TB-IC) dan lain-lain. Demikian juga isu desentralisasi
di bidang kesehatan telah meningkatkan kompleksitas tantangan untuk pengembangan sumber
daya manusia (SDM). Turnover staf yang tinggi dan distribusi staf yang tidak merata di
provinsi/kabupaten/kota mengakibatkan permintaan lebih tinggi terhadap ketersediaan tenaga
yang terampil.
Pengembangan sumber daya manusia (SDM) dalam Program Pengendalian Tuberkulosis
(P2TB) bertujuan untuk menyediakan tenaga pelaksana program yang memiliki keterampilan,
pengetahuan dan sikap (dengan kata lain kompeten) yang diperlukan dalam pelaksanaan
program TB, dengan jumlah yang memadai pada tempat yang sesuai dan pada waktu yang
tepat sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan program TB nasional. Untuk menjamin
ketersediaan tenaga yang kompeten ini, kontribusi terhadap sistem pengelolaan SDM TB yang
terintegrasi sangat diperlukan misalnya perencanaan SDM TB yang memadai, pola rekrutmen
yang baik, distribusi yang merata dan retensi SDM TB yang terlatih.
Di dalam bab ini istilah pengembangan SDM merujuk kepada pengertian yang lebih luas, tidak
hanya yang berkaitan dengan pelatihan tetapi keseluruhan manajemen pelatihan dan kegiatan
lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan jangka panjang pengembangan SDM yaitu
tersedianya tenaga yang kompeten dan profesional dalam Pengendalian TB.
Bab ini akan membahas 3 hal kegiatan pokok yang sangat penting dalam pengembangan SDM
untuk mendukung tercapainya tujuan program yaitu perencanaan ketenagaan Program TB,
peran SDM TB dalam Pengendalian TB, pelatihan dan evaluasi paska pelatihan TB.
A. Perencanaan Ketenagaan Program Pengendalian TB.
Perencanaan ketenagaan dalam Program Pengendalian TB ditujukan untuk memastikan
kebutuhan tenaga demi terselenggaranya kegiatan Program TB di suatu unit pelaksana.
Dalam perencanaan ketenagaan ini berpedoman pada standar kebutuhan minimal baik
dalam jumlah dan jenis tenaga yang diperlukan.
1. Standar Ketenagaan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
a. Puskesmas
1) Puskesmas Rujukan Mikroskopis dan Puskesmas Pelaksana Mandiri: kebutuhan
minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter, 1 perawat/petugas TB, dan 1
tenaga laboratorium.

104

105

BAB XI
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

2) Puskesmas satelit: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter
dan 1 perawat/petugas TB
b. Rumah Sakit Umum Pemerintah
1) RS kelas A: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6 dokter (2
dokter umum, SpP, SpA, SpD, SpR) , 3 perawat/petugas TB, dan 3 tenaga
laboratorium
2) RS kelas B: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 6 dokter (2
dokter umum, SpP, SpA, SpD, SpR), 3 perawat/petugas TB, dan 3 tenaga
laboratorium
3) RS kelas C: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 4 dokter (2
dokter umum, SpP/SpD, SpA), 2 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium
4) RS kelas D, RSP dan BBKPM/BKPM: kebutuhan minimal tenaga pelaksana
terlatih terdiri dari 2 dokter (dokter umum dan atau SpP), 2 perawat/petugas TB,
dan 1 tenaga laboratorium
5) RS swasta: menyesuaikan.
c. Dokter Praktik Mandiri, minimal telah dilatih.
2. Standar Ketenagaan di Tingkat Kabupaten/Kota
Pengelola Program TB (Wasor) terlatih pada Dinas Kesehatan membawahi 10-20
fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) di daerah yang aksesnya mudah dan 10
fasyankes untuk daerah lain. Bagi wilayah yang memiliki lebih dari 20 fasyankes dapat
memiliki lebih dari seorang supervisor.
Ketersediaan tenaga lain yang merupakan komponen Tim TB adalah:
a. Seorang tenaga pengelola logistik P2TB,
b. Seorang tenaga pengelola laboratorium (Labkesda),
c. Tim Promosi Kesehatan TB yang terdiri dari bagian promosi kesehatan dan program
TB Dinas Kesehatan setempat dan unsur lainnya yang terkait.
3. Standar Ketenagaan di Tingkat Provinsi.
Pengelola Program TB (Wasor) terlatih pada Dinas Kesehatan membawahi 10-20
kabupaten/kota di daerah yang aksesnya mudah dan 10 kabupaten/kota untuk daerah
lain. Bagi wilayah yang memiliki lebih dari 20 kabupaten/kota dapat memiliki lebih dari
seorang supervisor.
Ketersediaan tenaga lain yang merupakan komponen Tim TB adalah
a. Seorang tenaga pengelola logistik P2TB,
b. Seorang tenaga pengelola laboratorium (BLK),
c. Tim Promosi Kesehatan TB yang terdiri dari bagian promosi kesehatan dan program
TB Dinas Kesehatan setempat dan unsur lainnya yang terkait,
d. Provincial Training Team (PTT)/Tim Pelatihan TB Provinsi (TPP) yang terdiri dari 1
orang Provincial Training Coordinator (PTC)/Koordinator Pelatihan Provinsi (KPP)
106

BAB XI
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

105

Masyarakat

Anggota keluarga, kader,


tenaga kesehatan, LSM

Laboratorium

Identifikasi dan rujuk terduga TB ke


fasyankes.
Pengawas Menelan Obat (PMO)
Kunjungan rumah
Melacak yang mangkir
Catatan sederhana

Staf

Peran/ tugas utama

Lab TB nasional

Ahli Biomolekuler, Spesialis


Patologi klinik, spesialis
Patologi Anatomi, Spesialis
mikrobiologi klinik, Ahli
Mikrobiologi, Analis.

Pemeriksaan dan penelitian


biomolekuler, pemeriksaan non
konvensional lainnya, uji silang ke dua
untuk pemeriksaan biakan

Lab TB rujukan regional

Spesialis Patologi klinik, Ahli


Mikrobiologi, Analis dan
analis media.

Kultur, identifikasi dan uji kepekaan


M.TB dan MOTT dari dahak dan bahan
lain

Lab TB rujukan provinsi

Spesialis Patologi Klinik,


Analis.

Pemeriksaan mikroskopis BTA, uji


silang mikroskopis final

Laboratorium rujukan
Uji silang (Intermediate
TB Laboratory)

Petugas laboratorium dan


analis

Uji silang pertama (Laboratory Quality


Assurance)

Pusat Mikroskopis TB:


PRM
PPM
Laboratorium RS
Laboratorium swasta

Analis

Pembuatan contoh uji apusan dahak,


fiksasi, pewarnaan Z-N, pembacaan
skala IUATLD dan interpretasi

Pusat Fiksasi contoh uji


TB (Puskesmas satelit)

Petugas lab

Pembuatan contoh uji apusan dahak


dan fiksasi

C. Pelatihan Program Pengendalian TB


Pelatihan merupakan salah satu upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan
petugas dalam rangka meningkatkan kompetensi dan kinerja petugas. Kegiatan pelatihan ini
dapat dilakukan secara konvensional dengan klasikal dan pelatihan jarak jauh
(LJJ)/distance learning.
Pelatihan Program TB di Indonesia dilaksanakan secara berjenjang yaitu dimulai sejak
pembentukan Master Trainer/Pelatih Utama TB, kegiatan Training of Trainers (TOT) sampai
pelatihan untuk petugas kesehatan dan manajer yang terlibat dalam Pengendalian TB.
Namun, pengalaman menunjukkan bahwa peningkatan pelaksanaan pelatihan diikuti juga
dengan meningkatnya perhatian terhadap peningkatan kualitas pelatihan.

108

109

BAB XI
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

3. Manfaat EPP pada Program Pengendalian TB, adalah:


a. Rangkaian siklus yang dinamis dan berkesinambungan dalam memberikan umpan
balik pada proses perbaikan dan penyempurnaan program pelatihan
b. Untuk mengetahui keberhasilan pelatihan yang telah dilaksanakan. Ada 3 aspek yang
dinilai yaitu:
1) Kognitif/Pengetahuan
2) Afektif/Sikap
3) Psikomotor/Perilaku
c. Mengetahui kesesuaian kurikulum pelatihan dengan tuntutan kerja individu
d. Bahan masukan untuk perumusan kebijakan pengembangan aparatur kesehatan di
wiilayahnya
4. Metode EPP Program Pengendalian TB
Evaluasi paska pelatihan dapat diperoleh dengan pengumpulan data. Metode
pengumpulan data yang digunakan sangat tergantung pada ranah kompetensi mantan
peserta latih di tempat kerjanya.
Tabel 25: Metode Pengumpulan Data dalam EPP
NO
1

RANAH YANG AKAN DICAPAI


KOGNITIF

AFEKTIF

PSIKOMOTOR

METODE YANG DIGUNAKAN


Test tertulis
Studi kasus
Wawancara
Focus Group Discussion/ Kelompok Diskusi Terarah
Studi kasus
Wawancara dengan pihak ketiga
Kuestioner
Observasi
Cek dokumen

114

BAB XI
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

113

BAB XII
BAB
XII
KETERLIBATAN MASYARAKAT
DAN ORGANISASI
KETERLIBATAN
MASYARAKAT
DAN
ORGANISASI
KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN
TUBERKULOSIS
KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih merupakan permasalahan kesehatan di masyarakat,
bukan hanya karena TB adalah penyakit menular, namun ada hubungan TB dengan penyakit
tidak menular lainnya seperti pada Diabetes Mellitus, penyakit akibat rokok, alkhohol,
pengguna narkoba dan malnutrisi. TB sebagian besar menyerang pada usia produktif dan
masyarakat dengan sosial ekonomi yang kurang menguntungkan. TB menjadi penyebab
tersering untuk kesakitan dan kematian pada Orang dengan HIV AIDS. TB sering dihubungkan
dengan kemiskinan, lingkungan yang kumuh, padat dan terbatasnya akses untuk perilaku
hidup bersih dan sehat. Wanita hamil dan anak anak juga sangat rentan terkena TB.
Sebanyak 1/3 kasus TB masih belum terakses atau dilaporkan. Bahkan sebagian besar kasus
TB terlambat ditemukan sehingga saat diagnosa ditegakkan mereka sudah dalam tahap lanjut
bahkan kuman telah resistan obat sehingga suit untuk diobati. Keterlambatan pengobatan ini
bermakna karena menunjukkan lebih banyak lagi penduduk yang sudah terpapar TB.
Kesadaran masyarakat untuk mencari pengobatan secara dini sangatlah penting, oleh sebab
itu diperlukan peran serta masyarakat.dan strategi kunci untuk dapat menemukan sepertiga
kasus TB yang hilang dan tidak terlaporkan serta untuk menjangkau kasus TB pada kelompok
rentan adalah dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam program pengendalian TB.
A. Bentuk-bentuk Organisasi Kemasyarakatan.
Organisasi kemasyarakatan dapat berupa:
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM): lokal, nasional, internasional
Organisasi berbasis komunitas
Organisasi berbasis agama
Organisasi pasien dan mantan pasien
Organisasi profesi
dan lain-lain.
B. Tantangan Pelibatan Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pengendalian TB.
Tantangan yang dihadapi saat ini adalah:
1. Pelayanan TB berada di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (fasyankes) yang mengharuskan
pasien datang ke fasyankes tersebut yang menyebabkan kerugian pasien karena
dibutuhkan biaya transport, kemungkinan kehilangan pekerjaan dan pendapatan,
meskipun pasien tidak perlu membayar obat anti tuberkulosis (OAT).
2. Kurangnya jumlah organisasi kemasyarakatan yang terlibat secara aktif dalam program
pengendalian TB
114

114

BAB XII
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

3. Program Pengendalian TB belum merupakan prioritas dalam kegiatan organisasi


kemasyarakatan.
4. Belum sepenuhnya melibatkan pasien dan mantan pasien TB dalam kegiatan Program
Pengendalian TB.
5. Saat ini sebagian besar organisasi kemasyarakatan masih tergantung kepada dana
hibah untuk melaksanakan kegiatan Program Pengendalian TB.
C. Keuntungan Melibatkan Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pengendalian TB
Keuntungan-keuntungan melibatkan organisasi kemasyarakatan dalam Program
pengendalian TB, antara lain:
1. Organisasi kemasyarakatan mempunyai jejaring dengan organisasi kemasyarakatan
lainnya sehingga dapat menggerakkan organisasi lain yang belum terlibat untuk dapat
membantu dalam program pengendalian TB.
2. Organisasi kemasyarakatan bekerja di tengah-tengah masyarakat dan lebih memahami
situasi setempat sehingga lebih mengerti kebutuhan masyarakat.
3. Organisasi kemasyarakatan mempunyai akses untuk menjangkau masyarakat dengan
populasi khusus, misalnya pengungsi, pekerja sex komersial, pencandu narkoba,
penduduk musiman dan masyarakat miskin yang kurang mempunyai akses ke fasilitas
layanan kesehatan.
4. Banyak Organisasi kemasyarakatan mempunyai fasilitas dan sarana layanan kesehatan
yang dapat diakses oleh masyarakat secara langsung
5. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu dalam penyebarluasan informasi tentang
TB kepada masyarakat
6. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu pasien TB untuk mengaskses pelayanan
TB dan membantu dalam sosial ekonomi
7. Organisasi kemasyarakatan dapat membantu dalam advokasi kepada pemerintah daerah
setempat.
8. Dan lain-lain.
D. Prinsip-Prinsip Pelibatan Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakatan Dalam
Pengendalian TB
Prinsip-prinsip pelibatan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan adalah:
1. Kesetaraan dan saling menghormati, memahami kesamaan dan perbedaan serta
karakteristik masing-masing,
2. Saling menguntungkan,
3. Keterbukaan,
4. Dalam perencanaan kegiatan harus menyesuaikan dengan potensi dan situasi dari
organisasi kemasyarakatan itu sendiri,
5. Dalam monitoring dan evaluasi kegiatan harus terintegrasi dengan sistem yang ada di
Program Pengendalian TB.

BAB XII
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

115

115

E. Indikator Keberhasilan Pelibatan Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakat Dalam


Pengendalian TB
Indikator keberhasilan pelibatan masyarakat dan organisasi kemasyarakat adalah:
1. Peningkatan jumlah pasien TB baru yang dirujuk oleh masyarakat atau organisasi
kemasyarakatan yang tercatat.
2. Peningkatan keberhasilan pengobatan pasien TB yang diawasi oleh masyarakat atau
organisasi kemasyarakatan yang tercatat.
3. Penurunan angka putus berobat pasien TB yang diawasi oleh masyarakat atau
organisasi kemasyarakatan yang tercatat.

F. Peran dan Kegiatan Masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam pengendalian


TB
Beberapa contoh peran dan kegiatan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam
pengendalian TB berbasis komunitas antara lain:
Peran
Pencegahan TB.
Deteksi dini terduga TB.
Melakukan rujukan.

Kegiatan
Penyuluhan TB, pengembangan KIE, pelatihan kader.
Pelacakan kontak erat pasien dengan gejala TB,
pengumpulan dahak terduga TB, pelatihan kader.
Dukungan motivasi kepada terduga TB untuk ke
Fasyankes, dukungan transport.
keteraturan Pengawas Menelan Obat (PMO).

Dukungan/motivasi
berobat pasien TB.
Dukungan sosial ekonomi.

Advokasi.
Mengurangi stigma.

Dukungan transport pasien TB, nutrisi dan


sumplemen pasien TB, peningkatan ketrampilan
pasien TB guna meningkatkan penghasilan,
menyediakan pekerja sosial, memotivasi mantan
pasien untuk dapat mendampingi pasien TB.
Membantu penyusunan bahan advokasi, membantu
memberikan masukan kepada pemerintah.
Diseminasi informasi tentang TB, membentuk
kelompok pendidik sebaya, testimoni pasien TB.

G. Strategi Pelibatan Organisasi Kemasyarakatan dalam Program pengendalian TB.


Ada 4 strategi kunci untuk melibatkan organisasi kemasyarakatan dalam TB berbasis
komunitas yaitu:
1. Melibatkan lebih banyak organisasi kemasyarakat (Engage).
Identifikasi organisasi kemasyarakatan potensial yang dapat dilibatkan untuk terlibat
dalam Program Pengendalian TB berbasis komunitas. Mengajak organisasi lainnya yang

116

116

BAB XII
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

selama ini terlibat dalam Program kesehatan bukan TB, misalnya organisasi
kemasyarakatan dalam kesehatan Anak, HIV/AIDS, dll.
2. Memperluas (Expand).
a. Melibatkan dan Mengembangkan cakupan program organisasi kemasyarakatan yang
sudah terlibat dalam program pengendalian TB untuk menjangkau populasi
khusus misalnya, pekerja pabrik, sekolah, asrama, Lapas/Rutan, dan pekerja
seksual.
b. Meningkatkan dan memperkuat pelibatan pasien dan mantan pasien TB dalam
program pengendalian TB berbasis komunitas untuk membantu penemuan
terduga TB dan TB resistan obat serta pendampingan dalam pengobatannya.
3. Mempertegas (Emphasize).
Mempertegas fungsi dari Organisasi kemasyarakatan untuk penemuan terduga TB dan
TB resistan obat dan pendampingan dalam pengobatannya. Pemetaan peran, potensi
dan fungsi dari masyarakat dan organisasi kemasyarakatan adalah penting agar kegiatan
yang dilakukan tidak tumpang tindih dan kontribusi dari masing-masing organisasi
kemasyarakatan dapat diidentifikasi.
4. Menghitung (Enumerate).
Menghitung kontribusi organisasi kemasyarakatan dalam program pengendalian TB
berbasis komunitas dengan melakukan monitoring dan evaluasi melalui sistem
pencatatan dan pelaporan standar berdasarkan indikator-indikator yang telah ditetapkan.
Ada 6 tahapan untuk melibatkan organisasi
pengendalian TB berbasis komunitas, yaitu:
No
1
2
3
4
5
6

Kegiatan
Analisis situasi
Menciptakan lingkungan yang kondusif
Pedoman dan Juknis
Identifikasi tugas
Monitoring and evaluation
Peningkatan kapasitas

kemasyarakatan

Pusat
V
V
V
V
V
V

terhadap

Provinsi
V
V
V
V
V

program

Kab/Kota
V
V
V
V
V

BAB XII
KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

117

117

Sistem surveilans TB akan menyediakan informasi mengenai prevalensi TB dan pola


perubahan risiko. Monitoring dan evaluasi menyediakan informasi tentang proses, luaran dan
dampak intervensi. Penelitian operasional dapat mengisi kesenjangan informasi dan menilai
kebijakan dan strategi intervensi. Penempatan ketiga elemen tesebut secara terpadu dan
menyeluruh dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian program menjadi
sangat penting agar program berjalan secara efektif dan efisien.

A. Surveilans Tuberkulosis

Surveilans TB adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari pengumpulan data penyakit
secara sistematik, lalu dilakukan analisis, dan interpretasi data. Hasil analisis
didiseminasikan untuk kepentingan tindakan kesehatan masyarakat dalam upaya
menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB serta untuk peningkatan derajat
kesehatan masyarakat.
Ada 2 macam metode surveilans TB, yaitu: Surveilans Rutin (berdasarkan data pelaporan),
dan Surveilans Non Rutin (berupa survei: periodik dan sentinel).

1. Surveilans Rutin.

Surveilans rutin dilaksanakan dengan menggunakan data layanan rutin yang dilakukan
pada pasien TB. Sistem surveilans ini merupakan sistem terbaik (mudah dan murah)
untuk memperoleh informasi tentang prevalensi TB, meskipun kemungkinan terjadinya
bias cukup besar. Misalnya dalam layanan kolaborasi TB-HIV, jika jumlah pasien yang
menolak untuk di tes HIV cukup besar maka surveilans berdasar data rutin ini
interpretasinya kurang akurat. Surveilans berdasarkan data rutin ini tidak memerlukan
biaya khusus tapi mutlak memerlukan suatu pencatatan dan pelaporan yang berjalan
baik. Hasil surveilans berdasarkan data rutin ini perlu dikalibrasi dengan hasil dari
surveilans periodik atau surveilans sentinel.

2. Surveilans Non Rutin.

a. Surveilans non rutin khusus


Dilakukan melalui kegiatan survei baik secara periodik maupun sentinel yang
bertujuan untuk mendapatkan data yang tidak diperoleh dari kegiatan pengumpulan
data rutin.
Kegiatan ini dilakukan secara cross-sectional pada kelompok pasien TB yang
dianggap dapat mewakili suatu wilayah tertentu. Kegiatan ini memerlukan biaya yang
mahal dan memerlukan keahlian khusus. Hasil dari kegiatan ini dapat digunakan untuk
mengkalibrasi hasil surveilans berdasar data rutin.
Contoh: survei prevalensi TB Nasional, sero survei prevalensi HIV diantara pasien TB,
survei sentinel TB diantara ODHA, survei resistensi OAT, survei Knowledge Attitude
Practice (KAP) untuk pasien TB dan dokter praktek mandiri (DPM), dan survei lainlain.
119

BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

119

Pemilihan metode surveilans yang akan dilaksanakan disuatu daerah/wilayah


tergantung pada tingkat epidemi TB di daerah/wilayah tersebut, kinerja program TB
secara keseluruhan, dan sumber daya (dana dan keahlian) yang tersedia.
b. Surveilans non rutin luar biasa
Meliputi surveilans untuk kasus-kasus TB lintas negara terutama bagi warga negara
Indonesia yang akan berangkat maupun yang akan kembali ke Indonesia (haji dan
TKI). Hal ini dilakukan karena mobilisasi penduduk yang sangat cepat dalam jumlah
besar setiap tahunnya tidak menguntungkan ditinjau dari pengendalian penyakit
tuberkulosis. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya penyebaran penyakit dari satu
wilayah ke wilayah lain dan/atau dari satu negara ke negara lain dalam waktu yang
cepat.
Upaya pengawasan pasien TB yang akan menunaikan ibadah haji atau TKI yang akan
berangkat keluar negeri maupun kembali ke Indonesia memerlukan sistem surveilans
yang tepat. (secara lengkap dapat dilihat di buku Prosedur Pelacakan Kasus TB Pada
Tenaga Kerja Indonesia dan jemaah Haji, Kemenkes 2013).

B. Monitoring dan Evaluasi (Monev) Program TB

Monev program TB merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai keberhasilan
pelaksanaan program TB. Monitoring dilakukan secara berkala sebagai deteksi awal
masalah dalam pelaksanaan kegiatan program sehingga dapat segera dilakukan tindakan
perbaikan. Evaluasi dilakukan untuk menilai sejauh mana pencapaian tujuan, indikator, dan
target yang telah ditetapkan. Evaluasi dilakukan dalam rentang waktu lebih lama, biasanya
setiap 6 bulan s/d 1 tahun.
Pelaksanaan Monev merupakan tanggung jawab masing-masing tingkat pelaksana
program, mulai dari Fasilitas kesehatan, Kabupaten/Kota, Provinsi hingga Pusat. Seluruh
kegiatan program harus dimonitor dan dievaluasi dari aspek masukan (input), proses,
maupun keluaran (output) dengan cara menelaah laporan, pengamatan langsung dan
wawancara ke petugas kesehatan maupun masyarakat sasaran.
Komponen utama untuk melakukan monev adalah: pencatatan pelaporan, analisis indikator
dan hasil dari supervisi.
1. Pencatatan dan Pelaporan Program TB
Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi dan kegiatan survailans, diperlukan suatu
sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan benar,
dengan maksud mendapatkan data yang valid untuk diolah, dianalisis, diinterpretasi,
disajikan dan disebarluaskan untuk dimanfaatkan sebagai dasar perbaikan program.
Data yang dikumpulkan harus memenuhi standar yang meliputi:

120

120

BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

a. Lengkap, tepat waktu dan akurat.


b. Data sesuai dengan indikator program
c. Jenis, sifat, format, basis data yang dapat dengan mudah diintegrasikan dengan sistim
informasi kesehatan yang generik.
PENTING !!
TB adalah penyakit menular yang wajib dilaporkan. Setiap fasilitas kesehatan yang
memberikan pelayanan TB wajib mencatat dan melaporkan kasus TB yang
ditemukan dan atau diobati sesuai dengan format pencatatan dan pelaporan yang
ditentukan.
Data untuk program pengendalian TB diperoleh dari sistem pencatatan-pelaporan TB.
Pencatatan menggunakan formulir standar secara manual didukung dengan sistem
informasi secara elektronik, sedangkan pelaporan TB menggunakan sistem informasi
elektronik. Penerapan sistem informasi TB secara elektronik disemua faskes
dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan ketersediaan sumber daya di
wilayah tersebut.
Sistem pencatatan-pelaporan TB secara elektronik menggunakan Sistem Informasi TB
Terpadu (SITT) yang berbasis web dan terintegrasi dengan sistem informasi kesehatan
secara Nasional.
Pencatatan dan pelaporan TB diatur berdasarkan fungsi dari masing-masing tingkatan
pelaksana, sebagai berikut:
a. Pencatatan di Fasilitas Kesehatan
FKTP dan FKRTL dalam melaksanakan pencatatan menggunakan format:
1) Daftar terduga TB yang diperiksa dahak (TB.06).
2) Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (TB.05).
3) Kartu pengobatan pasien TB (TB.01).
4) Kartu identitas pasien TB (TB.02).
5) Register TB fasilitas kesehatan (TB.03 faskes)
6) Formulir rujukan/pindah pasien (TB.09).
7) Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10).
8) Register Laboratorium TB (TB.04).
9) Formulir mandatory notification untuk TB. (*)
b. Pencatatan dan Pelaporan di Kabupaten/Kota
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menggunakan formulir pencatatan dan pelaporan:
1) Register TB Kabupaten/Kota (TB.03)
2) Laporan Triwulan Penemuan dan Pengobatan Pasien TB (TB.07)
3) Laporan Triwulan Hasil Pengobatan (TB.08)
4) Laporan Triwulan Hasil Konversi Dahak Akhir Tahap Intensif (TB.11)
121

BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

121

5) Formulir Pemeriksaan Sediaan untuk Uji silang dan Analisis Hasil Uji silang
Kabupaten (TB.12)
6) Laporan OAT (TB.13)
7) Data Situasi Ketenagaan Program TB
8) Data Situasi Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB.
9) Formulir pelacakan kasus TB yang datang dari luar negeri. (**)
c. Pelaporan di Provinsi
Dinas Kesehatan Provinsi menggunakan formulir pelaporan sebagai berikut:
1) Rekapitulasi Penemuan dan Pengobatan Pasien TB per kabupaten/kota.
2) Rekapitulasi Hasil Pengobatan per kabupaten/kota.
3) Rekapitulasi Hasil Pengobatan gabungan TB dan TB Resistan Obat di tingkat
Provinsi.
4) Rekapitulasi Hasil Konversi Dahak per kabupaten/kota.
5) Rekapitulasi Analisis Hasil Uji silang propinsi per kabupaten/kota.
6) Rekapitulasi Laporan OAT per kabupaten/ kota.
7) Rekapitulasi Data Situasi Ketenagaan Program TB.
8) Rekapitulasi Data Situasi Public-Private Mix (PPM) dalam Pelayanan TB.
2. Indikator Program TB
Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur kemajuan
program (marker of progress). Dalam menilai kemajuan atau keberhasilan program
pengendalian TB digunakan beberapa indikator.
Indikator utama program pengendalian TB secara Nasional ada 2, yaitu:
Angka Notifikasi Kasus TB (Case Notification Rate = CNR) dan
Angka Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR).
Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator Nasional tersebut
di atas, yaitu:
a. Indikator Penemuan TB
1) Proporsi pasien baru TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara terduga TB
2) Proporsi pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua TB paru
diobati.
3) Proporsi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis yang diobati diantara pasien TB
terkonfirmasi bakteriologis.
4) Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB
5) Angka penemuan kasus TB (Case Detection Rate=CDR)
6) Proposi pasien TB yang dites HIV
7) Proporsi pasien TB yang dites HIV dan hasil tesnya Positif
8) Proporsi pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus TB RR/
MDR yang ada.

122

122

BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

9) Proporsi pasien terbukti TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi pemeriksaan uji


kepekaan OAT lini kedua.
10) Proporsi pengobatan pasien TB RR/MDR diobati diantara pasien TB RR/MDR
ditemukan.
b. Indikator Pengobatan TB
1) Angka konversi (Conversion Rate)
2) Angka kesembuhan (Cure Rate)
3) Angka putus berobat
4) Angka keberhasilan pengobatan TB anak
5) Proporsi anak yang menyelesaikan PP INH diantara seluruh anak yang
mendapatkan PP INH
6) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK
7) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART
8) Angka keberhasilan pengobatan TB MDR atau Treatment Success Rate
9)
c. Indikator Penunjang TB
1) Proporsi laboratorium yang mengikuti pemantapan mutu eksternal (PME) uji silang
untuk pemeriksaan mikroskopis
2) Proporsi laboratorium dengan kinerja pembacaan mikroskopis baik diantara peserta
PME uji silang
3) Proporsi laboratorium yang mengikuti kegiatan PME empat kali setahun.
4) Jumlah kabupaten/kota melaporkan terjadinya kekosongan OAT lini
Tiap tingkat pelaksana program memiliki indikator pada tabel berikut:

123

BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

123

2)
2)
2)

3)
3)
3)

4)
4)
4)

126

Angka ini sekitar 5-15%. Bila angka ini terlalu kecil (<5%) kemungkinan
Angka ini sekitar 5-15%. Bila angka ini terlalu kecil (<5%) kemungkinan
disebabkan:
disebabkan:
Angka
Penjaringan
terduga
TB terlalu
longgar.iniBanyak
tidak
memenuhi
ini sekitar
5-15%.
Bila angka
terlalu orang
kecil yang
(<5%)
kemungkinan
kriteria
Penjaringan
terduga
TB terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi
terduga
TB, atau
disebabkan:
kriteria
terduga
TB, atau
Ada
masalah
dalam
pemeriksaan
laboratorium
(negatif
palsu).
Penjaringan
terduga
TB terlalu longgar.
Banyak
orang
yang tidak memenuhi
kriteria
Ada masalah
dalam
pemeriksaan
laboratorium
(negatif
palsu).
terduga TB, atau
Bila
angka
ini terlalu
besar
(>15%) kemungkinan
:
Ada
masalah
dalam
pemeriksaan
laboratoriumdisebabkan
(negatif palsu).
angka ini terlalu
BilaPenjaringan
terlalubesar
ketat(>15%)
atau kemungkinan disebabkan :
Ada
Penjaringan
terlalu
ketat
atau kemungkinan
masalah
dalam
pemeriksaan
laboratoriumdisebabkan
(positif palsu)
Bila
angka
ini terlalu
besar
(>15%)
:
Ada masalahterlalu
dalamketat
pemeriksaan
laboratorium (positif palsu)
Penjaringan
atau
Proporsi
Pasiendalam
TB Paru
Terkonfirmasi
Bakteriologis
diantara Semua Pasien
Ada masalah
pemeriksaan
laboratorium
(positif palsu)
Proporsi
Pasien TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis diantara Semua Pasien
TB
Paru Tercatat/diobati
TB Paruprosentase
Tercatat/diobati
Adalah
Tuberkulosis paru
terkonfirmasi
bakteriologis
Proporsi
Pasien TBpasien
Paru Terkonfirmasi
Bakteriologis
diantara
Semuadiantara
Pasien
Adalah
prosentase
pasien
Tuberkulosis
paru
terkonfirmasi
bakteriologis
diantara
semua
pasien
Tuberkulosis
paru
tercatat
(bakteriologis
dan
klinis).
Indikator
ini
TB Paru Tercatat/diobati
semua
pasien
Tuberkulosis
paru
tercatat
(bakteriologis
dan
klinis).
Indikator
ini
menggambarkan
prioritas
penemuan
pasien
Tuberkulosis
yang
menular
diantara
Adalah prosentase pasien Tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis diantara
menggambarkan
prioritas
penemuan
pasien
Tuberkulosis
yang
menular
diantara
seluruh
semua pasien
pasien Tuberkulosis
Tuberkulosisyang
parudiobati.
tercatat (bakteriologis dan klinis). Indikator ini
seluruh
pasien
Tuberkulosis
yang
diobati.
menggambarkan prioritas penemuan pasien Tuberkulosis yang menular diantara
Rumus:
seluruh pasien Tuberkulosis yang diobati.
Rumus:
Jumlah pasien TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis
x 100%
Jumlah pasien
TBseluruh
Paru Terkonfirmasi
Bakteriologis
Jumlah
pasien TB Paru
Rumus:
x 100%
Jumlah pasien Baru TB paru Terkonfirmasi
Jumlah
pasien TB Paru
Jumlah pasien
TB seluruh
Paru
Terkonfirmasi
Bakteriologis
Bakteriologis
x 100%
x 100%
Angka ini minimalJumlah
70%.
Bila
angka
ini jauh
lebih
Jumlah
seluruh
pasien
TBTB
Paru
seluruh
pasien
Parurendah, berarti diagnosis kurang
Angka ini minimal
70%.
Bilamenemukan
angka ini jauh
lebih
rendah,
berarti diagnosis kurang
memberikan
prioritas
untuk
pasien
yang
menular.
memberikan
prioritas
untuk
menemukan
pasien
yang
menular.
Angka ini minimal 70%. Bila angka ini jauh lebih rendah, berarti diagnosis kurang
Proporsi
pasien
TB Anak
seluruh
pasien
memberikan
prioritas
untuk diantara
menemukan
pasien
yang TB
menular.
Proporsi
pasien
TB
Anak
diantara
seluruh
pasien
TB diobati diantara seluruh
Adalah prosentase pasien TB anak (0-14 tahun) yang
Adalah TB
prosentase
TB anakseluruh
(0-14 tahun)
pasien
yang diobati.
Proporsi
pasien
TBpasien
Anak diantara
pasien yang
TB diobati diantara seluruh
pasien
TB
yang
diobati.
Adalah prosentase pasien TB anak (0-14 tahun) yang diobati diantara seluruh
Rumus:
pasien TB yang diobati.
Jumlah pasien TB Anak (0 - 14 th)
Rumus:
yangAnak
diobati
Jumlah pasien TB
(0 - 14 thn) yg diobati
x 100%
x 100%
Jumlah
seluruh
pasien
TB
yang
diobati
Jumlah
pasien
TB
Anak
(0
14
thn)
yg
diobati
Jumlah
seluruh
pasien
TB
yg
diobati
Rumus:
x 100%
Jumlah
seluruh
pasien
yg diobati
Jumlah
pasien
TB Anak
(0 - TB
14 thn)
yg diobati
x 100%
Angka ini dianalisis
dengan
memperhatikan
berbagai
Jumlah
seluruh
pasien TB yg
diobati aspek. Angka indikator ini
Angka ini dianalisis
memperhatikan
ini
diharapkan
berkisar dengan
8 12%
pada wilayahberbagai
dimana aspek.
seluruhAngka
kasusindikator
TB Anak
diharapkan
berkisar
8

12%
pada
wilayah
dimana
seluruh
kasus
TB
Anak
ternotifikasi.
Pada
kondisi
dimana
pencatatan
dan
pelaporan
berjalan
dengan
baik,
Angka ini dianalisis dengan memperhatikan berbagai aspek. Angka indikator ini
ternotifikasi.
Pada kondisi
pencatatan
pelaporan
berjalan
dengan
baik,
angka
ini menggambarkan
overpada
atau wilayah
under dan
diagnosis,
serta
rendahnya
diharapkan
berkisar
8 dimana
12%
dimana
seluruh
kasus
TB angka
Anak
angka
ini
menggambarkan
over
atau
under
diagnosis,
serta
rendahnya
angka
penularan
TB
pada
anak.
Bila
angka
indikator
ini
kurang
atau
melebihi
kisaran
yang
ternotifikasi. Pada kondisi dimana pencatatan dan pelaporan berjalan dengan baik,
penularan
padaperlu
anak.diperiksa
Bilaover
angka
indikator
inidiagnosis,
kurang
melebihi
kisaranangka
yang
diharapkan,
maka
prosedur
diagnosis
TBatau
Anak
di rendahnya
fasyankes.
angka
ini TB
menggambarkan
atau
under
serta
diharapkan,
maka
perlu
diperiksa
prosedur
diagnosis
TB
Anak
di
fasyankes.
penularan TB pada anak. Bila angka indikator ini kurang atau melebihi kisaran yang
Angka
Penemuan
Kasus
(Case Detection
Rate = CDR)
diharapkan,
maka perlu
diperiksa
prosedur diagnosis
TB Anak di fasyankes.
Angka Penemuan
Detection
Rate
= CDR)
Adalah
prosentaseKasus
jumlah(Case
pasien
baru TB
Paru
BTA positif yang ditemukan
Adalah Penemuan
prosentase
jumlah
pasien
baruBTA
TB
Paru
BTA diperkirakan
positif yang ada
ditemukan
dibanding
jumlah pasien
baru
TBDetection
Paru
positif
yang
dalam
Angka
Kasus
(Case
Rate
= CDR)
dibanding
jumlah
pasien
baru
TB
Paru
BTA
positif
yang
diperkirakan
ada
dalam
126
Adalah prosentase jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang ditemukan
126
dibanding jumlah pasien baru TB Paru BTA positif yang diperkirakan ada dalam
126

BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

7)
7)
7)

8)
8)
8)

Proporsi yang tinggi dari pasien TB yang mengetahui status HIVnya menyajikan
estimasi yang cukup kuat tentang angka sesungguhnya prevalensi HIV diantara
Proporsi yang tinggi dari pasien TB yang mengetahui status HIVnya menyajikan
pasien TB untuk kepentingan surveilans. Hal ini juga menjadi dasar untuk bentuk
estimasi yang cukup kuat tentang angka sesungguhnya prevalensi HIV diantara
usaha yang
lebih
detail
dalam
upaya
Proporsi
tinggi
dari
pasien
TB pencegahan.
yangHal
mengetahui
status HIVnya
menyajikan
pasien TByang
untuk
kepentingan
surveilans.
ini juga menjadi
dasar untuk
bentuk
estimasi
yang
cukup
kuat
tentang
angka
sesungguhnya
prevalensi
HIV
diantara
usaha yang lebih detail dalam upaya pencegahan.
Proporsi
yang dites
HIV dan hasil
tesnya
Positif dasar untuk bentuk
pasien TBpasien
untuk TB
kepentingan
surveilans.
Hal ini
juga menjadi
Adalah
persentase
pasien
TB
yang
di
tes
HIV
dengan
hasil
tes positif . Indikator ini
usaha
yang
lebih detail
dalam
upaya
Proporsi
pasien
TB yang
dites
HIV pencegahan.
dan hasil tesnya Positif
menggambarkan besarnya permasalahan HIV di antara pasien TB.
Adalah persentase pasien TB yang di tes HIV dengan hasil tes positif . Indikator ini
Proporsi
pasien besarnya
TB yang dites
HIV dan hasil
menggambarkan
permasalahan
HIV ditesnya
antaraPositif
pasien TB.
Rumus:
Adalah persentase pasien TB yang di tes HIV dengan hasil tes positif . Indikator ini
Jumlah pasien
TB yang
terdaftar yang
hasil
tes
menggambarkan
besarnya
permasalahan
HIV mempunyai
di antara pasien
TB.
Rumus:
HIV positif (sebelum dan selama pengobatan TB)
x 100%
Jumlah pasien TB yang terdaftar yang mempunyai hasil tes
Jumlah pasien TB yang terdaftar yang melakukan tes HIV
Rumus:
HIV Jumlah
positifpasien
(sebelum
selama
pengobatan TB)
TB yang dan
terdaftar
yang mempunyai
(sebelum
dan
selama
pengobatan
TB)
x 100%
Jumlah
pasien
terdaftar
yang
mempunyai
tes
hasil
tes HIVTB
positif
(sebelum
dan selama
pengobatan
TB) xhasil
Jumlah
pasien
TByang
yang
terdaftar
yang
melakukan
tes
HIV
100%
Jumlah pasien
TB yangdan
terdaftar
yang melakukan
HIV positif
(sebelum
selama
pengobatan
TB)
(sebelum
dandan
selama
pengobatan
x 100%
tes
HIV
(sebelum
selama pengobatan
TB) TB) dapat saja menunjukkan
Proposi
yang
relatif
tinggi
dari
proporsi
rata-rata
nasional
Jumlah pasien TB yang terdaftar yang melakukan tes HIV
prevalensi HIV diantara
pasien
TB yang
sebenarnya
tinggi ada di daerah
(sebelum
dan proporsi
selama
pengobatan
TB)lebih
Proposi yang relatif
tinggi dari
rata-rata nasional
dapat saja menunjukkan
tertentu.
prevalensi HIV diantara pasien TB yang sebenarnya lebih tinggi ada di daerah
Proposi
tertentu. yang relatif tinggi dari proporsi rata-rata nasional dapat saja menunjukkan
Angka
Konversi
(Conversion
prevalensi
HIV diantara
pasienRate)
TB yang sebenarnya lebih tinggi ada di daerah
Angka
konversi
adalah
prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi
tertentu.
Angka Konversi (Conversion Rate)
Bakteriologis yang mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani
Angka konversi adalah prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmasi
masa
pengobatan
tahap awal. Rate)
Angka
Konversi
Bakteriologis
yang(Conversion
mengalami perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani
Program
pengendalian
TB di
Indonesia masih
indikator
ini karena
Angka
konversi tahap
adalah
prosentase
pasienmenggunakan
baru TB Paru
Terkonfirmasi
masa pengobatan
awal.
berguna
untuk
mengetahui
secara
cepat
hasil
pengobatan
dan
untuk
mengetahui
Bakteriologis
yang mengalami
perubahanmasih
menjadi
BTA negatifindikator
setelah ini
menjalani
Program pengendalian
TB di Indonesia
menggunakan
karena
apakah
pengawasan
langsung
menelan obat dilakukan dengan benar.
masa
pengobatan
tahap
awal.
berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui
Program
pengendalian
TB di Indonesia
masih
menggunakan
indikator ini karena
apakah pengawasan
langsung
menelan obat
dilakukan
dengan benar.
Rumus:
berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui
Jumlah pasien langsung
baru TB Paru
Terkonfirmasi
Bakteriologis
yg
apakah
menelan
obat dilakukan
dengan benar.
Rumus:pengawasan
Jumlah
pasien
baru
TB
Paru
Terkonfirmasi
Baketeriologis
hasil pemeriksaan BTA akhir tahap awal negatif
x 100%
yang hasilbaru
pemeriksaan
BTATerkonfirmasi
akhir tahap awal negatif
Jumlah pasien
TB Paru
Bakteriologis
yg
x 100% yg
Jumlah
pasien
baru
TB
ParuTerkonfirmasi
Terkonfirmasi
Bakteriologis
Rumus: hasil
Jumlah
pasien
baru
TB
Paru
Baketeriologis
pemeriksaan BTA akhir tahap awal negatif
yangdiobati
diobati
x 100%
Jumlah
Jumlah pasien
pasien baru
baru TB
TB Paru
Paru Terkonfirmasi
Terkonfirmasi Bakteriologis
Bakteriologis yg
yg
hasil pemeriksaan BTA
akhir
tahap
awal
negatif
diobati
x 100%
Di fasyankes,
indikator
ini dapat
dihitung
dari kartu pasien
TB.01, yaitu
Jumlah pasien
baru
TB Paru
Terkonfirmasi
Bakteriologis
yg dengan cara
mereview seluruh kartu pasien diobati
baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang
Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara
mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya
mereview seluruh kartu pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang
yang
hasil pemeriksaan
negatif,
pengobatan
tahapyaitu
awal (2 bulan/
3
Di
fasyankes,
inidahak
dapatsebelumnya,
dihitungsetelah
dari kemudian
kartu
pasien
TB.01,
cara
mulai
berobat indikator
dalam 3-6
bulan
dihitung
berapadengan
diantaranya
bulan).
Di
tingkat
kabupaten,
propinsi
dan
pusat,
angka
ini
dengan
mudah
dapat
mereview
kartu dahak
pasiennegatif,
baru TB
Parupengobatan
Terkonfirmasi
Bakteriologis
yang
yang hasil seluruh
pemeriksaan
setelah
tahap
awal (2 bulan/
3
dihitung
dari laporan
TB.11.
Angka
minimal yang
harusdihitung
dicapai adalah
80%.
mulai
berobat
dalam
3-6
bulan
sebelumnya,
kemudian
berapa
diantaranya
bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat
yang
hasil
pemeriksaan
dahak
negatif,
setelah
pengobatan
tahap
awal80%.
(2 bulan/ 3
dihitung
dari
laporan TB.11.
Angka
minimal
yang
harus dicapai
adalah
bulan). Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat
dihitung dari laporan TB.11. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.
128
128

128

128

BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

an
ara
tuk

ini

kan
ah

asi
ani

ena
hui

ara
ng
nya
/3
pat

9) Angka Kesembuhan (Cure Rate)


9) Angka
Kesembuhanadalah
(Cure angka
Rate) yang menunjukkan prosentase pasien baru TB
Angka kesembuhan
Angka
kesembuhanBakteriologis
adalah angkayang
yangsembuh
menunjukkan
pasien
baru TB
Paru Terkonfirmasi
setelahprosentase
selesai masa
pengobatan,
Paru
Terkonfirmasi
yang sembuh
setelah selesai
masa pengobatan,
diantara
pasien baruBakteriologis
TB Paru Terkonfirmasi
Bakteriologis
yang tercatat.
diantara
pasien barukhusus
TB Paru(survailans),
Terkonfirmasi
Bakteriologis
yang tercatat.
Untuk kepentingan
angka
kesembuhan
dihitung juga untuk
Untuk
khusus Bakteriologis
(survailans), pengobatan
angka kesembuhan
dihitungdan
jugadengan
untuk
pasien kepentingan
Paru Terkonfirmasi
ulang (kambuh
pasien
Paru
Terkonfirmasi
Bakteriologis
pengobatan
ulang
(kambuh
dan
dengan
riwayat pengobatan TB sebelumnya) dengan tujuan:
riwayat
TB seberapa
sebelumnya)
dengan
tujuan:
Untukpengobatan
mengetahui
besar
kemungkinan
kekebalan terhadap obat
Untuk
seberapa
kemungkinan
kekebalankekebalan
terhadapobat.
obat
terjadi dimengetahui
komunitas, hal
ini harusbesar
dipastikan
dengan surveilans
komunitas,keputusan
hal ini harus
dipastikan
dengan
surveilans
kekebalan obat.
terjadi
Untuk di
mengambil
program
pada
pengobatan
menggunakan
obat
Untuk
mengambil
keputusan
program
pada
pengobatan
menggunakan
obat
baris kedua (second-line drugs).
kedua (second-line
drugs).
baris
Menunjukkan
prevalens HIV,
karena biasanya kasus pengobatan ulang terjadi
Menunjukkan
prevalens
pada pasien dengan
HIV.HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang terjadi
dengan HIV.
pada
Untukpasien
perhitungan,
digunakan rumus yang sama dengan cara mengganti
Untuk
digunakan
rumus
yangjumlah
samapasien
dengan
cara pengobatan
mengganti
sebutanperhitungan,
numerator dan
denominator
dengan
TB paru
sebutan
ulang. numerator dan denominator dengan jumlah pasien TB paru pengobatan
ulang.
Rumus:
Rumus:
TB paru
Terkonfirmasi Bakteriologis
JumlahJumlah
pasienpasien
barubaru
TB paru
Terkonfirmasi
Bakteriologis yang sembuh
Jumlah pasien baru TB
paru
Terkonfirmasi Bakteriologis
yang
sembuh
x 100%
x 100%
Jumlah pasien baru TB paru Terkonfirmasi
yang
sembuh
Jumlah pasienBakteriologis
baru TB
paru
Terkonfirmasi
Bakteriologis
yang diobati
x 100%
Jumlah pasien baru TByang
parudiobati
Terkonfirmasi Bakteriologis
yang diobati
Di fasyankes, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara
Di
fasyankes,
indikator
dapat dihitung
kartu
pasien TB.01,
yaitu dengan
cara
mereview
seluruh
kartuinipasien
baru TBdari
Paru
Terkonfirmasi
Biologis
yang mulai
mereview
seluruh
baru TB
Paru Terkonfirmasi
Biologis
yang mulai
berobat dalam
9-12kartu
bulanpasien
sebelumnya,
kemudian
dihitung berapa
diantaranya
yang
berobat
bulan
sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang
sembuh dalam
setelah9-12
selesai
pengobatan.
sembuh setelah selesai pengobatan.
Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dapat dihitung dari laporan
Di
tingkat
kabupaten,
propinsi
dan pusat,
angka
ini dapat
dari laporan
TB.08.
Angka
minimal
yang harus
dicapai
adalah
85%. dihitung
Angka kesembuhan
TB.08.
Angka
yang
harus
dicapai adalah 85%. Angka kesembuhan
digunakan
untukminimal
mengetahui
hasil
pengobatan.
digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan.
Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya tetap
Walaupun
angka kesembuhan
telah mencapai
85%, hasil
pengobatan
lainnya
tetap
perlu diperhatikan,
yaitu berapa
pasien dengan
hasil
pengobatan
lengkap,
perlu
diperhatikan,
yaitu
berapa
dengan
pengobatan lengkap,
meninggal,
gagal, putus
berobat
(lostpasien
to follow-up),
danhasil
tidak dievaluasi.
meninggal, gagal, putus berobat (lost to follow-up), dan tidak dievaluasi.
Angka pasien putus berobat (lost to follow-up) tidak boleh lebih dari 10%, karena
Angka
pasien putus berobat
to follow-up)
tidak
boleh
lebih
dari 10%,
akan menghasilkan
proporsi(lost
kasus
retreatment
yang
tinggi
dimasa
yangkarena
akan
akan
proporsi kasus
retreatment
yang tinggidari
dimasa
yang akan
datangmenghasilkan
yang disebabkan
karena
ketidak-efektifan
pengendalian
datang
yang disebabkan karena ketidak-efektifan dari pengendalian
Tuberkulosis.
Tuberkulosis.

128

129
129

BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

129

Menurunnya angka pasien putus berobat (lost to follow-up) karena peningkatan


Menurunnya
angka pasien
putusmenurunkan
berobat (lostproporsi
to follow-up)
peningkatan
kualitas
pengendalian
TB akan
kasuskarena
pengobatan
ulang
Menurunnya
angka
pasien
putus
berobat
(lost
to
follow-up)
karena
peningkatan
kualitas10-20
pengendalian
TB akan menurunkan
proporsi kasus pengobatan ulang
antara
% dalam beberapa
tahun.
kualitas
pengendalian
TB akan menurunkan
proporsi kasus pengobatan ulang
antara 10-20
% dalam beberapa
tahun.
antara
10-20
%
dalam
beberapa
tahun.
Sedangkan angka gagal untuk pasien baru TB paru BTA positif tidak boleh lebih
Sedangkan
angka
gagal
untuk
pasien
TB paru
BTA positif
boleh boleh
lebih
dari
4% untuk
daerah
yang
belum
adabaru
masalah
resistensi
obat, tidak
dan tidak
Sedangkan
angka
gagal
untuk
pasien
baru
TB
paru
BTA
positif
tidak
boleh
lebih
dari 4%
untuk
yang
belumyang
adasudah
masalah
obat, danobat.
tidak boleh
lebih
besar
dari daerah
10% untuk
daerah
adaresistensi
masalah resistensi
dari
untuk
yang
belumyang
adasudah
masalah
obat, danobat.
tidak boleh
lebih4%
besar
dari daerah
10% untuk
daerah
adaresistensi
masalah resistensi
besarKeberhasilan
dari 10% untuk
daerah yangTB
sudah
ada masalah
resistensi
10)lebih
Angka
Pengobatan
(Treatment
Success
Rate =obat.
TSR)
10) Angka
Angka Keberhasilan
KeberhasilanPengobatan
Pengobatanadalah
TB (Treatment
Success
Rate = TSR)
angka yang menunjukkan
prosentase
10) pasien
Angka
Keberhasilan
Pengobatan
TB
(Treatment
Success
Rate
=
TSR)
Angka Keberhasilan
Pengobatan
adalah
angka
yang
menunjukkan
prosentase
baru TB Paru Terkonfirmasi Bakteriologis yang menyelesaikan
Angka
Keberhasilan
Pengobatan
adalah
angka
yang
menunjukkan
prosentase
pasien
baru
TB
Paru
Terkonfirmasi
Bakteriologis
yang
menyelesaikan
pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien
pasien
baru(baik
TB yang
Parusembuh
Terkonfirmasi
Bakteriologis
yang demikian
menyelesaikan
pengobatan
maupun yang
pengobatan
diantara
pasien
baru
TB paru
Terkonfirmasi
Bakteriologis
tercatat.lengkap)
Dengan
angka
pengobatan
(baik
yang
sembuh
maupun
pengobatan
lengkap)
diantara
pasien
baru
TB paru Terkonfirmasi
tercatat. Dengan
demikian
angka
ini
merupakan
penjumlahanBakteriologis
dari angka yang
kesembuhan
dan angka
pengobatan
baru
TB
paru
Terkonfirmasi
Bakteriologis
yang
tercatat.
Dengan
demikian
angka
ini
merupakan
penjumlahan
dari
angka
kesembuhan
dan
angka
pengobatan
lengkap.
ini
merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan
lengkap.
lengkap.
Rumus:
Rumus:Jumlah pasien baru TB Paru Terkonfirmasi Biologis
Rumus: Jumlah
Jumlah
pasienbaru
TB +
Paru
Terkonfirmasi
Biologis Biologis
pasien
TB
Paru Terkonfirmasi
(sembuh
pengobatan
lengkap)
(sembuh
+ pengobatan
x 100%
Jumlah pasien
baru
TB
Paru lengkap)
Terkonfirmasi
Biologis
(sembuh
+
pengobatan
lengkap)
x
100%yang
JumlahJumlah
pasien
baruTBTB
Paru
Terkonfirmasi
Biologis
x 100%
pasien
Paru
Terkonfirmasi
Biologis
(sembuh
+
pengobatan
lengkap)
Jumlah pasien baru yang
TB Paru
Terkonfirmasi Biologis yang
diobati
diobati
x 100%
Jumlah pasien baru TB Paru
Terkonfirmasi Biologis yang
diobati
diobati
11) Angka Keberhasilan Pengobatan TB Anak
11) Adalah
Angka Keberhasilan
TB Anak sembuh dan Pengobatan Lengkap
persentase TBPengobatan
Anak yang dinyatakan
11) (PL)
Angka
Keberhasilan
Pengobatan
TByang
Anak
Adalah
persentase
TB
Anak
yang
dinyatakan
sembuh dan Pengobatan Lengkap
diantara seluruh pasien TB Anak
diobati.
Adalah
persentase
TBpasien
Anak yang
dinyatakan
sembuh dan Pengobatan Lengkap
(PL)
diantara
seluruh
TB Anak
yang diobati.
(PL)
diantara
seluruh
pasien
TB
Anak
yang
diobati.
Rumus:
Rumus:Jumlah
pasien
TB TB
Anak
sembuh
Jumlah
pasien
Anakyg
yang
sembuhdan
dan Pengobatan
Rumus:Jumlah pasienPengobatan
Lengkap
TB Anak
yg
sembuh dan Pengobatan
x 100%
Lengkap
x 100%
Jumlah Jumlah
pasienpasien
TB Anak
yg sembuh
dan Pengobatan
TBLengkap
Anak
yang diobati
x 100%
Jumlah pasien
TB Anak
yg diobati
Lengkap
x 100%
Jumlah pasien TB Anak yg diobati
Jumlah pasien TB Anak yg diobati
Angka ini menggambarkan kualitas tatalaksana TB Anak dalam program
Angka
ini
menggambarkan
tatalaksana
dalam
program
Nasional. Angka indikator ini kualitas
diharapkan
sebesar TB
85%.Anak
Apabila
kurang
dari
Angka
ini
menggambarkan
kualitas
tatalaksana
TB
Anak
dalam
program
Nasional.
Angka
indikator
ini
diharapkan
sebesar
85%.
Apabila
kurang
dari
angka yang diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi pemantauan pengobatan
Nasional.
Angka
indikator
ini
diharapkan
sebesar
85%.
Apabila
kurang
dari
angka
yang
diharapkan
maka
perlu
dilakukan
evaluasi
pemantauan
pengobatan
kasus TB Anak di suatu wilayah.
angka TB
yang
diharapkan
perlu dilakukan evaluasi pemantauan pengobatan
kasus
Anak
di suatu maka
wilayah.
kasus TB Anak
suatuMenyelesaikan
wilayah.
12) Proporsi
Anakdiyang
PP INH Diantara Seluruh Anak yang
12) Mendapatkan
Proporsi AnakPPyang
Menyelesaikan
PP INH Diantara Seluruh Anak yang
INH
12) Mendapatkan
Proporsi AnakPP
yang
Menyelesaikan PP INH Diantara Seluruh Anak yang
INH
Adalah persentase Anak yang menyelesaikan PP INH selama 6 bulan diantara
Mendapatkan
PP INH
Adalah
persentase
Anak yang menyelesaikan
PP INH selama 6 bulan diantara
seluruh
anak yang
mendapatkan
PP INH.
Adalah
persentase
Anak
yang
menyelesaikan
PP INH selama 6 bulan diantara
seluruh anak yang mendapatkan PP INH.
seluruh anak yang mendapatkan PP INH.

130

130
130
130

BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

Rumus:
Jumlah Anak yg menyelesaikan PP INH selama 6 bulan
Rumus:
Rumus:
x 100%
Jumlah
Anak
yang mendapatkan
PP INH6 bulan
Jumlah
yg
menyelesaikan
PP
INH
selama
Rumus:
Jumlah Anak
Anak
yg
menyelesaikan
PP
INH
selama
6
bulan
Jumlah anak yang menyelesaikan
x
x 100%
100%
Anak
yang
PP
PP
INH selama
6 bulanPP INH selama
JumlahJumlah
Anak yg
menyelesaikan
6 bulan
x 100%
Jumlah
Anak
yang mendapatkan
mendapatkan
PP INH
INH
x
100%
Angka ini menggambarkan
proporsi
anakPPyang
terlindungi dari kejadian sakit TB
Jumlah anak
yang
mendapatkan
INH PP
Jumlah
Anak
yang
mendapatkan
INH
dari
anak
yang
terpapar
dan
terinfeksi
TB
termasuk
anak dengan
HIV Positif.
Angka
Angka ini
ini menggambarkan
menggambarkan proporsi
proporsi anak
anak yang
yang terlindungi
terlindungi dari
dari kejadian
kejadian sakit
sakit TB
TB
Angka
indikator
ini
diharapkan
sebesar
100%.
Apabila
kurang
dari
angka
yang
dari
anak
yang
terpapar
dan
terinfeksi
TB
termasuk
anak
dengan
HIV
Positif.
Angka
ini
menggambarkan
proporsi
anak
yang
terlindungi
dari
kejadian
sakit
TB
dari anak yang terpapar dan terinfeksi TB termasuk anak dengan HIV Positif.
diharapkan
makainiperlu
dilakukan
evaluasi
kepatuhan
PPkurang
INH. dari angka yang
Angka
indikator
sebesar
100%.
Apabila
dari
anak
yang terpapar
dan terinfeksi
termasuk
dengan
HIV Positif.
Angka
indikator
ini diharapkan
diharapkan
sebesar TB
100%.
Apabilaanak
kurang
dari angka
yang
diharapkan
maka
dilakukan
evaluasi
kepatuhan
PP
INH.
Angka
indikator
diharapkan
sebesar
100%.
Apabila
diharapkan
makainiperlu
perlu
dilakukan
evaluasi
kepatuhan
PPkurang
INH. dari angka yang
13) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK
diharapkan maka perlu dilakukan evaluasi kepatuhan PP INH.
Adalah persentase
pasien TBHIV
dengan status
HIV positif yang
menerima PPK.
13)
13) Proporsi
Proporsi pasien
pasien TB
TB dengan
dengan HIV positif
positif yang
yang menerima
menerima PPK
PPK
Indikator
ini
menggambarkan
komitmen
dan
kemampuan
pelaksanaan
program
TB
dengan
positif
13) Adalah
Proporsi
pasien TBpasien
dengan
positifstatus
yangHIV
menerima
PPK menerima
Adalah persentase
persentase
pasien
TBHIV
dengan
status
HIV
positif yang
yang
menerima PPK.
PPK.
TB-HIV dalam
pemberian PPKkomitmen
kepada pasien
TB yang terinfeksi
HIV. program
Indikator
ini
dan
Adalah
pasien TBkomitmen
dengan status
HIV positif pelaksanaan
yang
menerima
PPK.
Indikatorpersentase
ini menggambarkan
menggambarkan
dan kemampuan
kemampuan
pelaksanaan
program
TB-HIV
pemberian
kepada
TB
HIV.
Indikator
ini menggambarkan
dan kemampuan
pelaksanaan
TB-HIV dalam
dalam
pemberian PPK
PPKkomitmen
kepada pasien
pasien
TB yang
yang terinfeksi
terinfeksi
HIV. program
Rumus:
TB-HIV dalam pemberian PPK kepada pasien TB yang terinfeksi HIV.
Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima PPK
Rumus:
Rumus:
selama
pengobatan
TB menerima PPK
x 100%
Jumlah
TB
dengan
HIV
yang
Rumus:
Jumlah pasien
pasien
TB
dengan
HIV positif
positif
yang
menerima PPK
Jumlah
pasien
TB dengan
HIV
positif
yang
Jumlah
pasien
TB
dengan
HIV
positif
pengobatan
TB
x
Jumlah pasien
TBselama
dengan
HIVpengobatan
positif yang
selama
pengobatan
TBTB menerima
x 100%
100%
menerima
PPK selama
x 100%PPK
Jumlah
pasien
TB
dengan
HIV
positif
TB positif
x 100%
Jumlah selama
pasien
TBpengobatan
dengan
HIV positif
Jumlah
pasien
TB
dengan
HIV
14) Proporsi pasien TB dengan HIV positif yang mendapat ART
Jumlah pasien TB dengan HIV positif
Adalah persentase
pasien TBHIV
dengan status
HIV positif yang
menerima ART.
14)
Proporsi
pasien
14) Proporsi pasien TB
TB dengan
dengan HIV positif
positif yang
yang mendapat
mendapat ART
ART
Indikator ini menggambarkan
komitmen
dan kemampuan
layanan TB untuk
TB
dengan
positif
14) Adalah
Proporsi
pasien TBpasien
dengan
positifstatus
yangHIV
mendapat
ART menerima
Adalah persentase
persentase
pasien
TBHIV
dengan
status
HIV
positif yang
yang
menerima ART.
ART.
memastikan
pasien
TB
dengan
HIV
positif
dapat
mengakses
pengobatan
ARV.
Indikator
ini
komitmen
dan
kemampuan
layanan
TB
Adalah
pasien TB dengan
status
positif yang
menerima
ART.
Indikatorpersentase
ini menggambarkan
menggambarkan
komitmen
dan HIV
kemampuan
layanan
TB untuk
untuk
memastikan
TB
HIV
mengakses
Indikator
ini pasien
menggambarkan
dan kemampuan
layanan TBARV.
untuk
memastikan
pasien
TB dengan
dengan komitmen
HIV positif
positif dapat
dapat
mengakses pengobatan
pengobatan
ARV.
Rumus:
memastikan pasien TB dengan HIV positif dapat mengakses pengobatan ARV.
Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang menerima
Rumus:
Rumus:
Jumlah pasien TB dengan HIV positif yang
pengobatan
(baru memulai
atauyang
melanjutkan
menerimaARV
pengobatan
ARV
(baru memulai
TB
HIV
menerima
Rumus:Jumlah
Jumlah pasien
pasien
TB dengan
dengan
HIV positif
positif
x 100%
atau melanjutkan
pengobatan
ARV)yang menerima
x 100%
pengobatan
ARV)
pengobatan
ARV
(baru
memulai
atau
melanjutkan
Jumlah
pasien
TB
dengan
HIV HIV
positif
menerima
pengobatan
(baru
memulai
atauyang
melanjutkan
JumlahARV
pasien
TB dengan
positif
x
x 100%
100%
Jumlah pasien TB dengan
HIV positif
ARV)
pengobatan ARVpengobatan
(baru memulai
atau melanjutkan
pengobatan
ARV)
x
100%
Jumlah
TB
pengobatan
ARV)HIV
Jumlah pasien
pasien
TB dengan
dengan
HIV positif
positif
15) Proporsi Laboratorium yang Mengikuti PME (Pemantapan Mutu Eksternal)
Jumlah pasien TB dengan HIV positif
Uji Silang untuk Pemeriksaan
Mikroskopis (Pemantapan Mutu Eksternal)
15)
15) Proporsi
Proporsi Laboratorium
Laboratorium yang
yang Mengikuti
Mengikuti PME
PME (Pemantapan Mutu Eksternal)
Adalah
persentase
laboratorium
yang mengikuti PME Uji Silang diantara seluruh
untuk
Mikroskopis
15) Uji
Proporsi
yang Mengikuti
PME (Pemantapan Mutu Eksternal)
Uji Silang
SilangLaboratorium
untuk Pemeriksaan
Pemeriksaan
Mikroskopis
laboratorium
mikroskopis
TB yang
ada di seluruhPME
wilayah.Silang diantara seluruh
Adalah
persentase
laboratorium
yang
Uji
Silang
untuk Pemeriksaan
Adalah
persentase
laboratorium Mikroskopis
yang mengikuti
mengikuti PME Uji
Uji Silang diantara seluruh
Laboratorium
mikroskopis
TB
terdiri
dari
PRM,
PPM,
Rumah Sakit, BP4/ BKPM/
laboratorium
mikroskopis
TB
ada
di
wilayah.
Adalah
persentase
laboratorium
yang
Uji Silang diantara seluruh
laboratorium
mikroskopis
TB yang
yang
adamengikuti
di seluruh
seluruhPME
wilayah.
BBKPM, BLK,mikroskopis
BBLK, dan Laboratorium
Klinik Swasta.
Laboratorium
TB
terdiri
dari
PPM,
Rumah
laboratorium
ada
di PRM,
seluruh
wilayah.
Laboratoriummikroskopis
mikroskopisTB
TByang
terdiri
dari
PRM,
PPM,
Rumah Sakit,
Sakit, BP4/
BP4/ BKPM/
BKPM/
BBKPM,
BLK,
BBLK,
dan
Laboratorium
Klinik
Swasta.
Laboratorium
mikroskopis
TB
terdiri
dari
PRM,
PPM,
Rumah
Sakit,
BP4/
BKPM/
BBKPM, BLK, BBLK, dan Laboratorium Klinik Swasta.
Rumus:
Jumlah
labdan
mikroskopis
yang mengikuti
BBKPM, BLK,
BBLK,
Laboratorium
Klinik Swasta.
PME Ujiyang
Silang
Jumlah lab mikroskopis
mengikuti PME Uji
Silang
x 100%
Rumus:
Rumus:
x 100%
Jumlah seluruh
lablab
mikroskopis
TB
Jumlah
seluruh
mikroskopis
TB
Jumlah
Rumus:
Jumlah lab
lab mikroskopis
mikroskopis yang
yang mengikuti
mengikuti PME
PME Uji
Uji Silang
Silang
x
x 100%
100%
Jumlah
seluruh
lab
TB
Jumlah lab
mikroskopis
mengikuti PME
Jumlah
seluruhyang
lab mikroskopis
mikroskopis
TB Uji Silang
x
100%
Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%.
Jumlah seluruh lab mikroskopis TB
131
Angka
minimal
Angka minimal yang
yang harus
harus dicapai
dicapai adalah
adalah 90%.
90%.
131
Angka minimal yang harus dicapai adalah 90%.
131
131

BAB XIII

SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

131

Selain dari kinerja pembacaan mikroskopis, kualitas laboratorium juga dilihat


dengan menilai 6 unsur kualitas sediaan mikroskopis, yaitu: kualitas dahak, ukuran,
Selain darikerataan,
kinerja pewarnaan,
pembacaan dan
mikroskopis,
ketebalan,
kebersihan.kualitas laboratorium juga dilihat
dengan menilai 6 unsur kualitas sediaan mikroskopis, yaitu: kualitas dahak, ukuran,
ketebalan, kerataan,
dan
kebersihan.hasil uji silang dinyatakan terdapat
Interpretasi
dari suatupewarnaan,
laboratorium
berdasarkan

kesalahan bila:
Interpretasi
berdasarkan hasil uji silang dinyatakan terdapat

Terdapatdari
PPTsuatu
atau laboratorium
NPT
kesalahan
bila:
Laboratorium tersebut menunjukkan tren peningkatan kesalahan kecil dibanding
periode
Terdapat sebelumnya
PPT atau NPT
atau kesalahannya lebih tinggi dari rata-rata semua
fasyankes
Laboratorium
menunjukkan
tren peningkatan
di tersebut
kabupaten/kota
tersebut,
atau bila kesalahan
kesalahan kecil
kecildibanding
terjadi
periode
sebelumnya
atau
kesalahannya
lebih
tinggi
dari
rata-rata
semua
beberapa kali dalam jumlah yang signifikan.
fasyankes
tersebut, atau bila kesalahan kecil terjadi
Bila
terdapatdi3 kabupaten/kota
NPR.
beberapa kali dalam jumlah yang signifikan.

Bila terdapat
NPR.
Kinerja
setiap 3laboratorium
harus selalu dimonitor secara rutin. Walaupun

laboratorium sudah memiliki kinerja pembacaan mikroskopis yang baik, perhatian


Kinerja perlu
setiap
laboratorium
harus selalu
dimonitor
secara rutin. Walaupun
khusus
diberikan
apabila ditemukan
kondisi
seperti berikut:
laboratorium
sudah
memiliki
kinerja
pembacaan
mikroskopis
yang
baik, perhatian
Terdapat tren peningkatan kesalahan kecil dibanding periode
sebelumnya,
khusus
perlu
diberikan
apabila
ditemukan
kondisi
seperti
berikut:
Memiliki kesalahan lebih tinggi dari rata-rata semua fasyankes di
kabupaten/kota
Terdapat tren peningkatan
tersebut, kesalahan kecil dibanding periode sebelumnya,
Memiliki
Memiliki kesalahan
kesalahan
tinggi
dari rata-rata
semua
fasyankes di

kecillebih
beberapa
kali dalam
jumlah yang
signifikan
kabupaten/kota
tersebut,
Setiap fasyankes diharapkan dapat menilai dirinya sendiri dengan memantau tren
Memiliki
kesalahan
kecil beberapa
jumlah yangkualitas
signifikanpemeriksaan
hasil
interpretasi
setiap
triwulan kali
dandalam
meningkatkan
Setiap fasyankes diharapkan dapat menilai dirinya sendiri dengan memantau tren
laboratorium.
hasil interpretasi setiap triwulan dan meningkatkan kualitas pemeriksaan
17)laboratorium.
Jumlah Laboratorium dengan Frekuensi Partisipasi 4 kali per Tahun
Adalah jumlah laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang 4 kali per tahun
Jumlah Laboratorium
dengan
Frekuensiyang
Partisipasi
4 kali
per
dibandingkan
dengan jumlah
laboratorium
mengikuti
PME
UjiTahun
Silang.
Adalah jumlah laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang 4 kali per tahun
dibandingkan dengan jumlah laboratorium yang mengikuti PME Uji Silang.
Rumus:

17)

Jumlah lab mikroskopis TB yang mengikuti PME Uji Silang


Rumus:
Jumlah lab mikroskopis
mengikuti
4 kali TB
peryang
tahun
PME Uji SilangTB
4 kali
per tahun
Jumlah
lab
mikroskopis
yang
mengikuti
PME
Uji
Silang
xTB
100%
Jumlah
seluruh laboratorium mikroskopis
yang
Jumlah seluruh laboratorium mikroskopis TB
4
kali
per
tahun
PME
Silang
yang mengikuti
mengikuti PME
Uji Uji
SIlang
Jumlah seluruh laboratorium mikroskopis TB yang
mengikuti
PMEadalah
Uji Silang
Angka minimal yang
harus dicapai
90%.

18)
18)

x 100%
x 100%

Indikator ini dinilai setiap akhir tahun. Indikator ini menunjukkan keteraturan
Angka minimal
yang
harus dicapai
adalah 90%.
laboratorium
dalam
mengikuti
uji silang.
Indikator ini dinilai setiap akhir tahun. Indikator ini menunjukkan keteraturan
laboratorium
dalam
silang.
Proporsi
pasien
TBmengikuti
RR/MDRuji
yang
terkonfirmasi dibanding perkiraan kasus

TB RR/ MDR yang ada


Proporsi
pasien TBpasien
RR/MDR
terkonfirmasi
dibanding dibanding
perkiraan jumlah
kasus
Adalah
persentase
TByang
RR/MDR
yang terkonfirmasi
TB
RR/
MDR
yang
ada
perkiraan kasus TB RR/MDR yang ada di wilayah tersebut.
Adalah persentase pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding jumlah
133
perkiraan kasus TB RR/MDR yang ada di wilayah tersebut.
133

BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

133

Rumus:
Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi
dalam 1 tahun
Jumlah pasien TB RR/MDR
yang terkonfirmasix dalam
100% 1
Jumlah perkiraan kasustahun
TB RR/MDR di wilayah
tersebut dalam 1 tahun
Jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR di wilayah tersebut
dalam 1 tahun

x 100%

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi bersumber pada TB.06 MDR.


Sedang jumlah perkiraan kasus TB RR/MDR dihitung setiap tahun berdasarkan
perkiraan kasus TB RR/MDR diantara kasus TB Baru maupun kasus TB
Pengobatan ulang.
Angka minimal yang harus dicapai adalah 80% setiap tahunnya.
Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur upaya penemuan kasus TB
RR/MDR.
19)

Proporsi pasien terkonfirmasi TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi


pemeriksaan uji kepekaan OAT lini kedua
Adalah persentase kasus terkonfirmasi TB RR/MDR yang dilakukan
pemeriksaan uji kepekaan OAT lini kedua dibanding keseluruhan jumlah kasus
terkonfirmasi TB RR/MDR yang ditemukan.

Rumus:
Jumlah pasien TB RR/MDR yang dilakukan
Jumlah pasien
TB RR/MDR
yang
uji
pemeriksa
uji kepekaan
OATdilakukan
lini kedua pemeriksaan
x 100%
kepekaan
OAT
liniditemukan
kedua
Jumlah kasus
TB RR/MDR
yang
Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan

x 100%

Jumlah pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dan yang dilakukan uji kepekaan
OAT lini kedua bersumber pada TB.06 MDR.
Angka minimal yang harus dicapai adalah 100% setiap tahunnya.
Indikator ini dihitung tahunan sebagai alat ukur kepatuhan terhadap alur
diagnosis yang telah ditetapkan dan upaya untuk menemukan pasien TB
XDR/Pra XDR.
20)

Proporsi pengobatan pasien TB MDR diobati diantara pasien TB MDR


ditemukan atau enrollment rate
Adalah persentase pasien TB RR/MDR yang diobati dibandingkan dengan
pasien TB RR/MDR yang ditemukan dalam satu triwulan.

Rumus:

134

Jumlahpasien
pasien TB
yang
diobati
Jumlah
TBRR/MDR
RR/MDR
yang
diobatix 100%
Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan
Jumlah kasus TB RR/MDR yang ditemukan

x 100%
134

BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

DR.
an
TB

TB

asi

kan
an
sus

aan
an

lur
TB

DR

134
34

Jumlah pasien TB RR/MDR yang ditemukan dan yang diobati bersumber pada
Jumlah
pasien
RR/MDR
TB.06 MDR
danTB
TB.01
MDR.yang ditemukan dan yang diobati bersumber pada
TB.06 MDR dan TB.01 MDR.
Angka minimal yang harus dicapai adalah 100%.
Angka
minimal
yang harus
dicapai
adalah
100%. alat ukur keberhasilan upaya
Indikator
ini dihitung
setiap
triwulan
sebagai
Indikator
ini semua
dihitung
setiap
alat ukurdiobati
keberhasilan
memastikan
pasien
TBtriwulan
RR/MDRsebagai
yang ditemukan
sehingga upaya
rantai
memastikan
semua
pasien
TB
RR/MDR
yang
ditemukan
diobati
sehingga
rantai
penularan bisa diputus. Pencapaian target ini sangat tergantung pada efektifitas
penularan
bisa
diputus.
Pencapaian
targetmaupun
ini sangat
tergantung pada efektifitas
kegiatan KIE
yang
dilakukan
di fasyankes
masyarakat.
kegiatan KIE yang dilakukan di fasyankes maupun masyarakat.
21) Angka keberhasilan pengobatan TB RR/MDR atau Treatment Success Rate
21) Angka
pengobatanTB
TBRR/MDR
RR/MDRadalah
atau Treatment
Rate
Adalah keberhasilan
Keberhasilan Pengobatan
angka yangSuccess
menunjukkan
Adalah
Keberhasilan
Pengobatan
RR/MDR
adalah angka
yang menunjukkan
persentase
pasien TB
RR/MDR TB
yang
menyelesaikan
pengobatan
(baik yang
persentase
pasien pengobatan
TB RR/MDRlengkap)
yang menyelesaikan
pengobatan
(baik yang
sembuh maupun
diantara pasien
TB RR/MDR
sembuh
maupun demikian
pengobatan
lengkap)
diantara pasien
TB RR/MDR
yang
diobati. Dengan
angka
ini merupakan
penjumlahan
dari angka
diobati.
Dengan
demikian
angka ini
merupakan penjumlahan dari angka
kesembuhan
dan angka
pengobatan
lengkap.
kesembuhan dan angka pengobatan lengkap.
Rumus:
Rumus:
Jumlah
pasien
TB RR/MDR
pengobatan
Jumlah
pasien
TB RR/MDRyang
yang menyelesaikan
menyelesaikan
Jumlah pasien
TB (sembuh+pengobatan
RR/MDR
yang menyelesaikan
pengobatan
(sembuh
+ pengobatan
lengkap)x 100%
x 100%
pengobatan
lengkap)
(sembuh
+
pengobatan
lengkap)
x
100%
Jumlah
pasien
TB
RR/MDR
yang
diobati
Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati
Jumlah pasien TB RR/MDR yang diobati
Angka minimal yang harus dicapai adalah 75%.
Angka minimal yang harus dicapai adalah 75%.
3. Supervisi Program Pengendalian Tuberkulosis
3. Supervisi
Pengendalian
Tuberkulosis
Supervisi Program
TB bertujuan
meningkatkan
kinerja petugas, melalui suatu proses yang
Supervisi
bertujuan
meningkatkan
kinerja petugas,
suatu proses
yang
sistematis TB
untuk
meningkatkan
pengetahuan
petugas, melalui
meningkatkan
ketrampilan
sistematis
untuk
meningkatkan
pengetahuan
petugas,
meningkatkan
ketrampilan
petugas, memperbaiki sikap petugas dalam bekerja dan meningkatkan motivasi petugas.
petugas, memperbaiki sikap petugas dalam bekerja dan meningkatkan motivasi petugas.
Hal-hal yang dilakukan selama supervisi adalah:
Hal-hal
yang dilakukan selama supervisi adalah:
Observasi
Observasi
Diskusi
Diskusi
Bantuan teknis
Bantuan
teknis mendiskusikan permasalahan yang ditemukan
Bersama-sama
Bersama-sama
mendiskusikan
permasalahan
yang ditemukan
Mencari pemecahan
permasalahan
bersama-sama,
dan
Mencari
pemecahan
permasalahan
bersama-sama,
dan
Memberikan laporan berupa hasil temuan serta memberikan rekomendasi dan saran
Memberikan
perbaikan. laporan berupa hasil temuan serta memberikan rekomendasi dan saran
perbaikan.
Supervisi merupakan kegiatan monitoring langsung dan kegiatan pembinaan untuk
Supervisi
merupakan
kegiatanstandar
monitoring
langsung
dantraining.
kegiatan
pembinaan
untuk
mempertahankan
kompetensi
melalui
on the job
Supervisi
juga dapat
mempertahankan
kompetensi
standar
melalui
on theuntuk
job training.
dapat
dimanfaatkan sebagai
evaluasi
pasca
pelatihan
bahan Supervisi
masukan juga
perbaikan
dimanfaatkan
evaluasi pasca pelatihan untuk bahan masukan perbaikan
pelatihan yang sebagai
akan datang.
pelatihan yang akan datang.
135
135

BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

135

Supervisi harus dilaksanakan di semua tingkat dan disemua unit pelaksana, karena
dimanapun petugas bekerja akan tetap memerlukan bantuan untuk mengatasi masalah
dan kesulitan yang mereka temukan. Suatu umpan balik tentang kinerja harus selalu
diberikan untuk memberikan dorongan semangat kerja.
Pelaksanaan supervisi harus direncanakan secara seksama. Sebelum supervisi
dilakukan, supervisor haruslah
mengkaji laporan atau temuan-temuan supervisi
sebelumnya, misalnya tentang: temuan yang belum selesai ditindak lanjuti, catatan
tentang tindakan perbaikan yang telah maupun yang perlu ditindaklanjuti.
Tahapan kegiatan supervisi meliputi: perencanaan, Persiapan, Pelaksanaan, Pemecahan
Masalah, dan penyusunan Laporan serta memberikan umpan balik secara tertulis.
a. Perencanaan Supervisi
Sebelum melaksanakan supervisi efektif perlu dilakukan perencanaan dengan baik,
sehingga supervisi dapat mencapai tujuannya. Hal-hal yang penting diperhatikan
didalam perencanaan supervisi adalah:
1) Supervisi harus dilaksanakan secara rutin dan teratur pada semua tingkat.
Supervisi ke faskes (misalnya: Puskesmas, RS, BBKPM/BKPM, termasuk
laboratorium) harus dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali.
Supervisi ke kabupaten/kota dilaksanakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan
sekali, dan
Supervisi ke provinsi dilaksanakan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali.
2) Pada keadaan tertentu frekuensi supervisi perlu ditingkatkan, yaitu:
Pelatihan baru selesai dilaksanakan.
Pada tahap awal pelaksanaan program.
Bila kinerja dari suatu faskes kurang baik.
b. Persiapan supervisi
Persiapan perlu dilakukan agar pelaksanaan supervisi mencapai tujuannya secara
efektif dan efisien. Persiapan supervisi meliputi:
1) Penyusunan jadual kegiatan.
2) Pengumpulan informasi pendukung.
3) Pemberitahuan atau perjanjian ke faskes/dinkes/instansi yang akan dikunjungi.
4) Penyiapan atau pengembangan daftar tilik supervisi.
5) Menyusun kerangka laporan.
c. Pelaksanaan supervisi.
Dalam pelaksanaan supervisi hal-hal yang perlu diperhatikan, terutama:
1) Kepribadian supervisor:
Mempunyai kepribadian yang menyenangkan dan bersahabat.

136

136

BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

Mampu membina hubungan baik dengan petugas di faskes/dinkes/instansi yang


dikunjungi.
Menjadi pendengar yang baik, penuh perhatian, empati, tanggap terhadap
masalah yang disampaikan, dan bersama-sama petugas mencari pemecahan.
Melakukan pendekatan fasilitatif, partisipatif dan tidak instruktif.
2) Kegiatan penting selama supervisi di faskes
Melakukan review catatan dan buku register
Diskusi kegiatan dan masalahnya bersama petugas
Melakukan pengamatan saat petugas bekerja
Melakukan wawancara dengan pasien TB dan PMO, bila memungkinkan
Melakukan pemeriksaan ketersediaan logistik.
Mengecek penerapan metode LQAS
Memberikan motivasi untuk peningkatan kinerja, kreatifitas, inovatif, inisiatif.
Melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan bagi petugas diinstitusi tersebut.
Memberikan umpan balik saran yang jelas, realistis, sederhana dan dapat
dilaksanakan
3) Kegiatan penting selama supervisi di Kabupaten/Kota.
Melakukan review dokumen, data program dan catatan-catatan
Melakukan pemeriksaan ketersediaan logistik.
Diskusi kegiatan dan masalahnya bersama petugas
Melakukan pengamatan saat petugas bekerja
Memberikan motivasi untuk peningkatan kinerja, kreatifitas, inovatif, inisiatif,
Melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan bagi petugas di institusi tersebut.
Memberikan laporan termasuk umpan balik saran yang jelas, realistis,
sederhana dan dapat dilaksanakan
4) Kegiatan penting selama supervisi di Propinsi.
Melakukan review dokumen, data dan catatan-catatan
Melakukan pemeriksaan ketersediaan logistik.
Diskusi kegiatan dan masalahnya bersama petugas
Melakukan pengamatan saat petugas bekerja
Memberikan motivasi untuk peningkatan kinerja, kreatifitas, inovatif, inisiatif,
Melakukan identifikasi kebutuhan pelatihan bagi petugas di institusi tersebut.
Memberikan laporan termasuk umpan balik saran yang jelas, realistis,
sederhana dan dapat dilaksanakan
d. Pemecahan Masalah (Problem-solving) dalam supervisi
Beberapa langkah praktis dalam melakukan pemecahan masalah kinerja adalah:
137

BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

137

3. Mengumpulkan data untuk mendukung perumusan kebijakan untuk intervensi tertentu.


Agenda Prioritas Riset Operasional Penanggulangan TB di Indonesia.
Dalam menetapkan prioritas riset operasional, perlu menekankan pada pemahaman bahwa
riset operasional diharapkan membuahkan suatu solusi yang memperbaiki program
penanggulangan TB. Ada beberapa pertimbangan lain yang perlu dipikirkan adalah dalam
menetapkan prioritas riset operasional yaitu :
1. Daya ungkit: Hasil penelitian diharapkan dapat mengubah kebijakan dan implementasi
kegiatan berdampak dalam pencapaian tujuan program Pengendalian TB;
2. Relevan: Intervensi yang sedang diuji coba dan hasil yang diharapkan perlu relevan
dengan objektif program Pengendalian TB;
3. Terandalkan: Hasil riset operasional menghasilkan kesimpulan yang kuat untuk
menginformasikan pada pengambil keputusan;
4. Mengurangi kesenjangan: Hasil penelitian akan mengisi kesenjangan informasi atau
menambahkan fakta baru;
5. Efisiensi: Diharapkan dapat memberikan dampak yang besar dengan biaya yang tidak
terlalu besar;
6. Prioritas nasional: Topik atau tema riset sudah diidentifikasi sebagai prioritas nasional
baik oleh pemerintah atau kelompok ahli yang berwenang.
Riset operasional TB perlu disesuaikan dan diprioritaskan sesuai kondisi epidemi TB dan
Strategi Program Pengendalian TB di Indonesia, maka dibutuhkan riset operasional untuk:
1. Memperbaiki kualitas program:
a. Peningkatan aksesibilitas pencegahan, diagnosis, dan pengobatan TB dan TB-HIV
b. Terbentuk kerjasama pihak pelayanan pemerintah dan swasta dalam penanggulangan
TB.
c. Terbentuk kerjasama antara penanggungjawab program TB, dengan program
kesehatan lain yang terkait, seperti Penangulangan HIV, Penanggulangan Penyakit
Tidak Menular-Diabetes Melitus.
d. Mengoptimalkan akses dan kepatuhan pengobatan pengobatan TB,
e. Peningkatan akses pengobatan bagi orang dengan TB resistan obat.
2. Peningkatan peran-serta masyarakat umum & khusus (LSM, Kaum Bisnis, dll).
a. Mengembangkan metode yang menggerakan peran-serta masyarakat termasuk
komponen pendanaan yang mampu meningkatkan efektivitas program.
b. Mengembangkan perilaku yang mampu menekan penularan TB.
3. Mengubah perilaku masyarakat dan penyedia layanan
a. Mengembangkan metode perubahan perilaku masyarakat.
b. Mengembangkan metode yang mengubah perilaku penyedia layanan.
4. Upaya intensifikasi penemuan kasus TB yang dilihat dari sisi penyedia layanan maupun
masyarakat rentan.
a. Meningkatkan akses layanan pengobatan pada populasi rentan dan termarjinalkan.
b. Memperkuatkan integrasi layanan TB dan HIV.
139

BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

139

c. Upaya mencegah penularan TB di fasilitas kesehatan, keluarga, dan masyarakat.


Agenda riset operasional TB di Indonesia harus diselaraskan dengan agenda riset
operasional global, terutama kesesuaiannya dengan kondisi dan kebutuhan setempat.
Agenda riset operasional perlu diselaraskan juga dengan dinamika perkembangan program
TB serta ketersediaan sumber daya (pendanaan).

140

140

BAB XIII
SISTIM INFORMASI PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

BAB XIV
BAB
XIV
PERENCANAAN
DAN
PENGANGGARAN
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PROGRAM
PROGRAM
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
PENGENDALIAN TUBERKULOSIS
A. Konsep Perencanaan dan Penganggaran.
Perencanaan merupakan suatu rangkaian kegiatan yang sistematis untuk menyusun
rencana berdasarkan kajian rinci tentang keadaan masa kini dan perkiraan keadaan yang
akan muncul dimasa mendatang berdasarkan pada fakta dan bukti. Pada dasarnya rencana
adalah alat manajemen yang berfungsi membantu organisasi atau program agar dapat
berkinerja lebih baik dan mencapai tujuan secara lebih efektif dan efisien. Tujuan dari
perencanaan adalah tersusunnya rencana program, tetapi proses ini tidak berhenti disini
saja karena setiap pelaksanaan program tersebut harus dipantau agar dapat dilakukan
koreksi dan dilakukan perencanaan ulang untuk perbaikan program.
Perencanaan yang baik adalah:
1. Berbasis data, informasi atau fakta yang akurat tentang situasi epidemiologis dan
program
2. Berjangka menengah atau panjang, biasanya 5 tahun.
3. Mempunyai jangkauan ke depan yang memberikan tantangan dalam pelaksanaannya
4. Bersifat umum, menyeluruh dan biasanya dijabarkan lebih lanjut dalam rencana kerja
atau rencana operasional yang lebih rinci.
5. Luwes, dinamis, dan tidak statis, serta tanggap terhadap berbagai perubahan penting
yang terjadi di llingkungan tempat dan waktu berlakunya rencana.
Anggaran merupakan hasil dari proses perencanaan, merupakan suatu rencana jangka
pendek yang disusun berdasarkan dari rencana kegiatan jangka panjang yang telah
ditetapkan dalam proses penyusunan program untuk mencapai tujuan atau kondisi tertentu
yang diinginkan dengan berbagai sumber daya.
Prinsip perencanaan dan penganggaran pengendalian TB harus memperhatikan hal-hal
berikut:
1. Kegiatan yang direncanakan sesuai dengan tugas pokok, dan fungsi, serta kewenangan.
2. Perencanaan yang dilakukan harus efektif, efisien, dan fokus pada pencapaian target
indikator kegiatan sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Strategis Kementerian
Kesehatan, Rencana Program Jangka Menengah Nasional (RPJMN)/ Rencana Program
Jangka Menengah Daerah (RPJMD), strategi nasional pengendalian TB, dan rencana
aksi di daerah
3. Perencanaan dilakukan berdasarkan skala prioritas serta perencanaan terpadu/sinergi
untuk menghindari duplikasi anggaran

BAB XIV
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

137

141

1. APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)


Alokasi pembiayaan dari APBN digunakan untuk membiayai pelaksanaan kegiatan
program TB nasional, namun dalam upaya meningkatkan kualitas program di daerah,
Kementerian Kesehatan dalam hal ini Sub Direktorat TB melimpahkan kewenangan
untuk mengelola dana APBN dengan melibatkan pemerintah daerah dengan mekanisme
sebagai berikut:
a. Dana dekosentrasi (dekon) yaitu dana dari pemerintah pusat (APBN) yang diberikan
kepada pemerintah daerah sebagai instansi vertikal yang digunakan sesuai dengan
tugas pokok dan fungsi. Dana dekonsentrasi untuk program pengendalian TB
digunakan untuk memperkuat jejaring kemitraan di daerah melalui lintas program dan
lintas sektor, meningkatkan monitoring dan evaluasi program pengendalian TB di
kabupaten/kota melalui pembinaan teknis, meningkatkan kompetensi petugas TB
melalui pelatihan tatalaksana program TB.
b. Dana alokasi khusus (DAK) bidang kesehatan adalah dana perimbangan yang
ditujukan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dalam Pembangunan Kesehatan di Daerah. Dana ini diserahkan
kepada daerah melalui pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menyediakan sarana
dan prasarana pelayanan kesehatan seperti alat dan bahan penunjang di laboratorium
dalam rangka diagnosis TB dan perbaikan infrastruktur di kabupaten/kota termasuk
gudang obat,
c. Bantuan operasional kesehatan (BOK) diserahkan kepada fasilitas pelayanan
kesehatan untuk membiayai operasional petugas, dan dapat digunakan sebagai
transport petugas fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka pelacakan kasus yang
mangkir TB, pencarian kontak TB
2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Alokasi pembiayaan dari APBD digunakan untuk membiayai pelaksanaan kegiatan
program TB di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, berdasarkan tugas, pokok dan
fungsi dari pemerintah daerah.
3. Dana Hibah
Kementerian Kesehatan dalam hal ini Sub Direktorat TB merupakan salah satu program
yang mendapat kepercayaan menerima dana hibah dari luar negeri. Saat ini berbagai
keberhasilan telah banyak dicapai oleh program TB, namun sebagian besar pembiayaan
masih tergantung kepada donor (PHLN).
Hibah dari Global Fund merupakan bagian terpenting dari keseluruhan dana untuk
program TB, permasalahan yang terkait dengan pendanaan donor (restriksi/suspend)
akan berdampak secara langsung terhadap kinerja program. Kondisi saat ini hampir 61%
dana operasional pengendalian TB terutama di provinsi dan kabupaten/kota dibiayai oleh
Global Fund, walaupun sudah ada kebijakan proporsi pemerintah (APBN) dari 23% pada

BAB XIV
PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

139

143

d. Menyediakan dan meningkatkan kemampuan tenaga kesehatan pengendalian TB di


fasilitas pelayanan kesehatan
e. Monitoring, evaluasi dan pembinaan teknis kegiatan pengendalian TB
f. Pendanaan kegiatan operasional pengendalian TB yang terkait dengan tugas pokok
dan fungsi
g. Pemantapan surveilans epidemiologi TB di tingkat kabupaten/kota

Pembagian peran dan wewenang dalam program pengendalian TB tidak hanya yang
bersifat vertikal namun juga horisontal dimana keterlibatan dari lintas program, lintas sektor
dan unit pelaksana teknis dari Direktorat Jenderal PP&PL seperti Kantor Kesehatan
Pelabuhan (KKP) dan B/BTKL sesuai dengan tugas, pokok dan fungsi masing-masing.

BAB XIV
PERENCANAAN DAN PENGGANGARAN PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

143

147

TAMBAHAN TB HIV PADA ANAK


Anak terinfeksi HIV mempunyai risiko lebih besar untuk terpapar, terinfeksi, dan sakit TB.
Risiko ini dipengaruhi oleh derajat imunosupresinya. Setiap anak yang terinfeksi HIV di
wilayah endemis TB harus diinvestigasi status TB nya secara regular pada saat melakukan
kunjungan ke Fasyankes dengan cara melakukan penilaian klinis terlebih dahulu. Pada
daerah endemis TB dan HIV, TB banyak ditemukan pada anak terinfeksi HIV, sebaliknya
infeksi HIV banyak ditemukan pada anak sakit TB. Tes HIV dianjurkan dilakukan secara rutin
pada semua anak yang didiagnosis sakit TB dengan metode TIPK
Diagnosis TB pada Anak Terinfeksi HIV
Gejala klinis umum TB pada anak terinfeksi HIV antara lain batuk persisten lebih dari 3
minggu yang tidak membaik setelah pemberian antibiotik spektrum luas, malnutrisi berat atau
gagal tumbuh, demam lebih dari 2 minggu, keringat malam yang menyebabkan anak sampai
harus ganti pakaian, gejala umum non-spesifik lainnya dapat berupa fatigue (kurang aktif,
tidak bergairah). Pada anak yang terinfeksi HIV lebih sering mengalami TB diseminata.
Pendekatan diagnosis TB pada anak terinfeksi HIV pada prinsipnya sama dengan anak HIV
negatif, meskipun sering terkendala. Oleh karena itu diagnosis TB pada anak terinfeksi HIV
tidak memakai sistem skoring. Saat ini dimungkinkan untuk melakukan pemeriksaan tes cepat
yaitu Xpert MTB/RIF untuk mendiagnosis TB pada pasien HIV termasuk pada anak.
Konfirmasi bakteriologi dapat dilakukan dengan pengambilan spesimen dari beberapa tempat
yang memungkinkan sesuai dengan manifestasi klinis penyakit TB-nya, antara lain sputum,
aspirasi cairan lambung,cairan pleura, induksi sputum, biopsi jarum halus pada kelenjar getah
bening (KGB) yang membesar dan biopsi jaringan lainnya.
Tanpa konfirmasi bakteriologi, diagnosis TB anak terutama berdasarkan 4 hal yaitu:
1. Kontak dengan pasien TB dewasa terutama yang BTA positif;
2. UMLWXEHUNXOLQSRVLWLI PPSDGDDQDNWHULQIHNVL+,9 
3. Gambaran sugestif TB secara klinis
4. Gambaran sugestif TB pada foto toraks.
Pada anak terinfeksi HIV, uji WXEHUNXOLQGLNDWDNDQSRVLWLIELODGLDPHWHUPP%LODKDVLOQ\D
<5 mm, TB belum dapat langsung disingkirkan karena ada beberapa keadaan yang
menyebabkan negatif palsu : malnutrisi berat, infeksi bakteri berat, infeksi virus, obat
imunosupresif dan prosedur penyuntikan yang salah.
Kecurigaan Infeksi HIV pada pasien TB anak
Tes HIV harus dianjurkan pada semua anak yang didiagnosis sakit TB dan pada semua anak
terduga TB di daerah epidemi HIV meluas seperti di wilayah Tanah Papua dengan metode
TIPK. Infeksi HIV pada anak dapat bermanifestasi dalam gejala klinis yang bervariasi namun
seringkali tidak spesifik. Gejala penurunan berat badan, demam dan batuk, sering dijumpai
pada TB anak dengan HIV.
Kondisi orangtua memberikan petunjuk penting tentang kemungkinan infeksi HIV pada anak
mereka. Tanyakan kepada orangtua tentang status kesehatan mereka. Kadang orangtua
menyembunyikan status HIV mereka. Pemberian informasi dalam penawaran tes HIV pada
anak perlu dilakukan bersama dengan orangtua atau wali/pengampunya. Untuk melakukan
tes HIV pada anak diperlukan ijin dari orangtua/wali yang memiliki hak hukum atas anak
tersebut (contoh nenek/kakek/orangtua asuh, bila orangtua kandung meninggal atau tidak
ada).

Bila anak sakit berat, maka pengobatan TB dapat diberikan. Dalam keadan meragukan dan
tidak emergensi, melakukan uji coba pengobatan (treatment trial) tidak dibenarkan.
Tuberkulosis pada anak terinfeksi HIV (selain TB milier, meningitis TB dan TB tulang) harus
diberikan 4 macam obat (RHZE) selama 2 bulan pertama dilanjutkan RH selama 4-7 bulan.
Bila menunjukkan perbaikan klinis dilanjutkan dengan INH saja selama 6 bulan untuk mencegah
kekambuhan
Pada meningitis TB, TB milier, dan TB tulang diberikan RHZE selama 2 bulan pertama dilanjutkan
RH sampai 12 bulan.
PETUNJUK PRAKTIS
Dosis OAT yaitu INH 10 mg/KgBB/hari (maksimal 300 mg), Rifampisin 15 mg/KgBB/hari (maksimal
600 mg), PZA 35 mg/KgBB/hari (maksimal 2000 mg), Etambutol 20 mg/KgBB/hari (maksimal 1250
mg)

Pada meningitis TB, TB milier dengan distress pernapasan, efusi pleura dan efusi perikardial
diberikan tambahan kortikosteroid berupa prednison 1 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 6
minggu, selanjutnya di-tapering-off selama 6 minggu.
Pemberian ART pada anak dengan ko-infeksi TB-HIV
Pada anak yang baru terinfeksi HIV, pemberian ARV dimulai setelah pasien mendapat
pengobatan TB selama 2-8 minggu (lebih disukai adalah 8 minggu) untuk mengurangi
terjadinya SPI (Sindrom Pulih Imun) dan efek samping obat yang saling tumpang tindih. Hal
yang paling penting diperhatikan pada anak HIV dengan TB adalah potensi interaksi obat
terutama golongan NNRTI dengan Rifampisin.
Sindrom pulih imun adalah kumpulan tanda dan gejala akibat menurunnya kemampuan
respon imun tubuh anak terhadap antigen atau organisme yang dikaitkan dengen pemberian
ARV. SPI biasa timbul dalam 2 -12 minggu inisiasi ARV, dengan gejala dan tanda seperti
infeksi subklinis yang tidak tampak seperti TB, TB yang aktif kembali, dan juga munculnya
abses pada tempat vaksinasi BCG atau limfadenitis BCG
Pilihan ART pada anak dengan ko-infeksi TB HIV mengacu pada pedoman tatalaksana HIV
pada anak.
PENCEGAHAN TB PADA ANAK TERINFEKSI HIV
Pencegahan TB pada anak terinfeksi HIV dilakukan dengan pelacakan kontak, pengendalian
infeksi, dan pemberian profilaksis INH. Bayi dan anak usia berapapun yang baru terdiagnosis
HIV tetapi tidak sakit TB, meskipun tidak ada kontak harus mendapat profilaksis INH 10
mg/kgBB/hari maksimun 300 mg selama 6 bulan.
Petunjuk pelaksanaan BCG:
x
Anak HIV negatif di wilayah dengan prevalensi TB-HIV tinggi diberikan BCG.
x
Bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan status HIV tidak diketahui diberikan BCG.
x
Bayi terinfeksi HIV dengan atau tanpa gejala TIDAK diberikan BCG.
x
Bayi dilahirkan dari ibu HIV positif boleh diberikan BCG bila:
o Mendapatkan perlakukan pencegahan (PPIA) dan/atau
o Sehat, tidak menunjukkan gejala HIV
o Sebaiknya setelah diperiksa PCR

Nomor Identitas
Kependudukan (NIK)

Nomor Identitas Kependudukan (NIK)

Nomor Identitas Kependudukan (NIK)

Nomor Identitas Kependudukan (NIK)

Das könnte Ihnen auch gefallen