Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Autisme sebuah sindrom gangguan perkembangan sistem syaraf pusat yang
ditemukan pada sejumlah anak ketika masa kanak kanak hingga masa masa
sesudahnya. Ironisnya, sindrom tersebut membuat anak anak yang
menyandangnya tidak mampu menjalin hubungan sosial secara normal bahkan
tidak mampu untuk menjalin komunikasi dua arah (Wijayakusuma, 2004)
Varian symptom yang dimiliki oleh setiap anak dengan sindrom autisme
berbeda beda. Ada varian symptom yang ringan dan ada juga yang berat. Akan
tetapi, secara umum dapat dispesifikasikan kedalam tiga hal yang mencakup
kondisi mental, kemampuan berbahasa serta usia si anak.
Sebagai sindrom, autisme dapat disandang oleh seluruh anak dari berbagai
tingkat sosial dan kultur. Hasil survai yang diambil dari beberapa negara
menunjukan bahwa 2 4 anak per 10.000 anak berpeluang menyandang austime
dengan rasio perbandingan 3 : 1 untuk anak laki laki dan perempuan. Dengan
kata lain, anak laki laki lebih rentan menyandang sindrom autisma dibandingkan
anak perempuan. Bahkan diprediksikan oleh para ahli bahwa kuantitas anak
autisme pada tahun 2010 akan mencapai 60 % dari keseluruhan populasi anak di
seluruh dunia.
Survei menunjukkan, anak-anak autisme lahir dari ibu-ibu kalangan ekonomi
menengah keatas. Ketika dikandung asupan gizi ke ibunya tidak seimbang.
Sejak autisme mulai dapat dijabarkan dan dikenal mendunia, berbagai jenis
penyembuhan telah dilakuan. Beberapa implementasi penyembuhan tersebut
bukan hanya bersifat psikis, tetapi juga fisik, mental, emosional hingga fisiologis.
Tetapi penyembuhan yang diterapkanpun dilakukan dengan berbagai varian
teknik, diantaranya teknik belajar dan bermain yang dapat dilakukan secara verbal
maupun non verbal.
Dari beberapa jenis terapi yang telah diimplementasikan secara meluas, ada
yang melibatkan peran serta orang tua dan ada juga yang tidak. Ada yang dapat
dilakukan sendiri oleh orang tua dirumah dan ada juga terapi yang memerlukan
bantuan sejumlah ahli atau terapis. Inti dari sejumlah terapi tersebut dimaksudkan
untuk mengeliminir berbagai symptom yang diperlihatkan oleh seorang anak
autisme yang tentunya dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkatan
sindrom yang disandang anak.
Yang terpenting, terapi yang diberikan kepada setiap anak autisme hendaknya
tetap melibatkan peran serta orang tua secara aktif. Tujuannya agar setiap orang
tua merasa memiliki andil atas kemajuan yang dicapai anak autisma mereka dalam
setiap fase terapi. Dengan kata lain, orang tua tidak hanya memasrahkan
perbaikan anak autisme kepada para ahli atau terapis tetapi juga turut menentukan
tingkat perbaikan yang perlu dicapai oleh sianak. Dengan demikian, akan
terbentuk suatu ikatan emosional yang lebih kuat antara orang tua dengan anak
autismenya dan hal ini diharapkan akan mendukung perkembangan emosional dan
mental si anak menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Yang melatar belakangi pembuatan askep yang berjudul autisme yaitu adanya
penugasan dari dosen mata kuliah keperawatan jiwa dan keingintahuan kami
mengenai konsep dasar dan askep autisme itu sendiri.
1.2 Runusan Masalah
1. Apakah definisi dari autisme ?
2. Ada berapa pengelompokan autisme ?
3. Bagaiman etiologi autisme ?
4. bagaimana karakteristik autisme ?
5. Bagaimana penatalaksanaan autisme ?
6. bagaimana askep autisme ?
1. Tujuan umum
Pembaca dapat memahami mengenai konsep dasar dan askep autisme.
2. Tujuan khusus
Setelah membaca askep ini, pembaca mampu :
BAB II
KONSEP TEORI
2.1 Definisi
Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat
masa balita,
yang
membuat
dirinya
tidak
dapat
membentuk
hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi
dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat
yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993).
Menentukan terlebih dulu masalah penyimpangan perilaku dan perilaku yang mana
kira kira yang perlu ditingkatkan
Meyakinkan dan mengusahakan agar semua pihak yang terlibat ikut peduli dengan
program tersebut
Memberikan permainan rutin dan tetep merupakan jenis pengobatan bagi anak
autisme, yang bisa mengurangi kecemasan dan meningkatkan rasa aman dalam
dunianya
psikotropika
yang
bekerja
pada
susunan
saraf
pusat.
Hasilnya
a.
a.
Faktor genetika.
Ditemukan 20 gen yang terkait dengan autisme. Namun, gejala autisme baru
muncul jika terjadi kombinasi banyak gen. bias saja autisme tidak muncul, meski
anak membawa gen autisme. Jadi perlu faktor pemicu lain.Hasil penelitian
terhadap keluarga dan anak kembar menunjukkan adanya faktor genetik yang
berperan dalam perkembangan autisme. Pada anak kembar satu telur ditemukan
sekitar 36 89 %, sedang pada anak kembar dua telur 0 %. Pada penelitian
terhadap keluarga ditemukan 2,5 3 % autisme pada saudara kandung, yang
berarti 50 - 100 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi normal (Masra,
2002)
b. Keracunan logam berat.
Berdasarkan tes laboratorium yang dilakukan pada rambut dan darah ditemukan
kandungan logam berat dan beracun pada banyak anak autis. Diduga, kemampuan
sekresi logam berat dari tubuh terganggu secara genetik. Penelitian selanjutnya
menemukan logam berat seperti arsenik (As), antimoni (Sb), kadmium (Cd), raksa
(Hg), dan timbal (Pb) adalah racun otak yang sangat kuat. Tahun 2000, Sallie
Bernard, ibu dari anak autis, menunjukan penelitiannya, gejala yang diperlihatkan
anak-anak autis sama dengan keracunan merkuri. Dugaan ini diperkuat dengan
membaiknya gejala autis setelah anak-anak mlakukan terapi kelasi (merkuri
dikeluarkan dari otak dan tubuh mereka) (Budhiman, 2002)
c.
Alergi.
Beberapa penelitian menunjukkan keluhan autisme dipengaruhi dan diperberat
oleh banyak hal, salah satunya karena manifestasi alergi. Dari penelitian yang
pernah dilakukan, dilaporkan bahwa autisme berkaitan erat dengan alergi
(Judarwanto, 2004).
Penelitian lain menyebutkan setelah dilakukan eliminasi makanan beberapa
gejala autisme tampak membaik secara bermakna. Hal ini dapat juga dibuktikan
dalam beberapa penelitian yang menunjukkan adanya perbaikan gejala pada anak
autisme yang menderita alergi, setelah dilakukan penanganan eliminasi diet alergi.
Beberapa laporan lain mengatakan bahwa gejala autisme semakin memburuk bila
manifestasi alergi muncul (Judarwanto, 2004).
a.
Teori kelebihan opiod dan hubungan gluten dan protein kasein. Teori ini
mengatakan bahwa pencernaan anak autis terhadap kasein dan gluten tidak
sempurna. Kedua protein ini hanya terpecah sampai polipeptida. Polipeptida dari
kedua protein tersebut terserap ke dalam aliran darah dan menimbulkan efek
morfin di otak anak. Di membran saluran cerna kebanyakan pasien autis
ditemukan pori-pori yang tidak lazim, yang diikuti dengan masuknya peptida ke
dalam darah. Hasil metabolisme gluten adalah protein gliadin. Gliadin akan
berikatan dengan reseptor opioid C dan D. Reseptor tersebut berhubungan dengan
mood dan tingkah laku. Diet sangat ketat bebas gluten dan kasein menurunkan
kadar peptida opioid serta dapat mempengaruhi gejala autis pada beberapa anak.
Dengan demikian implementasi diet merupakan terobosan yang baik untuk
memperoleh kesembuhan pasien.
Protein gluten terdapat pada terigu, sereal, gandum yang biasa dipakai dalam
pembuatan bir serta gandum hitam sedangkan protein kasein ditemukan
mempunyai aktivitas opiod saat protein tidak dapat dipecah.
Dari penelitian Whiteley, Rodgers, Savery dan Shattock (1999), 22 anak autis
mendapat diet bebas gluten selama 5 bulan dibandingkan dengan 5 anak autis
yang tetap diberi diet mengandung gluten dan 6 pasien autis yang digunakan
sebagai kelompok kontrol. Setelah 3 bulan, pada diet bebas gluten terjadi
perbaikan verbal dan komunikasi non verbal, pendekatan afektif, motorik, dan
kemampuan anak untuk perhatian serta tidur jadi lebih baik. Sedangkan pada
kelompok makanan yang masih mengandung gluten justru semuanya memburuk.
Meskipun penelitian ini masih menggunakan jumlah pasien yang sangat kecil, tapi
cukup bisa diterima sampai sekarang.
Pentingnya penanganan diet pada pasien autis tak kalah pentingnya dari
farmakoterapi dan fisioterapi, untuk itulah masalah alergi makanan pada anak
dengan gangguan spektrum autisme harus dilakukan secara holistik.
1. Epidemiologi
Prevalensi atau peluang timbulnya penyakit autisme semakin tinggi. Dua puluh
tahun yang lalu hanya 2 sekitar 1 dari 10.000 anak kena autis. Lima tahun yang
lalu 1 dari 1000, satu tahun yang lalu 1 dari 166 anak, dan saat ini 1 dari 150 anak
atau setiap tahun timbul sekitar 9000 anak autis baru (Dwinoto, 2008).Di
Indonesia yang berpenduduk 200 juta, hingga saat ini belum diketahui persis
jumlah anak autis namun diperkirakan dapat mencapai 150 -200 ribu orang.
Perbandingan laki dan perempuan 4 : 1, namun pasien anak perempuan akan
menunjukkan gejala yang lebih berat.Sebagai sindrom, autisme dapat disandang
oleh semua anak dari berbagai tingkat sosial dan kultur. Hasil survai dari beberapa
Negara menunjukkan bahwa 2 - 4 anak per 10.000 anak berpeluang menyandang
autis dengan rasio 3 : 1 untuk anak laki-laki dan perempuan; anak laki-laki lebih
rentan menyandang sindrom autisme dibandingkan anak perempuan (Sari,
2009).Anak laki-laki memiliki hormon testosteron yang mempunyai efek yang
bertolak belakang dengan hormon estrogen pada perempuan, hormon testosteron
menghambat kerja RORA (retinoic acid-related orphan receptor-alpha) yang
Gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal seperti terhambat bicara,
mengeluarkan kata-kata dalam bahasanya sendiri yang tidak dapat dimengerti,
echolalia, dan ssering meniru dan mengulang kata tanpa ia mengerti maknanya.
b. Gangguan dalam interaksi sosial, seperti menghindar kontak mata, tidak melihat
jika dipanggil, menolak untuk dipeluk, dan lebih suka bermain sendiri.
c.
Gangguan pada bidang perilakuyang terlihat dan adanya perilaku yang berlebih
(excesive) dan kekurangan (deficient), seperti impulsive, hiperaktif, repetitive,
namun dilain waktu terkesan pandangan yang sama dan monoton. Kadang-kadang
ada kelekatan pada benda tertentu, seperti gambar, karet, dan lain-lain, yang
dibawanya kemana-mana.
d.
e.
Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2) dan (3) dengan minimal 2 gejala dari (1) dan
masing-masing satu gejala dari (2) dan (3)
Gangguan kualitatif dalam interaksi social yang timbal balik. Minimal harus ada dua
gejala dari gejala gejala dibawah ini:
Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai: kontak mata sangat
kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik kurang tertuju.
Tak bias bermain dengan teman sebaya.
Tak ada empati
Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.
Gangguan kuantitatif dalam bidang komunikasi, minimal harus ada satu gejala dari
gejala dibawah ini :
Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tak berkembang. Anak tidak berusaha
untuk berkomunikasi secara non-verbal
Bila anak bicara maka bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi
Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang
Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang dapat meniru.
Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam prilaku, minat dan
kegiatan, minimal harus ada satu gejala dari gejala dibawah ini :
Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang khas dan berlebihan
Terpaku pada satu kegiatan yang ritualistic atau rutinitas yang tak ada gunanya
Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang
Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda
Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang:
a). Interaksi sosial
b). bicara dan berbahasa
c). cara bermain yang monoton dan kurang variatif
Bukan disebabkan oleh Rett Syndrome atau gangguan Disintegrasi Masa Kanak
Handojo (2008) menyebutkan dari kelainan anatomis dan fungsi dari bagian otak,
maka timbulah gejala yang dapat kita amati. Baik ICD 10 1993 (International
Classification of Diseases) dari WHO maupun DSM IV (Diagnostic and
Statistical Manual) 1995, dari grup Psikiatri Amerika, keduanya menetapkan
kriteria yang sama untuk autisme anak.
Tabel 1. Kriteria DSM IV untuk Autisme Masa Kanak
2.4 Karakteristik
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat
diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi
yang teringan hingga terberat sekalipun.
1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
2.
Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta
menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Anak
tidak
memperlihatkan
dada,
5. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu
Adanya kelima lampu merah di atas tidak berarti bahwa anak tersebut
menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat
beragam
maka
seorang
anak
harus
mendapatkan
evaluasi
dapat
profesi
Observasi orang tua, pengasuh, guru tentang perilaku anak dirumah, diteka, saat
bermain, pada saat berinteraksi sosial dalam kondisi normal.
Tanda autis berbeda pada setiap interval umumnya.
a.
Pada usia 6 bulan sampai 2 tahun anak tidak mau dipeluk atau menjadi tegang
bila diangkat ,cuek menghadapi orangtuanya, tidak bersemangat dalam permainan
sederhana (ciluk baa atau kiss bye), anak tidak berupaya menggunakan kat-kata.
Orang tua perlu waspada bila anak tidak tertarik pada boneka atau binatan
gmainan untuk bayi, menolak makanan keras atau tidak mau mengunyah, apabila
anak terlihat tertarik pada kedua tangannya sendiri.
b.
Pada usia 2-3 tahun dengan gejal suka mencium atau menjilati benda-benda,
disertai kontak mata yang terbatas, menganggap orang lain sebagai benda atau
alat, menolak untuk dipeluk, menjadi tegang atau sebaliknya tubuh menjadi
lemas, serta relatif cuek menghadapi kedua orang tuanya.
c.
Pada usia 4-5 tahun ditandai dengan keluhan orang tua bahwa anak merasa sangat
terganggu bila terjadi rutin pada kegiatan sehari-hari. Bila anak akhirnya mau
berbicara, tidak jarang bersifat ecolalia (mengulang-ulang apa yang diucapkan
orang lain segera atau setelah beberapa lama), dan anak tidak jarang menunjukkan
nada suara yang aneh, (biasanya bernada tinggi dan monoton), kontak mata
terbatas (walaupun dapat diperbaiki), tantrum dan agresi berkelanjutan tetapi bisa
juga berkurang, melukai dan merangsang diri sendiri.
2.6 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang ditemuai pada penderita Autisme :
a.
Penarikan diri, Kemampuan komunukasi verbal (berbicara) dan non verbal yang
tidak atau kurang berkembang mereka tidak tuli karena dapat menirukan lagu-lagu
dan istilah yang didengarnya, serta kurangnya sosialisasi mempersulit estimasi
potensi intelektual kelainan pola bicara, gangguan kemampuan mempertahankan
percakapan,
permainan
sosial
abnormal,
tidak
adanya
empati
dan
c.
Anak biasa duduk pada waktu lama sibuk pada tangannya, menatap pada objek.
Kesibukannya dengan objek berlanjut dan mencolok saat dewasa dimana anak
tercenggang dengan objek mekanik.
d.
e.
f.
g.
Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan tangan, pengunyahan benda, dan
menggosok permukaan menunjukkan penguatan kesadaran dan sensitivitas
terhadap rangsangan, sedangkan hilangnya respon terhadap nyeri dan kurangnya
respon terkejut terhadap suara keras yang mendadak menunjukan menurunnya
sensitivitas pada rangsangan lain.
h.
i.
Menunjukan echolalia (mengulangi suatu ungkapan atau kata secara tepat) saat
berbicara, pembalikan kata ganti pronomial, berpuisi yang tidak berujung pangkal,
bentuk bahasa aneh lainnya berbentuk menonjol. Anak umumnya mampu untuk
berbicara pada sekitar umur yang biasa, kehilangan kecakapan pada umur 2 tahun.
j.
k. Sikap dan gerakan yang tidak biasa seperti mengepakan tangan dan mengedipkan
mata, wajah yang menyeringai, melompat, berjalan berjalan berjingkat-jingkat.
Ciri yang khas pada anak yang austik :
a.
a.
Minat serta perilakunya terbatas, terpaku, diulang-ulang, tidak fleksibel dan tidak
imajinatif.Ketiga-tiganya muncul bersama sebelum usia 3 tahun.
2. Terapi Biomedik
Terapi biomedik merupakan penanganan secara biomedis melalui perbaikan
metabolism tubuh serta pemberian obat-obatan oleh dokter yang berwenang,
vitamin dan obat yang dianjurkan adalah vitamin B6, risperidone, dll
(Veskarisyanti, 2008). Sedangkan menurut Handojo (2008), obat- obatan yang
dipakai terutama untuk penyandang autisme, sifatnya sangat individual dan perlu
berhati-hati. Dosis dan jenisnya sebaiknya diserahkan kepada Dokter Spesialis
yang memahami dan mempelajari autisme (biasanya Dokter Spesialis Jiwa Anak).
Baik obat maupun vitamin hendaknya diberikan secara sangat berhati-hati, karena
baik obat maupun vitamin dapat memberikan yang tidak diinginkan. Vitamin
banyak dicampurkan pada nutrisi khusus, karena itu telitilah lebih dahulu sebelum
membeli dan memberikannya kepada penyandang autisme. Terapi biomedik tidak
menggantikan terapiterapi yang telah ada, seperti terapi perilaku, wicara, okupasi
dan integrasi sensoris. Terapi biomedik melengkapi terapi yang telah ada dengan
memperbaiki dari dalam. Dengan demikian diharapkan bahwa perbaikan akan
lebih cepat terjadi (Muhardi, 2009).
4. Terapi Okupasi
Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan
motorik halus. Gerakgeriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang
pinsil dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap
makanan kemulutnya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat
penting untuk melatih mempergunakan otot otot halusnya dengan benar
(Muhardi, 2009).
5. Psikoterapi
Psikoterapi
merupakan
terapi
khusus
yang
dalam
6. Terapi Diet
a.
Diet bebas gluten dan bebas kasein. Pada umumnya, orangtua mulai dengan diet
tanpa gluten dan kasein, yang berarti menghindari makanan dan minuman yang
mengandung gluten dan kasein. Gluten adalah protein yang secara alami terdapat
dalam keluarga rumput seperti gandung/terigu, havermuth/oat, dan barley.
Gluten memberi kekuatan dan kekenyalan pada tepung terigu dan tepung bahan
sejenis. Sedangkan jenis bahan makanan sumber kasein adalah susu sapi segar
(mengandung 80% kasein), susu skim, tepung susu, dan produk olahan susu
seperti, keju, mentega, margarine, krim, yoghurt, es krim (Hariyadi, 2009).
Meskipun masih kontroversial namun teori adanya kelainan peptida di otak yaitu
ditemukannya gliodorphin dan casomorphin, adanya zat tersebut pada penderita
dapat dideteksi dengan pemeriksaan tes peptida urin dimana ditemukan zat sejenis
opioid yang merupakan hasil pencernaan yang tidak sempurna dari gluten dan
kasein (Prabaningrum & Wardhani, 2008). Hal ini yang mendasari diet bebas
gluten dan kasein bagi penyandang autisme karena gluten dan kasein dapat
menjadi racun / toksik bila dikonsumsi (Veskarisyanti, 2008). Pada orang sehat,
mengonsumsi gluten dan kasein tidak akan menyebabkan masalah yang
serius/memicu timbulnya gejala. Pada umumnya, diet ini tidak sulit dilaksanakan
karena makanan pokok orang Indonesia adalah nasi yang tidak mengandung
gluten. Perbaikan/penurunan gejala autisme dengan diet khusus biasanya dapat
dilihat dalam waktu antara 13 minggu. Menghindari makanan sumber gluten dan
kasein meningkatkan perbaikan 65% anak autis. Apabila setelah beberapa bulan
menjalankan diet tersebut tidak ada kemajuan, berarti diet tersebut tidak cocok
dan anak dapat diberi makanan seperti sebelumnya (Muhardi, 2009). Hasil
penelitian oleh Ishak (2008), menyebutkan bahwa terdapat pengaruh pemberian
diet terhadap perkembangan anak autisme. Sedangkan menurut Hyman (2010),
tidak ada efek khusus pada perkembangan prilaku dengan terapi diet bebas gluten
dan kasein dikatakan juga diet gluten dan casein tidak berkaitan dengan sifat
agresif penderita autisme dan kinerja usus mereka, dikarenakan banyak faktor
yang mempengaruhinya, sehingga harus diketahui terapi mana yang paling sesuai
dan efektif pada masing-masing anak. Didalam penelitan Hyman (2010),
responden penelitian tidak mengalami perubahan dalam pola aktivitas dan
frekuensi tidur. Anak-anak menunjukkan peningkatan kecil dalam sosial, bahasa
dan minat setelah diberikan terapi gluten dan kasein dan diukur gejala yang
timbul dengan Ritvo Freeman Real Life Rating Scale namun tidak mencapai
signifikansi statistik
b.
Diet bebas zat aditif. Zat aditif terdiri dari pewarna, penambah rasa sintetis,
aspartam, nitrat pada makanan, dan pestisida yang mungkin ada dalam makanan
dapat memperparah keadaan anak autis (Hariyadi, 2009). Contoh bahan makanan
yang mengandung zat aditif adalah sosis, kornet, chicken nugget dan lain-lain.
Beberapa zat pewarna merusak DNA yang menyebabkan mutasi genetik.
Sedangkan zat penambah rasa seperti MSG dapat mempengaruhi saraf otak
(Sunartini, 2003).
c.
Diet bebas fenol dan salisilat. Sejak The Feingold Diet (salah satu jenis
pengaturan pola makan) diperkenalkan banyak orang melihat bahwa salisilat
mempunyai efek buruk bagi penyandang autisme. Bahan makanan yang harus
dihindari adalah almond, apel, tomat, mangga muda dan alpokat. Efek yang
dimungkinkan dari bahan makanan yang mengandung salisilat dapat memperberat
kebocoran usus (Budhiman, 2002). Diet bebas fenol dimaksudkan untuk
menghindari jenis bahan makanan yang memerlukan ion sulfat untuk metabolisme
karena dapat memperburuk sistem pencernaan. Khusus bagi anak autisme, bahan
makanan ini berupa jus apel, jus jeruk, coklat, dan anggur merah (Hariyadi, 2009).
d.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Identitas pasien
2. data subyektif dan obyektif
a.
Kegagalan untuk membentuk hubungan antar pribadi, dicirikan oleh sifat tidak
responsif pada orang; kurangnya kontak mata dan sifat responsif pada wajah,
pengabaian atau keengganan terhadapa kasih sayang dan kontak fisik. Pada awal
masa kanak-kanak, ada kegagalan untuk mengembangkan kerjasama dalam
bermain dan persahabatan.
b.
kelainan pada komunikasi (verbal dan non verbal), dicirikan oleh tidak adanya
bahasa atau jika dikembangkan, sering adanya struktur gramatik yang tidak
matang, penggunaan kata-kata yang tidak benar, ekolalia atau ketidakmampuan
untuk menggunakan batasan-batasan abstrak. Ekspresi non verbal yang menyertai
bisa menjadi tidak sesuai atau tidak ada.
c.
Respon-respon kacau terhadap lingkungan, dicirikan oleh perlawanan atau reaksireaksi perilaku yang ekstrem terhadap peristiwa-peristiwa kecil, kasih sayang
yang mengganggu pikiran yang tidak normal terhadap benda-benda aneh, perilaku
- perilaku yang ritualisitik.
d. Rasa tertari yang ekstrem terhadap benda-benda yang bergerak (mis, kipas angin,
kereta api). Minat khusus terhadap musik, bermain-main dengan air, kancing atau
bagian dari tubuh.
e.
f.
g.
3. pemeriksaan penunjang :
Darah, urine dan faeces u/ mengetahui :
Gangguan pencernaan
Alergi makanan
Kelainan genetik
auto imunitas
Tujuan
danIntervensi
. keperawatan
kriteria hasil
1. Kerusakan InteraksiTujuan:
Kaji
GangguanPasien
interaksi
Rasional
pola
Mengetahui
antarapola interaksi
dapat
mendemonstrasikan lain
memberikan
kepercayaan
pada
intervensi
pemberi
yang tepat
seorang
perawatan
Jangka panjang
Pasien
Berikan
Membantu
akaninformasi tentangpasien
atau
pemulangan
pemberi perawatan
saat pulang
Kriteria hasil :
Benda-benda
ini
(4)
yang
dikenaldalam waktu-
Menunjukan(misalnya
waktu
keterampilan
aman
anak
merasa distres
interaksi sosial ( 3 )
Menunjukan
perkembangan
Sampaikan
anak(3)
Karakteristikyang
Menunjukansikap
karakteristik
hangat,dukungan
keterlibatan
ini
,dan
sosial(3)
meningkatkan
kebersediaan
pembentukan
ketika
pasien
dan
berusaha untuk
mempertahan
memenuhi
kan hubungan
kbutuhansaling
kebutuhandasarn
mempercayai
ya.
Muai
penguatan yang
positif
pada
kontak
mata
autistik dapat
merasa
terancam oleh
suatu
,perkenalkan
rangsangan
secara
berangsungangsur
Pasien
dengan
dengan
sentuhan,pelukan
yang
gencar
pada
pasien
tidak terbiasa
.
2. Kerusakan komunka Tujuan :
si
berhubungan
Kaji
verbalJangka pendek
Pasien
dan
Mengetahui
dokumentasikan komunikasi
akantentang
pasienyang
dengan Stimulasi
membentuk
menyangkut
digunakan
seoran
oleh pasien
pemberi
perawatan
Instruksikan
Jangka panjang
Pasien
telahkeluarga tentangpasien
untuk
bantu bicara
mengkomunikasika
komunikasiny
non
verbal
) Gunakan posisi
kebutuhan-
berhadapan
dan,bertatapan,untuk Kontak mata
menyampaikan mengekspresi
kebutuhan
keinginan
keinginan
staf
kepadaekspresi-ekspresi kan
dengannon verbal yangyang
pelaksanaan
benar
murni
terhadap dan
Kriteria hasil :
Pasien
minat
hormat
dapat
Berikankepada
menunjukan
perawatan dalamseseorang
kemampuan
komunikasi (3)
tidak
buru,dan
terburutidak
menghakimi.
Memahami
tindakan dan
komunikasi
pasien
serta
dapat
melakukan
perawatan
secara efktif
Bantu
Pasien
dalam
dapat
akanmenyebutkan
meningkatkan
bagian-bagian
kewaspadaan
sesuai
tubuhnya
anak terhadap
bagian-bagian
tubuh diri sendiri
diri
dan
sesuatu yang
bagian-bagian
sebagai
terpisah
perawatan
orang lain
dari
Jangka panjang
Pasien
akan
Agar tidak
membentuk
identitas
Tingkatkandapat
egokontak
( ditunjukan olehsecara
kemampuan untukdemi
fisikdiinterprestasi
tahapkan
sebagai
tahapsuatu
ancaman oleh
anak
telah
Kriteria hasil :
terbentuk
Menunjukan
Dapat
identitas
harga diri
dan
dukungan
mereka terhadap
konsep diri yang
positif
pada
perkembangan
anaknya
4. Resiko
tinggiTujuan:
terhadap
diri
mutilasiSasaran
Kaji
Jangkapasien
berhubunganPendek
terhadapterjadinya
lingkungan untuktindakan
dengan reaksi-reaksiPasien
yang
respon Mengurangi
tampakmenentukan jikamencederai
histeristenang,
padaperilaku - perilakumenyebabkan
alternatif
(misalnya
memulai
tindakan
bertanggung
Perawat
keselamatan
Panjang
diri,
seperti
kepala
ataumemukul-
merasa
mecederai
mencegah
diri
menarik-narik
membawa Gunakan alat-rambut, dan
peralatan
untukalat
protektifpemberian
,tidak
mencederai diri
sesuai
untuk
terluka selama
terjadinya
gerakangerakan
histeris.
Untuk
membentuk
kepercayaan
Dapat
menurunkan
kebutuhan
pada perilakuprilaku
mutilasi
diri
dan
memberikan
rasa aman
Bekerja
dasar
perawat
pada
satu
untuk
satu anak
Tawarkan diri
kepada
anak
selama
waktu-
waktu
meningkatnya
ansietas
BAB IV
KESIMPULAN
4.1Kesimpulan
Autisme adalah anak yang mengalami gangguan berkomunikasi dan
berinteraksi social serta mengalami gangguan sensoris,pola bermain dan emosi.
Penyebabnya karena antar jaringan otak tidak sinkron. Ada yang maju pesat,
sedangkan yang lainnya biasa-biasa saja. Penyebab autisme sangat kompleks, tak
lepas dari factor genetika dan lingkungan social.
Terapi penyembuhan yang diterapkan dilakukan dengan berbagai varian
tehnik, diantaranya tehnik belajar dan bermain yang dapat dilakukan secara vebal
maupun non verbal, dengan melibatkan orang tua dan ada juga yang tidak.
Inti dari sejumlah terapi tersebut dimaksudkan untuk mengeliminir
berbagai symptom yang diperlihatkan oleh seorang anak autisme yang tentunya
dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkatan sindrom yang disandang anak.
Autisme masa kanak kanak adalah gangguan perkembangan yg sangat
kompleks. Prevalensi masih sedang meningkat dgn pesat, Timbulnya gejala
seringkali dicetuskan oleh penyebab organ biologis. Para Profesional harus
meningkatkan
pengetahuan
dan
keterampilan
supaya
dapat
bekerja
DAFTAR PUSTAKA
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. 1985. Ilmu kesehatan anak volume 3.
FKUI : Jakarta.
Mary. C.T. 1998. Buku saku diagnosa keperawatan pada keperawatan psikiatri.
EGC : Jakarta.
Ircham,
Raden.2008.Asuhan
Keperawatan
Anak
Ahira,
Anne.2009.Seputar
Penyakit
http://dc238.4shared.com/doc/ERaVUoWJ/preview.html
Sari, I. D. (2009). Nutrisi Pada Pasien Autis. CDK (Cermin Dunia Kedokteran) ,
89-93.
Wardhani, Y. F. (2008). Apa dan Bagaimana Autisme itu. In Apa dan Bagaimana
Autisme; Terapi Medis Alternatif (pp. 1-37). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Rudy, L. J. (2007). What is the Difference Between ABA, Discrete Trials, dan
"The
Lovaas
Method?".
Retrieved
November
5,
2010,
from
http://autisme.about.com/od/treatmentoptions/f/WhatisABA.htm
Gamayanti, I. (2003). Aspek Psikologis pada Anak Autis. Temu Ilmiah Dietetik
VI. Yogyakarta.