Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Catatan: T ulisan ini pernah dipresentasikan di T rawas, Malang pada tahun 2003 atau
2004 (dicek lagi) pada Konfrensi Cultural Studies. Juga, telah terbit dalam bahasa Inggris
dalam Jurnal Post Colonial Studies 2008, dengan judul: Batjaan liar in the Dutch Indies: a
colonial antipode.
Bangkitnya kesadaran nasional dalam masyarakat kolonial sering dianggap sebagai produk
sekaligus reaksi, atau semacam dialectical opposite dari kolonialisme. Industrialisasi
memperluas penderitaan penduduk jajahan tapi sekaligus menyediakan sarana bagi mereka
untuk mengungkapkan penderitaan dan perlawanan dengan cara baru. Salah satu sarana
yang memegang peranan kunci di sini adalah penerbitan. Sejak awal abad ke-20 dengan
meluasnya penggunaan alat cetak di tanah jajahan, kalangan terpelajar menggunakan
barang cetakan sebagai senjata melawan kekuasaan kolonial. Dari tangan mereka lahir
teks-teks yang mengkritik dan memblejeti kebobrokan kolonialisme dan sekaligus
mencerminkan kesadaran baru sebagai bangsa. Sebagian besar adalah pegawai pemerintah
yang berpikir dan menulis dalam ruang serta sarana yang disediakan oleh tatanan kolonial.
Namun ada juga yang bergerak bebas sebagai orang partikelir dan bertolak sepenuhnya dari
mass politics seperti gerakan serikat buruh dan organisasi petani.
Dalam penulisan sejarah Indonesia kelompok elite terpelajar jauh lebih dikenal dan karya-
karya mereka umumnya dianggap sebagai tonggak-tonggak perjalanan bangsa. Sebaliknya
pikiran dan tindakan aktivis pergerakan massa, yang umumnya berasal dari kelas-kelas
rendahan, hampir tidak mendapat perhatian. Ketimpangan ini terkait dengan
perkembangan gerakan nasionalis dan wujud akhirnya: negara Indonesia yang merdeka.
Dalam upaya memantapkan posisi politiknya, kalangan elite terpelajar membuat narasi
sendiri mengenai asal-usul ‘bangsa Indonesia’ dan secara selektif menetapkan apa yang
disebut sejarah. Dalam banyak hal mereka mengadopsi pikiran para sarjana dan birokrat
kolonial yang secara sistematis menyingkirkan tokoh-tokoh pergerakan kelas bawah dari
ingatan kolektif dengan mengasingkan mereka dan mengabaikan karya-karyanya.
Kesadaran nasional kemudian digambarkan sebagai kekuatan magis yang tiba-tiba bangkit
sebagai kesatuan utuh melawan kolonialisme, di bawah kepemimpinan intelektual
kalangan elite terpelajar.
Ketimpangan ini lebih jauh memperlihatkan bahwa nasion dan nasionalisme tidak bersifat
tunggal. Ada bermacam-macam nasionalisme dan bayangan tentang nasion yang disusun
orang dalam sejarah. Kecenderungan untuk menonjolkan salah satu bayangan tentang
bangsa ini sesungguhnya merupakan dominasi dari satu kalangan terhadap yang lain, dalam
konteks Indonesia dan negeri jajahan lainnya, dari kalangan elite dan kelas atas terhadap
kelas-kelas rendahan yang tertindas. Lagi-lagi di sini kita melihat titik temu antara pikiran
kolonial dan elite pasca-kolonial, yang sama-sama menganggap kelas-kelas rendahan pada
dasarnya tidak mampu bergerak atas kehendaknya sendiri. Sementara penguasa kolonial
menganggap mereka sebagai “ obyek agitasi dan propaganda kaum nasionalis”, para
pemimpin politik sendiri melihat mereka sebagai “ massa rakyat yang menunggu
kepemimpinan”; sejajar dengan konsep floating mass yang dominan dalam politik
Indonesia hingga sekarang.
Makalah ini memusatkan perhatian pada bacaan liar yang diproduksi oleh gerakan
nasionalis pada awal abad ke-20. Istilah ini digunakan oleh penguasa kolonial untuk
mendiskreditkan bacaan orang pergerakan dari kelas rendahan yang bergabung dalam
organisasi massa. Jumlahnya mencapai ratusan judul berupa novel, syair, pamflet politik,
suratkabar dan jurnal. Dengan penerbitan ini aktivis dari kelas-kelas rendahan di Hindia
Belanda mengembangkan kritik mereka terhadap kolonialisme dan sekaligus merumuskan
identitas serta bayangan tentang bangsa. Pandangan dan penggunaan bahasanya secara
signifikan berbeda dan bahkan bertentangan dengan teks-teks yang sekarang dianggap
klasik dan diklaim sebagai peletak dasar nasionalisme Indonesia, seperti kumpulan surat
RA Kartini atau tulisan Soekarno dan Hatta. Analisis dan perbandingan dengan beberapa
teks ‘klasik’ itu memperlihatkan bahwa gerakan nasionalis pada dasarnya adalah wilayah
penuh gejolak, di mana konfigurasi kekuatan kelas dan praktek sosial-politik memainkan
peran penting. Bacaan liar dalam hal ini adalah bagian dari sebuah power bloc yang
mendominasi gerakan nasionalis pada awal abad ke-20 sampai kemudian dihancurkan oleh
penguasa kolonial pada 1926 dan kemudian disingkirkan oleh kalangan intelektual dan
pemimpin politik Indonesia sendiri.
Para penulis tentang nasionalisme seperti Anderson dan Gellner menekankan peran
literacy dan kapitalisme cetak (print capitalism) dalam pembentukan nasionalisme.
Namun dalam konteks tanah jajahan yang terjadi sesungguhnya adalah print colonialism di
mana alat-alat cetak hampir seluruhnya dipegang oleh para penguasa kolonial untuk
kepentingan mereka sendiri. Penguasa kolonial mendirikan percetakan negara di Batavia
pada 1812 yang menerbitkan suratkabar Bataviaasch Koloniale Courant dan lembaran
resmi pemerintah seperti Staatslad van Nederlandsch Indie dan Regeerings Almanak.
Penerbitan buku sastra dan ilmu pengetahuan baru mulai dilakukan 1835 dan umumnya
merupakan cetak ulang karya yang ditulis di Belanda. Beberapa penerbit swasta mulai
bermunculan pertengahan abad ke-19 dan mulai meluas saat para pemilik perkebunan
besar memerlukan terbitan berkala guna mengetahui perkembangan bisnisnya. Salah satu
yang terkemuka adalah CGT van Dorp yang memiliki kantor di Semarang, Batavia dan
Surabaya.
Sampai akhir abad ke-19 barang cetakan praktis hanya menjadi konsumsi para pegawai
pemerintah kolonial, pemilik dan staf perkebunan dan segelintir intelligentsia bumiputra
yang berpendidikan Belanda. Hampir tidak ada penulis bumiputra yang giat menulis di luar
lingkungan kolonial dan dengan sendirinya tidak pernah melontarkan kritik terhadap
tatanan tersebut. Kemungkinan itu baru terbuka saat berdirinya percetakan milik orang
T ionghoa peranakan dan Indo-Eropa pada akhir abad ke-19. Menjelang pergantian abad
puluhan percetakan dan penerbit baru didirikan di beberapa kota besar yang menerbitkan
buku-buku pelajaran, roman petualangan dan tulisan-tulisan para pemimpin revolusi di
T iongkok. Para penulis Indo-Eropa sementara itu mulai membuat cerita-cerita yang
berlatar Hindia Belanda, termasuk kehidupan di perkebunan swasta dan masalah-masalah
sosial yang muncul di atasnya. Buku biasanya diproduksi dengan harga sangat murah dan
dipecah ke dalam beberapa bagian (seperti cerita bersambung) yang sesuai dengan
pendapatan pegawai rendahan dan orang partikelier saat itu.
Berbeda dengan percetakan Belanda yang hanya menggunakan orang bumiputra sebagai
buruh kasar, penerbit dan percetakan swasta ini mempekerjakan mereka sebagai pembantu
editor dan kadang memberi kesempatan untuk ikut menulis dalam suratkabar seperti
Soerat Chabar Betawie dan Slompret Melajoe. Beberapa tokoh penting dalam produksi
bacaan liar seperti RM T irtoadhisoerjo, Mas Marco Kartodikromo, Mohammad Sanoesi
memulai karirnya sebagai orang magang pada perusahaan penerbitan T ionghoa
peranakan dan Indo-Eropa. Di samping menulis dan menyunting mereka juga mempelajari
cara mengelola penerbitan yang kemudian menjadi landasan untuk mengembangkan
bacaan sendiri yang sepenuhnya independen dari kekuasaan dan modal kolonial.
Kehadiran penerbit dan percetakan T ionghoa peranakan dan Indo-Eropa ini mengakhiri
dominasi kolonial dalam produksi dan peredaran barang cetakan. Informasi yang sangat
terbatas mengenai pendapatan perkebunan, masalah anggaran negara atau upacara resmi di
negeri induk, kini bersaing dengan hasil penyelidikan mengenai skandal dan kebobrokan
perkebunan, roman percintaan yang melabrak norma-norma kolonial sampai pada berita
tentang perang Rusia-Jepang dalam perspektif “ kekuatan Asia”. Perkembangan itu
semakin pesat ketika jurnalis bumiputra yang semula menjadi tenaga magang mulai
membuka penerbit dan percetakannya sendiri pada awal abad ke-20. Pada 1907 RM
T irtoadhisoerjo membuka percetakan dan penerbit Medan Prijaji yang menerbitkan
suratkabar dengan nama yang sama. Di Solo, HM Misbach mendirikan penerbit Insulinde
yang berperan besar dalam produksi bacaan liar selama kurun 1910-an. Serikat buruh
kereta api, VST P, yang bermarkas di Semarang kemudian juga mendirikan percetakannya
sendiri dan menerbitkan suratkabar dengan tiras terbesar sepanjang sejarah pergerakan, Si
Tetap. Dengan basis yang relatif independen dari kekuasaan kolonial, para penulis dan
pengelola suratkabar segera memulai perang suara dengan penguasa kolonial dengan gaya
tulisan yang militan dan memikat.
Militansi dan radikalisme semakin meningkat ketika para jurnalis, penulis dan penerbit
mulai terlibat dalam organisasi pergerakan nasionalis seperti Sarekat Islam, Insulinde dan
serikat-serikat buruh. Keterlibatan dalam organisasi itu makin memperkuat basis keuangan
dan kelembagaan bacaan liar. Anggota organisasi biasanya diwajibkan membeli suratkabar
dan barang cetakan lainnya yang diproduksi oleh para penerbit ini, yang mendatangkan
pemasukan cukup besar bahkan melampaui penerbit kolonial sendiri. Dari segi isi, tulisan
mereka semakin terarah pada persoalan konkret yang dihadapi organisasi, perseteruan
dengan pemerintah kolonial dan ketimpangan serta ketidakadilan yang dihadapi mayoritas
pembacanya. Para jurnalis menyadari betul posisi mereka yang sepenuhnya berhadap-
hadapan dengan penguasa kolonial. Seperti dikatakan Mas Marco Kartodikromo,
“ Sungguhpun amat berat orang bergerak memihak kepada orang yang lemah,
lihatlah adanya pemogokan yang berulang-ulang diwartakan dalam Sinar
[suratkabar] ini. Di situ sudah menunjukkan bilangannya berpuluh-puluh korban itu
pemogokan, inilah memang sudah seharusnya. Sebab melawan kaum yang
mempunyai pabrik itu sama ertinya dengan melawan pemerintah yang tidak adil...
Lantaran hal ini, maka di situ timbullah peperangan suara (surat kabar), yaitu
fehaknya pemerintah dan fehaknya rakyat... Apakah di Hindia sini ada surat kabar
yang dibantu oleh kaum uang, supaya itu suratkabar bisa melawan surat kabarnya
rakyat? Ada! T etapi nama surat kabar itu pembaca bisa mencari sendiri. Lain dari
itu, kita memberi ingat kepada saudara-saudara, janganlah suka membaca
sembarang surat kabar, pilihlah surat kabar yang betul-betul memihak kepada
kamu orang, tetapi yang tidak memihak kepada kaum uang. Sebab kalau tidak
begitu, sudah boleh ditentukan, akhirnya kita orang Hindia tentu akan terjerumus
di dalam lobang kesengsaraan yang amat hina sekali.”
Istilah “ bacaan liar” sendiri sebenarnya digunakan oleh penguasa kolonial untuk menyebut
semua bacaan yang diterbitkan oleh orang particulier, khususnya aktivis gerakan
nasionalis. Sejak awal abad ke-20 para sarjana-cum-birokrat kolonial seperti Snouck
Hurgronje sudah menaruh perhatian pada “ bacaan yang berbahaya bagi orang bumiputra
yang kecerdasannya rendah”. Untuk memerangi bacaan semacam itu pemerintah
kemudian mendirikan Komisi Bacaan Rakyat atau Balai Pustaka pada 1908. T ujuannya
secara eksplisit dinyatakan, “ agar rakyat bumiputra yang terpelajar memiliki bacaan yang
pantas”. Mereka merekrut beberapa bumiputra terpelajar sebagai penyunting, yang tidak
sekadar meluruskan penggunaan bahasa Melayu sesuai standar yang ditetapkan pemerintah
kolonial, tapi juga memastikan bahwa isinya sesuai dengan kepentingan penguasa kolonial.
Buku dan majalah yang diterbitkan oleh lembaga ini umumnya bermaksud
memperkenalkan dunia modern kepada pembacanya. Sebuah tugas yang sulit dan
dilematis, karena pada saat bersamaan bacaan itu ingin mencegah tumbuhnya pikiran
mengenai kebebasan dan hak individu yang menjadi persoalan pokok modernisme. Buku-
buku mereka biasanya dibagikan kepada perusahaan perkebunan, kantor pemerintah dan
sekolah-sekolah yang dikelola pemerintah. Untuk mengimbangi penyebaran bacaan liar
yang masuk sampai ke kampung dan desa-desa, Balai Pustaka membuka perpustakaan
keliling di beberapa daerah.
Kehadiran Balai Pustaka justru semakin memacu militansi orang pergerakan untuk
menerbitkan bacaan mereka sendiri. Perang suara yang terbuka dilancarkan oleh berbagai
suratkabar yang bukan hanya menguliti isi buku-buku yang diterbitkan lembaga itu tapi
sekaligus menjelaskan kepentingan politik yang ada di baliknya. Semaoen, salah seorang
pemimpin serikat buruh mengatakan, “ kaum tertindas haruslah membaca buku-bukunya
sendiri yang ditulis oleh orang dari kelasnya sendiri. Begitulah kelas yang tertindas di sini
nanti jadi insyaf betul akan nasibnya.” Moesso, pemimpin PKI lainnya secara langsung
mengarahkan kritiknya kepada produk Balai Pustaka,
Pertentangan itu semakin tajam dengan berdirinya Partai Komunis Indonesia (PKI).
Belajar dari pengalaman Iskra dan Pravda di Rusia, para pemimpin partai itu kemudian
membentuk badan khusus yang bertugas menerbitkan “ literatuur socialistisch”. Soekindar
yang menjadi pejabat penting dalam partai itu mengatakan,
Di Semarang kemudian berdiri Komisi Bacaan Rakyat PKI yang antara lain menerbitkan
terjemahan pertama Manifesto Komunis karya Marx dan Engels pada 1923. Dalam
kongres PKI 1924 para pemimpinnya berkesimpulan bahwa “ zaman agitasi untuk
menyatukan hati” sudah berlalu, dan partai perlu sesegera mungkin meningkatkan kualitas
pengetahuan kader dan anggotanya. Di satu sisi keputusan ini memperlihatkan penguatan
lembaga-lembaga yang memproduksi bacaan liar di bawah satu atap, tapi di sisi lain
sebenarnya terjadi penyempitan power bloc dalam gerakan rakyat dengan mulai
menetapkan perbedaan di dalam gerakan sendiri. Kebebasan menulis yang sangat
dianjurkan pada masa awal kini mulai dibatasi oleh tema-tema yang sejalan dengan garis
pikiran partai, seperti disiplin organisasi, internasionalisme dan proletarianisme. Para
pemimpin partai sendiri mulai lebih sering mengacu pada keputusan Komintern dan
memperjuangkan “ garis kelas” dalam pergerakan.
Ketegangan seperti ini senantiasa mewarnai pembentukan wacana mengenai nasion dan
identitas nasional di zaman kolonial. Dalam bagian-bagian selanjutnya kami akan
memperlihatkan dinamika ketegangan ini.
Hampir semua pemimpin dan aktivis yang membentuk power bloc pergerakan pada awal
abad ke-20 berasal dari kalangan buruh, pegawai rendahan dan pedagang kecil. Pengalaman
hidupnya berbeda dari kalangan priyayi atau mahasiswa kritis yang tergabung dalam
Perhimpunan Indonesia di Belanda, dan membuat perspektifnya mengenai kolonialisme
pun berbeda. Kalangan priyayi umumnya menahan diri untuk tidak melancarkan kritik
secara terbuka, apalagi mengejek atau mengecam kekuasaan kolonial. Gagasan mereka
biasanya berkisar pada reformasi sistem kolonial agar lebih menghargai penduduk
bumiputra dan mulai memperhatikan kesengsaraan rakyat yang semakin menjadi-jadi.
Mereka biasanya menempatkan diri di antara kesengsaraan dan kekuasaan, berbicara atas
nama rakyat kepada pemerintah kolonial dalam terminologi yang lebih dimengerti oleh
penguasa ketimbang rakyat yang mereka “ wakili”. Kalangan priyayi dalam
kebimbangannya menetapkan posisi terhadap kekuasaan kolonial dan kungkungan bahasa
Belanda atau Melayu T inggi yang menjadi alat utamanya untuk berkomunikasi dengan
cepat kehilangan pamor dan justru menjadi sasaran kritik. Kegagalan kalangan ini untuk
berperan dalam lapangan ekonomi juga membuat mereka semakin tenggelam dalam
kebudayaan aristokrat Jawa yang memperkuat kebimbangan itu.
Para aktivis dan penerbit bacaan liar sebaliknya jauh lebih terus terang dan tidak segan
mengejek kekuasaan yang mereka anggap tidak sah. Banyak dari mereka mengalami
langsung kesengsaraan sebagai buruh industri atau perkebunan dan mengenal kehidupan
dalam tatanan kolonial lengkap dengan segala skandal dan kebobrokannya dengan baik.
Mereka tidak merasa perlu “ mewakili” orang lain dan biasanya berbicara sebagai orang
pertama kepada pembaca yang umumnya berasal dari kelas-kelas rendahan. Berbeda
dengan tulisan kalangan priyayi terpelajar yang nampak ragu mengemukakan
pendapatnya, para aktivis pergerakan seperti menuliskan pernyataan lisan yang lebih
akrab, lincah tapi sekaligus bisa menusuk dengan tajam. Ironi dan sindiran dengan
meminjam ungkapan dari berbagai bahasa – yang tidak dimungkinkan dalam bahasa
Belanda kolonial atau Melayu T inggi – mengalir dengan lancar dan jauh lebih tepat
menggambarkan suasana kehidupan masyarakat kolonial. Seperti diperlihatkan kutipan
berikut,
“ Kasihan betul yang kena perkataan itu! Siapakah kiranya itu? Si Jilat Pantat.
Jilat pantat itu dua perkataan jilat + pantat. Jilat = mengesutkan lidah, pantat – je
weet wel. Brrrr, afschuwelijk, he! Akan tetapi ada banyak sekali orang yang suka
mengerjakan dia, buat bangsa Jawa, yang paling banyak: Priyayi. Lain bangsa
hampir semua orang tahu, yang Priyayi-Jawa ada banyak yang suka likken. Dari itu
maka nyata sekali, yang sebagian besar dari bangsa kita belum tahu ajinya (de
waarde) bekerja sungguh-sungguh, ataupun tidak atau kurang percaya kepada
pekerjaan diri sendiri, sebab mereka itu harganya pekerjaan diri sendiri, mesti malu
menjilat-jilat begitu.”
Sebagian aktivis pergerakan menggunakan bahasa Melayu Rendah ini secara sadar sebagai
bentuk perlawanan terhadap tatanan kolonial. Semaoen, pemimpin suratkabar Si Tetap
milik serikat buruh kereta api misalnya mengatakan bahwa bahasa itu digunakan karena
dimengerti oleh mayoritas penduduk Hindia Belanda, tidak seperti Melayu T inggi maupun
Belanda yang menjadi milik segelintir orang saja.
Proyek yang mungkin paling ambisius adalah upaya menyusun kembali sejarah Jawa oleh
Mas Marco Kartodikromo, yang dimuat bersambung dalam majalah Hidoep pada 1924.
T ujuan menulis ulang Babad Tanah Jawa, naskah klasik dalam khazanah kebudayaan
Jawa, adalah untuk “ mengambil kembali masa lalu orang Jawa yang selama ini berada di
tangan orang Belanda”. Ia menyadari bahwa kolonialisme tidak hanya menciptakan
ketidakadilan dalam kenyataan hidup sehari-hari tapi juga merenggut kesadaran kolektif
orang jajahan mengenai masa lalunya sendiri. Kritiknya terarah tidak hanya pada sistem
kolonial yang kemudian berkembang di Jawa, tapi juga pada tindakan penguasa kolonial
yang bekerjasama dengan pujangga bumiputra untuk menghapus masa lalu orang jajahan.
Di sini Marco membedakan dirinya dengan pujangga Jawa yang mendasarkan tulisannya
pada cerita-cerita lisan. Ia mempelajari tulisan-tulisan sarjana kolonial seperti Veth dan
Raffles mengenai Jawa dan mengungkapkan kritiknya baik mengenai fakta-fakta maupun
tafsirannya. Buku itu sendiri dibagi ke dalam enam bagian mengenai asal-usul nama Jawa,
kedatangan agama Hindu, sampai pada kedatangan orang Portugis dan Belanda. Bagi
Marco Babad Tanah Jawa yang ada selama ini pada dasarnya mencerminkan kekalahan
kebudayaan Jawa. Karena itu ia merasa perlu memberi landasan ilmiah untuk memahami
mengapa kekalahan itu terjadi dan apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya. Berbeda
dengan pujangga istana yang tidak mengakui kekalahan kerajaan dan kebudayaan Jawa,
Marco justru menyoroti kelemahan watak dan sikap para raja Jawa sendiri sebagai
penyebab utama kemunduran kerajaannya. Bahkan sejak masuknya agama Hindu raja-raja
Jawa tidak pernah menunjukkan perlawanan. Di tangannya babad bukan sekadar usaha
menulis kembali sejarah Jawa, tapi menyusun kembali sejarah yang berguna bagi
kepentingan pergerakan. Pandangannya mengenai masa lalu juga dipegang oleh banyak
aktivis pergerakan sezamannya, walaupun Marco adalah satu-satunya yang membuat studi
semacam itu.
Hal penting lain adalah cara Marco dan penulis bacaan liar lainnya menangani masalah ras
di Hindia Belanda. Sejak akhir abad ke-19 penguasa kolonial memberlakukan segregasi
dengan membagi masyarakat kolonial ke dalam tiga strata, orang Belanda dan Eropa
lainnya di tempat teratas (belakangan orang Jepang juga termasuk strata ini), orang T imur
Jauh seperti T ionghoa dan Arab di tempat kedua, dan orang bumiputra di strata paling
bawah. Sekalipun menyadari bahwa persoalan pokoknya adalah kapitalisme yang
menciptakan kesengsaraan, para penulis ini seringkali mencampur-aduk masalah ras dan
etnik dengan sebutan “ babah kapitalisten”. Kecenderungan seperti ini kerap memancing
perdebatan antara orang T ionghoa dan penulis bumiputra. Saat Marco menerbitkan Mata
Gelap, sebuah novel tentang kehidupan sosial di tanah jajahan yang antara lain
mengungkapkan perilaku pedagang T ionghoa yang disebutnya lintah darat. Sebuah
suratkabar milik orang T ionghoa menyampaikan kritik tajam,
“ Ini hari kita terima satu buku cerita, yang pakai nama Mata Gelap, terkarang
oleh M. Marco, redaktur Doenia Bergerak di Solo. Sebetulnya itu buku ada begitu
rendah derajatnya, hingga bermula kita tidak ada ingatan buat bicarakan isinya di
ini surat kabar. T etapi sebab di situ penulisnya sudah terlalu nyatakan ia punya
perasaan rendah pada orang T ionghoa, kita merasa terpaksa juga tulis ini resensi,
dengan permintaan, supaya tuan Marco, kalau di belakang hari menulis lagi satu
buku, janganlah ia bikin orang T ionghoa jadi sakit hati seperti sekarang ia sudah
bikin, antara mana di dalam kalimat: “ Bah! Minta stroop ijs.” Ingatlah, bangsa
T ionghoa ada satu bangsa manusia juga, hingga tidak pantas kalau tuan Marco
pandang begitu rendah pada mereka. Orang T ionghoa merasa dan mengaku, di ini
jajahan ia orang ada seperti orang menumpang dan memang ingin hidup rukun dan
damai dengan orang Bumiputra. T etapi orang Bumiputra, seperti tuan rumah, juga
harus unjuk itu kehormatan dan perendahan pada orang T ionghoa, seperti orang-
orang sopan, tuan rumah memang wajib unjukkan pada tetamunya.
Itu perkataan tidak saja dulu telah lazim buat sebutan atau memanggil bangsa
Cina... kalau kami bercampur gaul dengan orang Cina, itu sebutan selalu kami
gunakan, dan toh tidak ada seorang yang menyangkal. Apakah kurang cukup
orang Jawa menghormati tetamunya? Apakah orang Jawa kurang cukup
menunjukkan kerukunan kepada tetamunya? Apakah orang Jawa kurang rendah
dan mengalah? Kalau kami menyebut Babah atau Bah atau menyebut orang Cina
dikata megnhina itu bangsa, sesungguhnya kami tidak mengerti. Apa sebabnya di
kaart (atlas) masih selalu ditulis: Cina?
Kalau betul-betul tuan tamu tidak mengharap perselisihan dengan tuan rumah,
kami harap ini perkara jangan dibikin panjang. Ingatlah, ini waktu, waktu yang
kurang baik di seluruh dunia... Lain rupa kalau tuan tamu cari-cari perkara dengan
tuan rumah, itu lain perkara. Kalau tuan tamu tidak dapat hidup rukun dengan tuan
rumah, seharusnya kami tuan rumah menjalankan bagaimana adilnya.
Persoalan ras, etnik dan kelas kerap tumpang-tindih dalam kritik para penulis bacaan liar
mengenai kolonialisme. Beberapa penulis seperti T jokroaminoto dan Abdul Muis juga
sering menyelipkan masalah agama dalam analisis mereka dan berbicara tentang zondig
kapitalisme [iniquituos/evil capitalism?] sambil mendukung kapitalisme yang dipegang
oleh orang bumiputra.
Me mbayangkan Bangsa
Dalam kritik terhadap kolonialisme inilah para aktivis pergerakan dan penulis bacaan liar
berhadapan dengan pertanyaan dasar mengenai identitas mereka sendiri. Pada masa awal
para penulis biasanya berbicara tentang “ bangsa yang terperintah” yang tumpang-tindih
dengan penamaan “ bangsa Jawa” dan “ bangsa Hindia”. Sekalipun ada unsur etnik dan ras di
dalamnya, pembedaan biasanya dibuat berdasarkan nasib dan kehidupan sosialnya. Karena
itu mereka biasanya gencar menyerang “ bangsa Jawa” yang menjual dirinya kepada
penguasa kolonial atau perkebunan. Pengertian “ bumiputra” atau “ bangsa Hindia” sendiri
baru muncul pada pergantian abad ke-20 mungkin sebagai respons atas pembedaan
masyarakat berdasarkan ras yang dibuat oleh pemerintah kolonial beberapa tahun
sebelumnya. Seperti diuraikan Marco dalam Matahariah,
“ Sekarang saja sudah sama bermufakat akan membikin perkumpulan yang kita
kasih nama Kromo Bergerak, maksudnya perkumpulan berdaya upaya bangsa kita
anak Hindia bisa rukun menjadi satu hati, supaya kita tidak selalu diperas oleh
bangsa-bangsa buas. Lagipula kita anak Hindia bisa rukun jadi satu, di situlah
waktunya kita bisa mengilangi laku sewenang-wenang. Sekarang saja sudah menjadi
orang particulier sudah tentu saja akan berusaha keras supaya kita anak Hindia bisa
naik derajatnya seperti bangsa Eropa yang ada di tanah kita. Saudara-saudara tahu
sendiri, bahwa kita anak Hindia selalu dihina oleh bangsa Eropa yang ada sama di
sini.”
Keinginan untuk sederajat dengan “ bangsa Eropa” adalah tema sentral dalam nasionalisme
sejak 1930-an (bahkan sampai hari ini). T api dalam power bloc pergerakan yang
menghidupi bacaan liar tema itu cepat bergeser karena kesederajatan hanya mungkin
dicapai dengan menghapus sistem yang menciptakan ketimpangan, yakni kapitalisme.
Seperti diungkapkan Darsono,
“ Sekarang ini di Hindia timbul dua golongan manusia, yaitu satu golongan yang
mempunyai pabrik-pabrik, maatschappij-maatschappij spoor en tram, toko-toko
dan sebagainya; dan yang kedua golongan kaum buruh macam-macam bangsa
atau orang-orang yang bekerja di perusahaan-perusahaannya golongan yang kesatu
itu. Ini golongan kaum buruh ialah asalnya dari orang-orang tani, tukang
membatik, tukang menenun, saudagar kecil-kecil macam-macam bangsa dan
sebagainya. Mereka menjual tenaga kerjanya karena terdesak oleh pabrik atau
mesin dan oleh perdagangan besar.”
Dalam teks-teks bacaan liar sering nampak kebimbangan dalam menetapkan batas yang
jelas mengenai bangsa. Beberapa penulis cenderung menghindari pembicaraan tentang
bangsa yang satu dan menggunakan istilah “ kromo”, “ kaum buruh” atau “ rakyat”. Ada
juga di antaranya, terutama aktivis PKI, yang mengedepankan prinsip internasionalisme
yang tidak mengenal perbedaan bangsa. T an Malaka, salah seorang pemimpin PKI yang
terkemuka, pada 1930-an mengemukakan ide membentuk perhimpunan sosialis Asia-
Australia, mungkin berdasarkan pengalamannya berkeliling Asia dan pengamatannya
terhadap kecenderungan gerakan buruh yang cukup kuat di Australia saat itu. Sekalipun
tidak memiliki rumusan yang jelas mengenai bangsa, power bloc pergerakan ini berusaha
memastikan bahwa masalah perbedaan kelas dan ketimpangan di antara orang bumiputra
sendiri masuk dalam setiap pembicaraan mengenai “ Indonesia”.
Gagasan sosialisme mulai mendesak masuk pada awal 1920-an dan membuat proses
membentuk identitas kebangsaan semakin rumit. Para pemimpin PKI berulangkali
mengutip perdebatan Lenin dan Bukharin dalam Komintern mengenai nasib perjuangan
bangsa-bangsa dan cenderung mengikuti “ garis kelas” yang dikedepankan oleh organisasi
tersebut. Komisi Bacaan Hoofdbestuur PKI menekankan pentingnya pemahaman
mengenai sosialisme dalam perjuangan pembebasan dan sebaliknya mengecam pemikiran
yang mengalihkan perhatian rakyat dari persoalan kelas. Perdebatan berulangkali terjadi di
kalangan pergerakan sendiri, karena tidak semua orang menyetujui prinsip-prinsip
tersebut. Namun sebaliknya mereka yang tidak setuju juga tidak memiliki dasar cukup kuat
untuk menetapkan satu jenis nasionalisme. Usaha beberapa priyayi untuk mengedepankan
nasionalisme Jawa pada 1917-18 tidak mendapat sambutan dan justru dikecam sebagai
usaha mengecilkan arti pergerakan. Demikian halnya dengan nasionalisme T ionghoa yang
sempat berkembang menyusul Revolusi 1911 di T iongkok dan Gerakan Empat Mei 1919,
bahkan ditolak oleh sebagian orang T ionghoa sendiri. Nasionalisme berdasarkan perbedaan
agama mungkin kecenderungan yang paling populer dengan berdirinya Sarekat Islam,
Muhammadiyah dan organisasi keagamaan lainnya. Perdebatan sengit berulangkali terjadi
antara aktivis sekuler seperti Mas Marco, Semaoen, dan Darsono yang juga menjadi
anggota Sarekat Islam dengan mereka yang menjunjung panji-panji Islam seperti
T jokroaminoto dan Abdul Muis. Dengan kata lain tidak ada kekuatan yang cukup besar
untuk menetapkan satu jenis nasionalisme di masa ini. Bacaan liar yang menjadi bagian
dari gerakan kiri pun menghadapi berbagai dilema dalam merumuskan identitas kebangsaan
seperti yang ditunjukkan beberapa teks di atas.
T ema lain yang penting di samping kolonialisme adalah perlawanan terhadap tradisi.
Dalam bacaan liar cukup jelas bahwa “ bangsa” (yang belum bernama) harus bersandar pada
prinsip kehidupan dan pikiran modern. Semua bentuk tradisi yang sifatnya melemahkan
pergerakan selalu dianjurkan agar ditinggalkan. Pemikiran semacam ini sudah berkembang
sejak awal pergerakan tapi menjadi makin kuat ketika berkembangnya gagasan sosialisme
mengenai persamaan semua orang. Hal itu nampak dalam pembahasan mengenai tempat
perempuan dalam pergerakan, seperti yang ditulis oleh Rangsang dalam novel Kaoem
Merah,
“ Menurut keadaan dunia pada ini waktu, seharusnya kita kaum perempuan
menolong pekerjaan kaum lelaki, yaitu pekerjaan menuju keperluan umum. Sudah
berabad-abad lamanya kita kaum perempuan boleh dikata tidur pulas, tidak pernah
melihat sinar matahari. Sebab mulai jaman dulu sampai sekarang kita kaum
perempuan dipandang seperti perhiasan rumah tangga, dan menjadi kepalanya
koki. T etapi buat ini jaman itu aturan harus diubah. Buat kaum kita perempuan
yang memang ada kewajiban rumah tangga dan lelaki boleh melakukan itu
pekerjaan, tetapi buat kaum perempuan yang tidak mempunyai itu kewajiban,
harus sekali menolong pekerjaan kaum lelaki yang menuju kegunaan umum. Kita
tahu ada banyak orang perempuan yang memilih duduk diam sambil makan angin,
meski perempuan yang terpelajar juga, ada yang suka melakukan itu tabiat.
Sekarang kita kira sudah waktunya kita orang turut bergerak bersama-sama dengan
saudara kita kaum lelaki. Kita tahu juga, bangsa kaum kolot tentu mesem
mendengar perkataan ini. Baiklah kaum yang tidak menyetujui itu kita sisihkan
saja.”
T okoh-tokoh perempuan dalam bacaan liar umumnya berbeda dari citra kolonial maupun
priyayi Jawa. Para penulis biasanya menggambarkan karakter perempuan aktivis yang
berpengetahuan luas, sering membuat penilaian dan kadang berbantahan dengan laki-laki;
sesuatu yang tidak lazim ditemukan dalam novel Balai Pustaka. Kedudukan nyai juga
digambarkan berbeda dari karya sastra sezaman, sebagai perempuan yang memiliki watak
kuat sekalipun nasibnya sangat bergantung pada pemilik perkebunan yang
mengangkatnya.
Masalah besar bagi gerakan nasionalis pada masa ini adalah tidak adanya bayangan tentang
negara, sehingga semua perlawanan terhadap kolonialisme dan perjuangan hak-hak orang
jajahan dianggap bagian dari pergerakan. Gagasan internasionalisme a la Komintern atau
Pan-Islamisme mendapat sambutan cukup luas justru karena para pengemukanya
mengkritik batas-batas negara kolonial sebagai produk penindasan. Dalam bacaan liar para
penulis pun tidak pernah mempersoalkan masalah itu. Persaingan di antara power blocs
dalam pergerakan untuk sementara tertunda karena adanya persatuan untuk merebut
kemerdekaan dari tangan penguasa kolonial.
Di sisi lain ada tokoh-tokoh seperti Mas Marco, Darsono dan pemimpin Sarekat Rakyat
yang tidak setuju pada pendekatan kelas yang tajam semacam itu. Dalam konperensi PKI
di Kota Gede Desember 1924, salah seorang teoretikus partai Ali Archam mengusulkan
agar SR ‘yang borjuis kecil’ dibubarkan dan konsentrasi sepenuhnya diarahkan pada
pengorganisasian buruh ke dalam serikat-serikat yang revolusioner. Usulan itu ditentang
oleh Darsono dan Mas Marco yang menekankan pentingnya taktik persatuan di antara
semua kalangan yang menentang kekuasaan kolonial. Mengutip Schrieke, seorang sarjana
kolonial terkemuka, ia mengatakan bahwa bangsa di Nusantara pada dasarnya terdiri atas
berbagai suku dan klan yang sudah lama tercerai-berai. Perbedaan pandangan ini terus
meningkat seiring dengan bertambah kuatnya represi kolonial. Pembahasan mengenai
kelas, agama dan etnik sebagai komposisi bangsa diganti oleh pembedaan berdasarkan
sikap berani-takut, militan-moderat yang kadang tumpang-tindih. Seperti tercermin dalam
artikel di Medan Moeslimin,
“ Untuk mendatangkan kemerdekaan itu tidak cukup pula kita hanya berteriak
dalam vergadering, bikin mosi, minta-minta, kirim urusan (deputatie), protes,
bikin kritik di suratkabar dan belajar komunisme sampai rambutnya botak, tetapi
kita harus atur kita punya kekuatan menurut teori, dengan organisasi dan disiplin
(bukan disiplin foya-foya!)”
Para pemimpin nasionalis 1930-an ini pada umumnya adalah mahasiswa yang belajar di
dalam maupun luar negeri, pegawai pemerintah dan beberapa tokoh yang berhasil selamat
dari represi kolonial. T ak seorang pun dari mereka berpengalaman membangun gerakan
dari bawah dan mengungkapkan keresahan dan ketidakadilan yang konkret dalam tulisan.
Mereka umumnya berbicara dan menulis dalam bahasa Belanda (bahkan dalam Melayu
T inggi pun tidak), yang hanya dimengerti segolongan kecil orang. Dalam banyak hal
mereka lebih fasih berdebat dengan lawan politiknya yang orang Belanda ketimbang
menjelaskan pikirannya kepada orang “ sebangsanya” sendiri. Kalaupun berbahasa Melayu,
maka segala spontanitas, ironi dan kekurangajaran yang melekat pada bacaan liar, sudah
lenyap. Nada bicara pun lebih mencerminkan otoritas dan petuah yang kadang terdengar
angkuh. Mereka biasanya menempatkan diri sebagai calon pemimpin bangsa yang modern,
maju dan terpelajar, yang tidak ada persamaan dengan mayoritas penduduk Hindia
Belanda.
Gagasan nasionalisme selanjutnya pun sangat terpengaruh oleh situasi ini. Bayangan
tentang pemberontakan rakyat atau kelas-kelas tertindas terhadap penguasa kolonial dan
menciptakan masyarakat baru yang tidak mengenal hirarki ditinggalkan karena akan
menempatkan para pemimpin baru ini pada situasi sulit. Satu dari sedikit cara untuk
memobilisasi perlawanan adalah dengan menonjolkan perbedaan yang kasat mata tanpa
perlu mempersoalkan perbedaan di kalangan mereka sendiri. Pada akhir 1920-an muncul
gagasan membentuk “ front sawo matang” (het bruine front) yang memperjuangkan
“ negara dalam negara”, yakni membentuk semacam sistem pemerintahan di dalam
tatanan negara kolonial. Kritik terhadap kapitalisme dan cita-cita sosialisme selanjutnya
menjadi persoalan Barat dan T imur, pribumi dan asing yang di masa selanjutnya
menimbulkan masalah-masalah serius. Kegagalan pemberontakan komunis menjadi dasar
untuk mengakhiri diskusi tentang hubungan antarkelas di dalam bangsa, walau tak berhasil
menyelesaikan ketegangannya sampai hari ini.